CHAPTER TWELVE
Suara dentingan ujung gelas
bertangkai hampir membuat gendang telinga Grisell pecah. Terlalu ramai, terlalu
banyak suara dan terlalu banyak orang asing. Setelah Justin memberitahukan
tentang pertunangan mereka, para tamu season
tidak dapat menahan rasa gembira mereka. Banyak wanita-wanita muda merasa
kecewa karena sang earl sudah tak
lajang lagi. Tapi para orangtua yang sudah lama mengenal Lord Moore tidak dapat
menghentikan suara pekikan dari mulut mereka. Selama hampir 4 tahun ini, mereka
berpikir Lord Moore akan menjadi pria tua yang hanya mengurus adik-adiknya dan
menunggu estatnya diberikan pada garis keturunan lain. Tapi lihatlah sekarang.
Pria itu berdiri di samping wanita mungil, yang terbalut dalam gaun mewah
berwarna kuning cerah yang hampir menutupi seluruh bagian tubuhnya, tunangannya.
Yah, para orangtua itu tidak tahu saja alasan mengapa Grisell memakai gaun itu.
Setelah dibujuk oleh Lord Moore mengganti gaun ungunya hanya karena pria itu
tidak ingin ada pria yang mendekati Grisell, akhirnya Grisell muncul dengan
gaun kuning berlengan panjang dan potongan lehernya tinggi. Semua orang
berdansa kembali setelah anggur yang mereka minum habis. Beberapa di antara
mereka menaruhnya ke atas nampan pelayan yang lewat dan beberapa lagi meminta
gelas berikutnya.
Siapa pun dapat melihat Lord Moore
tidak pernah senyum sesering ini. Sejak makan malam, Lord Moore menceritakan
bagaimana perkembangan Cheshire akhir-akhir ini dan kunjungannya ke London,
namun pandangannya lebih sering terfokus pada tunangannya. Dan demi kucing
Hope! Siapa gadis anggun yang merasuki tubuh Grisell? Wanita itu tampak sangat
lihai memainkan perannya sebagai seorang Lady. Ia duduk begitu tegak, banyak
melakukan kontak mata dengan siapa pun yang mengajaknya bicara, dan ia berhasil
melewati jam makan malam tanpa memaki. Lord Moore tidak dapat berhenti memuji
wanita itu. Saat orang-orang mulai sibuk dengan urusan mereka masing-masing,
beberapa di antara mereka mendatangi Lord Moore dan Grisell untuk memberikan
selamat atas pertunangan mereka.
Satu pasangan suami-istri mendatangi
mereka, memberi mereka ucapan selamat yang membuat pipi Grisell memerah. Saat
mereka meninggalkan Lord Moore dan Grisell, wanita mungil itu mendongak menatap
tunangannya.
“Apakah malam ini akan segera
berakhir?” Suaranya sangat kecil namun Justin dapat mendengarnya. Ia menunduk,
menatap wanita rapuh itu. Meski pipinya memerah, dua bola mata Grisell
menampakkan kekhawatiran. Justin tidak segera menjawab. Ia melihat ke
sekeliling lalu ia menarik Grisell keluar dari ruang dansa ke ruang santai.
Pasangan itu melewati kerumunan-kerumunan yang tiap kali mereka lewati, bahu
Justin akan ditepuk. Grisell butuh udara. Ia tidak bisa menampung segala
ucapan, segala pujian dan terutama, tatapan-tatapan yang diberikan para tamu
Justin padanya.
Entah mengapa, waktu dua menit yang
mereka lewati untuk menuju ruang santai terasa seperti berabad-abad bagi
Grisell. Akhirnya mereka masuk ke dalam ruangan itu dan Justin menutup
pintunya. Tidak, Grisell tidak memakai korset, namun kepalanya begitu pening
dan rasanya sebentar lagi ia akan muntah. Melihat keadaan tunangannya berubah
secara tiba-tiba, Justin segera membuka beberapa jendela di ruangan itu hingga
udara sejuk masuk. Justin merengkuh wanita itu lalu menggiringnya menuju salah
satu jendela. Grisell segera menghirup udara dalam-dalam, mata Grisell terpejam
dan salah satu tangan Grisell menyentuh perut ratanya.
“Ya, pelan-pelan saja,” bisik Justin
lembut di telinga Grisell. “Apa kau merasa di dalam terlalu sesak?”
Grisell hanya mengangguk. Kepalanya
yang kecil bersandar di dada Justin. Ia tidak pernah bertemu dengan manusia
sebanyak itu. Dan bagaimana mereka tersenyum pada Grisell, ia tidak tahu
bagaimana harus menanggapinya lebih lama lagi. Apakah itu berarti Grisell
memiliki kelainan atau semacamnya? Ataukah karena semua ini masih baru baginya?
Pertunangan yang tiba-tiba, banyak kenalan baru, dan banyak wanita muda yang
membencinya. Oh Tuhan, bagaimana saat Grisell menjadi Lady Moore nanti?
Pastinya ia harus mengingat-ingat kerabat-kerabat Justin atau siapa pun yang
berada di Cheshire. Ia harus memperlihatkan mimik wajah tenang dan ramah pada
siapa pun agar tidak mempermalukan Lord Moore. Dan ditambah lagi jika ia hamil
dan mempunyai banyak anak. Oh, apa yang harus ia katakana pada anak pertamanya
nanti jika satu saat ia bertanya bagaimana Grisell dapat menikah dengan Lord
Moore? Justin memerhatikan tunangannya. Ia
terlalu memikirkannya, pikir Justin yakin.
“Duduklah,” perintah Justin, tak
boleh dibantah. Grisell mendekati sofa di dekat kakinya, kemudian duduk di sana
dalam keadaan tubuh lemah. Ia mengamati Grisell dan tidak bisa tidak merasa
gelisah ketika pipi yang awalnya memerah itu sekarang menjadi pucat. “Kau ingin
minum?”
Tapi wanita itu kembali menggeleng
kepala. “Bisakah kau duduk di sebelahku sebentar saja, kira-kira 5 menit,
sebelum aku kembali ke kamar?” Suara Grisell lebih mengarah pada memohon
dibanding meminta. Lagi pula, apa yang dapat menghentikan Justin agar tak
memenuhi permohonan wanita ini? Pria itu duduk di sebelah Grisell, merengkuhnya
dalam satu lengan besar hingga Grisell tampak tenggelam dalam rengkuhannya.
“Aku tahu ini sulit bagimu untuk
menyesuaikan diri dalam lingkungan yang sama sekali baru. Tapi inilah kehidupan
yang akan kau jalani,” ucap Justin. Jemarinya mengelus punggung tangan Grisell,
kemudian buku-buku jarinya.
Hening mendominasi ruangan. Angin
yang berasal dari jendela terbuka memberikan suasana sejuk yang nyaman bagi
Justin. Didengarnya suara gemuruh tawa dari luar ruangan. Bagaimana pun juga,
Grisell tidak dirawat oleh keturunan bangsawan, meski darah biru mengalir dalam
tubuh wanita ini. Season, para
bangsawan, acara sosial lainnya, gosip, dan pelayan-pelayan—yang dulunya
derajat Grisell setara dengan para pelayan di Moore House—tidak akan bisa luput
dari Grisell. Bagaimana mungkin? Dalam waktu satu bulan, setelah season berakhir, ia akan menikahi
Grisell.
Justin tersenyum sendiri
membayangkan bagaimana wanita mungil di sebelahnya mengandung ahli warisnya. Ia
membayangkan bagaimana keluarga kecilnya nanti mengadakan piknik kecil di
taman. Tidak diragukan lagi, anak-anak mereka pastinya akan berparas rupawan.
Dan yang paling menyenangkan dari seluruh bayangannya adalah wanita itu akan
menjadi Ibu dari anak-anaknya. Justin menarik nafas dalam-dalam kemudian
menggeleng kepala cepat-cepat. Apa-apaan yang sedang ia pikirkan? Grisell
menggeliat dalam rengkuhannya.
“Aku ingin tidur,” ucap Grisell
lemah. Ia mendongak agar dapat melihat wajah Justin. Tangan Grisell yang tidak
dipegang oleh Justin terangkat, telapak tangannya menyentuh tengkuk Justin
hingga pria itu menundukkan kepala. “Denganmu.”
***
Awalnya, niat Grisell hanya ingin
pergi ke dapur untuk mengambil air minum. Tapi perhatiannya teralihkan pada
suara ribut di ruang tamu dan rasa penasaran mengalahkan rasa hausnya. Ia
sebenarnya sudah berjanji pada Justin agar segera naik ke atas kamarnya setelah
minum, dan yah… karena ia belum minum, ia tidak perlu terburu-buru naik ke atas
bukan? Seharusnya Grisell tidak boleh dilihat dalam keadaan masih memakai gaun
tidur, tapi siapa yang mau repot-repot mengomentarinya subuh-subuh begini?
Telapak kakinya merasa lantai yang dipijakinya makin mendingin saat ia membawa
dirinya menuju ruang tamu, ke arah suara ribut-ribut itu berasal.
“Sial,” gumam seorang pria di ruang
tamu itu. “Jangan sentuh aku,” perintah pria itu menyiratkan ancaman. Mata
Grisell mendapati seorang pria bertubuh tinggi, berambut cokelat madu yang
lebat, dan dua alis yang bertautan, sedang melepaskan mantelnya. Pelayan wanita
di belakangnya mengambil mantel itu dari tangan si pemilik. Pria itu mendengus,
ia merapikan rambutnya—meski masih kelihatan acak-acakan— dan mata biru itu
terangkat, ia menatap Grisell, yang dimana wanita itu tampak tidak
menyadarinya. Barulah Grisell sadar saat pria itu berdeham padanya.
Sekujur tubuh Grisell dibanjiri oleh
rasa malu setengah mati. Jadi inilah yang dimaksud dengan berkeliaran di rumah
menggunakan gaun tidur—terutama saat kau ditatapi oleh orang asing—sangat
memalukan. Ia merasa gaun tidurnya tidak cukup tebal untuk menutup pakaian
dalamnya. Dan entah mengapa, ia merasa ada sesuatu yang merayap ke seluruh
kulit tubuhnya. Rasa takut. Tapi kaki Grisell seolah-olah telah dipaku di
lantai itu hingga ia tidak bisa pergi kemana-mana. Tatapan pria itu seperti
menelanjanginya sampai-sampai Grisell tak sadar ia telah mengelus lengannya
sendiri.
“Bukankah gadis kecil sepertimu
seharusnya sudah tidur dalam buaian Ibumu?” Suara itu kasar dan mengejek, tapi
Grisell yakin, jika ia tidak waras, suara itu pasti sangat seksi baginya.
“Aku bukan gadis kecil,” bantahnya
tak terima. Kedua alis Grisell bertautan. “Dan siapa kau tiba-tiba berada di
Moore House? Apakah kau memang seharusnya diundang?”
“Percayalah padaku, Miss, bukan
keinginanku berada di sini. Tapi demi memenuhi permintaan salah satu
pengagumku, aku datang ke sini agar dapat bertemu dengannya,” ucap pria itu
membersihkan rompinya—yang sebenarnya tidak kotor sama sekali. Pria itu
menyisiri rambutnya dengan jari-jarinya lagi, tapi hasilnya tetap acak-acakan.
Yah, benar sekali, jika Grisell tidak waras, pasti dari tadi ia sudah menerjang
pria itu dengan ciuman panas. Saat merasa gadis itu tidak akan pergi dari
tempatnya, pria itu akhirnya tersenyum lebar. “Ah ya, benar sekali. Dimana tata
kramaku? Aku George, Lord Myhill. Dan apakah aku boleh tahu siapa namamu,
Miss?”
Grisell berusaha mencerna ucapan dan
pertanyaan pria itu. Entah mengapa, ia merasa pria itu menggunakan bahasa
Ibrani hingga Grisell sulit mengerti apa yang pria itu katakan. Siapa? Lord
Myhill? Jantungnya berdetak kencang. Bukankah Justin pernah menyebutkan kalau
ia memiliki kakak tiri dari pihak Ayah kandungnya? Sialan. Lidahnya kelu, ia
tidak yakin ia dapat berbicara dengan artikulasi yang jelas.
“Grisell. Grisell Parnell,”
bisiknya, bersyukur karena ia masih waras. Ia tentu tidak ingin jatuh hati pada
pria yang tidak lain dan tidak bukan adalah kakak tirinya. Tatapan pria itu
terangkat ke atas kepala Grisell. Punggung belakang Grisell merasakan
kehangatan baru, kemudian cengkeraman tangan di lengan kanannya membuatnya
terpekik pelan. Dua detik kemudian, Grisell sudah dilindungi Justin dalam
pelukannya. “Aku bilang aku akan kembali,” bisik Grisell jengkel.
“Setelah kau sudah mengambil
minummu,” ucap Justin tidak menatapnya.
“Tapi aku belum sama sekali minum!”
Seru Grisell berbisik gemas pada Justin. Namun pria itu tidak meresponnya.
Tatapan Justin jatuh pada kakak tirinya. Mata
biru dan rambut cokelat madu. Sungguh, mereka berdua memiliki kemiripan
yang sangat kelihatan. Besok orang-orang pasti akan berteriak girang karena
gosip baru akan tersebar sebentar lagi.
“Lord Myhill,” sapa Justin dingin.
“Kedatangan yang sangat ditunggu-tunggu,” lanjut pria itu penuh omong kosong.
Justin tidak sama sekali menunggu kedatangan pria bajingan ini. Meski ia tidak
menyukai Lord Myhill, ia harus akui pria itu sedang berada dalam keadaan yang
bagus. Tidak seperti kabar yang ia dengar tentang Lord Myhill yang melempar
dirinya pada minum-minuman keras, judi dan pelacur, justru pria itu kelihatan
lebih baik dari pertemuan terakhirnya dengan Lord Myhill.
“Lord Moore, teman lamaku,” balas
Lord Myhill dengan kegirangan yang dibuat-buat. “Kau tahu, perjalanan menuju
rumahmu ini sangat membutuhkan banyak tenaga. Jika kau tidak keberatan, My
Lord, bisakah aku mendapat istirahat cukup sebelum season benar-benar dimulai?”
“Tentu saja kau bisa. Tapi sebelum
itu, aku ingin bertanya,” ucap Justin mencengkeram lengan Grisell lebih erat.
Kepala kecil itu mendongak, menatap Justin yang tidak sama sekali menunduk.
Rahang pria itu menegang. Apakah Justin marah pada kakak tirinya karena telah
berani berkoresponden dengan Henrietta? Apakah Justin masih memiliki perasaan
pada Henrietta? Cepat-cepat Grisell menyingkirkan pemikiran bodoh itu.
“Siapa yang bisa melarangmu, My
Lord?”
“Mulutmu sangat manis, Lord Myhill,”
komentar Justin mencemooh. Suasana semakin menegang. Mereka berdua saling
bertatapan. “Apakah besok kita bisa bertemu di ruang duduk setelah makan
siang?”
“Makan siang ya?” Lord Myhill
berlagak sedang berpikir, padahal sungguh, pria itu hanya sedang menguji
kesabaran Justin. “Akan kupastikan aku berada di ruang duduk setelah makan
siang. Asalkan, gadis kecil itu tidak ikut. Aku baru melihatnya. Kau
mengadopsinya?” Lord Myhill ternyata memiliki keberanian menyulut api amarah
Justin. Sebelum Justin menerjang pria itu, tangan Grisell segera menahan dada
Justin.
“Lebih baik kita meninggalkannya,”
ucap Grisell bijaksana.
“Lain kali kau menghinanya, George,
sumpah mati kau tidak akan melihat matahari terbit,” ancam Justin menatapnya
dengan tatapan mematikan. Tapi pria itu justru senang. Senyumnya melebar.
“Aku menunggu.”
***
Grisell menelan ludahnya. Ia tidak
pernah melihat Lord Moore semarah ini. Pria itu sedari tadi menutup mulutnya
sejak percakapan mereka dengan Lord Myhill. Grisell tidak tahu bahwa seorang
bangsawan akan sesopan itu. Begitu
banyak pertanyaan yang berjatuhan di otak Grisell. Apakah kakak tirinya tahu
bahwa wanita yang diejeknya tadi adalah adik tirinya? Apakah Lord Myhill tahu
kalau Ayahnya ternyata menghamili salah satu simpanannya? Apakah Lord Myhill
selama ini tahu bahwa ia ternyata memiliki adik tiri? Atau apakah Lord Myhill
sadar akan kemiripan diantara mereka? Ataukah Lord Myhill adalah anak dari
Ibunya juga? Selama ini Grisell merasa ia hanya memiliki Bibi Millicent, tapi
sekarang, setelah ia tahu bahwa ia memiliki satu kerabat keluarga yang ternyata
adalah seorang bangsawan, ia merasa gelisah. Grisell tidak tahu. Ia tidak ingin
tahu. Rasa penasarannya membuat ia takut, jika saja Lord Myhill akan menghina
Lord Moore habis-habisan karena akan menikahi anak haram.
Lord Moore mencuci wajahnya di bak
air selama beberapa saat, kemudian ia mengambil handuk bersih yang terlipat di
sebelah bak, ia mengelap wajahnya. Seharusnya ia tidur sekarang bersama
Grisell. Namun ia terlalu marah. Ia marah pada dirinya sendiri karena tidak
berhasil membuat Grisell tenang. Ia marah karena Lord Myhill memilih datang ke
acara sosial ini, meski ia tahu itu adalah alasan bodoh untuk marah. Hanya
saja, selama ini pria itu tidak pernah datang ke acara sosial sejak kematian
Ayahnya. Dari seluruh undangan acara sosial yang diterima Lord Myhill, mengapa
ia memilih yang satu ini? Ia menghela nafasnya, menatap cermin persegi
berbingkai di hadapannya. Ia memerhatikan Grisell yang sedang duduk di sisi
tempat tidur, termenung menatap satu titik. Pria itu membalikkan tubuh kemudian
membuka bajunya sehingga kulitnya yang berwarna keemasan terpampang jelas.
“Bagaimana perasaanmu?” Tanya Lord
Moore.
“Gelisah,” bisik wanita itu
mendongak. “Bisakah kau mengepang rambutku?” Tanya Grisell membuat Lord Moore
tersentak. Ia teringat akan Ibunya yang dulu sering meminta Lord Moore untuk
mengepang rambut panjangnya. Tapi itu saat ia masih kecil. Grisell memunggungi
Lord Moore saat pria itu mendatanginya, duduk di belakangnya. Tangan Lord Moore
mengambil seluruh rambut Grisell ke belakang kemudian ia dengan terampil
membagi rambut Grisell menjadi tiga. Mata Grisell terpejam akibat sentuhan
tangan pria itu. Sesekali buku jari Lord Moore menyentuh tengkuknya, nafas pria
itu menerpa lehernya.
“Apa hal yang sering membuatmu
takut, little one?”
“Laba-laba yang masuk ke telingaku
saat tidur,” jawab Grisell polos, dan ia memang jujur. “Atau ular yang masuk ke
dalam rokku,”
“Aku pastikan tidak akan ada
binatang apa pun yang masuk ke dalam telinga atau rokmu,” ucap Lord Moore
menatap kulit tengkuk Grisell. Ia menelan ludah dan memalingkan tatapannya pada
benda lain agar tak kehilangan akal sehat. “Dan yang paling sering membuatmu
takut?”
Grisell terdiam selama beberapa
saat. Ia tahu jawabannya, tapi ia ragu memberitahu Lord Moore. Tarikan di
rambutnya membuat Grisell terpekik pelan, ia tertawa. Kemudian terdiam kembali
dalam satu kedipan mata. Wanita itu menghela nafas panjang. “Kau meninggalkanku.
Itu yang sangat membuatku takut,” bisik Grisell. Gerakan tangan Justin di
rambutnya berhenti begitu saja. Pria itu belum selesai mengepang rambutnya,
namun pria itu memutar tubuh Grisell hingga wanita itu berhadapan dengannya.
Tatapan lembut pria itu meluluhkannya. Bibir tipis Lord Moore melengkung
membentuk sebuah senyum kecil.
“Aku tidak akan meninggalkanmu,”
bisik Lord Moore meyakinkan. “Mengapa kau selalu berpikir aku akan
meninggalkanmu? Apa kau tidak percaya padaku?” Tangan Lord Moore terangkat
menyentuh kulit tulang belikatnya. Ibu jarinya mengelus-elus lembut ceruk
bagian dalam segitiga itu hingga mata Grisell terpejam. Ia ingin menangis.
Mengapa di saat-saat seperti ini Grisell harus mempermalukan dirinya di hadapan
Lord Moore? Kemana dirinya yang dulu? Ataukah selama ini Grisell hanya
berpura-pura bahwa dirinya seorang yang kuat? Elusan di pipinya membuat Grisell
mengerjap-kerjapkan mata. Sial. Air
matanya sudah menetes tanpa ia sadar.
Dalam gerakan cepat dan persuasif,
Grisell sudah berada dalam naungan Lord Moore. Pria itu menimangnya seperti ia
seorang anak bayi dalam gendongan Ibunya. Satu lengannya menyangga leher
Grisell dan tangan yang lain menahan pinggangnya. Grisell tertawa kecil atas
perlakuan itu hingga mau tak mau, Lord Moore ikut tersenyum. Mata cokelat Lord
Moore memerhatikan baik-baik bagaimana wanita itu tertawa kecil, dan dua bola
mata Grisell tampak begitu besar bagi kepala sekecil Grisell. Tapi itu membuat
Grisell tampak seperti ini anak kecil tak berdosa. Dan Tuhan tahu seberapa
besar keinginan Lord Moore berada dalam tubuh Grisell. Tapi sekarang bukanlah
waktu yang tepat. Tangannya yang memegang pinggang Grisell terangkat, mengelus
pipinya. Jakun Lord Moore naik-turun menelan ludah saat ia sadar betapa
susahnya ia menahan gairah yang terpendam.
“Aku ingin… ingin sekali bercinta
denganmu,” bisik Lord Moore menelan ludahnya lagi. “Tapi aku ingin kau siap.
Dan kau belum sepenuhnya siap,” lanjut Lord Moore hingga kening Grisell
mengerut.
“Siap untuk apa?”
“Dicintai olehku,” ucap Lord Moore
tenang. Mulut Grisell entah mengapa tidak dapat mengucapkan satu patah kata
pun. Ia tidak tahu apakah Lord Moore benar atau salah, tapi yang jelas, ia
berada di antara keduanya. Di satu sisi ia siap menerima Lord Moore sebagai orang
yang mencintainya, tapi di satu sisi, ia tidak bisa. Ia tidak siap menerima
rasa cinta Lord Moore kalau saja pria itu tiba-tiba pria itu pergi
meninggalkannya. Seluruh tubuh Grisell seolah-olah diselimuti oleh masa lalu
yang kelam dan ia belum siap menerima siapa pun untuk mengangkatnya pergi dari
masa lalunya.
***
Justin mengamati Lord Myhill dari
jarak jauh saat pria itu sedang berinteraksi dengan Henrietta. Ah, mantan
kekasihnya yang tidak kelihatan ketika Justin memberitakan pertunangannya dengan
Grisell. Ia memang pernah mencintainya—entah mengapa kata itu tidak cocok untuk
menggambarkan perasaannya untuk Henrietta—dan berharap setelah Justin
memutuskannya, Henrietta akan menjadi orang yang lebih baik. Tapi lihatlah
wanita itu tidak seperti wanita yang pernah Justin kenal. Henrietta sesekali
menyentuh lengan Lord Myhill dan terus tertawa. Setelah melewati sarapan pagi
yang membosankan, Justin memutuskan bertemu dengan Lord Myhill lebih awal.
Namun yang ia dapati, pria itu sudah bercengkerama dengan mantan kekasihnya.
Ah, tapi bukankah hubungan mereka
sudah berakhir? Justin membalikkan tubuhnya menuju ruang kerjanya untuk melihat
pekerjaannya yang masih belum terselesaikannya. Usahanya di Bristol masih
berjalan baik, meski ia yakin ia harus pergi ke Bristol setelah season berakhir. Ketika hampir sampai di
depan pintu ruang kerjanya, ia mendengar suara tawa yang tidak asing lagi. Grisell. Mengapa pagi-pagi seperti ini
wanita itu sudah bangun? Justin sengaja membiarkan Grisell tetap terlelap di
kamarnya karena wanita itu terus merengek agar segera ditinggalkan sendirian
dan hampir menendangnya. Sial. Di sela-sela tawa Grisell, Justin mendengar
suara pria.
Suara berisik itu berasal dari ruang
tamunya. Kaki Justin berjalan dengan anggun dan penuh martabat menuju ruang
tamu. “Maukah kau menemaniku berkeliling taman Moore House?” Justin mendengar
pertanyaan itu meluncur dari mulut pria itu. Sial, sial, sial.
“Well, aku harus…” suara Grisell
kedengaran ragu. Saat tubuh Justin muncul dari balik tembok ruang tamu, suara
Cornelius mengganggunya.
“My Lord,” panggil pria itu.
“Apa?!” Bentak Justin terdengar
gemas. Lalu dengan segera ia meminta maaf. Ia tidak pernah marah semudah ini.
“Apa? Ada apa, Cornelius?”
“Ada seseorang yang ingin bertemu
dengan Anda sejak kemarin malam. Tapi karena kupikir Anda sudah terlelap, saya
meminta untuk menemui Anda hari ini. Dan sepertinya ia memilih bertemu dengan
Anda di istal,”
“Siapa?”
“Dia mengaku kalau dia adalah Bibi
dari Miss Parnell.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar