CHAPTER THIRTEEN
“Kudengar kau akan menikahi
keponakanku,” ujar Millicent duduk bersandar di kursi ruang kerja Lord Moore.
Wanita yang sudah berkepala 4 itu duduk dengan cara tak senonoh. Wajahnya pucat
dan terlihat lebih kurus dibanding pertemuan terakhir mereka. Sekalipun
Millicent telah meminta Lord Moore untuk bertemu dengannya di istal, pria itu
tidak memenuhi permintaannya atas dasar privasi. Orang bodoh mana yang ingin
membicarakan masalah pribadinya di istal? Bibi Grisell itu menarik nafas
dalam-dalam memerhatikan earl di hadapannya.
Apa pria ini mengidap gangguan mental? Mengapa ia menginginkan Grisell sebagai
istrinya? Millicent tidak akan membiarkan itu terjadi. Ia tidak ingin anak sial
itu mendapat kebahagiaan. Tidak setelah apa yang telah dilakukan olehnya pada
Millicent. Seharusnya sekarang Millicent memiliki suami yang mencintainya, anak-anaknya
sendiri dan rumah layak untuk ditinggali. Tapi karena Grisell si anak sial itu,
Millicent tidak pernah sedetik pun mendapat kebahagiaan.
Ia pikir, Lord Moore akan menjadikan
Grisell sebagai salah satu pelayannya. Dan kabar burung tentang Grisell
memiliki hubungan khusus dengan Lord Moore menyebar seperti wabah penyakit di
London. Millicent tidak mendapat kebahagiaan apa pun setelah pria pertama yang
membuat Millicent jatuh cinta ternyata jatuh hati pada Grisell. Ia tidak bisa
membiarkan Grisell mendapatkan kebahagiaannya! Tidak bisa! Tanpa Millicent
sadari, ia telah menyuarakan kata hatinya. Dua bola mata Millicent menatap pada
satu titik, melamun, dan mulutnya tetap terbuka setelah mengatakan sesuatu.
Lord Moore melihat wanita itu seperti mengingat akan sesuatu yang buruk.
Sesuatu yang membuatnya trauma.
“Maaf? ‘Tidak bisa’?” Suara Lord
Moore membuatnya sadar dari pikirannya. Tatapan Millicent terangkat, ia menatap
Lord Moore.
“Kau tidak bisa menikahinya,”
katanya berbisik. “Kau tidak bisa menikahinya, My Lord,” katanya lagi, lebih
jelas. Lord Moore mengerjap-kerjapkan matanya, berusaha mencerna ucapan
Millicent. Mengapa pagi ini sepertinya orang-orang sedang menguji batas kesabarannya?
Salah satu alis Lord Moore terangkat, wajahnya yang tenang berbanding terbalik
dengan rasa amarah yang menggemuruh dalam tubuhnya.
“Alasan kuat apa yang membuatmu
berpikir aku tidak bisa menikahinya?”
“Aku walinya. Aku berhak tidak
menyetujui pernikahan kalian. Grisell tidak berhak bersamamu,” ucap Millicent
kali ini tidak menatap Lord Moore. Ia menatap keluar jendela, memerhatikan
beberapa pria bujang yang sedang menikmati kopi mereka dan berbincang-bincang
di taman. Ia teringat prianya. Ia
teringat pria yang dicintainya ternyata mencintai Grisell. Kebenciannya yang
berasal dari hati, menyebar ke seluruh tubuh. Ia telah berjanji pada Samantha
untuk mengurus iblis licik itu, tapi apa yang didapatinya? Pengkhianatan.
“Dengan segala hormat, Miss Parnell,
kurasa kita telah membuat kesepakatan. Aku telah membelinya, aku berhak
melakukan apa pun padanya. Meski ‘membeli’ adalah kata kasar untuk menjelaskan
faktanya, tapi kurasa kau mengerti,”
“Grisell menyayangiku,” kata
Millicent yakin. Ya, iblis kecil itu menyayanginya. Grisell tidak mungkin tega
meninggalkan Bibinya, bukan? Lagi pula, jika Grisell menolak kembali padanya,
bukankah Grisell akan dicap sebagai anak tak tahu diuntung? Millicent bangkit
dari kursi. Gaun yang dipakainya terlalu indah untuk orang kumuh seperti
Millicent. Bahkan kulitnya kusam, tidak seperti kulit Grisell.
“Aku yakin ia memang menyayangimu,
Miss,”
“Dan karena itu, ia pasti akan
menuruti setiap permintaanku,” ucap Millicent. Ia berjalan menuju jendela.
Kedua tangannya bertautan di belakang punggungnya, dagunya terangkat, dan saat
ia sampai di belakang jendela, ia memejamkan mata. Air matanya mengalir,
melewati kulit pipinya. “Mengapa kau ingin menikahinya, My Lord? Dia tidak
lebih dari seorang pelacur. Dia tidak lebih dari iblis cantik. Dan kurasa, ia
tidak berhak mendapat kebahagiaan dalam bentuk apa pun,”
“Miss Parnell, apa yang sedang kau
bicarakan?”
“Aku membicarakan wanita yang akan
kau nikahi itu, My Lord,” ucap Millicent mengedip. Matanya melihat para pria
bujang itu telah selesai menikmati kopi mereka dan berjalan menuju Moore House.
Taman itu akhirnya kosong. Tapi tidak sekosong hatinya. Millicent menghela
nafas panjang. Sejak kemarin, kepalanya terus berdenyut-denyut. “Namanya Peregrine,”
“Peregrine?” Kali ini dua alis Lord
Moore terangkat. Ia sangat kebingungan.
“Ya. Itu terjadi 8 tahun yang lalu.
Saat itu Grisell masih berumur 15 tahun. Aku dan Peregrine menikah, ia suami
terakhirku. Ia yang memberi makan di meja dan ia yang memberi kami uang. Dan
Grisell mendapat uang saku tapi Grisell selalu takut pada Peregrine. Yah,
Peregrine bukan orang kaya yang tampa sepertimu. Ia senang berjudi dan
minum-minum, tapi ia masih bisa bekerja. Pria itu sangat menyenangkan. Dan
Tuhan tahu aku sangat mencintai pria itu, meski aku tahu pada akhirnya, kami
tidak akan bisa bersama selamanya,
“Setelah satu tahun kami menjalani
hubungan, Peregrine dipecat dari pekerjaannya karena dituduh mencuri barang di
tempat kerjanya. Aku selalu berpikir, aku satu-satunya wanita yang dapat
membuatnya berpikir lurus dan menenangkannya. Tapi saat itu aku tidak ada di
tempat. Dia yang mengenalkan Grisell pada kenikmatan duniawi. Saat aku pulang,
aku menemukan Grisell sudah dalam keadaan tak sadarkan diri dan Peregrine
sedang membersihkan selangkangannya dengan kain hangat basah. Aku bertanya
padanya apa yang terjadi. Bukannya khawatir, Peregrine tersenyum lebar dan
berkata padaku kalau ia akan memulai bisnis baru,”
“Pelacuran,” kata Lord Moore.
“Tepat sekali,” ucapnya menghela
nafas panjang. “Sejak saat itu, jika aku sedang tidak ada di rumah, Peregrine
bercinta dengan Grisell—saat itu aku tidak tahu. Dan Peregrine jarang ingin
bercinta denganku. Perhatiannya terpusat pada Grisell. Dan duniaku runtuh saat
kutemukan Grisell sedang berhubungan badan dengan Peregrine di kamar kami. Kau
dengar aku? Di kamar kami. Perceraian tidak akan diterima oleh pengadilan, jadi
aku mengusirnya dari rumahku. Setelahnya, Peregrine tidak pernah muncul. Dan
aku menjadikan Grisell sebagai pelacur,”
Ada jeda hening yang panjang setelah
Millicent menceritakan masa lalu Grisell yang kelam. Sekarang Lord Moore
berharap dirinya dihukum cambuk. Jika saja Lord Moore tahu masa lalu Grisell
yang buruk itu, sudah jelas Lord Moore tidak akan pernah mengungkitnya seperti
yang pernah dilakukannya. Jelas Grisell tak ingin menceritakan masa lalunya.
Bajingan itu telah mengambil keperawanannya secara paksa hingga Grisell tak
sadarkan diri. Lord Moore membayangkan sosok mungil Grisell tergeletak lemah
dan pingsan, ditambah lagi dengan darah yang melumuri selangkangannya. Amarah
Lord Moore terbakar seperti kebakaran rumah di musim panas. Peregrine.
Millicent memeluk perutnya.
Kepalanya yang sedari tadi berdenyut sekarang terasa menghantam kepalanya. Kaki
Millicent mulai goyah, ia tak sanggup lagi menopang tubuhnya. Lord Moore
bangkit dari kursinya saat melihat wanita itu mulai berjalan mundur ke
belakang. Dalam tiga langkah besar dan gerakan sigap, Lord Moore menangkap
Millicent yang hampir terjatuh ke lantai.
“Miss Parnell, kapan terakhir kali
kau makan?” Tanya Lord Moore menggendong wanita itu. Millicent tak sanggup
menjawab, matanya terpejam dan tidak ada sedikit pun tenaga dalam tubuhnya.
Lord Moore segera memanggil Cornelius.
***
Bibi
Millicent di sini, Grisell berkata dalam hati. Ia tidak tahu bagaimana Bibi
Millicent bisa tahu tempat tinggal Lord Moore, yang jelas, ia khawatir. Bibinya
pingsan karena ia belum makan selama dua hari. Grisell ingin membenturkan
kepalanya ke tembok karena telah melupakan Bibi Millicent-nya di London.
Seharusnya ia mengirimkan surat pada sang Bibi agar ia tahu bagaimana
keadaannya—meski ia ragu Bibi Millicent akan membalas suratnya dalam waktu
dekat. Grisell bahkan baru bisa menulis 2 minggu yang lalu. Tapi sekarang sudah
tidak penting lagi. Bibi Millicent sudah ada di Moore House dan ia sangat
bersyukur karena Lord Moore memahami keadaan Bibi Millicent. Setelah diberi
makan dan minum yang cukup, Bibi Millicent diminta untuk beristirahat.
Grisell selalu yakin Bibi Millicent
menyayanginya dengan caranya sendiri. Hanya saja, Grisell tidak terlalu
menyukai bagaimana cara Bibi Millicent menyayanginya. Dan melihat Bibi
Millicent dalam keadaan lemah, Grisell tidak bisa berbuat apa pun selain
merawat satu-satunya wanita yang telah merawatnya sejak kecil. Cornelius
berdiri di mulut pintu kamar tamu yang ditempati Bibi Millicent. Matanya yang
berwarna hitam menatap Bibi Millicent dengan tatapan yang tidak pernah Grisell
lihat sebelumnya. Pria itu tampak khawatir, sama seperti Grisell. Cornelius mengerjap-kerjapkan
matanya, sadar saat ia merasa dirinya sedang ditatapi wanita mungil yang duduk
di sebelah Millicent.
“Aku permisi, Miss,” ucap Cornelius
mengundurkan diri. Pria itu akhirnya keluar dari kamar Bibi Millicent, beberapa
detik kemudian, Lord Moore muncul. Suasana tenang dalam kamar tiba-tiba berubah
menjadi lebih intens. Matanya menatap wajah pria itu. Ia menghela nafas pendek.
Kenapa? Kenapa pria itu harus menjadi pria yang masuk dalam hidupnya? Ada
hal-hal yang membuat Grisell sendiri tak mengerti bagaimana pria itu bisa
memberi efek yang Grisell tak pernah kenali sebelumnya. Pertama, pria itu
sepertinya tidak bisa berhenti membuat Grisell terkagum-kagum akan gerakan apa
pun yang dibuatnya. Kedua, pria itu selalu terlihat tenang dalam setiap
keadaan—yang menurut Grisell, itu merupakan bakat yang hebat. Ketiga, pria itu
sangat mengintimidasi meski Grisell tahu pria itu tidak bermaksud melakukannya.
Dengan gerakan anggun, pria itu melangkah mendekati tempat tidur Bibi
Millicent.
“Bagaimana keadaan Bibimu?” Tanya
Lord Moore tanpa basa-basi. Mata cokelat pria itu memerhatikan Bibinya dengan
tatapan menilai. Tatapan itu lebih condong pada tatapan iba dibanding khawatir.
Grisell tidak mengerti mengapa.
“Aku memintanya untuk beristirahat,”
ucap Grisell dengan suara pelan. “Apa kau sudah bertemu dengannya? Apa yang
kalian bicarakan?”
Lord Moore mengangkat tatapannya
pada Grisell. Jeda yang dibuat Lord Moore membuat Grisell sangat gemas. “Ya.
Tentang masa lalu Ayahnya dengan Ibumu. Aku yakin Bibimu sebenarnya tahu
tentang hubungan gelap antara Ayah Lord Myhill dengan Ibumu, ia hanya tidak
ingin memberitahumu agar kau tetap bergantung padanya,”
“Apa reaksinya saat ia tahu aku adik
tirinya?”
“Mengejutkan,” ucap Lord Moore
muram. “Dia terdiam selama beberapa menit. Dan aku hampir memukulnya saat ia
bilang kalau sebenarnya ia menyukaimu karena pertemuan kalian kemarin subuh.
Untungnya aku sadar, itu tidak akan menguntungkan siapa pun, benar? Itu juga
bukan salahnya karena kau memang menawan. Hanya saja—“
“Kau cemburu,” ucap Grisell
tersenyum malu-malu. Lord Moore mendapati senyum itu begitu tidak baik. Pria
itu menarik nafas tajam. Bayangannya terbang kemana-mana. Ia membayangkan
wanita itu tersenyum malu-malu saat Lord Moore menempatkannya di antara kedua
lutut, kemudian menyerbunya dengan ciuman-ciuman panas. Lord Moore harus
mencari kesibukan. Ia harus mencari tempat terbuka dimana ia masih bisa berada
di samping Grisell tapi otaknya masih bisa berpikir jernih.
“Bagaimana kalau kita membiarkan
Bibimu mendapatkan istirahat yang layak dan tenang?” Tanya Lord Moore memberi
saran. Grisell tidak perlu diminta dua kali. Wanita itu bangkit dari tempat
tidur Bibinya, kemudian melangkah menuju pintu. Lord Moore membukakan pintu itu
untuknya, dan akhirnya—jika mereka tidak keluar lebih dari 5 menit, Lord Moore
tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya—mereka keluar dari kamar. Grisell
melihat Lord Moore menghela nafas lega, yang ternyata membuat Grisell bingung.
“Mengapa kau terdengar begitu lega?”
“Karena aku tidak perlu berada dalam
satu ruangan denganmu, dimana hanya kita berdua yang sedang dalam keadaan sadar
dan saling menginginkan,” ucap Lord Moore memberi senyum singkat. Mereka
melewati lorong yang panjang hingga sampai ke tangga menuju lantai bawah. Sepertinya melewati makan siang hari ini
tidak akan menjadi masalah, pikir Lord Moore menarik tangan Grisell ke
siku-sikunya. Ia tahu seharusnya ia tetap berada di Moore House untuk menyambut
para tamunya karena season akan
dimulai malam ini. Tapi Mildred memang selalu berada dalam keadaan yang tepat.
Wanita itu pintar menyambut para tamu, ia ramah dan menyenangkan. Semua orang
menyukai Mildred. Yah, Lord Moore tidak perlu mengkhawatirkan tentang itu.
Grisell kebingungan saat langkah
kaki mereka bukan menuju ruang makan, karena sebentar lagi acara makan siang
akan dimulai. Justru pria itu menggiringnya menuju istal. Mereka berdua
mendapati Bartram sedang membersihkan salah satu kuda bersama dengan salah satu
anak pelayan yang juga bekerja di Moore House. Merasa kedatangan tamu di jam
makan siang seperti ini, Bartram menghentikan pekerjaannya. Janggut merah
Bartram belum dicukur sama sekali, justru sekarang janggut itu diikat di bagian
ujung bawahnya agar—mungkin—kelihatan lebih rapi.
“Selamat siang, Milord dan Milady!”
Sapanya girang. “Ada yang bisa kubantu?”
“Siapkan dua kuda, tolong,” ucap
Lord Moore pada Bartram. Kemudian tatapan pria itu turun pada Grisell yang
sedang mendongak memerhatikannya. “Aku harus pergi menemui Mildred sebentar.
Kau tunggu di sini,” perintahnya segera. Grisell hanya mengangguk, ia menatap
Lord Moore berjalan kembali menuju Moore House dengan langkah besar. Perhatiannya
teralihkan saat Bartram meminta anak buahnya mengambil kuda kebanggaan Lord
Moore sementara Bartram mengambil kuda betina untuk Grisell. Yah, Grisell sudah
pernah diajari menaiki kuda oleh Miss Gillbride. Dan hasilnya bisa dibilang
rata-rata. Bartram keluar dengan kuda berwarna cokelat yang gemuk dan sangat
sehat. Kuda betina yang selalu dipakai Grisell saat latihan berkuda. Baldzar.
Grisell mengambil tali kekang yang diberikan Bartram kemudian ia menarik
Baldzar keluar dari istal.
“Terima kasih, Bartram,” ucap
Grisell anggun. “Kau boleh melanjutkan pekerjaanmu,” lanjut Grisell mengangguk,
mempersilakan. Bartram tersenyum, ia masuk kembali ke dalam istal dan
membersihkan kuda yang tadi ia tinggalkan. Grisell tersenyum saat mengelus
leher Baldzar, kuda itu sangat suka dielus oleh tangan kecilnya. Baldzar
mencondongkan hidungnya pada wajah Grisell, ia tertawa. Bagaimana tidak? Ia
teringat akan pertama kali ia dipertemukan dengan Baldzar. Kuda itu sangat
bersemangat. Ia terus mencondongkan hidungnya pada Grisell hingga Grisell jatuh
ke atas tanah—yang saat itu Lord Moore melihatnya dan panik seketika. Bartram
yang menatap majikannya yang mulai berbicara dengan Baldzar itu tersenyum.
Tiba-tiba sosok pria setinggi Lord Moore muncul. Rambutnya berwarna sama dengan
Miss Parnell, juga dengan matanya. Apakah dia kakak Miss Parnell? Bartram menarik
nafas dalam-dalam dan menggeleng kepala. Bukan urusannya dan ia harus segera
memberi obat pada salah satu kudanya yang sakit.
Grisell mengalihkan pandangannya
dari Baldzar pada pria yang ia temui kemarin subuh. Dua tangannya disembunyikan
dalam kantong celananya dan pria itu kelihatan lebih angkuh daripada
sebelumnya. Grisell tidak percaya kakak tirinya ternyata sangat menyebalkan dan
sombong. Pegangan tangan Grisell pada tali kekang Baldzar mengerat.
“Selamat siang, Adik Tiriku,” sapa
pria itu menekankan nada panggilan itu. Grisell menipiskan bibirnya.
“Selamat siang, My Lord,” balas
Grisell berusaha menghindar dari tatapan pria itu. “Bukankah seharusnya kau
berada di ruang makan? Jamuan makan siang akan dimulai sebentar lagi,”
“Seharusnya aku yang bertanya
seperti itu padamu, little one.
Mengapa kau tidak berada di ruang makan?
Bukankah kau sekarang pusat perhatian di Moore House? Orang-orang
menunggu kedatanganmu,”
“Bukan urusanmu. Mengapa aku bisa
menjadi pusat perhatian? Pergilah,” usir Grisell mulai jengkel. Ia mengangkat
tatapannya pada Lord Myhill. “Dan mengapa tiba-tiba kau berada di sini?” Tanya
Grisell mengerutkan kening. Lord Myhill tidak segera menjawab. Pria itu menatap
Grisell dari ujung kaki hingga kepala. Tidak heran mengapa Ayahnya bisa
berselingkuh dari Ibu. Tentu saja Ibu Grisell adalah wanita cantik hingga
mereka bisa menghasilkan dewi di hadapannya. Meski begitu, ia senang. Setelah
kematian Ayahnya—dan Ibunya sudah meninggal sejak ia berumur 10 tahun—ia pikir
merasa kesepian. Jujur saja, meski ia berharap tidak mempunyai adik sama
sekali, justru sekarang rasa senang menghujani tubuhnya. Ini perasaan yang
begitu janggal baginya.
“Grisell,” panggil Lord Myhill
menyebut nama itu seperti bahasa asing. “Kau tahu aku adalah kakak tirimu,
bukan?”
“Tidak,” dusta Grisell mundur satu
langkah. “Pergilah, My Lord, kumohon,”
“Aku sudah berbicara dengan
tunanganmu kalau aku akan berbicara denganmu empat mata di ruang duduk setelah…
aku tidak tahu apa yang sedang kau lakukan sekarang, tapi yang jelas, kita akan
berbicara,”
“Untuk apa?” Tanya Grisell was-was.
Pria itu kasar sejak pertemuan pertama mereka dan Lord Moore mengizinkannya
berbicara empat mata di ruang duduk? Sulit dipercaya.
“Membicarakan tentang hubungan darah
kita. Bagaimana pun juga, darahku juga darahmu. Cepat atau lambat, semua orang
akan menyadari kemiripan di antara kita,” ucap Lord Myhill. Pria itu tidak
bergerak sama sekali ketika ia berbicara, bahkan untuk mengambi satu langkah
lebih dekat saja, ia tidak berani. Karena ia tahu pasti, wanita itu akan segera
kabur darinya. Grisell tidak menjawab apa-apa, hanya tatapan ketakutan yang
diberikannya pada Lord Myhill. “Aku pergi seperti yang kauinginkan, Miss
Parnell. Selamat siang,” katanya melangkah mundur lalu berbalik menuju Moore
House.
***
“Ini hutan kesukaan Bridget dan
Hope. Ayahku selalu membuat permainan harta karun untuk kita jika ia tidak
sibuk. Ia menyembunyikan harta karun dan ia sendiri yang membuatkan petanya
untuk kami. Aku menjadi kapten dan yang lain anak buahku—Mildred tidak suka
permainan seperti ini karena menurutnya terlalu seronok untuk anak
perempuan—yang tidak lain dan tidak bukan adalah Bridget dan Hope. Biasanya
perhatian Hope mudah teralihkan bila ia melihat tanaman yang cantik. Atau
Bridget yang sibuk memainkan tongkat kayunya,”
“Kalian mempunyai masa kecil yang
menyenangkan,”
“Ya, sepertinya begitu,” balas Lord
Moore tersenyum lemah. Ia memegang tangan Grisell saat mereka akan menuruni
turunan tanah yang basah. Untung saja Lord Moore meminta Grisell agar memakai
sepatu bot sebelum mereka berangkat—seharusnya Bartram memberi sepatu bot
sialan itu sebelum Lord Moore memintanya. Semakin mereka melangkah turun,
semakin dekat mereka menuju sungai kecil. Grisell sangat menyukai suasana hutan
yang hening dan sejuk. Tidak seperti di Moore House sekarang. Banyak orang yang
membicarakan omong kosong dan kehebatan mereka. Mereka begitu congkak hingga
Grisell tak tahan. Dan ia sangat berterima kasih karena Lord Moore membawanya
ke hutan.
Wanita itu belum siap memberitahu
Lord Moore kalau sebelum mereka berangkat, ia bertemu dengan Lord Myhill. Entah
mengapa ia merasa Lord Moore tidak perlu mengetahuinya. “Mengapa Bibi Millicent
berada di Moore House?”
Lord Moore tersenyum kecil mendengar
pertanyaan itu. “Ia ingin mengambilmu dariku. Sepertinya ia tidak bisa hidup
tanpamu,” ucap Lord Moore menghela nafas pendek. “Kurasa dia berhak mendapat
hidup yang layak. Selama ini ia sering dikecewakan, kurasa, sehingga ia
menyalahkan kesalahannya padamu. Aku akan memberinya satu kesempatan untuk
tinggal bersama kita,”
“Benarkah?”
“Mengapa tidak? Cornelius sepertinya
tertarik pada Bibimu. Kau tahu, keturunan Parnell sepertinya memiliki
kecantikan alami. Hanya saja, Bibimu tidak terurus seperti yang seharusnya,”
Grisell tertawa kecil membayangkan
Bibinya tidak membencinya lagi. Sepertinya hidup Grisell akan lebih baik.
“Bagaimana kalau kita menjodohkan Cornelius dan Bibi Millicent? Mereka berdua
cocok!”
“Kau konyol, tapi boleh juga,” ujar
Lord Moore menatap Grisell. Mereka telah sampai di pinggir sungai.
Rumput-rumput tinggi menjadi hiasan di pinggiran sungai sehingga mereka
terpaksa harus duduk di dataran yang lebih tinggi, dimana mereka bisa melihat
sungai lebih jelas. Lord Moore meluruskan kakinya sementara lutut Grisell
ditekuk. Grisell menyandarkan kepalanya di bahu Lord Moore kemudian ia
memejamkan mata. Menikmati ketenangan. Kedamaian.
“My Lord, dari gerak-gerikmu dan
ucapan-ucapanmu, kuasumsikan Bibi Millicent telah menceritakan bagaimana aku
berakhir menjadi pelacur,”
“Ya,” bisik Lord Moore tak bisa
berbohong. “Maafkan aku—“
“Tidak perlu. Kurasa kali ini Bibi
Millicent mengambil langkah yang bagus. Karena kupikir, aku tidak akan pernah
bisa menceritakan masa laluku tanpa menangis dan takut. Ia membantuku,” ucap
Grisell mengedik bahu. “Dan yah, itulah aku. Gadis lemah yang sok kuat,”
Lord Moore memutar bola matanya, tak
suka akan panggilan itu. Ia menarik dagu Grisell hingga kepala itu menghadap
padanya. “Kau wanita terkuat yang tak pernah kutemui sebelumnya,” ucap Lord
Moore mengecup lembut bibir Grisell.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar