Minggu, 22 Desember 2013

Cerpen: Bieber Is Umm ... Part 1

***


Aku terus melangkahkan kakiku menuju rumahku, membawa perasaan yang benar-benar sakit. Aku tidak menangis. Hanya saja aku kecewa dengan apa yang telah diperbuat oleh Zayn, mantan pacarku itu. Aku bahkan tidak mengerti dengannya. Apa kekuranganku? Aku selalu ada untuknya, aku cantik, tubuhku bagus, aku pintar. Jadi apa yang kurang hingga dia mencari wanita lain? Persetan sekali dengannya.

Oh yeah, namaku  Jhoanna Primrose Stalwart. Aku adalah wanita yang baru saja memutuskan lelaki bejat. Aku tinggal di California. Kota ini benar-benar menakjubkan. Oh yeah, jika kalian ingin datang ke sini, kalian harus terlihat modis. Oh, jangan lupa untuk mencoba seafood buatan kota ini. Benar-benar menakjubkan. Aku lahir pada 19 Januari ’90. Aku masih kuliah. Tapi sebentar lagi aku akan lulus. Maksudku, 2 tahun lagi. Well, hell yeah. Hari ini benar-benar hari terburuk yang pernah ku alami.

Aku bekerja di sebuah restoran yang sederhana di sebuah rumah makan seafood. Well, aku bekerja di sana sudah sekitar 3 tahun yang lalu. Sebenarnya aku alergi terhadap makanan seafood, tapi selama aku tidak memakannya, aku tidak akan terkena alergi. Di sana, aku juga mempunyai sahabat. Nama dia Justin Bieber. Dia adalah pelayan yang terkenal di sana. Banyak anak remaja yang datang ke restoran itu hanya untuk menemui sahabatku ini. Dan sekarang, aku harus pergi lagi ke restoran-ku. Di sana aku menjadi pelayan juga.

Kuganti pakaianku yang tadinya aku memakai celana pendek, sekarang aku ganti dengan casual –celana panjang. Aku benar-benar butuh Justin sekarang. Dia adalah satu-satunya lelaki yang bisa kujadikan tempat bercerita. Kuikat rambutku dan kupoles bibirku dengan pelembab bibirku. Oh yeah, aku memang terlihat sangat cantik. Aku terlalu percaya diri ya? Tapi itu memang benar.

Kembali aku keluar dari rumahku setelah aku berpamitan dengan kedua orangtua ku yang sedang menonton acara elevise yang mereka suka. Kuambil motor Vespa yang sudah lama sekali. Ini memang jelek, tapi aku benar-benar mencintai motor Vespa-ku karena tidak berisik dan mudah dibawa. Kupakai helmku dan memundurkan Vespa-ku. Kemudian, kunyalakan dan berjalan dengan santainya.

Restoranku sangat terkenal dengan kelezatan makanan laut mereka. Entah bagaimana rasanya, yang pasti banyak sekali pengunjung yang datang. Dan tentunya karena Justin. Justin benar-benar terkenal di restoran itu. Kadang aku tertawa kalau-kalau Justin sedang digoda oleh para wanita dan Justin meresponnya dengan tarian seksinya. Dengan cara seperti itu, dia bisa mendapatkan berpuluh-puluh dollar dalam sehari. Aku jadi iri dengannya.

Kuparkirkan motorku di belakang restoran. Tempat para kendaraan karyawan memarkiran kendaraan mereka. Kutaruh helmku di atas kaca spion Vespa-ku. Kulihat Justin yang sudah menungguku di pintu belakang restoran. Aku tersenyum melihatnya.

“Hei, Justin!” sapaku padanya. Dia memelukku saat aku mendekatinya.



***

Tawaan para pengunjung Seafood is Food menyeruak ke telingaku saat aku sedang sibuk-sibuknya mencatat pesanan-pesanan para pengunjung ini. Rasanya aku mual. Justin juga sedang sibuk meski sesekali ia digoda oleh para tante-tante yang nakal. Iuh. Aku semakin ingin mual. Untung saja restoran ini tidak mengizinkan para pengunjung merokok. Bisa-bisa aku mandi sauna di sini. Aku terus mencatat pesanan-pesanan dari pemuda yang sedang aku layani. Lelaki ini tampan.

“Itu saja, Jhoanna,” ucap pemuda itu membaca nickname yang terpasang rapi di dada kiriku. Kemudian, aku tersenyum padanya. Tapi ia malah memainkan matanya padaku.

“Kau tidak ingin bertanya siapa namaku?” tanya pemuda itu padaku. Aku menahan tawa. Percaya diri sekali dia. Memang dia tampan, tapi aku bukan wanita yang sembarang. Dengan sopan aku menggelengkan kepalaku dan tersenyum. Dan lalu aku berbalik untuk menjepit pesanan tadi di sebuah jendela antara dapur dan tempat para pengunjung berdatangan. *ting* Kutekan bel untuk menyuruh koki mengambil pesanan tersebut.

“Hari yang sibuk yah,” ucap Justin padaku dan menjepit sebuah kertas pesanan dan terlihat dia begitu berkeringat mala mini. Ia mengenakan  bandana kain di kepalanya, membuatnya terlihat begitu macho. Ia tersenyum padaku. Aku menatap ke segala arah untuk melihat para pengunjung yang belum dilayani. Oh, semuanya sudah dilayani. Tinggal menunggu makanannya saja. Aku bersandar ke tembok dan melihat Justin yang terengah-engah. Dan lalu ia tersenyum dan memainkan matanya pada para tante-tante yang terkikik di meja nomor 6 itu. Aku tertawa melihat tingkah Justin yang satu ini. Dia itu lelaki penggoda. Dasar Justin.

“Hei, kau ingin makan malam denganku setelah jam kerja selesai?” tanya Justin yang membuatku terkejut karena tiba-tiba saja Justin berbalik ke arah ku dan mengapit tubuhku dengan tubuhnya. Kedua tangannya berada di samping kepalaku. Tawaku terhenti begitu saja saat aku melihat matanya yang melihatku dengan serius. Aku langsung mengangguk, mengiyakan tawarannya. Sedetik kemudian dia berlalu dari hadapanku. Kubuang nafasku yang tadi tercekat. Justin memang aneh. Tapi entah kenapa, perasaanku begitu tersengat saat jarak wajah antara aku dan Justin begitu dekat membuatku ingin mencium bibirnya yang berwarna merah muda itu. *ting* Bunyi bel berbunyi tanda pesanan sudah datang. Dengan cepat aku mengambil nampan dan menaruh 3 piring seafood. Pesanan meja nomor 6. Oh, astaga! Kenapa harus tante-tante itu?! Dengan cepat aku mengangkat nampan ini dan menghampiri meja nomor 6.

“Ini pesanan Anda,” ucapku menaruh piring-piring ini di atas meja makan mereka. Mereka melihatku dengan tatapan tidak suka. Kemudian salah satu diantara mereka mengeluarkan sebuah bungkus rokok dan berniat untuk menyalakannya.

“Dilarang merokok di dalam sini,” ucapku mengingatkannya. Dia yang sudah mengapit batang rokok di mulutnya itu langsung berdiri dan melepaskan apitan batang rokok dari mulutnya. Ia lebih tinggi dibanding diriku. Astaga! Ia menatapku dengan tatapan Kau Akan Kubunuh.

“Maksudmu apa melarangku?” tanya tante ini padaku. Aku menggelengkan kepalaku dan menatapnya dengan tatapan takut.

“Ta-tapi di sana tertulis ba-bahwa—“

“Bahwa apa?” desaknya. Aku menelan ludahku dengan susahnya.

“Bahwa dilarang merokok di sini,” ucapku dengan suara yang bergetar. Ia mengedipkan matanya lalu ia kembali duduk dan membuang batang rokok itu tepat di wajahku. Aku memejamkan mataku kemudian aku melengos pergi dari hadapannya. Untung saja kejadian tadi tidak membuat para pengunjung teralihkan perhatiannya. Huh! Benar-benar menakutkan. Dasar Tante-Tante! Ish! Aku menggerutu.

“Kenapa?” tanya Justin yang melihat aku menggerutu dengan kesal. Apa?! Dia bertanya ‘kenapa’? Apa tadi ia tidak lihat bahwa sahabatnya sedang berusaha untuk melawan Singa? Oh yeah, kurasa ia tadi ke belakang.

“Tante-tante-mu itu tadi memarahi hanya karena aku melarang mereka untuk tidak merokok di sini, tapi mereka malah memarahiku,” ucapku dengan nada suara yang benar-benar kesal. Aku cemberut. Benar-benar menyebalkan sekali. Aku dan Justin akan segera selesai bekerja. 1 jam lagi. Jam 9 malam nanti, baru bergantian dengan Cherry dan Sebastian yang akan menjadi pelayan nanti.  Mereka teman-temanku juga. Hanya saja tidak sedekat Justin.

Well, biar kuceritakan sedikit tentang Justin. Dia itu lelaki tertampan di Pacifica, dipinggiran California. Pasifica hanya kota kecil hanya dengan 35.000 penduduk yang tinggal di sini. Justin memang begitu terkenal akan ketampanannya, tapi banyak orang tidak tahu kalau ia adalah seorang yang sederhana, ia tidak keren. Ia sederhana. Ibunya seorang akuntan dan ayahnya sudah bercerai dengan ibunya sejak lama. Justin suka sekali berselancar di pantai dekat sini. Memang, kita tinggal di pesisir pantai. Jadi mudah sekali jika ingin mencoklatkan warna tubuh kita. Justin memang keren sekali. Tapi jarang sekali aku melihatnya kalau disiang hari. Well terutama pada hari Sabtu atau Minggu. Ia menghilang entah ke mana.

Well, sekarang tentang diriku. Aku itu seorang Canadian, sama seperti Justin. Aku pintar berbahasa Prancis, sama juga seperti Justin. Aku tinggal bersebelahan dengan rumah Justin, tapi seperti yang tadi aku bilang, setiap hari Sabtu dan Minggu ia selalu menghilang entah ke mana. Aku juga bingung.

“Hei, kenapa kau melamun?” tanya Justin menyenggol tanganku. Aku tersadar. Kulihat dia sudah memegang 2 nampan. Astaga! Kuambil nampan yang satunya agar Justin tidak kerepotan. Dan memang ini adalah tugasku.

“Aku hanya, sudahlah Just. Banyak orang yang menunggu makanan,” ucapku dengan cepat dan berjalan menuju meja nomor 13. Astaga! Angka sial! Memang, ini adalah hari sialku. Jadi memang cocok sekali angka itu untukku.


***

“Kau suka makanannya?” tanya Justin padaku. Aku mengangguk. Aku dan Justin sedang duduk di tengah-tengah pantai di malam hari. Angin malam benar-benar sejuk. Membuatku sedikit menggigil. Aku sedang memakan Hamburger yang tadi Justin beli dan Coke Diet di sebelahku.

“ Makan malam yang enak,” balasku tersenyum saat aku menelan makananku. Aku menatap Justin dengan lekat-lekat. Bandana yang ia pakai masih membuatnya terlihat keren dan tampan. Ia juga menatapku dengan tatapan yang begitu dalam. Ini benar-benar keadaan yang aneh dalam hubungan persahabatan. Aku tidak mengerti tapi aku ingin sekali mencium bibir Justin. Kutatapi dia yang menjilati bibirnya itu. Astaga! Kenapa tiba-tiba aku merasa dia adalah lelaki terseksi setelah Zayn?! Ia menarik leherku dan menempelkan bibirnya padaku bibirku. Astaga! Dia menciumku. Ini benar-benar ..manis. Aku mulai melumat bibir Justin dengan liarnya. Aku benar-benar menikmati ciuman ini. Berciuman dengan sahabat itu tidak boleh?! Hah! Kau bisa melihatku dengan Justin yang berciuman sekarang. Aku rasa aku cepat sekali mendapatkan pengganti. Kuharap Justin akan menjadikanku sebagai kekasihnya.

Aku melingkarkan tanganku pada leher Justin dan semakin mencium bibirnya dengan dalam.

“Jhoanna?” panggil seseorang yang membuatku dan Justin terkejut begitu saja. Dengan segera aku dan Justin melepaskan ciuman kami yang panas ini. Ah! Sial!

****

Aku berbalik untuk melihat siapa yang bisa-bisanya mengganggu ciuman terenak yang pernah kurasakan. Dan mendapati Zayn yang melihatku dengan tatapan nanar. Kepalanya tergeleng-geleng bagaikan orang mabuk. Aku berdiri dan berhadapan dengannya.

“Apa yang kaulakukan di sini?” tanyaku dengan suara yang kecil. Aku mendorong tubuh Zayn untuk menjauh dari tempatku dan Justin. Aku benar-benar kesal sekali dengan Zayn, berani sekali dia datang menemuiku di Mori Point, pantai ini. Ternyata dia masih mempunyai nyali untuk menemuiku setelah sebenarnya dia tahu kalau aku ini benar-benar tidak ingin menemuinya.

“Ak-aku tadi mencarimu di Seafood Is Food, tapi kau tidak ada di sana. Jadi kucari kau di pantai ini, karena ak—“

“Apa yang kaulakukan di sini, Zayn?” desakku yang tidak suka bertele-tele. Kulihat dia menatap pasir yang ia injak. Dan beberapa detik kemudian mendongakkan kepalanya dan menatapku dengan tatapan penuh dengan penyesalan.

“Aku benar-benar minta maaf dengan kejadian tadi,” ucap Zayn menghelakan nafasnya. Seakan-akan tidak ada beban yang memberatkannya. Aku masih tidak percaya dengan bualannya itu. Karena aku yakin dia hanya berbohong.

“Lalu apa yang kaulakukan dengan Justin?” tanya Zayn padaku. Ia menyipitkan matanya, seakan-akan ia ingin menyelidikiku. Aku tidak suka melihat Zayn seperti ini. Maksudku, menyipitkan matanya.

“Aku hanya –“

“Berselingkuh?” tanya Zayn yang benar-benar tidak masuk akal. Bagaimana mungkin aku berselingkuh dan sebenarnya dalam kenyataannya itu aku dan Zayn tidak lagi berpacaran?! Kenapa otak laki-laki ini tidak pernah berjalan? Mungkin iya, tidak pernah. Aku juga bingung kenapa aku bisa menyukainya.

“Kenapa kau bisa menyimpulkan bahwa kejadian tadi adalah berselingkuh?” tanyaku sambil berdecak pinggang. Kutatapi ia dengan tatapan yang menakutkan. Tapi aku tahu itu tidak berhasil untuk mengusirnya dari sini.

“Berciuman? Jadi kau pikir kau tidak berselingkuh dan kau menuduhku berselingkuh?” tanya Zayn yang membuatku berdiri tegap dan menautkan kedua alisku. Aku mendesah kaget.

“Oh yeah? Ingat Zayn, kita itu sudah putus. Jadi, apa maksudmu berselingkuh? Huh?” tanyaku mulai menunjuk ke arah dadanya.  Kudorong tubuhnya lagi hingga ia tersudut di bebatuan. Dia mengangkat kedua bahunya dengan gayanya yang sok keren itu dan menatapku dengan bibir yang ia mainkan. Dasar, dia sedang menggodaku.

“Well, aku mengambil kesimpulan itu karena bisa saja kau berselingkuh sebelum kau memutuskanku,” ucap Zayn dengan santainya. Aku mendesah. Tidak mungkin aku berselingkuh dengan sahabatku sendiri? Oh yang benar saja. Bunuh aku sekarang jika itu benar-benar terjadi. Maksudku, bunuh aku jika itu benar-benar terjadi saat aku dan Zayn masih berpacaran.

“Kau lelaki terbodoh yang pernah kutemui,” ucapku menggelengkan kepalaku, “Just, ayo kita pulang,” ucapku dengan suara yang besar. Zayn melihatku dengan tatapan ‘Hah? Maksudmu?’.  Aku hanya dapat menyunggingkan senyuman selamat tinggal padanya.

“Hasta La Vista, baby,” ucapku mengecup pipi kirinya. Ciuman selamat tinggal. Aku melengos pergi dari hadapannya dan menggandeng tangan Justin untuk naik ke atas jalanan. Justin pulang dengan sepedanya, sedangkan aku ..yeah, kurasa kalian sudah tahu maksudku apa. Vespa 1980-ku.

Justin membantuku untuk menaiki bebatuan yang tinggi ini. Sebenarnya ada tangga untuk sampai di jalan raya, tapi aku malas. Jadi, lebih baik seperti ini. Hah! Aku membersihkan tanganku yang kotor. Kemudian, aku dan Justin melangkah untuk mengambil kendaraan kami. Kurasa Zayn merasa terhina karena aku meninggalkannya tadi, meski sebenarnya aku sama sekali tidak menjawab kesimpulannya tadi. Tentang aku dan Justin telah berselingkuh sebelum aku dan dia putus. Itu benar-benar pemikiran bodoh. Kalau yang tadi –sewaktu di rumah Zayn- itu baru kenyataan. Itu sebelum aku dan dia putus, kulihat mereka bermesraan. Ah, persetan dengan Zayn!

Kunyalakan motor Vespa-ku dan menunggu Justin yang merantaikan sepedanya pada sebuah tiang yang bertuliskan ‘Jaga-jaga Saat Gempa Bumi, Pergi ke Tempat Yang Lebih Tinggi’. Beberapa detik kemudian, Justin sudah siap terduduk pada kursi sepedanya. Sepeda yang cukup bagus untuk Justin. Dengan plat sepeda yang bertuliskan BIEBER. Memang, dia begitu mencintai nama belakangnya. Aku saja sampai bosan jika ia berkenalan dengan seorang wanita ia hanya memberitahu nama belakangnya. Bahkan dia meminta pada Mrs. Judy –pemilik Seafood Is Food- itu untuk menuliskan pada nickname-nya Bieber dan jangan Justin. Ia merasa keren jika hanya nama belakangnya yang ia sebutkan, itu katanya. Kemudian, aku dan Justin berjalan bersama-sama. Aku menggas Vespa-ku dengan pelan agar aku dan Justin berjalan bersama-sama.

Sekarang sudah jam 10 lewat, kendaraan bermotor sudah mulai berkurang. Jadi, aku dan Justin bebas untuk mengobrol di jalan karena tidak usah terlalu focus akan jalanan. Lumayan jauh untuk sampai ke rumah. Karena rumah kita berada di perumahan.

“Kenapa dengan Zayn?” tanya Justin padaku, “Aku minta maaf karena sudah mencium bibirmu,” tambah Justin. Aku tertawa akan pernyataannya. Dia tidak perlu minta maaf karena ciumannya itu manis dan enak.

“Oh tidak, dia hanya ..baiklah Just, aku dan dia baru saja putus,” ucapku menyerah. Aku benar-benar tidak bisa berbohong dengan Justin. Dia juga tidak pernah berbohong padaku.

“Hah?! Apah?!” kaget Justin yang membuatku sedikit oleng karena dia mengagetkanku. Kudengar Justin tertawa karena aku hampir saja terjatuh. Kurang baik.

“Just, jangan mengagetkanku seperti itu lagi,” ucapku meminta. Kulihat Justin mengangguk dan tertawa, ini benar-benar tidak lucu dan mungkin bagi Justin memang lucu baginya, karena dia yang merasa.

“Well, haah, jadi benar kau dengan Zayn putus?” tanya Justin padaku. Aku hanya mengangguk. Dan mulai berpikir bahwa besok adalah hari Sabtu. Aku benar-benar penasaran apa yang akan ia lakukan besok. Karena besok aku tidak akan bertemu dengan Justin.

“Just, apa yang kau lakukan besok?” tanyaku mengalihkan pembicaraan. Tiba-tiba saja Justin tertegun dan menatap ke arah jalanan. Deru nafasnya terdengar sampai ke telingaku. Ia menjilat bibirnya yang terlihat kering kembali setelah tadi aku melumatnya.

“Ak-aku pergi ke gereja, yeah, latihan paduan suara,” ucap Justin yang benar-benar tidak bisa berbohong padaku. TIDAK MUNGKIN! Ia bahkan tidak pernah bilang padaku kalau selama ini dia mengikuti paduan suara di gereja. Well, memang suaranya bagus. Tapi sejak kapan? Yang kutahu, Justin itu jarang sekali ke gereja. Maksudku setelah ia lulus dari SMA.

“Tidak mungkin, yang jujur Justin,” desakku padanya. Ia menggelengkan kepalanya. Aku dan Justin berbelok untuk masuk ke dalam perumahan. Justin mendesah pasrah.

“Baiklah, aku hanya berpergian ke suatu tempat, dan jangan pertanyakan itu lagi,” ucap Justin yang suaranya semakin besar karena aku dan Justin terpisah. Aku sudah sampai di rumah dan Justin juga. Terlihat di wajahnya bahwa ia marah. Aku merasa bersalah. Entahlah, yang pasti Justin terlihat begitu marah karena aku mempertanyakan hal tadi.

Aku memasukkan motorku ke garasi mobil ayah. Dan lalu aku masuk ke dalam rumah, melihat ayah dan ibu masih pada posisi mereka. Ternyata mereka masih menonton film. Astaga! Padahal sudah jam 11 malam. Mereka harus bekerja besok.

“Hei, dad,” ucapku dengan letih.

“Hei, Jo!” balas ayahku dengan mata yang masih melihat layar televisi. Aku mengabaikan ayahku dan langsung naik ke atas kamarku.

Kubuka pintu kamarku dan menutupnya kembali. Aku lelah, tapi bayang-bayang wajah Justin dan ciuman ku dengan Justin. Rasanya senang dan aku ingin melakukannya lagi dengannya. Kupejamkan mataku meski aku belum bisa tidur. Aku lelah, tapi aku tidak bisa tidur.


****

Seperti yang aku bilang pada kalian semua bahwa Justin tidak ada di rumahnya setelah aku tadi menghampiri rumahnya dan menanyakkan Justin pada Mom Pattie, ibu Justin. Tapi Justin tidak ada. Padahal aku bangun jam 8 pagi, biasanya Justin bangun jam 9. Ini musim panas. Jadi, aku berlibur.

Dengan malas aku membawa Vespa-ku ke Seafood Is Food. Kalau hari Sabtu dan Minggu, aku bekerja untuk makan siang dan makan malam. Jadi, hari ini mungkin aku akan kelelahan. Andai ada Justin di sini. Dia itu sebenarnya ke mana? Kuparkirkan motorku di belakang Restoran. Dan berharap akan ada Julian, teman lelakiku yang juga dekat denganku. Dan benar saja, saat aku menaruh helm-ku di atas spion motor, ia datang dengan motornya yang jadul juga. Aku dan dia menyukai benda-benda tahun 1980-1990an. Karena menurutku itu memang keren.

“Hei,” sapaku melambaikan tangan. Julian tersenyum padaku dan menaruh helmnya di kaca spionnya juga. Kemudian ia berjalan ke arahku dan merangkulku.

“Kenapa kau terlihat begitu sedih?” tanyanya saat kami mulai melangkah untuk masuk ke dalam restoran. Aku menggelengkan kepalaku.

“Hhh, seperti yang kau sudah tahu. Tidak ada Justin,” ucapku padanya. Ia mengangguk. Julian adalah sahabat Justin. Mungkin dia tahu Justin ada di mana. Tapi dia juga tidak pernah memberitahuku jika aku bertanya di mana Justin. Ia hanya bilang bahwa Justin mempunyai pekerjaan lain. Tapi aku penasaran, kenapa pekerjaan itu begitu lama? Sehingga aku dan Justin tidak bisa bertemu.

“Dia bekerja sebagai apa?” tanyaku padanya. Aku dan Julian berhenti tepat di balik tembok restoran. Ia melepaskan rangkulannya dan memegang kedua pundakku dengan erat. Aku sampai meringis. Sepertinya ia akan memberitahuku.

“Kau berjanji untuk tidak kaget dan tidak memberitahu siapa-siapa? Apalagi pada Justin, kau berjanji?” tanya Julian padaku dengan suara yang benar-benar kecil. Aku mengangguk. Aku bukan orang yang suka menggosip atau membocorkan rahasia orang. Aku tidak suka.

“Jadi, apa pekerjaan Justin yang lain?” tanyaku bersabar. Julian mendekatkan bibirnya pada telingaku. Deru nafasnya begitu terdengar.

“Dia seorang gigolo,” ucap Julian yang membuatku tersentak. Aku ingin mati di tempat sekarang.


***

Julian menjauhkan wajahnya dari telingaku. Kulihat wajahnya begitu serius. Rasanya perutku penuh dan aku ingin mual tepat di wajah Julian yang kurasa tampan itu. Aku benar-benar tidak percaya bahwa Justin adalah seorang gigolo. Itu pekerjaan yang ..aku ingin muntah untuk menjelaskan pada kalian semua. Tapi, apa dia serius?!

“Hhh, Jo. Apa kau percaya itu?” tanya Julian padaku. Aku mengangguk. Yeah, aku percaya. Karena memang Justin pintar sekali menari seksi di depan para wanita. Tapi versi tidak membuka baju.

“Well, Jo. Selamat,” ucap Julian yang membuatku sedikit bingung, “Selamat karena kau tertipu! Hahahaaha!” tawa Julian yang benar-benar terdengar begitu gila. Itu bahkan tidak lucu bagiku, mungkin memang lucu baginya karena dia telah membohongiku. Aku masih tidak yakin dia sedang membohongiku. Kulihat wajah Julian begitu memerah karena tertawa. Dan pada akhirnya aku ikut tertawa …canggung dengan Julian.

“Hahaha, hahaha, hahaha,” tawaku begitu canggung, kemudian Julian tiba-tiba berhenti tertawa karena dia mendengar aku tertawa canggung.

“Kau tidak usah tertawa seperti itu, itu benar-benar menggelikan,” ucap Julian sewot. Aku jadi berhenti tertawa (canggung) dan mengedipkan mata. Aku benar-benar berani untuk mengedip disaat Julian sedang jengkel denganku.

“Tapi Julian, apa kau serius? Aku masih tidak percaya kalau Justin itu bukan gigolo,” desakku ingin tahu kebenaran. Julian menatapiku dengan jengkel kemudian melengos pergi dari hadapanku.

“Kau pilih dia jadi gigolo atau tidak? Kalau ingin tahu kebenarannya yang lebih pasti, tanya pada orangnya sendiri,” ucap Julian masuk ke dalam Seafood Is Food. Aku mengangguk.

Hmm, aku masih penasaran. Eh!? Tunggu dulu, jam berapa ini? Aku harus melubangi kartu absenku. Dengan cepat aku masuk ke dalam Seafood Is Food dan mengambil kartu absenku dan *cekrek* Aku berhasil melubangi kartu absenku sebelum aku terlambat. Dan kalian tahu apa? Tinggal 1 menit lagi waktunya. Astaga, aku ingin mati sekarang saat aku melihat banyak sekali pengunjung berdatangan. Maksudku para turis. Sudah tidak ada Justin, Julian jengkel pula padaku. Benar-benar hari yang menyenangkan, yah!

Dengan cepat aku mengambil celemek dengan nickname yang berada di dada sebelah kiriku. Kuikat tali belakangnya dan mengambil beberapa buku pesanan dan buku catatan. Dengan cepat aku berjalan pada meja yang belum ada nomornya. Kuambil nomor 4 yang ada di meja nomor yang sebenarnya Mrs. Judy tidak perlu membeli meja hanya untuk nomor meja. Katanya Pelanggan Nomor Satu. Well, yeah memang benar tapi tidak perlu berlebihan seperti ini.

“Selamat siang, Anda mau pesan apa?” tanyaku dengan sopan dan dengan senyuman. Tapi senyumanku surut saat aku sadar bahwa yang datang adalah Zayn segerombolan temannya dan WHAT THE HELL! Aku ingin membunuh Zayn sekarang. Dengan senyuman yang menyebalkan Zayn mengoceh untuk memesan makanan. Aku terus menekan pulpen yang kupegang pada kertas ini. Hampir saja robek. Dan tulisanku rasanya jelek sekali. Apa mungkin dia ingin membalas dendam karena kejadian tadi malam?! Oh yeah, tentu saja. Itu bisa terjadi.

“Sudah itu saja. Ada yang lain? Kau ingin apa, sayang?” tanya Zayn dengan suara yang dibuat-buat mesra. Iuh! Aku saja tidak cemburu. Ia mencium wanita yang kemarin berada di rumahnya. Ciuman yang dibuat-buat mesra. Ish! Aku ingin menyiram mereka berdua dengan minyak panas dan tertawa-tawa saat melihat kulit mereka terkelupas dengan lambatnya lalu aku bisa melihat daging mereka yang berwarna merah segar dan darah mereka akan mengalir seperti darah yang biasa vampire minum dan daging mereka aku akan berikan pada koki di Seafood Is Food dan aku akan bilang pada koki bahwa ini adalah daging dari ikan Paus yang langsing. Oh! Benar-benar keren. Aku tersenyum pada mereka semua dan meninggalkan mereka.

*ting* “Pesanan meja 4!” teriakku dengan suara yang besar sekali. Julian yang sibuk mengisi Coke di mesin Coke melihatku dengan tatapan kaget karena mungkin untuk pertama kalinya ia melihatku berteriak seperti tadi. Kalau mungkin aku adalah pemain  di Serial Televisi ‘How I Met You Mother’ Mungkin suaraku akan diubah menjadi suara beruang. Ish!

“Kau kenapa?” tanya Julian mendekatiku sambil membawa 2 Coke ukuran besar. Aku mengangkat kedua bahuku dengan wajah yang datar. Kulihat Zayn dan wanita itu masih tertawa-tawa dengan riangnya. Aku benar-benar ingin menyiram mereka sekarang.

“Oh, sudahlah. Kau dan dia kan sudah putus,” ucap Julian yang ikut melihat pandanganku. Aku sedikit terkejut dengan pernyataannya tadi. Tahu dari mana dia bahwa aku dan Zayn putus? Mungkin dari Justin. Well, mulut Justin itu besar sekali. Rasanya aku ingin mengambil ember yang besar juga dan menyumpal mulutnya akan dia diam. Bayangkan saja sendiri bagaimana lucunya jika ia berjalan sambil ember berada di mulutnya. Baiklah, bayanganku itu benar-benar mengkhayal tingkat tinggi.

*ting-ting-ting* Suara bel berbunyi dengan kencangnya. Aku tersadar dari lamunanku dan melihat koki yang sudah marah karena aku melamun. Ternyata makanan sudah siap untuk meja 8. Dengan cepat aku mengambil 2 piring berisikan makanan ini di atas nampan. Kubawa makanan ini dan *bruk* Kutaruh nampan di atas meja pengunjung. Aku memang benar-benar tidak sopan. Kutaruh dengan kasar makanan-makanan ini pada meja ini. Untung saja ini hanya Mr. dan Mrs. Stanfuss. Ia sudah berlangganan di Restoran ini. Mereka bahkan sudah mengenalku.

“Kau kenapa Jojo?” tanya Mr. Stan padaku. Aku memberikan senyuman palsuku padanya dan menggelengkan kepalaku.

“Tidak apa-apa,” ucapku dengan penuh kegirangan yang palsu. Kemudian aku melangkah pergi untuk mengambil pesanan yang lain. Dan sialnya, itu adalah pesanan nomor 4. Aku malas sekali untuk pergi ke sana.

Kutarik baju Britney yang sedang berjalan membawa buku pesanan dan berniat untuk melayani meja yang belum dilayani. Kutarik hingga aku dan dia sudah sampai di dekat dapur.

“Ini, bawa ini ke meja nomor 4,” ucapku dengan nada yang penuh dengan kekesalan. Ia mengangguk polos dan aku mengambil buku pesanan yang dia pegang. Dengan cepat aku mengambil nomor 19 yang masih tersisa di meja nomor ini. Well, meja nomor dan meja nampan. Huh, kurasa hari ini adalah hari yang benar-benar melelahkan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar