Minggu, 22 Desember 2013

Cerpen: Bieber Is Umm... Part 3

***

Dengan pelan, aku menyingkirkan tangan Justin dari lenganku. Aku menatapnya dengan penuh kesabaran, meski sebenarnya aku benar-benar marah dengannya. Justin mendesah, lelah. Aku terhimpit oleh tubuh Justin yang menjepitku dengan tembok. Deru nafasnya begitu terdengar di telingaku dan menerpa wajahku dengan hangatnya. Bibirnya benar-benar menggodaku. Dia menjilat bibirnya. Astaga?! Apa dia sedang berusaha untuk menggodaku sehingga aku akan segera memaafkannya?!

“Jadi, kenapa kau begitu cuek denganku ‘huh?” tanya Justin.

“Just, aku tidak suka kau menjadi gigolo, itu pekerjaan yang menjijikkan dan entahlah Justin,” ucapku mengangkat kedua bahuku. Tiba-tiba nafas Justin begitu memburu. Wajahnya benar-benar memerah sekarang. Aku seperti melihat iblis sekarang.

“Kau tahu apa Jo?” tanya Justin padaku, aku menggelengkan kepalaku.

“Itu karena aku terpaksa, kau mengerti apa kata dasar dari terpaksa?” tanya Justin dengan nada yang penuh dengan kesabaran. Kurasa sebentar lagi ia akan berteriak. Aku menganggukkan kepalaku dengan polosnya.

“Paksa?” tanyaku menjawab pertanyaannya. Aku sunggingan senyuman yang ragu.

“IYA! AKU MELAKUKAN INI KARENA AKU INGIN PERGI JAUH DARI PACIFICA! AKU BOSAN! BOSAN SEKALI! AKU INGIN PERGI KE ATLANTA, TEMPAT DI MANA SEHARUSNYA AKU TINGGAL!!” teriak Justin tepat di depan wajahku. Aku memejamkan mataku. Hatiku tidak sakit, tapi air mataku terjatuh begitu saja. Aku buka mataku lalu menghapus air mataku dengan baik-baik.

Dan lalu aku berpikir lagi. Dia bosan tinggal di Pacifica?! Justin menarik nafasnya yang panjang lalu membuangnya. Dan lalu ia menjauhkan tangannya yang berada di samping kepalaku. Kemudian, ia membersihkan celemeknya dengan kedua tangannya, lalu merapikannya.

“Kau tahu apa, Jo? Kau yang memintanya maka kau dapat itu,” ucap Justin yang melengos pergi dari hadapanku. Aku menaikkan satu alisku sambil menatap Justin yang masuk ke dalam Restoran. Aku meminta apa? Oh, yeah. Aku mengerti sekarang. Tapi tidak apa-apa. Aku juga tidak ingin berbicara dengan Justin. Aku benci Justin! SEKARANG!


***

Malam ini aku pulang tanpa ditemani oleh Justin. Memang rasanya sepi, tapi tidak apa-apa. Sekarang aku membencinya. Sahabat macam apa dia?! Ish! Aku tidak membutuhkannya. Aku terus melajukan Vespa-ku dengan lambatnya. Hening sekali malam ini. Astaga, Tuhan. Apa aku bisa sanggup menjalani hidupku tanpa Justin yang seharusnya ada di sampingku?! Yeah, tentu saja Tuhan. Aku pasti bisa. Aku tidak perlu Justin. Aku tidak perlu Justin. AKU TIDAK PERLU JUSTIN!

Aku butuh Justin.

Kumasukkan Vespa-ku ke dalam garasi mobil ayahku. Kemudian, aku taruh helm ku di kaca spion, seperti biasanya. Kemudian, aku masuk ke dalam rumahku dan mendapati ayahku yang sedang menangis. Ayah menangis? Astaga! Kuhampiri ayahku yang sedang terduduk di sofa keluarga ini.

“Dad, kau kenapa?” tanyaku perhatian. Ayahku menghapus air matanya dan menatapku dengan senyuman di wajahnya.

“Tidak nak, ayah hanya ..hiks! Film Toy Story 3 sangat mengharukan! Hiks,” tangis ayahku yang berhasil membuatku melongo. Hanya karena Film Toy Story ayahku menangis? Aku bahkan tidak mengira bahwa ayah selemah itu. Aku hanya dapat memutar bola mataku dan pergi dari hadapan ayah yang bersikap konyol.

Berbicara tentang Toy Story. Hmm, film ini memang mengharukan. Tentang persahabat dan kekeluargaan. Well, Woody. Aku menyukai Woody karena dia tampan. Andai saja dia benar-benar manusia, mungkin dia sangat terkenal di seluruh dunia. Kurasa. Dan, karakter dalam filmnya itu benar-benar meyakinkan. Di mana Woody yang selalu percaya dengan Andy meski Andy akan meninggalkannya. Ah, memang benar-benar mengharukan. Tapi, apa seharusnya aku seperti Woody yang di mana Justin adalah Andy?! Justin bilang bahwa dia sudah bosan tinggal di Pacifica, berarti dia akan meninggalkanku. Ah! Bicara apa aku ini?! Bodoh.

Aku bercermin dan menatapi wajahku yang sudah benar-benar pucat. Setelah seharian ini aku memang benar-benar lelah. Kutopangkan kepalaku pada dua telapak tanganku yang kusandarkan pada meja rias di kamarku ini. Kulihat mataku yang berwarna hitam ini. Aku jadi ingat saat dulu Justin pernah bilang bahwa mataku benar-benar misterius. Tapi, aku tidak pernah merasakan ke-misterius-an dari mataku ini. Ini hanya mata yang berwarna hitam. Oh yeah, belakangan ini aku tahu kalau Justin memang menyukai wanita yang memiliki mata berwarna hitam. Ah! Astaga?! Belakangan ini aku tahu kalau Justin memang menyukai wanita yang memiliki mata berwarna hitam? Berarti …ah! Tidak mungkin. Dia kan sudah bersama tante-tante yang kesepian. Tidak mungkin. Aku hanya menghayal. Khayalan yang benar-benar bodoh.

“Jo? Mom ingin bicara sebentar,” ucap ibu yang tiba-tiba saja masuk ke dalam kamarku. Ia sudah duduk di atas kasurku. Aku langsung berdiri dan duduk di sebelahnya.

“Ada apa?” tanyaku ingin tahu.

“Kau kenapa dengan Justin? Kenapa tadi Mom lihat, kau pulang tidak bersama dengan Justin. Kenapa?” tanya ibuku yang mengelus rambutku dan merapikan poniku. Baiklah, sekarang aku benar-benar seperti anak manja sekarang. Tapi itu tidak penting, karena sekarang ibu sedang membicarakan hubunganku dengan Justin.

“Tidak Mom, Justin hari ini lembur,” dustaku pada ibu. Aku tidak ingin ibu tahu kalau Justin adalah gigolo. Bisa-bisa ibuku memberitahu ibu Justin. Eh!? Tapi apa ibu Justin sudah tahu?! Ah, tidak penting. Yang penting sekarang, aku harus merahasiakannya. Aku masih sayang dengan Justin walau untuk sekarang aku sedang membencinya.

“Jangan berbohong,” ucap ibu yang sepertinya tahu apa yang ada dipikiranku. Aku menggelengkan kepalaku. Kemudian ibu tersenyum padaku dan langsung mencium kening.

“Baiklah, kau tidurlah. Sudah malam,” ucap ibuku tersenyum dan memegang knop pintu. Kemudian, *ceklek* Ia menutup pintunya dengan baik-baik.


***

Hari ini Mori Point terlihat begitu penuh. Padahal sekarang baru saja jam 8 pagi. Aku sudah memakai pakaian renangku. Yeah, aku ingin berenang. Tapi, masih pagi. Jadi lebih baik, aku tidur sebentar saja. Kugelar kain tipis yang berwarna putih pada pasir ini. Kemudian, aku menengkurapkan badanku dan lalu memejamkan mataku.

Tadi malam aku bermimpi tentang Justin yang entah dengan siapa yang pasti aku tidak tahu, dan mereka sedang bercumbu. Sama seperti saat aku bercumbu dengan Justin di belakang Seafood Is Food. Dan astaga. Aku seharusnya tidak menceritakan mimpiku pada kalian. Karena bukan karena tidak layak didengar, tapi karena aku yang tidak kuat untuk menceritakannya pada kalian. Bisa-bisa air laut di sana bersatu dengan air mataku.

Kurasakan ada seseorang yang menindih tubuhku. Astaga! Dia berat sekali.

“Oh! Siapapun itu aku benar-benar akan membunuhnya!!” jeritku kesakitan. Astaga! Orang ini semakin menekan tubuhnya yang duduk di atas punggungku. Aku menoleh ke belakang dan mendapatkan Zayn dengan senyuman di wajahnya dan menatapku. Aku mendesah kesal.

“Zayn, kau berat!” jeritku lagi. Sedetik kemudian ia berdiri punggungku. Aku membalikkan tubuhku dan tiba-tiba saja Zayn ternganga dengan mulut yang benar-benar terbuka.

“Astaga, kenapa hari ini kau begitu seksi?” tanya Zayn yang membuatku sedikit malu. Dengan cepat aku mengambil handuk yang kutaruh diatas tas yang tadi kubawa. Kemudian kututup tubuhku dengan baik-baik.

“Tidak perlu ditutupi, aku sudah melihatnya,” oceh Zayn yang membuatku memutarkan bola mataku. Ia tertawa aneh. Aku tidak menanggapinya.

Dengan cepat aku berdiri dari tempatku dan berjalan untuk menjauh dari Zayn. Tapi tiba-tiba saja handukku tertarik dan langsung saja aku menoleh ke arah Zayn yang menarik handukku. Sial! Aku hanya mendiamkan dan berbalik untuk pergi berkeliling di pantai ini. Aku tidak peduli dengan Zayn yang daritadi berteriak-teriak memanggilku.

“Hei, Seksi! Jangan marah,” teriak Zayn yang menggodaku. Aku terus berjalan ke arah laut dan menginjak pasir yang basah. Ombak pagi ini begitu besar. Banyak peselancar yang datang. Termasuk Justin yang baru saja menceburkan tubuhnya di dalam laut. Astaga! Dia begitu sombong padaku. Biasanya dia akan menyapaku. Tapi kali ini! OH ASTAGA! Dia muncul dari dalam laut lalu mengibas-ngibaskan rambutnya dengan seksinya. Astaga! Aku benar-benar tidak bisa berhenti mengucapkan kata ‘Astaga’ sekarang. Dia begitu tampan dan seksi. Apalagi saat rambutnya sudah basah sekarang. Ia menengkurapkan tubuhnya pada papan selancarnya dan mendayungkan tangannya saat ombak besar datang. Dan lalu, astaga! Tubuh seksinya mulai terlihat setelah tadi tertutupi oleh air laut. Tubuhnya benar-benar berotot. Dia peselancar yang hebat. Aku tersenyum melihatnya.

Aku baru sadar bahwa sekarang aku sudah berada di dalam laut. Pasir-pasir di dalam laut ini benar-benar halus. Aku suka Mori Point. Bersih dan aku menyukainya. Aku menenggelamkan tubuhku dan benar-benar hening di dalam air ini. Aku tidak suka. Karena aku memang tidak suka keheningan. Aku suka keramaian. Kemudian, aku mengeluarkan kepalaku dari air laut setelah aku sudah tidak bisa bernafas lagi. Kemudian, aku mengelap wajahku yang baru saja dibasuhi oleh air. Aku mencari-cari Justin sekarang. Cepat sekali dia bermain selancar. Kulihat ia menancapkan papan selancarnya pada pasir kemudian berjalan pada Lemon’s CafĂ© yang tiap hari buka itu. Aku bekerja di sana hanya setiap hari Minggu, kurasa kalian sudah tahu itu.

Dengan cepat aku melangkahkan kakiku untuk bertemu dengan Justin. Aku harus minta maaf karena sikapku kemarin. Meski sebenarnya aku malu juga karena sebenarnya dia yang bersalah. Dia yang memulainya bukan?! Aku sudah berada di belakang Justin yang sedang memesan Lemon Tea.

“Hei, Just!” sapaku dengan suara yang girang. Justin yang mengambil Lemon Tea-nya langsung berbalik dan melihatku.

“Hei, dah!” ucap Justin dengan sombongnya. Senyumanku surut begitu saja saat Justin pergi dari hadapanku. Ini benar-benar menyakitkan. Apa dia benar-benar tidak ingin berteman denganku lagi? Aku adalah sahabat yang benar-benar bodoh.


***

Hari ini aku tidak ingin bekerja dulu di Seafood Is Food. Aku sungguh malas.Tidak apa-apa jika Mrs. Judy memotong gajiku. Lagipula aku sudah meminta izin padanya karena aku lelah. Tapi kenyataannya sekarang, aku sedang berada di Mori Point lagi. Tidak seperti tadi pagi, kali ini benar-benar tidak ada orang di sini. Hanya aku sendirian. Setelah aku berpikir bahwa hari ini aku seharusnya tidak bertemu dengan Justin. Aku benar-benar bodoh.

Aku terus melihat ombak laut yang semakin malam semakin besar. Aku tidak peduli jika ombak itu akan menyeretku ke dalam laut lalu aku mati di sana. Daripada aku harus di sini, di daratan, tidak ada yang menemaniku. Bahkan Justin, satu-satunya sahabat setiaku.

“Hei, ada salam dari Zayn. Dah,” ucap seseorang dari belakang. Aku berbalik dan melihat Justin yang masih memakai celemek Seafood Is Food di tubuhnya.Well, pantai Mori Point itu berada di belakang Seafood Is Food. Aku berdiri dan langsung menarik tangan Justin yang sebenarnya Justin ingin kembali ke Seafood Is Food.

“Just,” panggilku saat Justin sudah berbalik dan melihatku dengan wajah yang datar. Aku melepaskan pegangan tanganku dan memberikan tanganku lagi untuk ia salam. Aku bermaksud untuk berbaikan, tapi tidak apa-apa bukan jika aku jual mahal sedikit?!

“Maksudmu? Aku tidak punya waktu untuk ini,” ucap Justin dengan dinginnya. Ia mulai beranjak dari tempatnya dan lalu aku kembali menarik tangannya agar ia berbalik padaku.

“Justin, aku minta maaf,” ucapku tak kalah dingin. Aku menyodorkan kembali tanganku untuk meminta maaf. Justin menatapku tanpa ekspresi di wajahnya. Ia bahkan seperti jenuh melihatku. Baiklah, kurasa dia memang tidak ingin memaafkanku. Tidak apa-apa. Tidak apa-apa.  

Aku membalikkan tubuhku agar aku terduduk lagi. Aku berjalan dengan pelan. Huh, aku benar-benar menyesal. Tangan tertarik secara tiba-tiba. Badanku berbalik, lalu bibirku bertemu dengan bibir Justin yang hangat itu.


***

Aku bahkan tidak bisa membayangkan apa yang baru saja terjadi tadi. Pikiranku seakan-akan menghilang sekarang. Meski sebenarnya aku sedang berpikir. Tapi, aku tidak bisa berpikir dengan jernih. Kutatapi cermin yang ada di kamarku. Aku masih muda. Aku masih muda. Yeah, masih banyak yang harus kulakukan. Tapi apa orangtuaku serius dengan apa yang mereka katakan tadi?! Aku masih tidak bisa berpikir dengan jernih.

Kulihat Justin yang berada di ranjangku menatapku dengan tatapan ‘aku tahu itu berat’ melalui cermin. Kemudian ia menatap ke arah kasur, seakan-akan ia sedang berpikir. Aku juga berpikir. Aku akan dijodohkan oleh seseorang yang bahkan aku belum tahu siapa dia. Begitu juga dengan Justin. Dan kalian tahu apa? Saat di ruang tamu tadi, saat aku dan Justin baru pulang dari Seafood Is Food. Orangtua-ku meminta kami untuk berbicara sebentar. Dan berbicara tentang pernikahan. Tentang menikah. Aku bahkan tidak pernah berpikir tentang pernikahan untuk sekarang ini. Tapi ibuku bilang, lelaki ini adalah seorang Dokter Bedah. Dan bisa menjamin kehidupanku kelak.

“Just, apa tadi orangtuaku tidak bercanda?” tanyaku mulai berdiri dan mendekati Justin. Justin menatapku dan menggelengkan kepalanya. Kulihat wajahnya sekarang seperti anak kecil yang kesepian. Aku duduk di sebelahnya.

“Menurutmu ini adalah jalan yang baik?” tanyaku lagi pada Justin. Justin mengangguk. Aku bahkan tidak percaya bahwa sahabatku mendukung orangtuaku. Aku memainkan jariku di atas ranjang. Aku benar-benar tidak bisa berpikir.

“Kurasa orangtuamu ingin mencari pasangan yang terbaik untukmu,” ucap Justin menatapku lalu menjilat bibirnya. Kenapa disaat-saat yang membuatku gugup, Justin masih bisa menggodaku?! Dan aku tertarik untuk menciumnya lagi.

“Just, aku bahkan belum mengenal lelaki ini,” ucapku masih memainkan jariku. Justin menyentuh jari-jariku dengan lembut sehingga aku berhenti memainkan jariku.

“Aku yakin dia adalah lelaki terhebat. Aku percaya itu,” ucap Justin yang membuatku mendongakkan kepalaku lalu menatapnya yang sedang tersenyum manis. Aku mengangguk kepalaku. Kurasa benar kata Justin.

Dan besok, aku akan bertemu dengannya siang ini. Dan besok adalah hari Sabtu. Aku tidak bisa bertemu dengan Justin lagi. Aku tidak bisa. Seperti yang kalian ketahui sendiri bahwa Justin adalah seorang gigolo dan aku mengerti itu. Dia ingin menjadi Dokter, memang dari dulu ia ingin sekali menjadi Dokter. Berbeda denganku yang lebih menyenangi Jurnalistis.

Besok adalah hari besar, dan aku harus bisa melewatinya.


***

Nafasku naik-turun tidak beraturan. Aku benar-benar gugup. Sebentar lagi, lelaki yang akan dijodohkan denganku akan segera datang. Dan aku tidak tahu harus berbuat apa selain duduk di tengah-tengah orangtuaku. Seperti biasa, Justin tidak ada hari ini.

“Sudah tenang saja, dia akan segera datang,” ucap ibuku yang tahu kalau aku benar-benar gugup. Aku mengangguk dan tersenyum pada ibu. Tiba-tiba bel rumahku berbunyi. Dengan cepat ibu dan ayahku berjalan ke arah pintu utama lalu membukakan pintu untuk keluarga lelaki yang akan dijodohkan denganku.

Aku menundukkan kepalaku. Rambutku yang panjang, mampu menutup wajahku dengan berhasil. Meski ada celah-celah tergantung. Kemudian, aku melihat lelaki yang bertubuh tegap dengan rambut cepak dan dengan jaket kulit yang ia pakai. Apa dia lelaki yang akan dijodohkan denganku?! Aku tidak tahu. Langsung saja, ibuku menyuruh beberapa orang masuk ke dalam ruang keluarga ini. Aku mendongakkan kepalaku dan tersenyum kepada orangtua dari lelaki-yang-akan-dijodohkan-denganku.

“Hai, apa kau Jhoanna?” tanya seorang ibu muda dengan senyuman wajahnya. Aku mengangguk dan tersenyum dengan manis. Kemudian, ibu dan ayahku kembali mengapit tubuhku. Dan hening.

Keluargaku dengan keluarga dari lelaki-yang-akan-dijodohkan-denganku ini berhadapan. Kemudian, kulihat lelaki yang memakai jaket hitam itu yang sama sekali tidak tersenyum daritadi. Aku ingin meninjunya.

“Well, ini dia Darren Grint. Calon suamimu,” ucap ibu muda tadi kepadaku dengan suara yang girang. Aku mengangguk dan tersenyum lagi. JUSTIN! Aku butuh dirimu sekarang.


***


“Jadi, kau bekerja di mana?” tanyaku sambil berjalan dengan Darren, lelaki yang dijodohkan denganku. Ternyata dia lelaki yang ramah. Daritadi dia tersenyum saat aku dan dia disuruh keluar rumah. Dan aku menyuruhnya untuk pergi ke Mori Point.

“Aku bekerja sebagai Dokter di Rumah Sakit, tentunya. Dan aku seorang Dokter Bedah,” jawabnya dengan senyuman. Aku mengangguk. Kemudian dia berhenti melangkah.

Tiba-tiba ia memegang kedua tanganku dan menatapku dengan senyuman yang masih mengembang dengan manisnya. Aku juga ikut tersenyum. Tapi aku sadar, bahwa sekarang jarak antara wajahku dan wajahnya benar-benar dekat. Dia sudah memejamkan matanya. Aku tidak menginginkan ini. Aku tidak ingin menciumnya. Aku bahkan tidak mencintainya. Bahkan aku tidak menyayanginya. Tentu saja, kita saja baru bertemu beberapa jam yang lalu.

“Darren, kita tidak bisa melakukan ini,” ucapku mendorong tubuhnya dengan pelan. Aku menunduk, tapi langsung saja dia menarik daguku sehingga aku mendongak dan berusaha untuk menciumku.

“Darren, aku sungguh tidak bisa melakukannya,” ucapku menyingkirkan tangannya dari daguku. Ia yang memejamkan matanya langsung membuka matanya dan melihat dengan tatapan bingung.

“Kenapa?”

“Karena kita baru saja bertemu,” jawabku sekenanya.

“Tapi kita sudah menjadi sepasang kekasih,” ucapnya tak mau kalah. Aku tertawa renyah dan menggelengkan kepalaku. Memang, kita sudah menjadi kekasih. Tapi apa hubungan kami benar-benar seperti sepasang kekasih tapi tanpa cinta? Apa itu nyata?! Tentu tidak. Dalam suatu hubungan, dibutuhkan ketulusan cinta.

“Aku tidak mencintaimu, bahkan aku belum mengenalmu lebih dalam,” ucapku mendorong tubuhnya lagi setelah tadi ia berusaha mengambil kesempatan untuk menciumku saat aku sedang melamun. Maksudku, berpikir.

“Baiklah, aku mengalah. Kau itu wanita yang cantik, Jo,” ucap Darren memujiku tapi aku sama tidak tersanjung sama sekali. Kemudian, ia menarik tanganku lagi agar kami berjalan kembali.

Angin sore kali ini menerpa tubuh kami dengan lembutnya. Membuat suara-suara yang membuat telinga yang mendengar terasa damai. Matahari sebentar lagi akan turun. Biasanya, aku dan Justin sering melihat matahari terbenam. Itu dulu sebelum kami dipindahkan jam kerja sore. Dulu, aku dan Justin kerja di siang hari. Ini sungguh merumitkan. Sebentar lagi aku harus bekerja.

“Jo, aku dengar kau mempunyai sahabat,” ucap Darren yang membuatku menoleh untuk melihatnya. Aku mengangguk. Lalu?

“Dan kalian pernah berciuman. Apa itu benar?” tanya Darren yang tahu ..tahu dari siapa?! Astaga! Jangan sampai orangtuaku tahu kalau aku dan Justin berciuman. Karena ayah dan ibuku tidak mengizinkan aku dan Justin berpacaran. Karena ..aku tidak bisa memberitahu kalian semua. Itu terlalu privasi.

“Aku tidak pernah berciuman dengan sahabatku, itu hal terbodoh yang pernah kulakukan,” ucapku berbohong. Tapi dengan polosnya, Darren mengangguk percaya. Aku menghembuskan nafasku dengan lega. Tapi aku masih penasaran, dia tahu dari mana?!

“Tapi, aku ingin melakukan ini padamu,” ucap Darren yang tiba-tiba mencium bibirku dengan ..lembut?!

Ia memegang leherku dengan lembut lalu memelukku dengan erat. Sehingga aku tidak bisa menolak ciuman ini. Aku memang tidak bisa menolak karena dia adalah seorang pencium yang ulung. Aku tidak bisa pungkiri itu. Dan itu memang kenyataannya. Aku melingkarkan kedua tanganku di lehernya dengan begitu mesra.

“Kau wanita tercantik yang pernah kutemui,” ucap Darren disela-sela ciuman kami. Aku tidak menghiraukan kata-katanya. Yang terpenting sekarang adalah, aku mencium bibirnya.


****

“Meja 5,” ucapku menjepitkan kertas pesanan dari pengunjung. Sore ini aku bekerja lagi. Tentunya tidak dengan Justin. Tapi kuharap Justin datang, karena dia sudah berjanji padaku kalau ia akan datang sebelum aku pulang dari Seafood Is  Food. Aku menatapi para pengunjung, siapa tahu ada yang belum dilayani.

“Hei, Justin menunggumu di belakang,” ucap Julian tiba-tiba dari dapur. Aku menatapnya dan mengangguk. Astaga! Aku tidak percaya bahwa Justin akan benar-benar datang. Dengan cepat aku berlari ke belakang Restoran.

Dan benar saja, Justin sudah sedang duduk di atas Vespa-ku. Lalu aku menghampirinya dengan senyuman yang sumringah.

“Apa yang kaulakukan dengan lelaki itu tadi di pantai?” tanya Justin yang membuka kerudung jaketnya. Dan kulihat wajahnya begitu memar. Astaga, Justin! Kau kenapa?! Aku sungguh khawatir sekarang.


****


“Pergi!” ucapku ketus saat Zayn berusaha untuk menahanku agar tidak masuk ke dalam rumahku. Ia terus menarik tanganku. Aku terus menarik tanganku agar ia melepaskan tanganku. Kalau aku lelaki dengan kekuatan yang cukup, aku akan memukul Zayn baik-baik. Zayn bilang bahwa ia tidak terima jika aku berdekatan lagi dengan Justin. Dan kau tahu apa?! Ternyata Zayn yang memukul Justin.

“Jo, dengar. Aku tidak bermaksud untuk melakukan itu pada Justin, percaya padaku,” ucap Zayn yang berusaha meyakinkan. Aku berhenti memberontak lalu berbalik dan menatapnya. Senyumannya mulai mengembang setelah daritadi ia cemberut dan memohon padaku agar aku memaafkannya.

“Bagaimana aku bisa memaafkanmu Zayn? Sedangkan kau saja berpacaran denganku hanya sebentar  dan kau sering berbohong dan bahkan kau berselingkuh. Bagaimana bisa?” tanyaku menyunggingkan senyuman yang mengejek. Zayn menggelengkan kepalanya lalu menunduk.

“Kau tidak tahu seberapa besar cintaku pada Mom, kau tidak tahu bagaimana perasaanku jika IBUMU SENDIRI DIGAULI OLEH SAHABAT DARI MANTAN KEKASIHMU!!!” teriak Zayn membuatku terkejut ¾ mati. Kepalaku terasa pusing sekarang, dan aku ingin mual. Kenapa Justin?! Aku akan ikut dengan Darren. Aku akan ikut dengan Darren ke Washington dan meninggalkan segalanya di Pacifica. Termasuk Justin, aku akan meninggalkan Justin. Aku sungguh malu akan apa yang telah diperbuat oleh sahabatku kepada ibu dari mantan pacarku sendiri. Ini sungguh memalukan. Aku bahkan tidak berharap itu akan terjadi. Dan bahkan aku tidak menyangka itu semua. Rasanya aku ingin mati di tempat.

“Zayn, tinggalkan aku. Maaf, tapi sungguh aku minta maaf,” ucapku menggelengkan kepalaku. Air mataku sudah terjatuh karena aku sendiri tidak mengerti kenapa aku menangis. Zayn mengangkat kedua tangannya lalu mengundurkan dirinya dari hadapanku. Rasanya aku tidak rela jika Justin melakukan itu kepada tante-tante atau kepada para remaja. Memang ayah Zayn jarang ada di rumah, tapi apa ibu Zayn harus pergi ke tempat para gigolo bekerja?! Aku tidak habis pikir.

Karena setelah aku sadari adalah cinta itu ketulusan dan kebenaran. Dan aku baru sadar satu hal bahwa aku sudah ..mencintai sahabatku sendiri. Aku peduli dengan Justin. Aku terduduk di teras rumahku, di tangga sambil menatap ke jalanan aspal di perumahan ini. Air mataku mengalir. Sakit rasanya jika aku telusuri bahwa aku benar-benar tidak terima jika Justin bekerja sebagai Gigolo. Bagaimana bisa aku menerima Darren sedangkan aku sendiri mencintai sahabatku sendiri?! Ini sangat tidak benar. Aku harus membatalkan perjodohan ini. Karena biarpun Darren sempurna dan lebih baik dari Justin, Justin adalah orang yang benar-benar kusayang dan kucintai. Astaga, kenapa aku begitu plin-plan?! Ini antara perasaan cintaku pada Justin dan perasaan malu karena Justin.

Sudah malam. Kurasa sudah jam 8 malam. Dan aku tidak peduli. Aku tidak ingin masuk ke dalam rumah. Dan aku tidak mau kembali lagi ke Seafood Is Food, setelah sebenarnya dan seharusnya aku mengambil sesuatu di rumahku. Aku tidak mau. Aku meninggalkan Justin di Seafood Is Food bersama dengan Vespa-ku yang masih tertinggal di sana. Bahkan sekarang aku sudah tidak peduli lagi dengan Vespa yang sebenarnya kucinta.

 Aku menyandarkan tubuhku di pagar kayu rumahku dengan air mata yang masih mengalir. Aku masih tidak bisa berpikir sekarang. Seorang sahabat yang baru kutahu kalau aku mencintainya, dan dia baru saja menggauli ibu dari mantan pacarku?! Aku ingin sekali marah. Ingin sekali menampar seseorang. Aku ingin berteriak. Aku ingin sekali …Justin ada di sini. Di sisiku sekarang. Lalu aku menyandar pada dadanya yang bidang itu meski aku tahu, seharusnya aku marah padanya karena telah melecehkan ibu dari mantan pacarku. 

Darren, aku juga benci dia. Kenapa aku bisa hanyut dalam ciumannya itu?! Aku benar-benar wanita yang bodoh. Aku terlalu memikirkan ciuman dibanding dengan rasa cintaku pada Justin. Aku ingin sekali membatalkan perjodohan ini. Ini benar-benar tindakan konyol. Aku akan menentang orangtuaku dan Justin yang telah mendukungku untuk menikah dengan Darren. Aku tidak mau, dan aku sama sekali tidak ingin menikah dengan Darren.

“Lho, Jo?! Kenapa cepat sekali kau pulang?” tanya ibuku yang tiba-tiba saja keluar dari rumah dan mendapatiku yang sedang terduduk lemas. Aku menghapus air mataku dengan cepat. Ibu terjongkok di depanku dan melihatku dengan raut wajah yang sedih.

“Aku ingin perjodohanku dengan Darren batal,” ucapku langsung pada intinya. Ibuku menatapku dengan tatapan bingung. Yeah, tentu saja. Pertama aku setuju karena Justin juga setuju, tapi setelah aku sadar. Aku sadar bahwa Justin hanya berbohong padaku, tidak mungkin dia setuju. Aku yakin dia juga mencintaiku. Aku yakin itu.

“Tapi kenapa tiba-tiba kau membatalkannya? Mom pikir kau sudah setuju,” ucap ibuku dengan lembutnya. Aku menggelengkan kepalaku. Kemudian air mataku kembali terjatuh. Aku begitu emosi sekarang. Emosi karena temperamen melankolisku mulai kambuh.

“Aku mencintai Justin, Mom,” ucapku jujur. Aku tidak peduli jika ibu tidak setuju karena aku mencintai Justin. Karena aku sudah dewasa. Aku tahu yang terbaik untuk diriku. Aku tahu itu.

“Tapi kau tahu bukan jika di keluarga itu sangat diperlukan pasangan yang memiliki orangtua? Justin bahkan tidak memiliki ayah,” balas ibu yang benar-benar tidak masuk akal. Aku tidak akan pernah masuk ke dalam keluargaku ini. Aku tidak ingin tradisi konyol ini terus berjalan hingga pada generasi anak-anakku kelak. Ini sungguh-sungguh konyol.

“Aku tidak peduli,” ucapku dengan suara yang bergetar. Ibuku mendesah.

“Jo, Justin bukan yang terbaik untukmu,” ucap ibuku yang membuatku benar-benar kesal. Kenapa setiap aku membicarakan Justin yang baik-baik pasti ibuku bilang bahwa Justin bukanlah lelaki yang baik dibanding dengan lelaki pada umumnya?! Aku ingin sekali berteriak sekarang.

Aku berdiri dan menatap ibuku dengan tatapan kesal. Ibuku ikut berdiri dan mencoba untuk menyentuh tanganku. Aku tidak ingin menjadi anak yang durhaka, tapi aku tidak kuat lagi jika aku mendengar ocehan-ocehan mereka tentang Justin yang tidak-tidak. Itu tidak benar. Mulai dari Justin adalah anak yang tidak diinginkan, Justin seorang yang bodoh, ia miskin, ia tidak memiliki ayah, ibunya seorang akuntan. Lalu apa masalahnya?! Aku tidak memandang Justin dari kekayaannya atau latar belakang kehidupannya. Yang aku tahu adalah Justin seorang yang setia, yang tulus menyayangiku, yang benar-benar sempurna di mataku.

“Malam Mom, tapi aku harus tidur. Aku tidak peduli jika Mom ingin membicarakan ini pada Dad, aku tidak peduli. Karena aku sudah dewasa, aku sudah tahu mana yang terbaik untukku,” ucapku mengangkat kedua tanganku lalu masuk ke dalam rumah. Aku tidak menyapa ayahku yang sedang menonton televisi. Aku langsung berlari ke kamarku. BRAK! Kututup pintu kamarku dengan kasar. Aku tidak peduli jika pintu itu akan rusak. Aku menguncinya dengan baik-baik. Lalu aku menghempaskan tubuhku di atas kasurku ini.

Aku menarik nafasku dan air mataku semakin mengalir. Oh Tuhan, apa aku benar-benar mencintai Justin?! Yeah, aku mencintainya. Aku sangat-sangat mencintainya. Bahkan aku ingin sekali membawa Justin ke Atlanta agar ia bisa berkuliah di sana dan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Aku ingin sekali. Bahkan aku tidak peduli dengan perasaan ayahku yang akan kecewa sebentar lagi karena ibu pasti akan memberitahu ayah tentang aku membatalkan perjodohan ini.

Perjodohan adalah tindakan terbodoh yang dilakukan oleh setiap orangtua. Karena, hati yang memilih. Bukan orang lain yang memilih.

“JO! BUKA PINTUMU SEKARANG!” teriak ayahku dari balik pintu kamarku. Aku tidak ingin membuka pintunya, tapi aku tidak ingin ayah susah-susah mendobraknya. Aku menghapus air mataku dan mempersiapkan mentalku yang akan segera terpukul oleh bentakan-bentakan dari ayah. *ceklek* Aku membuka pintu kamarku. Aku menyandarkan tubuhku di kepala tempat tidur.

“Apa maksudmu ingin membatalkan perjodohan ini?” tanya ayahku langsung saat ia sudah masuk. Ia menatapku dengan tatapan berapi-api. Ia benar-benar marah padaku. Aku tidak peduli.

“Aku tidak mencintai Darren, aku mencintai Justin,” ucapku tidak menatap ayahku. Geraman ayahku mulai terdengar ditelingaku. Aku siap untuk dibentak.

“Jo, Dad sedang tidak ingin marah. Tolonglah, mengerti budaya dan tradisi kita, nak. Jika pasanganmu tidak memiliki orangtua yang utuh, itu tidak sah dikeluarga kita ini,” ucap ayahku mendesah pelan. Aku menggelengkan kepalaku. Persetan dengan tradisi keluarga!

“Aku bahkan tidak peduli,” ucapku acuh.

“Kau harus peduli itu nak,” balas ayahku dengan cepat. Aku menggelengkan kepalaku. Berusaha untuk tidak menangis.

“Justin itu anak dari—“

“Dari penghasilan hamil diluar nikah? Anak yang bodoh? Anak dari orang miskin? Anak yang selalu kalian tanggapi bahwa ia bukan yang terbaik untukku kan?! Iya kan?!” teiakku kesal sekali. Air mataku mulai terjatuh. Aku bosan. Aku kesal. Aku ingin sekali orangtua mengerti perasaanku yang tidak bisa ditahan ini. Hatiku sudah terisi penuh dengan Justin, bahkan hatiku tidak muat lagi. Tidak ada tempat untuk orang lain lagi.

“Karena dia memang seperti itu,” ucap ayah melemah.

“Tapi aku sahabatnya. Kalian tidak pernah tahu bagaimana latar belakang Justin,” balasku lagi, “Intinya Dad, aku tidak ingin menikah dengan Darren apapun alasannya itu,” tambahku saat ayahku ingin berbicara lagi. Ia mengangguk lalu menatapku dengan pasrah. Tapi, kepasrahan itu adalah kemarahannya.

“Kau dan Justin tidak akan pernah bersatu! Dengar itu, Jhoanna!” teriak ayahku yang menutup pintu kamarku dengan kasar. Aku tidak peduli. Aku tidak peduli, ayah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar