****
“Hei, Justin,” sapa Carly
tiba-tiba saat aku dan Justin baru saja ingin keluar dari bus. Aku yang berada
di depan Justin langsung turun dari bus sedangkan Justin langsung meladeni
Carly. Aku menghampiri Kenny yang seperti biasa mengambil koper milik Justin.Well,
ini dia Cheyenne. Di sini dingin sekali dan aku tidak memakai jaket. Aku
mengambil koper berwarna ungu dengan tulisan ‘Bieber’ di sana. Kemudian, aku
menariknya untuk masuk ke dalam hotel. Kakiku bergemetar saat aku melewati air
mancur yang besar. Angin yang dihasilkan air yang jatuh ini begitu membuatku
mati kedinginan.
“Ini,” ucap Justin yang tiba-tiba
saja menaruh sebuah handuk di tubuhku. Aku ingin mati sekarang. Kenapa Justin
begitu bodoh Tuhan? Aku tidak berniat untuk mengucapkan kata ‘bodoh’ tapi
karena Justin memang seperti itu. Aku langsung membuat handuk yang sudah BASAH
itu ke segala tempat. Dia ingin aku tambah kedinginan mungkin. Dan sakit.
“Kenapa kau buang?” tanya Justin
dengan nada tanpa rasa bersalah. Aku berhenti melangkah, begitu juga dengan
Justin. Aku menatapnya dengan mata yang jenuh. Kubuang nafasku pelan.
“Justin, apa kau tidak bisa
merasakan kedinginan di tempat ini? Kau memberiku handuk yang sudah basah. Kau
bayangkan betapa dinginnya handuk yang basah. Astaga Justin. Aku bisa mati jika
aku terus menerus bekerja denganmu,” ucapku mulai berjalan dan memukul
keningku. Justin tertawa pelan. Tidak ada yang lucu di sini. Kemudian Justin
berhenti tertawa dan tiba-tiba dia menarik koper miliknya untuk yang pertama
kalinya. Astaga. Ini keajaiban.
-----
“Ini seperti ini,” ucap Justin
pada Nicki Minaj saat mereka sedang berdansa. Maksudku, apa yang sekarang
mereka lakukan? Berdansa? Astaga! Aku baru ingat kalau Justin sedang
menggodanya. Aku yang terduduk di kursi kamar Justin hanya menatap mereka
berdua dengan jenuh sedangkan mereka tertawa-tawa tak jelas. Justin daritadi
mengambil kesempatan dalam kesempitan. Sesekali ia memegang bokong Nicki dan
itu ..aku ingin membunuhnya.
Kulihat Justin memegang pinggan
Nicki yang begitu kecil dan perutnya yang rata membuat aku agak iri dengan
tubuhnya. Bagaimana bisa seorang perempuan memiliki pinggang yang ramping tapi
dibagian dada dan bokong bisa besar dan padat? Well, aku tidak tahu dan aku
tidak mau tahu juga.
“Oh, oh! Astaga, ooh! Justin!!”
jerit Nicki saat Justin menjatuhi tubuh Nicki di atas kasur dan ia berada di
atas tubuh Nicki. Sama seperti saat ia ingin menciumku saat itu. Aku tidak suka
melihat ini. Aku benar-benar tidak suka ini. Aku merasa perasaanku ..uh ada
yang mengganjal. Mmh, astaga! Aku merasa mual. Dengan cepat aku berdiri dari
kursi dan langsung keluar dari kamar Justin.
Mmh, astaga! Ini mungkin karena
daritadi pagi aku belum makan. Dan aku yakin maag-ku kambuh. Perutku sakit
sekali. Aku masuk ke dalam kamarku dan langsung melangkahkan kakiku menuju
kamar mandi. Kubuka penutup kloset dan mengeluarkan semua yang berada di
perutku. Dan tidak ada yang keluar.
“Bubu?” panggil Justin yang
tiba-tiba saja masuk ke dalam kamarku. Dan kulihat kepalanya muncul dari balik
pintu kamar mandiku. Matanya langsung membulat saat melihatku.
“Astaga, bubu! Aku-aku ..Oh My
GOD! Astaga! Tuhan! Kau hamil? Bilang kalau kau tidak hamil Bubu! Tidak!
Tidak!!” teriak Justin dengan histeris. Bodoh! Tolol dan Idiot! Kenapa ia
berteriak sebegitu kencangnya? Bisa-bisa teriakkannya didengar oleh banyak
orang. Justin meremas rambutnya sambil kulihat ia susah menelan ludahnya. Aku
yang terjongkok langsung berdiri dan mendorong tubuh Justin untuk mengeluarkan
Justin dari kamarku.
“Aku tidak hamil! Tapi apa kau
bisa mengecilkan volume suaramu? Kau ingin semuanya tahu tentang ini? Astaga!
Aku benar-benar takut karena tingkahmu yang seperti ini dan semua orang akan
tahu,” ucapku dengan suara yang kecil tapi diakhiran kalimatnya begitu besar.
Aku menggelengkan kepalaku karena
aku benar-benar jantungan sekarang.
“Oh, yeah. Aku minta maaf soal
itu, tapi apa kau yakin kalau kau tidak hamil?” tanya Justin lagi. Aku hanya
mengangguk dengan rasa penuh kesabaran. Justin menghelakan nafasnya. Jadi,
bagaimana jika aku hamil? Apa dia akan bertanggungjawab? Aku tidak hamil saja
dia sudah was-was seperti ini.
****
“Just, aku hamil,” ucapku pada
Justin saat ia sedang bermain dengan ponselnya. Ia yang sedang tersenyum-senyum
di tempat tidurnya itu langsung menatapku dengan tatapan ‘Astaga!’ dan kemudian
berubah menjadi tatapan seperti psikopat yang terkejut. Ia tertawa sejenak lalu
ia terduduk.
“Aku tidak akan berbohong padamu,
tapi sungguh itu tidak lucu,” ucap Justin mematikan ponselnya dan menatapku
dengan tatapan serius. Aku menggelengkan kepalaku. Aku hanya ingin tahu reaksi
Justin. Aku sebenarnya tidak ingin melakukan ini, tapi siapa tahu kan? Ini
hanya untuk persiapan.
Aku terdiam, tidak meresponi
Justin dan berdiri dari tempat duduk yang aku duduki.
“Hoho, tunggu dulu. Kau
benar-benar hamil?” tanya Justin mulai dengan nada pertanyaan yang penasaran.
Aku mengangguk. Ia menyipitkan matanya lalu berdiri dan berlari kecil ke arahku
lalu ia memegang perutku. Kemudian ia terjongkok di depan perutku.
“Oh, tidak! Aku bisa
merasakannya!” ucap Justin yang mulai mendekati telinganya pada perutku. Aku
ingin tertawa. Kenapa ia terlalu gugup saat aku bilang kalau aku hamil? Padahal
aku hanya bercanda. Tiba-tiba dia terjatuh dari jongkokkannya dan menutupnya
matanya. Ia pura-pura pingsan, lagi.
“Oh tidak! Ini mimpi buruk! Ini
mimpi buruk, aku tidak bisa bertangg—“
“Maksudmu apa Justin?” tanyaku
sebelum ia menyelesaikan kalimatnya yang sebenarnya aku akan tahu apa yang ia
bicarakan. Ia akan bilang bahwa ia tidak bertanggungjawab akan -ketidakbenaran-kehamilanku.
Aku tidak percaya kalau Justin akan berbicara seperti itu padaku.
“Well, tidak tapi ..aku tidak
bisa bertanggungjawab,” ucapnya dengan wajah tanpa dosa. Aku mengangguk. Aku
tahu ini hanya candaan yang kubuat tapi entah mengapa aku merasa begitu sakit
hati.
“Haha, Justin. Aku hanya
bercanda,” ucapku dengan cepat dan tertawa paksa. Kulihat matanya yang tadinya
membulat sekarang mulai normal sekali dan ia mendesah. Bagus. Tapi tiba-tiba ia
berdiri dan menatapku dengan tatapan dingin.
“Kau tahu apa? Aku benci
pembohong, kau pikir dengan candaanmu itu aku bisa tertawa? Tidak. Itu sama
saja kau membuatku ingin mati. Aku benar-benar jantungan. Aku tidak tahu
bagaimana perasaan para fansku nanti, dan aku harap kau tidak melakukan hal itu
lagi,” ucap Justin sambil mendorong tubuhku keluar dari kamar. Ih! Kenapa tiba-tiba
dia tidak bisa diajak bercanda?! Dasar labil!
****
1 bulan berlalu …
Waktu begitu cepat berlalu,
sekarang aku terlihat begitu segar daripada biasanya. Tapi akhir-akhir ini
Justin terlihat begitu menjauh lagi denganku. Dan sekarang ia terlihat begitu
berubah. Ia terlalu dekat dengan Carly. Dan bahkan aku pernah melihat mereka
berciuman di belakang bus. Dan aku tentu saja menangis. Hanya Kenny yang tahu
perasaanku pada Justin. Ia adalah penjaga rahasia terbaik di dunia ini. Setelah
aku bercerita pada Kenny tentang perasaanku pada Kenny, ia bilang bahwa aku
mencintai Justin. Dan memang, aku baru sadar sekarang. Tapi kenapa disaat aku
ingin begitu dekat dengan Justin, Justin malah menjauhiku?!Tapi aku hanya
bercanda saat itu. Aku bukan berbohong. Aku tahu ia benci pembohong, tapi apa
aku terlihat seperti pembohong? Aku bahkan hanya bercanda.
Dan sekarang, aku hanya bisa
melihat senyuman Justin disaat-saat ia sedang konser, bersama Carly atau Nicki
Minaj, atau berfoto dengan para fans-nya. Sedangkan jika ia sudah latihan
denganku, ia bahkan tidak tersenyum padaku. Ia terus diam dan hanya mengikuti
perintah-perintahku. Aku sedang menyendiri di dalam bus dan tidak menerima
tawaran Scooter untuk melihat Justin melalui benda canggih yang pernah aku beritahu
pada kalian semua. Aku sedang meratapi kesedihanku. Dan Justin sedang konser.
Air mataku terjatuh begitu saja
saat aku melihat para kru dan Justin sudah selesai konser. Begitu gelap di
dalam bus ini, dan mereka belum ingin masuk. Aku tidak tahu apa yang kru
bicarakan dengan Justin. Tapi tiba-tiba seorang penggemar Justin datang dari
belakang. Ia seorang anak kecil. Lucu sekali. Tentunya bersama seorang ibu.
Anak kecil itu meminta ibunya untuk mengambil gambarnya bersama Justin. Dengan
manisnya, Justin menerima permintaan anak kecil itu. Aku memegang perutku
dengan pelan. Aku merasa tidak enak badan sekarang.
“Heyo! Werooo!” teriak Kenny
tiba-tiba masuk ke dalam bus. Ia langsung menyalakan lampu bus dan menatapku.
Aku menghapus air mataku dengan cepat. Ia yang tadinya tersenyum, sekarang
tidak tersenyum.
“Wero, kau kenapa?” tanya Kenny
duduk di sebelahku. Aku menggelengkan kepalaku.
“Uh, perutku hanya sakit. Aku
tidak bisa menahannya, jadi aku hanya kesakitan. Dan mengeluarkan air mata,
begitu saja,” ucapku berbohong. Aku tidak ingin jujur dengan Kenny sekarang
karena keadaan yang kurang mendukung. Banyak kru yang sudah masuk ke dalam bus
sekarang. Kenny menganggukkan kepalanya dan terlihat dari wajahnya ia berat
hati untuk meninggalkanku. Ia harus turun lagi dan menyimpan barang-barang.
----
“Carly,” ucap Justin saat aku
sedang membuat sebuah kopi di dalam bus ini. Semua kru sudah pada tertidur,
apalagi Nicki. Ia yang paling pertama tidur. Justin dan Carly duduk berdua di
depan kursiku. Aku melihatnya dari depan bus, tentu saja. Aku membuat kopi di
dekat kamar Justin.
“Apa?” tanya Carly dengan suara
yang begitu kecil. Terlihat ia –Carly- tertawa kecil dengan imutnya. Dengan
pelan aku menyeduh kopi ini. Bus ini daritadi bergoyang-goyang, jadi aku harus
pelan mengaduk kopiku. Airnya masih panas. Tiba-tiba saja Justin mencium bibir
Carly tanpa permisi. Aku menatap mereka dengan mata yang sudah berair. Terlihat
mereka begitu meresapi ciuman mereka. Berbeda denganku. Dan, huh! AH! Astaga!
Tuhanku! Ini sungguh, AH! Bus baru saja melewati polisi tidur. Kopiku tertumpah
dan mengenai kakiku. Ryan yang duduk paling depan terbangun dari tidurnya dan
menatapku yang sudah terjatuh. Kakiku memerah. Aku menangis. Ini sungguh panas
dan sakit.
“Biar aku bantu,” ucap Ryan
berusaha untuk membangunkanku. Aku menggelengkan kepalaku. Aku tidak kuat untuk
berdiri. Ini sungguh perih dan sakit.
“Angh! Angh, hiks ..Ini sungguh
sakit, Ryan,” ucapku menangis. Aku memegang tangan Ryan dengan erat. Ia
menggendongku dan membawaku masuk ke dalam kamar Justin. Astaga! Kupejamkan
mataku.
“Ryan? Apa yang kaulakukan? Itu
kamarku! Kau tidak berhak untuk membawanya masuk!” ucap Justin berteriak. Ryan
terus membawaku masuk ke dalam Justin dan membaringkan tubuhku dengan pelan.
Air mataku semakin menderas saat aku mendengar perkataan Justin.
“Apa kau buta? Kakinya sedang
sakit! Astaga! Ke mana hati nurani Justin Bieber yang dulu?! Huh?” teriak Ryan
yang membuat para kru terbangun. Justin terdiam kemudian Ryan langsung menutup
pintu kamar Justin melihat kakiku dengan tatapan kasihan. Aku benar-benar
berhutang budi terhadap Ryan. Dia begitu baik padaku.
****
“Astaga, maafkan Justin,” ucap
ibu Justin yang melihatku sedang terbaring lemah di atas kasur Justin. Ini
sudah tengah malam. Kakiku melepuh dan tidak bisa berjalan. Suaraku telah habis
setelah tadi aku berteriak-teriak kesakitan saat ibu Justin mencoba untuk
memperbankan kakiku. Aku hanya
dapat menganggukkan kepalaku. Ibu Justin menyentuh keningku dengan lembutnya.
“Badanmu panas, wajahmu terlihat
begitu pucat. Kau kenapa?” tanyanya dengan suara yang lembut. Aku stress karena
Justin. Dia yang sudah membuat diriku menjadi seperti ini setelah ia
memperlakukanku secara tidak wajar.
“Mom, aku tidak ingin dia ada di
kamarku,” ucap Justin yang tiba-tiba masuk dan menatapku dengan tatapan dingin.
Aku menatapnya dan berusaha untuk menahan air mataku yang sebentar lagi akan
menetes. Aku mengangguk saat ibu Justin ingin menahan Justin untuk tidak
bersikap kasar.
“Tidak apa, aku lebih suka tidur
diluar,” ucapku lagi. Aku berusaha untuk tidak merasakan perihnya kakiku ini
dan sekaligus hatiku.
****
“Tidak, Justin, bukan seperti
itu!” geramku saat aku berusaha untuk mengajarkan vokal tapi ia terus
tertawa-tawa dengan Carly yang berada di sebelahnya. Scooter memintaku untuk
mengajari Carly juga dan gajiku akan ditambah.
“Hei, santai. Kau kenapa
memangnya? Dari kemarin sampai sekarang kau terus memarahi kami, kau kenapa?”
tanya Justin sewot. Aku ingin sekali menampar wajah Justin. Aku ingin menangis
dan berteriak tepat di wajahnya. Betapa cemburunya diriku saat melihatnya
berciuman bersama Carly.
“Justin, aku ingin berhenti,”
ucapku spontan. Aku tidak kuat lagi, sudah hampir 1 bulan ia mengabaikanku dan
terus bermain-main jika latihan bersama Carly. Aku berdiri dari tempat dudukku
dan berusaha untuk menahan sakit dari kaki. Tawaan Justin terhenti begitu saja
saat aku berdiri.
“Kenapa? Kau tidak bisa melakukan
ini. Kau tahu kan, kalau kau sudah dikontrak selama 2 tahun ke depan?” ucap
Justin masih dengan candaan.Aku memutarkan kedua bola mataku dan berjalan
keluar dari ruangan ini dengan kaki yang sebelah pincang. Ini benar-benar
sakit.
Aku langsung menutup pintu
ruangan di dalam bus ini sambil mencari-cari di mana Scooter. Kulihat Scooter
sedang asyik tertidur dengan lelap. Aku tidak mau tahu, aku ingin berhenti. Ini
memang terdengar kekanak-kanakkan tapi aku sungguh tidak kuat. Aku akan bicara
padanya setelah perhentian Bus berikutnya. Aku bosan, lelah dan muak. Aku sudah
diperawani, dicueki, diejek, tidak dihargai, kurang sabar apa aku? Aku ingin
berhenti dan itu harus. Tidak ada yang bisa menghentikanku kecuali Justin
merubah sikapnya. Aku berjalan menuju kursi belakang di mana tempat itu selalu
kosong, tidak ada yang ingin duduk di sana karena para kru tahu kalau itu
adalah tempatku.
“Kenapa kau pucat sekali?” tanya
Nicki tiba-tiba saat aku melewatinya. Aku menggelengkan kepalaku dan duduk
dengan santainya sambil menahan rasa sakit kakiku. Kulihat Justin keluar dari
kamarnya dan melihatku dengan tatapan Aku Benci Kau. Aku sayang Justin, bahkan
aku mencintai Justin. Tapi sia-sia juga bukan kalau ia bahkan tidak mencintaiku?!
Aku memejamkan mataku dan
berharap bus ini akan segera berhenti.
****
“Angh! Angh! Astaga! Kau,
Pelacur! Son of a Bitch!” teriakku dengan kata-kata kotor saat Nicki menginjak
kakiku yang melepuh. Padahal aku sedang santai –menyandarkan tubuhku pada bus.
Kami berhenti di sebuah pantai, kita sudah berada di Hollywood. Aku terjatuh dan berusaha untuk menahan rasa
sakit ini. Setan! Ia tidak meminta maaf. Air mataku mengalir karena sangking
sakitnya kakiku ini.
“Jangan cengeng,” ucap Justin
padaku dan menggendongku tiba-tiba. Aku ingin mencekik Justin sekarang.
Bagaimana aku tidak menangis sedangkan yang menginjak kakiku sedang memakai
sepatu hak tinggi. Justin langsung membawaku masuk ke dalam bus lagi dan aku
tidak mau masuk lagi karena tidak ada orang di dalam bus ini. Aku tidak mau
jika hanya aku dan Justin berada di dalam bus ini.
BRUK! Justin menjatuhkanku di
atas kasurnya dan melipatkan kedua tangannya di depan dadanya sambil dagunya
terangkat naik. Itu terlihat sombong. Aku masih mengeluarkan air mataku sambil
meringis kesakitan. Tiba-tiba Justin menarik sepatu Converse warna putihku
dengan kasar. Punggungku langsung melengking ke atas karena sakit sekali. Aku
pikir ia akan meminta maaf.
“Kau, hiks .. Itu sakit sekali,”
ucapku menangis. Aku masih pada posisiku. Melengking. Tiba-tiba Justin
mendorong dadaku ke bawah sehingga aku kembali tertidur. Dan kembali Justin
berada di atas tubuhku dan melihati wajahku. Aku masih menangis.
“Kau tahu apa? Itu sama sakitnya
saat kau membohongiku. Kau tahu, aku hampir jantungan saat kau bilang kau itu
hamil. Aku tidak tahu bagaimana nanti keadaan para Beliebers-ku di sana. Aku
lebih mencintai mereka dibanding dirimu,” ucap Justin yang membuat hatiku sakit
sekali.
“Aku bahkan tidak mau
mempertanggungjawabkan kehamilanmu itu jika kau benar-benar hamil, dan aku
yakin itu tidak mungkin,” ucap Justin lagi. Kemudian ia melengos pergi dari
hadapanku. Air mataku benar-benar menderas sekarang. Tanganku tak bisa
kugerakkan sangking lemasnya diriku karena menangis. Mengangkat kepalaku saja
aku tidak bisa.
***
“Scoot, aku ingin berhenti,” ucapku
dengan suara yang kecil saat Scooter sedang menikmati secangkir teh di dalam
bus. Bus ini berjalan kembali untuk sampai di hotel setelah tadi kami berhenti
di Pantai. Ia langsung menyemburkan teh yang ia minum ke arah bajuku sehingga
bajuku basah. Tidak apa-apa. Aku duduk di sebelahnya.
“Kenapa?” tanya Scooter dengan
suara yang kecil juga. Aku menggelengkan kepalaku. Aku tidak sanggup untuk
mengatakan ini tapi rasanya aku harus melakukan ini daripada aku harus menangis
setiap hari. Tidak baik untuk tenggorokkanku jika aku terbatuk-batuk saat
menangis.
“Karena Justin tidak serius jika
ia latihan bersama Carly,” ucapku lagi. Ia menggelengkan kepalanya dan terlihat
dari raut wajahnya kalau ia tidak setuju.
“Aku sudah mengontrakmu selama 2
tahun. Dan kau tidak bisa berhenti, aku janji. Aku janji, Justin tidak akan
bermain-main bersama Carly lagi. Karena kurasa kau memang tidak cocok untuk
menjadi guru vokal Carly,” ucap Scooter tersenyum. Baiklah, kali ini aku
terima.
Aku menganggukkan kepalaku sambil
berdiri dari kursi dan berjalan menuju kursi belakangku. Aku duduk bersebelahan
dengan Kenny. Si Hitam Baik Hati. Well, hhh ..Aku tidak hamil. Aku baru saja
mengalami menstruasi. Kemudian, kujatuhkan bokongku di kursi dekat jendela dan
menyandarkan kepalaku pada pundak Kenny. Aku mulai bosan dengan keadaan ini.
Justin sudah benar-benar menjauhiku, ia sudah tidak suka bercanda denganku,
mengobrol denganku, bahkan para kru selalu bertanya padaku atau Justin mengapa
kita tidak sedekat yang lalu-lalu. Aku hanya memberikan mereka senyuman karena
tidak tahu harus menjawab apa.
****
Aku ingin sekali berhenti dari
pekerjaan ini. Aku benar-benar tidak kuat. Bukan karena Justin. Tapi karena
Alfredo yang kurang ajar. Aku sungguh trauma akan kejadian ini. Di mana Alfredo
dengan teganya memperkosa diriku di dalam kamar Justin. Kamar Justin yang
berada di bus. Dan hebatnya, saat itu Justin dan para kru sedang mengadakan
konser dan seperti biasa aku tidak ingin melihatnya. Aku terus menekukkan
lututku di atas kursi bus dan menatap jari-jari tanganku. Aku tidak bisa
membayangkan bagaimana jika aku hamil. Alfredo memperkosaku saat aku sedang
subur-suburnya. Aku sungguh khawatir jika aku benar-benar hamil. Dan aku tidak
mau terjadi itu. Ini sudah kedua kalinya sperma masuk ke dalam tubuhku. Aku
ingin muntah sekarang jika aku mengingat kejadian itu. Aku sebenarnya ingin
memberitahu Scooter, tapi aku sungguh kasihan dengan Alfredo. Perasaan ibaku
mengalahkan segalanya. Ia bilang, jika ia dipecat oleh Scooter, ia tidak dapat
menafkai keluarganya. Aku juga seperti itu. Aku menafkai keluargaku. Orangtuaku
yang berada di rehabilitas.
Bus ini terus berjalan dan
sesekali Alfredo melihatiku dari jarak jauh. Ia begitu khawatir kalau aku akan
mengadukannya pada Scooter.
“Wero,” ucap Justin memanggilku,
aku menoleh ke arah Justin yang berdiri di depan pintu kamarnya. “Kemarilah,”
ucap Justin lagi. Dengan malas, aku berdiri dari tempat dudukku dan menghampiri
Justin.
Justin menutup pintu kamarnya dan
aku terduduk di atas kasurnya. Ia menatap tubuhku dari bawah hingga atas. Aku
rindu dengan tatapannya yang seperti ini. Seperti tatapan menggoda, tapi dalam
hal yang positif. Kemudian dia melipat tangannya di depan dadanya.
“Aku tahu masalahmu,” ucap
Justin. Aku memberikan wajah tampak bingung padanya, dan lalu ia menyunggingkan
sebuah senyuman sombong.
“Kau dan Alfredo, bercinta, dan
kau sedang mengalami masa subur. Apa benar?” tanya Justin dengan nada yang
mengejek. Aku tidak tahu harus menjawab apa dan lalu Justin tertawa senang. Aku
semakin bingung dan sekaligus takut. Ia memiliki mulut yang ember.
“Aku sungguh senang mendengar
itu, jika kau hamil, itu semua bukan salahku. Dan lagipula ini sudah lebih dari
1 bulan, dan kau tidak dikabarkan hamil,” ucap Justin dengan senyuman yang
sumringah.
Hatiku tersengat. Rasanya seperti
terpukul oleh tinjuan dari seorang petinju terkuat. Aku seperti dilecehkan
sekarang. Maksudku, kenapa ia begitu yakin kalau aku hamil?! Kenapa ia begitu
senang? Air mataku mulai membendung dan berusaha agar air mata itu tidak
keluar.
“Kau menangis?” tanya Justin,
“Sudah seharusnya, kau pasti menyesal,” ucap Justin lagi. Aku menggelengkan
kepalaku dan lalu berusaha untuk berdiri dari dudukku meski lututku benar-benar
bergetar. Aku merasa diinjak-injak oleh seorang Justin Bieber yang sekarang
telah sombong dengan pelatih vokalnya.
“Kau tahu Justin? Aku bahkan
tidak tahu kenapa kau tiba-tiba bersikap kasar padaku. Tapi asal kau tahu, aku
cukup sabar. Mulai dari sikap kekanak-kanakkanmu, sikap labilmu, ejekan-ejekkan
darimu, rengekkanmu, semuanya! Bahkan kau orang yang memerawaniku, dan aku tidak
sama sekali marah padamu! Dan aku sabar. Jadi tolong Justin, hargai aku,” ucap
dengan nada yang tegas namun rasanya aku ingin menangis. Justin tertegun dan
terdiam.
*****
Aku terus menatap seorang lelaki
dengan paras yang tampan dan memiliki rambut yang bergelombang. Aku benar-benar
mengaguminya, tapi tetap saja Justin tak terkalahkan ketampanannya oleh
siapapun. Itu menurutku. Harry. Harry Styles. Seorang lelaki Britain yang
datang jauh-jauh dari Inggris dan datang ke konser Justin hanya untuk
berkolaborasi dengan Justin dalam lagu Catching Feelings. Well, One Direction
lebih tepatnya yang akan berkolaborasi dengan Justin. Dan aku telah mengajari
mereka. Sebenarnya, Justin meminta untuk berkolaborasi dengan lagu Maria. Tapi
sungguh tidak cocok. Karena jika Catching Feelings, mereka bisa membagi suara
menjadi 3 suara. Maksudku, seperti paduan suara di Gereja tapi versi lagu
cinta.
Dan sekarang, beberapa kru
dipindahkan di bus yang lain karena One Direction akan naik satu bus dengan
Justin. Aku menekuk kedua kakiku dan melingkarkannya dengan kedua tanganku. Dan
mengalihkan pandanganku ke arah jalan raya setelah Harry melihatku dan
tersenyum. Aku malu sekali. Kenny menyentuh pundakku dan mengusap-usapkannya
dengan lembut.
Sebentar lagi Bus ini akan
berhenti setelah tadi 2 bus (yang satunya adalah bus ini) habis dari Bandara
Internasional. Dan sekarang berjalan menuju California untuk konser lagi. Aku
rindu dengan orangtuaku sekarang. Apa yang mereka lakukan sekarang?
****
Aku menaruh koper Justin di
kamarnya dan melihat Kenny yang ingin keluar dari kamar Justin setelah tadi
Kenny lebih dulu masuk. Kemudian dia tersenyum padaku dan menutup pintu kamar
Justin. Aku hanya menganggukkan kepalaku lalu terduduk di tempat tidur.
Kemudian, aku membaringkan tubuhku dan memejamkan mataku. Tiba-tiba aku
mengingat kejadian saat Justin memerawaniku. Itu sungguh perih. Pintu kamar
Justin terbuka dan aku melihat Justin yang tertawa-tawa saat masuk. Ini
benar-benar sama seperti kejadian dulu. Tawaannya terhenti saat ia melihatku.
Dan langsung saja ia duduk di sebelah dan tumben ia tidak mengusirku. Biasanya
ia kesal jika ia menemukanku di dalam kamarnya.
“Hei, aku mau tanya sesuatu,”
tanya Justin dengan nada bicara yang ..lembut?! Oh jangan bergurau, ini sebenarnya
tidak sama sekali lucu. Aku mulai terduduk.
“Tentang?”
“Tentang dirimu dan Alfredo,”
ucap Justin yang membuat tersentak. Kupikir ia tidak ingin membicarakannya
lagi. Maksudku, bukannya ia sudah senang karena aku akan hamil (Meski menurutku
tidak) anak dari Alfredo?! Aku
memberikan wajah bingung.
“Well, Bubu,” ucap Justin yang
mulai memanggilku dengan panggilan ‘Bubu’. “Aku benar-benar tidak terima jika
Alfredo menghamilimu. Aku menyayangimu,” ucap Justin langsung memeluk tubuhku
dengan erat. Ini adalah ..mujizat! Aku membalas pelukan Justin dengan penuh
perasaan. Hatiku melompat di dadaku dan tersenyum dengan senang. Tapi lama
kelamaan, Justin menciumi pundakku. Perasaanku mulai tidak enak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar