CHAPTER TEN
Justin terdiam mendengar permintaan
Grisell yang tidak lebih dari perasaan putus asa. Isak tangisnya terdengar,
membuat Justin bingung mengapa perempuan itu menangis. Seumur hidup Justin, ia
pikir ia adalah pakar wanita, tapi yang satu ini sepertinya jalan pikirannya sulit ditebak. Kepala Grisell
terdongak sehingga lehernya yang jenjang terbuka bagi Justin, siap untuk
dijilat, dihisap atau dicium. Grisell tidak ingin mengakui bahwa dirinya takut
jatuh cinta untuk yang kedua kalinya dan fakta bahwa ia menyukai Justin.
Terlebih lagi, Justin telah melamarnya dan jurang di antara mereka tidak cukup
dalam untuk membuat Justin menjauh darinya. Grisell tidak bisa membiarkan
Justin menggantung, menunggu jawabannya. Grisell takut ia tidak bisa menjadi
Ibu yang baik karena latar belakangnya sebagai anak haram dan pelacur. Ia tidak
mempunyai figur Ibu yang tepat dan bukan contoh yang baik untuk anaknya kelak.
Ia memang pengecut.
Saat ia mendengar isak tangisnya
sendiri, Grisell cepat-cepat berhenti menangis. Sekarang ia malah kelihatan
lemah. Karena tak mendapat gerakan tambahan dari Justin, Grisell menegakkan
kepalanya melihat Justin yang mematung melayang di atas tubuhnya. Pria itu
mengamati Grisell, mencoba membaca pikiran Grisell dan mencaritahu alasan
mengapa wanita itu menangis. Situasi ini menjadi begitu canggung hingga Grisell
lebih memilih Justin mencium dan bercinta dengannya daripada harus saling diam
seperti ini. Mata Grisell basah karena air mata yang tersisa, lalu berkedip.
“Ayo, bercintalah denganku,” desaknya
dengan suara serak. Justin dapat melihat kesedihan yang berdiam di matanya dan
ketakutan yang transparan. Sebenarnya, siapa Nathaniel sialan itu hingga
berhasil membuat Grisell takut padanya? Demi Tuhan, Justin tidak akan menyakiti
Grisell seperti yang dilakukan Nathaniel padanya. Saat ini, Justin memang tidak
mencintai Grisell. Perasaannya lebih mendekati rasa iba dibanding cinta.
“Aku tidak ingin bercinta dengan
wanita yang sedang sedih,” ucap Justin lembut. Ia menyingkirkan tubuhnya dari
atas tubuh Grisell lalu jatuh di samping wanita itu. Sebelum Grisell sempat
memikirkan bagaimana menyingkirkan Justin dari kamarnya, pria itu sudah
memeluknya, menguncinya hingga Grisell tak dapat bergerak. Salah satu paha
Justin menindih kedua paha Grisell dan tangan kiri pria itu menahan punggung
Grisell sehingga tubuh Grisell miring menghadap Justin. “Aku tidak bermaksud
menyakitimu, Grisell.”
“Aku tahu,” bisik Grisell
mengangguk, namun ia tidak menatap Justin. Matanya terpaku pada dagu Justin
yang mulai ditumbuhi bakal janggut. “Aku hanya butuh waktu sendiri, berpikir,
mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan apa saja jika aku menikah denganmu,”
“Bukankah jika berpelukan seperti
ini lebih baik daripada kau sendirian?” Tanya Justin membuat pipi Grisell
bersemu merah. Apa yang dikatakan pria itu memang benar. Berada dalam
pelukannya sangat nyaman dan hangat, lebih baik daripada hanya sendirian di
kamar dan menangis. Justin berasumsi bahwa Grisell masih memiliki perasaan
terhadap Nathaniel, siapa pun pria itu, yang jelas memiliki pengaruh begitu
besar bagi Grisell. Dan sayangnya, Justin tidak ingin Grisell merasa seperti
itu terus menerus. Telapak tangan Justin yang hangat mengelus lengan Grisell
yang dingin, sore ini tampaknya Grisell lebih memilih memakai gaun berlengan
pendek. Kulit putihnya tampak menggiurkan untuk dikecup namun Justin menahan
diri. Tidak akan Justin lakukan sampai Grisell menyerahkan diri tanpa beban apa
pun.
“Aku tidak cocok denganmu, My Lord.
Kau pria berpendidikan, cerdas, tampan, dan tentunya kaya. Kau memiliki nilai
tambah yang tidak banyak pria bangsawan miliki. Lalu, mengapa harus aku yang
kau pilih? Aku hanya seorang pelacur yang dibeli olehmu, yang hanya bekerja
untuk memuaskan nafsumu, dan tidak lebih dari itu. Jadi jelaskan padaku, My
Lord, mengapa harus aku?” Mata biru Grisell dipenuhi dengan rasa ingin tahu
sekaligus ketakutan yang dari tadi diam di sana. Justin tidak habis pikir
mengapa Bibi Millicent menelantarkan Grisell, bukankah Ibu Grisell telah
meminta adiknya agar menjaga Grisell? Justin sendiri tahu langkah yang ia
ambil—melamar Grisell—sangatlah tidak terpuji di mata kalangan para bangsawan.
Pria mana yang ingin menikahi seorang pelacur? Hanya orang sinting yang ingin
melakukannya. Terutama hidup di lingkungan yang dimana banyak orang lebih
senang mengurus urusan orang lain dibanding diri mereka sendiri, pastinya akan
sulit untuk menjelaskan mengapa Justin harus menikahi Grisell.
Justin bertanya-tanya, apakah Ibu
Grisell sama cantiknya dengan Grisell hingga membuat Ayahnya, Caleb,
menginginkannya selama 7 tahun itu? Rambut cokelat madu Grisell pastinya
diturunkan oleh sang Ibu karena selama ini Justin jarang sekali bertemu dengan
wanita berambut cokelat madu. Reputasi Justin yang begitu bersih dari
skandal—orang-orang menganggap Justin adalah santa—dan terhormat pasti akan
mengguncang mereka jika Justin mengumumkan kalau ia akan segera menikah dengan
seorang mantan pelacur. Entah
mengapa, meski Justin belum mencintai
Grisell, ia harus menikahi wanita ini terlebih dahulu. Justin pernah jatuh
cinta, oh, tentu saja, dan gadis itu adalah Henrietta.
Tapi tidak pernah ada wanita yang
semenarik Grisell, yang berhasil membuatnya begitu bergairah dan nafsu
binatangnya selalu bangkit saat bersama dengan Grisell. Bersama Henrietta,
Justin merasa disayangi, diperhatikan dan lebih sering tertawa hangat dan
Justin mencintai Henrietta karena itu. Dan sekarang Justin bertanya-tanya,
apakah benar itu adalah perasaan cinta? Karena perasaan itu tidak sama seperti
yang ia rasakan terhadap Grisell. Ia selalu merasa terhibur, menikmati tiap
perdebatan yang mereka buat, ingin terus berada di dekat wanita itu dan
memeluknya, membisikkan kata-kata… Justin masih mencaritahu perasaan apa yang
melandanya.
“Apakah kau akan menjelaskan padaku
atau tidak, My Lord?” Suara Grisell membuyarkan lamunan Justin. “Jika tidak,
aku perlu ber—“
“Grisell, apa kau tahu siapa
Ayahmu?” Tanya Justin mengangkat telapak tangan Justin ke pipi wanita itu, mengelusnya
dengan ibu jarinya.
“Bibi Millicent bilang aku adalah
anak haram, tapi ia tidak pernah memberitahu siapa Ayahku,” ucap Grisell, lalu
ia sadar, Justin sedang mengalihkan topik pembicaraan. “Tolong jelaskan padaku,
My Lord, mengapa kau harus menikahiku?”
“Baiklah,” gumam Justin mengangkat
ibu jarinya ke kening Grisell, mengelus kerutan di sana sampai hilang. “Ayahku
dan Ibumu memiliki hubungan gelap bertahun-tahun yang lalu,” ucap Justin.
Jantung Grisell seolah-olah ditikam. Ibunya memiliki hubungan gelap dengan
seorang bangsawan? Jika benar begitu, apakah… Grisell mendorong dada Justin
agar ia menjauh. Namun pria itu dengan sigap menahan punggung Grisell.
“Kita bukan saudara, Grisell,
tenanglah,” kata Justin berusaha menenangkan Grisell. “Kau ingin aku
menjelaskan segalanya bukan?”
Grisell hanya mengangguk sebagai
jawaban. Tapi di wajahnya yang cantik itu tersirat ketakutan yang dapat Justin
lihat begitu jelas. Justin akhirnya melanjutkan. “Ayahku menjalin hubungan
gelap bersama Ibumu di London selama 2 tahun, namun Ayahku harus kembali ke
Cheshire karena Kakekku sakit. Sejak saat itu, Ayahku tidak bisa mengunjungi
Ibumu sesering dulu. Mereka tetap menjalin hubungan gelap itu meski Ayahku
sudah menikah dengan Ibuku.”
“Ya Tuhan,” gumam Grisell membenturkan
keningnya ke dada Justin. Aroma lavender di rambut Grisell terhirup begitu
wangi, hampir menghilangkan akal sehat Justin saat itu juga. “Maafkan Ibuku,
aku pikir—“
“Hubungan gelap dalam kalangan
bangsawan merupakan hal biasa. Aku sejak dulu sudah yakin kalau Ayahku memiliki
simpanan, tapi sepertinya Ibumu tidak ingin menerima uang yang diberikan
Ayahku. Dan apa kau bisa tebak siapa Ayahmu?”
“Siapa pun dia, aku tidak ingin
tahu. Tapi beritahu saja namanya,”
“Lord Myhill, seorang viscount yang tinggal di London. Aku
pernah bertemu dengannya kira-kira 15 tahun lalu, ia memiliki anak laki-laki
dan sekarang anak itu sudah menjadi seorang viscount,
pengganti Ayahnya. Lord Myhill—sebelum anaknya itu—sudah meninggal beberapa
tahun lalu karena penyakit seks. A—“
“Kumohon jangan jelaskan tentang
kehidupannya, tolong? Aku tidak ingin tahu pria yang telah mencampakkan Ibuku.
Lanjutkan, tapi bukan bagian Ayah kandungku,” bisik Grisell tampaknya tak suka.
Justin terdiam, mengamat-amati wajah Grisell yang tampaknya lebih merasa kesal
dibanding bangga. Tidakkah Grisell sadar bahwa ia seorang bangsawan juga? Meski
ia anak haram, tetap saja ia memiliki sebagian darah biru di tubuhnya. Justin
tidak ingin memaki Ibu Grisell, tapi Ibu Grisell telah bertindak bodoh karena
tidak memberitahu Lord Myhill tentang kehamilan dan anak perempuan mereka. Jika
saja Ibu Grisell memberitahu Lord Myhill, sudah jelas Lord Myhill akan
menyokong kehidupan Grisell dalam perihal ekonomi.
Karena tindakan ceroboh Ibu Grisell,
anaknya sekarang malah menjadi seorang pelacur. Oh, andai Justin tahu sejak
dulu kalau ia harus menikahi Grisell, wanita menarik, rendah hati dan
sederhana, sudah jelas Justin tidak akan membuang-buang waktu.
“Ayahku dan Ibumu berkoresponden
sejak Kakekku meninggal. Waktu Ayahku terkikis karena kelahiranku dan
adik-adikku, maka dari itu, ia hanya bisa membalas surat Ibumu 3 atau 5 kali
setahun. Tapi dari surat yang Ibumu kirim pada Ayahku menyiratkan betapa ia
mencintai Ayahku.”
“Kau pernah membaca surat dari Ibuku?”
“Ya. Surat terakhirnya, kuduga,
tidak pernah terkirim. Karena tidak ada perangko atau alamat di sana, dan
bagian bawah kertasnya kotor karena tinta—yang kuduga juga—tumpah. Surat
terakhirnya meminta agar Ayahku mengurus dirimu, tapi sepertinya karena surat
itu tak pernah terkirim, Ayahku tak pernah tahu Ibumu telah meninggal dan
keberadaanmu yang sulit dilacak,”
“Bagaimana bisa ia mendapat surat
terakhir Ibuku?” Tanya Grisell. Mata birunya bulat, membuat Justin tersenyum.
“Sepertinya Ayahku datang ke rumah
Ibumu. Kuingat saat ia memutuskan pergi ke London, ia gelisah, dan saat pulang
Ayahku lebih pendiam dari biasanya. Kapan Ibumu meninggal, Grisell?” Tidak ada
kata maaf lebih dulu atau merasa tidak enak hati, Justin tidak
mempertimbangkannya. Anehnya, pertanyaan itu tidak membuat Grisell tersinggung.
Wanita itu memejamkan mata, mengingat-ingat kembali kapan ia diberi kabar
tentang Ibunya.
“Saat aku sudah tinggal selama 1
bulan bersama Bibi Millicent, waktu itu aku masih berumur 5 tahun,”
“Ayahku pergi ke London saat awal
tahun baru saat itu, kurang lebih hampir satu tahun sejak surat itu dibuat.
Kuduga rumah itu tidak pernah dikunjungi oleh siapa pun. Begitu Ayahku mendapat
surat itu, ia lebih sering pergi ke London entah untuk berbuat apa—yang sekarang
aku tahu, ia mencarimu—lalu selama kurang lebih 4 tahun, ia sudah tidak pergi
lebih sering lagi ke London. Sepertinya ia putus asa. Ia tidak mendapatkanmu,”
Grisell mengedik bahunya. Tak heran
mengapa Ayah Justin tidak mendapatkan Grisell. Bibi Millicent selalu membawa
Grisell ke sana kemari, bahkan beberapa kali keluar dari London. Grisell tidak
akan bisa tinggal di satu rumah dalam waktu lebih dari 3 bulan. Kebodohan Bibi
Millicent menyeret Grisell kemana-mana. Begitu banyak pria yang menikahi Bibi
Millicent, tapi tak satu pun di antara mereka berhasil lebih dari 2 bulan.
Bukankah menyenangkan memiliki Paman yang begitu banyak? Suami terakhir Bibi
Millicent yang membawa Grisell pada kehidupan kotor. Pria itu tidak kaya, tapi
ia juga tidak terlalu miskin. Pria itu sering berjudi dan jarang sekali menang.
Saat itu mereka tinggal di pinggir
kota London, tempat yang sekarang menjadi rumah pelacuran. Pamannya bernama
Peregrine, pria bertubuh tinggi besar dengan perut yang tidak begitu buncit.
Pria itu berwajah biasa saja, tapi tidak juga tampan. Entah mengapa Bibi
Millicent bisa jatuh cinta pada pria itu, tapi yang jelas, tiap kali Grisell
berada di dekat Paman itu, Grisell pasti ketakutan. Dan ketakutan Grisell
semakin terasa nyata saat suatu kali Grisell dipanggil ke kamarnya. Bibi
Millicent sedang pergi keluar sore itu, Grisell masih ingat. Saat itu Grisell
masih menginjak umur 16 tahun dan masih polos-polosnya tentang masalah hubungan
intim. Dan Paman Peregrine adalah pria pertama yang mendapatkan—
“Kau masih bersamaku?” Tanya Justin
mengejutkan Grisell. Wanita itu mengerjap-kerjapkan matanya lalu mengangguk. Ia
mulai mengingat-ingat apa yang sedang ia bicarakan. Sesuatu tentang Ayah
Justin, oh ya, Ayahnya tidak mendapatkan Grisell.
“Yah, aku memang sering berpindah ke
sana kemari. Kekasih Bibi Millicent biasanya keturunan Irlandia atau
Skotlandia. Tapi kekasih terakhirnya orang Inggris, rumah yang ditinggalkannya
itu rumah pelacuran… kau tahu maksudku,”
“Jadi begitu,” gumam Justin. “Dan
akhirnya, karena Ayahku mulai sakit-sakitan dan sepertinya Ayahku sangat
mencintai Ibumu, ia memintaku untuk menikahi seorang wanita bernama Grisell
Parnell sebelum ia dipulangkan ke rumah Tuhan.”
“Apa kau yakin Grisell Parnell yang
Ayahmu maksud adalah aku?”
“Tentu saja, melihat selera Ayah
yang ternyata tidak buruk—maksudku, menarik. Aku bisa tahu Ibumu yang
menurunkan kecantikan alami ini.” Kata-kata Justin yang meluncur membuat
bercak-bercak merah yang menjalar dari leher ke pipinya. Rasanya begitu panas dan
malu. “Jadi, Grisell Parnell, kau tidak memiliki waktu lebih lama lagi untuk
mempertimbangkannya. Aku bisa saja mencemarkanmu di depan Henrietta jika aku
mau, hanya untuk menikahimu. Sayang, season
akan berlangsung sebentar lagi. Beritahu aku, harus kupanggil apa kau? Istriku
atau Lady Moore?”
“Grisell Parnell sudah cukup.”
“Oh, Grisell, Grisell. Aku yakin,
pria di luar sana pasti akan mengabaikan permintaan terakhir Ayahnya. Tapi aku…
selain karena permintaan Ayahku, kudapati dirimu ternyata lebih menarik dari
apa yang kukira. Dan lebih polos dari yang kusangka. Tapi tetap saja,
menjengkelkan dan kita tidak akan pernah sama dalam hal kepribadian,”
“Maksudmu, kita tidak akan pernah
cocok. Ya. Menjengkelkan? Apa kau tidak sadar dirimu sangat kolot dan membosan—aku
pernah memberitahunya padamu bukan?”
“Oh ya, ya. Aku masih mengingatnya,
dan oh, Grisell itu sangat menyakiti perasaanku,”
“Omong kosong! Jika itu hanya untuk
merayuku menerima lamaranku, tidak akan semudah itu, My Lord. Begini saja
perjanjiannya,”
“Mhmm, perjanjian. Cukup adil. Apa
perjanjiannya?”
“Jika kau mau mengajariku membaca
dan berdansa waltz sampai season dimulai, dan aku sudah membaca
dan tidak lagi kaku saat berdansa, maka aku menerima lamaranmu,”
“Dan jika aku tidak berhasil?”
“Sepertinya kau pria yang menyukai
tantangan, kuragukan kau tidak berhasil. Tapi jika kau tidak berhasil, biarkan
aku pergi.”
“Tidak, tidak, tidak. Kau tidak akan
pergi kemana pun kalau begitu. Aku akan membuatmu patuh dan menjadi milikku.
Sepakat?”
“Sepakat.”
***
Sepertinya apa yang Justin harapkan
tidak terealisasikan dengan baik. Grisell tampaknya ingin menguji kesabaran
Justin pagi itu. Setelah sarapan pagi yang singkat, Justin memindahtugaskan
Miss Gillbride dari menjadi guru Grisell menjadi guru Hope. Miss Gillbride
hanya mengangguk-angguk mengerti dan mengikuti permintaan Lord Moore. Meski
begitu, Miss Gillbride dapat melihat permusuhan yang begitu kental di antara
mereka, tapi diselingi dengan suasana yang Miss Gillbride tak dapat jelaskan.
Saat sarapan pagi, Grisell lebih banyak bicara dan sesekali menyindir Lord
Moore. Tapi tampaknya Lord Moore tak terpengaruh. Pria itu tenang, tapi Grisell
yakin pria itu merencanakan sesuatu saat ia akan diajari Lord Moore.
Dan sepertinya apa yang direncanakan
Justin tidak begitu berhasil saat ia berusaha membawa Grisell mengitari lantai
dansa. Bahkan sesekali Grisell sengaja menginjak kaki Justin dengan sepatunya
hingga Justin melompat-lompat meringis kesakitan. Cornelius, entah dari mana ia
muncul, langsung membantu Justin duduk di kursi terdekat. Kakinya disangga di kursi yang lain. Grisell
terdiam di tengah ruang dansa, menatap pria itu sedang dibantu membuka
sepatunya. Kaki bengkak itu tetap tidak membuat Grisell merasa iba, justru
membuat Grisell menyunggingkan senyum licik. Jika pernikahan mereka hanya
didasari oleh permintaan Ayah Justin, untuk apa mereka menikah?
Cornelius pergi keluar ruang dansa
untuk mengambil es batu agar bengkak itu mengempis. Justin kelihatan seperti
pria yang baru saja kalah berperang, tapi masih bisa menatap Grisell dengan
tatapan ingin membunuh. Pemain musik yang disediakan Justin sudah berhenti
bermain tapi tidak pergi dari panggung mereka. “Kau senang melihatku terluka?”
“Oh, My Lord! Bisa-bisanya kau
berkata seperti itu!” Grisell berucap dengan suara pura-pura tersinggung. Kedua
alisnya bertautan seperti sedang mengasihani, tapi kemudian senyum licik
muncul. “Mungkinkah aku harus melepas sepatuku agar kita tidak celaka?”
“Kita
tidak celaka? Ya, kau benar... iblis licik,” gumam Justin mengumpat.
Cornelius muncul dengan sebuah kain yang berisi es parut lalu dengan hati-hati
menaruhnya ke permukaan kulit kaki Justin yang bengkak. Setelah kaki kirinya
yang diinjak, sepertinya Grisell tak puas jika kaki kanan Justin tidak terluka.
“Kau boleh pergi Cornelius, terima kasih,”
“Ya, My Lord,” gumam Cornelius
segera pergi dari ruang dansa, pria itu cukup khawatir dengan keadaan
majikannya. Cornelius berasumsi bahwa tiap kali Grisell berada di dekat
majikannya, pasti majikannya akan bersikap berbeda dari biasanya. Sikap berbeda
itu tentu saja karena Grisell yang tidak konvensional seperti orang-orang yang
Justin temui sebelumnya. Grisell membuat Justin terpaksa harus memperlakukannya
secara berbeda karena Grisell sendiri sepertinya tidak megnanggap Justin
sebagai bangsawan.
“Selamat, kau sudah menyakiti kedua
kakiku,”
“Yang ini ketidaksengajaan, jadi aku
tidak bermaksud menyakitimu. Kalau yang sebelumnya… aku berniat memukul lehermu
dengan punggung tanganku, tapi ternyata kakiku lebih cepat beraksi,”
“Terserah apa katamu,” ucap Justin
menekan-nekan kakinya dengan kain basah itu. “Lagi pula dansa waltz tidak begitu sulit. Kau hanya
perlu mengikuti kemana musik membawamu, kakimu pasti akan mengikuti.”
“Maafkan aku karena hidup dalam kemiskinan,
My Lord,” ucap Grisell sarkastik. “Setidaknya, hidupku pasti tidak membosankan
seperti milikmu. Kau pasti menghabiskan banyak waktu membungkuk, membicarakan
omong kosong dengan teman-temanmu khususnya para wanita, dan selalu memberikan
senyum manis pada siapa pun. Tidakkah itu melelahkan, My Lord?”
“Harus kukatakan padamu, Miss
Parnell, kau satu-satunya wanita yang lebih tahu tentangku dibanding siapa pun.
Tapi kau belum sepenuhnya mengetahui siapa diriku. Jika aku tidak berhati-hati
mendekatimu, sudah jelas kau pasti akan lari dariku,” kata Justin tersenyum
miring. Setelah kakinya mati rasa, Justin menurunkan kakinya itu dari kursi
sebagai penyangga kakinya. Grisell tertarik, ia mengangkat dagunya
tinggi-tinggi, menatap Justin dengan tatapan skeptis.
“Aku ragu, My Lord. Apa yang akan
membuatku lari darimu?” Tanya Grisell melangkah mundur saat Justin bangkit dari
kursinya. Saat Justin berdiri, pria itu seperti baik-baik saja dan tak
terlukai. Para pemain musik mulai bersiap-siap memainkan musiknya, namun sang
pemimpin menahan mereka begitu sang earl
membuka sepatunya yang lain. Tidak menjawab pertanyaan Grisell, pria itu
menunjuk sepatu Grisell.
“Lepaskan sepatu sialan itu,”
perintah Justin. Grisell segera melakukannya, tapi ia tidak membuka kaus
kakinya. Para pemain musik melihat ke langit-langit ruangan yang tinggi,
berusaha tidak membuat kontak mata dengan salah satu di antara pasangan itu.
Grisell menempatkan sepatunya di pinggir lantai dansa lalu melangkah ke
tengah-tengah, menghampiri Justin. Mereka berdua membungkuk sebelum memulai
dansa waltz. Salah satu pemain musik
itu cepat-cepat memposisikan diri mereka untuk bermain. 2 detik kemudian musik
mengalun dengan indah.
“Aku harus mengagumi kekuatanmu.
Tidak lebih dari 15 menit, kau sudah bisa mengajariku lagi. Katakan padaku, My
Lord, apa yang akan membuatku lari darimu?”
“Masa laluku,” bisik Justin meremas
pinggul Grisell dengan sengaja, tangan mereka yang lain terjalin sementara kaki
Justin mengiring kaki Grisell agar melangkah seirama dengan musik. Mereka
mengitari ruang dansa lalu kemudian Justin memutar tubuh Grisell, kemudian
menangkapnya kembali dengan cekatan. Mata mereka terkunci, atmosfer yang tidak
familiar bagi keduanya muncul begitu saja mengisi ruangan. “Miss Parnell, siapa
pria yang membuatmu menjadi pelacur?”
Raut wajah Grisell menunjukkan
kekagetannya. Mulutnya terbuka namun tak mengeluarkan kata apa pun selama
beberapa saat. Kemudian tertutup rapat kembali. Grisell menggeleng kepalanya
dengan tegas, lalu menatap Justin tajam. “Aku tidak ingin membicarakannya.”
“Apa dia kasar padamu? Apa dia
membuatmu menjerit? Katakan padaku, Grisell, aku akan membuatnya menyesal,”
bisik Justin terdengar sedikit mengancam. Bukan kepada pria yang telah memaksa
Grisell, tapi kepada Grisell. Pria itu mengancam Grisell entah untuk apa,
mungkinkah sebagai balasan kenakalan Grisell? Tapi sakit kakinya tidak
sebanding dengan percakapan menyakitkan ini. Mata Grisell berkaca-kaca.
“Kenapa kau mengatakan itu padaku?
Tidak, jangan bicarakan dia, kumohon.”
“Baiklah.” Justin menyerah saat air
mata Grisell menetes. Pria itu tidak bermaksud membuat Grisell kembali
mengingat masa lalunya, ia ingin Grisell terbuka untuknya. Sayangnya, Grisell
belum siap. Justin memeluk Grisell saat isak tangis Justin terdengar.
“Lepaskan!” Grisell mendorong tubuh
Justin. Air matanya sudah membasahi pipinya. “Sial kau, Moore. Oh, kau memang
brengsek. Kau sengaja mengangkat topik pembicaraan itu agar aku kelihatan
lemah, tapi demi Tuhan, aku akan membalasnya.”
“Miss Parnell, jangan seperti itu.
Aku tidak bermaksud membuatmu kelihatan lemah,”
“Tenang saja, My Lord, perjanjian
kita akan tetap berlaku.” Grisell beranjak dari tempatnya. Musik berhenti
bermain saat melihat wanita itu berjalan menuju pintu. Saat hampir sampai, wanita
itu berputar balik. “Aku melupakan sepatuku.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar