Kamis, 05 Maret 2015

Lucky Slut Bab 11

CHAPTER ELEVEN

            Jika saja Lord Moore tidak memancing Grisell untuk membicarakan masa lalunya, sudah jelas Grisell tidak akan menjaga jarak darinya. Selain belajar membaca dan berdansa dengan Lord Moore, Grisell menghilang dari pandangan pria itu. Entah apa yang wanita itu lakukan, yang jelas Lord Moore kesal. Bagaimana Lord Moore tidak kesal? Grisell akan menggodanya saat sesi belajar membaca atau berdansa, tapi setelah jam belajar mereka selesai, wanita itu akan lari terbirit-birit seolah-olah Lord Moore-lah yang sedang menggodanya dan Grisell tidak menginginkannya. Oh, Lord Moore harus mengakui kalau Grisell adalah murid yang cerdas. Dalam waktu beberapa hari saja Grisell sudah mahir berdansa dengannya, meski sesekali Grisell sengaja jatuh atau tersandung kakinya sendiri agar ia kelihatan belum bisa berdansa. Dan Grisell sekarang sudah bisa menulis—meski tulisannya tidak begitu bagus—dan membaca, dan meski belum terlalu sempurna, setidaknya Grisell sudah bisa membaca dengan lancar.
            Cornelius dan para pelayannya menyiapkan kamar-kamar bagi para tamu yang akan datang saat season nanti. Lantai kayu dipoles hingga mengilap dan lilin-lilin diganti menjadi yang baru. Permadani dan karpet-karpet juga diganti dengan warna yang lebih cerah dan elegan. Lord Moore tidak bisa menyembunyikan rasa syukurnya atas kedatangan Mildred di Moore House. Wanita itu tentu tidak akan tinggal diam bila melihat sedikit debu menempel di lantai atau di lemari kaca. Sifat Ibunya yang perfeksionis sangat kental hingga Lord Moore terkekeh akan sifatnya yang satu itu. Banyak barang-barang yang diganti dan ruangan dibersihkan menjelang season. Para pelayan dapur sibuk pergi ke pasar untuk menyiapkan hidangan-hidangan yang akan disiapkan saat malam pertama season dimulai. Dan selama itu pula, Grisell tak kunjung menjawab lamaran Lord Moore.
            Hampir gila, pagi itu Lord Moore memutuskan mengajak Grisell jalan-jalan keluar Moore House. Mereka menaiki kereta kuda menuju Welshing Park dan memulai jalan-jalan mereka mengelilingi estat tersebut sekaligus memperkenalkan Grisell pada penyewa tanah Lord Moore. Matahari timur menyirami tubuh Grisell dengan cahayanya meski awan-awan mendung, Grisell kelihatan lebih bersinar. Gaun berwarna merah membuat wanita itu tampak lebih berani dan menggoda, terutama karena tubuhnya yang kecil dan kelihatan berisi sangat menggiurkan. Lord Moore terpaksa harus melipat tangannya ke belakang punggung, menahan diri agar tak menyentuh wanita itu sedikitpun.
            “Katakan padaku, Miss Parnell, apakah kau sudah mempertimbangkan lamaranku?” Tanya Lord Moore dengan suara tenang. Grisell berjalan seperti wanita terhormat lalu tersenyum pada salah seorang pria yang sedang membersihkan halaman rumahnya. Pria itu melambaikan tangan pada Lord Moore yang kemudian dibalas dengan anggukan singkat dari sang earl.
            “Sudah, tapi kurasa sekarang bukan waktu yang tepat untuk menjawabnya, bukan? Kurasa saat makan malam pertama season, aku akan memberitahunya padamu,” jawab Grisell memandang lurus ke depan. Bunga-bunga mulai bermekaran, tanda musim semi baru saja dimulai. Aroma bunga-bungaan, daun dan embun pagi di musim semi sangat menenangkan jiwa Grisell. Rasanya tak ada yang bisa mengalahkan ketenangannya. 2 setengah minggu sebelum season dimulai adalah hari-hari dimana Grisell merasa bimbang akan lamaran Lord Moore. Tiap harinya mereka berdansa bersama—meski ada hari-hari dimana Lord Moore dipenuhi dengan kesibukan—dan belajar membaca, bahkan pria itu mengajarkan Grisell menulis.
            Jantung Grisell berdebar-debar tiap kali mereka bersama dan entah mengapa Grisell begitu senang menggoda pria itu. Ia tahu Lord Moore tertarik padanya dan akan selalu seperti itu jika ia terus menggodanya. Grisell tak ingin Lord Moore berhenti tertarik padanya, ia ingin tetap membuat suasana di antara mereka terus hangat dan saling tertarik. Tapi bagaimana jika Lord Moore bosan dengannya? Grisell merasa tidak ada tempat di belahan dunia lain yang lebih baik dibanding bersama dengan Lord Moore. Dan Tuhan tahu bagaimana Grisell dapat melupakan masa lalunya yang buruk, bahkan Grisell takut bahwa kebersamaannya bersama Lord Moore hanya mimpi semata. Dan jika memang ini hanyalah mimpi, ia tidak ingin pernah dibangunkan sekalipun. Sikap salah tingkahnya selalu diakali dengan bersikap menggoda pada Lord Moore, meski Grisell sendiri merasa gugup.
            Saat Lord Moore sibuk karena pekerjaannya, Grisell pasti merindukan pria itu seolah-olah tidak ada orang lain yang dapat membuatnya lebih nyaman lagi. Dan sekarang di sinilah dia melangkah bersama Lord Moore, berusaha memperjelas status hubungan mereka yang masih buram. Ketakutan yang Grisell rasakan diawal lamaran Lord Moore lama kelamaan menghilang bersama waktu yang telah ia lewati. Oh, Grisell lebih percaya diri sekarang karena pertama, ia sudah bisa membaca. Kedua, ia bisa menulis. Ketiga, ia bisa berdansa waltz. Dan beberapa hari terakhir ini, ia belajar berkuda bersama Miss Gillbride dengan posisi duduk menyamping. Tak menyenangkan, tapi ia hanya sekedar mencoba dan belajar.
            Tiba-tiba saja pria itu berhenti melangkah. Ia membuat Grisell ikut berhenti lalu menatapnya dengan raut wajah bingung. “Apakah ada sesuatu yang mengganggumu, My Lord?” Grisell bertanya dengan lembut, bukan kebiasaan wanita itu. Lord Moore menggeleng kepalanya cepat-cepat, lalu melangkah kembali. Ia menggandeng lengan Grisell kali ini, namun saat itu tidak ada pendamping, jika saja mereka tertangkap basah berciuman di tengah jalan, tentu Grisell mau tak mau harus menikah dengan Lord Moore.
            “My Lord, aku ingin bertanya sesuatu. Kuharap kau tidak marah,”
            “Aku tidak bisa menjanjikan itu, tapi aku akan berusaha,” ucap Lord Moore tanpa menatap Grisell. Dari bawah situ, Grisell dapat melihat bagaimana bentuk rahang bawah Lord Moore terpahat begitu sempurna. Janggutnya yang jarang itu tampak di sekitar rahang itu dan dagunya, membuat pria itu lebih terlihat maskulin. Grisell memejamkan mata, berusaha untuk tidak membayangkan hal-hal yang selama ini pernah ia pikirkan.
            “Apa kau masih memiliki perasaan pada Lady Henrietta?” Tanya Grisell dengan sangat pelan, namun telinga Lord Moore masih dapat mendengarnya. Pertanyaan itu entah mengapa tidak mengejutkan Lord Moore, justru pria itu sendiri bertanya, apakah ia pernah memiliki perasaan pada Henrietta? Selama ini ia mengganggap dirinya jatuh cinta pada wanita konvensional itu sampai ia akhirnya bertemu Grisell, ia meragukannya.
            “Tidak,” jawabnya pelan. “Bagaimana denganmu? Apa kau masih memiliki perasaan pada Nathaniel?”
            “Oh, tidak, My Lord. Aku tidak mengharapkannya lagi. Dan terima kasih padamu, aku sudah tidak sama sekali memikirkannya. Akhir-akhir ini aku lebih memikirkan bagaimana caranya menjadi seorang wanita yang tidak ceroboh saat season nanti,”
            “Sebenarnya, Sayangku, aku sangat tidak menyukai season. Perburuan jodoh sangatlah konyol bagiku. Namun yang menjadi daya tarik dari season adalah saat seseorang mengira ia menemukan jodohnya, lalu mereka menikah. Oh, kau harus mendengar gosip yang panas di dapur jika kau ingin tahu bagaimana nasib mereka-mereka yang menikah,”
            “Apa maksudmu dari ‘mengira menemukan jodohnya?’”
            “Mereka tidak benar-benar jatuh cinta. Orang gila mana yang melakukan pendekatan selama beberapa minggu, lalu setelah itu menikah? Sudah banyak musim yang kulewati dan banyak wanita yang mendekatiku, tapi untungnya, aku tidak pernah tertarik untuk menikahi satu dari mereka. Wanita-wanita itu selalu menganggapku sangat istimewa dan berharga untuk dinikahi dan sekaligus membuat diri mereka digelimang harta kekayaan, mereka haus kehormatan. Grisell, jika kau bertanya padaku bagaimana perasaanku, jujur saja aku sangat muak dengan season,”
            Grisell terdiam sesaat mendengar ucapan Lord Moore. Pria itu seolah-olah tidak menikmati hidup sebagai seorang bangsawan. Bukankah biasanya seorang pewaris sepertinya akan sangat senang memiliki kekayaan dan pemujaan yang sepertinya tak ada habis-habisnya? Bukankah Lord Moore seharusnya memanfaatkan kekayaannya untuk melakukan hal-hal yang sangat menyenangkan dan hanya seorang bangsawan dapat melakukannya? Grisell menipiskan bibirnya. Ia selama ini tidak pernah menggangap Lord Moore sebagai seorang earl. Mungkin ia memang mengakui bahwa pria itu adalah seorang earl, tapi sikapnya terhadap pria itu tidak sama sekali berbeda saat ia bersikap pada Cornelius. Baginya, Lord Moore pasti memiliki kekuatan dan kelemahan. Tapi orang-orang buta melihat bahwa Lord Moore hanya pria biasa.
            “Aku mungkin akan menjadi orang gila itu,” ucap Grisell angkat bicara.
            “Kau ingin menikah dengan seseorang yang tidak benar-benar mencintaimu?”
            “Dengan segala hormat, My Lord, menurutku itu semua tergantung pada diri kita sendiri. Biar kuceritakan sesuatu padamu. Ini terjadi 15 tahun yang lalu, saat aku masih berumur 8 tahun. Aku melihat seorang wanita bertubuh kurus yang tampaknya sangat mencintai pria yang bertubuh gemuk dalam waktu beberapa hari lalu mereka menikah. Pria bertubuh gemuk itu sangat memerhatikan wanita itu, bahkan rela memberikan makanannya pada wanita itu. Yah, mereka memang bukan keturunan bangsawan dan terbilang miskin. Tapi demi Tuhan mereka tampak sangat bahagia setelah mereka menikah. Dan kurasa sekarang mereka menunggu kelahiran anak mereka yang ketujuh.
            “Asal kau ingin belajar mencintainya, kau mungkin tidak bahwa ialah yang selama ini kau cari. Mungkin wanita kurus itu dulu tidak pernah berpikir kalau dirinya akan mencintai pria itu. Mungkin wanita kurus itu akhirnya belajar mencintai pria itu karena ia tahu, ia tidak punya pilihan lain selain mencintainya. Mungkin wanita kurus itu lelah mencari pria sempurna dan poof, akhirnya ia sangat bahagia bersama pria gemuk itu. Bahkan mungkin perasaan itu melampaui apa yang pernah dipikirkannya.” Grisell berhenti bercerita. Bibirnya meninggalkan sebuah senyuman di wajah yang cantik itu, matanya menatap ke satu titik sambil membayangkan bagaimana wanita kurus itu memuja pria gemuk itu. Oh itu sangat tidak bisa dipercaya, tapi itu memang terjadi. Grisell berharap, ia mendapatkan pria yang sama seperti wanita itu memuja pria itu. Suara Lord Moore merusak segala bayangannya.
            “Jangan bilang kau baru saja mengarang itu, Miss Parnell,”
            “Aku tidak mengarang! Oh, My Lord, itu sungguh-sungguh terjadi. Jika kau tidak percaya, kita bisa mengunjunginya setelah season selesai. Lihat saja.” Tapi Lord Moore tidak mengatakan apa-apa. Dari kejauhan, Grisell tak sadar bahwa Henrietta sedang berjalan berlawanan arah dengannya. Wanita itu berjalan sendiri bersama dengan bonnet yang menutupi kepalanya.
            “Miss Parnell, aku harap kau bisa menjaga sikap dengannya,” gumam Lord Moore santai sekaligus tegas. Pria itu menatap mantan kekasihnya yang semakin lama semakin mendekat ke arah mereka.
            “Tentu,” balas Grisell tersenyum, matanya menatap lurus pada Henrietta. Wanita itu memakai gaun berwarna hijau yang tampak… tak begitu cocok dengannya.
            “My Lady Henrietta! Kau tampak begitu berbeda pagi ini,” seru Lord Moore formal. Henrietta mengangguk, ia menunduk memberi hormat lalu tersenyum pada pria itu lalu pada Grisell. “Season akan dimulai tiga hari lagi. Apa kau akan datang malam ini bersama keluargamu?”
            “Ya, tentu saja, My Lord,” ucap Henrietta sedang nada suara yang dibuat-buat ramah. Kemudian tatapan tak bersahabat jatuh pada Grisell yang berusaha untuk tidak membalas tatapan itu dengan tatapan benci. “Selamat pagi, Miss Parnell,”
            “Selamat pagi, Lady Henrietta. Apakah Lord Clopton akan datang saat season?”
            “Tentu, tentu,” jawab Henrietta lembut namun Grisell dapat merasakan nada suara tak bersahabat dari Henrietta yang Lord Moore tak sadar. Kemudian wanita berambut hitam itu menatap Lord Moore, ia memberi senyuman yang menurutnya paling menawan. “Lord Clopton, apakah kau mengundang Lord Myhill?” Pertanyaan Henrietta berhasil membuat rahang Lord Moore menegang. Lord Myhill? Ya, ia mengundangnya. Tapi sudah beberapa tahun ini, sejak Ayahnya meninggal, pria itu selalu menolak undangan acara sosial seperti ini. Mungkinkah Lord Myhill akan datang? Jika memang, bukankah itu berarti Grisell akan bertemu dengan kakak tirinya? Demi Tuhan, bangsawan brengsek seperti Ayah Lord Myhill memang harus digantung. Grisell memandang Lord Moore yang tak kunjung menjawab pertanyaan mantan kekasihnya, hanya tatapan penuh kebingungan pada Henrietta yang ia perlihatkan pada dua wanita itu. Tangannya yang kecil menyentuh lengan Lord Moore, mengelusnya hingga pria itu akhirnya tersadar dari lamunannya.
            “Ya, tentu saja, My Lady. Mari kita berharap ia akan datang tahun ini,”
            “Oh, ia akan datang, My Lord. Kabarnya beberapa bulan terakhir ini ia semakin membaik, kami sering berkoresponden. Ia pria yang sangat menawan, jika kau ingin tahu,” ucap Henrietta pada Grisell di kalimat terakhir. Grisell tahu betul ucapan itu sengaja diucapkan untuk membuat Lord Moore cemburu. Tapi sayangnya, pria itu tampak biasa-biasa saja.
            “Aku yakin ia sangat menawan. Dan aku senang akhirnya kau bisa berkoresponden dengan pria lain. Itu membuatku tidak merasa bersalah lagi padamu,” ucap Lord Moore memberi senyum menyebalkan. “Selamat pagi, Lady Henrietta.” Lord Moore menggandeng siku-siku Grisell, mengajaknya melangkah menjauhi wanita berambut hitam yang sedang cemberut itu. Henrietta merasa sangat direndahkan! Henrietta mendengus, ia berjalan cepat menuju estat Ayahnya.

***

            Para tamu sudah datang lebih dulu, bahkan sebelum season berlangsung. Mereka tidak ingin mendapat kamar yang jelek—meski tidak ada kamar yang jelek di Moore House. Namun sebagaian besar mengharapkan kamar yang besar dan pemandangan yang indah. Grisell tak tahu harus bagaimana selain ia bersembunyi dalam kamarnya karena ia tak berani pergi keluar dan memperkenalkan dirinya sebagai teman dekat Lord Moore. Teman dekat? Grisell ragu akan status yang mereka sandang sekarang. Pria itu sudah melamarnya, tapi Grisell masih menggantung pria itu. Haruskah ia memberitahu jawabannya pada pria itu sekarang? Saat sedang berjalan mondar-mandir di depan cermin panjang, tiba-tiba saja pintu kamar Grisell terketuk. Sebelum menyahut, Grisell memerhatikan penampilannya.
            Gaun panjang ungunya hampir mencapai lantai kayu yang dipoles mengilap itu. Bagian lengannya terpotong hingga siku-siku dan potongan lehernya cukup rendah. Siapa pun yang melihatnya pasti akan terfokus pada belahan dada Grisell yang menyembul. Belahan buah dadanya tidak dibuat-buat seperti wanita-wanita lain yang memakai korset ketat yang berguna menaikkan buah dadanya. Perhiasan yang diberikan Hope mempercantik penampiannya. Sanggul yang dibuat Eunice sepertinya akan memukau banyak tamu malam ini. Setelah menurutnya penampilannya malam ini sempurna, Grisell akhirnya menyahut. Malam ini ia harus makan malam bersama tamu-tamu yang baru datang dan ia… tidak tahu harus berbuat apa selama makan malam itu selain makan.
            Pintu kamarnya terbuka. Sosok Justin muncul di sana, mengenakan setelan serba hitam yang tampak sempurna di tubuh gagah pria itu. Kulitnya yang cokelat keemasan membuat pria itu lebih eksotis. Membuat gerakan cepat, pria itu masuk ke dalam kamarnya lalu menguncinya. Grisell terkesiap lalu terkekeh.
            “Apa yang kau lakukan di kamarku?” Karena belum memerhatikan Grisell baik-baik, pria itu terdiam sejenak. Mata cokelat gelapnya menatap Grisell dari ujung rambut—berhenti sejenak di bagian belahan dada—dan lalu turun hingga ujung kaki. Ia terpukau. Sebelum kehilangan akal sehatnya, akhirnya Justin berbicara.
            “Aku tidak setuju kau memakai gaun itu,” ucap Justin membuat Grisell terkejut, tak percaya.
            “Dengan alasan?”
            “Terlalu rendah potongan dadanya. Aku tidak ingin pria-pria lajang memerhatikanmu dan berpikir mereka akan memilikimu,”
            “Oh, hentikanlah omong kosongmu itu, Moore! Mereka tidak akan memerhatikanku, justru wanita-wanita di luar sana yang akan memerhatikanmu. Nah, jadi kau hanya datang ke sini untuk memberitahu kalau potongan dadanya terlalu rendah?”
            “Tidak, aku ke sini untuk menjemputmu turun ke bawah karena makan malam akan segera dimulai. Kurasa tanduk sudah muncul di kepala Mildred,”
            “Kenapa kau tidak meminta Eunice un—lupakan. Kau sudah ada di sini,” tukas Grisell cepat-cepat. Melihat situasi sekarang, Grisell rasa sekarang waktu yang tepat untuk memberitahu Justin. Pria itu melihat perubahan raut wajah Grisell yang tiba-tiba saja menegang. Mata biru Grisell menatapnya, terlihat keraguan sekaligus keyakinan dalam tatapan itu. Jarak di antara mereka hanya sebatas dua langkah, jika saja Justin maju satu langkah besar, maka mereka akan saling bertabrakan. Bibir bawah itu Grisell bersembunyi di balik gigi-giginya kemudian menyembul kembali begitu giginya melepaskan bibir itu.
            “Ada apa?”
            “Ya,” bisik Grisell membuat Justin bingung. Sebelum Grisell dapat melanjutkan ucapannya, Justin sudah mengambil satu langkah besar. Tangan pria itu meraih lengan Grisell, mencengkeramnya dengan baik-baik lalu membuat jarak wajah mereka begitu dekat. Kedua alis hitam Justin membuat sudut di atas hidungnya.
            “Jangan main-main, Grisell,” ancamnya menegang. Ia tidak akan pernah bermain-main dengan masalah pernikahan. Bagi Justin, pernikahan adalah langkah besar yang akan merubah seluruh hidupnya sampai maut menjemputnya. Ia tidak ingin Grisell hanya bermain-main akan jawabannya kelak. Bibir Grisell bergetar akibat gugup. Wanita itu menelan ludah.
            “Aku tidak main-main, Justin.”
            “Katakan.”
            “Ya,” bisik Grisell memejamkan mata, berusaha meyakinkan diri bahwa ini adalah pilihan yang terbaik untuknya. “Ya, Justin. Aku bersedia menjadi istrimu.” Cengkeraman di tangannya mengendur, lalu tubuh besar Justin melingkupi seluruh tubuh Grisell. Pelukannya begitu hangat tapi tidak menyesakkan. Telapak tangan Justin menangkup tengkuk Grisell, mengangkat kepala itu agar wajah cantiknya tampak. Kemudian bibir mereka menyatu menjadi sebuah ciuman manis.  Ciuman itu bukan hanya berdasarkan gairah, tapi cinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar