CHAPTER NINE
Bukan merupakan pagi yang cerah bagi
Justin saat ia melihat perubahan dari sikap Grisell. Wanita muda itu lebih
memilih menutup mulut dan menganggukkan kepala saat Justin ingin membuat
perdebatan pagi itu, sayangnya, harapan bermain-main dengan Grisell sepertinya
pupus sudah. Setelah sarapan pagi yang tenang, Grisell segera meminta Miss
Gillbride mengajarnya lalu membungkuk memberi hormat pada siapa pun yang ada di
ruang makan. Miss Gillbride cukup terkejut melihat perubahan Grisell yang
jelas-jelas kelihatan seperti kaca bening, namun ia tidak ingin mempertanyakan
apa yang terjadi pada wanita itu. Yah, apa yang terjadi pada Grisell bukan
lebih dari sekedar kekhawatiran.
Tentu saja Grisell khawatir.
Bagaimana tidak? Seorang bangsawan, bergelar seorang earl, menginginkannya sebagai istri. Apa gerangan yang terjadi? Bukankah
saat selama ini Justin memperlihatkan ketidaksukaannya terhadap Grisell? Lalu
apa yang membuat Justin ingin menikahinya? Grisell seharusnya sudah siap
menjadi seorang istri—terutama saat ia mencintai Nathaniel dan yakin bahwa pria
itu suatu hari akan menikahinya—tapi ia merasa ada sesuatu yang salah. Pasti
pria itu sedang bergurau. Bibi Millicent sering memberitahu Grisell bahwa para
pria bangsawan menikahi anak perempuan bangsawan lain untuk tetap menjaga ekonomi
dan martabat mereka. Jika sudah mencintai seorang wanita, tapi wanita itu bukan
seorang bangsawan, maka terpaksa pria itu harus melakukan hubungan gelap. Atau
singkatnya, kau hanya bisa mencintai seseorang dalam hubungan gelap. Grisell
tak heran mengapa banyak para bangsawan berperut buncit.
Tapi tidak dengan Justin. Pria itu
merupakan gambaran tubuh sempurna dan maskulinitas bagi para pria-pria lain,
khususnya bangsawan. Jelas saja pria itu tidak akan berperut buncit. Ia sering
pergi ke sana kemari untuk mengurusi estat-estatnya, mengurus bisnis yang ia
buat di kota Bristol, dan ditambah kegemarannya berolahraga. Pria itu senang
mencari keringat. Aroma campuran tembakau, keringat dan sedikit cologne mahal membuat Grisell
terangsang. Dan Tuhan tahu, Grisell tidak ingin jatuh untuk yang kedua kalinya.
Jika Justin belum menyatakan cinta padanya, atau paling tidak,
tindakan-tindakan yang menunjukkan kalau ia mencintai Grisell, maka ia tidak
akan menerima lamaran itu. Yang Grisell tak sadari adalah mau tak mau, Justin
pasti akan mendapatkan jawaban yang pria itu inginkan. Pria itu persuasif,
manipulatif dan licik.
Sementara Grisell sedang pergi
keluar dari Moore House, Justin masih penasaran akan surat-surat yang ia simpan
di lemari meja kerjanya. Pria itu melangkah menuju ruang kerjanya lalu masuk
dan menutup pintunya. Justin terkejut melihat Hope sedang tengkurap di atas
permadani hijaunya dan bermain-main dengan Mr. Phee seperti anak kecil.
“Bukankah kau kucing yang paling
menawan Mr. Phee? Aku yakin kucing betina di luar sana akan menyukaimu. Tapi
kurasa kau harus memakai topi kecil. Ya, topi. Seperti topi Mr. Butler yang
bulat itu. Perutmu dan perutnya hampir sama sehingga tak mungkin bila hanya dia
yang cocok memakai topi bulat itu.” Hope berceloteh mengelus-elus kepala Mr.
Phee. Kucing itu sedang bermain dengan benang wol yang tergulung seperti bola,
mengabaikan Hope. Mungkin Hope memang bukan putri bangsawan yang diharapkan
para pria di luar sana, tapi adik terakhirnya memang yang paling menawan dan
berbeda dari kakaknya yang lain. Hope tidak mendapat perhatian lebih banyak
dibanding kakak-kakaknya, maka dari itu Hope tampak lebih seronok tapi dengan
cara yang menyenangkan.
“Bukankan ruang kerja kakakmu adalah
tempat yang paling sempurna untuk bermain dengan kucing?” Suara Justin membuat
Hope tersentak kaget, lalu ia segera berguling di permadani seperti kucing lalu
mengangkat punggungnya agar duduk. Rambutnya yang sudah dirapikan pelayan
sekarang hancur karena bermain.
“Ruanganmu bersih dan aku selalu
suka dengan ruangan ini. Ayah selalu membiarkanku bermain di ruang kerjanya,”
“Jika kau memang suka dengan ruangan
ini, Hope,” ucap Justin memberi senyum tulus pada adiknya lalu melangkah menuju
meja kerjanya. Pria itu duduk di kursi tinggi dan empuk, lalu membuka lemari
mejanya. Matanya menemukan setumpuk kertas yang diikatnya tadi malam lalu
mengeluarkannya secepat mungkin. Ia menutup kembali lemari mejanya lalu
memerhatikan Hope yang sekarang duduk di atas sofanya bersama Mr. Phee di atas
pangkuannya. Adiknya sangat cantik dengan rambut cokelat yang dikepang dan
rambut-rambut nakal yang mencuat di sekitar telinganya dan Hope sangat menyukai
kucing. Justin berani bertaruh, Hope akan lebih memilih bersama kucing
dibanding bersama pria.
Lagi pula, Hope boleh menikah kapan
saja. Tapi Justin ragu. Mildred pasti akan mencari pria mana yang tepat bagi
Hope, yang jelas, pria itu harus bertanggungjawab dan mencintai Hope. Adiknya
mengangkat pandangan dari Mr. Phee ke kakaknya. “Apa itu tagihan hutangmu atau
hanya sekedar surat dari penggemar rahasia?”
“Kau tahu aku tidak pernah berhutang
pada siapa pun, Hope. Dan bukan, ini bukan surat dari penggemar rahasia,” ucap
Justin dengan cekat membuka tali surat-surat itu. Sudah 10 surat yang ia baca
tadi malam dan tanggalnya berbeda dari bulan dan tahunnya. Sepertinya sang Ayah
telah berhubungan dengan wanita bernama Samantha ini selama bertahun-tahun,
tapi mengapa Justin tidak pernah menyadarinya? Masih banyak surat yang belum ia
baca dan Justin begitu penasaran apakah surat-surat ini ada hubungannya dengan
surat Grisell? Justin menyisihkan 10 surat yang tadi malam ia baca ke daerah
meja yang lain lalu mengambil surat selanjutnya.
Hope melihat kakaknya dengan rasa
penasaran, tapi ia tetap diam di atas sofa itu. “Apakah itu surat dari
Henrietta?”
“Maksudmu, Miss Darlington?”
“Ya, maksudku, mantan kekasihmu,”
ucap Hope sengaja mengatakan itu pada kakaknya. Bibir Justin membentuk senyum
menggoda adiknya, lalu ia menggeleng kepala. “Lalu dari siapa?”
“Entahlah, Hope—“ Kata-kata Justin
menggantung saat Mr. Phee tiba-tiba lari dari pangkuan Hope menuju pintu ruang
kerjanya. Segera saja Hope berlari menangkap Mr. Phee, ia berjongkok,
menggendong kucing gemuk itu. Justin memerhatikan adiknya yang menggumamkan
kata-kata yang bernada marah. Mengabaikan adiknya, Justin membaca kalimat
pertama dari surat itu.
Kuteringat
akan sentuhanmu di tiap jengkal tubuhku, My Lord, dan aku merindukannya. Justin mengangkat pandangannya pada Hope lalu
memutuskan agar Hope tidak mengetahui tentang ini. Biarkan adiknya tetap polos
dan tidak tahu menahu tentang rahasia Ayahnya. Hope selalu mengagumi Ayah
mereka, dan bila Hope tahu bahwa selama ini Ayahnya berselingkuh dari Ibunya,
tentu saja hati Hope akan hancur berkeping-keping. Tapi setelah membaca kalimat
pertama dari surat ini, Justin lebih memilih Hope tidak tahu tentang hal-hal
kotor yang ditulis sebagai alasan utama mengapa Hope tidak perlu tahu masalah
ini. “Sepertinya Mr. Phee lebih membutuhkanmu dan sekarang aku butuh
konsentrasi. Jika kau tidak keberatan, Hope,”
“Dia sepertinya ingin buang air, My
Lord,”
“Dan sepertinya kau tidak perlu
memberitahuku,” ucap Justin menipiskan bibirnya. Hope membuka pintu ruang
kerjanya lalu keluar bersama Mr. Phee lalu menutup pintunya kembali. “Baiklah,
Samantha, mari kita cari tahu siapa dirimu.”
***
“Kudengar kau pernah menyukai Lord
Clopton, Miss Gillbride,” ucap Grisell memecahkan keheningan dalam kereta kuda
menuju rumah. Sudah jam 12 siang dan Grisell harus makan siang bersama keluarga
Moore. Tubuh Miss Gillbride tiba-tiba menegang mendengar ucapan Grisell. Ia
baru sembuh dari sakitnya kemarin dan mendengar pertanyaan itu membuat pipinya
memerah akibat malu. Miss Gillbride memang menyukai Lord Clopton sampai kemarin
pagi, tapi sekarang rasa sukanya pudar dalam jentikan jari karena pria itu
lebih kelihatan seperti bajingan dibanding pria terhormat.
“Oh, itu hanya perasaan lama, Miss
Parnell. Tidak perlu ada yang kaukhawatirkan. Dan kelihatannya Lord Clopton
tertarik padamu,” ucap Miss Gillbride dengan nada suara tenang yang
dibuat-buat. Grisell sebenarnya sudah tidak tertarik lagi pada pria itu sejak
Lord Moore berhasil membuatnya kenikmatan tadi malam. Sungguh, Grisell sangat
yakin Lord Clopton pasti hanya menginginkan tubuhnya. Tapi Lord Moore, pria
yang kelihatan tidak menyukai Grisell sejak perjalanan menuju Cheshire,
tiba-tiba saja melamarnya.
“Ya, kelihatannya begitu, tapi aku
tidak tertarik padanya,” kata Grisell lalu wanita itu menggeliat tak enak di
atas kursi. Grisell melepaskan bonnet yang terikat di kepalanya lalu memainkan
tali bonnet seperti mainan. Wanita itu menggigit bibir bawahnya, membuat Miss
Gillbride bertanya-tanya apa yang terjadi antara Lord Moore dan Grisell hingga
muridnya sekarang lebih patuh dari biasanya. Seharusnya ia senang karena itu,
tapi di sisi lain Grisell tampak murung dan tidak berkonsentrasi. Mata Grisell
terangkat, menatapnya dengan keraguan yang tampak. “Miss Gillbride, apakah kau
bisa menjaga rahasia?”
“Tentu saja, Miss Par—“
“Grisell saja, terima kasih,” ucap
Grisell mulai melepaskan satu per satu jepit rambutnya agar kegugupannya tak
kelihatan.
“Ceritakanlah, Grisell,” bujuk Miss
Gillbride lembut. Entah mengapa sekarang Miss Gillbride lebih berperan sebagai
Ibu Grisell dibanding gurunya. Dan beberapa hari yang telah dijalaninya bersama
Miss Gillbride terasa seperti waktu yang menyebalkan sekaligus menyenangkan.
Miss Gillbride duduk layaknya seorang wanita terhormat, namun rasa ingin
tahunya begitu kelihatan, seperti wanita terhormat pada umumnya. Kemudian
Grisell menceritakan apa yang terjadi tadi malam bersama Lord Moore dan
menyimpan bagian erotisnya untuk dirinya sendiri sampai Grisell sedikit
berbohong tentang kepergiannya saat Lord Moore melamarnya.
Miss Gillbride tampak sabar
mendengar cerita Grisell, tapi demi Tuhan, wajah itu setenang danau di musim
semi saat Grisell menceritakan tentang lamaran itu. Jelas Miss Gillbride
terkejut, tapi topengnya sangat menutupi rasa keterkejutannya. Setelah selesai
Grisell merasa begitu lega. Entah mengapa setiap kata yang keluar dari mulutnya
tak disesali olehnya.
“Menurutmu, apakah aku harus
menerima Lord Moore?”
“Jika kau meminta pendapatku,
M—Grisell, kurasa kau harus menerima lamarannya. Sebab melihat latar belakang
kehidupanmu, sepertinya Lord Moore begitu rela mengotori reputasinya demi
mendapatkanmu. Bukankah itu tindakan yang agak… romantis? Benar apa yang Bibimu
katakan tentang pernikahan para bangsawan itu, tapi apa boleh buat Grisell?
Cepat atau lambat, cinta akan hilang seiring berjalannya waktu.”
“Tapi aku tidak percaya dengan hal
itu. Aku ingin menikah dengan seorang pria yang mencintaiku, Miss Gillbride.
Rasanya begitu salah jika…”
“Grisell, kau begitu naïf seperti
remaja. Kau sudah dewasa dan cinta dalam pernikahan adalah hal yang mustahil
didapatkan. Jika memang pernikahan itu didasari oleh cinta, maka bersiaplah
hidup kalian melarat,”
“Aku lebih memilih melarat namun
bahagia, daripada kaya tanpa cinta. Seumur hidupku tak pernah ada yang
mencintaiku tulus, tidak dari Ibu, Bibi Millicent atau siapa pun. Jadi, aku
tidak ingin menghabiskan sisa hidupku tanpa dicintai, titik.”
“Kau meminta pendapatku, Grisell dan
itulah pendapatku. Pikirkanlah karena waktu terus berjalan.” Percakapan itu
selesai sampai mereka tiba di rumah.
Lord
Moore sudah selesai membaca semua surat yang dikirim dari wanita yang bernama
Samantha, Ibu Grisell. Sialan. Percintaan antara Ayahnya dan Ibu Grisell
terhenti begitu saja saat surat terakhirnya adalah permintaan Ibu Grisell pada
Ayahnya agar anaknya yang cantik jelita dirawat oleh Ayahnya. Tapi sepertinya,
permintaan Ibu Grisell dikabulkan oleh Lord Moore. Sulit dipercaya. Lord Moore
sempat ingin mengutuk dirinya sendiri saat tahu bahwa Samantha adalah Ibu
Grisell dan mengira bahwa Grisell adalah adiknya. Tapi bukan. Grisell bukan
anak dari percintaan Ayah dan Ibunya.
Dan ia memilih untuk melewatkan
makan siang bersama keluarga. Meski ia tahu pasti Grisell ada di sana,
pikirannya tetap teralihkan oleh surat-surat itu sampai jam 2 siang. Pintunya
terketuk saat ia sedang mengamat-amati bulan kiriman surat-surat itu.
“Masuklah,” sahut Lord Moore menaruh
surat terakhir Ibu Grisell, tapi Lord Moore ragu surat itu terkiri karena tidak
ada perangko yang tertempel di surat itu. Mildred muncul dalam balutan gaun
berwarna cokelat tanpa perhiasan namun rambutnya tertata rapi seperti 1 jam
yang lalu saat Mildred mengajaknya makan siang. Adik pertamanya terlihat
khawatir saat menatapnya lalu pria itu akhirnya bersandar, memberi raut wajah
bertanya. “Apakah ada yang salah, Lady Paston?”
“Ya, Justin. Ada yang salah,” ucap
Mildred menutup pintu ruang kerja kakaknya. Ia melangkah mendekati meja kerja
lalu melipat tangannya di depan dada. “Apa yang terjadi antara dirimu dan Miss
Parnell?”
“Tidak ada. Memangnya—“
“Apa yang terjadi?” Desak Mildred
tahu kakaknya berbohong.
“Baiklah, aku menciumnya, sialan!”
Lord Moore memejamkan mata selama beberapa saat lalu membuka kembali. Adiknya
tampak biasa saja dengan pernyataan itu namun jelas tidak puas. Mildred memang
sangat mengenal Lord Moore, bahkan tahu saat Lord Moore sedang berbohong—meski
ia tidak sama sekali tahu tentang hubungan gelap yang dibuat Lord Moore. “Dan
hampir menidurinya,” tambah Lord Moore. Saat itulah mulut Mildred menganga tak
percaya.
“Kau hampir menidurinya, Lord Moore?
Earl of Moore? Kau hampir menidurinya?” Seru Mildred berbisik tertahan. Ia
tidak percaya kakaknya hampir meniduri seorang wanita dalam keadaan sadar dan
tentunya, lajang! Lord Moore memutar bola mata, tidak menyukai sikap Mildred
yang berlebihan. Itu mengingatkannya pada Ibunya yang selalu mudah panik dan
khawatir. Sepertinya hampir sebagian besar sifat Mildred diwariskan Ibunya.
“Apakah seburuk itu, Mildred? Aku
tidak menyakitinya,”
“Kau memang tidak menyakitinya, tapi
kau tidak melihat perbedaan antara kemarin dan hari ini? Ia tampak lebih…
pendiam. Bukankah seharusnya kau berbuat sesuatu? Lagi pula, apa tujuanmu
sebenarnya membawa Miss Parnell ke sini?”
“Untuk menikahinya, tentu saja,”
“Atas dasar?”
“Permintaan Ayah.” Mata Mildred
terbelalak tak percaya. Permintaan sang Ayah adalah kakaknya menikahi seorang
wanita mantan pelacur? Sebenarnya apa yang terjadi di rumah ini yang Mildred
tak tahu? Kakaknya berdiri dari kursi lalu berjalan keluar dari meja kerja.
Pria itu berjalan anggun namun dapat terlihat ketegasan yang dipancarkan begitu
sang kakak menatapnya. “Bukankah itu yang kauinginkan Mildred? Aku menikah, tak
lama lagi.”
“Tapi tidak seperti ini. Setidaknya,
kau harus tahu bahwa Grisell tampaknya takkan menyetujui lamaranmu. Ia wanita
yang berperasaan dan sepertinya ia begitu sensitif dengan masalah cinta,”
“Kau tahu apa yang kusuka darimu,
Mildred?”
Mildred memberi raut wajah bertanya.
Senyum Lord Moore melebar.
“Kau lebih suka mengkhawatirkan
orang lain dibanding dirimu sendiri.”
***
Grisell sedang disibukkan oleh
pikirannya yang tak bisa berhenti sejak makan siang. Ia masih memikirkan Lord
Moore. Ia ingin Lord Moore menikahinya karena cinta, bukan karena Grisell telah
dibeli. Wajah Grisell menempel di jendela kamarnya saat hujan sore mengguyur
desa Cheshire untuk yang kesekian kalinya. Jendela itu terasa dingin di pipinya
dan saat Grisell bernafas, kaca itu berembun. Dalam waktu dekat, season akan berlangsung. Grisell masih
belum bisa membaca atau berdansa, sesuatu yang sangat memalukan. Tiap orang
pasti setidaknya tahu satu dansa untuk acara sosial. Paling tidak waltz yang paling digemari masyarakat
London. Tapi Grisell sendiri pun tidak tahu bagaimana caranya.
Miss Gillbride menjanjikan seseorang
untuk mengajari Grisell berdansa waltz,
tapi entah mengapa siapa pun orang yang dikirim Miss Gillbride tidak akan
membangkitkan gairah Grisell berdansa.
Ia bertanya-tanya, apakah Lord Moore akan berdansa dengannya saat season nanti? Grisell tidak pernah
mengikuti season seumur hidupnya.
Bahkan kartu untuk menulis nama-nama pria yang akan berdansa dengannya, ia
tidak punya.
Pintu terketuk, tapi sebelum ia
menyahut, pintu itu sudah terbuka. Dalam kurang dari 5 detik, pintu sudah
tertutup kembali. Grisell berbalik, menoleh ke belakang untuk melihat siapa
yang datang. Ternyata dia. Jantung
Grisell berdegup kencang mengingat kejadian kemarin malam. Ingatan itu masih
segar di otaknya dan seluruh panca indranya. Terutama bagian bawahnya yang
mendapat kenikmatan oleh jari-jari panjang Lord Moore. Bibir Grisell menipis
saat Lord Moore mengunci pintu kamarnya.
“Tidak perlu dikunci, My Lord,”
“Aku perlu menguncinya agar tidak
membuatmu kabur, Sayangku,”
“Apa yang terjadi padamu, Lord
Moore?” Grisell bangkit dari duduknya di atas papan kayu, menjaga jarak dari
Lord Moore yang tampak besar di dalam kamar Grisell yang kecil. “Aku tidak
ingin berbicara dengan siapa pun saat ini,”
“Kenapa? Kau tidak habis keguguran
bukan?”
“Sulit dipercaya kau mengatakan itu
padaku, My Lord!” Nada suara Grisell meninggi, tersinggung. Grisell tidak akan
pernah hamil di luar nikah karena Grisell selalu menggunakan obat anti hamil
dan cara-cara pencegah kehamilan. Dan ia merasa begitu kotor saat Lord Moore
mengira ia keguguran. Oh, entah mengapa sejak kejadian kemarin malam membuat
Grisell begitu sensitif.
“Baiklah, maafkan aku, Grisell. Aku
salah,” ucap Lord Moore duduk di pinggir tempat tidurnya. “Nah, sekarang, apa
yang membuatmu begitu pendiam sejak tadi pagi?”
“Aku tidak… aku bukan pendiam. Aku
hanya sedang tidak ingin berbicara tadi pagi, maksudku hari ini,” ucap Grisell
duduk di papan itu lagi saat ia merasa aman. “Dan tidak enak badan,”
“Kau tidak enak badan? Oh, kasihan sekali
kesayanganku. Kemarilah, biar kumanjakan dirimu—“
“Aku tidak ingin berbicara dengan
siapa pun, demi Tuhan, Lord Moore! Keluarlah dari kamarku sebelum aku
berteriak!” Ancam Grisell menunjuk pintu dengan jari telunjuknya. Lord Moore
terdiam. Tidak pernah ada yang meneriakinya, bahkan Ibunya sendiri, tapi entah
mengapa Lord Moore menyukainya. Namun untuk tetap menjaga kewibawaannya, Lord
Moore bangkit dari tempat tidur Grisell lalu mendekati wanita itu. Grisell
bangkit lagi dari papan—tapi ia sudah tertangkap begitu saja dalam dua langkah
besar yang diambil Lord Moore.
Grisell menjerit namun mulutnya
dengan segera disumpal dengan mulut Lord Moore. Ciuman itu kasar dan menuntut,
Grisell tidak menginginkannya. Ia memukul-mukul punggung Lord Moore, kedua tangannya
ditangkap oleh satu tangan Lord Moore hingga ia tidak dapat melakukan apa pun.
Posisinya sangat tidak memungkinkan Grisell berdiri tegap tanpa bantuan
topangan tangan Lord Moore di punggungnya. Grisell menggeleng-gelengkan
kepalanya hingga akhirnya mulut mereka berpisah. Pria itu akhirnya membopong
Grisell di pundaknya lalu melempar Grisell ke atas tempat tidur. Belum sempat
Grisell kabur dari tempat tidur itu, Lord Moore sudah menindihnya dengan bobot
yang berat. Pria itu sedikit melayang sehingga Grisell dapat bernafas, namun
tak bisa melarikan diri. Kepalanya berada di antara kedua tangan Lord Moore
sementara salah satu kaki Lord Moore terselip di antara kaki Grisell.
“Sekarang, katakana padaku, apa yang
membuatmu lebih pendiam, Grisell.”
“Aku sedang tidak ingin berbicara,
Lord Moore, dan tidak enak badan,”
“Pasti ada alasan lebih kuat
dibanding itu, Grisell, kita berdua tahu itu. Apakah itu karena lamaran yang
kuajukan padamu? Apakah kau bertanya-tanya, apa aku mencintaimu atau tidak?”
Terkaan-terkaan itu tepat sasaran dan Grisell terdiam sesaat. Matanya menatap
mata cokelat Lord Moore yang hampir berwarna hitam dalam penerangan yang kurang
di kamarnya. Karena tak ada jawaban dari Grisell, pria itu menyiksa Grisell
dengan kecupan-kecupan lembut di bibirnya yang ranum. Satu kecupan, dua
kecupan, tiga kecupan… masih tak ada jawaban. Lalu kecupan itu beralih ke
pipinya turun ke rahang bawah lalu ke lehernya. Kepala pria itu menghilang di
sela leher Grisell. Desahan tertahan terdengar saat lidah pria itu menjilat
nakal lehernya.
“Beritahu aku, maka aku tidak akan
bercinta denganmu sekarang. Aku tak peduli apakah desahanmu akan terdengar
Cornelius atau Mildred sampai aku tahu apa yang membuatmu begitu diam,” ucap
Lord Moore dengan suara teredam. Jilatan lain membuat tubuh Grisell tersentak,
bagian depan tubuhnya menyentuh tubuh Lord Moore dan ia dapat merasakan
tonjolan bagian bawah perut Lord Moore. Jilatan itu digantikan oleh ciuman dan
isapan yang lembut. Tangan Grisell meremas sprei tempat tidurnya lalu tersentak
begitu Lord Moore menggigit lehernya.
“Kumohon,”
“Beritahu aku,”
“Tidak—oh My Lord, hentikan,”
“Beritahu aku, Grisell,” ucap Lord
Moore sekali lagi menjilat leher itu, lalu ke bagian leher yang lain. Tangan
besarnya menangkup buah dada Grisell.
“Bercintalah! Bercintalah denganku!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar