Minggu, 11 Januari 2015

Lucky Slut Bab 3

CHAPTER THREE

            Grisell menghirup udara malam Cheshire seperti nafas terakhirnya. Angin malam menerpa leher Grisell yang terlepas dari balutan kain, kepangan yang dibuat Eunice berhasil membuatnya terlihat lebih elegan. Ia sangat menyukai udara segar yang tak terkontaminasi oleh debu atau asap. Ternyata Cheshire tidak seburuk yang ia pikir. Grisell pikir Cheshire merupakan desa yang kumuh, penuh ternak yang tak terawat dan petani yang akan menginginkannya sebagai istri. Tangan Grisell menyelip ke lengan Lord Moore sambil ia berjalan memerhatikan Moore House di malam hari. Cukup menyeramkan bila ia melihat ke kerumunan pohon yang tak diberi penerangan obor, jadi ia lebih memilih menoleh ke atas, memandang Lord Moore yang menjulang tinggi di sebelahnya. Ia mendesah pelan, merasa kasihan terhadap dirinya yang begitu bodoh. Mengapa ia tidak memikirkan bagaimana cara ia mencium Lord Moore? Ia takkan  bisa mencium pria itu sekalipun ia berjinjit.
            Mungkinkah ia harus menarik leher Lord Moore seperti yang ia lakukan pada pelanggannya—ia melakukan itu agar ia dianggap garang? Grisell mengangkat kedua bahunya tinggi-tinggi sambil memejamkan mata, menikmati dirinya berada di sebelah Lord Moore. Merasakan mahluk kecil di sampingnya mengerutkan tubuh, Lord Moore berusaha menahan senyumnya. Bukankah Grisell pelacur yang lugu? Bahasa tubuhnya yang terang-terangan menguntungkan Lord Moore. Ia dapat mengetahui perasaan Grisell tanpa Grisell tahu. Kemudian mahluk kecil itu mendongak memperlihatkan wajahnya yang putih dengan bibir merah yang mungil, menarik untuk dikecup 5 detik saja.
            “Lord Moore, aku berterima kasih karena kau menyelamatkanku dari rumah pelacuran itu,” ucap Grisell memberi senyum yang tampak tulus. Dan terima kasih atas prilakumu yang seperti orangtua kolot, alam bawah sadarnya tersenyum masam. Lord Moore tersenyum meski tak sampai mengenai matanya, tapi tetap saja senyum itu entah mengapa membuat Grisell menarik nafas tajam. Berada dalam kedekatan yang hanya dibatasi pakaian benar-benar membuat Grisell frustrasi ingin mengelupas jas, rompi, cravat dan celana pria ini. Lord Moore memberi Grisell tatapan skeptis, lalu ia bertanya.
            “Benarkah?”
            “Tidak terlalu,” goda Grisell tersenyum sambil menyandarkan kepalanya ke lengan Justin. Jawabannya tidak sepenuhnya candaan semata. Bukannya menarik diri dari Grisell, Justin justru membiarkan kepala wanita itu bersandar di lengannya. Eunice, pendamping Grisell, berdiri tak jauh dari mereka. Gadis yang masih muda itu berusaha tidak mencuri dengar apa yang kedua majikannya bicarakan, namun rasanya sulit menyumbat telinganya. Ia hampir saja muntah di tempatnya mendengar bahwa Grisell berasal dari tempat pelacuran. Saat Grisell tiba, pelayan yang ikut dengan Lord Moore ke London tak muncul dari kereta kuda mana pun. Mungkinkah pelayan itu dipecat? Tapi Lord Moore dikenal akan kebaikannya selama ia hidup, tak ada yang meragukannya. Kemudian Eunice mempertajam pendengarannya. Ia tahu gosip panas ini akan menggemparkan seluruh pelayan di dapur nanti.
            Eunice tak sabar membawa Grisell tidur dan turun ke dapur. Telinganya kemudian mendengar Lord angkat bicara.
            “Apa kau suka membaca novel, Miss Parnell?” Tanya Lord Moore menunduk menatap kedua bola mata biru seperti air sungai jernih. Grisell tiba-tiba menjadi kikuk mendengar pertanyaan yang ia tak duga. Membaca novel? Bahkan membaca buku pelajaran pun tidak! Grisell menggeleng kepala kuat hingga rambutnya yang keluar dari kepangan ikut bergoyang. “Ternyata kau wanita yang sulit ditebak. Ketiga adikku senang sekali membaca novel. Apakah kau memiliki alasan yang tepat mengapa kau tidak suka membaca novel?”
            “Bibiku tidak mengizinkan aku membaca novel,” ucap Grisell tidak berbohong, tapi tidak mengatakan alasan yang sebenarnya. Alasan utama ia tidak membaca novel karena Bibinya tak mampu membeli buku apa pun, kedua ia tidak pernah melatih diri membaca buku, dan ketiga Bibinya memang tak mengizinkannya membaca novel. Jadi, ia tidak terlalu berbohong. Lord Moore berhenti melangkah saat mereka berhenti di dekat sebuah pohon yang daunnya luar biasa lebat. Grisell tidak berani melangkah mendekat ke arah pohon itu. Ia membayangkan ular tiba-tiba muncul dari pohon itu dan berusaha menggigitnya.
            Namun Lord Moore justru melangkah mendekat pohon itu. Tangannya menekan kulit pohon yang kasar sehingga pria itu terlihat seperti menyandar di pohon itu. Kepalanya menunduk sejenak lalu mendongak menatap Grisell dengan senyum masam. “Saat adik-adikku datang, kau akan duduk bersama adik-adikku di hadapan Mildred, di bawah pohon ini. Kulitmu tidak akan terbakar matahari, begitu kata Mildred pada Hope,”
            “Kalian sepertinya saling memiliki satu sama lain,” ucap Grisell mengangkat tangan kanannya untuk mengelus lengan kirinya yang tertutup kain. Ia iri. Iri pada siapa pun yang memiliki ikatan persaudaraan yang kuat sementara ia tidak memiliki siapa pun selain Bibi Millicent. Bibinya yang sebentar lagi akan memasuki umur 47 tahun itu, senang memukul Grisell. Bekas di punggungnya bersatu dengan bekas luka baru yang diberikan oleh para pelanggan Grisell yang kasar. Dan ia memikirkan bagaimana adik-adik Lord Moore tumbuh dengan dua orangtua lengkap, penuh kasih sayang dan perhatian. Ia hanya menduga.
            Tak terasa angin semakin kencang mengenai tengkuk lehernya. Grisell beranjak dari tempatnya, menjauh dari pohon gelap itu menuju tempat yang lebih terang. Lord Moore memerhatikan wanita mungil itu, mengikuti kemana wanita itu ingin pergi. Tampak Grisell tidak senang dengan topik pembicaraan mengenai keluarga, tentu saja. Tapi topik apa yang harus Justin angkat bila wanita muda itu bahkan tidak berwawasan luas? Ia tidak mungkin membicarakan perkembangan Inggris pada wanita yang lebih sering mendapatkan belaian dari pria Inggris, dibanding melihat perkembangan negaranya sendiri. Grisell melangkah ke jalan setapak yang mengarah ke dua tempat. Rumah atau gazebo. Sudah jelas Grisell tak ingin masuk kembali ke dalam rumah, ia berjalan menuju gazebo.
            Hanya perlu beberapa langkah besar bagi Justin untuk menyamai langkah Grisell. Wanita yang rambutnya dikepang itu sudah berada di atas gazebo, ia duduk di papan panjang di dekatnya. “Jadi, apa yang kau suka, Miss Parnell?” Tanya Justin saat ia menaiki tangga gazebo. Justin menarik nafas tajam saat ia melihat dua kaki itu mengangkang lebar—untungnya tertutup rok panjang—namun punggung Grisell tegak, matanya memandang Justin dengan tatapan nakal. Perubahan suasana hati Grisell sulit ditebak Justin sehingga wanita itu terlihat lebih menarik lagi. Tapi ia masih belum bisa menerima kenyataan Grisell bukanlah wanita terhormat. “Akan lebih sopan bila kau merapatkan kedua pahamu, Miss Parnell.”
            Wajah Grisell terkejut, lalu pipinya bersemu merah karena malu. “Oh ya, maafkan aku. Sudah menjadi kebiasaanku duduk mengangkang di rumah… pelacuran. Tidak akan kuulangi,” ucap Grisell benar-benar menyesal. Kedua ujung lutut Grisell akhirnya menyatu membuat nafas Justin yang tertahan akhirnya dapat mengembus lega. Kedua kaki Grisell yang menggantung di udara bergerak-gerak ke depan-belakang seperti anak kecil. Bukankah Grisell memang wanita muda yang tak biasa diam?
            “Kau belum menjawab pertanyaanku, Miss Parnell,” ucap Justin mendekat ke papan duduk yang berseberangan dengan Grisell. Wanita itu mendesah pelan, memandang ke lantai kayu putih gazebo. Apa yang ia suka? Grisell suka bila seorang pria menggerayangi tubuhnya dengan lembut, bagiamana tangan besar orang Inggris meremas buah dadanya atau ciuman mesra dari pria-pria lajang atau beristri. Ia tentu tidak akan memberitahu detail kesukaannya itu. Diam-diam Grisell berpikir bagaimana rasanya mencium seorang bangsawan seperti Lord Moore. Atau bagaimana ia menyentuh dada pria itu. Ia ingin menjilat leher pria itu, merasakan keasinan jerih payahnya seharian atau bagaimana tangannya menggenggam kejantanan pria itu. Grisell tersenyum kecil memikirkan pikiran nakalnya lalu mengangkat tatapannya dari lantai pada pria tampan di hadapannya. Lihatlah bagaimana cravat putih itu terikat di lehernya dan rompi yang pas di tubuhnya. Pemandangan ini seperti musim semi terindah di London.
            “Bercinta?” Grisell menjawab dengan nada bertanya kembali. Ia memberi tatapan nakalnya, bibir bawahnya bersembunyi di balik gigi putihnya. Mata Justin mengerjap-kerjap terkejut atas kejujuran wanita itu. Ia tidak pernah bertemu dengan wanita sejujur Grisell bahkan Henrietta tak berani membicarakan tentang ciuman! Demi malaikat, Justin tak tahan berhadapan dengan kenakalan Grisell. Ia tidak mau kembali ke masa lalunya. Justin sendiri bingung mengapa ia tidak dapat mengendalikan dirinya saat berada di sekitar Grisell. Biasanya ia bisa mengendalikan sebuah percakapan, membuatnya terdengar lebih enak didengar dan tak menyinggung perasaan satu sama lain. Tapi dengan Grisell. Rasanya sulit berpikir secara rasional ketika bersama wanita ini. Usahanya mendekati wanita muda itu gagal hanya karena pertanyaan sederhana.
            “Sulit dipercaya,” bisik Justin mengelap keringat di keningnya—hanya dia satu-satunya yang berkeringat di malam yang berangin. Ia mendesah putus asa lalu tangannya menepuk pahanya yang terbalut celana hitam. “Wah, Miss Parnell, itu… sangat menjelaskan mengapa kau bekerja begitu giat. Sepertinya kau memang harus bertemu dengan pengajar pribadimu sesegera mungkin. Tidakkah kau sadar bahwa Eunice tak jauh dari kita?” Tanya Justin membuat Grisell tersinggung. Apa masalah Justin dengan jawabannya? Jawaban apa yang Justin harapkan darinya? Ia hanya berusaha bersikap jujur! Lagi pula, Grisell juga tidak tahu apa yang ia sukai selain bercinta. Sudah menjadi pekerjaannya memberi kepuasan dan mendapat kepuasan! Dan Justin berkata-kata seolah dirinya yang paling benar. Tidakkah ia melihat sudut pandang dari kehidupan Grisell selama ini? Sulit dipercaya. Seorang earl yang disanjung oleh seluruh pelayannya ternyata tak sebaik yang Grisell kira. Ia bahkan tidak membutuhkan pengajar pribadi yang Justin sewa untuknya! Ia tidak menginginkannya.
            Grisell merasakan bahan gaunnya yang terasa lembut di kulit kemudian menahan dirinya agar tak mengucapkan kata-kata mengejek. Jika bukan karena Justin, ia tidak mungkin bisa memakai pakaian senyaman ini. Ia tidak bisa tidak menolak segala perintah Justin. Ia, pada dasarnya, sudah dibeli. Jadi, semuanya akan berjalan sesuai dengan keinginan Justin, bukan dirinya. Diam-diam Grisell mengutuk Bibi Millicent karena telah menerima perjanjian dengan Lord Moore membosankan ini. Justin bangkit dari papan kursi lalu ia membenarkan cravatnya, ia tidak sedang bersikap sombong namun Grisell mendapati pria merasa seperti lebih baik daripada pria yang pernah ia temui. Dan ia tidak menyukai sikap pria itu. Ia tidak bisa! Ia tidak bisa menahan mulutnya untuk tidak memaki-maki pria itu. Apa yang ia katakan tadi? Sangat menjelaskan mengapa kau bekerja begitu giat? Melihat pria itu akan pergi darinya, Grisell bangkit dari papan kursinya lalu menahan pria itu dengan suaranya yang besar.
            “Aku memang suka pekerjaanku. Apa yang salah dengan itu? Tidakkah kau sadar sikapmu yang sombong itu sangat memuakkan? Apa salah bila aku menyukai hal yang paling nikmat di dunia? Apa kau tidak pernah merasakannya, Lord Moore?” Grisell memberi nada mengejek pada gelar Justin. Pria itu telah membalikkan tubuh, raut wajahnya tenang namun Grisell dapat melihat kepalan tangan pria itu menggantung di udara.  Sudah jelas Grisell menusuk pria itu tepat sasaran. Ya, apa ia tidak pernah merasakannya? Justin melangkah lebih dekat padanya sehingga tubuh tinggi menjulangnya menenggelamkan Grisell.
            Tangan Justin—untuk yang pertama kalinya—memegang lengan Grisell dengan erat namun tak menyakiti. Andai saja Grisell tahu sudah berapa banyak wanita beristri yang memohon-mohon padanya untuk mendapatkan pelepasan terbaik mereka, pasti wanita nakal ini tidak akan mengejeknya seperti itu. Bukannya takut atau meronta-ronta dari pegangan Justin, Grisell malah memberi tatapan menantang sehingga Justin mendapati wanita itu semakin menarik namun juga semakin menjengkelkan juga.
            “Bukan masalahmu, apakah aku pernah atau tidak merasakannya. Aku tidak bersikap sombong, Miss Parnell. Kuberitahu kau, jika kau melangkah keluar dari Moore House, Tuhan tahu aku adalah pemiliki hampir setengah tanah Cheshire. Pekerjaanku tidak semudah yang kaukira. Kau pikir seharusnya aku berada di sini bersamamu? Tidak, Miss Parnell. Hanya atas dasar kebaikan hatiku, aku mau menerima ajakanmu. Namun sulit dipercaya, percakapan yang kuharap dapat mendekatkan kita justru memberitahu kebalikannya,” jelas Justin semakin menunduk. Bahkan ia tak sadar bahwa hidung mereka hampir bersentuhan. Grisell menelan ludah, sebelum membalas ucapan pria itu yang baginya tak masuk akal. Justin ingin melakukan pendekatan dengannya? Pipi Grisell memerah seketika, namun hal itu tidak akan meredakan amarahnya yang sudah tersulut.
            “Jika begitu, buktikan! Buktikan bahwa kau memang pernah merasakannya. Cium aku maka kita akan lihat bagaimana kau menanganinya dengan baik,”
            “Aku tidak akan merendahkan diriku seperti itu, Miss Parnell. Kau memang wanita yang menawan. Semua pria pasti akan menoleh dua kali untuk memerhatikanmu. Tapi saat kau sudah membuka mulut, aku yakin semua pria akan lari,”
            “Maka kau pria yang bertahan sekarang, Lord Moore. Dan tentu saja, kita berdua tahu, ucapanmu sendiri penuh omong kosong. Apa kau bahkan pernah mencium mantan kekasihmu? Oh, ya, benar sekali. Kurasa alasan mengapa kalian putus karena mantan kekasihmu tak mendapatkan kenikmatan yang ia harapkan,”
            “Henrietta tak akan pernah berpikiran serendah dirimu!” Suara Justin bergetar akibat amarah. Melihat wajah Justin yang memerah menular ke seluruh tubuh Grisell karena takut. Malam pertamanya di Cheshire ternyata tak sebaik yang ia kira. Ia pernah melihat raut wajah pria marah, tapi tidak pernah ada yang seseram ini. Justin tampaknya akan menerkam Grisell saat itu juga seperti singa memakan rusa. Air mata mulai berkumpul di pelupuk mata Grisell. Tidak, tidak, tidak. Bukan hanya perasaan takut yang ia rasakan saat itu, ada perasaan lain. Bukan iri. Sesuatu yang tidak pernah Grisell rasakan sebelumnya. Perasaan itu seperti mencabik-cabik hatinya. Ia pernah memberitahu Justin bahwa ia bukan wanita berperasaan. Tampaknya malam itu sama sekali kebalikannya.
            Mendengar nama Henrietta ternyata alasan utama mengapa perasaan itu muncul. Jadi, itulah nama mantan kekasih Justin. Henrietta. Tapi yang paling menyakitkan adalah bagaimana pria itu membandingkan Grisell dengan Henrietta. Merasa pegangan tangan Justin di lengannya mengendur, Grisell segera menarik diri dari Justin. Grisell berjalan cepat meninggalkan Justin di gazebo dengan larian yang seharusnya tak dilakukan seorang Lady. Justin mengerang dalam hati, menyesal atas apa yang ia katakan pada Grisell. Seharusnya ia tidak berkata seperti itu! Sial. Eunice, yang berdiri tak jauh dari gazebo sudah jelas mendengar seluruh percakapan mereka, melangkah cepat mengikuti Grisell yang ternyata sudah sampai di teras belakang Moore House.
            Sebelum Grisell masuk ke dalam Moore House, wanita itu membalikkan tubuhnya, menatap langsung ke tempat Justin berada. Eunice berhenti melangkah. “Setidaknya aku memiliki pengalaman bercinta lebih hebat dibanding Henrietta-mu yang suci!”
            Eunice hampir pingsan di tempat.

***

            “Henrietta. Apa yang kaulakukan di sini pagi-pagi seperti ini?” Tanya Justin saat ia melihat Henrietta muncul di ruang tamunya. Jam masih menunjukkan pukul 9 pagi dan ia sedang sibuk memeriksa berkas-berkas kepemilikan di ruang kerjanya dan tiba-tiba saja paginya dihancurkan begitu saja dengan kedatangan mantan kekasihnya. Henrietta datang dengan pakaian berwarna kuning cerah, rambut hitamnya sangat kontras dengan warna gaunnya. Bibirnya merah karena polesan kelopak bunga mawar dan aroma lavender menempel di tubuhnya. Henrietta tentu adalah pengalih perhatian utama Justin. Ia tidak bisa tidak menolak keinginan wanita itu—kecuali saat Justin terpaksa memutuskan Henrietta untuk Grisell.
            Kedatangan Henrietta setidaknya berhasil membuat Justin lebih tenang setelah malam yang menghebohkan Moore House. Cornelius tidak sama sekali berani mengomentari apa pun yang terjadi semalam. Dan para pelayan sudah mulai menggosipkan pertengkaran Justin semalam. Yah, sudah menjadi kebiasaan wajib bagi pelayan untuk bergosip seolah-olah mereka tak dapat hidup tanpa gosip. Henrietta memeluk Justin sesaat lalu memberi senyum menawan. Tidak diragukan lagi Henrietta adalah wanita menarik. Perhiasan menempel di kulitnya seperti kulit kedua wanita itu.
            “Aku mendapat kabar kau sudah pulang dari London kemarin. Jadi, kupikir sebaiknya aku datang ke sini mengunjungimu dan melihat bagaimana keadaanmu. Dan yah, kau selalu menakjubkan seperti biasanya,” ucap Henrietta girang. Gigi putih Justin tampak kontras dengan warna kulitnya yang coklat keemasan akibat terbakar sinar matahari, bukti ia adalah pekerja keras.
            “Henrietta, kedatanganmu sangat menyenangkan,” ucap Justin mengembus nafas panjang. Tubuhnya menegang tiba-tiba saat ia mendengar suara wanita di belakang punggungnya. Sialan! Justin mengerang dalam hati mendapati suara itu adalah milik Grisell.
            “Lord Moore, siapakah itu?” Tanya Grisell tak berbasa-basi di belakang punggungnya. Henrietta yang mendengar suara asing itu bergeser ke samping agar dapat melihat wanita yang bersuara di belakang tubuh Justin yang jangkung. Henrietta terkejut hampir pingsan saat melihat Grisell Parnell berada di dalam rumah Justin. Demi musim gugur Cheshire! Apa yang pelacur itu lakukan di rumah mantan kekasihnya? Henrietta pernah melihat Grisell Parnell di London saat ia melakukan kunjungan ke rumah-rumah orang miskin di sana. Dan salah satunya adalah rumah Grisell Parnell, tempat yang kotor dan tak terawat. Kejadian itu sudah lama, kira-kira 4 atau 6 tahun yang lalu. Tapi ia tidak mungkin dapat melupakan rambut cokelat madu Grisell dan bibirnya yang seperti kuncup bunga itu!
            Kabarnya, Grisell telah menjadi pelacur di London—dan merupakan berita menyedihkan bagi Henrietta. Tapi tidak menyedihkan lagi saat ia melihat wanita itu satu atap dengan pria yang dicintainya! Apa yang Justin lakukan dengan wanita itu? Grisell sudah jelas tidak mengingat Henrietta, wanita yang pernah berkunjung ke rumah lamanya. Terlalu banyak wajah yang pernah Grisell lihat sehingga tak tahu siapa yang harus ia ingat—bahkan para pria yang telah memakainya.
            “Kemarilah, Miss Parnell. Biar kuperkenalkan kau dengan teman dekatku,” ucap Justin berusaha mencairkan suasana yang tiba-tiba terasa tegang itu. Grisell berjalan patuh ke arahnya lalu saling berhadapan dengan Henrietta, mantan kekasih Justin.
            “Henrietta, perkenalkan teman baruku—“
            “Grisell Parnell, pelacur yang dikenal di London. Wah, sebuah kehormatan bertemu dengannya satu atap,”—Henrietta memelototi Justin—“denganmu, My Lord. Bukankah ini pertemuan yang paling mengejutkan?”
            “Paling membingungkan, lebih tepatnya,” Grisell berkomentar dengan kerutan di kening. Grisell dapat merasakan di udara kebencian mulai berterbangan dan hanya ditujukan padanya. Dan itu berasal dari Henrietta. “Kau sudah tahu namaku, My Lady?”
            “Tampaknya begitu.” Justin mengambil alih pembicaraan. “Sekarang, bisakah aku memiliki waktu privasi bersama Lady Clopton, Miss Parnell?” Tanya Justin memberi tatapan peringatan. Oh, tidak akan Grisell biarkan setelah apa yang Justin lakukan padanya tadi malam! Ejekan sialan itu berhasil menjatuhkan harga diri Grisell. Ia tahu jelas bahwa ia pelacur, tapi Tuhan tahu tiap manusia memiliki batas wilayah. Dan mengejek pekerjaannya merupakan batas wilayah yang tidak boleh dilewati oleh siapa pun.
            “Tapi aku ingin mengenal lebih dekat dengan Lady Clopton, My Lord. Tolong beritahu aku tahu, My Lady, dari mana kau tahu namaku dan pekerjaanku?”
            “Hampir seluruh pria di London tahu tentangmu, Miss Parnell. Termasuk kakakku,” ucap Henrietta berkata jujur, tapi tak sepenuhnya jujur. Ia tidak mengatakan yang sebenarnya pada Grisell bagaimana ia mengenali wanita itu. “Dan apa yang kau lakukan di Moore House, Miss Parnell?”
            “Yang kulakukan?” Tanya Grisell sambil berpikir. Ia melirik Justin yang ternyata juga menunggu jawaban darinya. Mungkin dengan sedikit kebohongan akan membuat Justin meminta maaf padanya akan ejekan pria itu. Lalu ia berkata dengan kedua tangan terlipat di depan dada. “Aku melakukan pekerjaanku.”
            “Sebagai pelacur? Dengan siapa lebih tepatnya kau melakukan pekerjaanmu, Miss Parnell?” Tanya Henrietta yang awalnya wajah yang berwarna putih seputih porselen berubah menjadi warna merah padam. Henrietta melirik tajam Justin lalu kembali pada Grisell. Sebelum Justin sempat menghentikan Grisell, wanita itu telah membuka mulut.
            “Bercinta dengan mantan kekasihmu, lebih tepatnya!”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar