Minggu, 22 Desember 2013

Cerpen: Bieber Is Umm... Part 4 - End

***

Aku melihat Justin yang sedang berselancar dengan senangnya. Minggu ini ia tidak bekerja. Aku yang memintanya. Aku tidak mengungkit masalah ia telah menggauli ibu Zayn. Itu sudah berlalu. Aku ingin Justin yang baru. Yang lebih bersih. Justin belum tahu kalau aku sebenarnya sudah tahu kenapa ia dipukul. Meski kemarin aku sudah bertanya padanya siapa yang memukulnya dan dia tidak menjawabnya. Tidak apa-apa. Mungkin ia tidak ingin aku khawatir.

Justin menghampiriku dengan papan selancar yang berada di tangannya. Kemudian, ia menancapkan papan selancarnya ke dalam pasir dengan baik. Kemudian, ia tersenyum melihatku. Dan lalu duduk di sebelahku. Wajahnya masih membiru. Pukulan Zayn benar-benar menyakiti Justin. Aku tidak tega melihatnya.

“Justin, apa kau sudah merasa lebih baik?” tanyaku perhatian. Justin menyipitkan matanya karena silaunya matahari dan mengangguk. Aku tersenyum melihat dada bidangnya dan otot-otot perutnya yang begitu terlihat jelas di mataku. Aku menatap wajah Justin lagi.

“Justin, apa kau mencintaiku?” tanyaku terlontar begitu saja, aku bahkan tidak berpikir kalau akan bertanya padanya seperti itu. Justin tertawa sejenak. Lalu ia seakan-akan berpikir terlebih dahulu. Ia tertawa renyah lagi. Kemudian menatapku. Dan berhenti tertawa.

“Yeah, aku mencintaimu,” balas Justin. Aku tersentak.


****

Senyumanku surut begitu saja saat Justin bilang bahwa ia mencintaiku ..sebagai sahabat. Ini benar-benar tidak sama sekali seperti perkiraanku. Aku pikir dari ciuman, perhatian, dan kesetiaannya sebagai sahabatku adalah ia mencintaiku. Tapi ternyata aku salah. Dia mencintaiku hanya sebagai seorang sahabat. Aku tidak mengangguk atau menggelengkan kepalaku. Tidak ada reaksi dari raut wajahku atau gerak-gerikku, tapi reaksi itu berada di dalam tubuhku. Di hati. Bahkan aku berkeringat sekarang.

“Apa kau ingin minum?” tanya Justin padaku. Aku hanya mengangguk.

Kemudian aku memperbaiki cara dudukku sekarang. Kutekuk lututku yang dilapisi dengan kain tipis berwarna kuning bercorak merah kemudian aku memeluknya dengan erat. Kemudian aku berpikir, apa memang aku tidak di takdirkan dengan Justin?! Atau ini karena aku bersikap tidak sopan dengan orangtua ku?! Mungkin ya. Seharusnya aku menuruti permintaan orangtua. Percuma jika aku bersama Justin tapi Justin saja hanya mencintaiku sebagai sahabat.

Kembali aku berpikir pada Darren yang memang adalah pria yang baik. Tidak lama lagi aku akan menikah dengannya. 1 bulan lagi. 1 bulan lagi. 1 bulan lagi aku akan menjadi istri dari seorang Dokter. Kenapa begitu cepat?! Tentu saja, keluarga Darren sudah mempersiapkannya sebelum aku menyetujui perjodohan ini. Tapi sekarang, mungkin memang benar kata ayah. Ini adalah tradisi. Aku ragu. Aku bingung. Dan ..plin-plan. Tentu saja. Justin adalah orang yang lebih mengenalku dan Darren adalah orang yang baru kemarin aku kenal, dan aku harus memilih antara aku kehilangan orang yang aku cintai atau aku menerima orang yang tidak sama sekali aku cintai?!

“Hei, kau kenapa?” tanya Justin yang duduk di sebelahku. Aku menatapnya dan menggelengkan kepalaku. Meski masih terlihat memar di wajahnya tapi ia tetap saja tampan. Kemudian aku tersenyum.

“Tidak apa-apa,” ucapku mengambil air putih yang ia beli. Padahal dalam hatiku berkata aku mencintaimu, tapi aku terpaksa untuk meninggalkanmu. Karena aku tahu, kau tidak mencintaiku sekarang. Untuk apa kita tinggal dengan seorang yang tidak mencintaiku sedangkan ada orang lain yang mulai belajar untuk mencintaiku?! Yeah, benar.


****

Aku menjatuhkan bokongku pada sofa keluarga. Sebentar lagi aku harus bekerja, setelah tadi aku pergi ke Toko Buku Mr. Grimmy. Yeah, aku harus menerjemahkan buku cerita anak-anak dari bahasa Prancis menjadi bahasa Inggris. Dan untung saja, buku anak-anak ini tipis sekali. Dan aku di bayar 10 dollar/ lembar. Lumayan jika kita kali dengan 20 lembar. Aku sudah bisa mendapat 200 dollar. Dan aku fasih berbahasa Prancis. Tentu saja, orangtuaku kan orang Canada.

“Hei, Jo,” sapa ayahku yang masuk ke dalam rumah dan langsung memberikan senyuman di wajahnya. Aku tidak menanggapi ayahku. Aku masih tidak terima dengan kejadian tadi malam. Tentang ia menilai Justin yang tidak-tidak.

“Tadi Darren menelpon ke rumah, ia bilang kau tidak mengangkat telepon darinya. Apa kau tidak membawa ponselmu tadi?” tanya ayahku. Oh iya, astaga! Ponselku. Gila! Sudah hampir 2 minggu lebih aku tidak menyentuh ponselku. Justin juga tidak mengingatkanku untuk mengisi baterai. ponselku. Astaga!

Dengan cepat aku berlari ke kamar meninggalkan ayahku yang melihatku dengan wajah yang bingung. Kubuka pintu kamarku lalu mencari di mana terakhir kali aku menaruh ponselku. Oh yeah, ditas kuliahku. Aku mengambil tas kuliahku dan mencari ponselku. Kemudian, memang benar ada ponselku. Tapi tidak menyala. Kemudian aku mulai mengisi baterai ponselku.

Huh, aku menghempaskan tubuhku pada kasurku. Hari yang membosankan. Eh!? Jam berapa sekarang?! Aku harus cepat-cepat pergi ke Seafood Is Food.


---

Aku mengikat tali celemekku dan mengambil buku pesanan dan buku catatan, dan tentu saja nomor yang tersisa. Nomor 10. Dengan cepat aku berlari kepada anak-anak muda yang tentu saja sudah kukenal. Mereka adalah langganan kami. Anak-anak muda yang sering menggoda Justin. Tapi aku tidak membenci mereka. Mereka seumuran dengan Britney.

“Hei, kalian mau pesan apa?” tanyaku pada mereka saat aku sudah sampai di meja mereka dan menaruh nomor di atas meja. Dengan senyuman yang sumringah, mereka terkikik dengan genitnya.

“Di mana Justin?” tanya salah satu diantara mereka. Aku tertawa renyah dan menggelengakan kepalaku.

“Sudahlah jangan bicarakan dia, hari ini ia tidak bekerja. Jadi kalian mau pesan apa?” tanyaku lagi. Dengan malas, mereka membuka buku pesanan dan menyebut satu-satu apa yang mereka mau sedangkan tanganku terus menulis pesanan mereka.

Kemudian, dengan senyuman, aku meninggalkan mereka. Dan aku menjepit kertas pesanan itu lalu menekan bel dengan keras.

“Meja 10!” teriakku. Untung hari ini pengunjung tidak sebanyak kemarin. Aku jadi bisa lebih bersantai.


****

Aku bersandar di tembok belakang Restoran. Aku ingin istirahat sejenak. Kuminum air putih dengan cepat. Aku memang kelelahan hari ini. Yang sebenarnya aku pikir bahwa pengunjung tidak sebanyak kemarin,  tapi ternyata tidak. Bahkan lebih banyak. Karena 1 rombongan bus datang. Tanganku rasanya ingin lepas sekarang. Nafasku memburu.

“Hei,” sapa seorang lelaki yang langsung saja aku menatapnya. Dan itu Darren. Bagaimana ia bisa tahu kalau aku bekerja di Seafood Is Food? Aku bahkan tidak pernah memberitahunya. Ia memakai kacamata kali ini. Dan memakai kemeja hitam bergaris-garis. Darren duduk di sebelahku. Hah!? Aku pikir ia tidak suka jika ia duduk di tempat yang kotor. Maksudku, ia benci dengan hal-hal yang kotor. Dan sekarang?! Ini lantai yang sering diinjak oleh para karyawan.

“Kenapa kau datang ke sini?” tanyaku bingung. Ia tertawa.

“Sederhana. Aku tadi datang ke rumahmu dan bertanya pada ayahmu kau di mana. Dan dia bilang kau bekerja di sini. Jadi aku datang ke sini,” ucapnya dengan suara yang tenang. Aku mengangguk. Tiba-tiba saja ia meminum air putih bekas mulutku. Dan aku sedang sakit, tapi memang tidak akan tertular karena aku hanya pusing.

“Darren, memangnya kau akan pindah ke Washington?” tanyaku lagi. Ia mengangguk dengan mantapnya. Aku mendesah kemudian menarik nafasku dalam-dalam. Well, ini dia. Aku akan pergi ke Washington 1 bulan lagi. Selamat tinggal Pacifica, Mori Point, Lemon’s Café, dan Justin. Aku akan belajar untuk mencintai Darren.

“Kenapa hari ini kau terlihat begitu pucat?” tanya Darren padaku dengan perhatiannya. Aku mengangguk, memang aku pucat. Mungkin kalian sudah tahu kenapa aku seperti ini.

“Pengunjung banyak sekali hari ini, jadi aku lelah,” ucapku dengan suara lesu. Huh, sebentar lagi aku selesai bekerja. Dengan cepat aku berdiri dari dudukku.

“Aku harus kembali bekerja, kalau kau ingin pulang, pulanglah.” ucapku dengan mata yang sayu. Aku langsung masuk ke dalam Seafood Is Food.

Kepalaku begitu pusing saat aku melihat semakin banyak pengunjung yan datang. TUHAN! AMBIL AKU!


***

Baiklah, sekalipun banyak pengunjung yang datang tadi. Hari ini uang tipku semakin banyak. Dan lebih banyak daripada biasanya. Dan itu bagus. Meski sebenarnya kaki ini rasanya minta diamputasi sekarang. Dan tanganku minta di potong. Aku membuka celemekku dan menaruhnya pada gantungan celemek dan mengambil jaket yang tadi kupakai di gantungan celemekku juga. Kemudian aku berjalan untuk keluar dari Seafood Is Food.

“Hasta La Vista, Mrs. Judy!” teriakku dan melambaikan tanganku. Aku memakai jaketku kembali.

Kemudian, aku mengeluarkan kunci Vespa-ku yang kutaruh di saku jaketku. Hmm, Vespa sayang, ibu sudah datang. Kuambil helmku yang tadi kutaruh di kaca spionku. Dan kumasukan pada kepalaku. Baru saja aku ingin duduk di Vespa-ku, sudah ada yang memanggilku. Aku berbalik dan melihat bahwa yang memanggilku itu adalah ..Darren.

“Hei, aku pikir kau sudah pulang,” ucapku tersenyum. Darren tersenyum dengan kedua tangan berada di belakang punggungnya. Kuharap itu bukan bunga atau coklat. Karena aku tidak menyukai keduanya.  Aku anti dengan barang-barang seperti itu. Dan benar saja, itu adalah bunga. Kurasa tidak sopan jika aku tidak menerimanya. Dengan senyuman yang manis, aku menerimanya.

“Oh, terima kasih banyak, kau benar-benar manis,” ucapku menghirup bunga ini. Sebenarnya aku ingin muntah, tapi aku tahan. Gila! Ini terlalu wangi. Kepalaku pening jika aku mencium wewangian yang baunya sangat berlebihan seperti ini.

“Yeah, kuharap kau suka dengan bunga itu,” ucapnya tersenyum manis. Aku mengangguk. Yeah, kau harap. Tapi sayang Darren, harapanmu tidak berjalan dengan baik. Karena aku benci bunga. Aku lebih menghargai boneka-boneka meski itu terdengar seperti anak kecil. Tapi tidak apa-apa, siapa tahu boneka-bonekaku bisa kuberikan pada anak-anak kecil yang ada penitipan anak. Yeah, di Day Care. Kadang aku pergi ke sana.

“Darren, aku terima bunga ini untuk pertama dan terakhir kalinya. Karena, aku tidak begitu menyukai bunga,” ucapku tersenyum dan mencoba untuk tidak menyakiti hatinya. Yeah, kuharap ia tidak sakit hati.

“Mau kuantar pulang?” tanya Darren. Aku tidak tahu apa aku harus menerimanya atau tidak.


****


Hari ini aku harus menyelesaikan terjemahanku. 20 halaman, itupun kata-katanya sedikit. Dan aku sangat-sangat beruntung kali ini. Karena tidak begitu banyak. Buku cerita anak ini bercerita tentang seorang anak perempuan yang cantik. Rambutnya bergelombang dan intinya anak ini cantik sekali. Tapi sayang, ia terlalu memilih-milih teman. Ia memilih teman yang cantik sepertinya, sedangkan yang tidak cantik, tidak ditemaninya. Tapi anak ini selalu mencari perhatian kepada setiap anak muda yang lewat di rumahnya. Kebetulan rumahnya di sekitar perumahan. Sehingga ia kenal dengan anak-anak sepantarannya maupun yang lebih tua daripadanya. Tapi, ia begitu suka dengan seorang remaja berumur 14 tahun. Ia laki-laki. Tapi, remaja ini tidak mau berteman dengan anak perempuan yang masih berumur 7 tahun ini. Karena lelaki ini tahu kalau anak ini selalu memilih-milih teman. Baiklah, kurasa kalian semua sudah bosan untuk mendengar cerita ini. Intinya, lelaki ini meminta anak kecil ini untuk tidak memilih-milih teman. Cerita yang cukup membosankan tapi mendidik.

“Sedang apa?” tanya ayahku yang tiba-tiba saja masuk  ke dalam kamarku. Kupikir ayah pergi kerja, ini kan hari Senin. Dan, ini sudah jam 8 pagi. Aku masih sibuk dengan laptop-ku.

“Sedang menerjemahkan sebuah buku,” ucapku tanpa melihat ayahku. Ayah duduk di depanku dan langsung menutup laptop-ku.

“Kau masih marah karena dad tidak setuju kalau kau berpacaran dengan Justin? Kau tidak berpacaran dengannya bukan?” tanya ayahku. Aku menggelengkan kepalaku lalu memutar bola mataku. Ayah ini mengganggu saja. Tinggal beberapa lembar lagi, aku akan menyelesaikannya. Aku membuka kembali laptop-ku.

“Baguslah, dad harus bekerja. Dad mencintaimu,” ucap ayah mencium keningku dan pergi dari kamarku. Aku hanya memutarkan bola mataku. Huh, entah kenapa aku tidak suka sekali jika ayah berdekatan denganku sekarang.


***

“Justin kau kenapa?” tanyaku saat aku berusaha untuk mendekati Justin yang dari tadi mengacuhkanku. Aku menyentuh tangannya saat ia ingin masuk ke dalam Seafood Is Food. Ia menatapku dengan penuh amarah yang meluap. Aku salah apa?!

“Aku tidak bisa mendekatimu lagi,” ucap Justin yang membuatku melepaskan pegangan tanganku terhadap lengannya. Aku terdiam sejenak. Apa maksudnya ‘tidak bisa mendekatiku lagi?’?! Aku benar-benar tidak mengerti. Aku dan Justin bahkan baru saja berdekatan. Dan kenapa tiba-tiba ia bersikap seperti kemarin lagi? Aku tidak mengerti.


***

Aku menatapi dedaunan yang turun dengan lambatnya. Membaca buku dari ciptaan seorang penulis terkenal dari Prancis dengan bahasa Prancis pula. Sembari menyandarkan tubuhku di sebuah pohon yang besar. Mencoba untuk menikmati matahari siang yang begitu menyinari bumi. Aku tersenyum. Kulirik jam tanganku. Sudah jam 2 siang, aku harus kembali ke kantorku. Ah, yeah. Aku sudah bekerja di sebuah perusahaan Penerbitan Buku Terjemahan dan aku menjadi Presiden di sana. Aku berdiri kemudian melangkahkan kakiku menuju gedung perusahaanku yang tidak begitu jauh di tempatku berada sekarang. Aku sudah tinggal di Washington sejak 5 tahun yang lalu.


#Flashback On

Aku terus mengejar Justin yang berusaha untuk menjauhiku dengan Vespa-ku. Ia mengayuhkan pedal sepedanya agar ia lebih cepat dari pada motorku. Tapi tetap saja aku yang menang. Aku tidak mengerti kenapa ia terus menerus menjauhiku. Aku baru saja pulang dari Seafood Is Food dan seharusnya kali ini aku dan Justin akan pulang bersamaan, tapi malam ini ia keluar begitu cepat. Jadi, aku susul saja dengan Vespa-ku.

“Justin, kau kenapa?!!” teriakku dengan keras. Aku tidak bisa mempercepat motor ini, karena ini sudah aku sudah menggas hingga speed yang ke-40. Dan aku tidak bisa menggasnya lagi, kalau aku menggasnya lagi, aku bisa ditangkap polisi. Justin masih mendiamkanku. Baiklah, tidak apa-apa jika ia ingin menjauhiku. Tidak apa-apa. Mungkin ia sedang ada masalah, jadi ia tidak ingin diganggu.


****

Sebulan ini aku tidak bersama Justin. Aku hanya bisa melihat Justin dari kejauhan. Melihat ketampanannya tanpa berteriak seperti anak-anak lainnya. Tidak bisa merasakan ciumannya yang hangat lagi. Tidak bisa berbicara dengannya. Dan, akhir-akhir ini ia dekat dengan seorang wanita yang pernah berkunjung di Lemon’s Café. Rasanya aku ingin membunuh wanita itu. Aku masih tidak tahu kenapa Justin tidak ingin bertemu denganku atau berbicara denganku. Aku tidak tahu.

Dan sekarang sudah saatnya. Aku menatap ke arah cermin yang begitu besar dan melihat diriku yang sudah terlihat begitu cantik bahkan indah. Dengan baju pengantin yang begitu elegan dan sederhana. Aku seperti Kate Middleton. Rambutku dihias dengan bunga-bungaan dan juga sedikit sparkle di sana. Warna mataku masih sama, yaitu hitam. Bibirku sudah dipolesi oleh lipstick berwarna merah muda dan dilapisi dengan pelembab bibir. Aku benar-benar seperti pengantin sekarang. Dan memang aku adalah pengantin. Aku berdiri dari dudukku.

Aku melihat diriku yang memang benar-benar cantik. Aku tersenyum. Aku ingin menangis. Sebentar lagi aku akan menjadi istri oleh seorang Dokter dan nama belakangku akan terganti menjadi Grint. Jhoanna Primrose Stalwart, akan segera menjadi Jhoanna Primrose Grint. Aku tidak ingin menangis, walau aku tahu kalau aku sedang memakai maskara anti-air. Dan sebentar lagi aku akan pergi ke Gereja. Aku akan mengucapkan janji seumur hidup pada calon suamiku.

Aku membuka pintu kamarku. Aku sudah siap. Aku mulai turun dari tangga kamarku dan berjalan untuk menemui kedua orangtua. Senyumanku semakin mengembang saat aku melihat ayah sudah memakai tuxedo berwarna hitam yang sangat gelap, ibu sudah berada di Gereja. Aku mengaitkan tanganku dengan tangan ayah. Kemudian, kami berjalan untuk keluar dari rumah. Kulihat mobil Ford sudah berada di depan rumahku. Dengan cepat aku berjalan dan menaiki mobil yang atapnya terbuka ini. Ayah membantuku untuk menaikkan gaunku yang panjang ini. Dan lalu, kami sudah siap untuk berangkat ke Gereja.

Mobil ini melaju dengan pelan. Kami sudah keluar dari kawasan perumahan ini. Aku tidak gugup. Aku tidak gugup. Aku terus menatapi para turis yang masih saja ada di Pacifica ini. Tapi senyumanku yang kukembangkan tiba-tiba saja surut saat aku melihat Restoran Seafood Is Food yang masih terbuka. Begitu banyak pengunjung yang datang hari ini. Aku sudah tidak bisa melayani di sana lagi.

Tiba-tiba saja mobil yang berjalan ini berhenti tepat di depan Gereja tua yang sering aku dan orangtuaku datangi. Bunga-bungaan sudah siap di depan Gereja dan para penyambut sudah ada di sana. Aku tersenyum. Aku turun dari mobilku dan memegang tangan ayah agar aku tidak terjatuh. Aku melihat para sepupuku datang ke sini. Mereka sudah besar. Mereka akan menjadi sayap-sayap dibelakangku dan ayahku.

“Pelan-pelan,” bisik ayahku saat aku hampir saja terjatuh. Aku lihat dari sini begitu banyak para saksi yang datang. Oh, tiba-tiba jantung berdebar-debar. Aku berdiri disamping ayahku sambil tanganku dikaitkan dengan tangan ayahku.

Bunyi piano mulai terdengar dengan pelannya. Aku dan ayahku berjalan dengan pelan-pelan. Sedangkan para sepupuku dan sepupu Darren sudah berada di belakangku dengan barisan yang begitu rapih. Aku tersenyum dengan manis saat aku dan ayah sudah masuk ke dalam Gereja. Para tamu sudah berdiri dan melihatku dengan tatapan kagum. Kemudian, aku melihat Darren yang sudah tersenyum manis padaku. Aku sudah sampai di altar sekarang dan aku benar-benar gugup. Tanganku diberikan pada Darren.

“Kau sangat indah,” ucap Darren membisikkiku saat aku dan dia sudah berpegangan tangan dan menatap Pastur yang sudah siap untuk mempersatukan kami sebagai suami-istri. Aku menelan ludahku dengan susahnya. Aku berpikir sekarang adalah jalan yang tidak benar.

“Di depan saya, sudah ada 2 pasangan serasi yang akan disatukan menjadi satu,” ucap Pastur membuka suara. 2 pasangan yang serasi? Yeah, bagi orangtuaku.  Aku bahkan tidak mengerti mengapa ini terjadi sekarang. Aku akan menjadi istri dari seorang suami yang tidak sama sekali aku cintai.

“Maka dari itu, kita minta kepada Tuhan agar Ia bisa menuntun pasangan ini hingga mereka akan menjadi suami-istri,” ucap Pastur lagi.

Ini tidak benar. Bagaimana kita bisa meminta pertolongan Tuhan sedangkan kita saja tidak berusaha? Aku tidak pernah berusaha untuk mencintai Darren. Aku melakukan ini hanya untuk menyenangkan orangtuaku. Tapi sekarang aku sadar, aku benar-benar sadar. Orangtuaku tidak bisa mendesakku untuk melakukan ini.

“Darren Grint,” ucap Pastur ingin memulai janji seumur hidup. Aku menatap Darren, ia tersenyum padaku. Tapi aku sama sekali tidak tersenyum. Ia sudah siap. Tapi aku belum siap. Ini adalah pernikahan palsu. Aku tidak berani. Aku tidak ingin melakukan ini.

“Apa kau bersedia, menerima Jhoanna Primrose Stalwart, untuk menjadi istrimu dalam suka ataupun duka,” ucap Pastur yang membuat nafasku tercekat begitu saja. Tata rias di wajahku mulai membuatku kegerahan. Aku  butuh angin. Aku butuh Mori Point.

“Dalam sehat ataupun sakit? Dalam miskin ataupun kaya?” tanya Pastur menyelesaikan pertanyaannya. Darren memegang tanganku dan menatapku dalam-dalam. Aku tidak bisa merasakan dalam cintanya padaku. Aku hanya bisa menatapnya pada mata Justin yang selalu aku lihat. Mata yang sangat aku cintai. Mata yang sempurna untuk dilihat. Tidak seperti Darren.

“Aku bersedia,” ucap Darren dengan senyuman diwajahnya. Pastur mulai melihatku. Aku tidak bisa melihat Pastur sekarang. Ini terlalu jauh. Sangat jauh.

“Jhoanna Primrose Stalwart, apa kau bersedia menerima Darren Grint untuk menjadi suamimu suka ataupun duka? Dalam sehat ataupun sakit? Dalam miskin ataupun kaya?” tanya Pastur masih menatapku.

Aku menelan ludahku. Tanganku bergetar. Apalagi bibirku. Aku terus menatap Darren dengan tatapan rasa menyesal. Aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini. Pernikahan ini adalah pernikahan bodoh. Pernikahan diperlukan cinta yang tulus, kesetiaan, dan kejujuran juga kebenaran. Aku bahkan tidak pernah mencintai Darren, meski aku pernah mencobanya. Tapi aku merasa aneh. Aku hanya bisa mencintai Justin. Aku tidak pernah berbohong pada Justin. Aku selalu mengungkap kebenaran padanya. Yeah, aku mencintai Justin. Aku menggelengkan kepalaku. Hening.

“Aku tidak bisa melakukan ini,” ucapku menunduk. Suara tamu terdengar begitu kaget dengan cara bersamaan. Aku mendongakkan kepalaku dan menatap Darren lagi. Wajahnya begitu sedih. Aku tidak bisa melihatnya seperti ini. Aku memang bersalah, tapi aku harus memaksakan kehendakku sendiri. Ini bukan soal orangtuaku lagi. Ini soal aku sekarang. Orangtuaku tidak bisa memaksakan kehendak mereka. Aku sudah dewasa. Aku tahu apa yang harus aku lakukan.
Aku akan pergi ke Washington bersama Justin, dan aku akan menjadi penulis di sana. Aku tidak peduli seberapa mahalnya itu atau seberapa susahnya.

“Aku minta maaf Dad-Mom. Aku tidak bisa melakukan ini, ini pernikahan palsu,” ucapku menggelengkan kepalaku. Air mataku mulai terjatuh. Aku begitu emosi sekarang. Selama ini aku menahan tangisan ini. Menahan rasa palsu yang kuberikan pada Darren.

“Aku tidak pernah mencintai Darren, aku melakukan ini hanya untuk menyenangkan hati kalian,” ucapku dengan suara yang bergetar. Air mataku mulai mengalir lagi.

“Tapi aku sadar sekarang. Kalian tidak bisa memaksakan kehendak kalian. Ini sungguh salah, aku tidak akan bisa bertahan lama dengan Darren, aku sungguh minta maaf,” ucapku masih terus menatap ayah dan ibuku. Air mataku terus mengalir, aku sungguh tidak kuat berada di Gereja ini. Aku harus menemui Justin.

Aku berlari dari Gereja ini. Aku ingin bertemu dengan Justin di Mori Point. Aku sudah yakin dia di sana. Dia pasti berselancar. Aku turun dari jalan raya dan menginjakkan kakiku pada pasir Pantai Mori Point yang begitu panjang sekali. Aku melepaskan sepatu pernikahanku ke segala arah. Aku tidak peduli. Aku mengangkat pakaianku agar aku bisa berlari lebih cepat lagi. Aku menggelengkan kepalaku.

“Jhoanna! Tunggu Dad!” teriak ayahku dari belakang. Aku berhenti melangkahkan kakiku dan berbalik untuk melihat ayahku, di mana ayahku sudah memegang sepatu yang tadi aku buang. Kulihat ayahku sudah tidak memakai jas-nya. Ia hanya memakai kemeja. Ia mendekatiku dengan larian kecil.

“Kau benar,” ucap ayahku tersenyum padaku. Aku mengangguk dan tersenyum.

“Maaf, Dad terlalu mengatur hidupmu. Sekarang kau sudah dewasa, kau bisa memilih jalanmu sendiri,” ucap ayah dengan tangisan yang mulai terdengar. Air matanya terjatuh. Kemudian ia memelukku. Aku sayang dengan ayah. Aku bahkan tidak ingin mengecewakannya. Ayah termasuk lelaki yang kucintai setelah Justin. Kemudain, ayahku melepaskan pelukan ini.

“Kau pergilah, temui Justin,” ucap ayahku tersenyum dan masih mengeluarkan air mata yang begitu banyak. Aku menghapus air mata ayahku. Aku tidak bisa melihat ayahku menangis.

“Dad, kau bukan ayahku jika kau menangis seperti ini,” ucapku tertawa pelan. Aku menelan ludahku dengan susah. Kemudian ayah mendorongku.

“Pergilah, cepat!” ucap ayahku tersenyum. Aku mengangguk dan tersenyum pada ayahku. Air mataku mengalir kembali.

Aku mulai berlari kembali. Begitu jauh untuk pergi ke Lemon’s Café. Karena aku yakin Justin sedang berada di sana. Aku mempercepat lariku. Tidak peduli para turis yang sedang berjemur melihatku dengan tatapan kebingungan. Jejak kakiku yang terakhir di pantai Mori Point. Besok, aku yakin. Aku akan pergi ke Washington.

“Justin!” teriakku saat aku melihatnya sedang ingin keluar dari laut sambil membawa papan selancarnya. Tentu saja ia tidak mendengarnya. Aku masih jauh untuk didengar. Aku melihat ia begitu basah dan tampan. Membuat dirinya begitu seksi. Senyumanku mengembang begitu saja.

Tapi, larianku terhenti begitu saja saat aku melihat seorang wanita muda yang mendekati Justin. Justin tersenyum melihat wanita ini dan langsung merangkul wanita ini dengan mesranya. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Aku melangkahkan kakiku dengan pelan untuk mendekati Justin meski sebenarnya aku tidak sama sekali kuat untuk mendekatinya dengan wanita lain. Apa mungkin ini adalah alasan mengapa ia menjauhiku? Ada wanita lain?! Ini sungguh menyakitkan.

“Hei, Justin,” sapaku saat aku sudah sampai di depannya. Padahal ia baru saja duduk bersama wanita ini di atas pasir yang dilapisi dengan kain di depan Lemon’s Café. Mereka baru saja ingin berciuman. Air mataku masih mengalir. Dengan cepat aku menghapusnya.

“Jhoanna? Apa yang kaulakukan? Aku pikir kau sedang menikah,” ucap Justin tanpa rasa kaget sama sekali. Ia mulai berdiri setelah ia membisiki wanita di sebelahnya itu. Ia menarik tanganku untuk pergi ke belakang Lemon’s Café. Wajahnya terlihat begitu marah saat melihatku.

“Apa yang kaulakukan?” tanya Justin dengan suara yang gemas. Aku menelan ludahku dan menatap matanya.

“Justin, aku tahu ini konyol. Tapi aku mencintaimu,” ucapku langsung pada intinya. Alis mata Justin yang tadinya bertautan, sekarang mulai menurun kembali. Ia melihatku dengan tatapan rasa bersalah. Ia tidak bersalah, kecuali untuk tadi. Ia menggelengkan kepalanya. Kemudian, Justin memegang kedua tanganku.

“Jo, aku rasa kita tidak bisa berhubungan lebih jauh lagi,” ucapnya dengan suara yang melemah. Aku menggelengkan kepalaku. Tentu saja bisa. Aku mencintainya dan aku yakin dia mencintaiku. Aku yakin itu.

“Kenapa?” tanyaku masih bingung. Ia masih belum memberitahu alasan mengapa ia menjauhiku.

“Kau lihat wanita tadi? Ia adalah pacarku sekarang,” ucapnya yang membuatku tersentak. Aku ingin sekali berteriak tepat diwajah Justin. Aku tidak yakin kalau Justin mencintai wanita itu. Aku tahu tatapan cinta Justin terhadapku. Apalagi mata wanita tadi adalah warna biru. Justin lebih menyukai mataku. Dan aku yakin itu.

“Justin, kau mencintaiku. Aku tahu itu, bilang padaku,” ucapku berusaha untuk bersabar akan aktingnya yang semakin hari semakin bagus.

“Jangan konyol Jo. Aku tidak mencintaimu,” ucapnya dengan wajah yang meyakinkan. Aku menarik nafasku. Air mataku mulai mengering. Aku menggelengkan kepalaku.

“Lalu, kenapa kau menciumku? Kenapa kau memberikan perhatian yang lebih daripada Zayn? Lalu apa maksud dari cara tatapanmu padaku?” tanyaku dengan suara yang semakin lama semakin meninggi. Dan ini untuk pertama kalinya aku melakukan ini pada Justin. Aku tidak ingin mendengar ucapan dari Justin lagi.

“Tidak apa-apa. Lagipula Justin, aku sudah membatalkan pernikahan ini demi kau. Dan mungkin besok aku akan meninggalkan Pacifica. Semoga kau dan dia akan sampai ke pernikahan, aku mencintaimu Justin,” ucapku dengan tangisan yang memecah. Aku melepaskan pegangan dari Justin. Aku berharap Justin akan mengejarku.

Tapi ternyata tidak. Aku keluar dari belakang Lemon’s Café dan menghampiri wanita tadi.

“Ini untukmu! Pelacur!” bentakku kesal. Aku menendang pasir dengan kencang sehingga wajahnya terkena pasir. Aku mulai berlari dari Mori Point dengan baju yang sudah dikotori oleh pasir-pasir. Aku akan pulang dan memesan tiket untuk pergi ke Washington.

Selamat tinggal Pacifica, Mori Point, dan Cintaku Justin … Aku akan selalu mencintaimu J


***

Aku keluar dari rumahku sambil menarik koperku untuk menaiki mobil ayahku yang sudah menunggu di depan rumah. Pagi ini aku akan pergi ke Bandara untuk pergi ke Washington. Aku menatap rumah Justin yang berada di sebelah. Tepat saat aku melihat pintunya, seorang lelaki yang aku cintai keluar dengan tampannya. Ia memegang sebuah papan selancar dan menatapku dengan senyuman. Senyuman perpisahan. Senyuman untuk yang terakhir kalinya. Aku menundukkan kepalaku lalu masuk ke dalam mobilku.

“Sampai jumpa, Mom. Aku akan merindukanmu,” ucapku tersenyum lalu mencium pipi ibuku melalui kaca yang terbuka. Ibuku menangis terharu. Aku rela memutuskan kuliahku hanya untuk menjadi penulis, hanya untuk meninggalkan kenangan-kenangan yang manis dan pahit di Pacifica dan memulai hidup baru di Washington. Memulai kehidupan yang lebih baik lagi.


----

Aku turun dari mobilku dan meminta ayah untuk menolongku mengambil koperku yang ditaruh oleh ibu di dalam bagasi. Dengan kacamata hitamnya, ayah memberikan 1 koper besar milikku lalu tersenyum. Kemudian dia memelukku dengan erat.

“Dad aku rindu denganmu. Jaga dirimu baik-baik dan jangan nakal di rumah Pamanmu nanti,” ucap ayahku menitikkan air mata. Aku bisa merasakannya karena air matanya terjatuh dibahuku. Ayah mengusap-usap punggungku dengan penuh kelembutan lalu melepaskannya.

“Aku akan datang ke sini lagi, Dad. Tenang saja,” ucapku tersenyum. Aku tidak ingin menangis. Aku kuat. Huh, kuambil koperku lalu menariknya dan meninggalkan ayahku yang masih terdiam di tempatnya. Aku melambaikan tanganku padanya lalu berjalan untuk masuk ke dalam bandara.

Aku mulai mengingat-ingat kembali masa-masa keceriaanku dengan Justin dulu. Sejak kecil sampai sekarang kita masih bersama. Tapi hari ini kita akan terpisah. Aku akan merindukan tarian seski Justin, ciuman Justin, pelukan Justin, teguran Justin, segalanya. Aku akan merindukan itu semua. Semuanya akan masih tersimpan diotakku dan aku akan menceritakan tentang persahabatanku dengan Justin kelak kepada anak-anakku nanti. Entah siapapun yang akan menjadi suamiku, yang pasti ia akan menjadi pria yang baik untukku.

“Jo!” panggil seseorang yang tiba-tiba menyentuh pundakku. Aku berbalik dan melihat Justin yang tersenyum padaku. Aku tidak terkejut. Karena aku yakin, Justin tidak mungkin merelakanku untuk pergi dari Pacifica. Aku tersenyum padanya.

“Selamat tinggal, Jo,” ucap Justin memelukku. Aku membalas pelukannya dengan paksa. Sebenarnya aku ingin tersenyum tapi saat ia bilang ‘selamat tinggal’ padaku, aku tidak jadi tersenyum. Dugaanku selalu salah. Ia merelakan aku pergi. Aku melepaskan pelukan Justin.

“Aku harus pergi, aku mencintaimu Justin,” ucapku mencium bibirnya sekilas. Kemudina aku tersenyum manis padanya dan berjalan mundur lalu melambaikan tanganku. Aku berjalan terus hingga aku sampai kepada pengawas Bandara.

Aku menunjukkan tiket pesawatku lalu masuk ke dalam Bandara. Aku bisa melihat dari kaca tembus pandang ini bahwa Justin masih terdiam dan melihatku. Tapi tiba-tiba saja Justin menunjuk dirinya sendiri lalu memberikan tanda hati pada tangannya lalu menunjukku. Atau artinya ‘AKU MENCINTAIMU’. Aku tersenyum. Aku sudah tahu itu Justin. Dan kuharap kau akan datang untuk menemuiku di Washington nanti. Walau bukan sekarang. Selamat tinggal Pacifica …


#Flashback Off


Aku terus melangkahkan kakiku untuk masuk ke dalam kantorku. Aku sudah melihat lelaki yang sekarang sudah menjadi suamiku. Kulihat ia tersenyum padaku dengan manisnya. Dengan 1 anak perempuan kami yang benar-benar lucu. Aku tersenyum pada mereka. Kemudian aku memeluk mereka dengan erat.

Hidup di Washington memang menyenangkan, tapi tidak terlalu menyenangkan seperti Pacifica … Seperti Justin.



EPILOG


Aku tersenyum melihat kehidupanku sekarang. Semuanya terlihat begitu sempurna. Keluarga kecil dengan pekerjaan yang menghasilkan uang yang lebih dari cukup. Dan sama seperti apa yang telah aku harapkan. Setelah 5 tahun aku tinggal di Washington. Pertama kali aku tinggal di rumah Paman Simon, aku sedikit kikuk tinggal di Washington. Karena aku masih bingung dengan bahasa-bahasa mereka yang aneh. Dan mulai mencari pekerjaan menjadi pelayan Restoran lagi. Dan berakhir menjadi Penulis Novel sekaligus menjadi Presiden di Perusahaan Penerbitan Buku Terjemahan. Aku benar-benar berhasil sekarang. Okay, baiklah. Tentang Washington itu menyenang tapi tidak terlalu menyenangkan seperti Pacifica dan Justin itu hanya bohong. Aku bercanda. Dan, hhh.. Washington adalah tempat di mana aku bisa terus menerus bisa bersama lelaki yang kucintai.

Dan 3 tahun yang lalu, tepat saat aku dinobatkan sebagai Presiden di Perusahaanku sekarang. Lelaki yang benar-benar aku rindukan datang dan melamarku. Yeah, Justin. Justin Bieber. Aku tahu itu akan terjadi. Aku tidak pernah melupakan Justin. Oh, aku masih ingat saat ia berdiri tepat di depan rumah Pamanku, saat Pamanku melarang Justin untuk masuk. Well, saat itu sedang hujan.

Baiklah, mungkin kalian tidak mengerti. Jadi, saat itu aku baru saja pulang dari kantor. Itu sudah malam dan hujan. Kira-kira 10 menit sebelum Justin datang, aku, Bibi dan Pamanku sedang makan malam untuk merayakan keberhasilanku. Tapi saat sedang asyik mengobrol, tiba-tiba saja pintu rumah Pamanku terketuk. Sebenarnya aku ingin membukanya, tapi Paman sudah duluan berdiri dari kursi. Hmm, sekitar 5 menit kemudian, Pamanku kembali.

“Orang gila, mengaku-ngaku sebagai sahabatmu. Mana mungkin paman percaya itu,” gerutu Pamanku saat itu. Aku terdiam sejenak. Aku bahkan sama sekali tidak berpikir bahwa itu Justin. Kemudian, aku meninggalkan meja makan dan pergi untuk melihat siapa yang mengaku sebagai sahabatku. Memang, saat itu hujan sangat lebat. Aku membuka pintu rumah Paman dan mendapati Justin dengan jaket jeans yang ia pakai. Rambutnya sudah basah. Aku bahkan tidak tahu kalau Justin tahu rumah Pamanku.

“Jo, aku tahu aku konyol. Tapi ini, apa kau mau menikah denganku? Aku sangat-sangat mencintaimu, tolong, aku hanya meminta 1 kali saja. Ini adalah yang pertama dan terakhir,” tanya Justin langsung dan berlutut di tengah-tengah taman Pamanku dengan suara yang besar dan sebuah cincin ditangannya. Aku terkejut setengah mati. Hampir mati.  Ini benar-benar tidak bisa masuk akal. Ini terlalu rumit dan seperti tidak jelas?!

Aku menggelengkan kepalaku. Justin masih melihatku dibawah rintik-rintik hujan yang deras. Kemudian, aku tersenyum dan menganggukkan kepalaku. Ini yang aku mau. Ini yang aku. Mencintai dan dicintai adalah hal yang paling bahagia dalam hidupku. Justin berdiri lalu merentangkan tangannya. Aku berlari dan memeluknya dengan erat.

“Aku tahu kau akan datang Justin, aku masih mencintaimu,” ucapku dengan getaran suara terharu. Aku memangis, tapi Justin tentu saja tidak tahu. Air mataku sudah bersatu dengan air hujan. Air dari laut. Kemudian, Justin melepaskan pelukannya dan memagut bibirku dengan lembut. Aku membalasnya dengan penuh rasa cinta dan hasrat yang terpendam. Ia mengusap punggungku dengan lembutnya.

“Oh, astaga! Maaf,” ucap bibiku yang terdengar saat ia membuka pintu. Sontak aku dan Justin berhenti berciuman dan tertawa dibawah hujan yang deras ini. Aku akan menikah dengan Justin. Secepatnya.

---

Well, sekarang aku dan Justin telah dikaruniai anak. Anakku baru berumur 3 bulan. Ia perempuan. Kami menamainya Areen. Memang nama yang cantik. Justin yang mengusulkan nama itu. Arren Drew Bieber. Hah! Justin memang seperti itu.

“Jo! Areen buang air besar! Astaga!” teriak Justin yang terdengar dari kamar Areen. Aku tertawa melihat teriakan Justin yang begitu histeris. Ia memang ayah yang baik. Aku semakin mencintainya. Well, jika aku bertanya pada kalian, apa kalian akan menerima Justin meski ia adalah bekas Gigolo? Kalau aku tentu saja iya. Kau tidak lihat aku sekarang milik siapa?!

Aku berlari kecil menuju kamar Areen dan melihat Justin yang tangannya sudah dilapisi dengan sarung tangan karet dan juga masker. Astaga. Berlebihan sekali dia. Aku menghampirinya lalu menyingkirkannya dari hadapan Arren yang dengan polosnya melihat langit-langit kamar.

“Astaga!” ucap Justin terjatuh dari duduknya saat aku membuka popok Areen. Ia pingsan. Astaga! Apa harus berlebihan seperti itu? Well, yeah. Hanya Justin kurasa. Aku ingin bertanya sekali lagi, apa kalian akan menerima Justin meski ia adalah bekas umm …Gigolo? Terima kasih banyak.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar