Minggu, 22 Desember 2013

Cerpen: Bieber Is Umm... Part 2

***

Sudah malam, aku melangkahkan kakiku untuk pergi ke parkiran motor dan memakan makanan yang tadi aku beli di Fanny’s Burger. Kubanting bokongku di atas kursi Vespa-ku. Huh, malam ini begitu membosankan. Well, memang seperti biasanya juga seperti itu. Kugigit burgerku dengan liarnya. Aku benar-benar lapar setelah seharian ini aku bekerja. Mrs. Judy harus membayarku dua kali lipat dari bias anya, kurasa. Karena benar, tulang-tulangku rasanya ingin putus semua. Kulirik jam yang terpajang di sebuah tiang yang di mana papannya itu adalah televisi untuk iklan dan ada jamnya. Sudah jam 9 malam. Huh, aku harus segera pulang. Besok hari Minggu, aku harus pergi ke pantai untuk kerja sampinganku. Eh!? Kerja sampingan Justin adalah gigolo. Aku baru sadar. Tapi, apa memang benar? Kata Julian itu tidak benar. Tapi kenapa dia membohongiku?!

Tiba-tiba semuanya gelap. Ada orang yang menutupi mataku. Siapa?

“Julian?” ucapku kaget. Aku takut sekali. Sampai-sampai bibirku bergetar.

“Justin?” ucapku lagi. Kemudian, terlepaslah tangan itu dari mataku. Kubuka mataku perlahan dan berharap bahwa itu adalah Justin. Dan benar saja, itu adalah Justin. Ah! Aku benar-benar kaget karenanya. Ini untuk pertama kalinya ia ada di sini, di hari Sabtu.

“Justin!” jeritku kegirangan karena seharian ini aku hanya diam dan hanya bertanya-tanya pada pengunjung Seafood Is Food. Aku melempar burgerku dan memeluk Justin dengan erat. Entah kenapa, hatiku bergetar saat aku melihat wajah tampan Justin.

“Hoho, kenapa kau terlihat begitu senang?” tanya Justin yang benar-benar tidak masuk akal. Tentu saja aku senang.

Pertama, kukira dia marah padaku karena kemarin aku bertanya padanya kenapa setiap hari Sabtu dan hari Minggu dia tidak ada. Dan kedua, hari ini tidak ada dia di Seafood Is Food. Dan akhirnya dia datang untuk pertama kalinya. Aku benar-benar senang. Dan aku benar-benar penasaran apa yang ia lakukan seharian ini. Aku ingin memastikan bahwa ia itu bukan seorang gigolo. Kulepas pelukanku dan mengambil Coke Diet yang kutaruh di sebelahku. Kuminum dengan ngos-ngosan karena sangking senangnya aku bertemu dengan Justin. Kemudian aku memberikan minumanku pada Justin. Langsung saja Justin meminumnya.

“Well, Justin. Aku ingin bertanya,” ucapku memberanikan diri, “Apa kau seorang gigolo?” tanyaku dengan cepat. Sontak Justin menyemburkan Coke itu tepat di dadaku. Astaga! Bagus sekali, Justin. Aku memejamkan mataku lalu membukanya lagi.

“A-apa?” tanya Justin terbelalak.

“Apa kau seorang gigolo?” tanyaku lagi. Dengan cepat ia menggelengkan kepalanya dan wajahnya langsung saja pucat. Apa dia sedang jujur? Kurasa tidak.

“Ti-tidak,” jawab Justin dengan terbata-bata. Aku menatapi dengan tatapan menyelidik.

“Well, hhh, aku hanya—“ ucap Justin terpotong. Ayo cepat Justin! Aku benar-benar penasaran.

Sekarang, aku menatapinya dengan tatapan jenuh. Rasanya aku ingin membawa Justin ke tempat yang gelap agar ia cepat memberitahuku apa dia seorang gigolo atau tidak. Dia menghelakan nafasnya lalu memejamkan matanya. Ayo cepat Justin! Aku benar-benar gemas sekali. Tapi tiba-tiba saja dia menarik leherku dan menempelkan bibirku dengan bibirnya. Astaga!

Aku benar-benar tidak bisa menolak ini. Dengan cepat aku merangkul lehernya. Dia memegang pinggangku dengan erat. Dan langsung saja aku memeluknya dengan kedua kakiku terlingkar di pinggangnya. Benar-benar atletis laki-laki satu ini. Aku menyukai postur tubuhnya. Apalagi saat ia sedang berselancar. Gila! Wanita-wanita di pantai selalu meneriakinya dengan teriakkan yang membuatku ingin menyumpal mulut mereka dengan celana dalam Justin.

Kulepas kecupan bibir Justin dan menatapi matanya yang berubah warna menjadi warna matahari. Astaga! Benar-benar menakjubkan.

“Well, jadi apa benar kau seorang gigolo?” tanyaku sambil tersenyum. Dia menggelengkan kepalanya, dia tidak menjawabnya. Kemudian ia kembali mendekatkan bibirnya pada bibirku. Aku menggelengkan kepalaku.

“Kau harus menjawabnya dulu, Justin. Aku tahu itu dari Julian,” ucapku yang membuat bibir bergetar. Well, bibirku juga bergetar karena aku habis mencium bibirnya yang manis itu.


****

Justin masih diam terpaku melihatku, atau lebih tepatnya melihat bibirku. Aku menelan ludahku dengan susahnya. Hening sekali di parkiran ini. Yang kudengar hanyalah deburan air laut yang terhempas pada bebatuan yang besar di Pantai sana. Aku masih dalam posisiku, melingkarkan tanganku pada leher Justin dan melingkarkan kakiku pada pinggang Justin. Dan Justin semakin mengeratkan genggaman tangannya pada pinggangku.

“Just, ayo jawab,” ucapku dengan suara yang kecil dan lembut. Ia menggelengkan kepalanya dengan wajah tanpa ekspresi.

“Aku bukan gigolo, percaya padaku,” ucap Justin padaku. Aku mengangguk percaya, dan kuharap ia tidak berbohong. Dia mendekatkan bibirnya pada bibirku dan mencoba untuk mencium bibirku. Kupejamkan mataku untuk mencium bibirnya juga.

“Heyo! Apa yang kalian lakukan di sini? Oh, bercumbu,” ucap seseorang dari belakang. Aku ingin membunuh orang ini. Aku turun dari gendongan Justin dan berbalik untuk melihat siapa yang mengganggu kami. Dan kembali lagi, Zayn yang mengganggu kami. Apa maunya? Aku benar-benar bosan dengannya. Setelah apa yang ia lakukan di Seafood Is Food tadi siang. Dengan penuh nyali, ia masih bisa tersenyum padaku dan melambaikan tangannya padaku.

“Hei, apa kabar?” tanyanya yang membuatku menautkan kedua alisku. Dia aneh. Maksudku, memang dia sudah aneh sejak lama. Tapi, apa dia harus bertanya ‘apa kabar’ padaku padahal tadi siang dia sudah melihatku. Oh, mungkin dia ingin melihatku sakit hati. Hei, Mr. Malik, aku sama sekali tidak merasa cemburu pada pacar baru mu atau aku memang harus memanggilnya pacar?! Oh tidak, dia pelacur. Terlihat sekali dari cara berpakaiannya.

“Just, ayo kita pergi,” ucapku pada Justin. Justin yang tadi membawa sepedanya dengan segera mengambil sepedanya dengan cepat. Wajahnya begitu pucat setelah aku bertanya-tanya tentang gigolo padanya.

Aku mengambil helmku yang kutaruh di kaca spion dan menerobosnya dengan kepalaku. Aku menaiki motorku dan mengangkat stang-nya dengan kakiku lalu mundur ke belakang. Hampir saja aku menabrak Zayn yang dengan bodohnya melihat apa yang sedang kulakukan. Justin sudah berjalan duluan.

“Kau tahu Zayn? Caramu untuk membuatku cemburu itu tidak berguna, Mahalo,” ucapku menyalakan motorku dan menggasnya dengan cepat untuk menyusul Justin.

“Kau tahu apa Jhoanna?! Aku akan segera mendapatkan mu lagi,” ucap Zayn berteriak. Aku tertawa dalam hati. Semoga saja Zayn, tapi aku bukan wanita bodoh.

“Dalam mimpi!” teriakku dan melambaikan tanganku lalu memberinya jari tengah yang paling indah. Aku tersenyum.


---

“Hei, Mom!” sapaku saat aku sudah sampai di rumah. Aku mengajak Justin untuk menginap di rumahku. Dia bilang, dia bisa. Ini semakin meyakinkanku kalau dia itu bukan seorang gigolo. Aku menggandeng tangan Justin untuk naik ke atas kamarku.

“Jojo, kemarilah,” ucap ayahku yang membuatku berhenti melangkah. “Kau pergi saja duluan,” ucapku pada Justin. Justin hanya mengangguk. Aku turun dan menghampiri ayahku yang sedang menonton televisi. Aku duduk di sebelah ayah.

“Ada apa, dad?” tanyaku menghembuskan nafas panjang. Ayah menarik bahuku untuk masuk ke dalam pelukannya. Aku tersenyum. Aku suka jika ayah melakukan ini padaku, karena aku bisa mencium parfum khasnya.

“Kau lihat ini apa?” tanya ayah padaku saat ia meperlihatkan sebuat tiket konser ..KATY PERRY?!! Aku ingin pingsan. Perlu kalian tahu, aku dan Justin adalah penggemar Katy Perry. Dan aaah! Ayah membelikan dua tiket. Aku benar-benar akan mati sekarang. Eh, jangan. Nanti aku tidak bisa pergi ke konser Katy.

“Ini untukmu dan Justin, kau tahu kapan konsernya bukan?” tanya ayah padaku. Aku mengangguk kegirangan . Hatiku melompat di dadaku saat aku menyentuh tiket ini. Ini benar-benar nyata. Aku mencium pipi ayahku.

“Giliran sudah diberi apa yang kau mau, baru kau cium dad. Dasar!” ucap ayahku mengacak-acak rambutku. Aku tertawa dan berdiri untuk pergi ke kamarku. Aku berlari secepat mungkin untuk sampai pada kamarku.

---

“Aaah! Yeah, aku tahu itu Justin. Ini benar-benar menyenangkan!” ucapku berteriak kesenangan saat aku memberitahu Justin bahwa 4 hari ke depan kita akan pergi ke konser Katy Perry. Justin tersenyum padaku. Astaga! Dia benar-benar tampan jika tersenyum padaku seperti itu.

“Ini lebih menyenangkan dibandingkan aku berpacaran dengan Zayn!” teriakku lagi.

“Yeah, dan lebih menyenangkan daripada bercinta,” ucapku Justin yang membuatku tersentak. Aku berhenti melompat kegirangan. Justin yang terduduk di atas kasur menatapku dengan tatapan seperti tidak ada yang terjadi. Astaga! Aku benar-benar tidak menyangka bahwa Justin telah bercinta dengan seseorang. Tapi siapa? Dia bahkan tidak pernah berpacaran. Apa tante-tante? Iuh! Aku bahkan tidak ingin membayangkannya.

“Maksudmu apa Justin?” tanyaku duduk di sebelahnya. Dia tertawa dan menggelengkan kepalanya. Dia benar-benar imut. Ah! Jangan berpikir seperti itu! Walau memang benar dia imut, apalagi bibirnya itu. Ish! Jhoanna! Jangan berpikir seperti itu lagi, dia itu sahabatmu.

“Tidak, aku hanya bercanda. Kau ingin tidur?” tanya Justin padaku. Aku menggelengkan kepalaku. Ini masih jam setengah 10 malam. Aku belum terlalu mengantuk. Tapi kurasa Justin sudah mengantuk. Justin sering menginap di rumahku dan kadang aku juga menginap di rumahnya. Intinya, kami saling menginap. Untungnya, tempat tidur di kamarku dan Justin adalah double bed. Jadi, kita bisa membatasinya dengan bantal guling ditengah-tengah. Walau kadang aku selalu memeluk Justin saat aku tidur. Aku memang suka memeluk bantal guling. Tapi, kalau ada bantal guling yang tampan? Tentu saja kita akan memeluknya.

“Just, apa besok kau akan menghilang lagi?” tanyaku pada Justin. Justin menggelengkan kepalanya. Bagus, berarti dia bisa menemaniku untuk bekerja di Lemon’s Café. Setiap hari minggu, Café itu sering sekali dikunjungi oleh para turis. Karena memang enak sekali rasa Es Lemon buatan mereka. Aku bahkan tidak pernah diizinkan untuk membuat Es Lemon di sana. Aku hanya sebagai pelayan. Dan, pakaianku saat bekerja di Lemon’s Café hanyalah sebuah bikin berwarna kuning dengan bercak merah di sana, dan dilapisi dengan selendang yang panjang sekali di pinggang. Dan akan ada bunga berwarna kuning besar di kepala sebelah kananku. Aku benar-benar feminim.

“Kau masih menganggapku gigolo, ya?” tanya Justin yang sepertinya meragukan kepercayaanku saat aku melamun. Well, aku percaya padanya. Aku menggelengkan kepalaku. Kemudian aku jadi teringat dengan ciuman kami tadi. Itu adalah ciuman yang paling enak sepanjang sejarah hidupku yang masih muda ini. Lebih hebat dibanding dengan cara ciuman Zayn yang ..aku saja tidak bisa menjelaskannya pada kalian semua.


****

Hari Minggu ini memang banyak sekali pengunjung yang datang ke Mori Point. Padahal sekarang baru saja jam 9 pagi. Kulihat Justin dengan celana renang ketatnya membawa papan selancar ke laut, dan dia tidak memakai baju atasan. Itu membuat otot perutnya terlihat dengan sangat-sangat jelas. Sebenarnya daritadi dia sudah bermain selancar. Tapi aku terlalu sibuk untuk mengantarkan Es Lemon kepada pengunjung. Adapula pengunjung yang memintaku untuk membawanya ke tempat berjemurnya. Jauh lagi. Memang, resikonya besar sekali. Kalau misalkan kita lupa tempat yang diberitahu oleh pengunjung itu, maka tidak akan datang tip di sakuku nanti. Dan hanya sekarang waktu untuk bersenang-senang melihat tubuh Justin yang biseps itu.

Kulihat dia mulai menaiki papan selancarnya saat ombaknya datang. Dan, Oh My! Rambutnya yang basah itu kembali terbasahi oleh air lagi yang membuatnya seksi. Aku ingin pingsan sekarang. Tangannya ia rentangkan agar ia lebih leluasa untuk menjaga keseimbangan. Kemudian, dia menghilang di dalam air laut. Amazing! Benar-benar ..seksi! Eh!? Astaga, Jhoanna! Dia itu sahabatmu! Ish! Kenapa otakku tidak bisa berhenti untuk tidak memikirkan wajah Justin yang tampan dan tubuh Justin yang seksi.

Justin melambaikan tangannya padaku saat ia melambaikan tangannya. Tapi, beberapa wanita yang sedang berjemur di depanku –beberapa meter- itu berteriak kegirangan dan melambaikan tangannya pada Justin. Dan salah satu diantaranya berteriak bahwa dia sangat ingin bercinta dengan Justin. Aku ingin mual. Di sana ada 4 orang wanita muda yang menjengkelkan. Dan membuatku ingin mengubur tubuh mereka di dalam pasir.

“Hei, mmm, Jo. Aku harus pergi sekarang, aku ada urusan.” ucap Justin yang menghampiriku dan berpamitan padaku. Senyuman manisku tiba-tiba saja surut saat ia bilang kalau ia tidak bisa menemaniku lebih lama lagi. Aku mengikutinya yang berjalan ke arah bebatuan dekat Café ini.

“Tapi Justin, kita bahkan baru saja berada di sini 2 jam yang lalu. Kenapa kau begitu cepat untuk pergi?” tanyaku protes. Ia bilang bahwa hari ini ia tidak akan menghilang. Well, memang dia tidak menghilang. Tapi ia mau ke mana?! Justin mengelap wajahnya dan rambutnya yang basah itu. Kemudian ia memakai baju putih ketatnya dan menutupi celananya dengan handuk yang tadi ia pakai. Lalu ia melepas celana renang itu dan memakai celana yang baru. Justin menatapku.

“Aku janji akan membawakan makanan kesukaanmu jam 9 malam nanti, well Jo. Aku harus pergi sekarang,” ucap Justin yang mulai mengemaskan barang-barangnya ke dalam tasnya lalu mencium keningku. Aku dia terpaku karena aku tidak sanggup untuk berkata-kata lagi. Aku hanya bisa melihat Justin yang sedang memanjati bebatuan yang tinggi untuk mencapai jalan raya kemudian menghilang begitu saja. Dan itu membuatku ..marah.


****

Aku berteriak kesenangan saat aku dan Justin sudah sampai di pintu gerbang Pacifica Stadion. Aku ingin mati rasanya sekarang. Sebentar lagi aku akan bertemu dengan penyanyi yang kusukai. Aku terus memegang lengan Justin. Sesekali Justin tertawa karena melihatku yang berteriak-teriak kegirangan. Ia berpikir bahwa aku tidak tahu malu karena di tengah-tengah kerumunan orang banyak. Dan, aku dan Justin baru saja sampai di penjaga tiket. Dengan cepat Justin memberikan tiket tersebut pada penjaga tiket itu. Dan, akhirnya! Aku sudah masuk ke dalam stadion. Ayo, Justin! Aku benar-benar tidak bisa menahan emosiku sekarang.

“Hei, Justin. Kenapa kau bisa ada di sini?” tanya seseorang yang tiba-tiba saja menepuk pundak Justin saat aku dan Justin baru saja ingin duduk. Seorang tante-tante dengan senyuman lebarnya menatap Justin dengan tidak percaya. Aku bahkan tidak mengenal wanita ini.

“Ak-aku ingin menonton konser Katy Perry, tentunya. Hahahaha,” tawa Justin yang benar-benar palsu. Aku tahu tawa Justin yang sebenarnya. Kemudian, tiba-tiba saja tante-tante itu tersenyum mesum pada Justin. Aku menaikan satu alisku saat aku benar-benar kaget. Ia memberikan sinyal ‘telepon aku’ pada tangannya ke telinganya. Lalu memainkan matanya pada Justin. Aku ingin mual.

“Just, dia siapa?” tanyaku berbisik. Justin menatapku dengan wajah yang sudah pucat, kemudian dia menggelengkan kepalanya. Kulihat bibirnya bergetar. Aku jadi khawatir dengan keadaannya yang seperti ini. Kemudian dia tertawa canggung padaku. Sungguh, aku tidak suka jika Justin menyembunyikan rahasia padaku.

“Dia hanya ..Jo, dia tidak penting,” balas Justin yang membuatku bingung. Lalu apa maksud dari ‘Call Me Maybe?’


***


Aku hanya dapat melipat tanganku saat melihat Justin yang sedang berada di panggung bersama Katy Perry. Dan bisa kulihat daritadi Justin hanya melihat dada Katy yang besar itu. Rasanya aku ingin mencongkel mata Justin. Dan daritadi, wanita yang sok kenal dengan Justin itu berteriak-teriak kegirangan saat Justin menari seksi di depan sana sampai-sampai Katy Perry tersanjung. Benar-benar menyebalkan sekali, bukan karena dia sedang menggoda Katy, tapi karena keberadaan tante-tante ini yang terus menerus menggoda Juzteen. Kudekati tante ini yang duduknya dekat dengan Justin.

“Well, tante. Aku ingin bertanya boleh?” tanyaku dengan sopan. Dia yang sedang tersenyum kegirangan langsung melihatku dengan sinis.

“Apa?” tanyanya dengan nada bicara yang datar.

“Well, aku ingin tanya. Bagaimana bisa kau bertemu dengan Justin?” tanyaku ingin tahu. Ini adalah satu-satunya jalan untuk memastikan apa Justin seorang gigolo atau bukan. Karena aku ingin sekali menampar wajah Justin yang selalu bersikap aneh saat aku bertanya dia adalah gigolo atau bukan.

“Aku bertemu dengannya di Robin N’ Friday, kenapa?” tanya tante ini yang masih berbicara dengan nada yang datar. Aku mengangguk dan menjauh darinya.

Aku terdiam terpaku saat aku benar-benar tidak bisa berpikir dengan jernih. Robin N’ Friday adalah tempat para gigolo bekerja. Dan Justin?! Aku ingin mual sekarang. ASTAGA! Aku benar-benar ingin mual. Kututup mulutku dan berjalan untuk keluar dari stadion ini. Ternyata selama ini Justin adalah seorang gigolo. Aku benar-benar kecewa dengan Justin yang berbohong padaku.


****

Aku terus menyentuh pasir yang kududuki dengan lembutnya. Aku berdiam diri di tengah-tengah pasir yang halus ini. Angin menerpa tubuhku yang mungil ini. Aku tidak menangis. Aku tidak menangis. Karena apa? Aku hanya kecewa dengan perbuatan Justin yang benar-benar membuat kesalahan yang fatal bagiku. Selama ini dia adalah seorang gigolo dan dia tidak memberitahu ku?! Aku adalah sahabatnya dan diantara kami tidak boleh ada rahasia yang terpendam. Aku ingin sekali menampar wajah Justin setelah dia berani-beraninya mencium bibirku. Bibir itu sudah bekas para tante-tante yang kesepian. Sungguh, mungkin sekarang dia sedang berada di kamar bersama tante-tante tadi. Ish!

Aku bahkan tidak bisa menikmati konser seorang Katy Perry yang kugemari hanya karena aku penasaran dengan Justin yang ternyata berbohong padaku ini. Baiklah, aku memang terus menerus bilang pada kalian bahwa Justin telah berbohong. Karena aku masih tidak percaya.

“Hei,” panggil seseorang dari belakang. Aku tak bergeming. Aku tak ingin bertemu dengan siapa-siapa sekarang. Aku hanya perlu udara segar. Kemudian, tiba-tiba saja orang itu duduk di sebelahku. Oh, Julian. Kenapa dia berada di sini? Kulihat jam tangan yang kupakai. Sudah jam 9 malam. Berarti dia baru saja selesai bekerja setelah kemarin aku meminta izin pada Mrs. Judy untuk tidak masuk kerja hari ini.

“Ada apa?” tanyanya yang membuatku muak melihatnya juga. Tentu saja. Dia juga berbohong padaku. Dia bilang kalau Justin itu seorang gigolo, tapi dia bilang dia berbohong. Tapi apa? Yang kutahu sekarang adalah Justin seorang gigolo yang tampan. Yang bisa membuatku masuk ke dalam ciumannya. Bibir dari para tante-tante. Ish! Aku merasa kotor sekarang.

“Kau berbohong padaku tentang Justin bukan seorang gigolo,” ucapku tanpa melihatnya. Sudah kubilang pada kalian bahwa aku sedang tidak ingin melihat siapa-siapa sekarang. KECUALI, Justin. Aku ingin sekali merobek bibir Justin sekarang.

“Aku tidak—“

“Aku sudah tahu Julian. Jangan mengelak, aku sudah tahu,” ucapku yang benar-benar tidak percaya bahwa Julian masih saja berusaha untuk berbohong padaku. Padahal aku sudah tahu buktinya. Tante-tante itu tidak mungkin berbohong padaku, karena dia tidak tahu bahwa aku belum tahu kalau Justin itu adalah seorang gigolo. Kututup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Aku benar-benar tidak bernafas sekarang. Aku baru saja sadar bahwa selama ini sahabatku telah kotor karena dia telah bercinta dengan tante-tante. Aku bahkan ingin mual sekarang. Tiba-tiba pundakku ditepuk oleh Julian.

“Aku sedang tidak ingin disentuh oleh pembohong,” ucapku dengan suara yang parau. Kudengar deru nafas Julian.

“Yeah, aku memang pembohong dan aku minta maaf,” ucap Justin yang ternyata bukan Julian. Aku membuka telapak tanganku dan benar saja, itu adalah Justin. Aku langsung menyingkirkan tangan Justin dari pundakku. Aku masih tidak terima kalau aku di bohongi. Tentu saja, satu kebohongan terbongkar berarti masih banyak lagi kebohong yang belum terbongkar. Dan aku sungguh membenci pembohong. Dan kuharap ini hanya 1 kali dalam seumur hidupku. Aku harap tidak akan ada kebohongan dari Justin selain ini.

Aku langsung berdiri dengan cepat dan menjauhi Justin. Justin ikut berdiri dan mencoba untuk menyentuhku. Dengan cepat aku menyingkirkan tangannya. Aku bersungguh-sungguh untuk mencakar wajah Justin sekarang. Kebetulan kuku milikku panjang sekali. Jadi mungkin aku bisa mencolok mata Justin.

“Ini benar-benar … Hhh, Jo. Aku punya alasan kenapa aku melakukan ini,” ucap Justin yang terlihat begitu menyesal. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Aku masih tidak habis pikir dengan Justin. Bahkan dia masih mempunyai alasan mengapa dia menjadi gigolo.

“Aku tidak bisa kuliah karena kurangnya uang. Aku ingin menjadi dokter, dan seperti yang kautahu adalah sekolah di Kedokteran itu mahal. Kau harus mengerti, Jo. Aku hanya ingin mencari uang dengan cara yang cepat,” ucap Justin yang memberikan alasan yang cukup bagus untuk dimengerti. Tapi apa dia harus menjadi gigolo? Itu benar-benar bodoh. Dia bisa bekerja di mana saja. Dia Lemon’s Café juga dia bisa bekerja di sana. Apalagi dia adalah seorang yang tampan. Aku masih tidak mau berbicara dengan Justin.

“Mahalo, Justin. Aku sungguh kecewa,” ucapku mengangkat kedua tanganku dan melangkah pergi dari hadapan Justin.  “Jangan pernah melangak sebelum aku benar-benar menghilang atau kita tidak akan pernah bertemu!” tambahku melihat Justin yang ingin mendekatiku. Aku terus berjalan ke belakang sambil terus melihat Justin.

“Hasta La Vista, Bieber!” teriakku berlari dari Pantai ini. Aku sangat dan benar-benar ingin pulang. Besok adalah hari besar. Hari di mana aku akan bertemu dengan Justin lagi.


***

Aku memarkirkan Vespa-ku dengan hati-hati dan menaruh helm-ku di kaca spionnya. Masih ada waktu sepuluh menit untuk melubangi kartuku. Aku harus berkaca dulu. Kugoyangkan kaca spion Vespa-ku dengan hati-hati. Karena, pernah satu kali kaca spionku lepas karena aku terus memutar-mutarnya. Dan itu adalah hal terbodoh yang pernah kulakukan pada Vespa-ku. Aku sudah mencintai Vespa-ku.

“Kau tidak perlu berkaca, kau sudah cantik,” ucap seseorang dari belakang. Dan itu adalah Zayn. Aku benar-benar bosan. Untung saja musim panas masih lama sekali. Jadi, kuliah masih lama. Aku dan Zayn memang satu jurusan dan satu kampus.

“Tidak usah mempedulikanku, kau kan sudah punya pacar. Jadi, sudah sana. Jangan ganggui aku lagi,” ucapku dengan ketusnya. Kudengar dia tertawa karena ada hal yang lucu. Aku hanya mendiamkannya dan terus merapihkan poni rambutku yang ke samping kanan ini. Masih tidak rapi.

“Kau merindukanku kan?” tanya Zayn yang tiba-tiba saja melingkarkan tangannya pada pinggulku. Dengan cepat aku mendorong Zayn dengan sekuat tenaga.  Emosiku tidak bisa ditahan lagi setelah apa yang baru saja terjadi padaku. Justin sudah berbohong padaku, Julian juga berbohong padaku, dan Zayn! Dia semakin membuatku kesal karena perbuatannya. Kulihat dia tersungkur.

“Fuck to you, Zayn,” ucapku dengan kata kotor. Aku bahkan tidak pernah berbicara kotor –kecuali jika aku sedang marah sekarang. Aku sungguh marah. Dan sebentar lagi aku akan bertemu dengan Justin. Kulihat Justin sedang berdiri di mulut pintu Restoran dengan bandana di kepalanya. Sekarang dia sudah tidak tampan di mataku. Dia sudah nista di mataku.

“Minggir, Justin,” ucapku dengan kasar. Justin menahan tangannya yang menutupi pintu belakang. Aku menatapnya dengan tatapan jenuh. Aku ingin menamparnya. Dan PLAK! Aku benar-benar menamparnya. Tangannya sudah tidak menghalang jalanku lagi. Aku menyenggol bahunya dengan kasar.

Dengan cepat aku memasukkan kartuku dimesin absen. Huh, kulihat sudah sore. Seharian ini aku hanya pergi ke Mori Point sambil tadi aku melihat Justin yang berselancar lagi. Tapi aku sudah tidak tersanjung lagi setelah aku sadar saat itu, bahwa tubuh Justin sudah disentuh oleh tante-tante Desprate. Iuh. Dan, aku terus mendiamkan Justin saat ia berusaha mendekatiku. Dan setelah itu aku pulang dan merenung sendiri di kamar sambil ibuku terus bertanya ada apa denganku. Aku bahkan tidak ingin berbicara dengan ibuku hanya karena Justin. Kenapa aku ini?! Aku begitu kesal sehingga ..aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi denganku sekarang! Untuk apa aku marah kalau memang itu hak Justin? Maksudku, hak-nya untuk mencari pekerjaan yang menurutnya layak untuknya. Tapi sekarang aku tahu jawabannya, aku sahabatnya yang peduli dengannya.

“Cepat! Cepat bekerja!” seru Mrs. Judy saat aku melamun. Dengan cepat aku mengambil celemek yang berada di gantung celemek para pelayan. Lalu aku mengambil buku pesanan dan buku catatan, dan juga tak lupa aku mengambil nomor yang tersisa di meja.

Aku berjalan ke arah seorang pemuda yang beberapa hari yang lalu aku bertemu dengannya. Lelaki yang memintaku untuk bertanya siapa namanya. Aku tersenyum dengan paksa. Ia tertawa dan menggelengkan kepalanya saat aku bertanya apa yang akan dia pesan.

“Kau tidak perlu tersenyum palsu seperti itu, tidak usah! Aaah, tidak usah,” ucap lelaki ini yang membuatku menaikkan satu alis. Dia benar-benar aneh.

“Ya sudah, jadi kau ingin memesan apa?” tanyaku dengan malas. Bukannya dia menjawab, dia malah memainkan matanya denganku. Dia berusaha untuk menggodaku.

“KAU MAU PESAN ATAU TIDAK?!!” teriakku menggebrakkan mejanya. Semua mata bertuju pada kami. Aku sama sekali tidak malu jika memang para pengunjung melihat kami. Hening.

“Tidak apa-apa, kalian jangan lihat kami,” ucap lelaki itu dengan percaya dirinya. Aku berbalik dan melihat para pengunjung kembali melakukan aktivitas mereka lagi. Dengan malas aku menarik baju Britney yang kebetulan lewat.

“Ini, layani dia. Biar aku yang bawa ini,” ucapku pada Britney yang membawa sebuah teko kopi. Aku langsnug mengambil teko kopi itu dan memberikan buku yang kupegang pada Britney.

“Ke meja 8,” ucap Britney dengan suara yang pelan.  Britney itu adalah seorang anak muda yang baru saja berumur 15 tahun, ia adalah pelayan termuda di Seafood Is Food dan baru beberapa bulan ia bekerja di sini, jadi sikapnya masih polos. Aku berbalik dan mencari meja nomor 8. Aku langsung berjalan ke arah meja tersudut. Aku melewati Justin yang melihati dengan tatapan takut. Mungkin, -memang untuk yang pertama kalinya aku berteriak kepada pengunjung.

Aku menuangkan kopi hitam ini pada gelas kosong seorang kakek-kakek yang sudah tua. Kemudian, aku berjalan ke arah dapur untuk menaruh teko ini. Tapi tiba-tiba saja lenganku di tarik oleh Justin dari belakang, untuk saja teko kopi itu sudah aku taruh di atas meja. Justin menarikku hingga kami keluar dari Restoran.


“Apa maksudmu bersikap seperti itu padanya, Jo?” tanya Justin yang terlihat begitu marah denganku. Rahangnya begitu terlihat tegang. Wajahnya memerah. Pegangan tangannya pada lenganku benar-benar menyakitkan karena dia meremasnya. Aku mengerang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar