CHAPTER EIGHT
Hampir semua orang sudah terlelap di tempat
tidur masing-masing, bahkan Mr. Phee juga sudah mendapat posisi nyaman di atas
bantal empuknya. Kecuali Grisell yang tampaknya malam ini lebih suka berjalan
menyusuri Moore House tanpa alas kaki sama sekali. Awalnya ia berniat memanggil
pelayan untuk mengambilkannya air minum, tapi karena ia tidak ingin
membangunkan siapa pun, ia mengambil air minum sendiri di dapur. Alhasil, ia
memegang gelas yang berisi air minum dan berjalan-jalan dari satu ruangan, ke
ruangan lain. Niat Grisell ingin mencari kamar Lord Moore, tapi ia mengurungkan
niatnya saat mengingat apa yang terjadi di antara mereka tadi sore. Panggilan
‘manis’ itu pasti sudah sering dilontarkan Lord Moore pada banyak wanita dan
Grisell berjanji tidak akan termakan panggilan itu. Tidak, ia tidak merasa
spesial saat Lord Moore memanggilnya seperti itu, tetapi ia teringat pria yang
dulu pernah berjanji akan kembali padanya.
Grisell tak pernah melihat seluruh
wajah pria itu. Tapi ia tahu nama pria itu, Nathaniel Jacoby—entah itu nama
asli atau bukan, Grisell tak peduli sekarang. Nathaniel bukan pria bangsawan,
tapi pria yang selalu datang saat siang hari dan membawa pergi Grisell ke hutan
agar mereka mendapat waktu sendirian untuk saling mencintai. Pria itu bertubuh
tinggi, rambutnya cokelat keemasan, dengan bekas luka di lehernya yang selalu
Grisell kecup dan berharap bekas luka itu hilang. Nathaniel selalu berani
membawa Grisell pergi, bahkan saat Bibi Millicent tak mengizinkannya. Oh, Bibi
Millicent memberi waktu istirahat bagi para pelacurnya di siang hari sampai
sore, tapi setelah malam menyambut London, tidak satu pun di antara pelacur itu
akan diam saja di atas sofa.
Nathaniel selalu membawa dua selimut
besar sebagai alas tidur mereka di atas tanah hutan dan untuk menutup tubuh
mereka saat berhubungan intim. Pria itu jelas sangat membuat Grisell nyaman
berada di pelukannya, lalu memberikan kata-kata yang menenangkan dan panggilan
yang sangat mesra. Manis, begitu panggilnya. Dan terakhir Grisell dipanggil oleh
pria, sekarang pria itu sudah tidak ada di sisi Grisell lagi. Dan tentu saja,
Grisell tak ingin Lord Moore menjadi salah satu pria yang akan meninggalkannya.
Mata biru Grisell menatap pintu ruang kerja Lord Moore yang setengah terbuka.
Tak seperti biasanya. Pintu itu akan selalu tertutup rapat, baik ada Lord Moore
atau tidak. Lalu ia mendengar suara kertas yang saling bergesekan. Tapi tidak
mungkin seorang Lord Moore tetap terjaga selarut ini, pegangan Grisell pada
gelasnya mengencang.
Mau tak mau, rasa penasaran Grisell
mengalahkan rasa ketakutannya. Ia bersyukur karena ia tidak memakai sepatu saat
itu sehingga kaki telanjangnya tak mengeluarkan suara apa pun saat ia melangkah
mendekati pintu ruang kerja Lord Moore. Mata Grisell melihat tongkat kayu yang
berada dalam sebuah guci antik di dekat pintu itu. Sepertinya ia perlu memakai
tongkat itu sekarang, mengantisipasi kejadian yang tidak ia inginkan. Dari
dalam ruang kerja, terlihat siluet seorang pria di lantai kayu yang dipoles
sedang bergerak-gerak memegang kertas. Pria itu sedang membaca sesuatu, kedua
tangannya yang besar masing-masing memegang kertas lama. Mata cokelat pria itu
membaca kertas yang di sebelah kiri dengan konsentrasi tajam hingga rahang
bawah pria itu menegang. Malam itu ia memutuskan memakai selimut dari atas
kepala sampai kakinya yang tertekuk di atas kursi sehingga ia kelihatan seperti
berjongkok di atas kursi itu. Hawa malam ini sangat dingin, terutama ia malas
mendorong kayu lain ke dalam perapian meski sekarang kayu-kayu itu semakin
memendek. Bibirnya menipis saat ia membaca tulisan di kertas itu.
…di
sini aku sangat bahagia, Caleb. Jangan khawatirkan apa pun. Aku sangat mengerti
akan kesibukanmu dan keluargamu. Aku ikut bahagia akan kelahiran anak pertama
laki-lakimu. Kau tahu, Caleb, aku sering berandai-andai, bagaimana jika aku
mengandung anak-anakmu? Pastilah ia akan tampan dan cantik, seperti anakmu
sekarang. Katakan padaku, My Lord, apakah kau akan datang mengunjungiku seperti
dulu? Di sini aku menunggumu.
Katakan
pada Moore kecilmu bahwa aku sangat ingin bertemu dengannya. Jika kau memiliki
kesempatan My Lord, perkenalkanlah aku dengannya. Aku yakin ia adalah anak yang
baik. Aku sangat mencintaimu, Caleb. Datanglah…
Kekasihmu,
Samantha
“Siapa kau?” Lord Moore terlonjak
hampir melompat dari kursinya, tangannya masih memegang kertas itu tanpa
mengendurkan sedikitpun pegangannya. Kepalanya menoleh, selimut yang menutupi
kepalanya jatuh ke punggungnya, menghadap sosok Grisell yang berdiri di ambang
pintu dengan sebuah tongkat—tongkat Ayahnya!—di atas pundaknya. Tak ingin
membuat keributan, Lord Moore menaruh kertas-kertas di tangannya ke atas meja
lalu memberi kode pada Grisell untuk masuk ke dalam. Wanita itu mendesah nafas
lega. “Sialan, Justin, kau seperti pencuri!” Seru Grisell berbisik, ia
menurunkan tongkat itu dari pundaknya.
Mendengar serapah dari Grisell, Lord
Moore sepertinya harus terbiasa akan itu mulai dari sekarang. Sebelum Grisell
masuk ke dalam ruang kerjanya, ia menutup pintu lalu menyandarkan tongkat itu
di tembok berlapis kertas dinding. Pria itu segera membereskan kertas-kertas
yang ia temukan di brankas hingga menjadi dua tumpukan yang sama rata lalu ia
mengikat masing-masingnya dengan cekatan. Grisell memperhatikan pria itu tampak
terburu-buru saat mengikat kertas itu menjadi satu, tapi tidak ada niatan apa
pun darinya untuk bertanya tentang hal itu. Ia cepat-cepat duduk di atas sofa
empuk dengan sandaran tangan yang menyangga pinggangnya. Tingginya sandaran
hampir melenyapkan seluruh tubuh Grisell yang kecil bahkan Lord Moore hampir
kesulitan melihat wajah Grisell dari meja kerjanya.
“Bukankah seharusnya sekarang kau
tidur, Miss Parnell?”
“Bukankah kau juga seharusnya
sekarang tidur, My Lord?” Grisell mengangkat punggungnya, menata pria dengan
tatapan bermusuhan. Bahkan di malam selarut ini, Grisell masih berani mengajak
pria itu berdebat. Namun tampaknya malam ini Lord Moore tidak memiliki gairah
untuk berdebat. Surat-surat yang ia baca tadi—dan masih banyak yang belum ia
baca—masih berlari-lari di kepalanya seperti tak mau berhenti. Samantha. Siapa Samantha sebenarnya?
Ayahnya tak pernah menyebut nama wanita itu. Lord Moore tak terkejut bila
Ayahnya memiliki hubungan gelap dengan siapa pun, tapi yang membuatnya terkejut
sekarang adalah bagaimana Ayahnya berhasil menutup hubungan gelapnya dengan
wanita itu begitu rapat. Ataukah selama ini, ia begitu bodoh karena tak
menyadarinya?
Melihat kebisuan dari Lord Moore,
Grisell menutup mulutnya saat menguap lalu ia berbaring di atas sofa. Mata
cokelat Lord Moore bagaikan elang saat mendengar gerakan tambahan yang dibuat
Grisell, lalu pria itu bangkit dari kursi kerjanya. “Apa yang sedang
kaulakukan? Kembalilah ke kamarmu sekarang, Miss Parnell. Kecuali jika kau
mempunyai masalah, ceritakanlah. Mungkin aku bisa membantumu,”
“Masalah?” Grisell mengambil bantal
sofa yang tertindih punggungnya lalu menempatkan bantal itu ke sandaran tangan
lalu ia menadahkan lehernya di sana. Ia menarik lututnya sehingga rok putihnya
hampir tersingkap bila Grisell tak menahannya dengan tangan. Lord Moore yang
melihat kaki telanjang wanita itu hampir kehilangan akal sehatnya. Di ruangan
dingin, dua manusia berjenis kelamin berbeda dan pintu ruangan tertutup rapat,
apa yang akan terjadi selanjutnya bila mereka tidak saling mengelus satu sama
lain, menghangatkan tubuh mereka satu sama lain? Grisell tersenyum kecil
menggoda saat ia mendapati sang Lord Moore memperhatikan kakinya seperti barang
antik. Dengan sengaja, Grisell menarik paksa roknya hingga menutupi seluruh
kakinya. Grisell hampir terkikik saat Lord Moore mengerjap-kerjapkan matanya,
sadar akan perbuatan tak senonohnya.
“Maafkan aku,” bisiknya mengucek
matanya dengan jari telunjuk dan jempolnya seperti orang yang banyak pikiran.
Pria itu berjalan menuju sofa yang berseberangan dengan sofa Grisell lalu
menempatkan bokongnya di sana. Kedua sikut pria itu bertumpu pada ujung
lututnya sehingga otot-otot lengannya seolah-seolah akan merobek kemeja itu.
Otot pria itu tercetak jelas di kemeja ketat hingga secara tak sadar, Grisell
menggigit bibir bawahnya.
“Kau bisa menceritakan apa pun
padaku, Lord Moore, kau tahu itu,” ucap Grisell saat ia tahu pria itu tidak
akan mengatakan apa pun. “Baiklah, aku belum tidur karena tadi aku haus makanya
aku turun ke bawah untuk mengambil segelas air. Tapi aku terlalu tertarik
melihat rumah zaman dulu seperti ini. Kau tahulah seperti istana kuno. Kudengar
rumah ini diturunkan pada tiga generasi, maksudku Cornelius bercerita padaku
kalau ia bekerja untuk Kakekmu, Ayahmu dan sekarang kau,”
“Sebenarnya 6 generasi, sudah banyak
kejadian yang terjadi di sini sejak abad 15. Hebatnya Moore House tetap kokoh
meski tentunya banyak perbaikan di setiap generasi berikutnya. Rumah ini
menyimpan begitu banyak misteri yang sangat membingungkanku,” bisik Lord Moore
mendesah pendek. Pria itu akhirnya memutuskan mengambil tongkat panjang yang
terbuat dari besi di dekat sofanya lalu mendorong kayu-kayu yang belum terbakar
dengan cekatan ke dalam perapian yang sebentar lagi akan mati. Api berwarna
ungu kehijauan bercampur merah-jingga mulai menari-nari dalam perapian. Hawa
dingin berganti menjadi hawa hangat yang menenangkan. Lord Moore membuka
kancing pertama kemeja sehingga tulang yang membentuk segitiga di bawah
lehernya kelihatan dan sangat menggoda.
“Tentu saja,” bisik Grisell tak
dapat melepaskan pandangannya pada kulit Lord Moore yang tampak seperti emas
mengilat di bawah cahaya perapian. “Kau juga tentu akan meninggalkan misteri
bagi anak-cucumu,” lanjut Grisell. Pria itu tersenyum kecil mendengar kalimat
itu sangat benar. Bahkan sebelum anaknya lahir, ia sudah memiliki banyak
misteri yang belum terpecahkan, begitu juga dengan dirinya. Misteri yang
ditinggalkan Ayahnya bahkan sedang berbicara dengannya. Sebenarnya, apa
hubungan Grisell di masa lalu Ayahnya? Apakah Grisell adalah anak haram
Ayahnya? Tapi itu tidak mungkin. Jika benar begitu, Ayahnya tak mungkin
memintanya menikahkan Grisell. Lalu, sebenarnya siapa Grisell, seorang pelacur
muda yang menarik, hingga begitu berarti bagi Ayahnya?
“Beritahu aku, Manis, apa kau
memiliki rahasia yang harus kuungkapkan? Apakah sebenarnya kau ternyata adalah
anak bangsawan?” Tanya Lord Moore membuat pose seperti sebelumnya, tapi kali
ini dengan kancing kemeja pertama terbuka. Jika saja Grisell memiliki cukup
keberanian bangkit dan merobek lengan kemeja itu, pasti malam ini akan menjadi
sangat menyenangkan. Pemandangan itu teralihkan saat ia mencerna kembali
pertanyaan pria itu, sekaligus panggilannya. Bayang-bayang seorang Nathaniel,
pria bertopeng itu, kembali memasuki pikirannya.
“Jangan panggil aku ‘Manis’, kumohon?”
“Kenapa?”
“Kau ingin tahu rahasiaku, bukan?”
Grisell mengangkat punggungnya lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa.
Kedua lututnya masih tertekuk, namun roknya berhasil menutupi seluruh kulit
kakinya. Meski begitu, pemandangan ini tetap mengganggu Lord Moore yang
tampaknya malam ini kelihatan pertahannya akan hancur.
“Tergantung darimu, Man—maksudku,
Miss Parnell. Jika kau bersedia menceritakannya, maka aku akan mendengarkan,”
ucap Lord Moore serius. Grisell tak sekalipun menatap pria itu, ia takut jika
saat ia menceritakan masa lalunya bersama Nathaniel, ia akan menangis. Ia tidak
ingin kelihatan lemah di hadapan seorang pria, tidak sekalipun. Entah mengapa,
jika ia menangis di depan seorang pria, harga dirinya lebih murah dibanding
anjing jalanan. Ia berpikir, mungkin karena selama ini ia tidak memiliki
seseorang yang benar-benar mencintai dirinya, ia sangat menghargai dirinya
sendiri bahkan untuk bertindak lemah, ia berpikir itu seolah-olah penghinaan
terhadap diri sendiri. Dan Nathaniel berhasil membuatnya menangis tiap ia
memiliki kesempatan sendirian. Perasaan itu sekarang berubah menjadi kebencian
tak kasat mata.
Lord Moore menunggu sampai wanita di
hadapannya siap. Ia memperhatikan Grisell yang menatap permadani hijaunya yang
melapisi lantai kayu yang dipoles. Satu tangan wanita itu memeluk kedua
lututnya dan yang lain mengelus tengkuknya. Mengapa Grisell tak suka dipanggil
‘Manis’? Bukankah itu panggilan yang mesra? Pria mana yang berani menyakiti
seorang Grisell Parnell? Lord Moore mengakui kesalahannya kemarin malam, ia
memang bertindak seperti bajingan. Tapi ia tidak pernah memiliki niatan untuk
menyakiti perasaan Grisell. Dan entah mengapa, jika memang benar seorang pria
pernah menyakiti perasaan Grisell, Lord Moore akan berusaha membuat Grisell
benar-benar melupakan pria itu. Untuk seumur hidup.
“Nathaniel adalah pria pertama yang
mengunjungiku bukan sebagai pelanggan. Aku menjadi pelacur saat memasuki umur
16 tahun dan belum mengerti apa pun tentang itu.
Saat itu aku sudah berumur 16,5 tahun dan Nathaniel datang membayar Bibiku agar
ia bisa membawaku pergi ke hutan. Ia tidak sama sekali menyentuhku saat itu.
Singkatnya, aku jatuh cinta padanya. Bisikannya, elusannya, panggilannya sangat
memabukkan. Panggilan sayangnya padaku adalah ‘Manis’. Panggilan mesra yang
selalu membuatku tersenyum. Dan kau tidak akan percaya bila aku bilang padamu
kalau aku tak pernah melihat wajahnya. Ia selalu memakai topeng. Aku pernah
mencoba melepaskan topeng itu saat kami… kau tahulah—itu aku yang memintanya.
Tapi ia menolak, ia bilang aku tak perlu melihat wajahku untuk mencintaiku.
Dan aku mengiyakan apa yang ia katakana.
Hubungan kami terus berjalan sampai aku berumur 17 tahun,
“Dan satu kali ia datang pamit
padaku dan mengatakan kalau ia akan kembali bila pekerjaannya sudah selesai. Sejak
saat itu, aku tidak pernah mendengar kata ‘Manis’ darinya. Tiap kali
pelangganku memanggilku ‘Manis’, aku selalu sengaja meremas… bolanya.”
“Dia tak pernah datang,”
“Tidak,” bisik Grisell akhirnya mengangkat
pandangannya pada Lord Moore. Pria itu akhirnya bangkit dari sofa saat ia
melihat dua mata biru itu berkaca-kaca. Dengan posesif, Lord Moore memeluk
Grisell layaknya seorang kekasih penyayang. Pria itu menempatkan kepala Grisell
di dadanya lalu mengecup puncak kepalanya. “Terima kasih,”
“Apa ia pernah meninggalkan sesuatu
padamu?”
“Ya, sebuah kalung. Tapi Bibi
Millicent menjualnya,” ucap Grisell terdengar tak menyesal. “Lord Moore,
beritahu aku yang sebenarnya… apa yang kauinginkan dari seorang pelacur
sepertiku?” Tanya Grisell menarik lepas rangkulan Lord Moore. Ia mendongak
menatap Lord Moore yang duduk di sebelahnya, wajah mereka begitu dekat bahkan
Lord Moore dapat melenyapkan Grisell hanya dengan satu rengkuhan dari lengan
saat mencium Grisell. Bibir mungil itu bergetar basah, sesuatu yang sangat
mengganggu Lord Moore untuk berpikir normal.
Tangan Lord Moore terangkat mengelus
pipi Grisell yang seputih porselen, sangat kontras dengan warna kulitnya yang
keemasan. Tangan Grisell menutup jari-jari besar Lord Moore, matanya terpejam
menikmati elusan ibu jari pria itu. Kemudian air mata itu menetes.
“Nathaniel sering melakukan itu
padaku saat ia akan pulang. Tapi rasanya berbeda saat kau yang melakukannya.
Katakan padaku, Lord Moore, sudah berapa banyak wanita yang kau taklukan hanya
dengan sentuhan manis seperti ini?” Mata biru Grisell tampak kembali saat
wanita itu berkedip satu kali. Matanya sekarang kelihatan lebih besar untuk
kepala semungil itu. Grisell tak bodoh kelihatannya. Wanita itu memperhatikan.
Wanita itu lebih tahu dibanding semua orang yang mengenal Lord Moore lebih dari
2 dekade. Dan wanita ini menebaknya begitu mudah dalam hitungan hari. Apakah
sekentara itu? Tapi mengapa hanya Grisell yang mengetahuinya?
“Banyak hingga kau sendiri pun akan
iri,”
“Apakah Henrietta termasuk di dalamnya?”
“Demi Tuhan, tidak!” Lord Moore
menarik tangannya dari pipi wanita itu lalu ia menarik paksa pinggul Grisell ke
atas tubuhnya sehingga wanita itu terpaksa mengangkang di atas paha Lord Moore.
Tangan Grisell bergelanyut di leher pria itu, ia mengelus rambut-rambut nakal
yang jatuh di tengkuk pria itu lalu memainkannya. Rambut itu begitu halus,
lembut dan licin seperti daun berembun. “Berapa banyak pria yang mencium
bibirmu itu?”
“Tidak ada kecuali Nathaniel. Aku
tak pernah mengizinkan pria mencium bibirku bila pria itu tidak mencintaiku.”
Grisell tersenyum mengejek dirinya sendiri. “Bagaimana dengan kau? Berapa
banyak wanita yang mencium bibirmu?”
“3 wanita,”
“Omong kosong!” Seru Grisell tertawa.
“3 wanita? Kau tentu sadar kau memiliki tubuh sempurna bukan?”
“Aku sepenuhnya sadar,” ucap Lord
Moore tersenyum. Ya, Lord Moore sadar ia tak pernah tersenyum sesering ini.
Tidak, senyum setulus ini. Tangan pria itu mulai mengelus-elus punggung Grisell
dari atas sampai pinggulnya. “Dan aku tidak berbohong padamu,”
“Jika begitu, apa kau akan menciumku
sekarang?” Keduanya tak menyadari seberapa dekat wajah mereka sekarang. Hidung
mereka hampir bersentuhan, keduanya berusaha membaca pikiran melalui tatapan
mereka. Dua mata cokelat dan biru saling beradu lalu tanpa peringatan, Lord
Moore menyapukan bibirnya ke bibir Grisell yang manis. Wanita mungil itu
menyambutnya begitu baik. Ujung lidah mereka saling beradu lalu saling mengisap
bibir satu sama lain. Ciuman Lord Moore begitu lembut, mulutnya dengan keahlian
luar biasa berhasil mengisap bibir bawah Grisell seperti permen manis lalu
diserbu dengan lidahnya yang seolah-olah tak mau berhenti melesakannya ke dalam
mulut wanita itu. Grisell menjambak rambut Lord Moore saat pria itu meremas
bokongnya.
Ciuman pria itu berpindah ke pipi
wanita itu lalu turun ke lehernya, mencium setiap jengkalnya, mengecapnya
seolah-olah ia makanan lezat. Grisell mendongak, memberi akses lebih bagi pria
itu. Lord Moore mengecup-kecup kulit lehernya sementara tangannya menarik paksa
gaun bagian lehernya hingga buah dadanya tampak. Tangan besar Lord Moore
meremas-remas buah dada itu lalu mencubit putingnya, Grisell mengeluarkan
pekikan yang membuat Lord Moore nyaris gila. Kecupan-kecupan kecil itu akhirnya
jatuh ke atas puncak buah dada itu, ia mengecupnya lalu mengisapnya. Tangan
Lord Moore menahan punggung Grisell sementara tangannya yang lain mulai masuk
ke balik rok gaun tidur Grisell.
Lord Moore dapat merasakan
kehangatan di bawah sana saat jari-jarinya menyentuh pakaian dalam Grisell.
Ujung jari tengahnya merasakan kelembaban yang memabukkan Lord Moore,
kecupannya digantikan dengan gigitan lembut yang membuat Grisell mendesah.
Seluruh tubuh Grisell tiba-tiba bergetar seperti orang kerasukan begitu jari
Lord Moore menyelinap masuk dari balik pakaian dalamnya dan menyentuh
kelembutan di bawah sana. Kepala Grisell tertunduk, bersentuhan dengan kening
Lord Moore yang berkeringat.
“Kumohon,” bisiknya setengah
merengek. Jari-jari itu akhirnya terselip di antara lipatan itu, ia mengelusnya
begitu lihai hingga Grisell mau tak mau menggerakkan pinggulnya juga, mereguk
seluruh kenikmatan yang diberikan Lord Moore. “Oh, Justin, apa yang
kaulakukan?” Grisell hampir blingsatan saat pria itu dengan sengaja menyentuh
tombol cintanya yang sangat sensitif. Grisell menyembunyikan wajahnya di antara
leher pria itu, bibir mengecup leher pria itu. Terasa asin, tembakau dan
bercampur manis dari anggur. Oh sialan, mengapa rasanya begitu nikmat? Buah
dadanya bergesekan dengan kemeja pria itu saat ia sedang menggerak-gerakan
pinggulnya.
“Ssh.” Pria itu tak sekalipun
memasukkan jarinya ke dalam sana. Tapi
dalam hitungan detik, pria itu mengelus-elus Grisell hingga wanita itu
menggelepar-gelepar di atas tubuhnya. Pinggulnya terdorong ke arah Lord Moore,
seperti meminta lebih banyak kenikmatan. Ia tidak sama sekali menjerit saat
kenikmatannya tercapai. Jari pria itu keluar dari balik pakaian dalamnya lalu
Grisell memejamkan matanya, tak ingin melihat apa yang pria itu lakukan. Nafas
mereka saling berburu satu sama lain, namun Lord Moore orang pertama yang sadar
akan apa yang mereka perbuat. Pria itu dengan tenang menempatkan kembali buah
dada itu ke dalam gaun tidurnya lalu membenarkan kemejanya sendiri.
“Terima kasih,” bisik Grisell
akhirnya bangkit dari paha Lord Moore. Sebelum Grisell mengambil langkah
pertamanya, Lord Moore menahan tangan Grisell dengan tangannya yang sudah
kering. “Apa?”
“Tidurlah bersamaku di sini. Untuk
itulah aku memanggilmu ke sini, Grisell.”
“Maksudmu, kau membeliku dengan harga
20 shilling hanya untuk tidur bersamamu?” Grisell bertanya polos. Wanita polos
bercampur nakal ini sangat menantang Lord Moore. Dan malam ini, meski Lord
Moore menginginkan pelepasan yang sama, ia berhasil menaklukan satu wanita katanya sangat ahli di ranjang. Tapi
lihatlah, hanya hitungan kurang dari 5 menit, wanita itu seperti kerasukan
setan begitu mendapat pelepasannya. Ya, semua orang tahu Lord Moore ahli di
ranjang meski sebagian besar dari mereka tak percaya Lord Moore akan memiliki
skandal. Pria itu tidak menjawab pertanyaan Grisell, ia menarik Grisell ke
dalam pelukannya. Lalu dengan kecepatan yang membingungkan, pria itu sudah
terbaring di atas sofa bersama Grisell di bagian dalam sofa sehingga Grisell
mendapat kehangatan maksimal dari pria itu.
“Bukankah ini lebih baik daripada
berdebat, Sayangku?”
“Aku belum memberikan kenikmatan apa
pun untukmu, My Lord,” bisik Grisell mendongak, menatap Lord Moore yang
menunduk menatapnya. Pria itu tersenyum kecil, dan dengan sengaja pria itu
menindih paha Grisell dengan pahanya sehingga perut Grisell dapat merasakan
tonjolan keras di bawah sana. Pipi Grisell memerah merasakannya, namun ia tak
berusaha menarik diri.
“Aku ingin kau menjadi istriku,
itulah alasan mengapa aku membelimu.”
“Menjadi istrimu? Bukankah Henrietta
adalah pilihan yang lebih baik? Dia bisa membaca, kau tahu,” ucap Grisell
sedikit sarkastik.
“Tidak peduli kau bisa membaca atau
tidak, aku selalu kehilangan kendali saat bersamamu,” ucap Lord Moore. Lalu
pria itu melanjutkan, “Grisell, apa kau ingin menjadi istriku?”
“Tergantung.” Jawaban itu membuat
Lord Moore tertawa terhibur.
“Tergantung?”
“Tergantung apakah kau mencintaiku
atau tidak, Lord Moore. Pikirkanlah itu.” Lalu pria itu merengkuh Grisell dalam
pelukannya, mereka memejamkan mata. Membiarkan mimpi menjadi dunia mereka malam
itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar