***
Aku terus melangkahkan kakiku
menuju rumahku, membawa perasaan yang benar-benar sakit. Aku tidak menangis.
Hanya saja aku kecewa dengan apa yang telah diperbuat oleh Zayn, mantan pacarku
itu. Aku bahkan tidak mengerti dengannya. Apa kekuranganku? Aku selalu ada
untuknya, aku cantik, tubuhku bagus, aku pintar. Jadi apa yang kurang hingga
dia mencari wanita lain? Persetan sekali dengannya.
Oh yeah, namaku Jhoanna Primrose
Stalwart. Aku adalah wanita yang baru saja memutuskan lelaki bejat. Aku
tinggal di California. Kota ini benar-benar menakjubkan. Oh yeah, jika kalian
ingin datang ke sini, kalian harus terlihat modis. Oh, jangan lupa untuk
mencoba seafood buatan kota ini.
Benar-benar menakjubkan. Aku lahir pada 19 Januari ’90. Aku masih kuliah. Tapi
sebentar lagi aku akan lulus. Maksudku, 2 tahun lagi. Well, hell yeah. Hari ini
benar-benar hari terburuk yang pernah ku alami.
Aku bekerja di sebuah restoran
yang sederhana di sebuah rumah makan seafood.
Well, aku bekerja di sana sudah sekitar 3 tahun yang lalu. Sebenarnya aku
alergi terhadap makanan seafood, tapi
selama aku tidak memakannya, aku tidak akan terkena alergi. Di sana, aku juga
mempunyai sahabat. Nama dia Justin Bieber. Dia adalah pelayan yang terkenal di
sana. Banyak anak remaja yang datang ke restoran itu hanya untuk menemui
sahabatku ini. Dan sekarang, aku harus pergi lagi ke restoran-ku. Di sana aku
menjadi pelayan juga.
Kuganti pakaianku yang tadinya
aku memakai celana pendek, sekarang aku ganti dengan casual –celana panjang.
Aku benar-benar butuh Justin sekarang. Dia adalah satu-satunya lelaki yang bisa
kujadikan tempat bercerita. Kuikat rambutku dan kupoles bibirku dengan pelembab
bibirku. Oh yeah, aku memang terlihat sangat cantik. Aku terlalu percaya diri
ya? Tapi itu memang benar.
Kembali aku keluar dari rumahku
setelah aku berpamitan dengan kedua orangtua ku yang sedang menonton acara elevise
yang mereka suka. Kuambil motor Vespa yang sudah lama sekali. Ini memang jelek,
tapi aku benar-benar mencintai motor Vespa-ku karena tidak berisik dan mudah
dibawa. Kupakai helmku dan memundurkan Vespa-ku. Kemudian, kunyalakan dan
berjalan dengan santainya.
Restoranku sangat terkenal dengan
kelezatan makanan laut mereka. Entah bagaimana rasanya, yang pasti banyak
sekali pengunjung yang datang. Dan tentunya karena Justin. Justin benar-benar
terkenal di restoran itu. Kadang aku tertawa kalau-kalau Justin sedang digoda
oleh para wanita dan Justin meresponnya dengan tarian seksinya. Dengan cara
seperti itu, dia bisa mendapatkan berpuluh-puluh dollar dalam sehari. Aku jadi
iri dengannya.
Kuparkirkan motorku di belakang
restoran. Tempat para kendaraan karyawan memarkiran kendaraan mereka. Kutaruh
helmku di atas kaca spion Vespa-ku. Kulihat Justin yang sudah menungguku di
pintu belakang restoran. Aku tersenyum melihatnya.
“Hei, Justin!” sapaku padanya.
Dia memelukku saat aku mendekatinya.
***
Tawaan para pengunjung Seafood is
Food menyeruak ke telingaku saat aku sedang sibuk-sibuknya mencatat
pesanan-pesanan para pengunjung ini. Rasanya aku mual. Justin juga sedang sibuk
meski sesekali ia digoda oleh para tante-tante yang nakal. Iuh. Aku semakin
ingin mual. Untung saja restoran ini tidak mengizinkan para pengunjung merokok.
Bisa-bisa aku mandi sauna di sini. Aku terus mencatat pesanan-pesanan dari
pemuda yang sedang aku layani. Lelaki ini tampan.
“Itu saja, Jhoanna,” ucap pemuda
itu membaca nickname yang terpasang rapi di dada kiriku. Kemudian, aku
tersenyum padanya. Tapi ia malah memainkan matanya padaku.
“Kau tidak ingin bertanya siapa
namaku?” tanya pemuda itu padaku. Aku menahan tawa. Percaya diri sekali dia.
Memang dia tampan, tapi aku bukan wanita yang sembarang. Dengan sopan aku
menggelengkan kepalaku dan tersenyum. Dan lalu aku berbalik untuk menjepit
pesanan tadi di sebuah jendela antara dapur dan tempat para pengunjung
berdatangan. *ting* Kutekan bel untuk menyuruh koki mengambil pesanan tersebut.
“Hari yang sibuk yah,” ucap
Justin padaku dan menjepit sebuah kertas pesanan dan terlihat dia begitu
berkeringat mala mini. Ia mengenakan
bandana kain di kepalanya, membuatnya terlihat begitu macho. Ia tersenyum padaku. Aku menatap
ke segala arah untuk melihat para pengunjung yang belum dilayani. Oh, semuanya
sudah dilayani. Tinggal menunggu makanannya saja. Aku bersandar ke tembok dan
melihat Justin yang terengah-engah. Dan lalu ia tersenyum dan memainkan matanya
pada para tante-tante yang terkikik di meja nomor 6 itu. Aku tertawa melihat
tingkah Justin yang satu ini. Dia itu lelaki penggoda. Dasar Justin.
“Hei, kau ingin makan malam
denganku setelah jam kerja selesai?” tanya Justin yang membuatku terkejut
karena tiba-tiba saja Justin berbalik ke arah ku dan mengapit tubuhku dengan
tubuhnya. Kedua tangannya berada di samping kepalaku. Tawaku terhenti begitu
saja saat aku melihat matanya yang melihatku dengan serius. Aku langsung
mengangguk, mengiyakan tawarannya. Sedetik kemudian dia berlalu dari hadapanku.
Kubuang nafasku yang tadi tercekat. Justin memang aneh. Tapi entah kenapa,
perasaanku begitu tersengat saat jarak wajah antara aku dan Justin begitu dekat
membuatku ingin mencium bibirnya yang berwarna merah muda itu. *ting* Bunyi bel
berbunyi tanda pesanan sudah datang. Dengan cepat aku mengambil nampan dan
menaruh 3 piring seafood. Pesanan meja nomor 6. Oh, astaga! Kenapa harus
tante-tante itu?! Dengan cepat aku mengangkat nampan ini dan menghampiri meja
nomor 6.
“Ini pesanan Anda,” ucapku
menaruh piring-piring ini di atas meja makan mereka. Mereka melihatku dengan
tatapan tidak suka. Kemudian salah satu diantara mereka mengeluarkan sebuah
bungkus rokok dan berniat untuk menyalakannya.
“Dilarang merokok di dalam sini,”
ucapku mengingatkannya. Dia yang sudah mengapit batang rokok di mulutnya itu
langsung berdiri dan melepaskan apitan batang rokok dari mulutnya. Ia lebih
tinggi dibanding diriku. Astaga! Ia menatapku dengan tatapan Kau Akan Kubunuh.
“Maksudmu apa melarangku?” tanya
tante ini padaku. Aku menggelengkan kepalaku dan menatapnya dengan tatapan
takut.
“Ta-tapi di sana tertulis
ba-bahwa—“
“Bahwa apa?” desaknya. Aku
menelan ludahku dengan susahnya.
“Bahwa dilarang merokok di sini,”
ucapku dengan suara yang bergetar. Ia mengedipkan matanya lalu ia kembali duduk
dan membuang batang rokok itu tepat di wajahku. Aku memejamkan mataku kemudian
aku melengos pergi dari hadapannya. Untung saja kejadian tadi tidak membuat
para pengunjung teralihkan perhatiannya. Huh! Benar-benar menakutkan. Dasar
Tante-Tante! Ish! Aku menggerutu.
“Kenapa?” tanya Justin yang
melihat aku menggerutu dengan kesal. Apa?! Dia bertanya ‘kenapa’? Apa tadi ia
tidak lihat bahwa sahabatnya sedang berusaha untuk melawan Singa? Oh yeah,
kurasa ia tadi ke belakang.
“Tante-tante-mu itu tadi memarahi
hanya karena aku melarang mereka untuk tidak merokok di sini, tapi mereka malah
memarahiku,” ucapku dengan nada suara yang benar-benar kesal. Aku cemberut.
Benar-benar menyebalkan sekali. Aku dan Justin akan segera selesai bekerja. 1
jam lagi. Jam 9 malam nanti, baru bergantian dengan Cherry dan Sebastian yang
akan menjadi pelayan nanti. Mereka
teman-temanku juga. Hanya saja tidak sedekat Justin.
Well, biar kuceritakan sedikit
tentang Justin. Dia itu lelaki tertampan di Pacifica, dipinggiran California.
Pasifica hanya kota kecil hanya dengan 35.000 penduduk yang tinggal di sini.
Justin memang begitu terkenal akan ketampanannya, tapi banyak orang tidak tahu
kalau ia adalah seorang yang sederhana, ia tidak keren. Ia sederhana. Ibunya
seorang akuntan dan ayahnya sudah bercerai dengan ibunya sejak lama. Justin
suka sekali berselancar di pantai dekat sini. Memang, kita tinggal di pesisir
pantai. Jadi mudah sekali jika ingin mencoklatkan warna tubuh kita. Justin
memang keren sekali. Tapi jarang sekali aku melihatnya kalau disiang hari. Well
terutama pada hari Sabtu atau Minggu. Ia menghilang entah ke mana.
Well, sekarang tentang diriku.
Aku itu seorang Canadian, sama seperti Justin. Aku pintar berbahasa Prancis,
sama juga seperti Justin. Aku tinggal bersebelahan dengan rumah Justin, tapi
seperti yang tadi aku bilang, setiap hari Sabtu dan Minggu ia selalu menghilang
entah ke mana. Aku juga bingung.
“Hei, kenapa kau melamun?” tanya
Justin menyenggol tanganku. Aku tersadar. Kulihat dia sudah memegang 2 nampan.
Astaga! Kuambil nampan yang satunya agar Justin tidak kerepotan. Dan memang ini
adalah tugasku.
“Aku hanya, sudahlah Just. Banyak
orang yang menunggu makanan,” ucapku dengan cepat dan berjalan menuju meja
nomor 13. Astaga! Angka sial! Memang, ini adalah hari sialku. Jadi memang cocok
sekali angka itu untukku.
***
“Kau suka makanannya?” tanya
Justin padaku. Aku mengangguk. Aku dan Justin sedang duduk di tengah-tengah
pantai di malam hari. Angin malam benar-benar sejuk. Membuatku sedikit
menggigil. Aku sedang memakan Hamburger yang tadi Justin beli dan Coke Diet di
sebelahku.
“ Makan malam yang enak,” balasku
tersenyum saat aku menelan makananku. Aku menatap Justin dengan lekat-lekat.
Bandana yang ia pakai masih membuatnya terlihat keren dan tampan. Ia juga
menatapku dengan tatapan yang begitu dalam. Ini benar-benar keadaan yang aneh
dalam hubungan persahabatan. Aku tidak mengerti tapi aku ingin sekali mencium
bibir Justin. Kutatapi dia yang menjilati bibirnya itu. Astaga! Kenapa
tiba-tiba aku merasa dia adalah lelaki terseksi setelah Zayn?! Ia menarik
leherku dan menempelkan bibirnya padaku bibirku. Astaga! Dia menciumku. Ini
benar-benar ..manis. Aku mulai melumat bibir Justin dengan liarnya. Aku
benar-benar menikmati ciuman ini. Berciuman dengan sahabat itu tidak boleh?!
Hah! Kau bisa melihatku dengan Justin yang berciuman sekarang. Aku rasa aku
cepat sekali mendapatkan pengganti. Kuharap Justin akan menjadikanku sebagai
kekasihnya.
Aku melingkarkan tanganku pada
leher Justin dan semakin mencium bibirnya dengan dalam.
“Jhoanna?” panggil seseorang yang
membuatku dan Justin terkejut begitu saja. Dengan segera aku dan Justin
melepaskan ciuman kami yang panas ini. Ah! Sial!
****
Aku berbalik untuk melihat siapa
yang bisa-bisanya mengganggu ciuman terenak yang pernah kurasakan. Dan
mendapati Zayn yang melihatku dengan tatapan nanar. Kepalanya tergeleng-geleng
bagaikan orang mabuk. Aku berdiri dan berhadapan dengannya.
“Apa yang kaulakukan di sini?”
tanyaku dengan suara yang kecil. Aku mendorong tubuh Zayn untuk menjauh dari
tempatku dan Justin. Aku benar-benar kesal sekali dengan Zayn, berani sekali
dia datang menemuiku di Mori Point, pantai ini. Ternyata dia masih mempunyai
nyali untuk menemuiku setelah sebenarnya dia tahu kalau aku ini benar-benar
tidak ingin menemuinya.
“Ak-aku tadi mencarimu di Seafood
Is Food, tapi kau tidak ada di sana. Jadi kucari kau di pantai ini, karena ak—“
“Apa yang kaulakukan di sini,
Zayn?” desakku yang tidak suka bertele-tele. Kulihat dia menatap pasir yang ia
injak. Dan beberapa detik kemudian mendongakkan kepalanya dan menatapku dengan
tatapan penuh dengan penyesalan.
“Aku benar-benar minta maaf
dengan kejadian tadi,” ucap Zayn menghelakan nafasnya. Seakan-akan tidak ada
beban yang memberatkannya. Aku masih tidak percaya dengan bualannya itu. Karena
aku yakin dia hanya berbohong.
“Lalu apa yang kaulakukan dengan
Justin?” tanya Zayn padaku. Ia menyipitkan matanya, seakan-akan ia ingin
menyelidikiku. Aku tidak suka melihat Zayn seperti ini. Maksudku, menyipitkan
matanya.
“Aku hanya –“
“Berselingkuh?” tanya Zayn yang
benar-benar tidak masuk akal. Bagaimana mungkin aku berselingkuh dan sebenarnya
dalam kenyataannya itu aku dan Zayn tidak lagi berpacaran?! Kenapa otak
laki-laki ini tidak pernah berjalan? Mungkin iya, tidak pernah. Aku juga
bingung kenapa aku bisa menyukainya.
“Kenapa kau bisa menyimpulkan
bahwa kejadian tadi adalah berselingkuh?” tanyaku sambil berdecak pinggang.
Kutatapi ia dengan tatapan yang menakutkan. Tapi aku tahu itu tidak berhasil
untuk mengusirnya dari sini.
“Berciuman? Jadi kau pikir kau
tidak berselingkuh dan kau menuduhku berselingkuh?” tanya Zayn yang membuatku
berdiri tegap dan menautkan kedua alisku. Aku mendesah kaget.
“Oh yeah? Ingat Zayn, kita itu
sudah putus. Jadi, apa maksudmu berselingkuh? Huh?” tanyaku mulai menunjuk ke
arah dadanya. Kudorong tubuhnya lagi
hingga ia tersudut di bebatuan. Dia mengangkat kedua bahunya dengan gayanya
yang sok keren itu dan menatapku dengan bibir yang ia mainkan. Dasar, dia
sedang menggodaku.
“Well, aku mengambil kesimpulan
itu karena bisa saja kau berselingkuh sebelum kau memutuskanku,” ucap Zayn
dengan santainya. Aku mendesah. Tidak mungkin aku berselingkuh dengan sahabatku
sendiri? Oh yang benar saja. Bunuh aku sekarang jika itu benar-benar terjadi.
Maksudku, bunuh aku jika itu benar-benar terjadi saat aku dan Zayn masih
berpacaran.
“Kau lelaki terbodoh yang pernah
kutemui,” ucapku menggelengkan kepalaku, “Just, ayo kita pulang,” ucapku dengan
suara yang besar. Zayn melihatku dengan tatapan ‘Hah? Maksudmu?’. Aku hanya dapat menyunggingkan senyuman
selamat tinggal padanya.
“Hasta La Vista, baby,” ucapku
mengecup pipi kirinya. Ciuman selamat tinggal. Aku melengos pergi dari
hadapannya dan menggandeng tangan Justin untuk naik ke atas jalanan. Justin
pulang dengan sepedanya, sedangkan aku ..yeah, kurasa kalian sudah tahu
maksudku apa. Vespa 1980-ku.
Justin membantuku untuk menaiki
bebatuan yang tinggi ini. Sebenarnya ada tangga untuk sampai di jalan raya,
tapi aku malas. Jadi, lebih baik seperti ini. Hah! Aku membersihkan tanganku
yang kotor. Kemudian, aku dan Justin melangkah untuk mengambil kendaraan kami.
Kurasa Zayn merasa terhina karena aku meninggalkannya tadi, meski sebenarnya
aku sama sekali tidak menjawab kesimpulannya tadi. Tentang aku dan Justin telah
berselingkuh sebelum aku dan dia putus. Itu benar-benar pemikiran bodoh. Kalau
yang tadi –sewaktu di rumah Zayn- itu baru kenyataan. Itu sebelum aku dan dia
putus, kulihat mereka bermesraan. Ah, persetan dengan Zayn!
Kunyalakan motor Vespa-ku dan
menunggu Justin yang merantaikan sepedanya pada sebuah tiang yang bertuliskan
‘Jaga-jaga Saat Gempa Bumi, Pergi ke Tempat Yang Lebih Tinggi’. Beberapa detik
kemudian, Justin sudah siap terduduk pada kursi sepedanya. Sepeda yang cukup
bagus untuk Justin. Dengan plat sepeda yang bertuliskan BIEBER. Memang, dia
begitu mencintai nama belakangnya. Aku saja sampai bosan jika ia berkenalan
dengan seorang wanita ia hanya memberitahu nama belakangnya. Bahkan dia meminta
pada Mrs. Judy –pemilik Seafood Is Food- itu untuk menuliskan pada nickname-nya
Bieber dan jangan Justin. Ia merasa keren jika hanya nama belakangnya yang ia
sebutkan, itu katanya. Kemudian, aku dan Justin berjalan bersama-sama. Aku
menggas Vespa-ku dengan pelan agar aku dan Justin berjalan bersama-sama.
Sekarang sudah jam 10 lewat,
kendaraan bermotor sudah mulai berkurang. Jadi, aku dan Justin bebas untuk
mengobrol di jalan karena tidak usah terlalu focus akan jalanan. Lumayan jauh
untuk sampai ke rumah. Karena rumah kita berada di perumahan.
“Kenapa dengan Zayn?” tanya
Justin padaku, “Aku minta maaf karena sudah mencium bibirmu,” tambah Justin.
Aku tertawa akan pernyataannya. Dia tidak perlu minta maaf karena ciumannya itu
manis dan enak.
“Oh tidak, dia hanya ..baiklah
Just, aku dan dia baru saja putus,” ucapku menyerah. Aku benar-benar tidak bisa
berbohong dengan Justin. Dia juga tidak pernah berbohong padaku.
“Hah?! Apah?!” kaget Justin yang
membuatku sedikit oleng karena dia mengagetkanku. Kudengar Justin tertawa
karena aku hampir saja terjatuh. Kurang baik.
“Just, jangan mengagetkanku
seperti itu lagi,” ucapku meminta. Kulihat Justin mengangguk dan tertawa, ini
benar-benar tidak lucu dan mungkin bagi Justin memang lucu baginya, karena dia
yang merasa.
“Well, haah, jadi benar kau
dengan Zayn putus?” tanya Justin padaku. Aku hanya mengangguk. Dan mulai
berpikir bahwa besok adalah hari Sabtu. Aku benar-benar penasaran apa yang akan
ia lakukan besok. Karena besok aku tidak akan bertemu dengan Justin.
“Just, apa yang kau lakukan
besok?” tanyaku mengalihkan pembicaraan. Tiba-tiba saja Justin tertegun dan
menatap ke arah jalanan. Deru nafasnya terdengar sampai ke telingaku. Ia
menjilat bibirnya yang terlihat kering kembali setelah tadi aku melumatnya.
“Ak-aku pergi ke gereja, yeah,
latihan paduan suara,” ucap Justin yang benar-benar tidak bisa berbohong
padaku. TIDAK MUNGKIN! Ia bahkan tidak pernah bilang padaku kalau selama ini
dia mengikuti paduan suara di gereja. Well, memang suaranya bagus. Tapi sejak
kapan? Yang kutahu, Justin itu jarang sekali ke gereja. Maksudku setelah ia
lulus dari SMA.
“Tidak mungkin, yang jujur
Justin,” desakku padanya. Ia menggelengkan kepalanya. Aku dan Justin berbelok
untuk masuk ke dalam perumahan. Justin mendesah pasrah.
“Baiklah, aku hanya berpergian ke
suatu tempat, dan jangan pertanyakan itu lagi,” ucap Justin yang suaranya
semakin besar karena aku dan Justin terpisah. Aku sudah sampai di rumah dan
Justin juga. Terlihat di wajahnya bahwa ia marah. Aku merasa bersalah. Entahlah,
yang pasti Justin terlihat begitu marah karena aku mempertanyakan hal tadi.
Aku memasukkan motorku ke garasi
mobil ayah. Dan lalu aku masuk ke dalam rumah, melihat ayah dan ibu masih pada
posisi mereka. Ternyata mereka masih menonton film. Astaga! Padahal sudah jam
11 malam. Mereka harus bekerja besok.
“Hei, dad,” ucapku dengan letih.
“Hei, Jo!” balas ayahku dengan
mata yang masih melihat layar televisi. Aku mengabaikan ayahku dan langsung
naik ke atas kamarku.
Kubuka pintu kamarku dan
menutupnya kembali. Aku lelah, tapi bayang-bayang wajah Justin dan ciuman ku
dengan Justin. Rasanya senang dan aku ingin melakukannya lagi dengannya.
Kupejamkan mataku meski aku belum bisa tidur. Aku lelah, tapi aku tidak bisa
tidur.
****
Seperti yang aku bilang pada
kalian semua bahwa Justin tidak ada di rumahnya setelah aku tadi menghampiri
rumahnya dan menanyakkan Justin pada Mom Pattie, ibu Justin. Tapi Justin tidak
ada. Padahal aku bangun jam 8 pagi, biasanya Justin bangun jam 9. Ini musim
panas. Jadi, aku berlibur.
Dengan malas aku membawa Vespa-ku
ke Seafood Is Food. Kalau hari Sabtu dan Minggu, aku bekerja untuk makan siang
dan makan malam. Jadi, hari ini mungkin aku akan kelelahan. Andai ada Justin di
sini. Dia itu sebenarnya ke mana? Kuparkirkan motorku di belakang Restoran. Dan
berharap akan ada Julian, teman lelakiku yang juga dekat denganku. Dan benar
saja, saat aku menaruh helm-ku di atas spion motor, ia datang dengan motornya
yang jadul juga. Aku dan dia menyukai benda-benda tahun 1980-1990an. Karena
menurutku itu memang keren.
“Hei,” sapaku melambaikan tangan.
Julian tersenyum padaku dan menaruh helmnya di kaca spionnya juga. Kemudian ia
berjalan ke arahku dan merangkulku.
“Kenapa kau terlihat begitu
sedih?” tanyanya saat kami mulai melangkah untuk masuk ke dalam restoran. Aku
menggelengkan kepalaku.
“Hhh, seperti yang kau sudah
tahu. Tidak ada Justin,” ucapku padanya. Ia mengangguk. Julian adalah sahabat
Justin. Mungkin dia tahu Justin ada di mana. Tapi dia juga tidak pernah
memberitahuku jika aku bertanya di mana Justin. Ia hanya bilang bahwa Justin
mempunyai pekerjaan lain. Tapi aku penasaran, kenapa pekerjaan itu begitu lama?
Sehingga aku dan Justin tidak bisa bertemu.
“Dia bekerja sebagai apa?”
tanyaku padanya. Aku dan Julian berhenti tepat di balik tembok restoran. Ia
melepaskan rangkulannya dan memegang kedua pundakku dengan erat. Aku sampai
meringis. Sepertinya ia akan memberitahuku.
“Kau berjanji untuk tidak kaget
dan tidak memberitahu siapa-siapa? Apalagi pada Justin, kau berjanji?” tanya
Julian padaku dengan suara yang benar-benar kecil. Aku mengangguk. Aku bukan
orang yang suka menggosip atau membocorkan rahasia orang. Aku tidak suka.
“Jadi, apa pekerjaan Justin yang
lain?” tanyaku bersabar. Julian mendekatkan bibirnya pada telingaku. Deru
nafasnya begitu terdengar.
“Dia seorang gigolo,” ucap Julian
yang membuatku tersentak. Aku ingin mati di tempat sekarang.
***
Julian menjauhkan wajahnya dari
telingaku. Kulihat wajahnya begitu serius. Rasanya perutku penuh dan aku ingin
mual tepat di wajah Julian yang kurasa tampan itu. Aku benar-benar tidak
percaya bahwa Justin adalah seorang gigolo. Itu pekerjaan yang ..aku ingin
muntah untuk menjelaskan pada kalian semua. Tapi, apa dia serius?!
“Hhh, Jo. Apa kau percaya itu?”
tanya Julian padaku. Aku mengangguk. Yeah, aku percaya. Karena memang Justin
pintar sekali menari seksi di depan para wanita. Tapi versi tidak membuka baju.
“Well, Jo. Selamat,” ucap Julian
yang membuatku sedikit bingung, “Selamat karena kau tertipu! Hahahaaha!” tawa
Julian yang benar-benar terdengar begitu gila. Itu bahkan tidak lucu bagiku,
mungkin memang lucu baginya karena dia telah membohongiku. Aku masih tidak
yakin dia sedang membohongiku. Kulihat wajah Julian begitu memerah karena
tertawa. Dan pada akhirnya aku ikut tertawa …canggung dengan Julian.
“Hahaha, hahaha, hahaha,” tawaku
begitu canggung, kemudian Julian tiba-tiba berhenti tertawa karena dia
mendengar aku tertawa canggung.
“Kau tidak usah tertawa seperti
itu, itu benar-benar menggelikan,” ucap Julian sewot. Aku jadi berhenti tertawa
(canggung) dan mengedipkan mata. Aku benar-benar berani untuk mengedip disaat
Julian sedang jengkel denganku.
“Tapi Julian, apa kau serius? Aku
masih tidak percaya kalau Justin itu bukan gigolo,” desakku ingin tahu
kebenaran. Julian menatapiku dengan jengkel kemudian melengos pergi dari
hadapanku.
“Kau pilih dia jadi gigolo atau
tidak? Kalau ingin tahu kebenarannya yang lebih pasti, tanya pada orangnya
sendiri,” ucap Julian masuk ke dalam Seafood Is Food. Aku mengangguk.
Hmm, aku masih penasaran. Eh!?
Tunggu dulu, jam berapa ini? Aku harus melubangi kartu absenku. Dengan cepat
aku masuk ke dalam Seafood Is Food dan mengambil kartu absenku dan *cekrek* Aku
berhasil melubangi kartu absenku sebelum aku terlambat. Dan kalian tahu apa?
Tinggal 1 menit lagi waktunya. Astaga, aku ingin mati sekarang saat aku melihat
banyak sekali pengunjung berdatangan. Maksudku para turis. Sudah tidak ada
Justin, Julian jengkel pula padaku. Benar-benar hari yang menyenangkan, yah!
Dengan cepat aku mengambil
celemek dengan nickname yang berada di dada sebelah kiriku. Kuikat tali
belakangnya dan mengambil beberapa buku pesanan dan buku catatan. Dengan cepat
aku berjalan pada meja yang belum ada nomornya. Kuambil nomor 4 yang ada di
meja nomor yang sebenarnya Mrs. Judy tidak perlu membeli meja hanya untuk nomor
meja. Katanya Pelanggan Nomor Satu. Well, yeah memang benar tapi tidak perlu
berlebihan seperti ini.
“Selamat siang, Anda mau pesan
apa?” tanyaku dengan sopan dan dengan senyuman. Tapi senyumanku surut saat aku
sadar bahwa yang datang adalah Zayn segerombolan temannya dan WHAT THE HELL!
Aku ingin membunuh Zayn sekarang. Dengan senyuman yang menyebalkan Zayn
mengoceh untuk memesan makanan. Aku terus menekan pulpen yang kupegang pada
kertas ini. Hampir saja robek. Dan tulisanku rasanya jelek sekali. Apa mungkin
dia ingin membalas dendam karena kejadian tadi malam?! Oh yeah, tentu saja. Itu
bisa terjadi.
“Sudah itu saja. Ada yang lain?
Kau ingin apa, sayang?” tanya Zayn dengan suara yang dibuat-buat mesra. Iuh!
Aku saja tidak cemburu. Ia mencium wanita yang kemarin berada di rumahnya.
Ciuman yang dibuat-buat mesra. Ish! Aku ingin menyiram mereka berdua dengan
minyak panas dan tertawa-tawa saat melihat kulit mereka terkelupas dengan
lambatnya lalu aku bisa melihat daging mereka yang berwarna merah segar dan
darah mereka akan mengalir seperti darah yang biasa vampire minum dan daging
mereka aku akan berikan pada koki di Seafood Is Food dan aku akan bilang pada
koki bahwa ini adalah daging dari ikan Paus yang langsing. Oh! Benar-benar
keren. Aku tersenyum pada mereka semua dan meninggalkan mereka.
*ting* “Pesanan meja 4!” teriakku
dengan suara yang besar sekali. Julian yang sibuk mengisi Coke di mesin Coke
melihatku dengan tatapan kaget karena mungkin untuk pertama kalinya ia
melihatku berteriak seperti tadi. Kalau mungkin aku adalah pemain di Serial Televisi ‘How I Met You Mother’
Mungkin suaraku akan diubah menjadi suara beruang. Ish!
“Kau kenapa?” tanya Julian
mendekatiku sambil membawa 2 Coke ukuran besar. Aku mengangkat kedua bahuku
dengan wajah yang datar. Kulihat Zayn dan wanita itu masih tertawa-tawa dengan
riangnya. Aku benar-benar ingin menyiram mereka sekarang.
“Oh, sudahlah. Kau dan dia kan
sudah putus,” ucap Julian yang ikut melihat pandanganku. Aku sedikit terkejut
dengan pernyataannya tadi. Tahu dari mana dia bahwa aku dan Zayn putus? Mungkin
dari Justin. Well, mulut Justin itu besar sekali. Rasanya aku ingin mengambil
ember yang besar juga dan menyumpal mulutnya akan dia diam. Bayangkan saja
sendiri bagaimana lucunya jika ia berjalan sambil ember berada di mulutnya.
Baiklah, bayanganku itu benar-benar mengkhayal tingkat tinggi.
*ting-ting-ting* Suara bel
berbunyi dengan kencangnya. Aku tersadar dari lamunanku dan melihat koki yang
sudah marah karena aku melamun. Ternyata makanan sudah siap untuk meja 8.
Dengan cepat aku mengambil 2 piring berisikan makanan ini di atas nampan. Kubawa
makanan ini dan *bruk* Kutaruh nampan di atas meja pengunjung. Aku memang benar-benar
tidak sopan. Kutaruh dengan kasar makanan-makanan ini pada meja ini. Untung
saja ini hanya Mr. dan Mrs. Stanfuss. Ia sudah berlangganan di Restoran ini.
Mereka bahkan sudah mengenalku.
“Kau kenapa Jojo?” tanya Mr. Stan
padaku. Aku memberikan senyuman palsuku padanya dan menggelengkan kepalaku.
“Tidak apa-apa,” ucapku dengan
penuh kegirangan yang palsu. Kemudian aku melangkah pergi untuk mengambil
pesanan yang lain. Dan sialnya, itu adalah pesanan nomor 4. Aku malas sekali
untuk pergi ke sana.
Kutarik baju Britney yang sedang
berjalan membawa buku pesanan dan berniat untuk melayani meja yang belum
dilayani. Kutarik hingga aku dan dia sudah sampai di dekat dapur.
“Ini, bawa ini ke meja nomor 4,”
ucapku dengan nada yang penuh dengan kekesalan. Ia mengangguk polos dan aku
mengambil buku pesanan yang dia pegang. Dengan cepat aku mengambil nomor 19
yang masih tersisa di meja nomor ini. Well, meja nomor dan meja nampan. Huh,
kurasa hari ini adalah hari yang benar-benar melelahkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar