Minggu, 27 Oktober 2013

Right Mistakes Prologue

PROLOGUE

            Gadis berambut cokelat itu menari dengan ria sambil mendengarkan lagu kesukaannya. Meski sekarang bukanlah hari Natal, tapi ia masih saja mendengarkan lagu Last Christmas dari Glee. Ya, dia penggila acara televisi serial yang selalu membuat jantungnya berdegup kencang dan mendapatkan eargasm ketika mendengar penyanyi-penyanyi itu menyanyikan lagu-lagu yang sedang trend. Tangan kanannya memegang sebuah spatula yang terangkat ke atas, ia menari-nari sambil menunggu telur yang ia masak menjadi telur kocok yang matang. Matanya terbuka ketika ia sadar, ia harus cepat-cepat pergi bekerja. Ia belum sama sekali menyiapkan diri di kamar, meski ia telah mandi, tapi tetap saja ia akan terlambat jika ia terlalu lama bersenandung –dan telurnya mungkin akan gosong. Ia mengangkat telur kocoknya yang sudah matang itu dengan spatula lalu menaruhnya ke atas piring kaca persegi. Lalu ia menaruh spatula yang ia pegang ke atas wajan yang masih berada di atas kompor.
            Salah satu earphone yang tergantung di telinganya, ia lepaskan. Dibawanya piring itu ke atas meja makannya. Salad dan telur, tidak ada yang salah dengan sarapannya pagi ini. Ia tidak begitu suka dengan yang namanya pancake yang biasanya ibunya masak. Setelah mematikan kompornya, ia berjalan keluar dari dapur dan ruang makan mininya yang pintunya langsung terhubung dengan ruang tamu. Kakinya terus berjalan menuju salah satu pintu kamar di apartemennya yang tidak begitu mewah. Sticker “Jangan Ganggu Aku, Sakaw!” kemudian tulisan di bawah sticker itu tampak sangat lucu bagi gadis berambut cokelat itu. “Kecuali jika kau adikku.” Meski sudah berkali-kali gadis itu melihat sticker idiot yang tertempel itu, ia tetap tertawa. Ia mengetuk pintu kamar bersticker itu.
            “Mozes! Sarapan sudah siap!” Teriak gadis itu dengan tangan yang masih mengetuk-ketuk pintu kamar Mozes, sang pemilik kamar. Terdengar erangan yang membuat gadis itu terkikik pelan tapi dengan jahilnya, kedua tangan gadis itu mengetuk-ketuk pintunya dengan brutal. “Mozes! Mozes! Mozes!”
            Pintu kamar itu terbuka tiba-tiba. Dua tangan besar segera menenggelamkan wajah gadis mungil itu ke dalam pelukannya, ia mengapit leher gadis itu di antara ketiaknya.
            “Demi Tuhan, terkadang aku ingin sekali membunuhmu. Mengapa aku memiliki adik tengil sepertimu, Faith?” Tanya lelaki bernama Mozes itu kepada adiknya. Mozes memiliki perawakan tinggi-besar dengan rambut pirang gondrong. “Tidak, kau bukan adikku. Rambutku pirang, kau cokelat. Jelas, kau anak pungut yang Ibu ambil dari depan pintu –“
            “Oh!” Faith, gadis berambut cokelat itu, tercekik. “Mozes! Lepaskan aku! Ketiakmu, demi Tuhan!” Teriak Faith memukul-mukul punggung Mozes yang besar itu. Beberapa detik setelah ia berteriak, akhirnya dengan terpaksa Mozes melepaskan adiknya yang sungguh nakal. Segera saja Faith menghirup nafasnya panjang. Untuk beberapa saat Faith harus mengipas-kipas wajahnya dengan telapak tangannya lalu ia menelan ludahnya.
            “Aku akan membelikanmu deodorant,”
            “Aku tidak perlu benda yang membuat ketiakku iritasi. Kau juga bau, aku hanya belum mandi saja. Aku tidak sama sepertimu yang sudah mandi tapi tetap saja bau,” ujar Mozes sambil berjalan menuju dapur untuk melihat sarapan apa yang ia dapatkan. Ketika ia sampai di dapur, Faith mendengar suara desahan panjang. “Makanan sehat! Tidak ada yang lebih enak dari masakan sehat, Faith, terima kasih!” Seru Mozes menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia sebenarnya lebih memilih makanan dari Wendy’s dibanding harus memakan telur dan salad di pagi hari. Sayur dan telur, perpaduan yang bagus untuk membuat tubuh Mozes tetap berotot seperti sekarang. Tapi terkadang ia bosan dengan makanan adiknya. Ia menarik kursi meja makan lalu duduk di sana. Faith yang dari depan pintu kamar Mozes dapat melihat Mozes dari sana sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Setelahnya, ia berjalan menuju kamar yang berada di sebelah kamar Mozes. Dibuka pintu kamarnya lalu ia masuk dan mengunci pintu kamarnya.
            Ia berbisik dalam hati. Kumohon jadikan hari ini adalah hari yang paling menyenangkan dalam hidupku. Bekerja sebagai resepsionis sebuah hotel terkenal di Atlanta tidaklah mudah. Kau harus mengangkat telepon yang akan memesan kamar berkali-kali, menahan godaan-godaan dari para lelaki berhidung belang yang memesan kamar namun ia masih harus tetap memberikan senyum ramah. Oh, tentu saja. “Staf kami akan memastikan bahwa Anda mendapatkan kebutuhan Anda selama Anda menginap di hotel kami. Kami akan memberikan yang terbaik, bla,bla, bla.” Faith menggumamkan kalimat yang biasanya atasan Faith berkata pada pengunjung yang sering kali protes dengan pelayanan yang telah diberikan. Faith hanyalah seorang resepsionis yang melayani orang-orang yang melakukan check in-check out di hotelnya. Ya, Grand Hyatt Atlanta. Tempatnya bekerja. Hotel yang paling terkenal di Atlanta. Mendapatkan banyak sekali penghargaan dari banyak promotor. Dan pagi ini, jam 7 tepat ia sudah harus berada di tempatnya. Hari ini ia akan bekerja kembali bersama dengan Lennion, teman kerjanya.
            Seragam kerja Faith telah berada di atas tempat tidurnya. Ia hanya tinggal memakainya, keluar dari kamar lalu memberikan kecupan pipi pada Mozes lalu ia akan pergi dari apartemennya. Bekerja, mencari nafkah.  Ia mulai mengeluarkan iPod dari kantong celananya kemudian Faith mulai membuka pakaian yang sedang ia pakai. Sebenarnya, gaji yang Faith dapatkan sudah cukup besar. Ia bahkan dapat membeli sebuah kondominium yang mewah, hanya saja, seseorang memiliki masalah kesehatan. Bukan dirinya yang memiliki masalah kesehatan, tapi Ibunya. Ayahnya telah meninggal 6 bulan yang lalu. Faith harus bekerja keras untuk membiayai Ibunya yang masih terbaring di rumah sakit. Tidak ada yang bisa diharapkan dari Mozes yang hanya bekerja sebagai seorang buruh di sebuah pembangunan rumah. Jelas upah yang Mozes dapatkan tidak cukup membantu untuk membiayai tagihan rumah sakit. Uang yang dapat hanya cukup untuk membayar pajak dan makanan sehari-hari. Uang Faith hanya untuk Ibunya. Jam 7 malam ia sudah harus berada di rumah sakit, berkunjung di rumah sakit tempat Ibunya terbaring lemah.
            Setelah mengancing blazer hitam yang ia pakai, ia sudah siap untuk pergi bekerja. Tapi sebelum itu, ia harus memoles sedikit pelembab bibir, bedak di wajah, serta maskara. Semuanya selesai hanya saja ...rambutnya! Sial, ia harus menyanggulnya seperti biasa. Rambut cokelat yang tidak begitu lurus itu harus rapi tersanggul dengan sempurna. Jam tangan yang ia pakai telah menunjukkan pukul 6.30 pagi, perjalanan dari rumah hingga hotel tempatnya bekerja adalah 20 menit. Sial. Ia menggumamkan kata kotor. Tanpa peduli lagi, ia mengambil pensil serta sisir yang berada di atas meja riasnya dan tas kerjanya. Ia mungkin dapat mengerjakannya di dalam taksi. Ya, menyanggul rambut itu mudah. Hanya merapikannya saja yang menyusahkannya! Sungguh sial.
            Kaki Faith telah masuk ke dalam sepatu tinggi hitamnya. Ketukan dari sepatunya terdengar ketika ia melangkah keluar dari kamarnya. Terlihat Mozes tampaknya sudah selesai sarapan sehingga ia terlihat menikmati acara paginya menonton televisi.
            “Aku pergi, Mozes!” Seru Faith mengecup pipi Mozes ketika ia melewati sofa yang diduduki oleh Mozes. “Jangan lupa kunci pintu apartemen dan pergi ke rumah sakit. Hubungi aku jam 12 siang nanti, beritahu aku keadaan Ibu. Jangan biarkan televisi menyala, kompor menyala, lampu-lampu menyala. Kau mengerti?”
            Mozes hanya menggumamkan sesuatu, merespon Faith. Tapi ketika Faith membuka pintu apartemennya, Mozes membalikkan tubuhnya. Tangannya menggantung di atas sandaran sofa. “Tunggu, Faith,”
            “Apa? Katakan secepat mungkin karena aku akan terlambat,”
            “Malam ini biarkan aku yang menemani Ibu di rumah sakit. Aku tahu, kau selalu lelah setelah pulang dari tempat kerja. Jadi…datanglah ke rumah sakit untuk mengambil kunci apartemen,”
            “Baiklah. Aku menyayangimu, Mozes!”
            “Love you more!” Balas Mozes membalikkan tubuhnya kembali. Pintu apartemennya tertutup, Mozes mendesah lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Adik pekerja keras. Kakak macam apa aku ini?”

***

            Faith telah berada di balik meja kerjanya. Pagi ini tidak ada hal-hal yang membuatnya jengkel. Ia sudah berdoa kepada Tuhan di taksi agar hari ini ia mendapatkan hari yang menyenangkan. Tidak ada lelaki yang menggodanya—yang diantaranya berumur 35 tahun ke atas—ataupun para pengunjung penginapan yang membutuhkannya untuk pergi ke kamar mereka lalu menggoda Faith. Seharusnya semua pekerjaan di dalam kamar para tamu adalah pekerjaan dari room service. Bukan pekerjaan Faith. Faith ingat sekali, satu tahun yang lalu, ia baru mengetahui mengapa Ibunya memberi nama Faith padanya. Tuhan menguji imannya  (=faith) di hotel ini. Bagaimana ia melewati setiap masalah yang ia hadapi di hotel ini. Hasilnya, ia masih bisa bekerja dengan baik.
            Lennion, teman kerjanya, seorang ibu hamil itu sedang memakan sarapan paginya di balik meja kerja mereka. Lennion memiliki paras yang cantik, rambut pirang, serta bibir yang sensual. Umurnya sudah menginjak 27 tahun, ia sudah bekerja di hotel Grand Hyatt selama hampir 5 tahun. Manajer mereka sungguh mengagumi kesabaran dan keramahan Lennion. Tentu, bagi Faith, Lennion sungguh memotivasi dirinya untuk bekerja keras. Terlebih lagi, ia harus bekerja keras untuk menutupi tagihan rumah sakit untuk menyembuhkan Ibunya. Ia tentu tidak akan merelakan Ibunya pergi dari dunia ketika masih ada harapan kecil yang akan menghasilkan keajaiban. Apa pun yang Faith kerjakan selama ini adalah sesuai rencana Tuhan.
            Faith segera bangkit dari kursinya ketika ia melihat salah seorang tamu hotel masuk. Dengan gaya professional, Faith memberikan senyum ramah. Seorang lelaki bertubuh besar dengan janggut tak terurus mendekati meja kerjanya yang terbuat dari batu itu. Kalung-kalung emas tergantung di sekitar leher—sekalipun lehernya tak kelihatan tertutupi lemaknya—dan juga kaca mata yang tergantung di hidung pria bertubuh besar itu semakin meyakinkan Faith bahwa pria ini suka menggoda atau mungkin berkata kasar.
            “Selamat pagi, sir,”
            “Ya, aku ingin check-in, tolong,” oh, ternyata pria ini cukup ramah.
            “Sebelumnya, sir, apa Anda sudah melakukan pemesanan kamar?”
            “Ya, atas nama Carlos Chuck,” ujar Carlos. Dengan segera Faith duduk kursinya lalu ia mengetik nama Carlos Chuck. Ya, lelaki itu telah memesan kamar dua hari yang lalu. Dengan segera Faith mengambil kunci kartu kamar Carlos dan mengangkat buku registrasi ke atas meja resepsionis.
            “Bisakah Anda menulis nama Anda dan menandatangani di buku registrasi?” Tanya Faith dengan ramah. Segera saja Carlos menandatanganinya. “Ya, terima kasih, sir. Kamar Anda terdapat di lantai 4, dengan nomor kamar 222. Lift berada di sebelah kanan Anda,”
            “Terima kasih,” balas Carlos segera mengambil kartu kunci kamarnya dari tangan Faith.
            “Terima kasih telah memilih Grand Hyatt sebagai tempat penginapan Anda,” ujar Faith ramah meski ia tahu Carlos telah beranjak dari tempatnya ketika ia mengatakan kata terima kasih. Tapi tidak apa-apa, setidaknya ia sudah bersikap ramah. Tidak ada yang sulit untuk bersikap ramah kepada sesama manusia. Faith kembali terduduk di atas kursinya lalu mendesah. Tamu hotel mulai berdatangan, satu per satu Faith dan Lennion layani seramah mungkin.
            Mata Faith menatap pada jam tangan yang ia kenakan. Sudah pukul 11 siang, satu jam lagi ia akan istirahat. Dan selama tiga jam peristirahatan, Faith harus pergi ke rumah sakit untuk melihat keadaan Ibunya. Ia harap Ibunya baik-baik saja karena pagi ini Mozes pasti sudah pergi ke rumah sakit, namun Mozes juga harus pergi ke tempat kerjanya yang akan menguras tenaga hingga sore nanti. Entah mengapa tiba-tiba saja tangannya mengambil tas yang ia bawa lalu merogoh isinya. Tangan mengambil ponsel canggihnya, ia menyalakannya lalu mengetik sebuah pesan singkat untuk kakaknya agar jam 12 nanti, kakaknya tidak perlu menghubunginya. Setelah ia menekan tanda kirim, dentingan dari bel yang ada di atas meja kerjanya terdengar. Tamu hotel! Lagi.
            Segera saja Faith bangkit dari kursinya lalu ia menatap pada tamu hotel yang menekan belnya. Ia tidak begitu tertarik dengan pria bertubuh tinggi, tegap, serta rambut cokelat dengan potong pendek namun cocok dengan wajahnya, yang ada di hadapannya. Lelaki itu tersenyum ketika Faith memberikan senyum ramahnya.
            “Selamat datang di Grand Hyatt Atlanta, ada yang bisa kami bantu, sir?” Keramahan memang paling utama di hotel ini. Lelaki itu tersenyum kemudian ia membaca kartu tanda pengenal yang terkancing di dada sebelah kanan Faith.
            “Ya, Faith, aku ingin check-in di hotel ini dan aku telah memesan tempat. Atas Nama Justin Lexise. Justin Drew Lexise,” pinta pria bernama Justin itu dengan suara yang sungguh rendah serta serak-serak basah. Lennion yang sedang memeriksa ponsel yang ia pegang langsung saja mendongakkan kepalanya, ia melihat dari bawah sesosok pria tampan bertubuh tinggi tegap sedang berdiri di hadapan Faith. Dan Faith! Sialan Faith, ia tampak biasa-biasa saja dengan kedatangan pria di hadapannya. Sebelumnya, Lennion tidak pernah mendapatkan lelaki setampan pria ini. Meski dalam hatinya, suaminya akan selalu menjadi pria tertampan di dunia. Namun setidaknya Faith sedikit memberikan ekspresi riang atau sifat penggodanya. Apa gadis ini penyuka sesama jenis hingga pria setampan ini tidak dapat membuat pipinya bersemu merah?
            Lennion memerhatikan Faith yang mengetik di komputernya dengan konsentrasi penuh. Lalu ia mendesah dan mendekati telinga Faith.
            “Kurasa ia adalah pria yang tampan. Mengapa kau tidak memberikan sedikit sifat penggodamu padanya? Aku tebak, ia pasti berumur 30 tahun,”
            “Yang benar saja, Lennion. Dia biasa saja. Dia sama seperti pengunjung lainnya. Dan 30 tahun? Tidak, terima kasih,”
            “Cinta tak pandang umur, kau tahu! Dan kau tahu apa? Ia pemilik beberapa perusahaan terkenal, rumah sakit, dan galeri,”
            “Dia hanyalah seorang tamu hotel yang ingin menginap di hotel ini. Jadi diamlah di sana dan lihat aku bersikap!” Seru Faith segera bangkit dari tempat duduknya lalu mengambil kartu kunci kamar pria di hadapannya. Justin. Justin Lexise. Matanya bertemu dengan mata Justin yang …gelap. Dibalik senyum ramahnya, Faith sangat yakin, akan banyak sekali cerita misterius yang tersimpan di sana. Entah hatinya berkata bahwa lelaki ini adalah lelaki yang jahat. Ia harus menjauh dari pria ini, meski tawaran Lennion bisa saja Faith lakukan karena pria ini tampan, tapi seharusnya ia tahu, ia bukanlah Hawa yang mudah tergoda. Dehaman dari Justin membuat Faith kembali sadar.
            “Ya, nama Anda telah terdaftar di daftar tamu kami. Anda boleh menandatangani buku registrasi sebelumnya, sir,” pinta Faith sambil mengangkat buku registrasi ke hadapan Justin. Justin meraih buku itu dan …ia tidak memakai pulpen yang telah tersedia. Ia memakai pulpennya sendiri yang ada di dalam kantong kemeja yang ia pakai. Ya, ia memakai celana jins berwarna hitam serta kemeja hitam dan ia tidak memasukan kemeja hitamnya ke dalam celana jinsnya. Jelas sekali lelaki ini tidak terlihat seperti umur 30 tahun. Faith melirik tangan Justin yang sedang menulis itu namun ia tidak mendapati cincin yang melingkar di jari manisnya. Lelaki ini belum menikah? Atau ia sudah bercerai? Mungkin salah satunya. Diliriknya Justin diam-diam menahan senyum, kepalanya mendongak tiba-tiba.
            “Terima kasih, Faith,” ujar Justin ketika ia mendapatkan kunci kamarnya.
            Faith hanya dapat tersenyum. “Jadwal check-out Anda adalah jam 4 sore. Kamar Anda terdapat di lantai 10. President Suite. Pelayan kami akan membantu Anda untuk membawakan koper Anda, tunggu sebentar sir,”
            “Tidak, Faith, kau yang tunggu sebentar,” lelaki bernama Justin itu menahannya ketika Faith baru saja ingin beranjak dari tempatnya. “Aku ingin kau yang membawakanku ke kamarku. Sekarang,”
            “Baiklah, sir.” Raut wajah Faith tiba-tiba saja berubah, namun ia sebisa mungkin memberikan senyum ramah pada tamu hotelnya. Justin beranjak dari tempatnya lalu mengedipkan salah satu matanya pada Faith yang membuat tubuh Faith mengejang. Hati kecilnya berujar: Kau yang terpilih.

***

            Faith mendesah ketika ia berada di dalam kamar tamunya. Justin yang memintanya untuk masuk ke dalam kamarnya dan meminum sedikit anggur yang disediakan oleh staf hotelnya. Seharusnya ia tidak berada di dalam kamar ini. Faith seharusnya menolak permintaan Justin. Tapi manajernya pasti akan lebih membela tamu hotelnya dibanding Faith. Ya, hotel ini harus memenuhi setiap kebutuhan yang tamunya inginkan. Ia berada di dalam ruang tengah dari kamar President Suite yang sungguh besar serta cukup mahal itu. Justin sedang masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil anggur yang terdapat di dalam kulkas mini di sebelah televisi yang di kamarnya. Faith seperti orang tolol yang menunggu orang idiot. Dekorasi ruang tengah President Suite dibuat senyaman mungkin. Terang, luas, dan jika ada anak-anak kecil ingin bermain di sini, mereka mungkin bisa berlari-lari sampai mereka bodoh.
            Pintu kamar terbuka, Justin muncul dengan satu botol anggur di tangannya. Pasti ia akan pergi ke dapur. Justin memberikan senyum ramah, ia melewati Faith untuk pergi ke ruang seberang. Kamar President Suite bahkan lebih besar dibanding apartemennya.
            “Aku harus jujur, Faith, kau adalah gadis yang menarik,” puji Justin dari dapur mini. Faith tidak membalas apa pun. Ia sedang mencari cara bagaimana ia dapat cepat keluar dari kamar ini hingga ia dapat mempertahankan keperawanannya hingga ia menikah nanti. Ia tidak ingin, ia berakhir di ranjang dengan pria yang mengenakan kemeja hitam serta celana jins hitam. Terlebih lagi, aura yang dipancarkan dari pria ini sungguh menakutkan. Siapa tahu lelak ini adalah pembunuh berantai yang berpura-pura menjadi orang kaya? Tapi tidak mungkin.
            “Kau tidak mengenal siapa aku, Faith?” Tanya Justin yang muncul dari dapur mininya dengan dua gelas berisi anggur dingin itu. “Ambillah,”
            “Aku tidak meminum anggur, sir,”
            “Panggil aku, Justin, tidak apa-apa,”
            “Ya, aku tidak meminum anggur, Justin,” ujar Faith menolaknya dengan halus. “Dan aku tidak mengenal siapa dirimu, Justin,”
            “Tidak? Tidak sama sekali?” Kedua alis Justin terangkat. Bulu mata lentik, bola mata yang bulat, bibir yang sensual, dan janggut yang samar-samar sangat-sangat-sangat membuat Justin menarik. Tinggi dan tegap. Siapa yang tidak jatuh cinta pada lelaki ini? Faith. Faith terkekeh untuk mencairkan suasana lalu ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Justin menyesap anggur yang ia pegang. “Cobalah, kadar alkoholnya rendah,”
            Terpaksa, Faith mengambil gelas yang Justin pegang. Ia menyesap sedikit anggur itu lalu memejamkan matanya. Ia berusaha untuk tidak terlihat terkejut dengan anggur yang baru saja ia cicipi, namun ia tidak berhasil, tubuhnya bergetar begitu saja. Suara tawa Justin terdengar ketika ia melihat gadis ini bergetar. Dan sekaligus membakar birahinya. Gadis yang memiliki tinggi sehidungnya –ketika ia memakai sepatu tinggi—rambut cokelat yang tersanggul rapi, leher jenjang yang putih, pipi yang merona sekarang …apa yang kurang dari gadis ini? Mungkin sifatnya. Justin cukup jengkel dengan sifat Faith yang dari tadi terus menolak permintaannya. Cepat atau lambat, Faith pasti akan meminum anggur. Berapa sih umur Faith hingga ia tidak ingin meminum anggur? Ia tidak akan bekerja di sini jika ia belum berumur 22 tahun atau di atasnya. Tapi ya, Justin mengenal gadis ini dari seseorang.
            “Kau tahu, ketika aku masuk ke dalam hotel ini, aku tidak percaya bahwa kau yang akan melayaniku. Maksudku, Faith, kau tidak sama sekali mengenalku?”
            “Dengan segala permohonan maaf, sir, aku tidak sama sekali mengenalmu,”
            “Kau yakin? Justin Drew Lexise?”
            “Yang kukenal sekarang hanyalah Tn. Justin Drew Lexise yang memesan kamar di hotel Grand Hyatt Atlanta. Tidak lebih,”
            “Baiklah, kalau begitu. Mungkin setelah jam 12 nanti kau akan mengenal siapa aku. Selamat siang, kau boleh keluar dari kamarku.” Pinta Justin ramah. Sesaat Faith bingung dengan percakapan yang baru saja ia lewati. Justin dari tadi bertanya padanya, apakah ia mengenal Justin? Tentu tidak. Lelak itu bahkan baru pertama kali Faith lihat. Justin Drew Lexise? Apa Faith pernah bertemu dengannya sebelumnya? Ia ragu. Tidak mungkin. Jika ya, ia tidak mungkin lupa dengan rupa Justin yang sangat rupawan itu. Gelas yang Faith pegang segera diambil dari tangannya oleh Justin, tanpa aba-aba, Justin menenggak seluruh anggur yang ada di dalam gelas itu. Faith hanya dapat melongo.
            Sesaat otak Faith melakukan pemutaran ulang.
            Ia terduduk di atas kursi. Ia mendapat tamu hotel bernama Justin Drew Lexise. Justin mengedipkan salah satu matanya pada Faith. Ia meminta Faith untuk mengantarkannya hingga sampai pada kamarnya. Ia juga meminta Faith untuk masuk ke dalam kamarnya dan minum anggur bersama dengannya. Ia bertanya pada Faith, apa Faith mengenalnya? Apa Faith mengenal Justin? Saat Faith mengatakan Tidak, Justin mengusir Faith dari kamarnya.
            Satu yang dapat Faith simpulkan bagi pria tampan ini: Bajingan.

***

            Faith buru-buru berlari melewati lorong lantai pertama di rumah sakit Ibunya. Ia sungguh merindukan Ibunya ketika sejak pagi tadi ia meninggalkan Ibunya. Ia telah berada di depan lift, jari telunjuknya dengan segera menekan-tekan tombol ke atas di samping lift. Kakinya mengetuk-ketuk lantai sambil menunggu. Matanya melihat ke segala arah. Terlihat Faith sungguh khawatir sekarang. Pintu lift terbuka, beberapa orang yang ada di dalamnya keluar. Lift kosong. Lalu ia masuk. Pintu lift segera tertutup setelah Faith menekan tombol lantai 8, tempat di mana Ibunya dirawat. Ia bersandar pada dinding, mengetuk-ketuk kembali kakinya. Matanya melihat pada dua poster yang tertempel di balik dinding kaca lift. Jantungnya tiba-tiba saja berpindah ke mulutnya.
            Matanya tak berkedip. Mungkin setelah jam 12 nanti kau akan mengenal siapa aku.

            Pendiri rumah sakit ini adalah dia. Justin Drew Lexise.



:)

2 komentar: