PROLOGUE
Gadis
berambut cokelat itu menari dengan ria sambil mendengarkan lagu kesukaannya.
Meski sekarang bukanlah hari Natal, tapi ia masih saja mendengarkan lagu Last
Christmas dari Glee. Ya, dia penggila acara televisi serial yang selalu membuat
jantungnya berdegup kencang dan mendapatkan eargasm
ketika mendengar penyanyi-penyanyi itu menyanyikan lagu-lagu yang sedang trend. Tangan kanannya memegang sebuah
spatula yang terangkat ke atas, ia menari-nari sambil menunggu telur yang ia
masak menjadi telur kocok yang matang. Matanya terbuka ketika ia sadar, ia
harus cepat-cepat pergi bekerja. Ia belum sama sekali menyiapkan diri di kamar,
meski ia telah mandi, tapi tetap saja ia akan terlambat jika ia terlalu lama
bersenandung –dan telurnya mungkin akan gosong. Ia mengangkat telur kocoknya
yang sudah matang itu dengan spatula lalu menaruhnya ke atas piring kaca
persegi. Lalu ia menaruh spatula yang ia pegang ke atas wajan yang masih berada
di atas kompor.
Salah
satu earphone yang tergantung di
telinganya, ia lepaskan. Dibawanya piring itu ke atas meja makannya. Salad dan
telur, tidak ada yang salah dengan sarapannya pagi ini. Ia tidak begitu suka
dengan yang namanya pancake yang biasanya ibunya masak. Setelah mematikan
kompornya, ia berjalan keluar dari dapur dan ruang makan mininya yang pintunya
langsung terhubung dengan ruang tamu. Kakinya terus berjalan menuju salah satu
pintu kamar di apartemennya yang tidak begitu mewah. Sticker “Jangan Ganggu
Aku, Sakaw!” kemudian tulisan di bawah sticker itu tampak sangat lucu bagi
gadis berambut cokelat itu. “Kecuali jika kau adikku.” Meski sudah berkali-kali
gadis itu melihat sticker idiot yang tertempel itu, ia tetap tertawa. Ia
mengetuk pintu kamar bersticker itu.
“Mozes!
Sarapan sudah siap!” Teriak gadis itu dengan tangan yang masih mengetuk-ketuk
pintu kamar Mozes, sang pemilik kamar. Terdengar erangan yang membuat gadis itu
terkikik pelan tapi dengan jahilnya, kedua tangan gadis itu mengetuk-ketuk
pintunya dengan brutal. “Mozes! Mozes! Mozes!”
Pintu
kamar itu terbuka tiba-tiba. Dua tangan besar segera menenggelamkan wajah gadis
mungil itu ke dalam pelukannya, ia mengapit leher gadis itu di antara
ketiaknya.
“Demi
Tuhan, terkadang aku ingin sekali membunuhmu. Mengapa aku memiliki adik tengil
sepertimu, Faith?” Tanya lelaki bernama Mozes itu kepada adiknya. Mozes
memiliki perawakan tinggi-besar dengan rambut pirang gondrong. “Tidak, kau
bukan adikku. Rambutku pirang, kau cokelat. Jelas, kau anak pungut yang Ibu
ambil dari depan pintu –“
“Oh!”
Faith, gadis berambut cokelat itu, tercekik. “Mozes! Lepaskan aku! Ketiakmu,
demi Tuhan!” Teriak Faith memukul-mukul punggung Mozes yang besar itu. Beberapa
detik setelah ia berteriak, akhirnya dengan terpaksa Mozes melepaskan adiknya
yang sungguh nakal. Segera saja Faith menghirup nafasnya panjang. Untuk
beberapa saat Faith harus mengipas-kipas wajahnya dengan telapak tangannya lalu
ia menelan ludahnya.
“Aku
akan membelikanmu deodorant,”
“Aku
tidak perlu benda yang membuat ketiakku iritasi. Kau juga bau, aku hanya belum
mandi saja. Aku tidak sama sepertimu yang sudah mandi tapi tetap saja bau,”
ujar Mozes sambil berjalan menuju dapur untuk melihat sarapan apa yang ia dapatkan.
Ketika ia sampai di dapur, Faith mendengar suara desahan panjang. “Makanan
sehat! Tidak ada yang lebih enak dari masakan sehat, Faith, terima kasih!” Seru
Mozes menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia sebenarnya lebih memilih makanan dari
Wendy’s dibanding harus memakan telur dan salad di pagi hari. Sayur dan telur,
perpaduan yang bagus untuk membuat tubuh Mozes tetap berotot seperti sekarang.
Tapi terkadang ia bosan dengan makanan adiknya. Ia menarik kursi meja makan
lalu duduk di sana. Faith yang dari depan pintu kamar Mozes dapat melihat Mozes
dari sana sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Setelahnya, ia berjalan menuju
kamar yang berada di sebelah kamar Mozes. Dibuka pintu kamarnya lalu ia masuk
dan mengunci pintu kamarnya.
Ia
berbisik dalam hati. Kumohon jadikan hari
ini adalah hari yang paling menyenangkan dalam hidupku. Bekerja sebagai
resepsionis sebuah hotel terkenal di Atlanta tidaklah mudah. Kau harus
mengangkat telepon yang akan memesan kamar berkali-kali, menahan godaan-godaan
dari para lelaki berhidung belang yang memesan kamar namun ia masih harus tetap
memberikan senyum ramah. Oh, tentu saja. “Staf kami akan memastikan bahwa Anda
mendapatkan kebutuhan Anda selama Anda menginap di hotel kami. Kami akan
memberikan yang terbaik, bla,bla, bla.” Faith menggumamkan kalimat yang
biasanya atasan Faith berkata pada pengunjung yang sering kali protes dengan
pelayanan yang telah diberikan. Faith hanyalah seorang resepsionis yang
melayani orang-orang yang melakukan check
in-check out di hotelnya. Ya, Grand Hyatt Atlanta. Tempatnya bekerja. Hotel
yang paling terkenal di Atlanta. Mendapatkan banyak sekali penghargaan dari banyak
promotor. Dan pagi ini, jam 7 tepat ia sudah harus berada di tempatnya. Hari
ini ia akan bekerja kembali bersama dengan Lennion, teman kerjanya.
Seragam
kerja Faith telah berada di atas tempat tidurnya. Ia hanya tinggal memakainya,
keluar dari kamar lalu memberikan kecupan pipi pada Mozes lalu ia akan pergi
dari apartemennya. Bekerja, mencari nafkah.
Ia mulai mengeluarkan iPod dari kantong celananya kemudian Faith mulai
membuka pakaian yang sedang ia pakai. Sebenarnya, gaji yang Faith dapatkan
sudah cukup besar. Ia bahkan dapat membeli sebuah kondominium yang mewah, hanya
saja, seseorang memiliki masalah kesehatan. Bukan dirinya yang memiliki masalah
kesehatan, tapi Ibunya. Ayahnya telah meninggal 6 bulan yang lalu. Faith harus
bekerja keras untuk membiayai Ibunya yang masih terbaring di rumah sakit. Tidak
ada yang bisa diharapkan dari Mozes yang hanya bekerja sebagai seorang buruh di
sebuah pembangunan rumah. Jelas upah yang Mozes dapatkan tidak cukup membantu
untuk membiayai tagihan rumah sakit. Uang yang dapat hanya cukup untuk membayar
pajak dan makanan sehari-hari. Uang Faith hanya untuk Ibunya. Jam 7 malam ia
sudah harus berada di rumah sakit, berkunjung di rumah sakit tempat Ibunya
terbaring lemah.
Setelah
mengancing blazer hitam yang ia pakai, ia sudah siap untuk pergi bekerja. Tapi
sebelum itu, ia harus memoles sedikit pelembab bibir, bedak di wajah, serta
maskara. Semuanya selesai hanya saja ...rambutnya! Sial, ia harus menyanggulnya
seperti biasa. Rambut cokelat yang tidak begitu lurus itu harus rapi tersanggul
dengan sempurna. Jam tangan yang ia pakai telah menunjukkan pukul 6.30 pagi,
perjalanan dari rumah hingga hotel tempatnya bekerja adalah 20 menit. Sial. Ia
menggumamkan kata kotor. Tanpa peduli lagi, ia mengambil pensil serta sisir yang
berada di atas meja riasnya dan tas kerjanya. Ia mungkin dapat mengerjakannya
di dalam taksi. Ya, menyanggul rambut itu mudah. Hanya merapikannya saja yang
menyusahkannya! Sungguh sial.
Kaki
Faith telah masuk ke dalam sepatu tinggi hitamnya. Ketukan dari sepatunya
terdengar ketika ia melangkah keluar dari kamarnya. Terlihat Mozes tampaknya
sudah selesai sarapan sehingga ia terlihat menikmati acara paginya menonton
televisi.
“Aku
pergi, Mozes!” Seru Faith mengecup pipi Mozes ketika ia melewati sofa yang
diduduki oleh Mozes. “Jangan lupa kunci pintu apartemen dan pergi ke rumah
sakit. Hubungi aku jam 12 siang nanti, beritahu aku keadaan Ibu. Jangan biarkan
televisi menyala, kompor menyala, lampu-lampu menyala. Kau mengerti?”
Mozes
hanya menggumamkan sesuatu, merespon Faith. Tapi ketika Faith membuka pintu
apartemennya, Mozes membalikkan tubuhnya. Tangannya menggantung di atas sandaran
sofa. “Tunggu, Faith,”
“Apa?
Katakan secepat mungkin karena aku akan terlambat,”
“Malam
ini biarkan aku yang menemani Ibu di rumah sakit. Aku tahu, kau selalu lelah
setelah pulang dari tempat kerja. Jadi…datanglah ke rumah sakit untuk mengambil
kunci apartemen,”
“Baiklah.
Aku menyayangimu, Mozes!”
“Love
you more!” Balas Mozes membalikkan tubuhnya kembali. Pintu apartemennya
tertutup, Mozes mendesah lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Adik pekerja
keras. Kakak macam apa aku ini?”
***
Faith
telah berada di balik meja kerjanya. Pagi ini tidak ada hal-hal yang membuatnya
jengkel. Ia sudah berdoa kepada Tuhan di taksi agar hari ini ia mendapatkan
hari yang menyenangkan. Tidak ada lelaki yang menggodanya—yang diantaranya
berumur 35 tahun ke atas—ataupun para pengunjung penginapan yang membutuhkannya
untuk pergi ke kamar mereka lalu menggoda Faith. Seharusnya semua pekerjaan di
dalam kamar para tamu adalah pekerjaan dari room
service. Bukan pekerjaan Faith. Faith ingat sekali, satu tahun yang lalu, ia
baru mengetahui mengapa Ibunya memberi nama Faith padanya. Tuhan menguji
imannya (=faith) di hotel ini. Bagaimana
ia melewati setiap masalah yang ia hadapi di hotel ini. Hasilnya, ia masih bisa
bekerja dengan baik.
Lennion,
teman kerjanya, seorang ibu hamil itu sedang memakan sarapan paginya di balik
meja kerja mereka. Lennion memiliki paras yang cantik, rambut pirang, serta
bibir yang sensual. Umurnya sudah menginjak 27 tahun, ia sudah bekerja di hotel
Grand Hyatt selama hampir 5 tahun. Manajer mereka sungguh mengagumi kesabaran
dan keramahan Lennion. Tentu, bagi Faith, Lennion sungguh memotivasi dirinya
untuk bekerja keras. Terlebih lagi, ia harus bekerja keras untuk menutupi
tagihan rumah sakit untuk menyembuhkan Ibunya. Ia tentu tidak akan merelakan
Ibunya pergi dari dunia ketika masih ada harapan kecil yang akan menghasilkan
keajaiban. Apa pun yang Faith kerjakan selama ini adalah sesuai rencana Tuhan.
Faith
segera bangkit dari kursinya ketika ia melihat salah seorang tamu hotel masuk.
Dengan gaya professional, Faith memberikan senyum ramah. Seorang lelaki
bertubuh besar dengan janggut tak terurus mendekati meja kerjanya yang terbuat
dari batu itu. Kalung-kalung emas tergantung di sekitar leher—sekalipun
lehernya tak kelihatan tertutupi lemaknya—dan juga kaca mata yang tergantung di
hidung pria bertubuh besar itu semakin meyakinkan Faith bahwa pria ini suka
menggoda atau mungkin berkata kasar.
“Selamat
pagi, sir,”
“Ya,
aku ingin check-in, tolong,” oh,
ternyata pria ini cukup ramah.
“Sebelumnya,
sir, apa Anda sudah melakukan pemesanan kamar?”
“Ya,
atas nama Carlos Chuck,” ujar Carlos. Dengan segera Faith duduk kursinya lalu
ia mengetik nama Carlos Chuck. Ya, lelaki itu telah memesan kamar dua hari yang
lalu. Dengan segera Faith mengambil kunci kartu kamar Carlos dan mengangkat
buku registrasi ke atas meja resepsionis.
“Bisakah
Anda menulis nama Anda dan menandatangani di buku registrasi?” Tanya Faith
dengan ramah. Segera saja Carlos menandatanganinya. “Ya, terima kasih, sir.
Kamar Anda terdapat di lantai 4, dengan nomor kamar 222. Lift berada di sebelah
kanan Anda,”
“Terima
kasih,” balas Carlos segera mengambil kartu kunci kamarnya dari tangan Faith.
“Terima
kasih telah memilih Grand Hyatt sebagai tempat penginapan Anda,” ujar Faith
ramah meski ia tahu Carlos telah beranjak dari tempatnya ketika ia mengatakan
kata terima kasih. Tapi tidak apa-apa, setidaknya ia sudah bersikap ramah.
Tidak ada yang sulit untuk bersikap ramah kepada sesama manusia. Faith kembali
terduduk di atas kursinya lalu mendesah. Tamu hotel mulai berdatangan, satu per
satu Faith dan Lennion layani seramah mungkin.
Mata
Faith menatap pada jam tangan yang ia kenakan. Sudah pukul 11 siang, satu jam
lagi ia akan istirahat. Dan selama tiga jam peristirahatan, Faith harus pergi ke
rumah sakit untuk melihat keadaan Ibunya. Ia harap Ibunya baik-baik saja karena
pagi ini Mozes pasti sudah pergi ke rumah sakit, namun Mozes juga harus pergi
ke tempat kerjanya yang akan menguras tenaga hingga sore nanti. Entah mengapa
tiba-tiba saja tangannya mengambil tas yang ia bawa lalu merogoh isinya. Tangan
mengambil ponsel canggihnya, ia menyalakannya lalu mengetik sebuah pesan
singkat untuk kakaknya agar jam 12 nanti, kakaknya tidak perlu menghubunginya.
Setelah ia menekan tanda kirim, dentingan dari bel yang ada di atas meja
kerjanya terdengar. Tamu hotel! Lagi.
Segera
saja Faith bangkit dari kursinya lalu ia menatap pada tamu hotel yang menekan
belnya. Ia tidak begitu tertarik dengan pria bertubuh tinggi, tegap, serta
rambut cokelat dengan potong pendek namun cocok dengan wajahnya, yang ada di
hadapannya. Lelaki itu tersenyum ketika Faith memberikan senyum ramahnya.
“Selamat
datang di Grand Hyatt Atlanta, ada yang bisa kami bantu, sir?” Keramahan memang
paling utama di hotel ini. Lelaki itu tersenyum kemudian ia membaca kartu tanda
pengenal yang terkancing di dada sebelah kanan Faith.
“Ya,
Faith, aku ingin check-in di hotel ini dan aku telah memesan
tempat. Atas Nama Justin Lexise. Justin Drew Lexise,” pinta pria bernama Justin
itu dengan suara yang sungguh rendah serta serak-serak basah. Lennion yang
sedang memeriksa ponsel yang ia pegang langsung saja mendongakkan kepalanya, ia
melihat dari bawah sesosok pria tampan bertubuh tinggi tegap sedang berdiri di
hadapan Faith. Dan Faith! Sialan Faith, ia tampak biasa-biasa saja dengan
kedatangan pria di hadapannya. Sebelumnya, Lennion tidak pernah mendapatkan
lelaki setampan pria ini. Meski dalam hatinya, suaminya akan selalu menjadi
pria tertampan di dunia. Namun setidaknya Faith sedikit memberikan ekspresi
riang atau sifat penggodanya. Apa gadis ini penyuka sesama jenis hingga pria
setampan ini tidak dapat membuat pipinya bersemu merah?
Lennion
memerhatikan Faith yang mengetik di komputernya dengan konsentrasi penuh. Lalu
ia mendesah dan mendekati telinga Faith.
“Kurasa
ia adalah pria yang tampan. Mengapa kau tidak memberikan sedikit sifat
penggodamu padanya? Aku tebak, ia pasti berumur 30 tahun,”
“Yang
benar saja, Lennion. Dia biasa saja. Dia sama seperti pengunjung lainnya. Dan
30 tahun? Tidak, terima kasih,”
“Cinta
tak pandang umur, kau tahu! Dan kau tahu apa? Ia pemilik beberapa perusahaan
terkenal, rumah sakit, dan galeri,”
“Dia
hanyalah seorang tamu hotel yang ingin menginap di hotel ini. Jadi diamlah di
sana dan lihat aku bersikap!” Seru Faith segera bangkit dari tempat duduknya
lalu mengambil kartu kunci kamar pria di hadapannya. Justin. Justin Lexise.
Matanya bertemu dengan mata Justin yang …gelap. Dibalik senyum ramahnya, Faith
sangat yakin, akan banyak sekali cerita misterius yang tersimpan di sana. Entah
hatinya berkata bahwa lelaki ini adalah lelaki yang jahat. Ia harus menjauh
dari pria ini, meski tawaran Lennion bisa saja Faith lakukan karena pria ini
tampan, tapi seharusnya ia tahu, ia bukanlah Hawa yang mudah tergoda. Dehaman dari
Justin membuat Faith kembali sadar.
“Ya,
nama Anda telah terdaftar di daftar tamu kami. Anda boleh menandatangani buku
registrasi sebelumnya, sir,” pinta Faith sambil mengangkat buku registrasi ke
hadapan Justin. Justin meraih buku itu dan …ia tidak memakai pulpen yang telah
tersedia. Ia memakai pulpennya sendiri yang ada di dalam kantong kemeja yang ia
pakai. Ya, ia memakai celana jins berwarna hitam serta kemeja hitam dan ia
tidak memasukan kemeja hitamnya ke dalam celana jinsnya. Jelas sekali lelaki ini
tidak terlihat seperti umur 30 tahun. Faith melirik tangan Justin yang sedang
menulis itu namun ia tidak mendapati cincin yang melingkar di jari manisnya.
Lelaki ini belum menikah? Atau ia sudah bercerai? Mungkin salah satunya.
Diliriknya Justin diam-diam menahan senyum, kepalanya mendongak tiba-tiba.
“Terima
kasih, Faith,” ujar Justin ketika ia mendapatkan kunci kamarnya.
Faith
hanya dapat tersenyum. “Jadwal check-out Anda
adalah jam 4 sore. Kamar Anda terdapat di lantai 10. President Suite. Pelayan
kami akan membantu Anda untuk membawakan koper Anda, tunggu sebentar sir,”
“Tidak,
Faith, kau yang tunggu sebentar,” lelaki bernama Justin itu menahannya ketika
Faith baru saja ingin beranjak dari tempatnya. “Aku ingin kau yang membawakanku
ke kamarku. Sekarang,”
“Baiklah,
sir.” Raut wajah Faith tiba-tiba saja berubah, namun ia sebisa mungkin
memberikan senyum ramah pada tamu hotelnya. Justin beranjak dari tempatnya lalu
mengedipkan salah satu matanya pada Faith yang membuat tubuh Faith mengejang.
Hati kecilnya berujar: Kau yang terpilih.
***
Faith
mendesah ketika ia berada di dalam kamar tamunya. Justin yang memintanya untuk
masuk ke dalam kamarnya dan meminum sedikit anggur yang disediakan oleh staf
hotelnya. Seharusnya ia tidak berada di dalam kamar ini. Faith seharusnya
menolak permintaan Justin. Tapi manajernya pasti akan lebih membela tamu
hotelnya dibanding Faith. Ya, hotel ini harus memenuhi setiap kebutuhan yang
tamunya inginkan. Ia berada di dalam ruang tengah dari kamar President Suite
yang sungguh besar serta cukup mahal itu. Justin sedang masuk ke dalam kamarnya
untuk mengambil anggur yang terdapat di dalam kulkas mini di sebelah televisi
yang di kamarnya. Faith seperti orang tolol yang menunggu orang idiot. Dekorasi
ruang tengah President Suite dibuat senyaman mungkin. Terang, luas, dan jika
ada anak-anak kecil ingin bermain di sini, mereka mungkin bisa berlari-lari
sampai mereka bodoh.
Pintu
kamar terbuka, Justin muncul dengan satu botol anggur di tangannya. Pasti ia
akan pergi ke dapur. Justin memberikan senyum ramah, ia melewati Faith untuk
pergi ke ruang seberang. Kamar President Suite bahkan lebih besar dibanding
apartemennya.
“Aku
harus jujur, Faith, kau adalah gadis yang menarik,” puji Justin dari dapur
mini. Faith tidak membalas apa pun. Ia sedang mencari cara bagaimana ia dapat
cepat keluar dari kamar ini hingga ia dapat mempertahankan keperawanannya
hingga ia menikah nanti. Ia tidak ingin, ia berakhir di ranjang dengan pria
yang mengenakan kemeja hitam serta celana jins hitam. Terlebih lagi, aura yang
dipancarkan dari pria ini sungguh menakutkan. Siapa tahu lelak ini adalah
pembunuh berantai yang berpura-pura menjadi orang kaya? Tapi tidak mungkin.
“Kau
tidak mengenal siapa aku, Faith?” Tanya Justin yang muncul dari dapur mininya
dengan dua gelas berisi anggur dingin itu. “Ambillah,”
“Aku
tidak meminum anggur, sir,”
“Panggil
aku, Justin, tidak apa-apa,”
“Ya,
aku tidak meminum anggur, Justin,” ujar Faith menolaknya dengan halus. “Dan aku
tidak mengenal siapa dirimu, Justin,”
“Tidak?
Tidak sama sekali?” Kedua alis Justin terangkat. Bulu mata lentik, bola mata
yang bulat, bibir yang sensual, dan janggut yang samar-samar sangat-sangat-sangat
membuat Justin menarik. Tinggi dan tegap. Siapa yang tidak jatuh cinta pada
lelaki ini? Faith. Faith terkekeh untuk mencairkan suasana lalu ia
menggeleng-gelengkan kepalanya. Justin menyesap anggur yang ia pegang.
“Cobalah, kadar alkoholnya rendah,”
Terpaksa,
Faith mengambil gelas yang Justin pegang. Ia menyesap sedikit anggur itu lalu
memejamkan matanya. Ia berusaha untuk tidak terlihat terkejut dengan anggur
yang baru saja ia cicipi, namun ia tidak berhasil, tubuhnya bergetar begitu
saja. Suara tawa Justin terdengar ketika ia melihat gadis ini bergetar. Dan
sekaligus membakar birahinya. Gadis yang memiliki tinggi sehidungnya –ketika ia
memakai sepatu tinggi—rambut cokelat yang tersanggul rapi, leher jenjang yang
putih, pipi yang merona sekarang …apa yang kurang dari gadis ini? Mungkin
sifatnya. Justin cukup jengkel dengan sifat Faith yang dari tadi terus menolak
permintaannya. Cepat atau lambat, Faith pasti akan meminum anggur. Berapa sih
umur Faith hingga ia tidak ingin meminum anggur? Ia tidak akan bekerja di sini
jika ia belum berumur 22 tahun atau di atasnya. Tapi ya, Justin mengenal gadis
ini dari seseorang.
“Kau
tahu, ketika aku masuk ke dalam hotel ini, aku tidak percaya bahwa kau yang
akan melayaniku. Maksudku, Faith, kau tidak sama sekali mengenalku?”
“Dengan
segala permohonan maaf, sir, aku tidak sama sekali mengenalmu,”
“Kau
yakin? Justin Drew Lexise?”
“Yang
kukenal sekarang hanyalah Tn. Justin Drew Lexise yang memesan kamar di hotel
Grand Hyatt Atlanta. Tidak lebih,”
“Baiklah,
kalau begitu. Mungkin setelah jam 12 nanti kau akan mengenal siapa aku. Selamat
siang, kau boleh keluar dari kamarku.” Pinta Justin ramah. Sesaat Faith bingung
dengan percakapan yang baru saja ia lewati. Justin dari tadi bertanya padanya,
apakah ia mengenal Justin? Tentu tidak. Lelak itu bahkan baru pertama kali
Faith lihat. Justin Drew Lexise? Apa Faith pernah bertemu dengannya sebelumnya?
Ia ragu. Tidak mungkin. Jika ya, ia tidak mungkin lupa dengan rupa Justin yang
sangat rupawan itu. Gelas yang Faith pegang segera diambil dari tangannya oleh
Justin, tanpa aba-aba, Justin menenggak seluruh anggur yang ada di dalam gelas
itu. Faith hanya dapat melongo.
Sesaat
otak Faith melakukan pemutaran ulang.
Ia
terduduk di atas kursi. Ia mendapat tamu hotel bernama Justin Drew Lexise.
Justin mengedipkan salah satu matanya pada Faith. Ia meminta Faith untuk
mengantarkannya hingga sampai pada kamarnya. Ia juga meminta Faith untuk masuk
ke dalam kamarnya dan minum anggur bersama dengannya. Ia bertanya pada Faith, apa
Faith mengenalnya? Apa Faith mengenal Justin? Saat Faith mengatakan Tidak,
Justin mengusir Faith dari kamarnya.
Satu
yang dapat Faith simpulkan bagi pria tampan ini: Bajingan.
***
Faith
buru-buru berlari melewati lorong lantai pertama di rumah sakit Ibunya. Ia
sungguh merindukan Ibunya ketika sejak pagi tadi ia meninggalkan Ibunya. Ia
telah berada di depan lift, jari telunjuknya dengan segera menekan-tekan tombol
ke atas di samping lift. Kakinya mengetuk-ketuk lantai sambil menunggu. Matanya
melihat ke segala arah. Terlihat Faith sungguh khawatir sekarang. Pintu lift
terbuka, beberapa orang yang ada di dalamnya keluar. Lift kosong. Lalu ia
masuk. Pintu lift segera tertutup setelah Faith menekan tombol lantai 8, tempat
di mana Ibunya dirawat. Ia bersandar pada dinding, mengetuk-ketuk kembali
kakinya. Matanya melihat pada dua poster yang tertempel di balik dinding kaca
lift. Jantungnya tiba-tiba saja berpindah ke mulutnya.
Matanya
tak berkedip. Mungkin setelah jam 12
nanti kau akan mengenal siapa aku.
Pendiri
rumah sakit ini adalah dia. Justin
Drew Lexise.
:)
wawww keren kak jd,,,, :)
BalasHapusKeren.. penasaran baca sampe habis :)
BalasHapus