CHAPTER ELEVEN
Jika saja Lord Moore tidak memancing
Grisell untuk membicarakan masa lalunya, sudah jelas Grisell tidak akan menjaga
jarak darinya. Selain belajar membaca dan berdansa dengan Lord Moore, Grisell
menghilang dari pandangan pria itu. Entah apa yang wanita itu lakukan, yang
jelas Lord Moore kesal. Bagaimana Lord Moore tidak kesal? Grisell akan
menggodanya saat sesi belajar membaca atau berdansa, tapi setelah jam belajar mereka
selesai, wanita itu akan lari terbirit-birit seolah-olah Lord Moore-lah yang
sedang menggodanya dan Grisell tidak menginginkannya. Oh, Lord Moore harus
mengakui kalau Grisell adalah murid yang cerdas. Dalam waktu beberapa hari saja
Grisell sudah mahir berdansa dengannya, meski sesekali Grisell sengaja jatuh
atau tersandung kakinya sendiri agar ia kelihatan belum bisa berdansa. Dan
Grisell sekarang sudah bisa menulis—meski tulisannya tidak begitu bagus—dan
membaca, dan meski belum terlalu sempurna, setidaknya Grisell sudah bisa
membaca dengan lancar.
Cornelius dan para pelayannya
menyiapkan kamar-kamar bagi para tamu yang akan datang saat season nanti. Lantai kayu dipoles hingga
mengilap dan lilin-lilin diganti menjadi yang baru. Permadani dan karpet-karpet
juga diganti dengan warna yang lebih cerah dan elegan. Lord Moore tidak bisa
menyembunyikan rasa syukurnya atas kedatangan Mildred di Moore House. Wanita
itu tentu tidak akan tinggal diam bila melihat sedikit debu menempel di lantai
atau di lemari kaca. Sifat Ibunya yang perfeksionis sangat kental hingga Lord
Moore terkekeh akan sifatnya yang satu itu. Banyak barang-barang yang diganti
dan ruangan dibersihkan menjelang season.
Para pelayan dapur sibuk pergi ke pasar untuk menyiapkan hidangan-hidangan yang
akan disiapkan saat malam pertama season
dimulai. Dan selama itu pula, Grisell tak kunjung menjawab lamaran Lord Moore.
Hampir gila, pagi itu Lord Moore
memutuskan mengajak Grisell jalan-jalan keluar Moore House. Mereka menaiki
kereta kuda menuju Welshing Park dan memulai jalan-jalan mereka mengelilingi
estat tersebut sekaligus memperkenalkan Grisell pada penyewa tanah Lord Moore.
Matahari timur menyirami tubuh Grisell dengan cahayanya meski awan-awan
mendung, Grisell kelihatan lebih bersinar. Gaun berwarna merah membuat wanita
itu tampak lebih berani dan menggoda, terutama karena tubuhnya yang kecil dan
kelihatan berisi sangat menggiurkan. Lord Moore terpaksa harus melipat
tangannya ke belakang punggung, menahan diri agar tak menyentuh wanita itu
sedikitpun.
“Katakan padaku, Miss Parnell,
apakah kau sudah mempertimbangkan lamaranku?” Tanya Lord Moore dengan suara
tenang. Grisell berjalan seperti wanita terhormat lalu tersenyum pada salah
seorang pria yang sedang membersihkan halaman rumahnya. Pria itu melambaikan
tangan pada Lord Moore yang kemudian dibalas dengan anggukan singkat dari sang earl.
“Sudah, tapi kurasa sekarang bukan
waktu yang tepat untuk menjawabnya, bukan? Kurasa saat makan malam pertama season, aku akan memberitahunya padamu,”
jawab Grisell memandang lurus ke depan. Bunga-bunga mulai bermekaran, tanda
musim semi baru saja dimulai. Aroma bunga-bungaan, daun dan embun pagi di musim
semi sangat menenangkan jiwa Grisell. Rasanya tak ada yang bisa mengalahkan
ketenangannya. 2 setengah minggu sebelum season
dimulai adalah hari-hari dimana Grisell merasa bimbang akan lamaran Lord
Moore. Tiap harinya mereka berdansa bersama—meski ada hari-hari dimana Lord
Moore dipenuhi dengan kesibukan—dan belajar membaca, bahkan pria itu
mengajarkan Grisell menulis.
Jantung Grisell berdebar-debar tiap
kali mereka bersama dan entah mengapa Grisell begitu senang menggoda pria itu.
Ia tahu Lord Moore tertarik padanya dan akan selalu seperti itu jika ia terus
menggodanya. Grisell tak ingin Lord Moore berhenti tertarik padanya, ia ingin
tetap membuat suasana di antara mereka terus hangat dan saling tertarik. Tapi
bagaimana jika Lord Moore bosan dengannya? Grisell merasa tidak ada tempat di
belahan dunia lain yang lebih baik dibanding bersama dengan Lord Moore. Dan
Tuhan tahu bagaimana Grisell dapat melupakan masa lalunya yang buruk, bahkan
Grisell takut bahwa kebersamaannya bersama Lord Moore hanya mimpi semata. Dan
jika memang ini hanyalah mimpi, ia tidak ingin pernah dibangunkan sekalipun.
Sikap salah tingkahnya selalu diakali dengan bersikap menggoda pada Lord Moore,
meski Grisell sendiri merasa gugup.
Saat Lord Moore sibuk karena
pekerjaannya, Grisell pasti merindukan pria itu seolah-olah tidak ada orang
lain yang dapat membuatnya lebih nyaman lagi. Dan sekarang di sinilah dia
melangkah bersama Lord Moore, berusaha memperjelas status hubungan mereka yang
masih buram. Ketakutan yang Grisell rasakan diawal lamaran Lord Moore lama
kelamaan menghilang bersama waktu yang telah ia lewati. Oh, Grisell lebih
percaya diri sekarang karena pertama, ia sudah bisa membaca. Kedua, ia bisa
menulis. Ketiga, ia bisa berdansa waltz.
Dan beberapa hari terakhir ini, ia belajar berkuda bersama Miss Gillbride
dengan posisi duduk menyamping. Tak menyenangkan, tapi ia hanya sekedar mencoba
dan belajar.
Tiba-tiba saja pria itu berhenti
melangkah. Ia membuat Grisell ikut berhenti lalu menatapnya dengan raut wajah
bingung. “Apakah ada sesuatu yang mengganggumu, My Lord?” Grisell bertanya
dengan lembut, bukan kebiasaan wanita itu. Lord Moore menggeleng kepalanya
cepat-cepat, lalu melangkah kembali. Ia menggandeng lengan Grisell kali ini, namun
saat itu tidak ada pendamping, jika saja mereka tertangkap basah berciuman di
tengah jalan, tentu Grisell mau tak mau harus menikah dengan Lord Moore.
“My Lord, aku ingin bertanya
sesuatu. Kuharap kau tidak marah,”
“Aku tidak bisa menjanjikan itu, tapi
aku akan berusaha,” ucap Lord Moore tanpa menatap Grisell. Dari bawah situ,
Grisell dapat melihat bagaimana bentuk rahang bawah Lord Moore terpahat begitu
sempurna. Janggutnya yang jarang itu tampak di sekitar rahang itu dan dagunya,
membuat pria itu lebih terlihat maskulin. Grisell memejamkan mata, berusaha
untuk tidak membayangkan hal-hal yang selama ini pernah ia pikirkan.
“Apa kau masih memiliki perasaan
pada Lady Henrietta?” Tanya Grisell dengan sangat pelan, namun telinga Lord
Moore masih dapat mendengarnya. Pertanyaan itu entah mengapa tidak mengejutkan
Lord Moore, justru pria itu sendiri bertanya, apakah ia pernah memiliki perasaan pada Henrietta? Selama ini ia mengganggap
dirinya jatuh cinta pada wanita konvensional itu sampai ia akhirnya bertemu
Grisell, ia meragukannya.
“Tidak,” jawabnya pelan. “Bagaimana
denganmu? Apa kau masih memiliki perasaan pada Nathaniel?”
“Oh, tidak, My Lord. Aku tidak
mengharapkannya lagi. Dan terima kasih padamu, aku sudah tidak sama sekali
memikirkannya. Akhir-akhir ini aku lebih memikirkan bagaimana caranya menjadi
seorang wanita yang tidak ceroboh saat season
nanti,”
“Sebenarnya, Sayangku, aku sangat
tidak menyukai season. Perburuan
jodoh sangatlah konyol bagiku. Namun yang menjadi daya tarik dari season adalah saat seseorang mengira ia
menemukan jodohnya, lalu mereka menikah. Oh, kau harus mendengar gosip yang
panas di dapur jika kau ingin tahu bagaimana nasib mereka-mereka yang menikah,”
“Apa maksudmu dari ‘mengira
menemukan jodohnya?’”
“Mereka tidak benar-benar jatuh
cinta. Orang gila mana yang melakukan pendekatan selama beberapa minggu, lalu
setelah itu menikah? Sudah banyak musim yang kulewati dan banyak wanita yang
mendekatiku, tapi untungnya, aku tidak pernah tertarik untuk menikahi satu dari
mereka. Wanita-wanita itu selalu menganggapku sangat istimewa dan berharga
untuk dinikahi dan sekaligus membuat diri mereka digelimang harta kekayaan,
mereka haus kehormatan. Grisell, jika kau bertanya padaku bagaimana perasaanku,
jujur saja aku sangat muak dengan season,”
Grisell terdiam sesaat mendengar
ucapan Lord Moore. Pria itu seolah-olah tidak menikmati hidup sebagai seorang
bangsawan. Bukankah biasanya seorang pewaris sepertinya akan sangat senang
memiliki kekayaan dan pemujaan yang sepertinya tak ada habis-habisnya? Bukankah
Lord Moore seharusnya memanfaatkan kekayaannya untuk melakukan hal-hal yang
sangat menyenangkan dan hanya seorang bangsawan dapat melakukannya? Grisell
menipiskan bibirnya. Ia selama ini tidak pernah menggangap Lord Moore sebagai
seorang earl. Mungkin ia memang
mengakui bahwa pria itu adalah seorang earl,
tapi sikapnya terhadap pria itu tidak sama sekali berbeda saat ia bersikap pada
Cornelius. Baginya, Lord Moore pasti memiliki kekuatan dan kelemahan. Tapi
orang-orang buta melihat bahwa Lord Moore hanya pria biasa.
“Aku mungkin akan menjadi orang gila
itu,” ucap Grisell angkat bicara.
“Kau ingin menikah dengan seseorang
yang tidak benar-benar mencintaimu?”
“Dengan segala hormat, My Lord,
menurutku itu semua tergantung pada diri kita sendiri. Biar kuceritakan sesuatu
padamu. Ini terjadi 15 tahun yang lalu, saat aku masih berumur 8 tahun. Aku
melihat seorang wanita bertubuh kurus yang tampaknya sangat mencintai pria yang
bertubuh gemuk dalam waktu beberapa hari lalu mereka menikah. Pria bertubuh
gemuk itu sangat memerhatikan wanita itu, bahkan rela memberikan makanannya
pada wanita itu. Yah, mereka memang bukan keturunan bangsawan dan terbilang
miskin. Tapi demi Tuhan mereka tampak sangat bahagia setelah mereka menikah.
Dan kurasa sekarang mereka menunggu kelahiran anak mereka yang ketujuh.
“Asal kau ingin belajar
mencintainya, kau mungkin tidak bahwa ialah yang selama ini kau cari. Mungkin
wanita kurus itu dulu tidak pernah berpikir kalau dirinya akan mencintai pria
itu. Mungkin wanita kurus itu akhirnya belajar mencintai pria itu karena ia
tahu, ia tidak punya pilihan lain selain mencintainya. Mungkin wanita kurus itu
lelah mencari pria sempurna dan poof,
akhirnya ia sangat bahagia bersama pria gemuk itu. Bahkan mungkin perasaan itu
melampaui apa yang pernah dipikirkannya.” Grisell berhenti bercerita. Bibirnya
meninggalkan sebuah senyuman di wajah yang cantik itu, matanya menatap ke satu
titik sambil membayangkan bagaimana wanita kurus itu memuja pria gemuk itu. Oh
itu sangat tidak bisa dipercaya, tapi itu memang terjadi. Grisell berharap, ia
mendapatkan pria yang sama seperti wanita itu memuja pria itu. Suara Lord Moore
merusak segala bayangannya.
“Jangan bilang kau baru saja
mengarang itu, Miss Parnell,”
“Aku tidak mengarang! Oh, My Lord,
itu sungguh-sungguh terjadi. Jika kau tidak percaya, kita bisa mengunjunginya
setelah season selesai. Lihat saja.”
Tapi Lord Moore tidak mengatakan apa-apa. Dari kejauhan, Grisell tak sadar
bahwa Henrietta sedang berjalan berlawanan arah dengannya. Wanita itu berjalan
sendiri bersama dengan bonnet yang menutupi kepalanya.
“Miss Parnell, aku harap kau bisa
menjaga sikap dengannya,” gumam Lord
Moore santai sekaligus tegas. Pria itu menatap mantan kekasihnya yang semakin
lama semakin mendekat ke arah mereka.
“Tentu,” balas Grisell tersenyum,
matanya menatap lurus pada Henrietta. Wanita itu memakai gaun berwarna hijau
yang tampak… tak begitu cocok dengannya.
“My Lady Henrietta! Kau tampak
begitu berbeda pagi ini,” seru Lord Moore formal. Henrietta mengangguk, ia
menunduk memberi hormat lalu tersenyum pada pria itu lalu pada Grisell. “Season akan dimulai tiga hari lagi. Apa
kau akan datang malam ini bersama keluargamu?”
“Ya, tentu saja, My Lord,” ucap
Henrietta sedang nada suara yang dibuat-buat ramah. Kemudian tatapan tak
bersahabat jatuh pada Grisell yang berusaha untuk tidak membalas tatapan itu
dengan tatapan benci. “Selamat pagi, Miss Parnell,”
“Selamat pagi, Lady Henrietta.
Apakah Lord Clopton akan datang saat season?”
“Tentu, tentu,” jawab Henrietta
lembut namun Grisell dapat merasakan nada suara tak bersahabat dari Henrietta
yang Lord Moore tak sadar. Kemudian wanita berambut hitam itu menatap Lord
Moore, ia memberi senyuman yang menurutnya paling menawan. “Lord Clopton,
apakah kau mengundang Lord Myhill?” Pertanyaan Henrietta berhasil membuat
rahang Lord Moore menegang. Lord Myhill? Ya, ia mengundangnya. Tapi sudah beberapa
tahun ini, sejak Ayahnya meninggal, pria itu selalu menolak undangan acara
sosial seperti ini. Mungkinkah Lord Myhill akan datang? Jika memang, bukankah
itu berarti Grisell akan bertemu dengan kakak tirinya? Demi Tuhan, bangsawan
brengsek seperti Ayah Lord Myhill memang harus digantung. Grisell memandang
Lord Moore yang tak kunjung menjawab pertanyaan mantan kekasihnya, hanya
tatapan penuh kebingungan pada Henrietta yang ia perlihatkan pada dua wanita
itu. Tangannya yang kecil menyentuh lengan Lord Moore, mengelusnya hingga pria
itu akhirnya tersadar dari lamunannya.
“Ya, tentu saja, My Lady. Mari kita
berharap ia akan datang tahun ini,”
“Oh, ia akan datang, My Lord.
Kabarnya beberapa bulan terakhir ini ia semakin membaik, kami sering
berkoresponden. Ia pria yang sangat menawan, jika kau ingin tahu,” ucap
Henrietta pada Grisell di kalimat terakhir. Grisell tahu betul ucapan itu
sengaja diucapkan untuk membuat Lord Moore cemburu. Tapi sayangnya, pria itu
tampak biasa-biasa saja.
“Aku yakin ia sangat menawan. Dan
aku senang akhirnya kau bisa berkoresponden dengan pria lain. Itu membuatku
tidak merasa bersalah lagi padamu,” ucap Lord Moore memberi senyum menyebalkan.
“Selamat pagi, Lady Henrietta.” Lord Moore menggandeng siku-siku Grisell,
mengajaknya melangkah menjauhi wanita berambut hitam yang sedang cemberut itu.
Henrietta merasa sangat direndahkan! Henrietta mendengus, ia berjalan cepat
menuju estat Ayahnya.
***
Para tamu sudah datang lebih dulu,
bahkan sebelum season berlangsung.
Mereka tidak ingin mendapat kamar yang jelek—meski tidak ada kamar yang jelek
di Moore House. Namun sebagaian besar mengharapkan kamar yang besar dan
pemandangan yang indah. Grisell tak tahu harus bagaimana selain ia bersembunyi
dalam kamarnya karena ia tak berani pergi keluar dan memperkenalkan dirinya
sebagai teman dekat Lord Moore. Teman dekat? Grisell ragu akan status yang
mereka sandang sekarang. Pria itu sudah melamarnya, tapi Grisell masih
menggantung pria itu. Haruskah ia memberitahu jawabannya pada pria itu sekarang?
Saat sedang berjalan mondar-mandir di depan cermin panjang, tiba-tiba saja
pintu kamar Grisell terketuk. Sebelum menyahut, Grisell memerhatikan
penampilannya.
Gaun panjang ungunya hampir mencapai
lantai kayu yang dipoles mengilap itu. Bagian lengannya terpotong hingga
siku-siku dan potongan lehernya cukup rendah. Siapa pun yang melihatnya pasti
akan terfokus pada belahan dada Grisell yang menyembul. Belahan buah dadanya
tidak dibuat-buat seperti wanita-wanita lain yang memakai korset ketat yang berguna
menaikkan buah dadanya. Perhiasan yang diberikan Hope mempercantik
penampiannya. Sanggul yang dibuat Eunice sepertinya akan memukau banyak tamu
malam ini. Setelah menurutnya penampilannya malam ini sempurna, Grisell
akhirnya menyahut. Malam ini ia harus makan malam bersama tamu-tamu yang baru
datang dan ia… tidak tahu harus berbuat apa selama makan malam itu selain
makan.
Pintu kamarnya terbuka. Sosok Justin
muncul di sana, mengenakan setelan serba hitam yang tampak sempurna di tubuh
gagah pria itu. Kulitnya yang cokelat keemasan membuat pria itu lebih eksotis.
Membuat gerakan cepat, pria itu masuk ke dalam kamarnya lalu menguncinya.
Grisell terkesiap lalu terkekeh.
“Apa yang kau lakukan di kamarku?”
Karena belum memerhatikan Grisell baik-baik, pria itu terdiam sejenak. Mata
cokelat gelapnya menatap Grisell dari ujung rambut—berhenti sejenak di bagian
belahan dada—dan lalu turun hingga ujung kaki. Ia terpukau. Sebelum kehilangan
akal sehatnya, akhirnya Justin berbicara.
“Aku tidak setuju kau memakai gaun
itu,” ucap Justin membuat Grisell terkejut, tak percaya.
“Dengan alasan?”
“Terlalu rendah potongan dadanya.
Aku tidak ingin pria-pria lajang memerhatikanmu dan berpikir mereka akan
memilikimu,”
“Oh, hentikanlah omong kosongmu itu,
Moore! Mereka tidak akan memerhatikanku, justru wanita-wanita di luar sana yang
akan memerhatikanmu. Nah, jadi kau hanya datang ke sini untuk memberitahu kalau
potongan dadanya terlalu rendah?”
“Tidak, aku ke sini untuk
menjemputmu turun ke bawah karena makan malam akan segera dimulai. Kurasa
tanduk sudah muncul di kepala Mildred,”
“Kenapa kau tidak meminta Eunice
un—lupakan. Kau sudah ada di sini,” tukas Grisell cepat-cepat. Melihat situasi
sekarang, Grisell rasa sekarang waktu yang tepat untuk memberitahu Justin. Pria
itu melihat perubahan raut wajah Grisell yang tiba-tiba saja menegang. Mata
biru Grisell menatapnya, terlihat keraguan sekaligus keyakinan dalam tatapan
itu. Jarak di antara mereka hanya sebatas dua langkah, jika saja Justin maju
satu langkah besar, maka mereka akan saling bertabrakan. Bibir bawah itu
Grisell bersembunyi di balik gigi-giginya kemudian menyembul kembali begitu
giginya melepaskan bibir itu.
“Ada apa?”
“Ya,” bisik Grisell membuat Justin
bingung. Sebelum Grisell dapat melanjutkan ucapannya, Justin sudah mengambil
satu langkah besar. Tangan pria itu meraih lengan Grisell, mencengkeramnya
dengan baik-baik lalu membuat jarak wajah mereka begitu dekat. Kedua alis hitam
Justin membuat sudut di atas hidungnya.
“Jangan main-main, Grisell,”
ancamnya menegang. Ia tidak akan pernah bermain-main dengan masalah pernikahan.
Bagi Justin, pernikahan adalah langkah besar yang akan merubah seluruh hidupnya
sampai maut menjemputnya. Ia tidak ingin Grisell hanya bermain-main akan
jawabannya kelak. Bibir Grisell bergetar akibat gugup. Wanita itu menelan
ludah.
“Aku tidak main-main, Justin.”
“Katakan.”
“Ya,” bisik Grisell memejamkan mata,
berusaha meyakinkan diri bahwa ini adalah pilihan yang terbaik untuknya. “Ya,
Justin. Aku bersedia menjadi istrimu.” Cengkeraman di tangannya mengendur, lalu
tubuh besar Justin melingkupi seluruh tubuh Grisell. Pelukannya begitu hangat
tapi tidak menyesakkan. Telapak tangan Justin menangkup tengkuk Grisell,
mengangkat kepala itu agar wajah cantiknya tampak. Kemudian bibir mereka
menyatu menjadi sebuah ciuman manis.
Ciuman itu bukan hanya berdasarkan gairah, tapi cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar