Minggu, 22 Desember 2013

Cerpen: Mr.Bieber Sucks Part 3



****

“Hei, Justin,” sapa Carly tiba-tiba saat aku dan Justin baru saja ingin keluar dari bus. Aku yang berada di depan Justin langsung turun dari bus sedangkan Justin langsung meladeni Carly. Aku menghampiri Kenny yang seperti biasa mengambil koper milik Justin.Well, ini dia Cheyenne. Di sini dingin sekali dan aku tidak memakai jaket. Aku mengambil koper berwarna ungu dengan tulisan ‘Bieber’ di sana. Kemudian, aku menariknya untuk masuk ke dalam hotel. Kakiku bergemetar saat aku melewati air mancur yang besar. Angin yang dihasilkan air yang jatuh ini begitu membuatku mati kedinginan.

“Ini,” ucap Justin yang tiba-tiba saja menaruh sebuah handuk di tubuhku. Aku ingin mati sekarang. Kenapa Justin begitu bodoh Tuhan? Aku tidak berniat untuk mengucapkan kata ‘bodoh’ tapi karena Justin memang seperti itu. Aku langsung membuat handuk yang sudah BASAH itu ke segala tempat. Dia ingin aku tambah kedinginan mungkin. Dan sakit.

“Kenapa kau buang?” tanya Justin dengan nada tanpa rasa bersalah. Aku berhenti melangkah, begitu juga dengan Justin. Aku menatapnya dengan mata yang jenuh. Kubuang nafasku pelan.

“Justin, apa kau tidak bisa merasakan kedinginan di tempat ini? Kau memberiku handuk yang sudah basah. Kau bayangkan betapa dinginnya handuk yang basah. Astaga Justin. Aku bisa mati jika aku terus menerus bekerja denganmu,” ucapku mulai berjalan dan memukul keningku. Justin tertawa pelan. Tidak ada yang lucu di sini. Kemudian Justin berhenti tertawa dan tiba-tiba dia menarik koper miliknya untuk yang pertama kalinya. Astaga. Ini keajaiban.


-----

“Ini seperti ini,” ucap Justin pada Nicki Minaj saat mereka sedang berdansa. Maksudku, apa yang sekarang mereka lakukan? Berdansa? Astaga! Aku baru ingat kalau Justin sedang menggodanya. Aku yang terduduk di kursi kamar Justin hanya menatap mereka berdua dengan jenuh sedangkan mereka tertawa-tawa tak jelas. Justin daritadi mengambil kesempatan dalam kesempitan. Sesekali ia memegang bokong Nicki dan itu ..aku ingin membunuhnya.
Kulihat Justin memegang pinggan Nicki yang begitu kecil dan perutnya yang rata membuat aku agak iri dengan tubuhnya. Bagaimana bisa seorang perempuan memiliki pinggang yang ramping tapi dibagian dada dan bokong bisa besar dan padat? Well, aku tidak tahu dan aku tidak mau tahu juga.

“Oh, oh! Astaga, ooh! Justin!!” jerit Nicki saat Justin menjatuhi tubuh Nicki di atas kasur dan ia berada di atas tubuh Nicki. Sama seperti saat ia ingin menciumku saat itu. Aku tidak suka melihat ini. Aku benar-benar tidak suka ini. Aku merasa perasaanku ..uh ada yang mengganjal. Mmh, astaga! Aku merasa mual. Dengan cepat aku berdiri dari kursi dan langsung keluar dari kamar Justin.


Mmh, astaga! Ini mungkin karena daritadi pagi aku belum makan. Dan aku yakin maag-ku kambuh. Perutku sakit sekali. Aku masuk ke dalam kamarku dan langsung melangkahkan kakiku menuju kamar mandi. Kubuka penutup kloset dan mengeluarkan semua yang berada di perutku. Dan tidak ada yang keluar.

“Bubu?” panggil Justin yang tiba-tiba saja masuk ke dalam kamarku. Dan kulihat kepalanya muncul dari balik pintu kamar mandiku. Matanya langsung membulat saat melihatku.

“Astaga, bubu! Aku-aku ..Oh My GOD! Astaga! Tuhan! Kau hamil? Bilang kalau kau tidak hamil Bubu! Tidak! Tidak!!” teriak Justin dengan histeris. Bodoh! Tolol dan Idiot! Kenapa ia berteriak sebegitu kencangnya? Bisa-bisa teriakkannya didengar oleh banyak orang. Justin meremas rambutnya sambil kulihat ia susah menelan ludahnya. Aku yang terjongkok langsung berdiri dan mendorong tubuh Justin untuk mengeluarkan Justin dari kamarku.

“Aku tidak hamil! Tapi apa kau bisa mengecilkan volume suaramu? Kau ingin semuanya tahu tentang ini? Astaga! Aku benar-benar takut karena tingkahmu yang seperti ini dan semua orang akan tahu,” ucapku dengan suara yang kecil tapi diakhiran kalimatnya begitu besar.

Aku menggelengkan kepalaku karena aku benar-benar jantungan sekarang.

“Oh, yeah. Aku minta maaf soal itu, tapi apa kau yakin kalau kau tidak hamil?” tanya Justin lagi. Aku hanya mengangguk dengan rasa penuh kesabaran. Justin menghelakan nafasnya. Jadi, bagaimana jika aku hamil? Apa dia akan bertanggungjawab? Aku tidak hamil saja dia sudah was-was seperti ini.



****

“Just, aku hamil,” ucapku pada Justin saat ia sedang bermain dengan ponselnya. Ia yang sedang tersenyum-senyum di tempat tidurnya itu langsung menatapku dengan tatapan ‘Astaga!’ dan kemudian berubah menjadi tatapan seperti psikopat yang terkejut. Ia tertawa sejenak lalu ia terduduk.

“Aku tidak akan berbohong padamu, tapi sungguh itu tidak lucu,” ucap Justin mematikan ponselnya dan menatapku dengan tatapan serius. Aku menggelengkan kepalaku. Aku hanya ingin tahu reaksi Justin. Aku sebenarnya tidak ingin melakukan ini, tapi siapa tahu kan? Ini hanya untuk persiapan.
Aku terdiam, tidak meresponi Justin dan berdiri dari tempat duduk yang aku duduki.

“Hoho, tunggu dulu. Kau benar-benar hamil?” tanya Justin mulai dengan nada pertanyaan yang penasaran. Aku mengangguk. Ia menyipitkan matanya lalu berdiri dan berlari kecil ke arahku lalu ia memegang perutku. Kemudian ia terjongkok di depan perutku.

“Oh, tidak! Aku bisa merasakannya!” ucap Justin yang mulai mendekati telinganya pada perutku. Aku ingin tertawa. Kenapa ia terlalu gugup saat aku bilang kalau aku hamil? Padahal aku hanya bercanda. Tiba-tiba dia terjatuh dari jongkokkannya dan menutupnya matanya. Ia pura-pura pingsan, lagi.

“Oh tidak! Ini mimpi buruk! Ini mimpi buruk, aku tidak bisa bertangg—“

“Maksudmu apa Justin?” tanyaku sebelum ia menyelesaikan kalimatnya yang sebenarnya aku akan tahu apa yang ia bicarakan. Ia akan bilang bahwa ia tidak bertanggungjawab akan -ketidakbenaran-kehamilanku. Aku tidak percaya kalau Justin akan berbicara seperti itu padaku.

“Well, tidak tapi ..aku tidak bisa bertanggungjawab,” ucapnya dengan wajah tanpa dosa. Aku mengangguk. Aku tahu ini hanya candaan yang kubuat tapi entah mengapa aku merasa begitu sakit hati.

“Haha, Justin. Aku hanya bercanda,” ucapku dengan cepat dan tertawa paksa. Kulihat matanya yang tadinya membulat sekarang mulai normal sekali dan ia mendesah. Bagus. Tapi tiba-tiba ia berdiri dan menatapku dengan tatapan dingin.

“Kau tahu apa? Aku benci pembohong, kau pikir dengan candaanmu itu aku bisa tertawa? Tidak. Itu sama saja kau membuatku ingin mati. Aku benar-benar jantungan. Aku tidak tahu bagaimana perasaan para fansku nanti, dan aku harap kau tidak melakukan hal itu lagi,” ucap Justin sambil mendorong tubuhku keluar dari kamar. Ih! Kenapa tiba-tiba dia tidak bisa diajak bercanda?! Dasar labil!


****

1 bulan berlalu …

Waktu begitu cepat berlalu, sekarang aku terlihat begitu segar daripada biasanya. Tapi akhir-akhir ini Justin terlihat begitu menjauh lagi denganku. Dan sekarang ia terlihat begitu berubah. Ia terlalu dekat dengan Carly. Dan bahkan aku pernah melihat mereka berciuman di belakang bus. Dan aku tentu saja menangis. Hanya Kenny yang tahu perasaanku pada Justin. Ia adalah penjaga rahasia terbaik di dunia ini. Setelah aku bercerita pada Kenny tentang perasaanku pada Kenny, ia bilang bahwa aku mencintai Justin. Dan memang, aku baru sadar sekarang. Tapi kenapa disaat aku ingin begitu dekat dengan Justin, Justin malah menjauhiku?!Tapi aku hanya bercanda saat itu. Aku bukan berbohong. Aku tahu ia benci pembohong, tapi apa aku terlihat seperti pembohong? Aku bahkan hanya bercanda.

Dan sekarang, aku hanya bisa melihat senyuman Justin disaat-saat ia sedang konser, bersama Carly atau Nicki Minaj, atau berfoto dengan para fans-nya. Sedangkan jika ia sudah latihan denganku, ia bahkan tidak tersenyum padaku. Ia terus diam dan hanya mengikuti perintah-perintahku. Aku sedang menyendiri di dalam bus dan tidak menerima tawaran Scooter untuk melihat Justin melalui benda canggih yang pernah aku beritahu pada kalian semua. Aku sedang meratapi kesedihanku. Dan Justin sedang konser.

Air mataku terjatuh begitu saja saat aku melihat para kru dan Justin sudah selesai konser. Begitu gelap di dalam bus ini, dan mereka belum ingin masuk. Aku tidak tahu apa yang kru bicarakan dengan Justin. Tapi tiba-tiba seorang penggemar Justin datang dari belakang. Ia seorang anak kecil. Lucu sekali. Tentunya bersama seorang ibu. Anak kecil itu meminta ibunya untuk mengambil gambarnya bersama Justin. Dengan manisnya, Justin menerima permintaan anak kecil itu. Aku memegang perutku dengan pelan. Aku merasa tidak enak badan sekarang.

“Heyo! Werooo!” teriak Kenny tiba-tiba masuk ke dalam bus. Ia langsung menyalakan lampu bus dan menatapku. Aku menghapus air mataku dengan cepat. Ia yang tadinya tersenyum, sekarang tidak tersenyum.

“Wero, kau kenapa?” tanya Kenny duduk di sebelahku. Aku menggelengkan kepalaku.

“Uh, perutku hanya sakit. Aku tidak bisa menahannya, jadi aku hanya kesakitan. Dan mengeluarkan air mata, begitu saja,” ucapku berbohong. Aku tidak ingin jujur dengan Kenny sekarang karena keadaan yang kurang mendukung. Banyak kru yang sudah masuk ke dalam bus sekarang. Kenny menganggukkan kepalanya dan terlihat dari wajahnya ia berat hati untuk meninggalkanku. Ia harus turun lagi dan menyimpan barang-barang.


----

“Carly,” ucap Justin saat aku sedang membuat sebuah kopi di dalam bus ini. Semua kru sudah pada tertidur, apalagi Nicki. Ia yang paling pertama tidur. Justin dan Carly duduk berdua di depan kursiku. Aku melihatnya dari depan bus, tentu saja. Aku membuat kopi di dekat kamar Justin.

“Apa?” tanya Carly dengan suara yang begitu kecil. Terlihat ia –Carly- tertawa kecil dengan imutnya. Dengan pelan aku menyeduh kopi ini. Bus ini daritadi bergoyang-goyang, jadi aku harus pelan mengaduk kopiku. Airnya masih panas. Tiba-tiba saja Justin mencium bibir Carly tanpa permisi. Aku menatap mereka dengan mata yang sudah berair. Terlihat mereka begitu meresapi ciuman mereka. Berbeda denganku. Dan, huh! AH! Astaga! Tuhanku! Ini sungguh, AH! Bus baru saja melewati polisi tidur. Kopiku tertumpah dan mengenai kakiku. Ryan yang duduk paling depan terbangun dari tidurnya dan menatapku yang sudah terjatuh. Kakiku memerah. Aku menangis. Ini sungguh panas dan sakit.

“Biar aku bantu,” ucap Ryan berusaha untuk membangunkanku. Aku menggelengkan kepalaku. Aku tidak kuat untuk berdiri. Ini sungguh perih dan sakit.

“Angh! Angh, hiks ..Ini sungguh sakit, Ryan,” ucapku menangis. Aku memegang tangan Ryan dengan erat. Ia menggendongku dan membawaku masuk ke dalam kamar Justin. Astaga! Kupejamkan mataku.

“Ryan? Apa yang kaulakukan? Itu kamarku! Kau tidak berhak untuk membawanya masuk!” ucap Justin berteriak. Ryan terus membawaku masuk ke dalam Justin dan membaringkan tubuhku dengan pelan. Air mataku semakin menderas saat aku mendengar perkataan Justin.

“Apa kau buta? Kakinya sedang sakit! Astaga! Ke mana hati nurani Justin Bieber yang dulu?! Huh?” teriak Ryan yang membuat para kru terbangun. Justin terdiam kemudian Ryan langsung menutup pintu kamar Justin melihat kakiku dengan tatapan kasihan. Aku benar-benar berhutang budi terhadap Ryan. Dia begitu baik padaku.


****

“Astaga, maafkan Justin,” ucap ibu Justin yang melihatku sedang terbaring lemah di atas kasur Justin. Ini sudah tengah malam. Kakiku melepuh dan tidak bisa berjalan. Suaraku telah habis setelah tadi aku berteriak-teriak kesakitan saat ibu Justin mencoba untuk memperbankan kakiku.            Aku hanya dapat menganggukkan kepalaku. Ibu Justin menyentuh keningku dengan lembutnya.

“Badanmu panas, wajahmu terlihat begitu pucat. Kau kenapa?” tanyanya dengan suara yang lembut. Aku stress karena Justin. Dia yang sudah membuat diriku menjadi seperti ini setelah ia memperlakukanku secara tidak wajar.

“Mom, aku tidak ingin dia ada di kamarku,” ucap Justin yang tiba-tiba masuk dan menatapku dengan tatapan dingin. Aku menatapnya dan berusaha untuk menahan air mataku yang sebentar lagi akan menetes. Aku mengangguk saat ibu Justin ingin menahan Justin untuk tidak bersikap kasar.

“Tidak apa, aku lebih suka tidur diluar,” ucapku lagi. Aku berusaha untuk tidak merasakan perihnya kakiku ini dan sekaligus hatiku.


****

“Tidak, Justin, bukan seperti itu!” geramku saat aku berusaha untuk mengajarkan vokal tapi ia terus tertawa-tawa dengan Carly yang berada di sebelahnya. Scooter memintaku untuk mengajari Carly juga dan gajiku akan ditambah.

“Hei, santai. Kau kenapa memangnya? Dari kemarin sampai sekarang kau terus memarahi kami, kau kenapa?” tanya Justin sewot. Aku ingin sekali menampar wajah Justin. Aku ingin menangis dan berteriak tepat di wajahnya. Betapa cemburunya diriku saat melihatnya berciuman bersama Carly.

“Justin, aku ingin berhenti,” ucapku spontan. Aku tidak kuat lagi, sudah hampir 1 bulan ia mengabaikanku dan terus bermain-main jika latihan bersama Carly. Aku berdiri dari tempat dudukku dan berusaha untuk menahan sakit dari kaki. Tawaan Justin terhenti begitu saja saat aku berdiri.

“Kenapa? Kau tidak bisa melakukan ini. Kau tahu kan, kalau kau sudah dikontrak selama 2 tahun ke depan?” ucap Justin masih dengan candaan.Aku memutarkan kedua bola mataku dan berjalan keluar dari ruangan ini dengan kaki yang sebelah pincang. Ini benar-benar sakit.

Aku langsung menutup pintu ruangan di dalam bus ini sambil mencari-cari di mana Scooter. Kulihat Scooter sedang asyik tertidur dengan lelap. Aku tidak mau tahu, aku ingin berhenti. Ini memang terdengar kekanak-kanakkan tapi aku sungguh tidak kuat. Aku akan bicara padanya setelah perhentian Bus berikutnya. Aku bosan, lelah dan muak. Aku sudah diperawani, dicueki, diejek, tidak dihargai, kurang sabar apa aku? Aku ingin berhenti dan itu harus. Tidak ada yang bisa menghentikanku kecuali Justin merubah sikapnya. Aku berjalan menuju kursi belakang di mana tempat itu selalu kosong, tidak ada yang ingin duduk di sana karena para kru tahu kalau itu adalah tempatku.

“Kenapa kau pucat sekali?” tanya Nicki tiba-tiba saat aku melewatinya. Aku menggelengkan kepalaku dan duduk dengan santainya sambil menahan rasa sakit kakiku. Kulihat Justin keluar dari kamarnya dan melihatku dengan tatapan Aku Benci Kau. Aku sayang Justin, bahkan aku mencintai Justin. Tapi sia-sia juga bukan kalau ia bahkan tidak mencintaiku?!

Aku memejamkan mataku dan berharap bus ini akan segera berhenti.


****

“Angh! Angh! Astaga! Kau, Pelacur! Son of a Bitch!” teriakku dengan kata-kata kotor saat Nicki menginjak kakiku yang melepuh. Padahal aku sedang santai –menyandarkan tubuhku pada bus. Kami berhenti di sebuah pantai, kita sudah berada di Hollywood.  Aku terjatuh dan berusaha untuk menahan rasa sakit ini. Setan! Ia tidak meminta maaf. Air mataku mengalir karena sangking sakitnya kakiku ini.

“Jangan cengeng,” ucap Justin padaku dan menggendongku tiba-tiba. Aku ingin mencekik Justin sekarang. Bagaimana aku tidak menangis sedangkan yang menginjak kakiku sedang memakai sepatu hak tinggi. Justin langsung membawaku masuk ke dalam bus lagi dan aku tidak mau masuk lagi karena tidak ada orang di dalam bus ini. Aku tidak mau jika hanya aku dan Justin berada di dalam bus ini.

BRUK! Justin menjatuhkanku di atas kasurnya dan melipatkan kedua tangannya di depan dadanya sambil dagunya terangkat naik. Itu terlihat sombong. Aku masih mengeluarkan air mataku sambil meringis kesakitan. Tiba-tiba Justin menarik sepatu Converse warna putihku dengan kasar. Punggungku langsung melengking ke atas karena sakit sekali. Aku pikir ia akan meminta maaf.

“Kau, hiks .. Itu sakit sekali,” ucapku menangis. Aku masih pada posisiku. Melengking. Tiba-tiba Justin mendorong dadaku ke bawah sehingga aku kembali tertidur. Dan kembali Justin berada di atas tubuhku dan melihati wajahku. Aku masih menangis.

“Kau tahu apa? Itu sama sakitnya saat kau membohongiku. Kau tahu, aku hampir jantungan saat kau bilang kau itu hamil. Aku tidak tahu bagaimana nanti keadaan para Beliebers-ku di sana. Aku lebih mencintai mereka dibanding dirimu,” ucap Justin yang membuat hatiku sakit sekali.

“Aku bahkan tidak mau mempertanggungjawabkan kehamilanmu itu jika kau benar-benar hamil, dan aku yakin itu tidak mungkin,” ucap Justin lagi. Kemudian ia melengos pergi dari hadapanku. Air mataku benar-benar menderas sekarang. Tanganku tak bisa kugerakkan sangking lemasnya diriku karena menangis. Mengangkat kepalaku saja aku tidak bisa.


***

“Scoot, aku ingin berhenti,” ucapku dengan suara yang kecil saat Scooter sedang menikmati secangkir teh di dalam bus. Bus ini berjalan kembali untuk sampai di hotel setelah tadi kami berhenti di Pantai. Ia langsung menyemburkan teh yang ia minum ke arah bajuku sehingga bajuku basah. Tidak apa-apa. Aku duduk di sebelahnya.

“Kenapa?” tanya Scooter dengan suara yang kecil juga. Aku menggelengkan kepalaku. Aku tidak sanggup untuk mengatakan ini tapi rasanya aku harus melakukan ini daripada aku harus menangis setiap hari. Tidak baik untuk tenggorokkanku jika aku terbatuk-batuk saat menangis.

“Karena Justin tidak serius jika ia latihan bersama Carly,” ucapku lagi. Ia menggelengkan kepalanya dan terlihat dari raut wajahnya kalau ia tidak setuju.

“Aku sudah mengontrakmu selama 2 tahun. Dan kau tidak bisa berhenti, aku janji. Aku janji, Justin tidak akan bermain-main bersama Carly lagi. Karena kurasa kau memang tidak cocok untuk menjadi guru vokal Carly,” ucap Scooter tersenyum. Baiklah, kali ini aku terima.

Aku menganggukkan kepalaku sambil berdiri dari kursi dan berjalan menuju kursi belakangku. Aku duduk bersebelahan dengan Kenny. Si Hitam Baik Hati. Well, hhh ..Aku tidak hamil. Aku baru saja mengalami menstruasi. Kemudian, kujatuhkan bokongku di kursi dekat jendela dan menyandarkan kepalaku pada pundak Kenny. Aku mulai bosan dengan keadaan ini. Justin sudah benar-benar menjauhiku, ia sudah tidak suka bercanda denganku, mengobrol denganku, bahkan para kru selalu bertanya padaku atau Justin mengapa kita tidak sedekat yang lalu-lalu. Aku hanya memberikan mereka senyuman karena tidak tahu harus menjawab apa.


****

Aku ingin sekali berhenti dari pekerjaan ini. Aku benar-benar tidak kuat. Bukan karena Justin. Tapi karena Alfredo yang kurang ajar. Aku sungguh trauma akan kejadian ini. Di mana Alfredo dengan teganya memperkosa diriku di dalam kamar Justin. Kamar Justin yang berada di bus. Dan hebatnya, saat itu Justin dan para kru sedang mengadakan konser dan seperti biasa aku tidak ingin melihatnya. Aku terus menekukkan lututku di atas kursi bus dan menatap jari-jari tanganku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika aku hamil. Alfredo memperkosaku saat aku sedang subur-suburnya. Aku sungguh khawatir jika aku benar-benar hamil. Dan aku tidak mau terjadi itu. Ini sudah kedua kalinya sperma masuk ke dalam tubuhku. Aku ingin muntah sekarang jika aku mengingat kejadian itu. Aku sebenarnya ingin memberitahu Scooter, tapi aku sungguh kasihan dengan Alfredo. Perasaan ibaku mengalahkan segalanya. Ia bilang, jika ia dipecat oleh Scooter, ia tidak dapat menafkai keluarganya. Aku juga seperti itu. Aku menafkai keluargaku. Orangtuaku yang berada di rehabilitas.

Bus ini terus berjalan dan sesekali Alfredo melihatiku dari jarak jauh. Ia begitu khawatir kalau aku akan mengadukannya pada Scooter.

“Wero,” ucap Justin memanggilku, aku menoleh ke arah Justin yang berdiri di depan pintu kamarnya. “Kemarilah,” ucap Justin lagi. Dengan malas, aku berdiri dari tempat dudukku dan menghampiri Justin.


Justin menutup pintu kamarnya dan aku terduduk di atas kasurnya. Ia menatap tubuhku dari bawah hingga atas. Aku rindu dengan tatapannya yang seperti ini. Seperti tatapan menggoda, tapi dalam hal yang positif. Kemudian dia melipat tangannya di depan dadanya.

“Aku tahu masalahmu,” ucap Justin. Aku memberikan wajah tampak bingung padanya, dan lalu ia menyunggingkan sebuah senyuman sombong.

“Kau dan Alfredo, bercinta, dan kau sedang mengalami masa subur. Apa benar?” tanya Justin dengan nada yang mengejek. Aku tidak tahu harus menjawab apa dan lalu Justin tertawa senang. Aku semakin bingung dan sekaligus takut. Ia memiliki mulut yang ember.

“Aku sungguh senang mendengar itu, jika kau hamil, itu semua bukan salahku. Dan lagipula ini sudah lebih dari 1 bulan, dan kau tidak dikabarkan hamil,” ucap Justin dengan senyuman yang sumringah.

Hatiku tersengat. Rasanya seperti terpukul oleh tinjuan dari seorang petinju terkuat. Aku seperti dilecehkan sekarang. Maksudku, kenapa ia begitu yakin kalau aku hamil?! Kenapa ia begitu senang? Air mataku mulai membendung dan berusaha agar air mata itu tidak keluar.

“Kau menangis?” tanya Justin, “Sudah seharusnya, kau pasti menyesal,” ucap Justin lagi. Aku menggelengkan kepalaku dan lalu berusaha untuk berdiri dari dudukku meski lututku benar-benar bergetar. Aku merasa diinjak-injak oleh seorang Justin Bieber yang sekarang telah sombong dengan pelatih vokalnya.

“Kau tahu Justin? Aku bahkan tidak tahu kenapa kau tiba-tiba bersikap kasar padaku. Tapi asal kau tahu, aku cukup sabar. Mulai dari sikap kekanak-kanakkanmu, sikap labilmu, ejekan-ejekkan darimu, rengekkanmu, semuanya! Bahkan kau orang yang memerawaniku, dan aku tidak sama sekali marah padamu! Dan aku sabar. Jadi tolong Justin, hargai aku,” ucap dengan nada yang tegas namun rasanya aku ingin menangis. Justin tertegun dan terdiam.



*****

Aku terus menatap seorang lelaki dengan paras yang tampan dan memiliki rambut yang bergelombang. Aku benar-benar mengaguminya, tapi tetap saja Justin tak terkalahkan ketampanannya oleh siapapun. Itu menurutku. Harry. Harry Styles. Seorang lelaki Britain yang datang jauh-jauh dari Inggris dan datang ke konser Justin hanya untuk berkolaborasi dengan Justin dalam lagu Catching Feelings. Well, One Direction lebih tepatnya yang akan berkolaborasi dengan Justin. Dan aku telah mengajari mereka. Sebenarnya, Justin meminta untuk berkolaborasi dengan lagu Maria. Tapi sungguh tidak cocok. Karena jika Catching Feelings, mereka bisa membagi suara menjadi 3 suara. Maksudku, seperti paduan suara di Gereja tapi versi lagu cinta.

Dan sekarang, beberapa kru dipindahkan di bus yang lain karena One Direction akan naik satu bus dengan Justin. Aku menekuk kedua kakiku dan melingkarkannya dengan kedua tanganku. Dan mengalihkan pandanganku ke arah jalan raya setelah Harry melihatku dan tersenyum. Aku malu sekali. Kenny menyentuh pundakku dan mengusap-usapkannya dengan lembut.

Sebentar lagi Bus ini akan berhenti setelah tadi 2 bus (yang satunya adalah bus ini) habis dari Bandara Internasional. Dan sekarang berjalan menuju California untuk konser lagi. Aku rindu dengan orangtuaku sekarang. Apa yang mereka lakukan sekarang?


****

Aku menaruh koper Justin di kamarnya dan melihat Kenny yang ingin keluar dari kamar Justin setelah tadi Kenny lebih dulu masuk. Kemudian dia tersenyum padaku dan menutup pintu kamar Justin. Aku hanya menganggukkan kepalaku lalu terduduk di tempat tidur. Kemudian, aku membaringkan tubuhku dan memejamkan mataku. Tiba-tiba aku mengingat kejadian saat Justin memerawaniku. Itu sungguh perih. Pintu kamar Justin terbuka dan aku melihat Justin yang tertawa-tawa saat masuk. Ini benar-benar sama seperti kejadian dulu. Tawaannya terhenti saat ia melihatku. Dan langsung saja ia duduk di sebelah dan tumben ia tidak mengusirku. Biasanya ia kesal jika ia menemukanku di dalam kamarnya.

“Hei, aku mau tanya sesuatu,” tanya Justin dengan nada bicara yang ..lembut?! Oh jangan bergurau, ini sebenarnya tidak sama sekali lucu. Aku mulai terduduk.

“Tentang?”

“Tentang dirimu dan Alfredo,” ucap Justin yang membuat tersentak. Kupikir ia tidak ingin membicarakannya lagi. Maksudku, bukannya ia sudah senang karena aku akan hamil (Meski menurutku tidak)  anak dari Alfredo?! Aku memberikan wajah bingung.

“Well, Bubu,” ucap Justin yang mulai memanggilku dengan panggilan ‘Bubu’. “Aku benar-benar tidak terima jika Alfredo menghamilimu. Aku menyayangimu,” ucap Justin langsung memeluk tubuhku dengan erat. Ini adalah ..mujizat! Aku membalas pelukan Justin dengan penuh perasaan. Hatiku melompat di dadaku dan tersenyum dengan senang. Tapi lama kelamaan, Justin menciumi pundakku. Perasaanku mulai tidak enak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar