CHAPTER FOURTEEN
Lord Moore sadar betul bahwa
tunangannya sudah lelah. Ia sudah memperingatkan Grisell—setelah pulang
berkuda—untuk beristirahat sampai persiapan untuk jamuan makan malam. Tapi
untuk yang kesekian kalinya, Grisell tidak menuruti perintah Lord Moore. Jadi malam itu, Lord Moore
menyarankan Grisell agar duduk di salah satu kursi bersama-sama para wanita
muda yang masih lajang di pinggir tembok agar Lord Moore masih bisa melihatnya.
“Jika kau membutuhkanku, suruh Cornelius
atau siapa pun untuk memanggilku. Apa kau mengerti?” Tanya pria itu sebelum
Grisell beranjak dari sampingnya. Pria itu tentu saja tidak ingin dibantah,
jadi Grisell mengangguk. “Katakan,”
“Aku akan memanggilmu bila aku
membutuhkanmu. Aku mengerti, Moore,” ucap Grisell memutar bola matanya.
Cengkeraman tangan Lord Moore di lengannya mengendur dan pria itu membiarkan
Grisell pergi. Bagi Grisell, tiap kali ia berbalik, melangkah kemana pun, atau
menoleh ke segala arah, ia akan dihujani oleh ucapan selamat dan banyak
pertanyaan tentang hubungan mereka. Para orangtua yang sudah berpengalaman
selalu membuat lelucon tentang ranjang sementara para bujangan selalu membuat
emosi Lord Moore mendidih karena sepertinya mata mereka tidak bisa tidak
menjelajahi lekuk tubuh Grisell yang terbalut dalam gaun merah.
Di sela-sela perkenalan Grisell
dengan para tamu undangan Lord Moore, wanita itu sesekali permisi untuk
melakukan dansa waltz dengan pria
yang namanya telah Grisell tulis di kartunya. Grisell sedang duduk di atas
kursi santai bersama para lajang yang menatapinya, tapi ia tidak menggubris.
Grisell duduk tegak, lalu mengambil satu gelas anggur saat salah satu pelayan
lewat membawa nampan berisi beberapa gelas anggur, sambil memerhatikan para
tamu undangan yang sedang berdansa. Termasuk Henrietta yang sedang berdansa
dengan salah satu bangsawan. Satu hal yang membuat Grisell risih selama acara
berlangsung adalah tatapan kakak tirinya yang sepertinya tidak bisa tidak
mengamati Grisell dari jarak jauh. Pertemuan mereka yang singkat membuat hubungan
mereka kelihatan konyol dan—anehnya—menyenangkan. Grisell ingin menghampiri
Lord Myhill dan bercanda dengannya seperti saat mereka bertemu di ruang duduk.
Tapi ia tidak berani karena itu akan membuat semua orang di tempat ini akan
menyadari kemiripan di antara mereka. Grisell masih belum ingin diketahui
sebagai anak haram antar bangsawan dan orang miskin—meski Lord Myhill telah
meyakinkan Grisell bahwa ia tidak akan mendengarkan apa pun gosip tentangnya.
Saat itu kakaknya duduk,
memandanginya dari kursi di ruang duduk.
“Aku hampir saja memacari adik
tiriku sendiri,” ucap Lord Myhill duduk bersandar di kursi dengan kaki yang
diselonjorkan. Grisell tidak mengerti mengapa Lord Myhill tidak seperti Lord
Moore yang kaku dan formal. Pria itu santai dan… seperti pria impian Grisell
selama ini. Hanya saja, ternyata apa yang Grisell impikan tidak seindah
kenyataan sekarang. Setelah berkuda selama satu jam bersama Lord Moore, Grisell
berpisah dengan pria itu dan segera berjalan menuju ruang duduk. Tidak ada
sapaan selamat siang atau halo, pria itu langsung menyemburnya dengan satu
kalimat yang membuat Grisell menahan nafas.
“Aku tidak mengerti bagaimana kau
bisa begitu yakin,” ucap Grisell mengedik bahu. “Katakanlah kita bukan kakak
beradik, apakah menurutmu aku akan menerimamu sebagai kekasihku?”
“Sayangku, kita berdua tahu,
pesonaku lebih hebat dibanding Moore,” ujar Lord Myhill dengan rasa percaya
diri yang kelewat batas. Meski begitu, apa yang Lord Myhill katakan benar
adanya. Kakak tirinya memang lebih tampan, lebih memesona, lebih santai dan
perayu ulung dan sudah jelas jika dibandingkan dengan Lord Moore yang
membosankan, formal, serius, dan canggung itu, kakak tirinya pasti lebih
‘laku’. “Aku terkejut karena seharian ini aku belum mendengar satu kata pun
dari orang lain tentang kemiripan kita. Kau tahu, kau memang mirip Ayah,”
“Aku tidak mirip dengannya,”
tukasnya cepat-cepat.
“Bagaimana bisa kau tahu sementara
seumur hidupmu saja, kau belum pernah melihatnya? Kau punya matanya, sama
seperti mataku. Bibirmu mirip dengan bibir Ayah, sama seperti milikku. Kecuali
rambut itu. Ibuku juga mempunyai rambut cokelat madu sepertimu dan yah, warna
rambutnya diturunkan padaku. Akuilah, Sayang, kita kakak beradik,” kata Lord
Myhill tersenyu miring. Tangan Lord Myhill menepuk-nepuk kursi di sebelahnya.
“Aku tidak akan lama. Lord Moore
akan menyadari kehilanganku jika aku tidak dilihatnya selama satu jam,” ucap
Grisell yakin dan penuh percaya diri. Tentu saja Lord Moore akan mencarinya
jika orang-orang di rumah tidak tahu keberadaannya di ruang duduk. Senyum Lord
Myhill semakin melebar. Mau tak mau, Grisell juga ikut tersenyum meski ia tidak
mengerti mengapa. Mata Lord Myhill menunjuk pada sofa yang ada di depannya,
memberi kesempatan pada Grisell untuk duduk di sana. Yah, setidaknya hari ini
pria itu tidak sama sekali kasar padanya. “Mungkin dia tidak akan keberatan aku
hilang sebentar,” lanjut Grisell akhirnya memilih duduk di salah satu sofa yang
berhadapan dengan Lord Myhill.
“Aku sudah berjanji padanya untuk
tidak menyakitimu. Lagi pula aku tidak akan berani menyakiti gadis muda
sepertimu, Sayang. Nah, apakah kau ingin tahu tentang Ayah kandungmu atau
tidak?”
“Aku lebih memilih tahu tentangmu
dibanding dia,” ucap Grisell bersandar di sofanya. Lord Myhill menarik nafas
tajam. Moore sudah memberitahu tentang pertemuannya dengan Grisell di rumah
pelacuran. Meski Lord Myhill sudah bertanya tentang masa lalu adik tirinya,
pria itu lebih memilih agar Lord Myhill menanyakannya sendiri pada Grisell.
Sosok Grisell tampak rapuh, tapi sejak pertemuan mereka kemarin di ruang tamu,
Lord Myhill tahu wanita itu kuat. Lord Myhill tersenyum kecil mengingat
bagaimana Grisell tidak senang diejeknya kemarin. Yah, ia bisa dikatakan
terkejut, jengkel, dan senang secara bersamaan saat tahu dirinya adalah kakak
tiri dari gadis ini. Bangsawan sinting mana yang ingin mempunyai saudara yang
berprofesi sebagai pelacur? Mungkin dia seorang.
Ia tidak akan berpura-pura
menganggap Ayahnya seorang pria bangsawan yang setia pada istrinya. Tentu saja,
satu wanita tidak akan cukup bagi satu pria, itu pendapat Lord Myhill selama
ini. Dan seharusnya Lord Myhill tidak terkejut karena memiliki adik tiri. Bukan
apa-apa, tapi gadis itu sangat cantik untuk menjadi adik tirinya. Hampir Lord
Myhill meniduri Grisell jika ia tidak tahu kalau Grisell adalah adik tirinya.
Meski begitu, Grisell memang mirip dengannya. Tidak identik, tapi tetap saja
mereka memiliki beberapa kesamaan yang jika orang-orang pintar menilai, mereka
pasti menyadarinya. Siapa Ibu Grisell hingga bisa menghasilkan anak secantik ini?
“My Lord?” Suara Grisell membuat
Lord Myhill mengangkat pandangannya pada mata adiknya. “Apa kau akan
menjawabnya atau tidak?”
“Oh ya, tentu saja,” jawab Lord
Myhill memberi senyum yang dimana setiap wanita lajang yang melihatnya pasti
akan terbang. “Tentangku …hmm, aku anak tunggal yang suka wanita. Sebut saja
namanya, aku pasti tahu wanita itu. Mungkin hampir satu wanita keturunan
bangsawan di London telah tahu kehebatanku di ranjang. Sayang sekali kita
adalah kakak beradik,”
“Ya, sayang sekali,” bisik Grisell
mengejek. Wanita itu menegakkan punggungnya, membuat Lord Myhill mengangkat
tubuhnya dari sandaran kursi. “Biar kuluruskan apa pun yang ada di pikiranmu sekarang, My Lord. Aku tidak mau
siapa pun tahu kalau kita adalah saudara tiri untuk sementara ini. Aku senang
mendapati dirimu mau menerimaku menjadi adikmu, itu sangat jarang
terjadi—menurut Lord Moore—di Inggris. Meski begitu, kita harus tetap menjaga
jarak agar tidak mencurigakan. Apa kau mengerti?”
Pria itu membungkuk, kedua sikunya
bertumpu pada ujung lutut. Dua tangannya saling bertautan dan kedua jari
telunjuknya menekan bibirnya. “Mengapa?”
“Aku hanya belum siap menerima
cercaan. Belum lagi karena aku adalah tunangan Lord Moore. Aku tak ingin hanya
karena dari mana aku berasal, orang-orang akan menghinanya,”
“Manis sekali,” ucap pria itu
menurunkan jari-jari itu dari bibirnya. “Terserahlah. Orang-orang lambat laun
juga akan sadar. Tapi mereka tidak akan berani menggosipimu. Pertama, calon
suamimu adalah orang yang sangat berpengaruh. Kedua, kakakmu ini akan
membungkam mulut mereka dengan tinju jika mereka berani mengatakan yang
jelek-jelek tentangmu. Mungkin aku akan jadi sering datang ke sini untuk
memeriksa keadaanmu,”
“Mengapa?” Tanya Grisell mengangkat
salah satu alisnya.
“Karena aku adalah kakakmu,
Grisell,” kata pria itu serius. Dua pasang mata yang memiliki warna mata yang
sama saling bertatapan. Untuk yang pertama kalinya, dalam seumur hidupnya,
Grisell ingin menangis terharu. Kakak tiri yang seharusnya membencinya justru
ingin menjaganya. “Kau satu-satunya saudara yang kupunya. Jika kau butuh apa
pun, panggil saja aku. Apa kau mengerti? Sudah menjadi tanggungjawab seorang
kakak menjaga adik. Jadi, kalau-kalau saja Moore menyakitimu, pergilah ke
rumahku di London. Kapan-kapan akan kuajak kau ke sana,”
“Aku akan senang pergi ke sana,”
ucap Grisell tersenyum lebar. Ia tidak pernah merasa sesenang ini. Ia merasa
begitu percaya diri. Mengapa ia bisa menerima kasih sayang kakaknya sementara
Lord Moore tidak? Grisell memutuskan untuk memberi kejutan pada Lord Moore
nanti malam. Dan ia yakin, Lord Moore pasti akan menyukainya dan—
Grisell hampir tidak bisa bernafas
saat ia melihat pria bertubuh jangkung masuk ke dalam ruang dansa. Lamunannya
yang menyenangkan tiba-tiba saja hancur hanya karena melihat pria itu. Ya Tuhan, apakah benar itu dia?
Tapi tidak mungkin. Dia bukan pria bangsawan dan tentu saja, tidak akan
diundang oleh Lord Moore. Pria itu mengambil satu gelas anggur dan menyesapnya
pelan. Beberapa wanita mulai mendekati pria itu dan dengan sopan ia menyapa
wanita-wanita itu satu per satu. Grisell butuh udara. Ia melihat ke sekeliling,
mencari dimana Lord Moore. Pria itu sedang berbicara dengan salah satu
pengacara terkenal di London, wajahnya kelihatan serius. Yang ia perlu lakukan
hanyalah mencari Lord Moore jika ia butuh. Untuk sementara ini, sepertinya ia
belum.
Pria itu baru saja menyelesaikan
anggur pertamanya. Langkah pria itu semakin lama membawanya pada Grisell.
Wanita itu berpura-pura tidak melihat pria itu. Ia memalingkan kepalanya dan
berdiri. Grisell mencari kembali dimana Lord Moore, dan pria itu masih tetap di
tempat yang sama. Semoga saja pria itu tetap ada di sana. Saat Grisell ingin
beranjak dari tempatnya, pria itu sudah berada di hadapannya.
“Bukankah kau permata paling indah
di antara semuanya, Miss? Adalah kekecewaan besar jika kau menolak tawaran
dansaku,” ucap pria itu, memohon. Pakaian yang rapi, rambut hitam yang
ditumbuhi beberapa rambut putih, gigi rapi dan senyum menawan. Tapi Grisell
masih ragu. Mungkin dia memang bukan pria yang Grisell kira. Tidak jika melihat
gaya rambutnya dan bagaimana pria itu bergerak.
“Aku yakin pasti banyak wanita yang
ingin denganmu,”
“Tapi hanya kau yang kuinginkan.
Satu waltz akan sangat berarti
bagiku,” ucap pria itu persuasif. Bukan sebuah kesopanan jika Grisell menolak
pria ini. Pria itu mengambil tangan Grisell lalu membawanya dengan anggun ke
lantai dansa. Waltz sebelumnya telah
selesai. Sekarang beberapa pasangan baru telah berada di lantai dansa dan
menempatkan tangan mereka seperti yang mereka ketahui. Pria itu tinggi, kulit
tubuhnya cokelat keemasan, dan sangat mirip dengan Nathaniel. “Kau sangat cantik, Miss,”
“Parnell. Miss Parnell,” ucap
Grisell tersenyum. Grisell menempatkan tangan kirinya ke atas pundak pria itu
lalu tangan kananya saling bertautan dengan tangan pria itu sementara tangan
kanan pria itu berada di pinggang Grisell. Jika pria itu menempatkan satu tangan
lagi di pinggangnya, sudah jelas pria itu seperti menggenggam pinggang Grisell.
Musik mengalun. Pria itu membawanya seperti Lord Moore membawanya menari.
Mereka sama lihainya, hanya saja, jika bersama pria ini, Grisell merasa ingin
menangis. Ada sesuatu. Sesuatu dalam diri pria itu yang membuat emosi Grisell
menumpuk menjadi satu. Siapa pria ini?
“Apakah aku boleh tahu siapa namamu,
My Lord?” Tanya Grisell penasaran.
“Oh, aku bukan bangsawan, Miss
Parnell,” ucap pria itu tersanjung. “Isaac. Orang-orang memanggilku Kneevet,”
lanjut pria itu membuat Grisell menghela nafas lega. Namun hatinya masih
terusik. Tapi sejak saat itu, tidak ada percakapan apa pun di antara mereka.
Isaac membawanya menari seolah-olah mereka sedang terbang. Tiap kali Grisell
menatap wajah pria itu, ia teringat akan Nathaniel.
Dia memang bukan pria muda, tapi pesonanya masih dapat memikat para wanita
muda. Akhirnya Grisell memutuskan bertanya.
“Aku tidak melihat cincin di jarimu.
Apa kau memang belum menikah atau sedang menyembunyikan istrimu?” Tanya Grisell
berhasil membuat Isaac terkekeh pelan.
“Aku belum menikah. Aku hanya jatuh
cinta dengan satu wanita ini, tapi aku rasa aku tidak bisa memilikinya. Kecuali
jika aku melakukan jalan alternatif,” ucap pria itu menatap Grisell
lekat-lekat. Wanita itu menelan ludahnya seperti ia sedang memakan kue kering
yang tidak ia kunyah terlebih dahulu. Ia butuh udara. “Apa kau baik-baik saja,
Miss Parnell?”
“Aku butuh udara, Mr. Kneevet,” ucap
Grisell mulai kesulitan bernafas.
“Biar kutemani,” tukas pria itu
cepat-cepat. Isaac menarik tangan Grisell pergi keluar dari lantai dansa. Mereka
melewati beberapa orang menuju pintu taman depan. Mr. Phee yang sedang tidur di
dekat pintu utama terbangun mendengar suara hentakan kaki terburu-buru. Saat
melihat Grisell yang melangkah, Mr. Phee segera pergi dari tempat itu. Sampai
kapan pun Mr. Phee akan membenci Grisell karena wanita itu membuat Hope lebih
dekat dengan Grisell dibanding Mr. Phee.
Bukannya berhenti di teras depan,
Grisell justru melangkah turun ke jalur dimana kereta kuda berhenti di sana.
Wajahnya diterpa angin malam. Ia menarik nafas dalam-dalam, merasakan udara
memenuhi paru-parunya lalu menghelanya pelan-pelan. Isaac mengelus pundaknya.
Seharusnya Eunice ada di belakangnya agar hal-hal yang tidak diinginkan tidak
terjadi. Terlebih lagi mereka hanya berdua di halaman depan. Sekalipun ada
orang, mereka tidak akan menyadari keberadaan mereka berdua.
Setelah menarik nafas beberapa kali,
akhirnya Grisell dapat bernafas dengan normal.
“Lebih baik?” Tanya Isaac perhatian.
“Ya, terima kasih,” ucap Grisell. Ia
menggeleng-gelengkan kepalanya, memberi raut wajah meminta maaf pada Isaac.
“Maafkan aku menyeretmu sampai keluar. Aku tidak bermaksud merepotkanmu,”
“Tidak apa-apa,” kata Isaac
bersungguh-sungguh. Grisell menunduk, menatap tanah yang dipijakinya. “Kau butuh
sapu tangan?” Tapi pria itu sudah mengeluarkan sapu tangannya. Grisell
menerimanya malu-malu, tapi ia tidak segera memakainya. Ia mendongak,
memerhatikan pria itu. Cravat pria
itu sudah lepas, sekarang dua kancing teratasnya terbuka.
“Kau kepanasan?”
“Ya, aku heran mengapa sedikit
sekali orang berada di luar rumah,” komentar Isaac menarik-narik kerah kemejanya.
Tubuh Grisell menegang. Sapu tangan yang digenggamnya jatuh begitu saja saat ia
melihat luka itu. Luka yang begitu
Grisell kenang. Luka yang sering Grisell kecup dan ia berharap luka itu hilang
di leher itu. Grisell merasa dunia berputar di sekelilingnya. Lehernya
tercekat.
“Nathaniel?”
Ucapnya lirih. Matanya seperti tertusuk-tusuk hingga air mata mengumpul di
pelupuk matanya. “Kau di sini,”
Pria itu akhirnya tersenyum. Demi
Tuhan itu adalah senyum yang sering diberikan Nathaniel sebelum pria itu pergi
meninggalkannya selama bertahun-tahun. “Ya, aku di sini. Aku mencarimu,
Sayang,”
“Tapi kau tidak pernah kembali,”
bisik Grisell tak percaya. Tangan Isaac terangkat, jari-jarinya yang besar
mengelus pipi Grisell. “Sudah lima tahun aku menunggu tapi—“
“Ssh, aku di sini,” ucap Isaac
berusaha menenangkannya. “Jangan menangis, Manis. Aku benci melihatmu sedih,”
“Tapi aku sudah menunggu dan kau
tidak pernah kembali. Siapa kau sebenarnya?” “Pria
yang mencarimu selama beberapa minggu terakhir ini. Sudah kukatakan padamu,
Manis, aku akan kembali padamu. Kau sangat tidak sabar,”
“Setiap orang punya batas kesabaran,
Nathaniel. Kenapa kau baru kembali sekarang? Kenapa di saat aku telah mencintai
orang lain?” Tangan Grisell menyentuh pergelangan tangan Isaac. Pria itu
menarik nafas tajam. Dua alisnya bertaut tak suka. Siapa pun yang melihatnya
tahu bahwa pria itu marah.
“Kau mencintai orang lain?” Tanyanya
kasar. “Tapi aku mencintaimu, Grisell. Aku bekerja keras dan memupuk kekayaan
agar kita bisa membangun rumah tangga. Kau tidak mencintai pria itu. Saat
kudengar kau tinggal bersama Lord Moore, aku marah sekali. Dia bajingan tak
tahu diri. Kau tidak mencintainya, Grisell,” ucap pria itu yakin. Grisell tidak
yakin siapa yang sedang ia hadapi. Tapi ia ingin mengelus pipinya, memberitahu
padanya bahwa semuanya telah berakhir.
“Tapi kau terlambat,” bisik Grisell.
“Tidak ada kata terlambat untukku,
apa kau mengerti? Sekarang, ayo kita pergi ke Paris dan tinggalkan para
bajingan omong kosong itu,” ucap Isaac membujuk.
“Aku tidak bisa,” ucap Grisell.
Isaac terperangah atas jawaban itu. Ia tidak mengatakan apa pun—yang dimana itu
sangat menyiksa Grisell. Ia tidak dapat menahannya lagi. Air matanya sudah
berkumpul di pelupuk matanya, pandangannya kabur namun ia dapat melihat Isaac
mengangguk pada seseorang di belakang Grisell. Dalam sekejap, wajah Grisell
tersekap oleh satu sapu tangan.
“Seperti yang kubilang, ‘kecuali
jika aku melakukan jalan alternatif’,” ucap Isaac tersenyum. Grisell sempat
memberontak, namun dekapan pada wajahnya membuatnya tak dapat bernafas dan
semakin lama kegelapan menjemputnya. Terakhir yang ia dengar adalah suara seorang wanita.
Ia membutuhkan Lord Moore.
Sekarang.
lanjutin donk ceritanyaa penasaran dg kelanjutannya
BalasHapus