CHAPTER FIVE
“Henry… akhirnya memakan… sa-sa…?”
Grisell memandang Justin dengan ragu. Pria itu membungkuk di hadapannya, bertumpu
dengan kedua tangan terlipat di atas meja sementara Grisell duduk di atas kursi
kerja Justin. Melihat tidak ada tanda bantuan dari Justin, Grisell kembali
memandang kata yang sulit dieja itu. Kemudian dengan bibir bergetar, ia membaca
lagi. “Henry akhirnya memakan… sa-sa-say…”
“Sayu…”
“Sayu… sayur itu.” Sebuah senyum
bangga muncul di wajah Grisell saat ia berhasil membaca kalimat yang lain di
novel itu. Ia mengangkat kembali pandangannya menatap Justin lalu terkesiap
menyadari betapa dekatnya wajah mereka. Bibir Justin membentuk lengkungan
setengah lingkaran hingga gigi putihnya kelihatan kontras dengan kulit cokelat
keemasannya. Sangat maskulin. Aroma cologne
mahal tercium hidung Grisell membuktikan bahwa pria itu memang pria yang senang
memakai barang-barang yang mahal. Tapi tidak memperlihatkan bahwa pria itu
manja. Mata Grisell terpaku di bibir itu lagi, memikirkan bagaimana rasanya
bila ia kecup. Saat Grisell ingin memajukan wajahnya, pria itu merusak
segalanya dengan suara berat.
“Perkembangan yang bagus. Mari kita
coba kalimat selanjutnya,” ucap Justin menunjuk kalimat setelah titik di kata
terakhir yang Grisell baca. Mata biru Grisell melihat kata yang ditunjuk Justin
kemudian mengejanya dalam otak sebelum mengeluarkannya dari mulut.
“Mes-meski Ibu Henry dapat melihat…
cepatnya?”
“Anaknya,” ucap Justin memperbaiki.
“Meski Ibu Henry dapat melihat anaknya…”
“Eng…gan memakan sayurnya, ia
te…tap?” Grisell mengangkat pandangan penuh keraguan pada Justin, namun pria
itu mengangguk kepalanya. Grisell tersenyum lebar saat ia tahu ia membacanya
benar, meski terbata-bata. “Ia tetap bang..ga pada anaknya. Ia tetap bangga
pada anaknya.” Grisell menutup bukunya sedetik kemudian. Justin memberi tatapan
protes, ia belum selesai mengajar Grisell. Bahkan Tuhan dan Justin tahu,
Grisell baru membaca kalimat ketiga dari paragraf pertama di halaman pertama.
Bukannya takut melihat tatapan Justin yang bisa membakar buku yang ditutup
Grisell, senyum wanita itu semakin lebar.
“Kita belum selesai, Miss Parnell,”
ucap Justin mendorong tubuhnya menjauh dari meja kerjanya. Sebelum ia berhasil
menjauh dari Grisell, sebuah tangan kecil menarik cepat lehernya hingga ia
kembali membungkuk. Justin tak sempat menarik dirinya saat sebuah sapuan bibir
lembut menyentuh bibirnya. Kedua tangan Grisell menahan kepala Justin dengan
tegas, kencang, seolah-olah ia tidak ingin bibirnya terpisah dengan bibir
Justin. Grisell mengisap bibir bawah Justin dengan semangat yang tak pernah ia
rasakan sebelumnya. Grisell naik ke atas meja kerja Justin, bersimpuh di
atasnya lalu memeluk leher itu agar memperdalam ciumannya. Mulut Justin
terbuka, menyambut mulut Grisell, membiarkan lidah itu membelai lidahnya.
Biasanya Justin-lah yang mendominasi
sebuah ciuman lembut, namun tidak dengan Grisell. Wanita itu melakukannya
seolah-olah itu adalah ciuman terakhirnya. Tidak ada kelembutan dalam ciuman
ini, hanya gairah menggebu-gebu terpancar dari tubuh Grisell, mengharapkan
kepuasan brutal yang nikmat. Justin membalas hisapan bibir Grisell, menikmati kemanisan
bibir itu. Rasa manis anggur, buah apel dan sedikit bunga mawar memabukkan
Justin saat mengisap bibir bawah Grisell. Tangan Justin memeluk hampir seluruh
punggung Grisell, ia menekan tubuh Grisell ke tubuhnya merasakan betapa
kenyalnya buah dada Grisell di dadanya. Tangannya yang lain meremas buah dada
Grisell, menarik potongan leher Grisell hingga ia dapat merasakan buah dada itu
masih dalam balutan pakaian dalam. Lalu hanya dengan satu tarikan kasar di
pakaian dalam Grisell berhasil memperlihatkan buah dada Grisell yang berbentuk
bulat, padat, kenyal dan puncaknya yang berwarna merah muda. Tangan besar
Justin meremas-remas buah dada itu hingga desahan Grisell di mulut mereka
membuat kejantanannya semakin mengeras dan bagian bawah perut Grisell semakin
basah. Bunyi kecipak ciuman yang nyaring menambah suasana erotis di ruang
kerjanya.
Kesadaran Justin muncul saat ia
merasakan tangan Grisell menyentuh kejantanannya yang terlindung celana
hitamnya. Ia segera menarik diri dari Grisell, memisahkan mulutnya dari mulut
Grisell. Apa-apaan yang baru saja ia lakukan? Ia menatap ngeri Grisell yang
terdiam di atas mejanya. Apa yang akan ia jelaskan pada para pelayan dan Miss
Gillbride bila mereka melihat bibir Grisell yang bengkak? Bibir itu lebih merah
dan menyembul akibat ciuman panas mereka. Dan demi Tuhan, buah dada Grisell
keluar dari pakaian dalamnya. Apa yang
baru saja aku lakukan? Justin memaki dalam hati. Ia tidak pernah kehilangan
kendali sejak ia bertobat. Mungkin bukan ide yang bagus berada satu ruangan
sendirian bersama Grisell. Wanita itu masih bersimpuh di atas meja kerjanya
memandang Justin dengan tatapan kemenangan.
“Sudah kubilang padamu, kau menginginkanku,”
ucap Grisell tak berniat menutupi salah satu buah dadanya yang terpampang
jelas. Justin menggeleng kepala berusaha menyatukan kembali jiwanya dan akal
sehatnya, lalu ia berjalan mendekati Grisell. “Kau menginginkannya lagi, My
Lord?”
“Tidak, Miss Parnell. Kejadian tadi
tidak akan terulang,” ucap Justin mengangkat pakaian dalam Grisell agar buah
dada itu tertutup lalu membenarkan potongan leher gaun Grisell hingga kulit itu
benar-benar menghilang dari pandangannya. Grisell mendecak kesal, ia bergerak
duduk hingga kakinya tak lagi bersimpuh, tapi menggantung di sisi meja kerja
Justin.
“Aku bisa merasakannya. Kau
menginginkanku, My Lord. Dan aku bisa merasakan betapa kerasnya dirimu saat
kusentuh. Kau benar-benar tidak ingin merasakan percintaan di atas tempat tidur
bersamaku?” Grisell memberi tatapan genit seperti pelacur pada umumnya. Justin
terkekeh pelan, kepalanya tertunduk dengan telapak tangan mengelus-ngelus
kepalanya seperti pembunuh yang ingin bermain dengan korbannya terlebih dahulu.
Pria itu menarik nafas dalam-dalam sebelum ia mendongak. Senyumnya menghilang
begitu ia menatap mata biru jernih Grisell, tatapan serius yang mematikan.
“Grisell,” ucap Justin menyebut nama
depannya. “Kau cerdas, kau mudah menerima pelajaran meski kau mantan seorang
pelacur. Tapi sungguh, aku sangat ingin kau menjaga sikapmu sebagai wanita
terhormat. Karena kurang dari satu bulan ini, kau akan bertemu dengan ratusan
orang untuk menyambut mereka di rumah ini,”
“Maafkan aku,” ucap Grisell
menundukkan kepalanya. “Aku hanya penasaran dengan rasa bibirmu. Karena
sebelumnya aku tidak pernah ditolak oleh seorang pria,” lanjut Grisell memasang
wajah murung. Kedua alisnya bertaut saat ia mendongakkan kepalanya, kedua
matanya tampak sayu sehingga memberi kesan seksi dan sedih dalam waktu
bersamaan, menatap Justin. Saat Justin ingin mengelus lengan Grisell untuk
menenangkan wanita itu, ia menarik diri, sadar bahwa ia ragu kewarasannya akan
muncul begitu Grisell menyentuhnya lagi. Tidak akan ada lagi ciuman! Dan sialan,
seharusnya ia berangkat ke rumah Henrietta sekarang.
Justin mengangguk singkat, kemudian
menyembunyikan kedua tangannya di dalam kantong celananya. “Kurasa pelajaran
hari ini selesai. Dan tidak akan ada lagi pertemuan lain,”
“Apa? Tidak akan ada lagi pelajaran
membaca?” Grisell terkejut, ia turun seketika dari meja Justin lalu membenarkan
roknya. Sang earl mengangguk pasti,
kemudian dengan gerakan paling anggun dari seorang pria, Justin berbalik
memunggungi Grisell. Di belakangnya, Grisell ingin memukul punggung itu atau
mencekik Justin dari belakang. Namun kekurangannya yang memang takkan bisa
menjadi kelebihannya—tubuh pendek—lebih membuat Grisell ingin mencekik dirinya
sendiri. Lalu akhirnya mulut mungil itu berbicara lagi. “Tidak adil! Aku sudah
merelakan waktu tidur siangku hanya untuk belajar membaca dan kau tidak ingin
mengajariku lagi? Sulit dipercaya. Oh, ya… ya benar sekali. Biarkan aku menjadi
bahan cemoohan para tamumu saat mereka datang dan berharap aku membaca. Lihat
saja, jika aku duduk sambil mengharapkan para gentlemen berdansa waltz
denganku dan aku tak tahu cara menulis namanya di kartuku karena oh-ya-benar aku
tidak bisa mengeja, aku akan menyalahkanmu.”
Justin mengangkat salah satu
tangannya. Mata cokelat pria itu seperti madu kental yang sudah diperas dari
sarang lebah, tetapi lebih terang. Dan kedua mata itu sedang menatap keluar
jendela, memerhatikan halaman rumahnya yang kurang dari waktu 1 bulan akan
dipenuhi para tamu dan anak-anak yang akan bermain di taman. Yang dikatakan
Grisell ada benarnya, ia tidak mungkin membiarkan Grisell mati karena malu tak
bisa membaca. Meski Justin menginginkan kebersamaannya semakin lama dengan
Grisell, sepertinya kebersamaan itu akan menjadi malapetaka bagi keduanya.
Tentu Justin tidak ingin menikahi
seseorang yang ia lecehkan. Tapi ciuman itu. Ciuman terpanas sepanjang
hidupnya. Bahkan para wanita bersuami yang sangat ahli di ranjang pun tidak
bisa membakar gairahnya sepanas ini. Apakah itu karena Grisell seorang pelacur
maka ia ahli memberi kepuasan? Mungkin. Tidak ada yang pasti jika itu
berhubungan dengan Grisell Parnell. Justin akhirnya memutuskan.
“Miss Parnell, cukup. Aku akan
menyewa satu lagi guru untukmu, jika itu yang kauinginkan,” tuturnya membuat
Grisell terperenyak. Menyewa satu lagi guru untuknya? Tidakkah Miss Gillbride
sudah cukup membuatnya malu hingga ingin mati? Grisell tidak akan tinggal diam
bila Justin terus membuat keputusan untuknya.
“Itu bukan yang kuinginkan. Aku mau
kau yang mengajarku, Lord Moore. Selain itu kita bisa mengenal lebih dalam lagi
dengan kebersamaan ini. Bukankah tadi menyenangkan?”
“Cukup,” ucap Justin tegas. Ia
berbalik, kedua tangannya berpindah dari kantong celana ke belakang
punggungnya. Kedua matanya menatap malas wanita pendek di hadapannya. “Kuharap
kau ingin keluar karena aku memiliki masalah yang harus kuurus,” lanjut Justin
mempersilakan Grisell dengan satu tangannya yang terentang ke arah pintu.
“Terima kasih telah membuang-buang
waktuku, Lord Moore. Aku tidak membutuhkan guru tambahan lagi. Selamat siang.”
Grisell berjalan dengan dagu terangkat ke atas, punggung di tegakkan dan
melangkah menuju pintu ruang kerja Justin. Ia mulai menggerutu kesal begitu ia
membuka gagang pintu lalu menghilang dari pandangan Justin. Saat wanita itu
membanting pintu ruang kerjanya, Justin tersentak. Grisell… wanita penggoda
yang kepala batu. Bagaimana mungkin Justin dapat mengendalikannya bila wanita
itu tidak ingin bekerjasama? Diam-diam Justin berharap Henrietta memberi ciuman
sepanas Grisell.
Jantung Justin berdetak cepat
mengingat Henrietta yang pasti mengharapkan kedatangannya! Sial. Justin
berjalan berniat mengambil jaketnya yang tergantung di kursi kulitnya, lalu
memakainya secepat kilat. Mungkin bertemu dengan Henrietta akan meredakan
gairahnya yang masih terbakar.
***
Grisell duduk di kursi yang terbuat
dari papan yang menyatu dengan lantai di dekat jendela. Ia menekuk kedua
lututnya hingga terangkat menyentuh buah dadanya lalu menempatkan pipi kirinya
di sela antara kedua lututnya. Matanya memandang keluar jendela, langit
berwarna hitam ditabur bintang dan belum ada tanda-tanda ada panggilan dari
bawah. Daun-daun cokelat yang lebat di pohon membuat musim gugur di sini tidak
masuk akal bagi Grisell. Ia pikir daun-daun itu akan berjatuhan seperti di
London. Grisell ingin keluar dari Moore House, menjelajahi tanah Cheshire dan
sedikit berjalan-jalan di estat Welshing.
Setelah kejadian panas yang
dilanjutkan perdebatan yang panas juga, Grisell memutuskan untuk tidak
mengikuti pelajaran apa pun sekalipun Miss Gillbride sempat memaksanya karena
takut ia dipecat karena tak berhasil membujuk Grisell belajar. Seluruh semangat
Grisell seolah-olah terserap oleh kejenuhan tak berarti hingga ia bahkan tak
berniat untuk makan malam. Grisell merasakan itu. Ia merasakan perasaan yang pernah ia lalui sebelumnya dan ia
tidak menyukainya. Ia takut bila perasaannya tak dibalas sama besar dengan apa
yang dirasakannya. Ia menyukai Justin Moore, itu sudah jelas. Semua wanita
sudah pasti menyukai pria itu, meski bagi Grisell sangat membosankan dengan
sikap kolotnya. Tapi pria itu berhasil menggenggam hatinya. Grisell tahu Justin
telah merebut hati itu daripadanya dan Grisell ingin hatinya dikembalikan. Ia
tidak ingin… jatuh cinta untuk yang kedua kalinya.
Mungkin memang benar apa yang
disarankan Justin. Ia mungkin tidak harus belajar membaca bersama Justin dan
Grisell sadar ia memang egois. Jika ia dipanggil ke bawah untuk makan malam,
mungkin Grisell akan merendahkan diri di hadapan Justin untuk meminta maaf. Grisell
bertanya-tanya apa yang Justin lakukan di rumah Henrietta. Ia berdoa dalam hati
agar Henrietta mau memakan bualan dari mulut Justin. Entah apa pun yang
dikatakan Justin pada Henrietta, Grisell tahu semua itu hanya omong kosong
belaka dan Justin tidak menginginkan wanita berambut hitam itu. Tidak sama
sekali.
Ciuman siang itu sangat… panas.
Grisell masih dapat merasakan bagaimana bibir bawahnya dihisap begitu rakus
oleh Justin dan tangan besar pria itu menangkup buah dadanya. Ia pernah
merasakan getaran nikmat itu—bukan dari para pelanggannya tentunya—dari
seseorang. Seorang pria yang umurnya kira-kira dua kali lipat dari umur
Grisell, namun Grisell tahu pria itu juga menyimpan perasaan baginya. Ia
berjanji pada Grisell akan menyelamatkannya dari rumah pelacuran saat Grisell
masih berumur 17 tahun. Namun ia menunggu selama 5 tahun, mengharapkan
kehadiran pria itu lagi. Menciumnya, membelainya, mengatakan kata-kata cinta…
tapi pria itu tak kunjung datang. Tidak ada yang mencintaiku, pikir Grisell
saat ia menyerah mengharapkan pria itu.
Beberapa ketukan pintu terdengar di
telinganya, lalu ia menggumam. Pintu kamarnya terbuka tapi Grisell tidak sama
sekali menoleh ke belakang. Eunice melihat majikannya duduk di dekat jendela,
memunggunginya. Apa sebenarnya yang terjadi antara Miss Parnell dan Lord Moore?
Eunice bertanya-tanya, mungkinkah Grisell tak berhasil menggoda Lord Moore?
Jika memang benar, maka Eunice tidak akan terkejut. Pria seperti Lord Moore
tidak mungkin melakukan hal serendah itu, melecehkan seorang wanita, dimana pun
ia berada. Dan Grisell Parnell tentu bukan ancaman bagi reputasi Lord Moore
yang gemilang. Pemikiran sok tahu itu pasti akan membawa Eunice keluar dari
Moore House. Akhirnya dengan ragu-ragu Eunice mendekati Grisell.
“Miss Parnell, Lord Moore
menginginkan Anda di ruang duduk,” ucap Eunice mantap.
“Tolong beritahu padanya aku butuh
waktu sebentar sebelum ke bawah,”
“Tapi ia menginginkanmu sekarang,
Miss,” Eunice tak ingin dipecat hanya karena keinginan Lord Moore tak
terpenuhi. Untungnya Grisell turun dari papan kursi itu dengan gerakan malas.
Ia berdiri di depan cermin memerhatikan penampilannya. Grisell tak pernah
memakai korset sebab pinggangnya sudah kecil, ia bersyukur karena ia tidak
perlu susah-susah bernafas seperti wanita lain. Bahkan Grisell yakin Eunice
memakai korset ketat. Melirik gadis muda melalui cermin, Grisell mengembus
nafas panjang, gadis itu tampak khawatir. Ada apa sebenarnya? Grisell akhirnya
berbalik lalu berjalan menuju pintu kamar, ia keluar bersama Eunice.
Ia berjalan, bersama Eunice di
belakangnya, melewati lorong panjang menuju tangga besar. Tangga itu besar itu
memiliki dua tangga lain yang berpisah saling berlawanan arah. Bukti bahwa
tangga itu memang sangat dibutuhkan sebab tangga itu akan dilewati oleh
kerumunan orang saat season
berlangsung. Ia mendengar suara kucing mengeong saat ia berhasil menuruni anak
tangga terakhir kemudian hampir menjerit saat seekor kucing berwarna putih
berlari melewatinya. Kemudian Cornelius mengejar kucing itu, tapi saat ia
melihat Grisell, ia segera berhenti lalu membungkuk memberi hormat.
“Selamat malam, Miss Parnell,” ucap
Cornelius ramah. Grisell hanya mengangguk, kemudian pria tua itu kembali
berlari. “Mr. Phee!” Cornelius berteriak mengejar kucing yang berhenti di dekat
pintu perpustakaan. Grisell berusaha tidak tertawa, ia berjalan menuju ruang
duduk yang pernah dilaluinya. Suara ribut-ribut terdengar samar-samar saat
Grisell melangkah semakin dekat ke ruangan itu.
“Aku tak percaya kau satu atap
dengan seorang wanita, Justin! Pasti ini sangat menggemparkan seluruh
masyarakat Cheshire, terutama para tamu undangan yang telah kita undang,” ucap
seorang wanita di dalam ruangan itu.
“Tapi aku yakin pasti wanita itu
cantik!” Suara girang dari perempuan lain terdengar. “Ini sangat mengejutkan
mengingat Justin pernah berpacaran dengan Henrietta lalu ia memutuskannya dan
dalam jangka waktu singkat Justin menyimpan seorang perempuan di rumahnya! Oh,
ini skandal pertama Justin!”
“Hush! Ini bukan skandal, Hope,”
ucap suara perempuan lain lagi. Perut Grisell menegang menyadari nama itu
adalah nama adik Justin. Apa yang adik-adiknya lakukan di Moore House? Bukankah
seharusnya mereka berada di London sekarang? Grisell ragu-ragu melangkah masuk
ke ruang duduk.
“Bisakah kalian bertiga tidak
membuat kakak kalian pusing seperti itu?” Kali ini suara pria yang menyahut.
Eunice berbisik di telinganya.
“Masuklah, Miss. Mereka menunggu
Anda,” bisik Eunice menggigit bibir bawahnya, bersemangat sekaligus penasaran
apa reaksi keluarga Moore saat bertemu dengan Grisell. Kepala majikannya
menoleh ke belakang, meliriknya lalu memarahinya dengan suara balas berbisik.
“Kupikir hanya Lord Moore yang ingin
kutemui! Kau bilang aku harus bertemu dengannya tapi lihat sekarang apa yang
kaulakukan padaku. Dadaku mau meledak karena gugup!” Seru Grisell berbisik.
Senyum Eunice menghilang saat ia melihat wajah Grisell merah padam. Ya Tuhan,
bila Grisell memberitahu Lord Moore bahwa pelayanannya tak memuaskan, Eunice
tidak akan memiliki harapan apa pun selain menjadi perawan tua di kampung
halamannya bersama kucing-kucingnya di pangkuan.
“Maaf, Miss,” sesal Eunice.
“Terlambat, mereka sudah menyadari
kehadiranku,” ucap Grisell melirik pintu yang hanya terbuka setengah itu,
akhirnya terbuka sepenuhnya. Seorang pria tinggi berambut pirang dengan senyum
menawan muncul. Mata birunya lebih terang dibanding milik Grisell dan sedang
menatap Grisell. Mulut itu baru ingin mengatakan sesuatu namun seorang gadis
muda yang setinggi Grisell muncul dengan senyum lebih lebar.
“Kau pasti wanita yang dibicarakan
seluruh London itu! Ya Tuhan, akhirnya aku bertemu denganmu. Perkenalkan aku
Hope Moore, adik terakhir Lord Moore,”
“Oh, senang bertemu denganmu, My
Lady,” ucap Grisell mengingat ajaran Miss Gillbride. Sebelum kehebohan
menulikan telinga semua orang, Justin muncul menengahi mereka. Tampak wajah
Justin merah padam saat melihat tingkah adiknya yang membuat Grisell bingung.
Ya, Grisell memang bingung saat melihat Hope yang tidak bertingkah seperti
wanita bangsawan yang sering disebut-sebut Lord Moore dan Miss Gillbride. Apa
hanya dia yang diajarkan bagaimana menjadi wanita terhormat?
“Kalian berdua kembali ke tempat,”
ucap Justin tegas dan langsung dipatuhi kedua orang yang pertama menyambut
Grisell. Bibir Justin menipis begitu ia berhadapan dengan Grisell lalu
tatapannya berhenti di bibir itu. Bibirnya sudah tidak sebengkak sesudah ciuman
itu, Justin bersyukur dalam hati. Namun tiba-tiba gairahnya tersulut tak
terkendali. Sial, sial, sial. Apa yang Grisell Parnell lakukan padanya? Justin
memberi lengannya pada wanita itu—yang kemudian disambut Grisell seperti wanita
terhormat—lalu berjalan masuk.
Pintu ruang duduk ditutup oleh kaki
adik ipar Justin. Ruang duduk merupakan ruangan yang diisi oleh 4 sofa yang
saling berhadapan, beberapa permadani merah yang menyatu menjadi lapisan
lantai, dua rak buku yang bersisian, dan satu meja besar di tengah sofa serta
dua meja kecil berbentuk bundar di dekat dua sofa. Ruangan ini nyaman karena
sejuk dan hening. Semua orang yang ada di ruangan menatap pasangan itu, dan
tatapan menuntut penjelasan dijatuhkan pada Justin.
“Semuanya, seperti yang kalian
lihat—“
“Namanya, Justin,” Hope memotong
dengan suara semangat.
“Miss Grisell Parnell dari London,”
ucap Justin tidak bisa tidak menolak tuntutan bersemangat dari adik
terakhirnya. Adik iparnya menarik nafas tajam, begitu juga dengan adik Justin
yang paling tinggi, yang sudah jelas ia adalah Mildred. Sementara dua adiknya
yang lain, Bridget dan Hope, tidak terkejut seperti yang lain. Midlred orang
pertama yang merespon perkenalan itu.
“Senang memilikimu di sini, Miss
Parnell. Apakah selama ini kakakku berperilaku seperti gentleman?” Mildred memberi senyum hangat yang menenangkan Grisell.
Midlred, wanita tinggi yang memiliki rambut cokelat lembut berbeda dengan kakak
laki-lakinya, dengan tinggi rata-rata wanita Inggris, namun matanya berwarna
hijau! Mata hijau pertama yang Grisell lihat dan itu sangat indah.
“Kurang lebih,” ucap Grisell
mengangguk-angguk mantap. Suami Mildred, Benjamin, terkekeh di sudut ruangan
saat mendengar jawaban jujur itu. Tapi itu malah memberi perasaan takut.
“Ap-apakah aku salah menjawab?”
“Tidak, kau tidak salah menjawab,
Sayang,” ucap Mildred lembut. Kaki Benjamin melangkah mendekati Justin lalu
menepuk-nepuk bahu kakak iparnya dengan raut wajah bangga.
“Sulit dipercaya, Moore. Sulit
dipercaya.” Benjamin kemudian melangkah menuju istrinya. Tangan Benjamin yang
besar menyelip di pinggang ramping istrinya, lalu menatap pasangan itu, tapi ia
memberi senyum penuh arti pada Justin. Tentu saja Benjamin tahu tentang
reputasi Grisell sebagai pelacur di London! Benjamin tak habis pikir kakak
iparnya akan menikahi seorang pelacur. Grisell diamati oleh keempat orang di
hadapannya lalu ia mendongak, tangannya yang kecil menepuk pelan punggung
Justin, akhirnya Justin menunduk.
“Bukankah seharusnya mereka ada di
London?” Bisik Grisell tak sadar bahwa bisikannya terdengar oleh semua orang di
ruangan itu. Justin memberi senyum menyesal.
“Mereka datang begitu mendengar kabar
aku membawa wanita ke Moore House,”
“Memangnya kau belum pernah membawa
wanita ke Moore House?” Bisikannya membuat Benjamin menahan tawanya dan ingin
menjawab pertanyaan itu, tapi Justin sudah menjawabnya lebih dulu.
“Aku pernah membawa wanita ke Moore
House, tapi bukan pelacur.”
Seluruh orang di ruangan itu
menegang.
Grisell menampar pipi Justin dengan
kekuatan penuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar