Minggu, 29 Maret 2015

Lucky Slut Bab 12


CHAPTER TWELVE

            Suara dentingan ujung gelas bertangkai hampir membuat gendang telinga Grisell pecah. Terlalu ramai, terlalu banyak suara dan terlalu banyak orang asing. Setelah Justin memberitahukan tentang pertunangan mereka, para tamu season tidak dapat menahan rasa gembira mereka. Banyak wanita-wanita muda merasa kecewa karena sang earl sudah tak lajang lagi. Tapi para orangtua yang sudah lama mengenal Lord Moore tidak dapat menghentikan suara pekikan dari mulut mereka. Selama hampir 4 tahun ini, mereka berpikir Lord Moore akan menjadi pria tua yang hanya mengurus adik-adiknya dan menunggu estatnya diberikan pada garis keturunan lain. Tapi lihatlah sekarang. Pria itu berdiri di samping wanita mungil, yang terbalut dalam gaun mewah berwarna kuning cerah yang hampir menutupi seluruh bagian tubuhnya, tunangannya. Yah, para orangtua itu tidak tahu saja alasan mengapa Grisell memakai gaun itu. Setelah dibujuk oleh Lord Moore mengganti gaun ungunya hanya karena pria itu tidak ingin ada pria yang mendekati Grisell, akhirnya Grisell muncul dengan gaun kuning berlengan panjang dan potongan lehernya tinggi. Semua orang berdansa kembali setelah anggur yang mereka minum habis. Beberapa di antara mereka menaruhnya ke atas nampan pelayan yang lewat dan beberapa lagi meminta gelas berikutnya.
            Siapa pun dapat melihat Lord Moore tidak pernah senyum sesering ini. Sejak makan malam, Lord Moore menceritakan bagaimana perkembangan Cheshire akhir-akhir ini dan kunjungannya ke London, namun pandangannya lebih sering terfokus pada tunangannya. Dan demi kucing Hope! Siapa gadis anggun yang merasuki tubuh Grisell? Wanita itu tampak sangat lihai memainkan perannya sebagai seorang Lady. Ia duduk begitu tegak, banyak melakukan kontak mata dengan siapa pun yang mengajaknya bicara, dan ia berhasil melewati jam makan malam tanpa memaki. Lord Moore tidak dapat berhenti memuji wanita itu. Saat orang-orang mulai sibuk dengan urusan mereka masing-masing, beberapa di antara mereka mendatangi Lord Moore dan Grisell untuk memberikan selamat atas pertunangan mereka.
            Satu pasangan suami-istri mendatangi mereka, memberi mereka ucapan selamat yang membuat pipi Grisell memerah. Saat mereka meninggalkan Lord Moore dan Grisell, wanita mungil itu mendongak menatap tunangannya.
            “Apakah malam ini akan segera berakhir?” Suaranya sangat kecil namun Justin dapat mendengarnya. Ia menunduk, menatap wanita rapuh itu. Meski pipinya memerah, dua bola mata Grisell menampakkan kekhawatiran. Justin tidak segera menjawab. Ia melihat ke sekeliling lalu ia menarik Grisell keluar dari ruang dansa ke ruang santai. Pasangan itu melewati kerumunan-kerumunan yang tiap kali mereka lewati, bahu Justin akan ditepuk. Grisell butuh udara. Ia tidak bisa menampung segala ucapan, segala pujian dan terutama, tatapan-tatapan yang diberikan para tamu Justin padanya.
            Entah mengapa, waktu dua menit yang mereka lewati untuk menuju ruang santai terasa seperti berabad-abad bagi Grisell. Akhirnya mereka masuk ke dalam ruangan itu dan Justin menutup pintunya. Tidak, Grisell tidak memakai korset, namun kepalanya begitu pening dan rasanya sebentar lagi ia akan muntah. Melihat keadaan tunangannya berubah secara tiba-tiba, Justin segera membuka beberapa jendela di ruangan itu hingga udara sejuk masuk. Justin merengkuh wanita itu lalu menggiringnya menuju salah satu jendela. Grisell segera menghirup udara dalam-dalam, mata Grisell terpejam dan salah satu tangan Grisell menyentuh perut ratanya.
            “Ya, pelan-pelan saja,” bisik Justin lembut di telinga Grisell. “Apa kau merasa di dalam terlalu sesak?”
            Grisell hanya mengangguk. Kepalanya yang kecil bersandar di dada Justin. Ia tidak pernah bertemu dengan manusia sebanyak itu. Dan bagaimana mereka tersenyum pada Grisell, ia tidak tahu bagaimana harus menanggapinya lebih lama lagi. Apakah itu berarti Grisell memiliki kelainan atau semacamnya? Ataukah karena semua ini masih baru baginya? Pertunangan yang tiba-tiba, banyak kenalan baru, dan banyak wanita muda yang membencinya. Oh Tuhan, bagaimana saat Grisell menjadi Lady Moore nanti? Pastinya ia harus mengingat-ingat kerabat-kerabat Justin atau siapa pun yang berada di Cheshire. Ia harus memperlihatkan mimik wajah tenang dan ramah pada siapa pun agar tidak mempermalukan Lord Moore. Dan ditambah lagi jika ia hamil dan mempunyai banyak anak. Oh, apa yang harus ia katakana pada anak pertamanya nanti jika satu saat ia bertanya bagaimana Grisell dapat menikah dengan Lord Moore? Justin memerhatikan tunangannya. Ia terlalu memikirkannya, pikir Justin yakin.
            “Duduklah,” perintah Justin, tak boleh dibantah. Grisell mendekati sofa di dekat kakinya, kemudian duduk di sana dalam keadaan tubuh lemah. Ia mengamati Grisell dan tidak bisa tidak merasa gelisah ketika pipi yang awalnya memerah itu sekarang menjadi pucat. “Kau ingin minum?”
            Tapi wanita itu kembali menggeleng kepala. “Bisakah kau duduk di sebelahku sebentar saja, kira-kira 5 menit, sebelum aku kembali ke kamar?” Suara Grisell lebih mengarah pada memohon dibanding meminta. Lagi pula, apa yang dapat menghentikan Justin agar tak memenuhi permohonan wanita ini? Pria itu duduk di sebelah Grisell, merengkuhnya dalam satu lengan besar hingga Grisell tampak tenggelam dalam rengkuhannya.
            “Aku tahu ini sulit bagimu untuk menyesuaikan diri dalam lingkungan yang sama sekali baru. Tapi inilah kehidupan yang akan kau jalani,” ucap Justin. Jemarinya mengelus punggung tangan Grisell, kemudian buku-buku jarinya.
            Hening mendominasi ruangan. Angin yang berasal dari jendela terbuka memberikan suasana sejuk yang nyaman bagi Justin. Didengarnya suara gemuruh tawa dari luar ruangan. Bagaimana pun juga, Grisell tidak dirawat oleh keturunan bangsawan, meski darah biru mengalir dalam tubuh wanita ini. Season, para bangsawan, acara sosial lainnya, gosip, dan pelayan-pelayan—yang dulunya derajat Grisell setara dengan para pelayan di Moore House—tidak akan bisa luput dari Grisell. Bagaimana mungkin? Dalam waktu satu bulan, setelah season berakhir, ia akan menikahi Grisell.
            Justin tersenyum sendiri membayangkan bagaimana wanita mungil di sebelahnya mengandung ahli warisnya. Ia membayangkan bagaimana keluarga kecilnya nanti mengadakan piknik kecil di taman. Tidak diragukan lagi, anak-anak mereka pastinya akan berparas rupawan. Dan yang paling menyenangkan dari seluruh bayangannya adalah wanita itu akan menjadi Ibu dari anak-anaknya. Justin menarik nafas dalam-dalam kemudian menggeleng kepala cepat-cepat. Apa-apaan yang sedang ia pikirkan? Grisell menggeliat dalam rengkuhannya.
            “Aku ingin tidur,” ucap Grisell lemah. Ia mendongak agar dapat melihat wajah Justin. Tangan Grisell yang tidak dipegang oleh Justin terangkat, telapak tangannya menyentuh tengkuk Justin hingga pria itu menundukkan kepala. “Denganmu.”

***

            Awalnya, niat Grisell hanya ingin pergi ke dapur untuk mengambil air minum. Tapi perhatiannya teralihkan pada suara ribut di ruang tamu dan rasa penasaran mengalahkan rasa hausnya. Ia sebenarnya sudah berjanji pada Justin agar segera naik ke atas kamarnya setelah minum, dan yah… karena ia belum minum, ia tidak perlu terburu-buru naik ke atas bukan? Seharusnya Grisell tidak boleh dilihat dalam keadaan masih memakai gaun tidur, tapi siapa yang mau repot-repot mengomentarinya subuh-subuh begini? Telapak kakinya merasa lantai yang dipijakinya makin mendingin saat ia membawa dirinya menuju ruang tamu, ke arah suara ribut-ribut itu berasal.
            “Sial,” gumam seorang pria di ruang tamu itu. “Jangan sentuh aku,” perintah pria itu menyiratkan ancaman. Mata Grisell mendapati seorang pria bertubuh tinggi, berambut cokelat madu yang lebat, dan dua alis yang bertautan, sedang melepaskan mantelnya. Pelayan wanita di belakangnya mengambil mantel itu dari tangan si pemilik. Pria itu mendengus, ia merapikan rambutnya—meski masih kelihatan acak-acakan— dan mata biru itu terangkat, ia menatap Grisell, yang dimana wanita itu tampak tidak menyadarinya. Barulah Grisell sadar saat pria itu berdeham padanya.
            Sekujur tubuh Grisell dibanjiri oleh rasa malu setengah mati. Jadi inilah yang dimaksud dengan berkeliaran di rumah menggunakan gaun tidur—terutama saat kau ditatapi oleh orang asing—sangat memalukan. Ia merasa gaun tidurnya tidak cukup tebal untuk menutup pakaian dalamnya. Dan entah mengapa, ia merasa ada sesuatu yang merayap ke seluruh kulit tubuhnya. Rasa takut. Tapi kaki Grisell seolah-olah telah dipaku di lantai itu hingga ia tidak bisa pergi kemana-mana. Tatapan pria itu seperti menelanjanginya sampai-sampai Grisell tak sadar ia telah mengelus lengannya sendiri.
            “Bukankah gadis kecil sepertimu seharusnya sudah tidur dalam buaian Ibumu?” Suara itu kasar dan mengejek, tapi Grisell yakin, jika ia tidak waras, suara itu pasti sangat seksi baginya.
            “Aku bukan gadis kecil,” bantahnya tak terima. Kedua alis Grisell bertautan. “Dan siapa kau tiba-tiba berada di Moore House? Apakah kau memang seharusnya diundang?”
            “Percayalah padaku, Miss, bukan keinginanku berada di sini. Tapi demi memenuhi permintaan salah satu pengagumku, aku datang ke sini agar dapat bertemu dengannya,” ucap pria itu membersihkan rompinya—yang sebenarnya tidak kotor sama sekali. Pria itu menyisiri rambutnya dengan jari-jarinya lagi, tapi hasilnya tetap acak-acakan. Yah, benar sekali, jika Grisell tidak waras, pasti dari tadi ia sudah menerjang pria itu dengan ciuman panas. Saat merasa gadis itu tidak akan pergi dari tempatnya, pria itu akhirnya tersenyum lebar. “Ah ya, benar sekali. Dimana tata kramaku? Aku George, Lord Myhill. Dan apakah aku boleh tahu siapa namamu, Miss?”
            Grisell berusaha mencerna ucapan dan pertanyaan pria itu. Entah mengapa, ia merasa pria itu menggunakan bahasa Ibrani hingga Grisell sulit mengerti apa yang pria itu katakan. Siapa? Lord Myhill? Jantungnya berdetak kencang. Bukankah Justin pernah menyebutkan kalau ia memiliki kakak tiri dari pihak Ayah kandungnya? Sialan. Lidahnya kelu, ia tidak yakin ia dapat berbicara dengan artikulasi yang jelas.
            “Grisell. Grisell Parnell,” bisiknya, bersyukur karena ia masih waras. Ia tentu tidak ingin jatuh hati pada pria yang tidak lain dan tidak bukan adalah kakak tirinya. Tatapan pria itu terangkat ke atas kepala Grisell. Punggung belakang Grisell merasakan kehangatan baru, kemudian cengkeraman tangan di lengan kanannya membuatnya terpekik pelan. Dua detik kemudian, Grisell sudah dilindungi Justin dalam pelukannya. “Aku bilang aku akan kembali,” bisik Grisell jengkel.
            “Setelah kau sudah mengambil minummu,” ucap Justin tidak menatapnya.
            “Tapi aku belum sama sekali minum!” Seru Grisell berbisik gemas pada Justin. Namun pria itu tidak meresponnya. Tatapan Justin jatuh pada kakak tirinya. Mata biru dan rambut cokelat madu. Sungguh, mereka berdua memiliki kemiripan yang sangat kelihatan. Besok orang-orang pasti akan berteriak girang karena gosip baru akan tersebar sebentar lagi.
            “Lord Myhill,” sapa Justin dingin. “Kedatangan yang sangat ditunggu-tunggu,” lanjut pria itu penuh omong kosong. Justin tidak sama sekali menunggu kedatangan pria bajingan ini. Meski ia tidak menyukai Lord Myhill, ia harus akui pria itu sedang berada dalam keadaan yang bagus. Tidak seperti kabar yang ia dengar tentang Lord Myhill yang melempar dirinya pada minum-minuman keras, judi dan pelacur, justru pria itu kelihatan lebih baik dari pertemuan terakhirnya dengan Lord Myhill.
            “Lord Moore, teman lamaku,” balas Lord Myhill dengan kegirangan yang dibuat-buat. “Kau tahu, perjalanan menuju rumahmu ini sangat membutuhkan banyak tenaga. Jika kau tidak keberatan, My Lord, bisakah aku mendapat istirahat cukup sebelum season benar-benar dimulai?”
            “Tentu saja kau bisa. Tapi sebelum itu, aku ingin bertanya,” ucap Justin mencengkeram lengan Grisell lebih erat. Kepala kecil itu mendongak, menatap Justin yang tidak sama sekali menunduk. Rahang pria itu menegang. Apakah Justin marah pada kakak tirinya karena telah berani berkoresponden dengan Henrietta? Apakah Justin masih memiliki perasaan pada Henrietta? Cepat-cepat Grisell menyingkirkan pemikiran bodoh itu.
            “Siapa yang bisa melarangmu, My Lord?”
            “Mulutmu sangat manis, Lord Myhill,” komentar Justin mencemooh. Suasana semakin menegang. Mereka berdua saling bertatapan. “Apakah besok kita bisa bertemu di ruang duduk setelah makan siang?”
            “Makan siang ya?” Lord Myhill berlagak sedang berpikir, padahal sungguh, pria itu hanya sedang menguji kesabaran Justin. “Akan kupastikan aku berada di ruang duduk setelah makan siang. Asalkan, gadis kecil itu tidak ikut. Aku baru melihatnya. Kau mengadopsinya?” Lord Myhill ternyata memiliki keberanian menyulut api amarah Justin. Sebelum Justin menerjang pria itu, tangan Grisell segera menahan dada Justin.
            “Lebih baik kita meninggalkannya,” ucap Grisell bijaksana.
            “Lain kali kau menghinanya, George, sumpah mati kau tidak akan melihat matahari terbit,” ancam Justin menatapnya dengan tatapan mematikan. Tapi pria itu justru senang. Senyumnya melebar.
            “Aku menunggu.”

***

            Grisell menelan ludahnya. Ia tidak pernah melihat Lord Moore semarah ini. Pria itu sedari tadi menutup mulutnya sejak percakapan mereka dengan Lord Myhill. Grisell tidak tahu bahwa seorang bangsawan akan sesopan itu. Begitu banyak pertanyaan yang berjatuhan di otak Grisell. Apakah kakak tirinya tahu bahwa wanita yang diejeknya tadi adalah adik tirinya? Apakah Lord Myhill tahu kalau Ayahnya ternyata menghamili salah satu simpanannya? Apakah Lord Myhill selama ini tahu bahwa ia ternyata memiliki adik tiri? Atau apakah Lord Myhill sadar akan kemiripan diantara mereka? Ataukah Lord Myhill adalah anak dari Ibunya juga? Selama ini Grisell merasa ia hanya memiliki Bibi Millicent, tapi sekarang, setelah ia tahu bahwa ia memiliki satu kerabat keluarga yang ternyata adalah seorang bangsawan, ia merasa gelisah. Grisell tidak tahu. Ia tidak ingin tahu. Rasa penasarannya membuat ia takut, jika saja Lord Myhill akan menghina Lord Moore habis-habisan karena akan menikahi anak haram.
            Lord Moore mencuci wajahnya di bak air selama beberapa saat, kemudian ia mengambil handuk bersih yang terlipat di sebelah bak, ia mengelap wajahnya. Seharusnya ia tidur sekarang bersama Grisell. Namun ia terlalu marah. Ia marah pada dirinya sendiri karena tidak berhasil membuat Grisell tenang. Ia marah karena Lord Myhill memilih datang ke acara sosial ini, meski ia tahu itu adalah alasan bodoh untuk marah. Hanya saja, selama ini pria itu tidak pernah datang ke acara sosial sejak kematian Ayahnya. Dari seluruh undangan acara sosial yang diterima Lord Myhill, mengapa ia memilih yang satu ini? Ia menghela nafasnya, menatap cermin persegi berbingkai di hadapannya. Ia memerhatikan Grisell yang sedang duduk di sisi tempat tidur, termenung menatap satu titik. Pria itu membalikkan tubuh kemudian membuka bajunya sehingga kulitnya yang berwarna keemasan terpampang jelas.
            “Bagaimana perasaanmu?” Tanya Lord Moore.
            “Gelisah,” bisik wanita itu mendongak. “Bisakah kau mengepang rambutku?” Tanya Grisell membuat Lord Moore tersentak. Ia teringat akan Ibunya yang dulu sering meminta Lord Moore untuk mengepang rambut panjangnya. Tapi itu saat ia masih kecil. Grisell memunggungi Lord Moore saat pria itu mendatanginya, duduk di belakangnya. Tangan Lord Moore mengambil seluruh rambut Grisell ke belakang kemudian ia dengan terampil membagi rambut Grisell menjadi tiga. Mata Grisell terpejam akibat sentuhan tangan pria itu. Sesekali buku jari Lord Moore menyentuh tengkuknya, nafas pria itu menerpa lehernya.
            “Apa hal yang sering membuatmu takut, little one?”
            “Laba-laba yang masuk ke telingaku saat tidur,” jawab Grisell polos, dan ia memang jujur. “Atau ular yang masuk ke dalam rokku,”
            “Aku pastikan tidak akan ada binatang apa pun yang masuk ke dalam telinga atau rokmu,” ucap Lord Moore menatap kulit tengkuk Grisell. Ia menelan ludah dan memalingkan tatapannya pada benda lain agar tak kehilangan akal sehat. “Dan yang paling sering membuatmu takut?”
            Grisell terdiam selama beberapa saat. Ia tahu jawabannya, tapi ia ragu memberitahu Lord Moore. Tarikan di rambutnya membuat Grisell terpekik pelan, ia tertawa. Kemudian terdiam kembali dalam satu kedipan mata. Wanita itu menghela nafas panjang. “Kau meninggalkanku. Itu yang sangat membuatku takut,” bisik Grisell. Gerakan tangan Justin di rambutnya berhenti begitu saja. Pria itu belum selesai mengepang rambutnya, namun pria itu memutar tubuh Grisell hingga wanita itu berhadapan dengannya. Tatapan lembut pria itu meluluhkannya. Bibir tipis Lord Moore melengkung membentuk sebuah senyum kecil.
            “Aku tidak akan meninggalkanmu,” bisik Lord Moore meyakinkan. “Mengapa kau selalu berpikir aku akan meninggalkanmu? Apa kau tidak percaya padaku?” Tangan Lord Moore terangkat menyentuh kulit tulang belikatnya. Ibu jarinya mengelus-elus lembut ceruk bagian dalam segitiga itu hingga mata Grisell terpejam. Ia ingin menangis. Mengapa di saat-saat seperti ini Grisell harus mempermalukan dirinya di hadapan Lord Moore? Kemana dirinya yang dulu? Ataukah selama ini Grisell hanya berpura-pura bahwa dirinya seorang yang kuat? Elusan di pipinya membuat Grisell mengerjap-kerjapkan mata. Sial. Air matanya sudah menetes tanpa ia sadar.
            Dalam gerakan cepat dan persuasif, Grisell sudah berada dalam naungan Lord Moore. Pria itu menimangnya seperti ia seorang anak bayi dalam gendongan Ibunya. Satu lengannya menyangga leher Grisell dan tangan yang lain menahan pinggangnya. Grisell tertawa kecil atas perlakuan itu hingga mau tak mau, Lord Moore ikut tersenyum. Mata cokelat Lord Moore memerhatikan baik-baik bagaimana wanita itu tertawa kecil, dan dua bola mata Grisell tampak begitu besar bagi kepala sekecil Grisell. Tapi itu membuat Grisell tampak seperti ini anak kecil tak berdosa. Dan Tuhan tahu seberapa besar keinginan Lord Moore berada dalam tubuh Grisell. Tapi sekarang bukanlah waktu yang tepat. Tangannya yang memegang pinggang Grisell terangkat, mengelus pipinya. Jakun Lord Moore naik-turun menelan ludah saat ia sadar betapa susahnya ia menahan gairah yang terpendam.
            “Aku ingin… ingin sekali bercinta denganmu,” bisik Lord Moore menelan ludahnya lagi. “Tapi aku ingin kau siap. Dan kau belum sepenuhnya siap,” lanjut Lord Moore hingga kening Grisell mengerut.
            “Siap untuk apa?”
            “Dicintai olehku,” ucap Lord Moore tenang. Mulut Grisell entah mengapa tidak dapat mengucapkan satu patah kata pun. Ia tidak tahu apakah Lord Moore benar atau salah, tapi yang jelas, ia berada di antara keduanya. Di satu sisi ia siap menerima Lord Moore sebagai orang yang mencintainya, tapi di satu sisi, ia tidak bisa. Ia tidak siap menerima rasa cinta Lord Moore kalau saja pria itu tiba-tiba pria itu pergi meninggalkannya. Seluruh tubuh Grisell seolah-olah diselimuti oleh masa lalu yang kelam dan ia belum siap menerima siapa pun untuk mengangkatnya pergi dari masa lalunya.

***

            Justin mengamati Lord Myhill dari jarak jauh saat pria itu sedang berinteraksi dengan Henrietta. Ah, mantan kekasihnya yang tidak kelihatan ketika Justin memberitakan pertunangannya dengan Grisell. Ia memang pernah mencintainya—entah mengapa kata itu tidak cocok untuk menggambarkan perasaannya untuk Henrietta—dan berharap setelah Justin memutuskannya, Henrietta akan menjadi orang yang lebih baik. Tapi lihatlah wanita itu tidak seperti wanita yang pernah Justin kenal. Henrietta sesekali menyentuh lengan Lord Myhill dan terus tertawa. Setelah melewati sarapan pagi yang membosankan, Justin memutuskan bertemu dengan Lord Myhill lebih awal. Namun yang ia dapati, pria itu sudah bercengkerama dengan mantan kekasihnya.
            Ah, tapi bukankah hubungan mereka sudah berakhir? Justin membalikkan tubuhnya menuju ruang kerjanya untuk melihat pekerjaannya yang masih belum terselesaikannya. Usahanya di Bristol masih berjalan baik, meski ia yakin ia harus pergi ke Bristol setelah season berakhir. Ketika hampir sampai di depan pintu ruang kerjanya, ia mendengar suara tawa yang tidak asing lagi. Grisell. Mengapa pagi-pagi seperti ini wanita itu sudah bangun? Justin sengaja membiarkan Grisell tetap terlelap di kamarnya karena wanita itu terus merengek agar segera ditinggalkan sendirian dan hampir menendangnya. Sial. Di sela-sela tawa Grisell, Justin mendengar suara pria.
            Suara berisik itu berasal dari ruang tamunya. Kaki Justin berjalan dengan anggun dan penuh martabat menuju ruang tamu. “Maukah kau menemaniku berkeliling taman Moore House?” Justin mendengar pertanyaan itu meluncur dari mulut pria itu. Sial, sial, sial.
            “Well, aku harus…” suara Grisell kedengaran ragu. Saat tubuh Justin muncul dari balik tembok ruang tamu, suara Cornelius mengganggunya.
            “My Lord,” panggil pria itu.
            “Apa?!” Bentak Justin terdengar gemas. Lalu dengan segera ia meminta maaf. Ia tidak pernah marah semudah ini. “Apa? Ada apa, Cornelius?”
            “Ada seseorang yang ingin bertemu dengan Anda sejak kemarin malam. Tapi karena kupikir Anda sudah terlelap, saya meminta untuk menemui Anda hari ini. Dan sepertinya ia memilih bertemu dengan Anda di istal,”
            “Siapa?”
            “Dia mengaku kalau dia adalah Bibi dari Miss Parnell.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar