Kamis, 05 Maret 2015

Lucky Slut Bab 9

CHAPTER NINE

            Bukan merupakan pagi yang cerah bagi Justin saat ia melihat perubahan dari sikap Grisell. Wanita muda itu lebih memilih menutup mulut dan menganggukkan kepala saat Justin ingin membuat perdebatan pagi itu, sayangnya, harapan bermain-main dengan Grisell sepertinya pupus sudah. Setelah sarapan pagi yang tenang, Grisell segera meminta Miss Gillbride mengajarnya lalu membungkuk memberi hormat pada siapa pun yang ada di ruang makan. Miss Gillbride cukup terkejut melihat perubahan Grisell yang jelas-jelas kelihatan seperti kaca bening, namun ia tidak ingin mempertanyakan apa yang terjadi pada wanita itu. Yah, apa yang terjadi pada Grisell bukan lebih dari sekedar kekhawatiran.
            Tentu saja Grisell khawatir. Bagaimana tidak? Seorang bangsawan, bergelar seorang earl, menginginkannya sebagai istri. Apa gerangan yang terjadi? Bukankah saat selama ini Justin memperlihatkan ketidaksukaannya terhadap Grisell? Lalu apa yang membuat Justin ingin menikahinya? Grisell seharusnya sudah siap menjadi seorang istri—terutama saat ia mencintai Nathaniel dan yakin bahwa pria itu suatu hari akan menikahinya—tapi ia merasa ada sesuatu yang salah. Pasti pria itu sedang bergurau. Bibi Millicent sering memberitahu Grisell bahwa para pria bangsawan menikahi anak perempuan bangsawan lain untuk tetap menjaga ekonomi dan martabat mereka. Jika sudah mencintai seorang wanita, tapi wanita itu bukan seorang bangsawan, maka terpaksa pria itu harus melakukan hubungan gelap. Atau singkatnya, kau hanya bisa mencintai seseorang dalam hubungan gelap. Grisell tak heran mengapa banyak para bangsawan berperut buncit.
            Tapi tidak dengan Justin. Pria itu merupakan gambaran tubuh sempurna dan maskulinitas bagi para pria-pria lain, khususnya bangsawan. Jelas saja pria itu tidak akan berperut buncit. Ia sering pergi ke sana kemari untuk mengurusi estat-estatnya, mengurus bisnis yang ia buat di kota Bristol, dan ditambah kegemarannya berolahraga. Pria itu senang mencari keringat. Aroma campuran tembakau, keringat dan sedikit cologne mahal membuat Grisell terangsang. Dan Tuhan tahu, Grisell tidak ingin jatuh untuk yang kedua kalinya. Jika Justin belum menyatakan cinta padanya, atau paling tidak, tindakan-tindakan yang menunjukkan kalau ia mencintai Grisell, maka ia tidak akan menerima lamaran itu. Yang Grisell tak sadari adalah mau tak mau, Justin pasti akan mendapatkan jawaban yang pria itu inginkan. Pria itu persuasif, manipulatif dan licik.
            Sementara Grisell sedang pergi keluar dari Moore House, Justin masih penasaran akan surat-surat yang ia simpan di lemari meja kerjanya. Pria itu melangkah menuju ruang kerjanya lalu masuk dan menutup pintunya. Justin terkejut melihat Hope sedang tengkurap di atas permadani hijaunya dan bermain-main dengan Mr. Phee seperti anak kecil.
            “Bukankah kau kucing yang paling menawan Mr. Phee? Aku yakin kucing betina di luar sana akan menyukaimu. Tapi kurasa kau harus memakai topi kecil. Ya, topi. Seperti topi Mr. Butler yang bulat itu. Perutmu dan perutnya hampir sama sehingga tak mungkin bila hanya dia yang cocok memakai topi bulat itu.” Hope berceloteh mengelus-elus kepala Mr. Phee. Kucing itu sedang bermain dengan benang wol yang tergulung seperti bola, mengabaikan Hope. Mungkin Hope memang bukan putri bangsawan yang diharapkan para pria di luar sana, tapi adik terakhirnya memang yang paling menawan dan berbeda dari kakaknya yang lain. Hope tidak mendapat perhatian lebih banyak dibanding kakak-kakaknya, maka dari itu Hope tampak lebih seronok tapi dengan cara yang menyenangkan.
            “Bukankan ruang kerja kakakmu adalah tempat yang paling sempurna untuk bermain dengan kucing?” Suara Justin membuat Hope tersentak kaget, lalu ia segera berguling di permadani seperti kucing lalu mengangkat punggungnya agar duduk. Rambutnya yang sudah dirapikan pelayan sekarang hancur karena bermain.
            “Ruanganmu bersih dan aku selalu suka dengan ruangan ini. Ayah selalu membiarkanku bermain di ruang kerjanya,”
            “Jika kau memang suka dengan ruangan ini, Hope,” ucap Justin memberi senyum tulus pada adiknya lalu melangkah menuju meja kerjanya. Pria itu duduk di kursi tinggi dan empuk, lalu membuka lemari mejanya. Matanya menemukan setumpuk kertas yang diikatnya tadi malam lalu mengeluarkannya secepat mungkin. Ia menutup kembali lemari mejanya lalu memerhatikan Hope yang sekarang duduk di atas sofanya bersama Mr. Phee di atas pangkuannya. Adiknya sangat cantik dengan rambut cokelat yang dikepang dan rambut-rambut nakal yang mencuat di sekitar telinganya dan Hope sangat menyukai kucing. Justin berani bertaruh, Hope akan lebih memilih bersama kucing dibanding bersama pria.
            Lagi pula, Hope boleh menikah kapan saja. Tapi Justin ragu. Mildred pasti akan mencari pria mana yang tepat bagi Hope, yang jelas, pria itu harus bertanggungjawab dan mencintai Hope. Adiknya mengangkat pandangan dari Mr. Phee ke kakaknya. “Apa itu tagihan hutangmu atau hanya sekedar surat dari penggemar rahasia?”
            “Kau tahu aku tidak pernah berhutang pada siapa pun, Hope. Dan bukan, ini bukan surat dari penggemar rahasia,” ucap Justin dengan cekat membuka tali surat-surat itu. Sudah 10 surat yang ia baca tadi malam dan tanggalnya berbeda dari bulan dan tahunnya. Sepertinya sang Ayah telah berhubungan dengan wanita bernama Samantha ini selama bertahun-tahun, tapi mengapa Justin tidak pernah menyadarinya? Masih banyak surat yang belum ia baca dan Justin begitu penasaran apakah surat-surat ini ada hubungannya dengan surat Grisell? Justin menyisihkan 10 surat yang tadi malam ia baca ke daerah meja yang lain lalu mengambil surat selanjutnya.
            Hope melihat kakaknya dengan rasa penasaran, tapi ia tetap diam di atas sofa itu. “Apakah itu surat dari Henrietta?”
            “Maksudmu, Miss Darlington?”
            “Ya, maksudku, mantan kekasihmu,” ucap Hope sengaja mengatakan itu pada kakaknya. Bibir Justin membentuk senyum menggoda adiknya, lalu ia menggeleng kepala. “Lalu dari siapa?”
            “Entahlah, Hope—“ Kata-kata Justin menggantung saat Mr. Phee tiba-tiba lari dari pangkuan Hope menuju pintu ruang kerjanya. Segera saja Hope berlari menangkap Mr. Phee, ia berjongkok, menggendong kucing gemuk itu. Justin memerhatikan adiknya yang menggumamkan kata-kata yang bernada marah. Mengabaikan adiknya, Justin membaca kalimat pertama dari surat itu.
            Kuteringat akan sentuhanmu di tiap jengkal tubuhku, My Lord, dan aku merindukannya.  Justin mengangkat pandangannya pada Hope lalu memutuskan agar Hope tidak mengetahui tentang ini. Biarkan adiknya tetap polos dan tidak tahu menahu tentang rahasia Ayahnya. Hope selalu mengagumi Ayah mereka, dan bila Hope tahu bahwa selama ini Ayahnya berselingkuh dari Ibunya, tentu saja hati Hope akan hancur berkeping-keping. Tapi setelah membaca kalimat pertama dari surat ini, Justin lebih memilih Hope tidak tahu tentang hal-hal kotor yang ditulis sebagai alasan utama mengapa Hope tidak perlu tahu masalah ini. “Sepertinya Mr. Phee lebih membutuhkanmu dan sekarang aku butuh konsentrasi. Jika kau tidak keberatan, Hope,”
            “Dia sepertinya ingin buang air, My Lord,”
            “Dan sepertinya kau tidak perlu memberitahuku,” ucap Justin menipiskan bibirnya. Hope membuka pintu ruang kerjanya lalu keluar bersama Mr. Phee lalu menutup pintunya kembali. “Baiklah, Samantha, mari kita cari tahu siapa dirimu.”

***

            “Kudengar kau pernah menyukai Lord Clopton, Miss Gillbride,” ucap Grisell memecahkan keheningan dalam kereta kuda menuju rumah. Sudah jam 12 siang dan Grisell harus makan siang bersama keluarga Moore. Tubuh Miss Gillbride tiba-tiba menegang mendengar ucapan Grisell. Ia baru sembuh dari sakitnya kemarin dan mendengar pertanyaan itu membuat pipinya memerah akibat malu. Miss Gillbride memang menyukai Lord Clopton sampai kemarin pagi, tapi sekarang rasa sukanya pudar dalam jentikan jari karena pria itu lebih kelihatan seperti bajingan dibanding pria terhormat.
            “Oh, itu hanya perasaan lama, Miss Parnell. Tidak perlu ada yang kaukhawatirkan. Dan kelihatannya Lord Clopton tertarik padamu,” ucap Miss Gillbride dengan nada suara tenang yang dibuat-buat. Grisell sebenarnya sudah tidak tertarik lagi pada pria itu sejak Lord Moore berhasil membuatnya kenikmatan tadi malam. Sungguh, Grisell sangat yakin Lord Clopton pasti hanya menginginkan tubuhnya. Tapi Lord Moore, pria yang kelihatan tidak menyukai Grisell sejak perjalanan menuju Cheshire, tiba-tiba saja melamarnya.
            “Ya, kelihatannya begitu, tapi aku tidak tertarik padanya,” kata Grisell lalu wanita itu menggeliat tak enak di atas kursi. Grisell melepaskan bonnet yang terikat di kepalanya lalu memainkan tali bonnet seperti mainan. Wanita itu menggigit bibir bawahnya, membuat Miss Gillbride bertanya-tanya apa yang terjadi antara Lord Moore dan Grisell hingga muridnya sekarang lebih patuh dari biasanya. Seharusnya ia senang karena itu, tapi di sisi lain Grisell tampak murung dan tidak berkonsentrasi. Mata Grisell terangkat, menatapnya dengan keraguan yang tampak. “Miss Gillbride, apakah kau bisa menjaga rahasia?”
            “Tentu saja, Miss Par—“
            “Grisell saja, terima kasih,” ucap Grisell mulai melepaskan satu per satu jepit rambutnya agar kegugupannya tak kelihatan.
            “Ceritakanlah, Grisell,” bujuk Miss Gillbride lembut. Entah mengapa sekarang Miss Gillbride lebih berperan sebagai Ibu Grisell dibanding gurunya. Dan beberapa hari yang telah dijalaninya bersama Miss Gillbride terasa seperti waktu yang menyebalkan sekaligus menyenangkan. Miss Gillbride duduk layaknya seorang wanita terhormat, namun rasa ingin tahunya begitu kelihatan, seperti wanita terhormat pada umumnya. Kemudian Grisell menceritakan apa yang terjadi tadi malam bersama Lord Moore dan menyimpan bagian erotisnya untuk dirinya sendiri sampai Grisell sedikit berbohong tentang kepergiannya saat Lord Moore melamarnya.
            Miss Gillbride tampak sabar mendengar cerita Grisell, tapi demi Tuhan, wajah itu setenang danau di musim semi saat Grisell menceritakan tentang lamaran itu. Jelas Miss Gillbride terkejut, tapi topengnya sangat menutupi rasa keterkejutannya. Setelah selesai Grisell merasa begitu lega. Entah mengapa setiap kata yang keluar dari mulutnya tak disesali olehnya.
            “Menurutmu, apakah aku harus menerima Lord Moore?”
            “Jika kau meminta pendapatku, M—Grisell, kurasa kau harus menerima lamarannya. Sebab melihat latar belakang kehidupanmu, sepertinya Lord Moore begitu rela mengotori reputasinya demi mendapatkanmu. Bukankah itu tindakan yang agak… romantis? Benar apa yang Bibimu katakan tentang pernikahan para bangsawan itu, tapi apa boleh buat Grisell? Cepat atau lambat, cinta akan hilang seiring berjalannya waktu.”
            “Tapi aku tidak percaya dengan hal itu. Aku ingin menikah dengan seorang pria yang mencintaiku, Miss Gillbride. Rasanya begitu salah jika…”
            “Grisell, kau begitu naïf seperti remaja. Kau sudah dewasa dan cinta dalam pernikahan adalah hal yang mustahil didapatkan. Jika memang pernikahan itu didasari oleh cinta, maka bersiaplah hidup kalian melarat,”
            “Aku lebih memilih melarat namun bahagia, daripada kaya tanpa cinta. Seumur hidupku tak pernah ada yang mencintaiku tulus, tidak dari Ibu, Bibi Millicent atau siapa pun. Jadi, aku tidak ingin menghabiskan sisa hidupku tanpa dicintai, titik.”
            “Kau meminta pendapatku, Grisell dan itulah pendapatku. Pikirkanlah karena waktu terus berjalan.” Percakapan itu selesai sampai mereka tiba di rumah.

Lord Moore sudah selesai membaca semua surat yang dikirim dari wanita yang bernama Samantha, Ibu Grisell. Sialan. Percintaan antara Ayahnya dan Ibu Grisell terhenti begitu saja saat surat terakhirnya adalah permintaan Ibu Grisell pada Ayahnya agar anaknya yang cantik jelita dirawat oleh Ayahnya. Tapi sepertinya, permintaan Ibu Grisell dikabulkan oleh Lord Moore. Sulit dipercaya. Lord Moore sempat ingin mengutuk dirinya sendiri saat tahu bahwa Samantha adalah Ibu Grisell dan mengira bahwa Grisell adalah adiknya. Tapi bukan. Grisell bukan anak dari percintaan Ayah dan Ibunya.
            Dan ia memilih untuk melewatkan makan siang bersama keluarga. Meski ia tahu pasti Grisell ada di sana, pikirannya tetap teralihkan oleh surat-surat itu sampai jam 2 siang. Pintunya terketuk saat ia sedang mengamat-amati bulan kiriman surat-surat itu.
            “Masuklah,” sahut Lord Moore menaruh surat terakhir Ibu Grisell, tapi Lord Moore ragu surat itu terkiri karena tidak ada perangko yang tertempel di surat itu. Mildred muncul dalam balutan gaun berwarna cokelat tanpa perhiasan namun rambutnya tertata rapi seperti 1 jam yang lalu saat Mildred mengajaknya makan siang. Adik pertamanya terlihat khawatir saat menatapnya lalu pria itu akhirnya bersandar, memberi raut wajah bertanya. “Apakah ada yang salah, Lady Paston?”
            “Ya, Justin. Ada yang salah,” ucap Mildred menutup pintu ruang kerja kakaknya. Ia melangkah mendekati meja kerja lalu melipat tangannya di depan dada. “Apa yang terjadi antara dirimu dan Miss Parnell?”
            “Tidak ada. Memangnya—“
            “Apa yang terjadi?” Desak Mildred tahu kakaknya berbohong.
            “Baiklah, aku menciumnya, sialan!” Lord Moore memejamkan mata selama beberapa saat lalu membuka kembali. Adiknya tampak biasa saja dengan pernyataan itu namun jelas tidak puas. Mildred memang sangat mengenal Lord Moore, bahkan tahu saat Lord Moore sedang berbohong—meski ia tidak sama sekali tahu tentang hubungan gelap yang dibuat Lord Moore. “Dan hampir menidurinya,” tambah Lord Moore. Saat itulah mulut Mildred menganga tak percaya.
            “Kau hampir menidurinya, Lord Moore? Earl of Moore? Kau hampir menidurinya?” Seru Mildred berbisik tertahan. Ia tidak percaya kakaknya hampir meniduri seorang wanita dalam keadaan sadar dan tentunya, lajang! Lord Moore memutar bola mata, tidak menyukai sikap Mildred yang berlebihan. Itu mengingatkannya pada Ibunya yang selalu mudah panik dan khawatir. Sepertinya hampir sebagian besar sifat Mildred diwariskan Ibunya.
            “Apakah seburuk itu, Mildred? Aku tidak menyakitinya,”
            “Kau memang tidak menyakitinya, tapi kau tidak melihat perbedaan antara kemarin dan hari ini? Ia tampak lebih… pendiam. Bukankah seharusnya kau berbuat sesuatu? Lagi pula, apa tujuanmu sebenarnya membawa Miss Parnell ke sini?”
            “Untuk menikahinya, tentu saja,”
            “Atas dasar?”
            “Permintaan Ayah.” Mata Mildred terbelalak tak percaya. Permintaan sang Ayah adalah kakaknya menikahi seorang wanita mantan pelacur? Sebenarnya apa yang terjadi di rumah ini yang Mildred tak tahu? Kakaknya berdiri dari kursi lalu berjalan keluar dari meja kerja. Pria itu berjalan anggun namun dapat terlihat ketegasan yang dipancarkan begitu sang kakak menatapnya. “Bukankah itu yang kauinginkan Mildred? Aku menikah, tak lama lagi.”
            “Tapi tidak seperti ini. Setidaknya, kau harus tahu bahwa Grisell tampaknya takkan menyetujui lamaranmu. Ia wanita yang berperasaan dan sepertinya ia begitu sensitif dengan masalah cinta,”
            “Kau tahu apa yang kusuka darimu, Mildred?”
            Mildred memberi raut wajah bertanya. Senyum Lord Moore melebar.
            “Kau lebih suka mengkhawatirkan orang lain dibanding dirimu sendiri.”

***

            Grisell sedang disibukkan oleh pikirannya yang tak bisa berhenti sejak makan siang. Ia masih memikirkan Lord Moore. Ia ingin Lord Moore menikahinya karena cinta, bukan karena Grisell telah dibeli. Wajah Grisell menempel di jendela kamarnya saat hujan sore mengguyur desa Cheshire untuk yang kesekian kalinya. Jendela itu terasa dingin di pipinya dan saat Grisell bernafas, kaca itu berembun. Dalam waktu dekat, season akan berlangsung. Grisell masih belum bisa membaca atau berdansa, sesuatu yang sangat memalukan. Tiap orang pasti setidaknya tahu satu dansa untuk acara sosial. Paling tidak waltz yang paling digemari masyarakat London. Tapi Grisell sendiri pun tidak tahu bagaimana caranya.
            Miss Gillbride menjanjikan seseorang untuk mengajari Grisell berdansa waltz, tapi entah mengapa siapa pun orang yang dikirim Miss Gillbride tidak akan membangkitkan gairah Grisell berdansa.  Ia bertanya-tanya, apakah Lord Moore akan berdansa dengannya saat season nanti? Grisell tidak pernah mengikuti season seumur hidupnya. Bahkan kartu untuk menulis nama-nama pria yang akan berdansa dengannya, ia tidak punya.
            Pintu terketuk, tapi sebelum ia menyahut, pintu itu sudah terbuka. Dalam kurang dari 5 detik, pintu sudah tertutup kembali. Grisell berbalik, menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang datang. Ternyata dia. Jantung Grisell berdegup kencang mengingat kejadian kemarin malam. Ingatan itu masih segar di otaknya dan seluruh panca indranya. Terutama bagian bawahnya yang mendapat kenikmatan oleh jari-jari panjang Lord Moore. Bibir Grisell menipis saat Lord Moore mengunci pintu kamarnya.
            “Tidak perlu dikunci, My Lord,”
            “Aku perlu menguncinya agar tidak membuatmu kabur, Sayangku,”
            “Apa yang terjadi padamu, Lord Moore?” Grisell bangkit dari duduknya di atas papan kayu, menjaga jarak dari Lord Moore yang tampak besar di dalam kamar Grisell yang kecil. “Aku tidak ingin berbicara dengan siapa pun saat ini,”
            “Kenapa? Kau tidak habis keguguran bukan?”
            “Sulit dipercaya kau mengatakan itu padaku, My Lord!” Nada suara Grisell meninggi, tersinggung. Grisell tidak akan pernah hamil di luar nikah karena Grisell selalu menggunakan obat anti hamil dan cara-cara pencegah kehamilan. Dan ia merasa begitu kotor saat Lord Moore mengira ia keguguran. Oh, entah mengapa sejak kejadian kemarin malam membuat Grisell begitu sensitif.
            “Baiklah, maafkan aku, Grisell. Aku salah,” ucap Lord Moore duduk di pinggir tempat tidurnya. “Nah, sekarang, apa yang membuatmu begitu pendiam sejak tadi pagi?”
            “Aku tidak… aku bukan pendiam. Aku hanya sedang tidak ingin berbicara tadi pagi, maksudku hari ini,” ucap Grisell duduk di papan itu lagi saat ia merasa aman. “Dan tidak enak badan,”
            “Kau tidak enak badan? Oh, kasihan sekali kesayanganku. Kemarilah, biar kumanjakan dirimu—“
            “Aku tidak ingin berbicara dengan siapa pun, demi Tuhan, Lord Moore! Keluarlah dari kamarku sebelum aku berteriak!” Ancam Grisell menunjuk pintu dengan jari telunjuknya. Lord Moore terdiam. Tidak pernah ada yang meneriakinya, bahkan Ibunya sendiri, tapi entah mengapa Lord Moore menyukainya. Namun untuk tetap menjaga kewibawaannya, Lord Moore bangkit dari tempat tidur Grisell lalu mendekati wanita itu. Grisell bangkit lagi dari papan—tapi ia sudah tertangkap begitu saja dalam dua langkah besar yang diambil Lord Moore.
            Grisell menjerit namun mulutnya dengan segera disumpal dengan mulut Lord Moore. Ciuman itu kasar dan menuntut, Grisell tidak menginginkannya. Ia memukul-mukul punggung Lord Moore, kedua tangannya ditangkap oleh satu tangan Lord Moore hingga ia tidak dapat melakukan apa pun. Posisinya sangat tidak memungkinkan Grisell berdiri tegap tanpa bantuan topangan tangan Lord Moore di punggungnya. Grisell menggeleng-gelengkan kepalanya hingga akhirnya mulut mereka berpisah. Pria itu akhirnya membopong Grisell di pundaknya lalu melempar Grisell ke atas tempat tidur. Belum sempat Grisell kabur dari tempat tidur itu, Lord Moore sudah menindihnya dengan bobot yang berat. Pria itu sedikit melayang sehingga Grisell dapat bernafas, namun tak bisa melarikan diri. Kepalanya berada di antara kedua tangan Lord Moore sementara salah satu kaki Lord Moore terselip di antara kaki Grisell.
            “Sekarang, katakana padaku, apa yang membuatmu lebih pendiam, Grisell.”
            “Aku sedang tidak ingin berbicara, Lord Moore, dan tidak enak badan,”
            “Pasti ada alasan lebih kuat dibanding itu, Grisell, kita berdua tahu itu. Apakah itu karena lamaran yang kuajukan padamu? Apakah kau bertanya-tanya, apa aku mencintaimu atau tidak?” Terkaan-terkaan itu tepat sasaran dan Grisell terdiam sesaat. Matanya menatap mata cokelat Lord Moore yang hampir berwarna hitam dalam penerangan yang kurang di kamarnya. Karena tak ada jawaban dari Grisell, pria itu menyiksa Grisell dengan kecupan-kecupan lembut di bibirnya yang ranum. Satu kecupan, dua kecupan, tiga kecupan… masih tak ada jawaban. Lalu kecupan itu beralih ke pipinya turun ke rahang bawah lalu ke lehernya. Kepala pria itu menghilang di sela leher Grisell. Desahan tertahan terdengar saat lidah pria itu menjilat nakal lehernya.
            “Beritahu aku, maka aku tidak akan bercinta denganmu sekarang. Aku tak peduli apakah desahanmu akan terdengar Cornelius atau Mildred sampai aku tahu apa yang membuatmu begitu diam,” ucap Lord Moore dengan suara teredam. Jilatan lain membuat tubuh Grisell tersentak, bagian depan tubuhnya menyentuh tubuh Lord Moore dan ia dapat merasakan tonjolan bagian bawah perut Lord Moore. Jilatan itu digantikan oleh ciuman dan isapan yang lembut. Tangan Grisell meremas sprei tempat tidurnya lalu tersentak begitu Lord Moore menggigit lehernya.
            “Kumohon,”
            “Beritahu aku,”
            “Tidak—oh My Lord, hentikan,”
            “Beritahu aku, Grisell,” ucap Lord Moore sekali lagi menjilat leher itu, lalu ke bagian leher yang lain. Tangan besarnya menangkup buah dada Grisell.
            “Bercintalah! Bercintalah denganku!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar