Kamis, 03 Oktober 2013

Innocent Bab 9 - End


***

            Justin menatap dua orang yang berlutut di hadapannya dengan bibir yang terkatup rapat. Kedua mata Patricia tertutup oleh kain hitam dan tangannya terikat di belakang punggungnya. Begitu juga dengan Khazaz yang berada dalam kondisi yang sama dengan Patricia.Mereka berdua terlihat sangat pasrah dan tidak melawan sama sekali. Meski sebenarnya, Justin tidak tega membunuh Patricia,tetapi ia harus melakukannya demi menemukan gadisnya kembali. Ia sudah tidak mampu menahan kekosongan hatinya yang berlarut-larut . Jika dengan menggunakan Patricia ia bisa menemukan Sherene, maka ia harus melakukannya. Ia akan melakukan segala cara demi mendapatkan Sherene kembali. Jika saja ia memperlakukan Sherene dengan lebih baik, maka pastilah gadis itu masih berada di sisinya sekarang ini.
Walaupun ia tahu bahwa Sherene akan semakin membencinya setelah ini, ia tidak peduli. Yang terpenting sekarang adalah ia mendapatkan gadis itu kembali. Tidak akan ada yang bisa menghentikannya sekarang. Ia sudah tidak peduli meskipun ia harus merendahkan harga dirinya untuk memohon kepada Sherene agar gadis itu kembali ke sisinya. Ketika seorang pria telah menyadari bahwa ia telah jatuh cinta, ia akan melakukan segala cara agar dapat menarik si gadis kepelukannya meski harus melakukan cara yang tidak masuk akal sekalipun.

 
Sama seperti apa yang sedang Justin lakukan sekarang.
           

***


            Sekarang Justin sudah kehilangan kendali terhadap perasaannya. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi pada hati dan pikirannya. Di satu sisi, ia masih mencintai Cassandine, tetapi entah mengapa ia tidak bisa melepaskan pikirannya dari Sherene. Entah apa yang Sherene lakukan terhadap dirinya, terlihat sangat jelas, sekarang bukanlah diri Justin yang sebenarnya. Ketika segalanya terlihat sangat tidak nyata, semua itu masuk akal. Beratus-ratus pasang mata tengah melihat ke atas panggung—tempat dimana Patricia dan Khazaz dihukum—untuk melihat apa yang sedang terjadi. Salau satu mulut prajurit yang berada di atas panggung itu mulai terbuka hendak berteriak, ia berada di sebelah Justin yang kali ini tidak lagi berada di bawah panggung itu. Ia tidak perlu lagi menatapi Patricia yang berada di belakangnya, itu semakin membuat pikirannya kacau. Lalu prajurit itu berteriak.
            “Masyarakat Persia,” teriak prajurit itu. “Dua orang yang ada di hadapan kalian adalah jaminan kami untuk mendapatkan Sherene Madrigal, selaku harem raja. Setelah hampir satu bulan, Sherene Madrigal tak kembali ke istana dan membuat raja resah, kami akan menahan dua orang ini selama dua hari untuk menunggu kedatangan Sherene Madrigal. Jika ia tak kunjung datang, mereka akan kami gantung di tengah kota ini. Tidak akan ada yang boleh menurunkan kedua orang ini selama masa penahanan. Empat prajurit kami akan menjaga mereka tiap jam,
            “Jika salah satu di antara kalian tengah menyembunyikan Sherene Madrigal, katakan padanya, dua orang di hadapan kalian akan segera mati di tangan kami. Dan jika salah satu di antara kalian memang menyembunyikan atau telah melihat Sherene Madrigal, raja akan memberikan imbalan yang setimpal bagi siapa pun yang membawa gadis itu dengan keadaan masih hidup di hadapan kami.” Pengumuman itu berakhir. Sedetik kemudian, didengarnya Patricia menangis.
            Justin memejamkan matanya, berusaha untuk menyingkirkan rasa ibanya. Ini semua untuk Sherene Madrigal, gadis yang telah merebut hatinya. Tidak akan ada yang dapat menghentikan Justin sekarang sekalipun itu adalah setitik tangisan dari seorang yang ia sayangi. Sekalipun jika arwah Ayahnya muncul di hadapannya dan mengatakan padanya untuk menghentikan segalanya, ia tidak akan melakukannya. Tidak ada yang lebih berarti selain Sherene Madrigal. Kaki Justin mulai melangkah meninggalkan panggung serta Patricia dan Khazaz yang berlutut dengan tangan dan kaki terikat. Mereka akan berlutut selama dua hari. Dan selama dua hari itu pun, dari segala permainan yang tengah Justin mainkan, hanya Sherene yang dapat mengakhirinya.

***

            Mata hijau Sherene berkaca-kaca ketika malam itu ia melihat dua orang yang ia sayangi tengah berlutut. Mereka tidak dibiarkan untuk berbaring di atas panggung itu. Empat prajurit itu memerhatikan seluruh penjuru kawasan mereka dan sesekali membalikkan kepala mereka untuk melihat keadaan dua tahanan itu. Ia bersandar di tembok lorong –tempatnya mengintip—dan menutup mulutnya dengan telapak tangan kanannya. Air mata kristalnya mulai mengalir sepanjang pipinya dan mengenai jari telunjuk Sherene yang panjang. Ia mulai terisak, nafasnya tercekat, seolah-olah ia harus menunjukkan dirinya ke hadapan para prajurit saat ini juga. Namun semua itu dihalangi oleh rasa takutnya.
            Di atas panggung tahanan, Patricia memohon pada Tuhan agar Sherene tidak menunjukkan dirinya, kapan pun. Ia lebih baik mati dibanding ia harus melihat anaknya kembali tersiksa. Mengapa Justin melakukan hal ini padanya? Ketika sesuatu memukul pikiran Patricia, segalanya terlihat masuk akal, Justin mencintai Sherene. Namun ia tidak ingin melihat Sherene yang telah berubah menjadi gadis yang pemberontak itu kembali ke dalam pelukan Justin dan Justin kembali menyakitinya. Bagaimana jika kejadian Justin memperkosa Sherene terjadi kembali? Patricia tidak akan hidup selamanya. Ia tidak akan bisa melindungi Sherene kembali jika ia telah tiada. Justin tidak mungkin menjadi pelindung Sherene ketika ia sendiri yang telah menyakiti Sherene! Air matanya mulai membasahi kain hitam yang menutup matanya.
            Bersamaan ketika Sherene menutup matanya, air mata kristal itu mengalir. Ketakutan Sherene adalah bagaimana jika Justin kembali menyakitinya? Di satu sisi, ia sangat ingin membantu Patricia serta Khazaz yang telah terikat di atas sana, namun Justin semakin membuatnya takut. Ketika ia melihat Justin siang tadi di lorong, ia dapat melihat Justin menatap kosong tanah di hadapannya dengan bibir yang terkatup. Bibir Justin pucat, ia tidak pernah terlihat seburuk itu atau bahkan sepucat itu. Apa kepergian Sherene dari istana merupakan tamparan keras bagi Justin? Namun mengapa Justin menjatuhkan segala emosi dari tamparan Sherene itu terhadap dua orang yang ia sayangi? Apa Justin tahu bahwa kekuatan Sherene adalah kelemahannya? Ia mendesah lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.
            Jika aku adalah dirimu, aku akan menyerahkan diriku padanya karena aku memang mencintainya. Kata-kata Chista membentur kepala Sherene pada tembok lorong yang ia sandari. Sherene memang mencintai Justin, apa ia akan menyerahkan dirinya setelah apa yang Justin lakukan padanya?
            “Raja Xerxes terlihat sangat putus asa setelah lebih dari satu minggu kau tidak kembali ke istana. Begitu banyak harem yang menemaninya tiap malam untuk memenuhi kebutuhannya. Tiap pagi, emosinya tidak pernah terkendali, sekalipun Cassandine berusaha untuk meredakan amarahnya, tetap saja gagal. Ia sangat membutuhkanmu. Ia menangisimu. Apa kau tidak tega melihat raja seperti itu? Wajahnya pucat, tubuhnya semakin kurus, keadaan semakin lama semakin memburuk. Dia sangat membutuhkanmu. Maksudku, kau bukan hanya kebutuhannya, tapi …kau segalanya bagi raja!” seru Chista sore tadi di dalam toko kue setelah mereka pergi dari tengah-tengah kota.
            Sherene menggigit bibir bawahnya lalu mengambil nafas dalam-dalam.
            “Aku bisa melakukannya,” bisiknya. Kakinya mulai melangkah keluar dari lorong kemudian ia menunjukkan dirinya pada para prajurit di hadapannya.
            “Aku di sini,” seru Sherene tegas. “Sherene Madrigal.”

***

            Justin masih terjaga malam itu. Ia harus mendapatkan Sherene, bagaimanapun itu caranya. Gadis itu segalanya baginya. Ia seperti mata air di tengah-tengah padang pasir. Cassandine telah terlelap di atas tempat tidurnya, di sebelah Justin dengan nafas yang tenang. Gadis itu tidak boleh pergi, Justin masih mencintainya, namun pikirannya masih tertuju pada satu gadis yang hilang itu. Sherene Madrigal. Apa dengan ancaman siang itu akan membuat Sherene muncul di hadapannya? Tentu. Itu pasti terjadi. Justin menyilangkan kedua tangannya di bawah kepalanya, berbaring di atas tempat tidur dan menatap langit-langit kamar. Namun suara berisik dari luar terdengar yang memicunya bangkit dari tempat tidur. Ia memakai sepatunya dan berjalan menuju pintu kamarnya. Tepat ketika ia telah membuka pintu kamarnya, seorang prajurit berdiri di hadapannya dengan nafas yang tak beraturan.
            “Apa? Apa yang terjadi?” Nada suara Justin sangat berwibawa dan tidak memperlihatkan kekhawatirannya.
            “Raja…” prajurit itu berusaha menarik udara sebanyak-banyaknya. “Yang Mulia, Sherene …Sherene Madrigal telah berada di tengah-tengah kota, Yang Mulia,”
            “Bodoh!” Justin mengutuk prajurit itu. “Mengapa kau tidak langsung membawanya ke hadapanku sekarang juga? Bawa aku ke sana sekarang juga!” seru Justin keluar dari kamarnya, ia membanting pintu kamarnya sekeras mungkin hingga mata Cassandine terbuka. Atau, sudah terbuka ketika Justin telah bangkit dari tempat tidur. Cassandine tidak sama sekali tidur sepanjang Justin mendesah di kamarnya, resah dan bertanya-tanya apakah Sherene akan kembali padanya, ia hanya menunggu saat yang tepat, kapan ia dapat pergi dari istana ini. Tubuh Cassandine bangkit dari tempat tidur, ia mencari pulpen bulunya, tinta serta kertas di meja kerja Justin. Ketika ia menemukannya, secepat mungkin ia mencucuki ujung pulpen bulunya pada tinta lalu mulai menulis secepat mungkin. Air matanya mulai mengalir.

***

            Sherene membuka kain hitam yang menutup mata Patricia serta Khazaz untuk melihat kedua mata yang ia rindukan. Ia meraup wajah Patricia dengan senyum di wajahnya. Ada perasaan lega ketika ia melihat mata Patricia yang berkaca-kaca.
            “Patricia, aku di sini,” seru Sherene menangis. “Aku akan menyelamatkanmu secepat mungkin,”
            “Tidak, jangan biarkan Justin mendapatkanmu kembali, Sherene. Aku tidak ingin Justin menyakitimu kembali,”           
            “Tidak, Patricia, aku tahu apa yang sedang kulakukan. Aku tidak ingin membiarkanmu mati di tangan Justin hanya untuk mendapatkanku. Aku mencintainya, kau tahu itu bukan? Sekarang semua terlihat jelas. Kau lihat? Cinta itu sangat kuat. Saat aku jatuh cinta padanya, aku rela menunggunya selama 10 tahun, mengapa aku harus menyia-siakan waktu emas ini ketika aku dengan mudahnya bisa mendapatkan Justin? Ia menginginkanku. Chirstopher memberitahu padaku, ‘jangan kejar lelaki itu, tetapi biarkan dia yang mengejarmu’. Dan dia melakukannya, Patricia. Dia melakukannya!” Kali ini senyum Sherene mulai mengembang hingga menyentuh matanya. Air mata bahagia kembali mengalir. Ketakutannya terkalahkan oleh rasa cintanya terhadap Justin, ia tahu apa yang ia lakukan sekarang adalah benar. Justin menginginkannya sama seperti Sherene menginginkan Justin. Ia merasa sangat labil namun ia tahu apa yang ia rasakan sekarang adalah cinta.
            “Kau sedang tidak dalam keadaan sehat Sherene. Pikiranmu tidak jernih,” lirih Patricia menggeleng-gelengkan kepalanya.
            “Dia benar, Patricia,” suara berat Khazaz terdengar. “Sherene tidak seharusnya mengejar Justin, tapi biarkan Justin yang mengejarnya. Dan Sherene telah mendapatkannya, untuk apa Justin menginginkan Sherene kembali jika tujuannya hanya untuk menyakiti Sherene? Tidak mungkin, Justin pasti mencintai Sherene,” jelas Khazaz mendukung perasaan Sherene, kali ini. Khazaz hanya ingin melihat Sherene bahagia, itu saja. Kebahagiaan Sherene adalah kebahagiannya, sekalipun jika ia harus merelakan Sherene pergi darinya.
            “Tidak, Sherene! Pergi dari tempat ini sekarang!” Patricia masih bersikeras dan kali ini membentak Sherene hingga Sherene tersentak ke belakang. Ketika Sherene hampir jatuh ke belakang, dua tangan segera menopang Sherene dan mengangkat Sherene dari tempatnya. Dalam hitungan detik, tubuh Sherene berbalik ke belakang.
            “Sherene!” Desah Justin tak percaya dengan apa tengah ia lihat sekarang. “Sherene, apa ini kau?” Tangan Justin mulai menyentuh pipi Sherene yang basah.
            “Maaf,” bisik Sherene.
            “Apa yang kausesalkan? Seharusnya aku yang meminta maaf,”
            “Maaf karena aku telah lari darimu,” gumam Sherene menatap Justin tepat di matanya. Ia menatap dua bola mata cokelat yang berkaca-kaca tengah menatapinya. Mata dari seorang yang sangat ia cintai. Perasaan rindu Sherene terbayarkan saat kulitnya dan kulit Justin bersentuhan. Rasanya sangat …nyata. Saat itu juga Justin memeluk Sherene dengan erat. Seakan-akan Sherene adalah satu-satunya batu safir di dunia. Justin memejamkan matanya, melepaskan kerinduannya pada Sherene, ia ingin Sherene tahu bahwa ia benar-benar merindukan Sherene.
            “Itu semua salahku,” gumam Justin. “Aku yang telah menyakitimu. Demi para dewa, aku tersiksa. Jangan pernah lari dariku lagi, Sherene, kumohon. Apa pun akan kulakukan agar kau dapat mengampuni apa yang telah kulakukan padamu,”
            “Tidak ada,” bisik Sherene. “Lepaskan mereka, aku ingin mereka bebas. Bawa aku ke istanamu dan lakukan apa pun yang kau mau agar aku tidak bisa lari darimu,” lanjut Sherene. Justin melepaskan pelukannya dan dengan sigap ia memegang kedua bahu Sherene dengan erat.
            “Menikahlah denganku, Sherene Madrigal, jadikan aku sebagai lelaki yang paling beruntung dan bahagia di dunia,” pinta Justin dengan kesungguhan hati. Tangan Justin yang mula-mula memegang pundak Sherene telah meraih kedua tangan Sherene dan menempatkannya dekat pada dadanya. Wajah Sherene tiba-tiba saja menegang. Seluruh tubuhnya menegang. Kedua alis Justin mulai bertaut.
            “Apa itu Sherene? Ada apa?”
            “Aku …” Sherene menundukkan kepalanya.
            “Kau tidak ingin menerima diriku sebagai suamimu?”
            “Bukan itu,” gumam Sherene kembali mengangkat kepalanya.
            “Lalu apa?”
            “Aku hanya …belum membeli minyak wangi untuk pernikahan ini,” ujar Sherene yang membuat Justin tertawa kecil lalu ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
            “Kita tidak butuh minyak wangi hanya untuk mempersatukan cinta kita,” tukas Justin kembali memeluk Sherene.
            Cinta tidak akan pernah lepas dari apa pun.
            Dan siapa pun.


***

            Justin melingkarkan tangannya di sekitar pinggang Sherene. Mereka telah berada di dalam kamar Justin. Tangan Justin yang kecil itu menggantung di leher Justin, ia sedang memanjakan matanya dengan pemandangan indah di hadapannya. Perkataan Chista memang sangat benar, begitu juga dengan Christopher. Bagaimana cintanya bisa begitu kuat terhadap Justin setelah ia menyadarinya? Jika perkataan Chista tidak terlintas di otaknya, mungkin ia sekarang sudah berada di atas kapal, pergi dari Persia sejauh mungkin. Mungkin memang, Sherene tidak memiliki orangtua, atau saudara, dan ia tidak tahu dari mana asalnya …tapi ia memiliki cinta dari orang yang ia cintai. Ini semua sangat adil. Sherene hanya …tidak terbiasa. Ia terlalu naïf. Ia hanya melihat sisi baik dari cintanya, ia tidak melihat sisi buruk dari cinta yang timbul itu. Ia seharusnya tahu bagaimana perasaan Justin ketika ia sedang bersama dengan Khazaz, ya, cemburu. Tapi saat itu Sherene juga sedang berada dalam keadaan cemburu terhadap Cassandine yang mendapatkan perhatian yang begitu banyak dari Justin. Namun perlakuan Justin memang sudah sangat lewat dari batasnya. Ia terkekeh. Sekalipun cinta memiliki sisi buruk.
            “Bagaimana dengan Cassandine? Apa yang akan kaulakukan padanya?” Sherene bertanya tanpa melepaskan tangannya dari leher Justin. Justin mendongak ke arah tempat tidur, matanya membulat, Cassandine tidak ada di tempat tidurnya. Kemana gadis itu?
            “Ada apa Justin? Kemana Cassandine?” Tanya Sherene mulai melepaskan tangannya yang menggantung itu dari leher Justin. Ia melihat ke sekeliling kamar Justin namun tidak menemukan siapa pun. Tidak juga Cassandine.
            “Ia …” suara Justin menghilang, ia melepaskan tangannya dari pinggang Sherene ketika matanya tertuju pada sebuah kertas di atas meja kerjanya. Jari-jari panjangnya mulai meraih kertas itu kemudian ia tahu kertas apa yang sedang ia pegang. Surat dari Cassandine. Matanya mulai membaca tiap kata yang tertulis.

YangMulia, Xerxes

            Aku pergi. Sekarang aku melihat siapa orang yang benar-benar dapat membuatmu tersenyum dan tertawa lepas. Seseorang yang dapat membuatmu bahagia tiap saat. Tetapi aku tahu, orang itu bukanlah diriku. Justin, aku mencintaimu, kau tahu itu. Seperti yang Ayahku katakan, tidak semua orang yang kaucintai akan mencintaimmu.Mungkin,kau bukanlah lelaki yang tepat untukku. Mungkin Sherene lebih pantas mendapatkanmu. Lebih baik melihatmu tersenyum dan tertawa lepas bersama dengannya dibanding kau harus merasakan hari-hari penuh keresahan denganku tanpa Sherene. Sebenarnya, aku telah mengetahui keberadaan Sherene yang sebenarnya dari Patricia namun aku tidak memberitahukannya padamu. Aku ingin melihat, apa kau dapat hidup tanpanya? Tapi ternyata tidak, kita berdua tahu itu. Aku merelakanmu bersama dengannya. Aku rela melepaskanmu meski kenyatannya memang sangat pahit. Aku tidak ingin menyinggung apa pun yang telah kulakukan untukmnu.Sherene adalah gadis yang sangat baik, Patricia menceritakannya padaku. Kau harus menjaganya, melindunginya, mencintainya seperti lelaki sejati lakukan. Merelakan itu menyakitkan, tapi tidak pada akhirnya bukan? Aku mencintaimu, Justin.

Cassandine


            Sherene berada di sebelah Justin, ikut membaca apa yang Cassandine tulis, lalu ia mendongak.        “Dia pergi,” gumam Justin menaruh kembali kertas itu ke atas mejanya. “Dan dia benar. Aku harus menjagamu, melindungmu, mencintaimu,”
            “Dia sangat …bijaksana,” komentar Sherene tersenyum. “Aku mencintaimu, Justin Cyrus Xerxes,”
            “Begitupun aku, Sherene Madrigal,”
            “Bagaimana perasaannmu sekarang Justin?” Sherene mulai menyentuh lengan Justin. Mata Justint tertuju pada tangan Sherene yang menyentuh tangannya. Entah mengapa hanya dengan sentuhan tangan Sherene dapat membuat Justin bergairah seketika. Rasanya ia ingin menerkam Sherene. Mata Sherene tidak mengikuti apa yang Justin sedang lihat, ia menunggu jawaban.
            “Menakjubkan. Luar biasa. Entahlah, beritahu aku!”
            Sherene menggelengkan kepalanya. “Mungkin sekarang merasa sangat bergairah. Bukankah aku benar?” Tanya Sherene menggoda Justin sambil memainkan matanya.
            “Tinggal di luar selama hampir sebulan membuatmu sangat nakal, eh?”
            “Tidak,” gumam Sherene. “Aku merindukanmu. Sentuhanmu,” ujar Sherene mulai menyentuh pipi Justin, ia mengelusnya. Oh, ia sangat merindukan Justin. Segalanya. Tiap jengkal dari tubuh Justin. Sekarang Justin terlihat lebih hidup. Bibirnya tidak sepucat tadi. Ia hanya sangat …tampan. Pelan-pelan Justin membawa Sherene menuju tempat tidur mereka.
            “Kau tidak akan pernah pergi kemana-mana, Shahbanu Sherene Madrigal,” ucap Justin mendorong tubuh Sherene ke atas tempat tidur. “Kau akan menjadi istriku, secepatnya,”
            “Aku tidak akan meragukan itu, Yang Mulia,”
            “Huh, Sherene, terkadang aku sangat ingin merobek bajumu di depan umum dan menyetubuhimu. Terlebih lagi ketika kau sedang menggodaku,”
            “Kau tidak perlu melakukan itu sekarang. Aku sudah berada di atas tempat tidurmu, apa lagi yang kau tunggu, Yang Mulia?”
            Justin terkekeh lalu ia menggelengkan kepalanya. “Aku tidak percaya akhirnya aku mendapatkanmu kembali, Sherene, hari-hari kemarin adalah hari-hari terburuk yang pernah kualami,”
            “Aku akan memperbaikinya,”
            “Kau telah memperbaikinya, Sherene, aku telah mendapatkanmu, menikahimu sehingga kau tidak akan bisa lari dariku lagi,” ucap Justin mulai menindih tubuh Sherene. “Sekarang terasa sangat berbeda. Kau akan bercinta denganku bukan sebagai harem, tetapi sebagai seorang kekasih,”
            “Apa lagi yang kautunggu, Yang Mulia?”
            “Izin darimu,” ujar Justin. “Apa aku boleh bercinta dengamu, Shahbanu Sherene Madrigal?”
            “Tentu saja,” ujar Sherene terkekeh. “Aku mencintaimu,”
            “Aku lebih mencintaimu,”
            “Oh, Justin! Cepat keluarkan aku dari gaun ini!” Seru Sherene memukul Justin pelan, membuat Justin tertawa.



***

Semilir angin berhembus di pinggir pantai. Sherene merasa sangat damai sekarang. Ia merentangkan kedua tangannya dan memejamkan kedua matanya. Aroma segar khas laut pun tercium dengan jelas. Tiba-tiba, ia merasa ada tangan yang memeluk pinggangnya dari belakang. Mengetahui siapa pemilik tangan itu, ia pun tersenyum dan mengelus tangan itu pelan.
”Apa yang sedang kau pikirkan?” bisik Justin sambil menyerukkan wajahnya ke leher putih Sherene.             “Tidak ada. Hanya saja aku merasa sangat bahagia sekarang. Tidak pernah terbayang di pikiranku, bahwa suatu hari aku akan berdiri di sisimu sebagai istrimu yang sah. Bukan hanya sebagai selir ataupun haremmu. Kau tahu, yang ada di pikiranku selama ini hanyalah aku sangat mencintaimu dan ingin berada di sisimu...” ujar Sherene tersenyum mengingat masa lalunya.
Mendengar perkataan Sherene, membuat Justin semakin mengeratkan pelukannya. Ia sangat bersyukur bisa mendapatkan Sherene kembali setelah semua yang terjadi. Sungguh tak bisa ia bayangkan apabila ia tidak bisa bertemu dengan gadis itu lagi untuk selamanya. Mungkin ia akan menjadi seorang raja dengan hati yang kosong dan hampa. Ya, hanya Sherene lah satu-satunya yang dapat membuat hidupnya terasa lengkap. Mulai saat ini ia berjanji akan memperlakukan Sherene dengan lebih baik lagi dan setulus hatinya karena ia telah menyadari betapa besar arti seorang Sherene bagi dirinya.
”Hanya kaulah satu-satunya gadis yang membuatku lepas kendali atas diriku sendiri. Tidak ada gadis lain yang bisa menggantikanmu, Sherene. Jadi tolong berjanjilah padaku, Sherene Madrigal, bahwa kau akan selalu bersamaku dan mendampingiku sampai kematianlah yang memisahkan kita.” Justin menatap dalam kedua mata Sherene dengan bersungguh-sungguh. Sherene yang semula terpana hingga tak bisa berkata apa-apa pun akhirnya tersenyum dengan sangat manis.             “Baiklah, aku berjanji akan selalu setia bersamamu, Yang Mulia Justin Cyrus Xerxes.” janji Sherene dengan yakin.
Tetapi dalam seketika senyum manis Sherene lenyap digantikan oleh raut gugup dan gelisah. Justin pun  langsung menyadarinya "Ada apa?”
Sherene tidak menjawab. Tubuhnya bergerak-gerak gelisah. Ia menundukkan kepalanya dan menggigit bibir bawahnya persis seperti anak kecil polos yang sedang gugup. Lihatlah betapa manisnya dia! Melihat Sherene yang seperti itu tentu saja membuat Justin ingin menyerangnya dengan segera. Tetapi Justin berusaha menahan diri karena ia sangat penasaran apa yang menyebabkan Sherene seperti itu.
            “Sherene, apa yang terjadi?” tanyanya lembut.             “Mmm...aku....”            “Sherene, ceritakan padaku.”             “A-aku....” Sherene masih saja menggigit bibirnya semakin membangkitkan sesuatu dalam diri Justin.             “Sherene!”Justin mulai kehilangan kesabarannya.             “A-a-aku s-se-sedang.....”             “Sherene!!! Cepat katakan atau aku akan...”             “Aku sedang hamil.” ujar Sherene cepat.
Perkataan Sherene seketika membuat Justin terdiam. Ia mematung dan tatapannya menjadi datar. Melihat itu, Sherene menjadi khawatir dan sangat takut Justin tidak akan menerima kehadiran anak mereka. Lama Justin tidak bereaksi. Sherene semakin yakin bahwa dugaannya benar. Ia pun menundukkan kepala dan air matanya menetes tanpa diminta. Ia merasa sangat sedih memikirkan nasib anaknya ketika lahir nanti.
Tetapi dugaannya ternyata salah. Ia merasa dipeluk dengan sangat erat oleh seseorang. Ketika ia mengangkat kepalanya, ia melihat Justin sedang menatapnya dengan tatapan yang berkaca-kaca.
“Akhirnya...kau mengandung anakku! Dengan darahku mengalir di tubuhnya! Kau tidak tahu betapa bahagianya aku Sherene! Oh, betapa aku mencintaimu!” Sherene pun akhirnya tersenyum bahagia. Kekhawatirannya ternyata tak terbukti. Justin menerima kehadiran anaknya dengan sangat senang.
“Sherene, kita harus mengadakan pesta untuk merayakannya! Sebuah pesta yang sangat meriah! Kita undang seluruh rakyat negeri Persia untuk merayakan akan datangnya putera mahkota mereka yang baru!”
Lalu mereka pun mulai merencanakan sebuah pesta untuk merayakan kabar baik itu diliputi oleh euforia kebahagiaan.

 **************

           Pesta besar-besaran pun diadakan di istana. Seluruh rakyat dari pelosok-pelosok negeri Persia pun diundang untuk menghadiri acara tersebut. Seluruh rakyat sangat bahagia mengetahui sang ratu sedang mengandung putera mahkota kerajaan mereka. Semuanya berpesta dan bergembira. Patricia, Chista, dan Khazaz turut hadir di pesta itu. Mereka ikut berbahagia bagi Sherene dan Justin terutama Patricia. Ia sangat bahagia melihat gadis yang sudah seperti anaknya sendiri itu akhirnya ber-bahagia di sisi pria yang dicintainya bahkan sedang mengandung buah cinta pertamanya. Putri kecilnya yang dulu sangat polos dan lugu sekarang telah menjelma menjadi permaisuri penguasa Persia dan juga sebagai wanita tercantik di seluruh negeri. Akhirnya tidak ada lagi yang perlu di khawatirkannya. Ia pun tersenyum penuh haru sembari memeluk erat Sherene. ”Berbahagia lah puteri kecil ku” bisik Patricia di telinga Sherene. ”Ya, ibu.” Sherene balas memeluk Patricia.
Begitu pula dengan Khazaz. Ia akhirnya merelakan Sherene bersama Justin demi kebahagiaan gadis itu. Ia akan melakukan apa saja demi melihat senyum di wajah indah gadis itu walaupun jika harus mengorbankan hati dan perasaannya. Khazaz juga memberikan pelukan terakhir bagi Sherene, tanda bahwa setelah ini ia akan membuang perasaannya jauh-jauh terhadap sang ratu.

 ***********


9 bulan kemudian....

“Huaaaaaa..” terdengarlah tangisan seorang bayi lelaki dari bangunan istana yang megah itu. Rupanya putera mahkota yang dinanti-nanti telah lahir. Sherene yang kelelahan sehabis melahirkan terbaring lemah diranjangnya.
”Ia sangatlah tampan seperti ayahnya” ujar Patricia yang membantu Sherene melahirkan. Bayi dalam gendongan Patricia itu tampak sangat murni dan tak berdosa. Patricia pun membaringkan bayi itu di samping ibunya.
BRAKK! Terdengar pintu ruangan itu didorong dengan keras dari luar dan terlihat wajah Justin yang begitu penasaran.
            “Bagaimana? Aku mendengar tangisan bayi! Apakah anakku sudah lahir?!” berondong Justin tak sabaran pada Patricia. Patricia pun tertawa pelan.             “Tenang lah yang mulia. Putera anda sangatlah sehat dan tampan. Sekarang ia sedang berbaring bersama ibunya.” sambil melihat ke ranjang Sherene.
Justin pun mendekati ranjang Sherene dan duduk di tepi ranjang. Sherene tersenyum lembut padanya dan menyerahkan sang bayi untuk ditimang oleh Justin.
“Nama apa yang akan kalian berikan padanya?” tanya Patricia.
Justin dan Sherene pun saling memandang dan tersenyum.
“Javed Pedram Xerxes. Javed berarti ‘abadi’ sebagai lambang cinta kami yang akan abadi untuk selamanya.”
Justin pun menarik Sherene ke dalam ciuman lembut yang panjang. “Aku mencintaimu.”




3 komentar:

  1. Tadinya marah banget waktu justin nganiaya sherene.. tapi ya mau gmna lagi., jodoh mah gak lari kmna.. heheeh
    Ceritanya seru banget.. gak ketebak jalannya..
    Ditunggu cerita lainnya

    BalasHapus
  2. Tadinya marah banget waktu justin nganiaya sherene.. tapi ya mau gmna lagi., jodoh mah gak lari kmna.. heheeh
    Ceritanya seru banget.. gak ketebak jalannya..
    Ditunggu cerita lainnya

    BalasHapus
  3. Kereeennnn....my favorit story nih...:D

    BalasHapus