Minggu, 18 Januari 2015

Lucky Slut Bab 6




CHAPTER SIX

            “Kau bajingan kotor!” adalah kata-kata yang keluar dari mulut Grisell begitu ia menampar pipi Justin dengan tangan kirinya. Mildred terkesiap mendengar kata-kata itu keluar dari mulut seorang perempuan. Bridget, satu-satunya wanita yang memiliki rambut pirang di keluarga Moore, berusaha agar tidak muntah mendengar sebutan itu untuk kakaknya. Bahkan seumur hidupnya, tidak ada seorang pun yang berani menghina Lord Moore. Tapi bibir mungil itu berhasil meluncurkan sebutan itu dengan indah dan sempurna. Terutama tamparannya. Bridget penasaran bagaimana rasanya menampar kakaknya atau bagaimana perasaan kakaknya saat ditampar.
            Hope hampir melompat di tempatnya saat Grisell menginjak kaki Lord Moore yang dilindungi sepatu hitam mengkilatnya. “Miss Parnell,” desis Lord Moore menipiskan bibirnya, menahan rasa sakit saat hak sepatu Grisell menginjak kakinya. Bukannya merasa bersalah, Grisell mengangkat roknya dengan kedua tangan lalu memalingkan tubuh dari Lord Moore, ia berlari keluar dari ruang duduk. Lord Moore harus mengakui meski Grisell mempunyai tubuh yang mungil, kekuatan menginjak kakinya cukup membuatnya terdiam di tempat.
            “Aku akan menanganinya,” ucap Benjamin segera. Mildred mengangguk setuju karena sejauh yang ia tahu, Benjamin sangat ahli menenangkan seorang wanita—itu salah satu alasan mengapa ia menerima lamaran Benjamin. Dan suaminya bukan tipe pria yang suka berselingkuh, bahkan saat sedang digoda. Pria bertubuh hampir setinggi Lord Moore pergi keluar dari ruang duduk, mencari-cari kemana Grisell pergi. Sementara Benjamin pergi mencari Grisell, Mildred menatap kakak laki-lakinya yang membungkuk membuka sepatunya. Sepertinya niat Grisell untuk menyakiti Lord Moore berhasil. Kakinya bengkak berwarna merah dengan sebuah goresan tipis sebagai hiasannya. Mildred tak kasihan pada kakaknya karena menurutnya Lord Moore pantas mendapat siksaan itu.
            Mildred mengangkat kepalanya, menatap pada adik pertamanya yang berambut pirang. Bridget adik pertamanya yang pendiam dan penurut sangat berbeda dengan adik terakhirnya, Hope, yang periang dan selalu ramah pada siapa pun. Sementara kakaknya, Mildred hampir tak mengenali pria yang sedang kesakitan itu. Padahal baru 1 minggu ia meninggalkan kakaknya sendirian di Cheshire, ternyata Miss Parnell berhasil mengubahnya dalam hitungan hari. Lord Moore tak pernah menyinggung pekerjaan kotor siapa pun dan pelakunya. Bisa dikatakan Lord Moore selalu bersikap netral terhadap apa pun dan berpandangan terbuka. Tapi ia tidak menemukan itu malam ini. Sangat mengecewakan.
            “Ambilkan es batu dan kain, Bridget,” ucap Mildred seperti Ibu mereka dulu. Oh ya, Mildred benar-benar gambaran lebih sempurna, dibanding Henrietta, sebagai wanita terhormat Inggris. Bridget segera keluar dari ruang duduk untuk mengambil permintaan kakaknya, meninggalkan ketiga orang itu. “Dan panggil dokter Collins datang untuk memeriksa kaki Lord Moore, Hope,” lanjut Mildred melangkah mendekati Lord Moore, ia membantu kakaknya melangkah menuju sofa terdekat. Hope mengangguk mengerti, ia berjalan keluar dari ruang duduk sehingga hanya tersisa dua orang di sana.
            “Aku tidak butuh dokter, sialan!” Lord Moore mendesis nyeri merasakan kakinya berdenyut-denyut. Grisell Parnell sepertinya pemecah rekor pertama dalam hal menyakiti Lord Moore. Bisa saja tulang kaki Lord Moore retak hingga ia memerlukan tongkat untuk berjalan, meski kemungkinan itu sangat kecil. Mildred membaringkan kakaknya di sofa panjang dengan dua bantal sebagai penyangga kepalanya. Sejak kematian Ibu mereka, Mildred menjadi pengurus rumah tangga keluarga Moore. Ia seperti ratu di rumah itu sementara Cornelius kaki tangannya.
            Mildred mengangkat kedua kaki Lord Moore ke atas sandaran tangan sofa, lalu membuka sepatunya yang masih menyangkut di kakinya yang lain. Ia memerhatikan kaki yang diinjak Grisell lalu seulas senyuman muncul menghias wajahnya yang seputih piring porselen kebanggaan mendiang Ibu mereka. Melihat senyum senang adiknya, Lord Moore mengerut kening bingung sekaligus kesal.
            “Apa aku menghiburmu, Lady Paston?” Tanya Lord Moore. Mildred mengangguk kepala, terlalu jujur. “Senang akhirnya bisa menghibur adikku sendiri.”
            “Aku senang ia melakukan itu,” ucap Mildred menatap kakaknya dengan wajah jahil. “Kau pantas mendapatkannya. Sudah lama sekali aku ingin tahu kelemahanmu. Kupikir Lady Clopton, karena kulihat kalian begitu jatuh cinta. Tapi saat Miss Parnell menampar, memakimu dan menginjak kakimu… dia kelemahanmu,”
            “Apa kau mabuk, Lady Paston? Asal kau tahu saja, dia wanita yang diinginkan Ayah untukku. Tapi kelemahanku? Yang benar saja,”
            “Aku sudah tahu dia pelacur saat kau menyebut namanya karena teman-teman Benjamin pernah menyebut nama Miss Parnell, salah satu temannya yang mesum membicarakan hal-hal pria waktu itu. Tapi dia kelihatan seperti wanita terhormat saat masuk ke ruang duduk. Dan kau berhasil merusak usahanya menjadi wanita terhormat. Sifat agresifnya muncul begitu kau terang-terangan menyebutnya pelacur, semua wanita pasti akan tersinggung saat mereka dihina sekalipun mereka memang seperti itu. Dan, bukan berarti dia tidak tepat untukmu,”
            “Kau menyarankanku merusak reputasiku hanya untuk seorang wanita seperti Miss Parnell, itukah saranmu?” Tanya Lord Moore menekuk siku-sikunya lalu mengangkat pergelangan tangannya ke atas matanya yang terpejam. “Maka, tidak terima ka—sialan jangan sentuh di situ!” Desis Lord Moore saat tangan Mildred sengaja menyentuh kakinya yang bengkak. Mildred mengedik bahu, tak peduli omong kosong yang keluar dari mulut kakaknya. Bridget kembali dengan mangkuk alumunium yang besar berisi es batu dan kain kering di atasnya.
            “Sebenarnya, apa masalahmu dengan Miss Parnell?” Tanya Mildred mengambil mangkuk itu dari tangan Bridget. Adiknya duduk bersimpuh di sebelah kursi Lord Moore namun matanya memerhatikan tangan kakaknya yang mengambil beberapa es batu lalu menaruhnya ke atas kain kering itu dan membungkusnya. Kain itu lalu ditaruh di atas kaki Lord Moore. Pria itu mendesis begitu kakinya yang terluka ditekan dengan kain dingin dan basah itu. Sekarang ia malah kelihatan seperti pria lemah. Lord Moore memaki dirinya sendiri, merasa seperti perempuan lemah di bawah bantuan adik-adiknya. Tidak ada jawaban bagi Mildred.
            Ia memikirkan dimana Grisell sekarang. Jika wanita itu berniat kabur dari rumahnya berarti ia gagal memenuhi permintaan Ayahnya. Lord Moore merasa menyesal telah mempermalukan Grisell di depan keluarganya sendiri, seharusnya ia tak melakukan itu. Oh, begitu banyak kata ‘seharusnya’ saat ia memperlakukan Grisell. Wanita muda itu sangat sulit ditebak alur pikirannya, biasanya Lord Moore mudah mengetahui reaksi wanita saat berhadapan dengannya. Meski bahasa tubuh Grisell sangat transparan, itu tidak cukup memberitahunya apa yang ada di pikiran Grisell.
            Benjamin juga merasa begitu saat ia menemukan Grisell berdiri di tengah-tengah taman. Angin malam membuat gaunnya yang tipis berterbangan, yang menyeramkan, gaun itu berwarna putih sehingga di tengah taman dengan pencahayaan yang kurang, Grisell terlihat seperti hantu yang memunggunginya. Ia berjalan mendekati Grisell dengan hati-hati karena ia tidak ingin mengejutkan wanita itu. Seluruh bulu roma Benjamin berdiri mendengar isak tangis Grisell. Tinggal kepala kecil itu berbalik dengan wajah menyeramkan, maka Benjamin tidak akan pernah masuk ke Moore House lagi.
            Saat tangan Benjamin menyentuh pundak Grisell, wanita itu tersentak dan berbalik. Air mata Grisell membasahi mata biru dan pipinya. Pipinya memerah, bawah hidungnya basah dan pundaknya terangkat-angkat saat ia terisak. Ya Tuhan, Benjamin tidak pernah bertemu dengan Grisell Parnell yang dibicarakan teman-temannya dan sekarang ia sedang berhadapan sendirian dengan wanita itu. Tak perlu berpikir lagi, Benjamin mengeluarkan saputangan dari kantong bagian dalam jaketnya. Grisell tanpa malu-malu mengambil saputangan itu lalu mengelap air matanya dan membersit hidung lalu mengangkat wajahnya menghadap Benjamin.
            “Apa kau juga akan menyebutku pelacur?” Tanya Grisell dengan suara parau.
            “Tidak, Miss Parnell, tidak,” tukas Benjamin cepat-cepat. Sekarang ia tahu mengapa teman-temannya pernah membicarakan Grisell. Wajah wanita itu tidak bisa dilupakan, terutama karena rambutnya yang berwarna cokelat madu itu dan bibir mungil yang kelihatan manis. Tak heran wanita ini bisa menjadi pelacur yang dikenal di London. Tapi wajahnya mengingatkan Benjamin pada seseorang, namun ia juga tidak yakin siapa orang itu.
            “Ap-apa kau suami Mildred?”
            “Oh, maaf atas kelancanganku, Miss Parnell. Perkenalkan, aku Benjamin Paston, aku seorang viscount di Cheshire. Tanahku bersebelahan dengan tanah keluarga Moore. Apakah kau mau memaafkan kelancanganku?”
            “Kau tidak perlu memperlakukanku berlebihan seperti itu, My Lord,” ucap Grisell sambil membersihkan hidungnya. Lalu ia menarik nafas panjang. “Aku hanya pelacur,”
            “Oh, tidak, tidak, Miss Parnell. Kau bukan lagi seorang pelacur. Apakah Lord Moore sudah memberitahu alasan mengapa ia membawamu ke sini?” Tanya Benjamin menarik perhatian Grisell. Kedua alisnya terangkat lalu ia menggeleng kepala singkat. Benjamin mendesah, ingin memukul Lord Moore karena bodoh tidak memberitahu alasannya pada Grisell! Merasa tak perlu mengajak Benjamin, Grisell menyelipkan tangannya ke lengan Benjamin lalu berjalan sehingga mau tak mau pria itu ikut berjalan.
            “Apakah kau tahu tujuannya, My Lord? Jika ya, tolong beritahu aku,” pinta Grisell menarik ingus. Tiba-tiba timbul pertanyaan dari otak Benjamin dan seketika ia penasaran. Mengapa Ayah Lord Moore menginginkan Grisell menjadi pasangan Lord Moore? Apakah Ayah Lord Moore tahu bahwa Grisell bekerja sebagai pelacur? Saat mendengar Grisell berdeham sebentar, ia tersadar lalu menjawab.
            “Kurasa bukan hakku memberitahumu, Miss Parnell.”
            “Aku tidak ingin berbicara dengan Lord-mu itu sampai ia benar-benar meminta maaf. Kau dan aku tahu bahwa ia seorang earl dan pria yang begitu berwibawa dan sangat membosankan. Tapi bukan berarti ia mempermalukanku seperti itu pada keluarganya—kau juga. Mengapa kau justru datang padaku, bukankah berbicara dengan pelacur sepertiku akan merusak reputasimu sebagai viscount?” Tanya Grisell mendongak. Tidak, Grisell tidak sama sekali ingin merayu pria itu, terutama karena pria itu telah memiliki istri yang tidak lain dan tidak bukan adalah Mildred, adik Lord Moore. Grisell penasaran apa yang terjadi pada Lord Moore sekarang. Ia berharap pria itu tidak bisa berjalan!
            Andai ia lebih tinggi lagi dan tidak sekurus ini, pasti ia akan mencekik Lord Moore sekuat tenaganya. Sepertinya malam ini Grisell harus pergi ke kamar Lord Moore lalu mencekiknya saat pria itu tidur. Ide cemerlang! Sayangnya, ia tidak tahu dimana letak kamar Lord Moore. Grisell menggigit bibir bawahnya.
            “Oh, tentu saja tidak, Miss Parnell. Saat season diadakan, orang-orang akan tahu siapa dirimu,” ucap Benjamin tersenyum. Kulit Benjamin putih, tidak sama seperti Lord Moore yang lebih berwarna. Sebenarnya, apa pekerjaan Benjamin? Grisell berusaha tak menanyakannya.
            “Akan sangat menyenangkan bila kau membicarakan tentang pernikahanmu. Berapa lama kau sudah dengan Lady Paston?”
            “Hampir 1 tahun,” sahut Benjamin melirik Moore House. Cornelius sedang berada di teras, menceramahi Mr.Phee, kucing peliharaan Hope. Tapi Benjamin tidak menyadari bahwa ia sedang diawasi oleh Lord Moore dari ruang kerjanya. Pria itu berdiri di dekat jendela dengan tirai terbuka sedikit sehingga pria itu dapat melihat Benjamin berjalan-jalan dengan Grisell. Lord Moore tak menyukai pemandangan yang ia lihat sekarang. Meski ia tidak melihat tanda-tanda Benjamin merayu Grisell, hatinya tetap gelisah.
            Kakinya sudah diperban dan tidak diizinkan memakai sepatu untuk sementara sampai bengkaknya mengempis. Ia hampir membentak adik-adiknya untuk menyingkir saat ia berjalan menuju kantornya tanpa sepatu. Sebenarnya niat ia pergi ke ruang kerjanya ingin mengambil novel yang dibaca Grisell tadi siang. Tapi matanya melirik jendela yang tirainya terbuka sedikit. Ia melihat wanita mungil yang memakai gaun putih tipis sedang berjalan-jalan dengan pria yang lebih pendek darinya memakai setelan khas aristokrat. Hatinya tiba-tiba memanas. Novel yang dipegangnya hampir rusak saat ia meremasnya.
            Lord Moore ingin meminta maaf pada Grisell dengan bantuan membaca setelah makan malam nanti. Tapi tampaknya wanita itu sedang menghabiskan waktu menyenangkan bersama Benjamin. Ia melihat Grisell tertawa bebas bersama pria itu saat Benjamin mengatakan sesuatu yang pastinya sangat menghibur Grisell. Tidak, Lord Moore tidak bisa menahan perasaan ini. Ia merasa gelisah dan ingin meninju seseorang. Dan orang yang ingin ia pukul adalah adik iparnya sendiri! Sial, apa yang merasuki diri Lord Moore? Ia menggeleng-geleng kepala, berusaha mengembalikan akal sehatnya. Apakah ini efek dari injakan kaki Grisell?
            Lord Moore melempar novel yang ia pegang ke atas mejanya lagi lalu melangkah dengan telanjang kaki keluar dari ruang kerjanya. Sekarang rumahnya sudah tak sesunyi kemarin. Hope dan Cornelius sedang membujuk Mr. Phee mengeluarkan kunci kamar Cornelius dari mulutnya—pantas saja Cornelius mengejar Mr. Phee, tapi apakah mungkin kunci itu tak tertelan? Lord Moore tak memedulikan kedua orang itu saat melewatinya menuju pintu keluar teras. Mildred sedang berbicara pada pelayan dapur untuk memberitahu koki agar segera menyiapkan makan malam. Sementara Bridget sedang berbicara bersama dr.Collins yang sudah lanjut usia.
            Tampaknya tidak ada yang menyadari kehadirannya. Lord Moore keluar dari Moore House, melewati pintu yang menghubungkan teras rumah. Ia melihat Benjamin sedang mengangkat kedua tangannya dengan wajah serius, Grisell mengangguk serius juga. Lalu tiba-tiba Grisell mengangkat tangannya, menggelitik Benjamin hingga pria itu tertawa menjauh dari Grisell. Apa-apaan yang ia lakukan bersama Grisell? Benjamin tidak sama sekali kelihatan seperti pria bangsawan. Tapi alasan utama mengapa Lord Moore tak menyukai kebersamaan mereka karena Grisell tertawa bukan karenanya.
            Orang-orang bodoh pun tahu sikap sang earl sangat membingungkan. Terutama saat kaki telanjang itu menjejakkan kaki ke atas rumput yang selalu dipangkas agar tak bertumbuh liar. Benjamin menegang saat ia melihat dari jarak jauh Lord Moore mendatanginya dengan wajah yang tak bersahabat sementara Grisell masih berlari ke arahnya untuk bermain dengan pria itu dan tampaknya Grisell menyadari perubahan reaksi Benjamin yang berhenti berlari dan menatap ke belakang punggungnya. Senyum Grisell menghilang saat ia mendapati Lord Moore datang menghampirinya. Penuh antisipasi, Grisell melangkah mundur menjaga jarak dengan Lord Moore. Pria itu menatap Benjamin dengan tatapan yang dapat menyuruh matahari terbit saat itu juga.
            “Lord Paston, jika kau tidak keberatan meninggalkan kami berdua,” ucap Lord Moore meminta izin, meski Lord Moore tahu ia tidak memerlukan izin adik iparnya. Tanpa diminta dua kali, Benjamin pergi dari hadapan mereka, meninggalkan Grisell yang hendak menghentikannya. Grisell menatap punggung Benjamin yang semakin menjauh menuju Moore House, melewati jalan setapak. Mata Grisell beralih menatap Lord Moore yang berjarak 2 meter darinya, cukup dekat bagi Lord Moore untuk melangkah satu kali dan menangkap Grisell. Tapi ia tidak melakukan itu.
            “Apa yang kauinginkan?” Tanya Grisell ketus. Matanya melirik kaki Lord Moore yang tak memakai sepatu, ia terkesiap saat melihat bengkak di kaki sebelah kirinya.
            “Lord Paston sudah memiliki istri dan istrinya adalah adikku. Jangan sampai kau membuatku ingin meninjunya karena telah merayumu,” ucap Lord Moore dengan suara tenang sekaligus tegas. Mata Grisell membulat tak percaya.
            “Tapi aku tak merayunya dan dia tidak merayuku! Demi Tuhan, apa kau bahkan mempunyai otak, Lord Moore?” Grisell murka, benar-benar murka. Mengapa tidak ada percakapan yang membuat mereka bersahabat? Bibir Lord Moore berubah menjadi garis tipis, berusaha menahan keinginannya menggunakan kata-kata yang tak ia saring seperti sebelumnya. Pria itu menarik nafas dalam-dalam, matanya terpejam lalu terbuka kembali. Dua bola matanya lebih gelap, dalam, dan… misterius. Grisell melangkah mundur saat dua mata itu mengintimidasi untuk pertama kalinya.
            “Miss Parnell, maafkan ucapanku sebelumnya di ruang duduk. Aku tak bermaksud mempermalukanmu di depan keluargaku,” ucap Lord Moore kelihatan tulus. Tapi Grisell tidak akan tertipu oleh wajah itu! Grisell melipat kedua tangannya di depan memberi tatapan menantang seperti kemarin.
            “Tidak, aku tidak memaafkanmu,” ujar wanita mungil itu melirik Lord Moore. Pria itu meringis pelan saat pria itu melangkah mendekat. “Jangan mengambil satu langkah lagi atau aku akan berteriak.” Grisell mengangkat satu tangan, memberi tanda peringatan. Lord Moore mengangguk patuh dan mereka tak sadar bahwa mereka sedang diperhatikan oleh banyak pasang mata di teras. Mildred memeluk Benjamin di dekat anak tangga, Cornelius menggendong Mr.Phee sementara Hope beruaha membuka mulut kucinnya meski matanya tertuju pada dua orang yang sedang menjaga jarak itu.
            “Lalu apa yang kau inginkan, Miss Parnell, agar aku mendapat maaf darimu?” Lord Moore membujuk. Penawaran itu cukup menarik Grisell. Dengan matang-matang, Grisell memikirkan apa yang ia inginkan lalu ia mendeklarasikannya.
            “Aku ingin belajar di luar Moore House sampai season dimulai. Maksudku, aku ingin menjelajahi Cheshire sambil belajar bersama Miss Gillbride. Hanya itu,”
            “Kau tidak ingin belajar membaca bersamaku sebagai tambahannya?”
            “Terlambat,” ucap Grisell menggeleng kepala. Sebenarnya, tawaran itu sangat menggiurkan Grisell. Ia ingin membaca sekaligus menghabiskan waktu bersama Lord Moore. Namun melihat percakapan mereka yang berlangsung selama dua hari ini sepertinya tak pernah berjalan mulus, tampaknya itu bukan ide yang bagus. Pasti mereka berdebat, meski hal itu tidak penting. Mungkin pergi keluar akan membuat Grisell lebih tenang menghadapi Lord Moore.
            Pria itu mengangguk pasrah. “Jika itu yang kauinginkan, mulai besok kau boleh belajar di luar Moore House. Tapi akan didampingi dua pengawal, apa kau mengerti?”
            “Dua pengawal? Aku mempunyai pengawal?”
            “Tentu saja. Melihat tubuhmu yang kecil dan Miss Gillbride yang sepertinya tak bisa menjaga dirimu di luar sana, kau jelas membutuhkan pengawal.” Lord Moore berucap, kemudian pria itu kembali meringis. Grisell melirik kakinya yang bengkak itu, menatapnya dengan tatapan menyesal tapi itu tidak akan mempengaruhi penolakan Grisell.
            “Sepakat.” Lord Moore mengangguk kemudian ia berbalik, meninggalkan Grisell. Baru beberapa detik ia melangkah, Lord Moore membalikkan tubuhnya, bertanya ragu pada wanita berambut cokelat madu yang mematung itu.
            “Kau masih tidak mau belajar membaca bersamaku?”
            “Tidak!”

***

            Pagi itu Grisell dan Miss Gillbride berangkat menuju estat Welshing Park yang tak jauh dari Moore House. Grisell ingin menjelajahi dan mengenal Welshing Park, terutama orang-orang yang menyewa tanah Lord Moore. Ia meminta kusir berhenti di rumah pertama Welshing Park kemudian berencana berjalan kaki untuk menelusuri estat itu. Ia berjalan bersama Miss Gillbride sambil guru itu menceramahi Grisell bahwa perbuatannya tadi malam sangat tidak menunjukkan rasa hormat pada tuan rumah. Grisell ingin membantah Miss Gillbride, tapi dia tidak ingin Miss Gillbride semakin lama menceramahinya. Mungkin umur mereka hanya terpaut 6 tahun, jika dilihat bagaimana Miss Gillbride berbicara.
            Grisell memakai bonnet di kepalanya agar cahaya matahari tak menyilaukan penglihatannya dan angin tak merusak riasan rambutnya. Pagi itu tampak beberapa orang wanita bersuami berjalan memegang keranjang berisi sayur, daging dan ikan. Tampaknya mereka baru pulang dari pasar Cheshire yang tak jauh dari Welshing Park. Miss Gillbride mengatakan bahwa Grisell tak seharusnya berbicara dengan siapa pun yang belum diperkenalkan padanya. Orang yang boleh berbicara dengan Grisell hanyalah orang-orang yang telah diperkenalkan oleh kerabatnya. Atau jika dipersingkat, Grisell tidak boleh berkenalan secara pribadi dengan orang asing. Dua pengawal laki-laki bertubuh besar berdiri di belakang kedua wanita itu sambil melihat keadaan di sekeliling mereka.
            Beberapa pria tua sedang menyapu dedaunan yang jatuh di jalan estat tanpa melirik Grisell sama sekali saat Grisell melewati mereka. Mungkin ia membutuhkan Lord Moore untuk berkenalan dengan orang-orang di sini. Saat ia berangkat dari Moore House, ia tidak mendapati siapa pun di rumah dan ia mengira, mungkin orang-orang masih tertidur. Termasuk Lord Moore. Tapi tampaknya perkiraannya ternyata salah. Pria itu justru sedang berbicara dengan seorang pria bertubuh gempal, berkumis lebat dan memakai pakaian kotor. Tampaknya orang itu baru saja bermain dengan tanah. Lord Moore sekarang kelihatan seperti tiang saat berhadapan dengan pria itu. Tapi Grisell tak pernah melihat sisi Lord Moore yang satu ini.
            Ia mendengar nada suara pria itu berwibawa, tenang, dan mengendalikan segalanya. Bahkan sesekali pria itu tersenyum dan membuat canda yang membuat pria bertubuh gempal itu tertawa. Grisell berbalik ke belakang saat Miss Gillbride masih menceramahinya.
            “…kurasa kau harus—“
            “Miss Gillbride, haruskah kita kembali lagi ke Moore House atau pasar?” Tanya Grisell. Ia sedang berusaha tak berbicara dengan Lord Moore dan sedikit mungkin melibatkan diri dalam percakapan dengan pria itu.
            “Apakah ada yang salah, Miss Parnell?”
            “Selamat pagi, ladies.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar