***
Sudah malam, aku melangkahkan
kakiku untuk pergi ke parkiran motor dan memakan makanan yang tadi aku beli di
Fanny’s Burger. Kubanting bokongku di atas kursi Vespa-ku. Huh, malam ini
begitu membosankan. Well, memang seperti biasanya juga seperti itu. Kugigit
burgerku dengan liarnya. Aku benar-benar lapar setelah seharian ini aku
bekerja. Mrs. Judy harus membayarku dua kali lipat dari bias anya, kurasa.
Karena benar, tulang-tulangku rasanya ingin putus semua. Kulirik jam yang
terpajang di sebuah tiang yang di mana papannya itu adalah televisi untuk iklan
dan ada jamnya. Sudah jam 9 malam. Huh, aku harus segera pulang. Besok hari
Minggu, aku harus pergi ke pantai untuk kerja sampinganku. Eh!? Kerja sampingan
Justin adalah gigolo. Aku baru sadar. Tapi, apa memang benar? Kata Julian itu
tidak benar. Tapi kenapa dia membohongiku?!
Tiba-tiba semuanya gelap. Ada
orang yang menutupi mataku. Siapa?
“Julian?” ucapku kaget. Aku takut
sekali. Sampai-sampai bibirku bergetar.
“Justin?” ucapku lagi. Kemudian,
terlepaslah tangan itu dari mataku. Kubuka mataku perlahan dan berharap bahwa
itu adalah Justin. Dan benar saja, itu adalah Justin. Ah! Aku benar-benar kaget
karenanya. Ini untuk pertama kalinya ia ada di sini, di hari Sabtu.
“Justin!” jeritku kegirangan
karena seharian ini aku hanya diam dan hanya bertanya-tanya pada pengunjung
Seafood Is Food. Aku melempar burgerku dan memeluk Justin dengan erat. Entah
kenapa, hatiku bergetar saat aku melihat wajah tampan Justin.
“Hoho, kenapa kau terlihat begitu
senang?” tanya Justin yang benar-benar tidak masuk akal. Tentu saja aku senang.
Pertama, kukira dia marah padaku
karena kemarin aku bertanya padanya kenapa setiap hari Sabtu dan hari Minggu
dia tidak ada. Dan kedua, hari ini tidak ada dia di Seafood Is Food. Dan
akhirnya dia datang untuk pertama kalinya. Aku benar-benar senang. Dan aku
benar-benar penasaran apa yang ia lakukan seharian ini. Aku ingin memastikan
bahwa ia itu bukan seorang gigolo. Kulepas pelukanku dan mengambil Coke Diet
yang kutaruh di sebelahku. Kuminum dengan ngos-ngosan karena sangking senangnya
aku bertemu dengan Justin. Kemudian aku memberikan minumanku pada Justin.
Langsung saja Justin meminumnya.
“Well, Justin. Aku ingin
bertanya,” ucapku memberanikan diri, “Apa kau seorang gigolo?” tanyaku dengan
cepat. Sontak Justin menyemburkan Coke itu tepat di dadaku. Astaga! Bagus
sekali, Justin. Aku memejamkan mataku lalu membukanya lagi.
“A-apa?” tanya Justin terbelalak.
“Apa kau seorang gigolo?” tanyaku
lagi. Dengan cepat ia menggelengkan kepalanya dan wajahnya langsung saja pucat.
Apa dia sedang jujur? Kurasa tidak.
“Ti-tidak,” jawab Justin dengan
terbata-bata. Aku menatapi dengan tatapan menyelidik.
“Well, hhh, aku hanya—“ ucap
Justin terpotong. Ayo cepat Justin! Aku benar-benar penasaran.
Sekarang, aku menatapinya dengan
tatapan jenuh. Rasanya aku ingin membawa Justin ke tempat yang gelap agar ia
cepat memberitahuku apa dia seorang gigolo atau tidak. Dia menghelakan nafasnya
lalu memejamkan matanya. Ayo cepat Justin! Aku benar-benar gemas sekali. Tapi
tiba-tiba saja dia menarik leherku dan menempelkan bibirku dengan bibirnya.
Astaga!
Aku benar-benar tidak bisa
menolak ini. Dengan cepat aku merangkul lehernya. Dia memegang pinggangku
dengan erat. Dan langsung saja aku memeluknya dengan kedua kakiku terlingkar di
pinggangnya. Benar-benar atletis laki-laki satu ini. Aku menyukai postur
tubuhnya. Apalagi saat ia sedang berselancar. Gila! Wanita-wanita di pantai
selalu meneriakinya dengan teriakkan yang membuatku ingin menyumpal mulut
mereka dengan celana dalam Justin.
Kulepas kecupan bibir Justin dan
menatapi matanya yang berubah warna menjadi warna matahari. Astaga! Benar-benar
menakjubkan.
“Well, jadi apa benar kau seorang
gigolo?” tanyaku sambil tersenyum. Dia menggelengkan kepalanya, dia tidak
menjawabnya. Kemudian ia kembali mendekatkan bibirnya pada bibirku. Aku
menggelengkan kepalaku.
“Kau harus menjawabnya dulu,
Justin. Aku tahu itu dari Julian,” ucapku yang membuat bibir bergetar. Well,
bibirku juga bergetar karena aku habis mencium bibirnya yang manis itu.
****
Justin masih diam terpaku
melihatku, atau lebih tepatnya melihat bibirku. Aku menelan ludahku dengan
susahnya. Hening sekali di parkiran ini. Yang kudengar hanyalah deburan air
laut yang terhempas pada bebatuan yang besar di Pantai sana. Aku masih dalam
posisiku, melingkarkan tanganku pada leher Justin dan melingkarkan kakiku pada
pinggang Justin. Dan Justin semakin mengeratkan genggaman tangannya pada
pinggangku.
“Just, ayo jawab,” ucapku dengan
suara yang kecil dan lembut. Ia menggelengkan kepalanya dengan wajah tanpa
ekspresi.
“Aku bukan gigolo, percaya
padaku,” ucap Justin padaku. Aku mengangguk percaya, dan kuharap ia tidak
berbohong. Dia mendekatkan bibirnya pada bibirku dan mencoba untuk mencium
bibirku. Kupejamkan mataku untuk mencium bibirnya juga.
“Heyo! Apa yang kalian lakukan di
sini? Oh, bercumbu,” ucap seseorang dari belakang. Aku ingin membunuh orang
ini. Aku turun dari gendongan Justin dan berbalik untuk melihat siapa yang
mengganggu kami. Dan kembali lagi, Zayn yang mengganggu kami. Apa maunya? Aku
benar-benar bosan dengannya. Setelah apa yang ia lakukan di Seafood Is Food
tadi siang. Dengan penuh nyali, ia masih bisa tersenyum padaku dan melambaikan
tangannya padaku.
“Hei, apa kabar?” tanyanya yang
membuatku menautkan kedua alisku. Dia aneh. Maksudku, memang dia sudah aneh
sejak lama. Tapi, apa dia harus bertanya ‘apa kabar’ padaku padahal tadi siang
dia sudah melihatku. Oh, mungkin dia ingin melihatku sakit hati. Hei, Mr.
Malik, aku sama sekali tidak merasa cemburu pada pacar baru mu atau aku memang
harus memanggilnya pacar?! Oh tidak, dia pelacur. Terlihat sekali dari cara
berpakaiannya.
“Just, ayo kita pergi,” ucapku
pada Justin. Justin yang tadi membawa sepedanya dengan segera mengambil
sepedanya dengan cepat. Wajahnya begitu pucat setelah aku bertanya-tanya
tentang gigolo padanya.
Aku mengambil helmku yang kutaruh
di kaca spion dan menerobosnya dengan kepalaku. Aku menaiki motorku dan
mengangkat stang-nya dengan kakiku
lalu mundur ke belakang. Hampir saja aku menabrak Zayn yang dengan bodohnya
melihat apa yang sedang kulakukan. Justin sudah berjalan duluan.
“Kau tahu Zayn? Caramu untuk
membuatku cemburu itu tidak berguna, Mahalo,” ucapku menyalakan motorku dan
menggasnya dengan cepat untuk menyusul Justin.
“Kau tahu apa Jhoanna?! Aku akan
segera mendapatkan mu lagi,” ucap Zayn berteriak. Aku tertawa dalam hati.
Semoga saja Zayn, tapi aku bukan wanita bodoh.
“Dalam mimpi!” teriakku dan
melambaikan tanganku lalu memberinya jari tengah yang paling indah. Aku tersenyum.
---
“Hei, Mom!” sapaku saat aku sudah
sampai di rumah. Aku mengajak Justin untuk menginap di rumahku. Dia bilang, dia
bisa. Ini semakin meyakinkanku kalau dia itu bukan seorang gigolo. Aku
menggandeng tangan Justin untuk naik ke atas kamarku.
“Jojo, kemarilah,” ucap ayahku
yang membuatku berhenti melangkah. “Kau pergi saja duluan,” ucapku pada Justin.
Justin hanya mengangguk. Aku turun dan menghampiri ayahku yang sedang menonton
televisi. Aku duduk di sebelah ayah.
“Ada apa, dad?” tanyaku menghembuskan
nafas panjang. Ayah menarik bahuku untuk masuk ke dalam pelukannya. Aku
tersenyum. Aku suka jika ayah melakukan ini padaku, karena aku bisa mencium
parfum khasnya.
“Kau lihat ini apa?” tanya ayah
padaku saat ia meperlihatkan sebuat tiket konser ..KATY PERRY?!! Aku ingin
pingsan. Perlu kalian tahu, aku dan Justin adalah penggemar Katy Perry. Dan
aaah! Ayah membelikan dua tiket. Aku benar-benar akan mati sekarang. Eh,
jangan. Nanti aku tidak bisa pergi ke konser Katy.
“Ini untukmu dan Justin, kau tahu
kapan konsernya bukan?” tanya ayah padaku. Aku mengangguk kegirangan . Hatiku
melompat di dadaku saat aku menyentuh tiket ini. Ini benar-benar nyata. Aku
mencium pipi ayahku.
“Giliran sudah diberi apa yang
kau mau, baru kau cium dad. Dasar!” ucap ayahku mengacak-acak rambutku. Aku
tertawa dan berdiri untuk pergi ke kamarku. Aku berlari secepat mungkin untuk
sampai pada kamarku.
---
“Aaah! Yeah, aku tahu itu Justin.
Ini benar-benar menyenangkan!” ucapku berteriak kesenangan saat aku memberitahu
Justin bahwa 4 hari ke depan kita akan pergi ke konser Katy Perry. Justin
tersenyum padaku. Astaga! Dia benar-benar tampan jika tersenyum padaku seperti
itu.
“Ini lebih menyenangkan
dibandingkan aku berpacaran dengan Zayn!” teriakku lagi.
“Yeah, dan lebih menyenangkan
daripada bercinta,” ucapku Justin yang membuatku tersentak. Aku berhenti
melompat kegirangan. Justin yang terduduk di atas kasur menatapku dengan
tatapan seperti tidak ada yang terjadi. Astaga! Aku benar-benar tidak menyangka
bahwa Justin telah bercinta dengan seseorang. Tapi siapa? Dia bahkan tidak
pernah berpacaran. Apa tante-tante? Iuh! Aku bahkan tidak ingin
membayangkannya.
“Maksudmu apa Justin?” tanyaku
duduk di sebelahnya. Dia tertawa dan menggelengkan kepalanya. Dia benar-benar
imut. Ah! Jangan berpikir seperti itu! Walau memang benar dia imut, apalagi
bibirnya itu. Ish! Jhoanna! Jangan berpikir seperti itu lagi, dia itu
sahabatmu.
“Tidak, aku hanya bercanda. Kau
ingin tidur?” tanya Justin padaku. Aku menggelengkan kepalaku. Ini masih jam
setengah 10 malam. Aku belum terlalu mengantuk. Tapi kurasa Justin sudah
mengantuk. Justin sering menginap di rumahku dan kadang aku juga menginap di
rumahnya. Intinya, kami saling menginap. Untungnya, tempat tidur di kamarku dan
Justin adalah double bed. Jadi, kita bisa membatasinya dengan bantal guling
ditengah-tengah. Walau kadang aku selalu memeluk Justin saat aku tidur. Aku
memang suka memeluk bantal guling. Tapi, kalau ada bantal guling yang tampan?
Tentu saja kita akan memeluknya.
“Just, apa besok kau akan
menghilang lagi?” tanyaku pada Justin. Justin menggelengkan kepalanya. Bagus,
berarti dia bisa menemaniku untuk bekerja di Lemon’s Café. Setiap hari minggu,
Café itu sering sekali dikunjungi oleh para turis. Karena memang enak sekali
rasa Es Lemon buatan mereka. Aku bahkan tidak pernah diizinkan untuk membuat Es
Lemon di sana. Aku hanya sebagai pelayan. Dan, pakaianku saat bekerja di
Lemon’s Café hanyalah sebuah bikin berwarna kuning dengan bercak merah di sana,
dan dilapisi dengan selendang yang panjang sekali di pinggang. Dan akan ada
bunga berwarna kuning besar di kepala sebelah kananku. Aku benar-benar feminim.
“Kau masih menganggapku gigolo,
ya?” tanya Justin yang sepertinya meragukan kepercayaanku saat aku melamun.
Well, aku percaya padanya. Aku menggelengkan kepalaku. Kemudian aku jadi
teringat dengan ciuman kami tadi. Itu adalah ciuman yang paling enak sepanjang
sejarah hidupku yang masih muda ini. Lebih hebat dibanding dengan cara ciuman
Zayn yang ..aku saja tidak bisa menjelaskannya pada kalian semua.
****
Hari Minggu ini memang banyak
sekali pengunjung yang datang ke Mori Point. Padahal sekarang baru saja jam 9
pagi. Kulihat Justin dengan celana renang ketatnya membawa papan selancar ke
laut, dan dia tidak memakai baju atasan. Itu membuat otot perutnya terlihat
dengan sangat-sangat jelas. Sebenarnya daritadi dia sudah bermain selancar.
Tapi aku terlalu sibuk untuk mengantarkan Es Lemon kepada pengunjung. Adapula pengunjung
yang memintaku untuk membawanya ke tempat berjemurnya. Jauh lagi. Memang,
resikonya besar sekali. Kalau misalkan kita lupa tempat yang diberitahu oleh
pengunjung itu, maka tidak akan datang tip di sakuku nanti. Dan hanya sekarang
waktu untuk bersenang-senang melihat tubuh Justin yang biseps itu.
Kulihat dia mulai menaiki papan
selancarnya saat ombaknya datang. Dan, Oh My! Rambutnya yang basah itu kembali
terbasahi oleh air lagi yang membuatnya seksi. Aku ingin pingsan sekarang.
Tangannya ia rentangkan agar ia lebih leluasa untuk menjaga keseimbangan. Kemudian,
dia menghilang di dalam air laut. Amazing! Benar-benar ..seksi! Eh!? Astaga,
Jhoanna! Dia itu sahabatmu! Ish! Kenapa otakku tidak bisa berhenti untuk tidak
memikirkan wajah Justin yang tampan dan tubuh Justin yang seksi.
Justin melambaikan tangannya
padaku saat ia melambaikan tangannya. Tapi, beberapa wanita yang sedang
berjemur di depanku –beberapa meter- itu berteriak kegirangan dan melambaikan
tangannya pada Justin. Dan salah satu diantaranya berteriak bahwa dia sangat
ingin bercinta dengan Justin. Aku ingin mual. Di sana ada 4 orang wanita muda
yang menjengkelkan. Dan membuatku ingin mengubur tubuh mereka di dalam pasir.
“Hei, mmm, Jo. Aku harus pergi
sekarang, aku ada urusan.” ucap Justin yang menghampiriku dan berpamitan
padaku. Senyuman manisku tiba-tiba saja surut saat ia bilang kalau ia tidak
bisa menemaniku lebih lama lagi. Aku mengikutinya yang berjalan ke arah
bebatuan dekat Café ini.
“Tapi Justin, kita bahkan baru
saja berada di sini 2 jam yang lalu. Kenapa kau begitu cepat untuk pergi?”
tanyaku protes. Ia bilang bahwa hari ini ia tidak akan menghilang. Well, memang
dia tidak menghilang. Tapi ia mau ke mana?! Justin mengelap wajahnya dan
rambutnya yang basah itu. Kemudian ia memakai baju putih ketatnya dan menutupi
celananya dengan handuk yang tadi ia pakai. Lalu ia melepas celana renang itu
dan memakai celana yang baru. Justin menatapku.
“Aku janji akan membawakan
makanan kesukaanmu jam 9 malam nanti, well Jo. Aku harus pergi sekarang,” ucap
Justin yang mulai mengemaskan barang-barangnya ke dalam tasnya lalu mencium
keningku. Aku dia terpaku karena aku tidak sanggup untuk berkata-kata lagi. Aku
hanya bisa melihat Justin yang sedang memanjati bebatuan yang tinggi untuk mencapai
jalan raya kemudian menghilang begitu saja. Dan itu membuatku ..marah.
****
Aku berteriak kesenangan saat aku
dan Justin sudah sampai di pintu gerbang Pacifica Stadion. Aku ingin mati
rasanya sekarang. Sebentar lagi aku akan bertemu dengan penyanyi yang kusukai.
Aku terus memegang lengan Justin. Sesekali Justin tertawa karena melihatku yang
berteriak-teriak kegirangan. Ia berpikir bahwa aku tidak tahu malu karena di
tengah-tengah kerumunan orang banyak. Dan, aku dan Justin baru saja sampai di
penjaga tiket. Dengan cepat Justin memberikan tiket tersebut pada penjaga tiket
itu. Dan, akhirnya! Aku sudah masuk ke dalam stadion. Ayo, Justin! Aku
benar-benar tidak bisa menahan emosiku sekarang.
“Hei, Justin. Kenapa kau bisa ada
di sini?” tanya seseorang yang tiba-tiba saja menepuk pundak Justin saat aku
dan Justin baru saja ingin duduk. Seorang tante-tante dengan senyuman lebarnya
menatap Justin dengan tidak percaya. Aku bahkan tidak mengenal wanita ini.
“Ak-aku ingin menonton konser
Katy Perry, tentunya. Hahahaha,” tawa Justin yang benar-benar palsu. Aku tahu
tawa Justin yang sebenarnya. Kemudian, tiba-tiba saja tante-tante itu tersenyum
mesum pada Justin. Aku menaikan satu alisku saat aku benar-benar kaget. Ia
memberikan sinyal ‘telepon aku’ pada tangannya ke telinganya. Lalu memainkan
matanya pada Justin. Aku ingin mual.
“Just, dia siapa?” tanyaku
berbisik. Justin menatapku dengan wajah yang sudah pucat, kemudian dia
menggelengkan kepalanya. Kulihat bibirnya bergetar. Aku jadi khawatir dengan
keadaannya yang seperti ini. Kemudian dia tertawa canggung padaku. Sungguh, aku
tidak suka jika Justin menyembunyikan rahasia padaku.
“Dia hanya ..Jo, dia tidak
penting,” balas Justin yang membuatku bingung. Lalu apa maksud dari ‘Call Me
Maybe?’
***
Aku hanya dapat melipat tanganku
saat melihat Justin yang sedang berada di panggung bersama Katy Perry. Dan bisa
kulihat daritadi Justin hanya melihat dada Katy yang besar itu. Rasanya aku
ingin mencongkel mata Justin. Dan daritadi, wanita yang sok kenal dengan Justin
itu berteriak-teriak kegirangan saat Justin menari seksi di depan sana sampai-sampai
Katy Perry tersanjung. Benar-benar menyebalkan sekali, bukan karena dia sedang
menggoda Katy, tapi karena keberadaan tante-tante ini yang terus menerus
menggoda Juzteen. Kudekati tante ini yang duduknya dekat dengan Justin.
“Well, tante. Aku ingin bertanya
boleh?” tanyaku dengan sopan. Dia yang sedang tersenyum kegirangan langsung
melihatku dengan sinis.
“Apa?” tanyanya dengan nada
bicara yang datar.
“Well, aku ingin tanya. Bagaimana
bisa kau bertemu dengan Justin?” tanyaku ingin tahu. Ini adalah satu-satunya
jalan untuk memastikan apa Justin seorang gigolo atau bukan. Karena aku ingin
sekali menampar wajah Justin yang selalu bersikap aneh saat aku bertanya dia
adalah gigolo atau bukan.
“Aku bertemu dengannya di Robin
N’ Friday, kenapa?” tanya tante ini yang masih berbicara dengan nada yang
datar. Aku mengangguk dan menjauh darinya.
Aku terdiam terpaku saat aku
benar-benar tidak bisa berpikir dengan jernih. Robin N’ Friday adalah tempat
para gigolo bekerja. Dan Justin?! Aku ingin mual sekarang. ASTAGA! Aku
benar-benar ingin mual. Kututup mulutku dan berjalan untuk keluar dari stadion
ini. Ternyata selama ini Justin adalah seorang gigolo. Aku benar-benar kecewa
dengan Justin yang berbohong padaku.
****
Aku terus menyentuh pasir yang
kududuki dengan lembutnya. Aku berdiam diri di tengah-tengah pasir yang halus
ini. Angin menerpa tubuhku yang mungil ini. Aku tidak menangis. Aku tidak
menangis. Karena apa? Aku hanya kecewa dengan perbuatan Justin yang benar-benar
membuat kesalahan yang fatal bagiku. Selama ini dia adalah seorang gigolo dan
dia tidak memberitahu ku?! Aku adalah sahabatnya dan diantara kami tidak boleh
ada rahasia yang terpendam. Aku ingin sekali menampar wajah Justin setelah dia
berani-beraninya mencium bibirku. Bibir itu sudah bekas para tante-tante yang
kesepian. Sungguh, mungkin sekarang dia sedang berada di kamar bersama
tante-tante tadi. Ish!
Aku bahkan tidak bisa menikmati
konser seorang Katy Perry yang kugemari hanya karena aku penasaran dengan
Justin yang ternyata berbohong padaku ini. Baiklah, aku memang terus menerus
bilang pada kalian bahwa Justin telah berbohong. Karena aku masih tidak
percaya.
“Hei,” panggil seseorang dari
belakang. Aku tak bergeming. Aku tak ingin bertemu dengan siapa-siapa sekarang.
Aku hanya perlu udara segar. Kemudian, tiba-tiba saja orang itu duduk di
sebelahku. Oh, Julian. Kenapa dia berada di sini? Kulihat jam tangan yang
kupakai. Sudah jam 9 malam. Berarti dia baru saja selesai bekerja setelah
kemarin aku meminta izin pada Mrs. Judy untuk tidak masuk kerja hari ini.
“Ada apa?” tanyanya yang
membuatku muak melihatnya juga. Tentu saja. Dia juga berbohong padaku. Dia
bilang kalau Justin itu seorang gigolo, tapi dia bilang dia berbohong. Tapi
apa? Yang kutahu sekarang adalah Justin seorang gigolo yang tampan. Yang bisa
membuatku masuk ke dalam ciumannya. Bibir dari para tante-tante. Ish! Aku
merasa kotor sekarang.
“Kau berbohong padaku tentang
Justin bukan seorang gigolo,” ucapku tanpa melihatnya. Sudah kubilang pada
kalian bahwa aku sedang tidak ingin melihat siapa-siapa sekarang. KECUALI,
Justin. Aku ingin sekali merobek bibir Justin sekarang.
“Aku tidak—“
“Aku sudah tahu Julian. Jangan
mengelak, aku sudah tahu,” ucapku yang benar-benar tidak percaya bahwa Julian
masih saja berusaha untuk berbohong padaku. Padahal aku sudah tahu buktinya.
Tante-tante itu tidak mungkin berbohong padaku, karena dia tidak tahu bahwa aku
belum tahu kalau Justin itu adalah seorang gigolo. Kututup wajahku dengan kedua
telapak tanganku. Aku benar-benar tidak bernafas sekarang. Aku baru saja sadar
bahwa selama ini sahabatku telah kotor karena dia telah bercinta dengan
tante-tante. Aku bahkan ingin mual sekarang. Tiba-tiba pundakku ditepuk oleh
Julian.
“Aku sedang tidak ingin disentuh
oleh pembohong,” ucapku dengan suara yang parau. Kudengar deru nafas Julian.
“Yeah, aku memang pembohong dan
aku minta maaf,” ucap Justin yang ternyata bukan Julian. Aku membuka telapak
tanganku dan benar saja, itu adalah Justin. Aku langsung menyingkirkan tangan
Justin dari pundakku. Aku masih tidak terima kalau aku di bohongi. Tentu saja,
satu kebohongan terbongkar berarti masih banyak lagi kebohong yang belum
terbongkar. Dan aku sungguh membenci pembohong. Dan kuharap ini hanya 1 kali
dalam seumur hidupku. Aku harap tidak akan ada kebohongan dari Justin selain
ini.
Aku langsung berdiri dengan cepat
dan menjauhi Justin. Justin ikut berdiri dan mencoba untuk menyentuhku. Dengan
cepat aku menyingkirkan tangannya. Aku bersungguh-sungguh untuk mencakar wajah
Justin sekarang. Kebetulan kuku milikku panjang sekali. Jadi mungkin aku bisa
mencolok mata Justin.
“Ini benar-benar … Hhh, Jo. Aku
punya alasan kenapa aku melakukan ini,” ucap Justin yang terlihat begitu
menyesal. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Aku masih tidak habis pikir dengan
Justin. Bahkan dia masih mempunyai alasan mengapa dia menjadi gigolo.
“Aku tidak bisa kuliah karena
kurangnya uang. Aku ingin menjadi dokter, dan seperti yang kautahu adalah
sekolah di Kedokteran itu mahal. Kau harus mengerti, Jo. Aku hanya ingin
mencari uang dengan cara yang cepat,” ucap Justin yang memberikan alasan yang
cukup bagus untuk dimengerti. Tapi apa dia harus menjadi gigolo? Itu
benar-benar bodoh. Dia bisa bekerja di mana saja. Dia Lemon’s Café juga dia bisa
bekerja di sana. Apalagi dia adalah seorang yang tampan. Aku masih tidak mau
berbicara dengan Justin.
“Mahalo, Justin. Aku sungguh
kecewa,” ucapku mengangkat kedua tanganku dan melangkah pergi dari hadapan
Justin. “Jangan pernah melangak sebelum
aku benar-benar menghilang atau kita tidak akan pernah bertemu!” tambahku
melihat Justin yang ingin mendekatiku. Aku terus berjalan ke belakang sambil
terus melihat Justin.
“Hasta La Vista, Bieber!”
teriakku berlari dari Pantai ini. Aku sangat dan benar-benar ingin pulang.
Besok adalah hari besar. Hari di mana aku akan bertemu dengan Justin lagi.
***
Aku memarkirkan Vespa-ku dengan
hati-hati dan menaruh helm-ku di kaca spionnya. Masih ada waktu sepuluh menit
untuk melubangi kartuku. Aku harus berkaca dulu. Kugoyangkan kaca spion
Vespa-ku dengan hati-hati. Karena, pernah satu kali kaca spionku lepas karena
aku terus memutar-mutarnya. Dan itu adalah hal terbodoh yang pernah kulakukan
pada Vespa-ku. Aku sudah mencintai Vespa-ku.
“Kau tidak perlu berkaca, kau sudah
cantik,” ucap seseorang dari belakang. Dan itu adalah Zayn. Aku benar-benar
bosan. Untung saja musim panas masih lama sekali. Jadi, kuliah masih lama. Aku
dan Zayn memang satu jurusan dan satu kampus.
“Tidak usah mempedulikanku, kau
kan sudah punya pacar. Jadi, sudah sana. Jangan ganggui aku lagi,” ucapku
dengan ketusnya. Kudengar dia tertawa karena ada hal yang lucu. Aku hanya
mendiamkannya dan terus merapihkan poni rambutku yang ke samping kanan ini.
Masih tidak rapi.
“Kau merindukanku kan?” tanya Zayn
yang tiba-tiba saja melingkarkan tangannya pada pinggulku. Dengan cepat aku
mendorong Zayn dengan sekuat tenaga.
Emosiku tidak bisa ditahan lagi setelah apa yang baru saja terjadi
padaku. Justin sudah berbohong padaku, Julian juga berbohong padaku, dan Zayn!
Dia semakin membuatku kesal karena perbuatannya. Kulihat dia tersungkur.
“Fuck to you, Zayn,” ucapku
dengan kata kotor. Aku bahkan tidak pernah berbicara kotor –kecuali jika aku
sedang marah sekarang. Aku sungguh marah. Dan sebentar lagi aku akan bertemu
dengan Justin. Kulihat Justin sedang berdiri di mulut pintu Restoran dengan
bandana di kepalanya. Sekarang dia sudah tidak tampan di mataku. Dia sudah
nista di mataku.
“Minggir, Justin,” ucapku dengan
kasar. Justin menahan tangannya yang menutupi pintu belakang. Aku menatapnya
dengan tatapan jenuh. Aku ingin menamparnya. Dan PLAK! Aku benar-benar
menamparnya. Tangannya sudah tidak menghalang jalanku lagi. Aku menyenggol
bahunya dengan kasar.
Dengan cepat aku memasukkan
kartuku dimesin absen. Huh, kulihat sudah sore. Seharian ini aku hanya pergi ke
Mori Point sambil tadi aku melihat Justin yang berselancar lagi. Tapi aku sudah
tidak tersanjung lagi setelah aku sadar saat itu, bahwa tubuh Justin sudah
disentuh oleh tante-tante Desprate. Iuh. Dan, aku terus mendiamkan Justin saat
ia berusaha mendekatiku. Dan setelah itu aku pulang dan merenung sendiri di
kamar sambil ibuku terus bertanya ada apa denganku. Aku bahkan tidak ingin
berbicara dengan ibuku hanya karena Justin. Kenapa aku ini?! Aku begitu kesal
sehingga ..aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi denganku sekarang! Untuk apa
aku marah kalau memang itu hak Justin? Maksudku, hak-nya untuk mencari
pekerjaan yang menurutnya layak untuknya. Tapi sekarang aku tahu jawabannya,
aku sahabatnya yang peduli dengannya.
“Cepat! Cepat bekerja!” seru Mrs.
Judy saat aku melamun. Dengan cepat aku mengambil celemek yang berada di
gantung celemek para pelayan. Lalu aku mengambil buku pesanan dan buku catatan,
dan juga tak lupa aku mengambil nomor yang tersisa di meja.
Aku berjalan ke arah seorang
pemuda yang beberapa hari yang lalu aku bertemu dengannya. Lelaki yang
memintaku untuk bertanya siapa namanya. Aku tersenyum dengan paksa. Ia tertawa
dan menggelengkan kepalanya saat aku bertanya apa yang akan dia pesan.
“Kau tidak perlu tersenyum palsu
seperti itu, tidak usah! Aaah, tidak usah,” ucap lelaki ini yang membuatku
menaikkan satu alis. Dia benar-benar aneh.
“Ya sudah, jadi kau ingin memesan
apa?” tanyaku dengan malas. Bukannya dia menjawab, dia malah memainkan matanya
denganku. Dia berusaha untuk menggodaku.
“KAU MAU PESAN ATAU TIDAK?!!”
teriakku menggebrakkan mejanya. Semua mata bertuju pada kami. Aku sama sekali
tidak malu jika memang para pengunjung melihat kami. Hening.
“Tidak apa-apa, kalian jangan
lihat kami,” ucap lelaki itu dengan percaya dirinya. Aku berbalik dan melihat
para pengunjung kembali melakukan aktivitas mereka lagi. Dengan malas aku
menarik baju Britney yang kebetulan lewat.
“Ini, layani dia. Biar aku yang
bawa ini,” ucapku pada Britney yang membawa sebuah teko kopi. Aku langsnug
mengambil teko kopi itu dan memberikan buku yang kupegang pada Britney.
“Ke meja 8,” ucap Britney dengan
suara yang pelan. Britney itu adalah
seorang anak muda yang baru saja berumur 15 tahun, ia adalah pelayan termuda di
Seafood Is Food dan baru beberapa bulan ia bekerja di sini, jadi sikapnya masih
polos. Aku berbalik dan mencari meja nomor 8. Aku langsung berjalan ke arah
meja tersudut. Aku melewati Justin yang melihati dengan tatapan takut. Mungkin,
-memang untuk yang pertama kalinya aku berteriak kepada pengunjung.
Aku menuangkan kopi hitam ini
pada gelas kosong seorang kakek-kakek yang sudah tua. Kemudian, aku berjalan ke
arah dapur untuk menaruh teko ini. Tapi tiba-tiba saja lenganku di tarik oleh
Justin dari belakang, untuk saja teko kopi itu sudah aku taruh di atas meja.
Justin menarikku hingga kami keluar dari Restoran.
“Apa maksudmu bersikap seperti
itu padanya, Jo?” tanya Justin yang terlihat begitu marah denganku. Rahangnya
begitu terlihat tegang. Wajahnya memerah. Pegangan tangannya pada lenganku
benar-benar menyakitkan karena dia meremasnya. Aku mengerang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar