Sabtu, 17 Januari 2015

Lucky Slut Bab 5


CHAPTER FIVE

                       
            “Henry… akhirnya memakan… sa-sa…?” Grisell memandang Justin dengan ragu. Pria itu membungkuk di hadapannya, bertumpu dengan kedua tangan terlipat di atas meja sementara Grisell duduk di atas kursi kerja Justin. Melihat tidak ada tanda bantuan dari Justin, Grisell kembali memandang kata yang sulit dieja itu. Kemudian dengan bibir bergetar, ia membaca lagi. “Henry akhirnya memakan… sa-sa-say…”
            “Sayu…”
            “Sayu… sayur itu.” Sebuah senyum bangga muncul di wajah Grisell saat ia berhasil membaca kalimat yang lain di novel itu. Ia mengangkat kembali pandangannya menatap Justin lalu terkesiap menyadari betapa dekatnya wajah mereka. Bibir Justin membentuk lengkungan setengah lingkaran hingga gigi putihnya kelihatan kontras dengan kulit cokelat keemasannya. Sangat maskulin. Aroma cologne mahal tercium hidung Grisell membuktikan bahwa pria itu memang pria yang senang memakai barang-barang yang mahal. Tapi tidak memperlihatkan bahwa pria itu manja. Mata Grisell terpaku di bibir itu lagi, memikirkan bagaimana rasanya bila ia kecup. Saat Grisell ingin memajukan wajahnya, pria itu merusak segalanya dengan suara berat.
            “Perkembangan yang bagus. Mari kita coba kalimat selanjutnya,” ucap Justin menunjuk kalimat setelah titik di kata terakhir yang Grisell baca. Mata biru Grisell melihat kata yang ditunjuk Justin kemudian mengejanya dalam otak sebelum mengeluarkannya dari mulut.
            “Mes-meski Ibu Henry dapat melihat… cepatnya?”
            “Anaknya,” ucap Justin memperbaiki. “Meski Ibu Henry dapat melihat anaknya…”
            “Eng…gan memakan sayurnya, ia te…tap?” Grisell mengangkat pandangan penuh keraguan pada Justin, namun pria itu mengangguk kepalanya. Grisell tersenyum lebar saat ia tahu ia membacanya benar, meski terbata-bata. “Ia tetap bang..ga pada anaknya. Ia tetap bangga pada anaknya.” Grisell menutup bukunya sedetik kemudian. Justin memberi tatapan protes, ia belum selesai mengajar Grisell. Bahkan Tuhan dan Justin tahu, Grisell baru membaca kalimat ketiga dari paragraf pertama di halaman pertama. Bukannya takut melihat tatapan Justin yang bisa membakar buku yang ditutup Grisell, senyum wanita itu semakin lebar.
            “Kita belum selesai, Miss Parnell,” ucap Justin mendorong tubuhnya menjauh dari meja kerjanya. Sebelum ia berhasil menjauh dari Grisell, sebuah tangan kecil menarik cepat lehernya hingga ia kembali membungkuk. Justin tak sempat menarik dirinya saat sebuah sapuan bibir lembut menyentuh bibirnya. Kedua tangan Grisell menahan kepala Justin dengan tegas, kencang, seolah-olah ia tidak ingin bibirnya terpisah dengan bibir Justin. Grisell mengisap bibir bawah Justin dengan semangat yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Grisell naik ke atas meja kerja Justin, bersimpuh di atasnya lalu memeluk leher itu agar memperdalam ciumannya. Mulut Justin terbuka, menyambut mulut Grisell, membiarkan lidah itu membelai lidahnya.
            Biasanya Justin-lah yang mendominasi sebuah ciuman lembut, namun tidak dengan Grisell. Wanita itu melakukannya seolah-olah itu adalah ciuman terakhirnya. Tidak ada kelembutan dalam ciuman ini, hanya gairah menggebu-gebu terpancar dari tubuh Grisell, mengharapkan kepuasan brutal yang nikmat. Justin membalas hisapan bibir Grisell, menikmati kemanisan bibir itu. Rasa manis anggur, buah apel dan sedikit bunga mawar memabukkan Justin saat mengisap bibir bawah Grisell. Tangan Justin memeluk hampir seluruh punggung Grisell, ia menekan tubuh Grisell ke tubuhnya merasakan betapa kenyalnya buah dada Grisell di dadanya. Tangannya yang lain meremas buah dada Grisell, menarik potongan leher Grisell hingga ia dapat merasakan buah dada itu masih dalam balutan pakaian dalam. Lalu hanya dengan satu tarikan kasar di pakaian dalam Grisell berhasil memperlihatkan buah dada Grisell yang berbentuk bulat, padat, kenyal dan puncaknya yang berwarna merah muda. Tangan besar Justin meremas-remas buah dada itu hingga desahan Grisell di mulut mereka membuat kejantanannya semakin mengeras dan bagian bawah perut Grisell semakin basah. Bunyi kecipak ciuman yang nyaring menambah suasana erotis di ruang kerjanya.
            Kesadaran Justin muncul saat ia merasakan tangan Grisell menyentuh kejantanannya yang terlindung celana hitamnya. Ia segera menarik diri dari Grisell, memisahkan mulutnya dari mulut Grisell. Apa-apaan yang baru saja ia lakukan? Ia menatap ngeri Grisell yang terdiam di atas mejanya. Apa yang akan ia jelaskan pada para pelayan dan Miss Gillbride bila mereka melihat bibir Grisell yang bengkak? Bibir itu lebih merah dan menyembul akibat ciuman panas mereka. Dan demi Tuhan, buah dada Grisell keluar dari pakaian dalamnya. Apa yang baru saja aku lakukan? Justin memaki dalam hati. Ia tidak pernah kehilangan kendali sejak ia bertobat. Mungkin bukan ide yang bagus berada satu ruangan sendirian bersama Grisell. Wanita itu masih bersimpuh di atas meja kerjanya memandang Justin dengan tatapan kemenangan.
            “Sudah kubilang padamu, kau menginginkanku,” ucap Grisell tak berniat menutupi salah satu buah dadanya yang terpampang jelas. Justin menggeleng kepala berusaha menyatukan kembali jiwanya dan akal sehatnya, lalu ia berjalan mendekati Grisell. “Kau menginginkannya lagi, My Lord?”
            “Tidak, Miss Parnell. Kejadian tadi tidak akan terulang,” ucap Justin mengangkat pakaian dalam Grisell agar buah dada itu tertutup lalu membenarkan potongan leher gaun Grisell hingga kulit itu benar-benar menghilang dari pandangannya. Grisell mendecak kesal, ia bergerak duduk hingga kakinya tak lagi bersimpuh, tapi menggantung di sisi meja kerja Justin.
            “Aku bisa merasakannya. Kau menginginkanku, My Lord. Dan aku bisa merasakan betapa kerasnya dirimu saat kusentuh. Kau benar-benar tidak ingin merasakan percintaan di atas tempat tidur bersamaku?” Grisell memberi tatapan genit seperti pelacur pada umumnya. Justin terkekeh pelan, kepalanya tertunduk dengan telapak tangan mengelus-ngelus kepalanya seperti pembunuh yang ingin bermain dengan korbannya terlebih dahulu. Pria itu menarik nafas dalam-dalam sebelum ia mendongak. Senyumnya menghilang begitu ia menatap mata biru jernih Grisell, tatapan serius yang mematikan.
            “Grisell,” ucap Justin menyebut nama depannya. “Kau cerdas, kau mudah menerima pelajaran meski kau mantan seorang pelacur. Tapi sungguh, aku sangat ingin kau menjaga sikapmu sebagai wanita terhormat. Karena kurang dari satu bulan ini, kau akan bertemu dengan ratusan orang untuk menyambut mereka di rumah ini,”
            “Maafkan aku,” ucap Grisell menundukkan kepalanya. “Aku hanya penasaran dengan rasa bibirmu. Karena sebelumnya aku tidak pernah ditolak oleh seorang pria,” lanjut Grisell memasang wajah murung. Kedua alisnya bertaut saat ia mendongakkan kepalanya, kedua matanya tampak sayu sehingga memberi kesan seksi dan sedih dalam waktu bersamaan, menatap Justin. Saat Justin ingin mengelus lengan Grisell untuk menenangkan wanita itu, ia menarik diri, sadar bahwa ia ragu kewarasannya akan muncul begitu Grisell menyentuhnya lagi. Tidak akan ada lagi ciuman! Dan sialan, seharusnya ia berangkat ke rumah Henrietta sekarang.
            Justin mengangguk singkat, kemudian menyembunyikan kedua tangannya di dalam kantong celananya. “Kurasa pelajaran hari ini selesai. Dan tidak akan ada lagi pertemuan lain,”
            “Apa? Tidak akan ada lagi pelajaran membaca?” Grisell terkejut, ia turun seketika dari meja Justin lalu membenarkan roknya. Sang earl mengangguk pasti, kemudian dengan gerakan paling anggun dari seorang pria, Justin berbalik memunggungi Grisell. Di belakangnya, Grisell ingin memukul punggung itu atau mencekik Justin dari belakang. Namun kekurangannya yang memang takkan bisa menjadi kelebihannya—tubuh pendek—lebih membuat Grisell ingin mencekik dirinya sendiri. Lalu akhirnya mulut mungil itu berbicara lagi. “Tidak adil! Aku sudah merelakan waktu tidur siangku hanya untuk belajar membaca dan kau tidak ingin mengajariku lagi? Sulit dipercaya. Oh, ya… ya benar sekali. Biarkan aku menjadi bahan cemoohan para tamumu saat mereka datang dan berharap aku membaca. Lihat saja, jika aku duduk sambil mengharapkan para gentlemen berdansa waltz denganku dan aku tak tahu cara menulis namanya di kartuku karena oh-ya-benar aku tidak bisa mengeja, aku akan menyalahkanmu.”
            Justin mengangkat salah satu tangannya. Mata cokelat pria itu seperti madu kental yang sudah diperas dari sarang lebah, tetapi lebih terang. Dan kedua mata itu sedang menatap keluar jendela, memerhatikan halaman rumahnya yang kurang dari waktu 1 bulan akan dipenuhi para tamu dan anak-anak yang akan bermain di taman. Yang dikatakan Grisell ada benarnya, ia tidak mungkin membiarkan Grisell mati karena malu tak bisa membaca. Meski Justin menginginkan kebersamaannya semakin lama dengan Grisell, sepertinya kebersamaan itu akan menjadi malapetaka bagi keduanya.
            Tentu Justin tidak ingin menikahi seseorang yang ia lecehkan. Tapi ciuman itu. Ciuman terpanas sepanjang hidupnya. Bahkan para wanita bersuami yang sangat ahli di ranjang pun tidak bisa membakar gairahnya sepanas ini. Apakah itu karena Grisell seorang pelacur maka ia ahli memberi kepuasan? Mungkin. Tidak ada yang pasti jika itu berhubungan dengan Grisell Parnell. Justin akhirnya memutuskan.
            “Miss Parnell, cukup. Aku akan menyewa satu lagi guru untukmu, jika itu yang kauinginkan,” tuturnya membuat Grisell terperenyak. Menyewa satu lagi guru untuknya? Tidakkah Miss Gillbride sudah cukup membuatnya malu hingga ingin mati? Grisell tidak akan tinggal diam bila Justin terus membuat keputusan untuknya.
            “Itu bukan yang kuinginkan. Aku mau kau yang mengajarku, Lord Moore. Selain itu kita bisa mengenal lebih dalam lagi dengan kebersamaan ini. Bukankah tadi menyenangkan?”
            “Cukup,” ucap Justin tegas. Ia berbalik, kedua tangannya berpindah dari kantong celana ke belakang punggungnya. Kedua matanya menatap malas wanita pendek di hadapannya. “Kuharap kau ingin keluar karena aku memiliki masalah yang harus kuurus,” lanjut Justin mempersilakan Grisell dengan satu tangannya yang terentang ke arah pintu.
            “Terima kasih telah membuang-buang waktuku, Lord Moore. Aku tidak membutuhkan guru tambahan lagi. Selamat siang.” Grisell berjalan dengan dagu terangkat ke atas, punggung di tegakkan dan melangkah menuju pintu ruang kerja Justin. Ia mulai menggerutu kesal begitu ia membuka gagang pintu lalu menghilang dari pandangan Justin. Saat wanita itu membanting pintu ruang kerjanya, Justin tersentak. Grisell… wanita penggoda yang kepala batu. Bagaimana mungkin Justin dapat mengendalikannya bila wanita itu tidak ingin bekerjasama? Diam-diam Justin berharap Henrietta memberi ciuman sepanas Grisell.
            Jantung Justin berdetak cepat mengingat Henrietta yang pasti mengharapkan kedatangannya! Sial. Justin berjalan berniat mengambil jaketnya yang tergantung di kursi kulitnya, lalu memakainya secepat kilat. Mungkin bertemu dengan Henrietta akan meredakan gairahnya yang masih terbakar.

***

            Grisell duduk di kursi yang terbuat dari papan yang menyatu dengan lantai di dekat jendela. Ia menekuk kedua lututnya hingga terangkat menyentuh buah dadanya lalu menempatkan pipi kirinya di sela antara kedua lututnya. Matanya memandang keluar jendela, langit berwarna hitam ditabur bintang dan belum ada tanda-tanda ada panggilan dari bawah. Daun-daun cokelat yang lebat di pohon membuat musim gugur di sini tidak masuk akal bagi Grisell. Ia pikir daun-daun itu akan berjatuhan seperti di London. Grisell ingin keluar dari Moore House, menjelajahi tanah Cheshire dan sedikit berjalan-jalan di estat Welshing.
            Setelah kejadian panas yang dilanjutkan perdebatan yang panas juga, Grisell memutuskan untuk tidak mengikuti pelajaran apa pun sekalipun Miss Gillbride sempat memaksanya karena takut ia dipecat karena tak berhasil membujuk Grisell belajar. Seluruh semangat Grisell seolah-olah terserap oleh kejenuhan tak berarti hingga ia bahkan tak berniat untuk makan malam. Grisell merasakan itu. Ia merasakan perasaan yang pernah ia lalui sebelumnya dan ia tidak menyukainya. Ia takut bila perasaannya tak dibalas sama besar dengan apa yang dirasakannya. Ia menyukai Justin Moore, itu sudah jelas. Semua wanita sudah pasti menyukai pria itu, meski bagi Grisell sangat membosankan dengan sikap kolotnya. Tapi pria itu berhasil menggenggam hatinya. Grisell tahu Justin telah merebut hati itu daripadanya dan Grisell ingin hatinya dikembalikan. Ia tidak ingin… jatuh cinta untuk yang kedua kalinya.
            Mungkin memang benar apa yang disarankan Justin. Ia mungkin tidak harus belajar membaca bersama Justin dan Grisell sadar ia memang egois. Jika ia dipanggil ke bawah untuk makan malam, mungkin Grisell akan merendahkan diri di hadapan Justin untuk meminta maaf. Grisell bertanya-tanya apa yang Justin lakukan di rumah Henrietta. Ia berdoa dalam hati agar Henrietta mau memakan bualan dari mulut Justin. Entah apa pun yang dikatakan Justin pada Henrietta, Grisell tahu semua itu hanya omong kosong belaka dan Justin tidak menginginkan wanita berambut hitam itu. Tidak sama sekali.
            Ciuman siang itu sangat… panas. Grisell masih dapat merasakan bagaimana bibir bawahnya dihisap begitu rakus oleh Justin dan tangan besar pria itu menangkup buah dadanya. Ia pernah merasakan getaran nikmat itu—bukan dari para pelanggannya tentunya—dari seseorang. Seorang pria yang umurnya kira-kira dua kali lipat dari umur Grisell, namun Grisell tahu pria itu juga menyimpan perasaan baginya. Ia berjanji pada Grisell akan menyelamatkannya dari rumah pelacuran saat Grisell masih berumur 17 tahun. Namun ia menunggu selama 5 tahun, mengharapkan kehadiran pria itu lagi. Menciumnya, membelainya, mengatakan kata-kata cinta… tapi pria itu tak kunjung datang. Tidak ada yang mencintaiku, pikir Grisell saat ia menyerah mengharapkan pria itu.
            Beberapa ketukan pintu terdengar di telinganya, lalu ia menggumam. Pintu kamarnya terbuka tapi Grisell tidak sama sekali menoleh ke belakang. Eunice melihat majikannya duduk di dekat jendela, memunggunginya. Apa sebenarnya yang terjadi antara Miss Parnell dan Lord Moore? Eunice bertanya-tanya, mungkinkah Grisell tak berhasil menggoda Lord Moore? Jika memang benar, maka Eunice tidak akan terkejut. Pria seperti Lord Moore tidak mungkin melakukan hal serendah itu, melecehkan seorang wanita, dimana pun ia berada. Dan Grisell Parnell tentu bukan ancaman bagi reputasi Lord Moore yang gemilang. Pemikiran sok tahu itu pasti akan membawa Eunice keluar dari Moore House. Akhirnya dengan ragu-ragu Eunice mendekati Grisell.
            “Miss Parnell, Lord Moore menginginkan Anda di ruang duduk,” ucap Eunice mantap.
            “Tolong beritahu padanya aku butuh waktu sebentar sebelum ke bawah,”
            “Tapi ia menginginkanmu sekarang, Miss,” Eunice tak ingin dipecat hanya karena keinginan Lord Moore tak terpenuhi. Untungnya Grisell turun dari papan kursi itu dengan gerakan malas. Ia berdiri di depan cermin memerhatikan penampilannya. Grisell tak pernah memakai korset sebab pinggangnya sudah kecil, ia bersyukur karena ia tidak perlu susah-susah bernafas seperti wanita lain. Bahkan Grisell yakin Eunice memakai korset ketat. Melirik gadis muda melalui cermin, Grisell mengembus nafas panjang, gadis itu tampak khawatir. Ada apa sebenarnya? Grisell akhirnya berbalik lalu berjalan menuju pintu kamar, ia keluar bersama Eunice.
            Ia berjalan, bersama Eunice di belakangnya, melewati lorong panjang menuju tangga besar. Tangga itu besar itu memiliki dua tangga lain yang berpisah saling berlawanan arah. Bukti bahwa tangga itu memang sangat dibutuhkan sebab tangga itu akan dilewati oleh kerumunan orang saat season berlangsung. Ia mendengar suara kucing mengeong saat ia berhasil menuruni anak tangga terakhir kemudian hampir menjerit saat seekor kucing berwarna putih berlari melewatinya. Kemudian Cornelius mengejar kucing itu, tapi saat ia melihat Grisell, ia segera berhenti lalu membungkuk memberi hormat.
            “Selamat malam, Miss Parnell,” ucap Cornelius ramah. Grisell hanya mengangguk, kemudian pria tua itu kembali berlari. “Mr. Phee!” Cornelius berteriak mengejar kucing yang berhenti di dekat pintu perpustakaan. Grisell berusaha tidak tertawa, ia berjalan menuju ruang duduk yang pernah dilaluinya. Suara ribut-ribut terdengar samar-samar saat Grisell melangkah semakin dekat ke ruangan itu.
            “Aku tak percaya kau satu atap dengan seorang wanita, Justin! Pasti ini sangat menggemparkan seluruh masyarakat Cheshire, terutama para tamu undangan yang telah kita undang,” ucap seorang wanita di dalam ruangan itu.
            “Tapi aku yakin pasti wanita itu cantik!” Suara girang dari perempuan lain terdengar. “Ini sangat mengejutkan mengingat Justin pernah berpacaran dengan Henrietta lalu ia memutuskannya dan dalam jangka waktu singkat Justin menyimpan seorang perempuan di rumahnya! Oh, ini skandal pertama Justin!”
            “Hush! Ini bukan skandal, Hope,” ucap suara perempuan lain lagi. Perut Grisell menegang menyadari nama itu adalah nama adik Justin. Apa yang adik-adiknya lakukan di Moore House? Bukankah seharusnya mereka berada di London sekarang? Grisell ragu-ragu melangkah masuk ke ruang duduk.
            “Bisakah kalian bertiga tidak membuat kakak kalian pusing seperti itu?” Kali ini suara pria yang menyahut. Eunice berbisik di telinganya.
            “Masuklah, Miss. Mereka menunggu Anda,” bisik Eunice menggigit bibir bawahnya, bersemangat sekaligus penasaran apa reaksi keluarga Moore saat bertemu dengan Grisell. Kepala majikannya menoleh ke belakang, meliriknya lalu memarahinya dengan suara balas berbisik.
            “Kupikir hanya Lord Moore yang ingin kutemui! Kau bilang aku harus bertemu dengannya tapi lihat sekarang apa yang kaulakukan padaku. Dadaku mau meledak karena gugup!” Seru Grisell berbisik. Senyum Eunice menghilang saat ia melihat wajah Grisell merah padam. Ya Tuhan, bila Grisell memberitahu Lord Moore bahwa pelayanannya tak memuaskan, Eunice tidak akan memiliki harapan apa pun selain menjadi perawan tua di kampung halamannya bersama kucing-kucingnya di pangkuan.
            “Maaf, Miss,” sesal Eunice.
            “Terlambat, mereka sudah menyadari kehadiranku,” ucap Grisell melirik pintu yang hanya terbuka setengah itu, akhirnya terbuka sepenuhnya. Seorang pria tinggi berambut pirang dengan senyum menawan muncul. Mata birunya lebih terang dibanding milik Grisell dan sedang menatap Grisell. Mulut itu baru ingin mengatakan sesuatu namun seorang gadis muda yang setinggi Grisell muncul dengan senyum lebih lebar.
            “Kau pasti wanita yang dibicarakan seluruh London itu! Ya Tuhan, akhirnya aku bertemu denganmu. Perkenalkan aku Hope Moore, adik terakhir Lord Moore,”
            “Oh, senang bertemu denganmu, My Lady,” ucap Grisell mengingat ajaran Miss Gillbride. Sebelum kehebohan menulikan telinga semua orang, Justin muncul menengahi mereka. Tampak wajah Justin merah padam saat melihat tingkah adiknya yang membuat Grisell bingung. Ya, Grisell memang bingung saat melihat Hope yang tidak bertingkah seperti wanita bangsawan yang sering disebut-sebut Lord Moore dan Miss Gillbride. Apa hanya dia yang diajarkan bagaimana menjadi wanita terhormat?
            “Kalian berdua kembali ke tempat,” ucap Justin tegas dan langsung dipatuhi kedua orang yang pertama menyambut Grisell. Bibir Justin menipis begitu ia berhadapan dengan Grisell lalu tatapannya berhenti di bibir itu. Bibirnya sudah tidak sebengkak sesudah ciuman itu, Justin bersyukur dalam hati. Namun tiba-tiba gairahnya tersulut tak terkendali. Sial, sial, sial. Apa yang Grisell Parnell lakukan padanya? Justin memberi lengannya pada wanita itu—yang kemudian disambut Grisell seperti wanita terhormat—lalu berjalan masuk.
            Pintu ruang duduk ditutup oleh kaki adik ipar Justin. Ruang duduk merupakan ruangan yang diisi oleh 4 sofa yang saling berhadapan, beberapa permadani merah yang menyatu menjadi lapisan lantai, dua rak buku yang bersisian, dan satu meja besar di tengah sofa serta dua meja kecil berbentuk bundar di dekat dua sofa. Ruangan ini nyaman karena sejuk dan hening. Semua orang yang ada di ruangan menatap pasangan itu, dan tatapan menuntut penjelasan dijatuhkan pada Justin.
            “Semuanya, seperti yang kalian lihat—“
            “Namanya, Justin,” Hope memotong dengan suara semangat.
            “Miss Grisell Parnell dari London,” ucap Justin tidak bisa tidak menolak tuntutan bersemangat dari adik terakhirnya. Adik iparnya menarik nafas tajam, begitu juga dengan adik Justin yang paling tinggi, yang sudah jelas ia adalah Mildred. Sementara dua adiknya yang lain, Bridget dan Hope, tidak terkejut seperti yang lain. Midlred orang pertama yang merespon perkenalan itu.
            “Senang memilikimu di sini, Miss Parnell. Apakah selama ini kakakku berperilaku seperti gentleman?” Mildred memberi senyum hangat yang menenangkan Grisell. Midlred, wanita tinggi yang memiliki rambut cokelat lembut berbeda dengan kakak laki-lakinya, dengan tinggi rata-rata wanita Inggris, namun matanya berwarna hijau! Mata hijau pertama yang Grisell lihat dan itu sangat indah.
            “Kurang lebih,” ucap Grisell mengangguk-angguk mantap. Suami Mildred, Benjamin, terkekeh di sudut ruangan saat mendengar jawaban jujur itu. Tapi itu malah memberi perasaan takut. “Ap-apakah aku salah menjawab?”
            “Tidak, kau tidak salah menjawab, Sayang,” ucap Mildred lembut. Kaki Benjamin melangkah mendekati Justin lalu menepuk-nepuk bahu kakak iparnya dengan raut wajah bangga.
            “Sulit dipercaya, Moore. Sulit dipercaya.” Benjamin kemudian melangkah menuju istrinya. Tangan Benjamin yang besar menyelip di pinggang ramping istrinya, lalu menatap pasangan itu, tapi ia memberi senyum penuh arti pada Justin. Tentu saja Benjamin tahu tentang reputasi Grisell sebagai pelacur di London! Benjamin tak habis pikir kakak iparnya akan menikahi seorang pelacur. Grisell diamati oleh keempat orang di hadapannya lalu ia mendongak, tangannya yang kecil menepuk pelan punggung Justin, akhirnya Justin menunduk.
            “Bukankah seharusnya mereka ada di London?” Bisik Grisell tak sadar bahwa bisikannya terdengar oleh semua orang di ruangan itu. Justin memberi senyum menyesal.
            “Mereka datang begitu mendengar kabar aku membawa wanita ke Moore House,”
            “Memangnya kau belum pernah membawa wanita ke Moore House?” Bisikannya membuat Benjamin menahan tawanya dan ingin menjawab pertanyaan itu, tapi Justin sudah menjawabnya lebih dulu.
            “Aku pernah membawa wanita ke Moore House, tapi bukan pelacur.”
            Seluruh orang di ruangan itu menegang.
            Grisell menampar pipi Justin dengan kekuatan penuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar