Minggu, 01 Februari 2015

Lucky Slut Bab 8

CHAPTER EIGHT

             Hampir semua orang sudah terlelap di tempat tidur masing-masing, bahkan Mr. Phee juga sudah mendapat posisi nyaman di atas bantal empuknya. Kecuali Grisell yang tampaknya malam ini lebih suka berjalan menyusuri Moore House tanpa alas kaki sama sekali. Awalnya ia berniat memanggil pelayan untuk mengambilkannya air minum, tapi karena ia tidak ingin membangunkan siapa pun, ia mengambil air minum sendiri di dapur. Alhasil, ia memegang gelas yang berisi air minum dan berjalan-jalan dari satu ruangan, ke ruangan lain. Niat Grisell ingin mencari kamar Lord Moore, tapi ia mengurungkan niatnya saat mengingat apa yang terjadi di antara mereka tadi sore. Panggilan ‘manis’ itu pasti sudah sering dilontarkan Lord Moore pada banyak wanita dan Grisell berjanji tidak akan termakan panggilan itu. Tidak, ia tidak merasa spesial saat Lord Moore memanggilnya seperti itu, tetapi ia teringat pria yang dulu pernah berjanji akan kembali padanya.
            Grisell tak pernah melihat seluruh wajah pria itu. Tapi ia tahu nama pria itu, Nathaniel Jacoby—entah itu nama asli atau bukan, Grisell tak peduli sekarang. Nathaniel bukan pria bangsawan, tapi pria yang selalu datang saat siang hari dan membawa pergi Grisell ke hutan agar mereka mendapat waktu sendirian untuk saling mencintai. Pria itu bertubuh tinggi, rambutnya cokelat keemasan, dengan bekas luka di lehernya yang selalu Grisell kecup dan berharap bekas luka itu hilang. Nathaniel selalu berani membawa Grisell pergi, bahkan saat Bibi Millicent tak mengizinkannya. Oh, Bibi Millicent memberi waktu istirahat bagi para pelacurnya di siang hari sampai sore, tapi setelah malam menyambut London, tidak satu pun di antara pelacur itu akan diam saja di atas sofa.
            Nathaniel selalu membawa dua selimut besar sebagai alas tidur mereka di atas tanah hutan dan untuk menutup tubuh mereka saat berhubungan intim. Pria itu jelas sangat membuat Grisell nyaman berada di pelukannya, lalu memberikan kata-kata yang menenangkan dan panggilan yang sangat mesra. Manis, begitu panggilnya. Dan terakhir Grisell dipanggil oleh pria, sekarang pria itu sudah tidak ada di sisi Grisell lagi. Dan tentu saja, Grisell tak ingin Lord Moore menjadi salah satu pria yang akan meninggalkannya. Mata biru Grisell menatap pintu ruang kerja Lord Moore yang setengah terbuka. Tak seperti biasanya. Pintu itu akan selalu tertutup rapat, baik ada Lord Moore atau tidak. Lalu ia mendengar suara kertas yang saling bergesekan. Tapi tidak mungkin seorang Lord Moore tetap terjaga selarut ini, pegangan Grisell pada gelasnya mengencang.
            Mau tak mau, rasa penasaran Grisell mengalahkan rasa ketakutannya. Ia bersyukur karena ia tidak memakai sepatu saat itu sehingga kaki telanjangnya tak mengeluarkan suara apa pun saat ia melangkah mendekati pintu ruang kerja Lord Moore. Mata Grisell melihat tongkat kayu yang berada dalam sebuah guci antik di dekat pintu itu. Sepertinya ia perlu memakai tongkat itu sekarang, mengantisipasi kejadian yang tidak ia inginkan. Dari dalam ruang kerja, terlihat siluet seorang pria di lantai kayu yang dipoles sedang bergerak-gerak memegang kertas. Pria itu sedang membaca sesuatu, kedua tangannya yang besar masing-masing memegang kertas lama. Mata cokelat pria itu membaca kertas yang di sebelah kiri dengan konsentrasi tajam hingga rahang bawah pria itu menegang. Malam itu ia memutuskan memakai selimut dari atas kepala sampai kakinya yang tertekuk di atas kursi sehingga ia kelihatan seperti berjongkok di atas kursi itu. Hawa malam ini sangat dingin, terutama ia malas mendorong kayu lain ke dalam perapian meski sekarang kayu-kayu itu semakin memendek. Bibirnya menipis saat ia membaca tulisan di kertas itu.

            …di sini aku sangat bahagia, Caleb. Jangan khawatirkan apa pun. Aku sangat mengerti akan kesibukanmu dan keluargamu. Aku ikut bahagia akan kelahiran anak pertama laki-lakimu. Kau tahu, Caleb, aku sering berandai-andai, bagaimana jika aku mengandung anak-anakmu? Pastilah ia akan tampan dan cantik, seperti anakmu sekarang. Katakan padaku, My Lord, apakah kau akan datang mengunjungiku seperti dulu? Di sini aku menunggumu.
            Katakan pada Moore kecilmu bahwa aku sangat ingin bertemu dengannya. Jika kau memiliki kesempatan My Lord, perkenalkanlah aku dengannya. Aku yakin ia adalah anak yang baik. Aku sangat mencintaimu, Caleb. Datanglah…

            Kekasihmu, Samantha
           
            “Siapa kau?” Lord Moore terlonjak hampir melompat dari kursinya, tangannya masih memegang kertas itu tanpa mengendurkan sedikitpun pegangannya. Kepalanya menoleh, selimut yang menutupi kepalanya jatuh ke punggungnya, menghadap sosok Grisell yang berdiri di ambang pintu dengan sebuah tongkat—tongkat Ayahnya!—di atas pundaknya. Tak ingin membuat keributan, Lord Moore menaruh kertas-kertas di tangannya ke atas meja lalu memberi kode pada Grisell untuk masuk ke dalam. Wanita itu mendesah nafas lega. “Sialan, Justin, kau seperti pencuri!” Seru Grisell berbisik, ia menurunkan tongkat itu dari pundaknya.
            Mendengar serapah dari Grisell, Lord Moore sepertinya harus terbiasa akan itu mulai dari sekarang. Sebelum Grisell masuk ke dalam ruang kerjanya, ia menutup pintu lalu menyandarkan tongkat itu di tembok berlapis kertas dinding. Pria itu segera membereskan kertas-kertas yang ia temukan di brankas hingga menjadi dua tumpukan yang sama rata lalu ia mengikat masing-masingnya dengan cekatan. Grisell memperhatikan pria itu tampak terburu-buru saat mengikat kertas itu menjadi satu, tapi tidak ada niatan apa pun darinya untuk bertanya tentang hal itu. Ia cepat-cepat duduk di atas sofa empuk dengan sandaran tangan yang menyangga pinggangnya. Tingginya sandaran hampir melenyapkan seluruh tubuh Grisell yang kecil bahkan Lord Moore hampir kesulitan melihat wajah Grisell dari meja kerjanya.
            “Bukankah seharusnya sekarang kau tidur, Miss Parnell?”
            “Bukankah kau juga seharusnya sekarang tidur, My Lord?” Grisell mengangkat punggungnya, menata pria dengan tatapan bermusuhan. Bahkan di malam selarut ini, Grisell masih berani mengajak pria itu berdebat. Namun tampaknya malam ini Lord Moore tidak memiliki gairah untuk berdebat. Surat-surat yang ia baca tadi—dan masih banyak yang belum ia baca—masih berlari-lari di kepalanya seperti tak mau berhenti. Samantha. Siapa Samantha sebenarnya? Ayahnya tak pernah menyebut nama wanita itu. Lord Moore tak terkejut bila Ayahnya memiliki hubungan gelap dengan siapa pun, tapi yang membuatnya terkejut sekarang adalah bagaimana Ayahnya berhasil menutup hubungan gelapnya dengan wanita itu begitu rapat. Ataukah selama ini, ia begitu bodoh karena tak menyadarinya?
            Melihat kebisuan dari Lord Moore, Grisell menutup mulutnya saat menguap lalu ia berbaring di atas sofa. Mata cokelat Lord Moore bagaikan elang saat mendengar gerakan tambahan yang dibuat Grisell, lalu pria itu bangkit dari kursi kerjanya. “Apa yang sedang kaulakukan? Kembalilah ke kamarmu sekarang, Miss Parnell. Kecuali jika kau mempunyai masalah, ceritakanlah. Mungkin aku bisa membantumu,”
            “Masalah?” Grisell mengambil bantal sofa yang tertindih punggungnya lalu menempatkan bantal itu ke sandaran tangan lalu ia menadahkan lehernya di sana. Ia menarik lututnya sehingga rok putihnya hampir tersingkap bila Grisell tak menahannya dengan tangan. Lord Moore yang melihat kaki telanjang wanita itu hampir kehilangan akal sehatnya. Di ruangan dingin, dua manusia berjenis kelamin berbeda dan pintu ruangan tertutup rapat, apa yang akan terjadi selanjutnya bila mereka tidak saling mengelus satu sama lain, menghangatkan tubuh mereka satu sama lain? Grisell tersenyum kecil menggoda saat ia mendapati sang Lord Moore memperhatikan kakinya seperti barang antik. Dengan sengaja, Grisell menarik paksa roknya hingga menutupi seluruh kakinya. Grisell hampir terkikik saat Lord Moore mengerjap-kerjapkan matanya, sadar akan perbuatan tak senonohnya.
            “Maafkan aku,” bisiknya mengucek matanya dengan jari telunjuk dan jempolnya seperti orang yang banyak pikiran. Pria itu berjalan menuju sofa yang berseberangan dengan sofa Grisell lalu menempatkan bokongnya di sana. Kedua sikut pria itu bertumpu pada ujung lututnya sehingga otot-otot lengannya seolah-seolah akan merobek kemeja itu. Otot pria itu tercetak jelas di kemeja ketat hingga secara tak sadar, Grisell menggigit bibir bawahnya.
            “Kau bisa menceritakan apa pun padaku, Lord Moore, kau tahu itu,” ucap Grisell saat ia tahu pria itu tidak akan mengatakan apa pun. “Baiklah, aku belum tidur karena tadi aku haus makanya aku turun ke bawah untuk mengambil segelas air. Tapi aku terlalu tertarik melihat rumah zaman dulu seperti ini. Kau tahulah seperti istana kuno. Kudengar rumah ini diturunkan pada tiga generasi, maksudku Cornelius bercerita padaku kalau ia bekerja untuk Kakekmu, Ayahmu dan sekarang kau,”
            “Sebenarnya 6 generasi, sudah banyak kejadian yang terjadi di sini sejak abad 15. Hebatnya Moore House tetap kokoh meski tentunya banyak perbaikan di setiap generasi berikutnya. Rumah ini menyimpan begitu banyak misteri yang sangat membingungkanku,” bisik Lord Moore mendesah pendek. Pria itu akhirnya memutuskan mengambil tongkat panjang yang terbuat dari besi di dekat sofanya lalu mendorong kayu-kayu yang belum terbakar dengan cekatan ke dalam perapian yang sebentar lagi akan mati. Api berwarna ungu kehijauan bercampur merah-jingga mulai menari-nari dalam perapian. Hawa dingin berganti menjadi hawa hangat yang menenangkan. Lord Moore membuka kancing pertama kemeja sehingga tulang yang membentuk segitiga di bawah lehernya kelihatan dan sangat menggoda.
            “Tentu saja,” bisik Grisell tak dapat melepaskan pandangannya pada kulit Lord Moore yang tampak seperti emas mengilat di bawah cahaya perapian. “Kau juga tentu akan meninggalkan misteri bagi anak-cucumu,” lanjut Grisell. Pria itu tersenyum kecil mendengar kalimat itu sangat benar. Bahkan sebelum anaknya lahir, ia sudah memiliki banyak misteri yang belum terpecahkan, begitu juga dengan dirinya. Misteri yang ditinggalkan Ayahnya bahkan sedang berbicara dengannya. Sebenarnya, apa hubungan Grisell di masa lalu Ayahnya? Apakah Grisell adalah anak haram Ayahnya? Tapi itu tidak mungkin. Jika benar begitu, Ayahnya tak mungkin memintanya menikahkan Grisell. Lalu, sebenarnya siapa Grisell, seorang pelacur muda yang menarik, hingga begitu berarti bagi Ayahnya?
            “Beritahu aku, Manis, apa kau memiliki rahasia yang harus kuungkapkan? Apakah sebenarnya kau ternyata adalah anak bangsawan?” Tanya Lord Moore membuat pose seperti sebelumnya, tapi kali ini dengan kancing kemeja pertama terbuka. Jika saja Grisell memiliki cukup keberanian bangkit dan merobek lengan kemeja itu, pasti malam ini akan menjadi sangat menyenangkan. Pemandangan itu teralihkan saat ia mencerna kembali pertanyaan pria itu, sekaligus panggilannya. Bayang-bayang seorang Nathaniel, pria bertopeng itu, kembali memasuki pikirannya.
            “Jangan panggil aku ‘Manis’, kumohon?”
            “Kenapa?”
            “Kau ingin tahu rahasiaku, bukan?” Grisell mengangkat punggungnya lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Kedua lututnya masih tertekuk, namun roknya berhasil menutupi seluruh kulit kakinya. Meski begitu, pemandangan ini tetap mengganggu Lord Moore yang tampaknya malam ini kelihatan pertahannya akan hancur.
            “Tergantung darimu, Man—maksudku, Miss Parnell. Jika kau bersedia menceritakannya, maka aku akan mendengarkan,” ucap Lord Moore serius. Grisell tak sekalipun menatap pria itu, ia takut jika saat ia menceritakan masa lalunya bersama Nathaniel, ia akan menangis. Ia tidak ingin kelihatan lemah di hadapan seorang pria, tidak sekalipun. Entah mengapa, jika ia menangis di depan seorang pria, harga dirinya lebih murah dibanding anjing jalanan. Ia berpikir, mungkin karena selama ini ia tidak memiliki seseorang yang benar-benar mencintai dirinya, ia sangat menghargai dirinya sendiri bahkan untuk bertindak lemah, ia berpikir itu seolah-olah penghinaan terhadap diri sendiri. Dan Nathaniel berhasil membuatnya menangis tiap ia memiliki kesempatan sendirian. Perasaan itu sekarang berubah menjadi kebencian tak kasat mata.
            Lord Moore menunggu sampai wanita di hadapannya siap. Ia memperhatikan Grisell yang menatap permadani hijaunya yang melapisi lantai kayu yang dipoles. Satu tangan wanita itu memeluk kedua lututnya dan yang lain mengelus tengkuknya. Mengapa Grisell tak suka dipanggil ‘Manis’? Bukankah itu panggilan yang mesra? Pria mana yang berani menyakiti seorang Grisell Parnell? Lord Moore mengakui kesalahannya kemarin malam, ia memang bertindak seperti bajingan. Tapi ia tidak pernah memiliki niatan untuk menyakiti perasaan Grisell. Dan entah mengapa, jika memang benar seorang pria pernah menyakiti perasaan Grisell, Lord Moore akan berusaha membuat Grisell benar-benar melupakan pria itu. Untuk seumur hidup.
            “Nathaniel adalah pria pertama yang mengunjungiku bukan sebagai pelanggan. Aku menjadi pelacur saat memasuki umur 16 tahun dan belum mengerti apa pun tentang itu. Saat itu aku sudah berumur 16,5 tahun dan Nathaniel datang membayar Bibiku agar ia bisa membawaku pergi ke hutan. Ia tidak sama sekali menyentuhku saat itu. Singkatnya, aku jatuh cinta padanya. Bisikannya, elusannya, panggilannya sangat memabukkan. Panggilan sayangnya padaku adalah ‘Manis’. Panggilan mesra yang selalu membuatku tersenyum. Dan kau tidak akan percaya bila aku bilang padamu kalau aku tak pernah melihat wajahnya. Ia selalu memakai topeng. Aku pernah mencoba melepaskan topeng itu saat kami… kau tahulah—itu aku yang memintanya. Tapi ia menolak, ia bilang aku tak perlu melihat wajahku untuk mencintaiku. Dan  aku mengiyakan apa yang ia katakana. Hubungan kami terus berjalan sampai aku berumur 17 tahun,
            “Dan satu kali ia datang pamit padaku dan mengatakan kalau ia akan kembali bila pekerjaannya sudah selesai. Sejak saat itu, aku tidak pernah mendengar kata ‘Manis’ darinya. Tiap kali pelangganku memanggilku ‘Manis’, aku selalu sengaja meremas… bolanya.”
            “Dia tak pernah datang,”
            “Tidak,” bisik Grisell akhirnya mengangkat pandangannya pada Lord Moore. Pria itu akhirnya bangkit dari sofa saat ia melihat dua mata biru itu berkaca-kaca. Dengan posesif, Lord Moore memeluk Grisell layaknya seorang kekasih penyayang. Pria itu menempatkan kepala Grisell di dadanya lalu mengecup puncak kepalanya. “Terima kasih,”
            “Apa ia pernah meninggalkan sesuatu padamu?”
            “Ya, sebuah kalung. Tapi Bibi Millicent menjualnya,” ucap Grisell terdengar tak menyesal. “Lord Moore, beritahu aku yang sebenarnya… apa yang kauinginkan dari seorang pelacur sepertiku?” Tanya Grisell menarik lepas rangkulan Lord Moore. Ia mendongak menatap Lord Moore yang duduk di sebelahnya, wajah mereka begitu dekat bahkan Lord Moore dapat melenyapkan Grisell hanya dengan satu rengkuhan dari lengan saat mencium Grisell. Bibir mungil itu bergetar basah, sesuatu yang sangat mengganggu Lord Moore untuk berpikir normal.   
            Tangan Lord Moore terangkat mengelus pipi Grisell yang seputih porselen, sangat kontras dengan warna kulitnya yang keemasan. Tangan Grisell menutup jari-jari besar Lord Moore, matanya terpejam menikmati elusan ibu jari pria itu. Kemudian air mata itu menetes.
            “Nathaniel sering melakukan itu padaku saat ia akan pulang. Tapi rasanya berbeda saat kau yang melakukannya. Katakan padaku, Lord Moore, sudah berapa banyak wanita yang kau taklukan hanya dengan sentuhan manis seperti ini?” Mata biru Grisell tampak kembali saat wanita itu berkedip satu kali. Matanya sekarang kelihatan lebih besar untuk kepala semungil itu. Grisell tak bodoh kelihatannya. Wanita itu memperhatikan. Wanita itu lebih tahu dibanding semua orang yang mengenal Lord Moore lebih dari 2 dekade. Dan wanita ini menebaknya begitu mudah dalam hitungan hari. Apakah sekentara itu? Tapi mengapa hanya Grisell yang mengetahuinya?
            “Banyak hingga kau sendiri pun akan iri,”
            “Apakah Henrietta termasuk  di dalamnya?”
            “Demi Tuhan, tidak!” Lord Moore menarik tangannya dari pipi wanita itu lalu ia menarik paksa pinggul Grisell ke atas tubuhnya sehingga wanita itu terpaksa mengangkang di atas paha Lord Moore. Tangan Grisell bergelanyut di leher pria itu, ia mengelus rambut-rambut nakal yang jatuh di tengkuk pria itu lalu memainkannya. Rambut itu begitu halus, lembut dan licin seperti daun berembun. “Berapa banyak pria yang mencium bibirmu itu?”
            “Tidak ada kecuali Nathaniel. Aku tak pernah mengizinkan pria mencium bibirku bila pria itu tidak mencintaiku.” Grisell tersenyum mengejek dirinya sendiri. “Bagaimana dengan kau? Berapa banyak wanita yang mencium bibirmu?”
            “3 wanita,”
            “Omong kosong!” Seru Grisell tertawa. “3 wanita? Kau tentu sadar kau memiliki tubuh sempurna bukan?”
            “Aku sepenuhnya sadar,” ucap Lord Moore tersenyum. Ya, Lord Moore sadar ia tak pernah tersenyum sesering ini. Tidak, senyum setulus ini. Tangan pria itu mulai mengelus-elus punggung Grisell dari atas sampai pinggulnya. “Dan aku tidak berbohong padamu,”
            “Jika begitu, apa kau akan menciumku sekarang?” Keduanya tak menyadari seberapa dekat wajah mereka sekarang. Hidung mereka hampir bersentuhan, keduanya berusaha membaca pikiran melalui tatapan mereka. Dua mata cokelat dan biru saling beradu lalu tanpa peringatan, Lord Moore menyapukan bibirnya ke bibir Grisell yang manis. Wanita mungil itu menyambutnya begitu baik. Ujung lidah mereka saling beradu lalu saling mengisap bibir satu sama lain. Ciuman Lord Moore begitu lembut, mulutnya dengan keahlian luar biasa berhasil mengisap bibir bawah Grisell seperti permen manis lalu diserbu dengan lidahnya yang seolah-olah tak mau berhenti melesakannya ke dalam mulut wanita itu. Grisell menjambak rambut Lord Moore saat pria itu meremas bokongnya.
            Ciuman pria itu berpindah ke pipi wanita itu lalu turun ke lehernya, mencium setiap jengkalnya, mengecapnya seolah-olah ia makanan lezat. Grisell mendongak, memberi akses lebih bagi pria itu. Lord Moore mengecup-kecup kulit lehernya sementara tangannya menarik paksa gaun bagian lehernya hingga buah dadanya tampak. Tangan besar Lord Moore meremas-remas buah dada itu lalu mencubit putingnya, Grisell mengeluarkan pekikan yang membuat Lord Moore nyaris gila. Kecupan-kecupan kecil itu akhirnya jatuh ke atas puncak buah dada itu, ia mengecupnya lalu mengisapnya. Tangan Lord Moore menahan punggung Grisell sementara tangannya yang lain mulai masuk ke balik rok gaun tidur Grisell.
            Lord Moore dapat merasakan kehangatan di bawah sana saat jari-jarinya menyentuh pakaian dalam Grisell. Ujung jari tengahnya merasakan kelembaban yang memabukkan Lord Moore, kecupannya digantikan dengan gigitan lembut yang membuat Grisell mendesah. Seluruh tubuh Grisell tiba-tiba bergetar seperti orang kerasukan begitu jari Lord Moore menyelinap masuk dari balik pakaian dalamnya dan menyentuh kelembutan di bawah sana. Kepala Grisell tertunduk, bersentuhan dengan kening Lord Moore yang berkeringat.
            “Kumohon,” bisiknya setengah merengek. Jari-jari itu akhirnya terselip di antara lipatan itu, ia mengelusnya begitu lihai hingga Grisell mau tak mau menggerakkan pinggulnya juga, mereguk seluruh kenikmatan yang diberikan Lord Moore. “Oh, Justin, apa yang kaulakukan?” Grisell hampir blingsatan saat pria itu dengan sengaja menyentuh tombol cintanya yang sangat sensitif. Grisell menyembunyikan wajahnya di antara leher pria itu, bibir mengecup leher pria itu. Terasa asin, tembakau dan bercampur manis dari anggur. Oh sialan, mengapa rasanya begitu nikmat? Buah dadanya bergesekan dengan kemeja pria itu saat ia sedang menggerak-gerakan pinggulnya.
            “Ssh.” Pria itu tak sekalipun memasukkan jarinya ke dalam sana. Tapi dalam hitungan detik, pria itu mengelus-elus Grisell hingga wanita itu menggelepar-gelepar di atas tubuhnya. Pinggulnya terdorong ke arah Lord Moore, seperti meminta lebih banyak kenikmatan. Ia tidak sama sekali menjerit saat kenikmatannya tercapai. Jari pria itu keluar dari balik pakaian dalamnya lalu Grisell memejamkan matanya, tak ingin melihat apa yang pria itu lakukan. Nafas mereka saling berburu satu sama lain, namun Lord Moore orang pertama yang sadar akan apa yang mereka perbuat. Pria itu dengan tenang menempatkan kembali buah dada itu ke dalam gaun tidurnya lalu membenarkan kemejanya sendiri.
            “Terima kasih,” bisik Grisell akhirnya bangkit dari paha Lord Moore. Sebelum Grisell mengambil langkah pertamanya, Lord Moore menahan tangan Grisell dengan tangannya yang sudah kering. “Apa?”
            “Tidurlah bersamaku di sini. Untuk itulah aku memanggilmu ke sini, Grisell.”
            “Maksudmu, kau membeliku dengan harga 20 shilling hanya untuk tidur bersamamu?” Grisell bertanya polos. Wanita polos bercampur nakal ini sangat menantang Lord Moore. Dan malam ini, meski Lord Moore menginginkan pelepasan yang sama, ia berhasil menaklukan satu wanita katanya sangat ahli di ranjang. Tapi lihatlah, hanya hitungan kurang dari 5 menit, wanita itu seperti kerasukan setan begitu mendapat pelepasannya. Ya, semua orang tahu Lord Moore ahli di ranjang meski sebagian besar dari mereka tak percaya Lord Moore akan memiliki skandal. Pria itu tidak menjawab pertanyaan Grisell, ia menarik Grisell ke dalam pelukannya. Lalu dengan kecepatan yang membingungkan, pria itu sudah terbaring di atas sofa bersama Grisell di bagian dalam sofa sehingga Grisell mendapat kehangatan maksimal dari pria itu.
            “Bukankah ini lebih baik daripada berdebat, Sayangku?”
            “Aku belum memberikan kenikmatan apa pun untukmu, My Lord,” bisik Grisell mendongak, menatap Lord Moore yang menunduk menatapnya. Pria itu tersenyum kecil, dan dengan sengaja pria itu menindih paha Grisell dengan pahanya sehingga perut Grisell dapat merasakan tonjolan keras di bawah sana. Pipi Grisell memerah merasakannya, namun ia tak berusaha menarik diri.
            “Aku ingin kau menjadi istriku, itulah alasan mengapa aku membelimu.”
            “Menjadi istrimu? Bukankah Henrietta adalah pilihan yang lebih baik? Dia bisa membaca, kau tahu,” ucap Grisell sedikit sarkastik.
            “Tidak peduli kau bisa membaca atau tidak, aku selalu kehilangan kendali saat bersamamu,” ucap Lord Moore. Lalu pria itu melanjutkan, “Grisell, apa kau ingin menjadi istriku?”
            “Tergantung.” Jawaban itu membuat Lord Moore tertawa terhibur.
            “Tergantung?”
            “Tergantung apakah kau mencintaiku atau tidak, Lord Moore. Pikirkanlah itu.” Lalu pria itu merengkuh Grisell dalam pelukannya, mereka memejamkan mata. Membiarkan mimpi menjadi dunia mereka malam itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar