Kamis, 05 Maret 2015

Lucky Slut Bab 10

CHAPTER TEN

            Justin terdiam mendengar permintaan Grisell yang tidak lebih dari perasaan putus asa. Isak tangisnya terdengar, membuat Justin bingung mengapa perempuan itu menangis. Seumur hidup Justin, ia pikir ia adalah pakar wanita, tapi yang satu ini sepertinya jalan pikirannya sulit ditebak. Kepala Grisell terdongak sehingga lehernya yang jenjang terbuka bagi Justin, siap untuk dijilat, dihisap atau dicium. Grisell tidak ingin mengakui bahwa dirinya takut jatuh cinta untuk yang kedua kalinya dan fakta bahwa ia menyukai Justin. Terlebih lagi, Justin telah melamarnya dan jurang di antara mereka tidak cukup dalam untuk membuat Justin menjauh darinya. Grisell tidak bisa membiarkan Justin menggantung, menunggu jawabannya. Grisell takut ia tidak bisa menjadi Ibu yang baik karena latar belakangnya sebagai anak haram dan pelacur. Ia tidak mempunyai figur Ibu yang tepat dan bukan contoh yang baik untuk anaknya kelak. Ia memang pengecut.
            Saat ia mendengar isak tangisnya sendiri, Grisell cepat-cepat berhenti menangis. Sekarang ia malah kelihatan lemah. Karena tak mendapat gerakan tambahan dari Justin, Grisell menegakkan kepalanya melihat Justin yang mematung melayang di atas tubuhnya. Pria itu mengamati Grisell, mencoba membaca pikiran Grisell dan mencaritahu alasan mengapa wanita itu menangis. Situasi ini menjadi begitu canggung hingga Grisell lebih memilih Justin mencium dan bercinta dengannya daripada harus saling diam seperti ini. Mata Grisell basah karena air mata yang tersisa, lalu berkedip.
            “Ayo, bercintalah denganku,” desaknya dengan suara serak. Justin dapat melihat kesedihan yang berdiam di matanya dan ketakutan yang transparan. Sebenarnya, siapa Nathaniel sialan itu hingga berhasil membuat Grisell takut padanya? Demi Tuhan, Justin tidak akan menyakiti Grisell seperti yang dilakukan Nathaniel padanya. Saat ini, Justin memang tidak mencintai Grisell. Perasaannya lebih mendekati rasa iba dibanding cinta.
            “Aku tidak ingin bercinta dengan wanita yang sedang sedih,” ucap Justin lembut. Ia menyingkirkan tubuhnya dari atas tubuh Grisell lalu jatuh di samping wanita itu. Sebelum Grisell sempat memikirkan bagaimana menyingkirkan Justin dari kamarnya, pria itu sudah memeluknya, menguncinya hingga Grisell tak dapat bergerak. Salah satu paha Justin menindih kedua paha Grisell dan tangan kiri pria itu menahan punggung Grisell sehingga tubuh Grisell miring menghadap Justin. “Aku tidak bermaksud menyakitimu, Grisell.”
            “Aku tahu,” bisik Grisell mengangguk, namun ia tidak menatap Justin. Matanya terpaku pada dagu Justin yang mulai ditumbuhi bakal janggut. “Aku hanya butuh waktu sendiri, berpikir, mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan apa saja jika aku menikah denganmu,”
            “Bukankah jika berpelukan seperti ini lebih baik daripada kau sendirian?” Tanya Justin membuat pipi Grisell bersemu merah. Apa yang dikatakan pria itu memang benar. Berada dalam pelukannya sangat nyaman dan hangat, lebih baik daripada hanya sendirian di kamar dan menangis. Justin berasumsi bahwa Grisell masih memiliki perasaan terhadap Nathaniel, siapa pun pria itu, yang jelas memiliki pengaruh begitu besar bagi Grisell. Dan sayangnya, Justin tidak ingin Grisell merasa seperti itu terus menerus. Telapak tangan Justin yang hangat mengelus lengan Grisell yang dingin, sore ini tampaknya Grisell lebih memilih memakai gaun berlengan pendek. Kulit putihnya tampak menggiurkan untuk dikecup namun Justin menahan diri. Tidak akan Justin lakukan sampai Grisell menyerahkan diri tanpa beban apa pun.
            “Aku tidak cocok denganmu, My Lord. Kau pria berpendidikan, cerdas, tampan, dan tentunya kaya. Kau memiliki nilai tambah yang tidak banyak pria bangsawan miliki. Lalu, mengapa harus aku yang kau pilih? Aku hanya seorang pelacur yang dibeli olehmu, yang hanya bekerja untuk memuaskan nafsumu, dan tidak lebih dari itu. Jadi jelaskan padaku, My Lord, mengapa harus aku?” Mata biru Grisell dipenuhi dengan rasa ingin tahu sekaligus ketakutan yang dari tadi diam di sana. Justin tidak habis pikir mengapa Bibi Millicent menelantarkan Grisell, bukankah Ibu Grisell telah meminta adiknya agar menjaga Grisell? Justin sendiri tahu langkah yang ia ambil—melamar Grisell—sangatlah tidak terpuji di mata kalangan para bangsawan. Pria mana yang ingin menikahi seorang pelacur? Hanya orang sinting yang ingin melakukannya. Terutama hidup di lingkungan yang dimana banyak orang lebih senang mengurus urusan orang lain dibanding diri mereka sendiri, pastinya akan sulit untuk menjelaskan mengapa Justin harus menikahi Grisell.
            Justin bertanya-tanya, apakah Ibu Grisell sama cantiknya dengan Grisell hingga membuat Ayahnya, Caleb, menginginkannya selama 7 tahun itu? Rambut cokelat madu Grisell pastinya diturunkan oleh sang Ibu karena selama ini Justin jarang sekali bertemu dengan wanita berambut cokelat madu. Reputasi Justin yang begitu bersih dari skandal—orang-orang menganggap Justin adalah santa—dan terhormat pasti akan mengguncang mereka jika Justin mengumumkan kalau ia akan segera menikah dengan seorang mantan pelacur. Entah mengapa, meski Justin belum mencintai Grisell, ia harus menikahi wanita ini terlebih dahulu. Justin pernah jatuh cinta, oh, tentu saja, dan gadis itu adalah Henrietta.
            Tapi tidak pernah ada wanita yang semenarik Grisell, yang berhasil membuatnya begitu bergairah dan nafsu binatangnya selalu bangkit saat bersama dengan Grisell. Bersama Henrietta, Justin merasa disayangi, diperhatikan dan lebih sering tertawa hangat dan Justin mencintai Henrietta karena itu. Dan sekarang Justin bertanya-tanya, apakah benar itu adalah perasaan cinta? Karena perasaan itu tidak sama seperti yang ia rasakan terhadap Grisell. Ia selalu merasa terhibur, menikmati tiap perdebatan yang mereka buat, ingin terus berada di dekat wanita itu dan memeluknya, membisikkan kata-kata… Justin masih mencaritahu perasaan apa yang melandanya.
            “Apakah kau akan menjelaskan padaku atau tidak, My Lord?” Suara Grisell membuyarkan lamunan Justin. “Jika tidak, aku perlu ber—“
            “Grisell, apa kau tahu siapa Ayahmu?” Tanya Justin mengangkat telapak tangan Justin ke pipi wanita itu, mengelusnya dengan ibu jarinya.
            “Bibi Millicent bilang aku adalah anak haram, tapi ia tidak pernah memberitahu siapa Ayahku,” ucap Grisell, lalu ia sadar, Justin sedang mengalihkan topik pembicaraan. “Tolong jelaskan padaku, My Lord, mengapa kau harus menikahiku?”
            “Baiklah,” gumam Justin mengangkat ibu jarinya ke kening Grisell, mengelus kerutan di sana sampai hilang. “Ayahku dan Ibumu memiliki hubungan gelap bertahun-tahun yang lalu,” ucap Justin. Jantung Grisell seolah-olah ditikam. Ibunya memiliki hubungan gelap dengan seorang bangsawan? Jika benar begitu, apakah… Grisell mendorong dada Justin agar ia menjauh. Namun pria itu dengan sigap menahan punggung Grisell.
            “Kita bukan saudara, Grisell, tenanglah,” kata Justin berusaha menenangkan Grisell. “Kau ingin aku menjelaskan segalanya bukan?”
            Grisell hanya mengangguk sebagai jawaban. Tapi di wajahnya yang cantik itu tersirat ketakutan yang dapat Justin lihat begitu jelas. Justin akhirnya melanjutkan. “Ayahku menjalin hubungan gelap bersama Ibumu di London selama 2 tahun, namun Ayahku harus kembali ke Cheshire karena Kakekku sakit. Sejak saat itu, Ayahku tidak bisa mengunjungi Ibumu sesering dulu. Mereka tetap menjalin hubungan gelap itu meski Ayahku sudah menikah dengan Ibuku.”
            “Ya Tuhan,” gumam Grisell membenturkan keningnya ke dada Justin. Aroma lavender di rambut Grisell terhirup begitu wangi, hampir menghilangkan akal sehat Justin saat itu juga. “Maafkan Ibuku, aku pikir—“
            “Hubungan gelap dalam kalangan bangsawan merupakan hal biasa. Aku sejak dulu sudah yakin kalau Ayahku memiliki simpanan, tapi sepertinya Ibumu tidak ingin menerima uang yang diberikan Ayahku. Dan apa kau bisa tebak siapa Ayahmu?”
            “Siapa pun dia, aku tidak ingin tahu. Tapi beritahu saja namanya,”
            “Lord Myhill, seorang viscount yang tinggal di London. Aku pernah bertemu dengannya kira-kira 15 tahun lalu, ia memiliki anak laki-laki dan sekarang anak itu sudah menjadi seorang viscount, pengganti Ayahnya. Lord Myhill—sebelum anaknya itu—sudah meninggal beberapa tahun lalu karena penyakit seks. A—“
            “Kumohon jangan jelaskan tentang kehidupannya, tolong? Aku tidak ingin tahu pria yang telah mencampakkan Ibuku. Lanjutkan, tapi bukan bagian Ayah kandungku,” bisik Grisell tampaknya tak suka. Justin terdiam, mengamat-amati wajah Grisell yang tampaknya lebih merasa kesal dibanding bangga. Tidakkah Grisell sadar bahwa ia seorang bangsawan juga? Meski ia anak haram, tetap saja ia memiliki sebagian darah biru di tubuhnya. Justin tidak ingin memaki Ibu Grisell, tapi Ibu Grisell telah bertindak bodoh karena tidak memberitahu Lord Myhill tentang kehamilan dan anak perempuan mereka. Jika saja Ibu Grisell memberitahu Lord Myhill, sudah jelas Lord Myhill akan menyokong kehidupan Grisell dalam perihal ekonomi.
            Karena tindakan ceroboh Ibu Grisell, anaknya sekarang malah menjadi seorang pelacur. Oh, andai Justin tahu sejak dulu kalau ia harus menikahi Grisell, wanita menarik, rendah hati dan sederhana, sudah jelas Justin tidak akan membuang-buang waktu.
            “Ayahku dan Ibumu berkoresponden sejak Kakekku meninggal. Waktu Ayahku terkikis karena kelahiranku dan adik-adikku, maka dari itu, ia hanya bisa membalas surat Ibumu 3 atau 5 kali setahun. Tapi dari surat yang Ibumu kirim pada Ayahku menyiratkan betapa ia mencintai Ayahku.”
            “Kau pernah membaca surat dari Ibuku?”
            “Ya. Surat terakhirnya, kuduga, tidak pernah terkirim. Karena tidak ada perangko atau alamat di sana, dan bagian bawah kertasnya kotor karena tinta—yang kuduga juga—tumpah. Surat terakhirnya meminta agar Ayahku mengurus dirimu, tapi sepertinya karena surat itu tak pernah terkirim, Ayahku tak pernah tahu Ibumu telah meninggal dan keberadaanmu yang sulit dilacak,”
            “Bagaimana bisa ia mendapat surat terakhir Ibuku?” Tanya Grisell. Mata birunya bulat, membuat Justin tersenyum.
            “Sepertinya Ayahku datang ke rumah Ibumu. Kuingat saat ia memutuskan pergi ke London, ia gelisah, dan saat pulang Ayahku lebih pendiam dari biasanya. Kapan Ibumu meninggal, Grisell?” Tidak ada kata maaf lebih dulu atau merasa tidak enak hati, Justin tidak mempertimbangkannya. Anehnya, pertanyaan itu tidak membuat Grisell tersinggung. Wanita itu memejamkan mata, mengingat-ingat kembali kapan ia diberi kabar tentang Ibunya.
            “Saat aku sudah tinggal selama 1 bulan bersama Bibi Millicent, waktu itu aku masih berumur 5 tahun,”
            “Ayahku pergi ke London saat awal tahun baru saat itu, kurang lebih hampir satu tahun sejak surat itu dibuat. Kuduga rumah itu tidak pernah dikunjungi oleh siapa pun. Begitu Ayahku mendapat surat itu, ia lebih sering pergi ke London entah untuk berbuat apa—yang sekarang aku tahu, ia mencarimu—lalu selama kurang lebih 4 tahun, ia sudah tidak pergi lebih sering lagi ke London. Sepertinya ia putus asa. Ia tidak mendapatkanmu,”
            Grisell mengedik bahunya. Tak heran mengapa Ayah Justin tidak mendapatkan Grisell. Bibi Millicent selalu membawa Grisell ke sana kemari, bahkan beberapa kali keluar dari London. Grisell tidak akan bisa tinggal di satu rumah dalam waktu lebih dari 3 bulan. Kebodohan Bibi Millicent menyeret Grisell kemana-mana. Begitu banyak pria yang menikahi Bibi Millicent, tapi tak satu pun di antara mereka berhasil lebih dari 2 bulan. Bukankah menyenangkan memiliki Paman yang begitu banyak? Suami terakhir Bibi Millicent yang membawa Grisell pada kehidupan kotor. Pria itu tidak kaya, tapi ia juga tidak terlalu miskin. Pria itu sering berjudi dan jarang sekali menang.
            Saat itu mereka tinggal di pinggir kota London, tempat yang sekarang menjadi rumah pelacuran. Pamannya bernama Peregrine, pria bertubuh tinggi besar dengan perut yang tidak begitu buncit. Pria itu berwajah biasa saja, tapi tidak juga tampan. Entah mengapa Bibi Millicent bisa jatuh cinta pada pria itu, tapi yang jelas, tiap kali Grisell berada di dekat Paman itu, Grisell pasti ketakutan. Dan ketakutan Grisell semakin terasa nyata saat suatu kali Grisell dipanggil ke kamarnya. Bibi Millicent sedang pergi keluar sore itu, Grisell masih ingat. Saat itu Grisell masih menginjak umur 16 tahun dan masih polos-polosnya tentang masalah hubungan intim. Dan Paman Peregrine adalah pria pertama yang mendapatkan—
            “Kau masih bersamaku?” Tanya Justin mengejutkan Grisell. Wanita itu mengerjap-kerjapkan matanya lalu mengangguk. Ia mulai mengingat-ingat apa yang sedang ia bicarakan. Sesuatu tentang Ayah Justin, oh ya, Ayahnya tidak mendapatkan Grisell.
            “Yah, aku memang sering berpindah ke sana kemari. Kekasih Bibi Millicent biasanya keturunan Irlandia atau Skotlandia. Tapi kekasih terakhirnya orang Inggris, rumah yang ditinggalkannya itu rumah pelacuran… kau tahu maksudku,”
            “Jadi begitu,” gumam Justin. “Dan akhirnya, karena Ayahku mulai sakit-sakitan dan sepertinya Ayahku sangat mencintai Ibumu, ia memintaku untuk menikahi seorang wanita bernama Grisell Parnell sebelum ia dipulangkan ke rumah Tuhan.”
            “Apa kau yakin Grisell Parnell yang Ayahmu maksud adalah aku?”
            “Tentu saja, melihat selera Ayah yang ternyata tidak buruk—maksudku, menarik. Aku bisa tahu Ibumu yang menurunkan kecantikan alami ini.” Kata-kata Justin yang meluncur membuat bercak-bercak merah yang menjalar dari leher ke pipinya. Rasanya begitu panas dan malu. “Jadi, Grisell Parnell, kau tidak memiliki waktu lebih lama lagi untuk mempertimbangkannya. Aku bisa saja mencemarkanmu di depan Henrietta jika aku mau, hanya untuk menikahimu. Sayang, season akan berlangsung sebentar lagi. Beritahu aku, harus kupanggil apa kau? Istriku atau Lady Moore?”
            “Grisell Parnell sudah cukup.”
            “Oh, Grisell, Grisell. Aku yakin, pria di luar sana pasti akan mengabaikan permintaan terakhir Ayahnya. Tapi aku… selain karena permintaan Ayahku, kudapati dirimu ternyata lebih menarik dari apa yang kukira. Dan lebih polos dari yang kusangka. Tapi tetap saja, menjengkelkan dan kita tidak akan pernah sama dalam hal kepribadian,”
            “Maksudmu, kita tidak akan pernah cocok. Ya. Menjengkelkan? Apa kau tidak sadar dirimu sangat kolot dan membosan—aku pernah memberitahunya padamu bukan?”
            “Oh ya, ya. Aku masih mengingatnya, dan oh, Grisell itu sangat menyakiti perasaanku,”
            “Omong kosong! Jika itu hanya untuk merayuku menerima lamaranku, tidak akan semudah itu, My Lord. Begini saja perjanjiannya,”
            “Mhmm, perjanjian. Cukup adil. Apa perjanjiannya?”
            “Jika kau mau mengajariku membaca dan berdansa waltz sampai season dimulai, dan aku sudah membaca dan tidak lagi kaku saat berdansa, maka aku menerima lamaranmu,”
            “Dan jika aku tidak berhasil?”
            “Sepertinya kau pria yang menyukai tantangan, kuragukan kau tidak berhasil. Tapi jika kau tidak berhasil, biarkan aku pergi.”
            “Tidak, tidak, tidak. Kau tidak akan pergi kemana pun kalau begitu. Aku akan membuatmu patuh dan menjadi milikku. Sepakat?”
            “Sepakat.”

***

            Sepertinya apa yang Justin harapkan tidak terealisasikan dengan baik. Grisell tampaknya ingin menguji kesabaran Justin pagi itu. Setelah sarapan pagi yang singkat, Justin memindahtugaskan Miss Gillbride dari menjadi guru Grisell menjadi guru Hope. Miss Gillbride hanya mengangguk-angguk mengerti dan mengikuti permintaan Lord Moore. Meski begitu, Miss Gillbride dapat melihat permusuhan yang begitu kental di antara mereka, tapi diselingi dengan suasana yang Miss Gillbride tak dapat jelaskan. Saat sarapan pagi, Grisell lebih banyak bicara dan sesekali menyindir Lord Moore. Tapi tampaknya Lord Moore tak terpengaruh. Pria itu tenang, tapi Grisell yakin pria itu merencanakan sesuatu saat ia akan diajari Lord Moore.
            Dan sepertinya apa yang direncanakan Justin tidak begitu berhasil saat ia berusaha membawa Grisell mengitari lantai dansa. Bahkan sesekali Grisell sengaja menginjak kaki Justin dengan sepatunya hingga Justin melompat-lompat meringis kesakitan. Cornelius, entah dari mana ia muncul, langsung membantu Justin duduk di kursi terdekat.  Kakinya disangga di kursi yang lain. Grisell terdiam di tengah ruang dansa, menatap pria itu sedang dibantu membuka sepatunya. Kaki bengkak itu tetap tidak membuat Grisell merasa iba, justru membuat Grisell menyunggingkan senyum licik. Jika pernikahan mereka hanya didasari oleh permintaan Ayah Justin, untuk apa mereka menikah?
            Cornelius pergi keluar ruang dansa untuk mengambil es batu agar bengkak itu mengempis. Justin kelihatan seperti pria yang baru saja kalah berperang, tapi masih bisa menatap Grisell dengan tatapan ingin membunuh. Pemain musik yang disediakan Justin sudah berhenti bermain tapi tidak pergi dari panggung mereka. “Kau senang melihatku terluka?”
            “Oh, My Lord! Bisa-bisanya kau berkata seperti itu!” Grisell berucap dengan suara pura-pura tersinggung. Kedua alisnya bertautan seperti sedang mengasihani, tapi kemudian senyum licik muncul. “Mungkinkah aku harus melepas sepatuku agar kita tidak celaka?”
            Kita tidak celaka? Ya, kau benar... iblis licik,” gumam Justin mengumpat. Cornelius muncul dengan sebuah kain yang berisi es parut lalu dengan hati-hati menaruhnya ke permukaan kulit kaki Justin yang bengkak. Setelah kaki kirinya yang diinjak, sepertinya Grisell tak puas jika kaki kanan Justin tidak terluka. “Kau boleh pergi Cornelius, terima kasih,”
            “Ya, My Lord,” gumam Cornelius segera pergi dari ruang dansa, pria itu cukup khawatir dengan keadaan majikannya. Cornelius berasumsi bahwa tiap kali Grisell berada di dekat majikannya, pasti majikannya akan bersikap berbeda dari biasanya. Sikap berbeda itu tentu saja karena Grisell yang tidak konvensional seperti orang-orang yang Justin temui sebelumnya. Grisell membuat Justin terpaksa harus memperlakukannya secara berbeda karena Grisell sendiri sepertinya tidak megnanggap Justin sebagai bangsawan.
            “Selamat, kau sudah menyakiti kedua kakiku,”
            “Yang ini ketidaksengajaan, jadi aku tidak bermaksud menyakitimu. Kalau yang sebelumnya… aku berniat memukul lehermu dengan punggung tanganku, tapi ternyata kakiku lebih cepat beraksi,”
            “Terserah apa katamu,” ucap Justin menekan-nekan kakinya dengan kain basah itu. “Lagi pula dansa waltz tidak begitu sulit. Kau hanya perlu mengikuti kemana musik membawamu, kakimu pasti akan mengikuti.”
            “Maafkan aku karena hidup dalam kemiskinan, My Lord,” ucap Grisell sarkastik. “Setidaknya, hidupku pasti tidak membosankan seperti milikmu. Kau pasti menghabiskan banyak waktu membungkuk, membicarakan omong kosong dengan teman-temanmu khususnya para wanita, dan selalu memberikan senyum manis pada siapa pun. Tidakkah itu melelahkan, My Lord?”
            “Harus kukatakan padamu, Miss Parnell, kau satu-satunya wanita yang lebih tahu tentangku dibanding siapa pun. Tapi kau belum sepenuhnya mengetahui siapa diriku. Jika aku tidak berhati-hati mendekatimu, sudah jelas kau pasti akan lari dariku,” kata Justin tersenyum miring. Setelah kakinya mati rasa, Justin menurunkan kakinya itu dari kursi sebagai penyangga kakinya. Grisell tertarik, ia mengangkat dagunya tinggi-tinggi, menatap Justin dengan tatapan skeptis.
            “Aku ragu, My Lord. Apa yang akan membuatku lari darimu?” Tanya Grisell melangkah mundur saat Justin bangkit dari kursinya. Saat Justin berdiri, pria itu seperti baik-baik saja dan tak terlukai. Para pemain musik mulai bersiap-siap memainkan musiknya, namun sang pemimpin menahan mereka begitu sang earl membuka sepatunya yang lain. Tidak menjawab pertanyaan Grisell, pria itu menunjuk sepatu Grisell.
            “Lepaskan sepatu sialan itu,” perintah Justin. Grisell segera melakukannya, tapi ia tidak membuka kaus kakinya. Para pemain musik melihat ke langit-langit ruangan yang tinggi, berusaha tidak membuat kontak mata dengan salah satu di antara pasangan itu. Grisell menempatkan sepatunya di pinggir lantai dansa lalu melangkah ke tengah-tengah, menghampiri Justin. Mereka berdua membungkuk sebelum memulai dansa waltz. Salah satu pemain musik itu cepat-cepat memposisikan diri mereka untuk bermain. 2 detik kemudian musik mengalun dengan indah.
            “Aku harus mengagumi kekuatanmu. Tidak lebih dari 15 menit, kau sudah bisa mengajariku lagi. Katakan padaku, My Lord, apa yang akan membuatku lari darimu?”
            “Masa laluku,” bisik Justin meremas pinggul Grisell dengan sengaja, tangan mereka yang lain terjalin sementara kaki Justin mengiring kaki Grisell agar melangkah seirama dengan musik. Mereka mengitari ruang dansa lalu kemudian Justin memutar tubuh Grisell, kemudian menangkapnya kembali dengan cekatan. Mata mereka terkunci, atmosfer yang tidak familiar bagi keduanya muncul begitu saja mengisi ruangan. “Miss Parnell, siapa pria yang membuatmu menjadi pelacur?”
            Raut wajah Grisell menunjukkan kekagetannya. Mulutnya terbuka namun tak mengeluarkan kata apa pun selama beberapa saat. Kemudian tertutup rapat kembali. Grisell menggeleng kepalanya dengan tegas, lalu menatap Justin tajam. “Aku tidak ingin membicarakannya.”
            “Apa dia kasar padamu? Apa dia membuatmu menjerit? Katakan padaku, Grisell, aku akan membuatnya menyesal,” bisik Justin terdengar sedikit mengancam. Bukan kepada pria yang telah memaksa Grisell, tapi kepada Grisell. Pria itu mengancam Grisell entah untuk apa, mungkinkah sebagai balasan kenakalan Grisell? Tapi sakit kakinya tidak sebanding dengan percakapan menyakitkan ini. Mata Grisell berkaca-kaca.
            “Kenapa kau mengatakan itu padaku? Tidak, jangan bicarakan dia, kumohon.”
            “Baiklah.” Justin menyerah saat air mata Grisell menetes. Pria itu tidak bermaksud membuat Grisell kembali mengingat masa lalunya, ia ingin Grisell terbuka untuknya. Sayangnya, Grisell belum siap. Justin memeluk Grisell saat isak tangis Justin terdengar.
            “Lepaskan!” Grisell mendorong tubuh Justin. Air matanya sudah membasahi pipinya. “Sial kau, Moore. Oh, kau memang brengsek. Kau sengaja mengangkat topik pembicaraan itu agar aku kelihatan lemah, tapi demi Tuhan, aku akan membalasnya.”
            “Miss Parnell, jangan seperti itu. Aku tidak bermaksud membuatmu kelihatan lemah,”
            “Tenang saja, My Lord, perjanjian kita akan tetap berlaku.” Grisell beranjak dari tempatnya. Musik berhenti bermain saat melihat wanita itu berjalan menuju pintu. Saat hampir sampai, wanita itu berputar balik. “Aku melupakan sepatuku.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar