CHAPTER THREE
Grisell menghirup udara malam
Cheshire seperti nafas terakhirnya. Angin malam menerpa leher Grisell yang terlepas
dari balutan kain, kepangan yang dibuat Eunice berhasil membuatnya terlihat
lebih elegan. Ia sangat menyukai udara segar yang tak terkontaminasi oleh debu
atau asap. Ternyata Cheshire tidak seburuk yang ia pikir. Grisell pikir
Cheshire merupakan desa yang kumuh, penuh ternak yang tak terawat dan petani
yang akan menginginkannya sebagai istri. Tangan Grisell menyelip ke lengan Lord
Moore sambil ia berjalan memerhatikan Moore House di malam hari. Cukup
menyeramkan bila ia melihat ke kerumunan pohon yang tak diberi penerangan obor,
jadi ia lebih memilih menoleh ke atas, memandang Lord Moore yang menjulang
tinggi di sebelahnya. Ia mendesah pelan, merasa kasihan terhadap dirinya yang
begitu bodoh. Mengapa ia tidak memikirkan bagaimana cara ia mencium Lord Moore?
Ia takkan bisa mencium pria itu
sekalipun ia berjinjit.
Mungkinkah ia harus menarik leher
Lord Moore seperti yang ia lakukan pada pelanggannya—ia melakukan itu agar ia
dianggap garang? Grisell mengangkat kedua bahunya tinggi-tinggi sambil
memejamkan mata, menikmati dirinya berada di sebelah Lord Moore. Merasakan
mahluk kecil di sampingnya mengerutkan tubuh, Lord Moore berusaha menahan
senyumnya. Bukankah Grisell pelacur yang lugu? Bahasa tubuhnya yang
terang-terangan menguntungkan Lord Moore. Ia dapat mengetahui perasaan Grisell
tanpa Grisell tahu. Kemudian mahluk kecil itu mendongak memperlihatkan wajahnya
yang putih dengan bibir merah yang mungil, menarik untuk dikecup 5 detik saja.
“Lord Moore, aku berterima kasih
karena kau menyelamatkanku dari rumah pelacuran itu,” ucap Grisell memberi
senyum yang tampak tulus. Dan terima
kasih atas prilakumu yang seperti orangtua kolot, alam bawah sadarnya
tersenyum masam. Lord Moore tersenyum meski tak sampai mengenai matanya, tapi
tetap saja senyum itu entah mengapa membuat Grisell menarik nafas tajam. Berada
dalam kedekatan yang hanya dibatasi pakaian benar-benar membuat Grisell
frustrasi ingin mengelupas jas, rompi, cravat dan celana pria ini. Lord Moore
memberi Grisell tatapan skeptis, lalu ia bertanya.
“Benarkah?”
“Tidak terlalu,” goda Grisell
tersenyum sambil menyandarkan kepalanya ke lengan Justin. Jawabannya tidak
sepenuhnya candaan semata. Bukannya menarik diri dari Grisell, Justin justru
membiarkan kepala wanita itu bersandar di lengannya. Eunice, pendamping
Grisell, berdiri tak jauh dari mereka. Gadis yang masih muda itu berusaha tidak
mencuri dengar apa yang kedua majikannya bicarakan, namun rasanya sulit
menyumbat telinganya. Ia hampir saja muntah di tempatnya mendengar bahwa
Grisell berasal dari tempat pelacuran. Saat Grisell tiba, pelayan yang ikut
dengan Lord Moore ke London tak muncul dari kereta kuda mana pun. Mungkinkah
pelayan itu dipecat? Tapi Lord Moore dikenal akan kebaikannya selama ia hidup,
tak ada yang meragukannya. Kemudian Eunice mempertajam pendengarannya. Ia tahu
gosip panas ini akan menggemparkan seluruh pelayan di dapur nanti.
Eunice tak sabar membawa Grisell
tidur dan turun ke dapur. Telinganya kemudian mendengar Lord angkat bicara.
“Apa kau suka membaca novel, Miss
Parnell?” Tanya Lord Moore menunduk menatap kedua bola mata biru seperti air
sungai jernih. Grisell tiba-tiba menjadi kikuk mendengar pertanyaan yang ia tak
duga. Membaca novel? Bahkan membaca buku pelajaran pun tidak! Grisell
menggeleng kepala kuat hingga rambutnya yang keluar dari kepangan ikut
bergoyang. “Ternyata kau wanita yang sulit ditebak. Ketiga adikku senang sekali
membaca novel. Apakah kau memiliki alasan yang tepat mengapa kau tidak suka
membaca novel?”
“Bibiku tidak mengizinkan aku
membaca novel,” ucap Grisell tidak berbohong, tapi tidak mengatakan alasan yang
sebenarnya. Alasan utama ia tidak membaca novel karena Bibinya tak mampu
membeli buku apa pun, kedua ia tidak pernah melatih diri membaca buku, dan
ketiga Bibinya memang tak mengizinkannya membaca novel. Jadi, ia tidak terlalu berbohong. Lord Moore berhenti
melangkah saat mereka berhenti di dekat sebuah pohon yang daunnya luar biasa
lebat. Grisell tidak berani melangkah mendekat ke arah pohon itu. Ia
membayangkan ular tiba-tiba muncul dari pohon itu dan berusaha menggigitnya.
Namun Lord Moore justru melangkah
mendekat pohon itu. Tangannya menekan kulit pohon yang kasar sehingga pria itu
terlihat seperti menyandar di pohon itu. Kepalanya menunduk sejenak lalu
mendongak menatap Grisell dengan senyum masam. “Saat adik-adikku datang, kau
akan duduk bersama adik-adikku di hadapan Mildred, di bawah pohon ini. Kulitmu
tidak akan terbakar matahari, begitu kata Mildred pada Hope,”
“Kalian sepertinya saling memiliki
satu sama lain,” ucap Grisell mengangkat tangan kanannya untuk mengelus lengan
kirinya yang tertutup kain. Ia iri. Iri pada siapa pun yang memiliki ikatan
persaudaraan yang kuat sementara ia tidak memiliki siapa pun selain Bibi
Millicent. Bibinya yang sebentar lagi akan memasuki umur 47 tahun itu, senang
memukul Grisell. Bekas di punggungnya bersatu dengan bekas luka baru yang
diberikan oleh para pelanggan Grisell yang kasar. Dan ia memikirkan bagaimana
adik-adik Lord Moore tumbuh dengan dua orangtua lengkap, penuh kasih sayang dan
perhatian. Ia hanya menduga.
Tak terasa angin semakin kencang
mengenai tengkuk lehernya. Grisell beranjak dari tempatnya, menjauh dari pohon
gelap itu menuju tempat yang lebih terang. Lord Moore memerhatikan wanita
mungil itu, mengikuti kemana wanita itu ingin pergi. Tampak Grisell tidak
senang dengan topik pembicaraan mengenai keluarga, tentu saja. Tapi topik apa yang
harus Justin angkat bila wanita muda itu bahkan tidak berwawasan luas? Ia tidak
mungkin membicarakan perkembangan Inggris pada wanita yang lebih sering
mendapatkan belaian dari pria Inggris, dibanding melihat perkembangan negaranya
sendiri. Grisell melangkah ke jalan setapak yang mengarah ke dua tempat. Rumah
atau gazebo. Sudah jelas Grisell tak
ingin masuk kembali ke dalam rumah, ia berjalan menuju gazebo.
Hanya perlu beberapa langkah besar
bagi Justin untuk menyamai langkah Grisell. Wanita yang rambutnya dikepang itu
sudah berada di atas gazebo, ia duduk
di papan panjang di dekatnya. “Jadi, apa yang kau suka, Miss Parnell?” Tanya
Justin saat ia menaiki tangga gazebo.
Justin menarik nafas tajam saat ia melihat dua kaki itu mengangkang
lebar—untungnya tertutup rok panjang—namun punggung Grisell tegak, matanya
memandang Justin dengan tatapan nakal. Perubahan suasana hati Grisell sulit
ditebak Justin sehingga wanita itu terlihat lebih menarik lagi. Tapi ia masih
belum bisa menerima kenyataan Grisell bukanlah wanita terhormat. “Akan lebih
sopan bila kau merapatkan kedua pahamu, Miss Parnell.”
Wajah Grisell terkejut, lalu pipinya
bersemu merah karena malu. “Oh ya, maafkan aku. Sudah menjadi kebiasaanku duduk
mengangkang di rumah… pelacuran. Tidak akan kuulangi,” ucap Grisell benar-benar
menyesal. Kedua ujung lutut Grisell akhirnya menyatu membuat nafas Justin yang
tertahan akhirnya dapat mengembus lega. Kedua kaki Grisell yang menggantung di
udara bergerak-gerak ke depan-belakang seperti anak kecil. Bukankah Grisell
memang wanita muda yang tak biasa diam?
“Kau belum menjawab pertanyaanku,
Miss Parnell,” ucap Justin mendekat ke papan duduk yang berseberangan dengan
Grisell. Wanita itu mendesah pelan, memandang ke lantai kayu putih gazebo. Apa yang ia suka? Grisell suka
bila seorang pria menggerayangi tubuhnya dengan lembut, bagiamana tangan besar
orang Inggris meremas buah dadanya atau ciuman mesra dari pria-pria lajang atau
beristri. Ia tentu tidak akan memberitahu detail kesukaannya itu. Diam-diam
Grisell berpikir bagaimana rasanya mencium seorang bangsawan seperti Lord
Moore. Atau bagaimana ia menyentuh dada pria itu. Ia ingin menjilat leher pria
itu, merasakan keasinan jerih payahnya seharian atau bagaimana tangannya
menggenggam kejantanan pria itu. Grisell tersenyum kecil memikirkan pikiran
nakalnya lalu mengangkat tatapannya dari lantai pada pria tampan di hadapannya.
Lihatlah bagaimana cravat putih itu terikat di lehernya dan rompi yang pas di
tubuhnya. Pemandangan ini seperti musim semi terindah di London.
“Bercinta?” Grisell menjawab dengan
nada bertanya kembali. Ia memberi tatapan nakalnya, bibir bawahnya bersembunyi
di balik gigi putihnya. Mata Justin mengerjap-kerjap terkejut atas kejujuran
wanita itu. Ia tidak pernah bertemu dengan wanita sejujur Grisell bahkan
Henrietta tak berani membicarakan tentang ciuman! Demi malaikat, Justin tak
tahan berhadapan dengan kenakalan Grisell. Ia tidak mau kembali ke masa
lalunya. Justin sendiri bingung mengapa ia tidak dapat mengendalikan dirinya
saat berada di sekitar Grisell. Biasanya ia bisa mengendalikan sebuah
percakapan, membuatnya terdengar lebih enak didengar dan tak menyinggung
perasaan satu sama lain. Tapi dengan Grisell. Rasanya sulit berpikir secara
rasional ketika bersama wanita ini. Usahanya mendekati wanita muda itu gagal
hanya karena pertanyaan sederhana.
“Sulit dipercaya,” bisik Justin
mengelap keringat di keningnya—hanya dia satu-satunya yang berkeringat di malam
yang berangin. Ia mendesah putus asa lalu tangannya menepuk pahanya yang
terbalut celana hitam. “Wah, Miss Parnell, itu… sangat menjelaskan mengapa kau
bekerja begitu giat. Sepertinya kau memang harus bertemu dengan pengajar
pribadimu sesegera mungkin. Tidakkah kau sadar bahwa Eunice tak jauh dari kita?”
Tanya Justin membuat Grisell tersinggung. Apa masalah Justin dengan jawabannya?
Jawaban apa yang Justin harapkan darinya? Ia hanya berusaha bersikap jujur!
Lagi pula, Grisell juga tidak tahu apa yang ia sukai selain bercinta. Sudah
menjadi pekerjaannya memberi kepuasan dan mendapat kepuasan! Dan Justin
berkata-kata seolah dirinya yang paling benar. Tidakkah ia melihat sudut
pandang dari kehidupan Grisell selama ini? Sulit dipercaya. Seorang earl yang disanjung oleh seluruh
pelayannya ternyata tak sebaik yang Grisell kira. Ia bahkan tidak membutuhkan
pengajar pribadi yang Justin sewa untuknya! Ia tidak menginginkannya.
Grisell merasakan bahan gaunnya yang
terasa lembut di kulit kemudian menahan dirinya agar tak mengucapkan kata-kata
mengejek. Jika bukan karena Justin, ia tidak mungkin bisa memakai pakaian
senyaman ini. Ia tidak bisa tidak menolak segala perintah Justin. Ia, pada
dasarnya, sudah dibeli. Jadi, semuanya akan berjalan sesuai dengan keinginan
Justin, bukan dirinya. Diam-diam Grisell mengutuk Bibi Millicent karena telah
menerima perjanjian dengan Lord Moore membosankan ini. Justin bangkit dari
papan kursi lalu ia membenarkan cravatnya, ia tidak sedang bersikap sombong
namun Grisell mendapati pria merasa seperti lebih baik daripada pria yang
pernah ia temui. Dan ia tidak menyukai sikap pria itu. Ia tidak bisa! Ia tidak
bisa menahan mulutnya untuk tidak memaki-maki pria itu. Apa yang ia katakan
tadi? Sangat menjelaskan mengapa kau
bekerja begitu giat? Melihat pria itu akan pergi darinya, Grisell bangkit
dari papan kursinya lalu menahan pria itu dengan suaranya yang besar.
“Aku memang suka pekerjaanku. Apa
yang salah dengan itu? Tidakkah kau sadar sikapmu yang sombong itu sangat
memuakkan? Apa salah bila aku menyukai hal yang paling nikmat di dunia? Apa kau
tidak pernah merasakannya, Lord Moore?” Grisell memberi nada mengejek pada
gelar Justin. Pria itu telah membalikkan tubuh, raut wajahnya tenang namun
Grisell dapat melihat kepalan tangan pria itu menggantung di udara. Sudah jelas Grisell menusuk pria itu tepat
sasaran. Ya, apa ia tidak pernah merasakannya?
Justin melangkah lebih dekat padanya sehingga tubuh tinggi menjulangnya
menenggelamkan Grisell.
Tangan Justin—untuk yang pertama
kalinya—memegang lengan Grisell dengan erat namun tak menyakiti. Andai saja
Grisell tahu sudah berapa banyak wanita beristri yang memohon-mohon padanya
untuk mendapatkan pelepasan terbaik mereka, pasti wanita nakal ini tidak akan
mengejeknya seperti itu. Bukannya takut atau meronta-ronta dari pegangan
Justin, Grisell malah memberi tatapan menantang sehingga Justin mendapati
wanita itu semakin menarik namun juga semakin menjengkelkan juga.
“Bukan masalahmu, apakah aku pernah
atau tidak merasakannya. Aku tidak bersikap sombong, Miss Parnell. Kuberitahu
kau, jika kau melangkah keluar dari Moore House, Tuhan tahu aku adalah pemiliki
hampir setengah tanah Cheshire. Pekerjaanku tidak semudah yang kaukira. Kau
pikir seharusnya aku berada di sini bersamamu? Tidak, Miss Parnell. Hanya atas
dasar kebaikan hatiku, aku mau menerima ajakanmu. Namun sulit dipercaya,
percakapan yang kuharap dapat mendekatkan kita justru memberitahu
kebalikannya,” jelas Justin semakin menunduk. Bahkan ia tak sadar bahwa hidung
mereka hampir bersentuhan. Grisell menelan ludah, sebelum membalas ucapan pria
itu yang baginya tak masuk akal. Justin ingin melakukan pendekatan dengannya?
Pipi Grisell memerah seketika, namun hal itu tidak akan meredakan amarahnya
yang sudah tersulut.
“Jika begitu, buktikan! Buktikan
bahwa kau memang pernah merasakannya. Cium aku maka kita akan lihat bagaimana
kau menanganinya dengan baik,”
“Aku tidak akan merendahkan diriku
seperti itu, Miss Parnell. Kau memang wanita yang menawan. Semua pria pasti
akan menoleh dua kali untuk memerhatikanmu. Tapi saat kau sudah membuka mulut,
aku yakin semua pria akan lari,”
“Maka kau pria yang bertahan
sekarang, Lord Moore. Dan tentu saja, kita berdua tahu, ucapanmu sendiri penuh
omong kosong. Apa kau bahkan pernah mencium mantan kekasihmu? Oh, ya, benar
sekali. Kurasa alasan mengapa kalian putus karena mantan kekasihmu tak
mendapatkan kenikmatan yang ia harapkan,”
“Henrietta tak akan pernah
berpikiran serendah dirimu!” Suara Justin bergetar akibat amarah. Melihat wajah
Justin yang memerah menular ke seluruh tubuh Grisell karena takut. Malam
pertamanya di Cheshire ternyata tak sebaik yang ia kira. Ia pernah melihat raut
wajah pria marah, tapi tidak pernah ada yang seseram ini. Justin tampaknya akan
menerkam Grisell saat itu juga seperti singa memakan rusa. Air mata mulai
berkumpul di pelupuk mata Grisell. Tidak, tidak, tidak. Bukan hanya perasaan
takut yang ia rasakan saat itu, ada perasaan lain. Bukan iri. Sesuatu yang
tidak pernah Grisell rasakan sebelumnya. Perasaan itu seperti mencabik-cabik
hatinya. Ia pernah memberitahu Justin bahwa ia bukan wanita berperasaan.
Tampaknya malam itu sama sekali kebalikannya.
Mendengar nama Henrietta ternyata
alasan utama mengapa perasaan itu muncul. Jadi, itulah nama mantan kekasih
Justin. Henrietta. Tapi yang paling
menyakitkan adalah bagaimana pria itu membandingkan Grisell dengan Henrietta.
Merasa pegangan tangan Justin di lengannya mengendur, Grisell segera menarik
diri dari Justin. Grisell berjalan cepat meninggalkan Justin di gazebo dengan larian yang seharusnya tak
dilakukan seorang Lady. Justin mengerang dalam hati, menyesal atas apa yang ia
katakan pada Grisell. Seharusnya ia tidak berkata seperti itu! Sial. Eunice,
yang berdiri tak jauh dari gazebo
sudah jelas mendengar seluruh percakapan mereka, melangkah cepat mengikuti
Grisell yang ternyata sudah sampai di teras belakang Moore House.
Sebelum Grisell masuk ke dalam Moore
House, wanita itu membalikkan tubuhnya, menatap langsung ke tempat Justin
berada. Eunice berhenti melangkah. “Setidaknya aku memiliki pengalaman bercinta
lebih hebat dibanding Henrietta-mu yang suci!”
Eunice hampir pingsan di tempat.
***
“Henrietta. Apa yang kaulakukan di
sini pagi-pagi seperti ini?” Tanya Justin saat ia melihat Henrietta muncul di
ruang tamunya. Jam masih menunjukkan pukul 9 pagi dan ia sedang sibuk memeriksa
berkas-berkas kepemilikan di ruang kerjanya dan tiba-tiba saja paginya
dihancurkan begitu saja dengan kedatangan mantan kekasihnya. Henrietta datang
dengan pakaian berwarna kuning cerah, rambut hitamnya sangat kontras dengan
warna gaunnya. Bibirnya merah karena polesan kelopak bunga mawar dan aroma
lavender menempel di tubuhnya. Henrietta tentu adalah pengalih perhatian utama
Justin. Ia tidak bisa tidak menolak keinginan wanita itu—kecuali saat Justin
terpaksa memutuskan Henrietta untuk Grisell.
Kedatangan Henrietta setidaknya
berhasil membuat Justin lebih tenang setelah malam yang menghebohkan Moore
House. Cornelius tidak sama sekali berani mengomentari apa pun yang terjadi
semalam. Dan para pelayan sudah mulai menggosipkan pertengkaran Justin semalam.
Yah, sudah menjadi kebiasaan wajib bagi pelayan untuk bergosip seolah-olah
mereka tak dapat hidup tanpa gosip. Henrietta memeluk Justin sesaat lalu
memberi senyum menawan. Tidak diragukan lagi Henrietta adalah wanita menarik.
Perhiasan menempel di kulitnya seperti kulit kedua wanita itu.
“Aku mendapat kabar kau sudah pulang
dari London kemarin. Jadi, kupikir sebaiknya aku datang ke sini mengunjungimu
dan melihat bagaimana keadaanmu. Dan yah, kau selalu menakjubkan seperti
biasanya,” ucap Henrietta girang. Gigi putih Justin tampak kontras dengan warna
kulitnya yang coklat keemasan akibat terbakar sinar matahari, bukti ia adalah
pekerja keras.
“Henrietta, kedatanganmu sangat
menyenangkan,” ucap Justin mengembus nafas panjang. Tubuhnya menegang tiba-tiba
saat ia mendengar suara wanita di belakang punggungnya. Sialan! Justin mengerang dalam hati mendapati suara itu adalah
milik Grisell.
“Lord Moore, siapakah itu?” Tanya
Grisell tak berbasa-basi di belakang punggungnya. Henrietta yang mendengar
suara asing itu bergeser ke samping agar dapat melihat wanita yang bersuara di
belakang tubuh Justin yang jangkung. Henrietta terkejut hampir pingsan saat
melihat Grisell Parnell berada di
dalam rumah Justin. Demi musim gugur Cheshire! Apa yang pelacur itu lakukan di
rumah mantan kekasihnya? Henrietta pernah melihat Grisell Parnell di London
saat ia melakukan kunjungan ke rumah-rumah orang miskin di sana. Dan salah
satunya adalah rumah Grisell Parnell, tempat yang kotor dan tak terawat.
Kejadian itu sudah lama, kira-kira 4 atau 6 tahun yang lalu. Tapi ia tidak
mungkin dapat melupakan rambut cokelat madu Grisell dan bibirnya yang seperti
kuncup bunga itu!
Kabarnya, Grisell telah menjadi
pelacur di London—dan merupakan berita menyedihkan bagi Henrietta. Tapi tidak
menyedihkan lagi saat ia melihat wanita itu satu atap dengan pria yang
dicintainya! Apa yang Justin lakukan dengan wanita itu? Grisell sudah jelas
tidak mengingat Henrietta, wanita yang pernah berkunjung ke rumah lamanya.
Terlalu banyak wajah yang pernah Grisell lihat sehingga tak tahu siapa yang
harus ia ingat—bahkan para pria yang telah memakainya.
“Kemarilah, Miss Parnell. Biar
kuperkenalkan kau dengan teman dekatku,” ucap Justin berusaha mencairkan
suasana yang tiba-tiba terasa tegang itu. Grisell berjalan patuh ke arahnya
lalu saling berhadapan dengan Henrietta, mantan kekasih Justin.
“Henrietta, perkenalkan teman
baruku—“
“Grisell Parnell, pelacur yang
dikenal di London. Wah, sebuah kehormatan bertemu dengannya satu
atap,”—Henrietta memelototi Justin—“denganmu, My Lord. Bukankah ini pertemuan
yang paling mengejutkan?”
“Paling membingungkan, lebih
tepatnya,” Grisell berkomentar dengan kerutan di kening. Grisell dapat
merasakan di udara kebencian mulai berterbangan dan hanya ditujukan padanya.
Dan itu berasal dari Henrietta. “Kau sudah tahu namaku, My Lady?”
“Tampaknya begitu.” Justin mengambil
alih pembicaraan. “Sekarang, bisakah aku memiliki waktu privasi bersama Lady
Clopton, Miss Parnell?” Tanya Justin memberi tatapan peringatan. Oh, tidak akan
Grisell biarkan setelah apa yang Justin lakukan padanya tadi malam! Ejekan
sialan itu berhasil menjatuhkan harga diri Grisell. Ia tahu jelas bahwa ia
pelacur, tapi Tuhan tahu tiap manusia memiliki batas wilayah. Dan mengejek
pekerjaannya merupakan batas wilayah yang tidak boleh dilewati oleh siapa pun.
“Tapi aku ingin mengenal lebih dekat
dengan Lady Clopton, My Lord. Tolong beritahu aku tahu, My Lady, dari mana kau
tahu namaku dan pekerjaanku?”
“Hampir seluruh pria di London tahu
tentangmu, Miss Parnell. Termasuk kakakku,” ucap Henrietta berkata jujur, tapi
tak sepenuhnya jujur. Ia tidak mengatakan yang sebenarnya pada Grisell
bagaimana ia mengenali wanita itu. “Dan apa yang kau lakukan di Moore House,
Miss Parnell?”
“Yang kulakukan?” Tanya Grisell
sambil berpikir. Ia melirik Justin yang ternyata juga menunggu jawaban darinya.
Mungkin dengan sedikit kebohongan akan membuat Justin meminta maaf padanya akan
ejekan pria itu. Lalu ia berkata dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
“Aku melakukan pekerjaanku.”
“Sebagai pelacur? Dengan siapa lebih
tepatnya kau melakukan pekerjaanmu, Miss Parnell?” Tanya Henrietta yang awalnya
wajah yang berwarna putih seputih porselen berubah menjadi warna merah padam.
Henrietta melirik tajam Justin lalu kembali pada Grisell. Sebelum Justin sempat
menghentikan Grisell, wanita itu telah membuka mulut.
“Bercinta dengan mantan kekasihmu,
lebih tepatnya!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar