Selasa, 06 Agustus 2013

Touching Fire Bab 4


*Aaron Bieber POV*

            Ya Tuhan, ampuni aku karena telah memanfaatkan wanita ini. Terlebih lagi aku sedang sangat bernafsu sekarang. Maafkan aku, Alice. Aku tidak bermaksud melakukan ini padamu tapi aku harus melakukan ini. Bibirku terus memagut bibirnya, mencoba untuk mempermainkan mulutnya. Aku harus tidur dengannya malam ini. Aku bisa memaksanya. Karena aku yakin ia tidak berani untuk melakukan hal ini. Demi apa pun, aku sangat bernafsu karena Laura. Aku butuh pelepasan sekarang. Perlahan-lahan aku menarik ujung kaos putih yang ia pakai. Sungguh, aku hampir gila karena mengetahui dirinya memakai pakaian yang tipis dengan bra hitam yang terlihat dari pakaiannya yang tembus pandang. Awalnya mata Alice terpejam namun ia menarik kepalanya dari kepalaku, bibir kami berpisah begitu saja.
            “Apa yang ingin kaulakukan?” tanyanya bingung sambil tangannya memegang tanganku yang berniat untuk membuka pakaiannya. Terlihat sekali ia tidak menyukai ini. Tapi dia telah menandatangani surat perjanjian itu! Ia harus menanggung resikonya. Ia harus melakukan apa yang kukatakan padanya. Jika aku ingin tidur dengannya, maka itu harus terjadi!
            “Aku ingin menidurimu,”
            “Tidak!”                                         
            “Mengapa?” aku bertanya dengan nada yang tegas, lalu ia berdiri. Menjauh dariku. Aku ikut berdiri, melihatnya yang melipat tangannya lalu ia berjalan mondar-mandir di depan lemari pakaianku. Lalu ia mengangkat kedua bahunya, ia merasa ragu. Aku tidak akan menyakitinya selama ia tidak menentangku.
            “Aku pikir kau akan melindungiku tapi kau ingin meniduriku. Mengapa? Aku tidak ingin berhubungan badan sebelum aku menikah,”
            “Pft, kau masih percaya itu? Alice! Aku di sini berusaha untuk menjadikanmu sebagai seorang wanita yang dewasa,” ujarku, hampir membentak. Apa dia serius? Dia masih kecil! Grace bahkan sudah tidak perawan lagi. Namun dia? Aku tahu dengan adanya aku dalam kehidupannya, aku akan merusak kehidupannya dengan kebahagiaan yang kuberikan. Setidaknya, aku memberikannya kebahagiaan sebelum ia mendapati dirinya sendiri sedang berada dalam kepahitan. Kulangkahkan kakiku untuk mendekatinya, ia tidak berusaha untuk menjauh dariku namun tatapan matanya berhati-hati. Lalu tanganku menyentuh pundaknya dengan lembut. “Alice, sayangku? Kau percaya padaku? Aku tidak akan menyakitimu selama kau tidak memintanya,”
            “Aku tidak akan pernah meminta kau menyakitiku,”
            “Tapi kau baru saja memintanya, sayang, jangan buat aku marah seperti ini. Penuhi kebutuhanku, kumohon?” rayuku padanya dengan nada suara yang lembut. Tanganku yang lain mulai menyentuh pipinya yang putih nan lembut. Oh sial! Tidak, jangan sekarang Aaron! Tahan dirimu! Jangan sakiti dirinya, ia hanya belum terbiasa dengan ini. Tarik nafasmu dalam-dalam! Suara hatiku berteriak, kemudian aku menarik nafasku. Kali ini aku menatapnya dengan tatapan lembut.
            “Tidak,” bisiknya.
            “Mengapa? Kita sudah menjadi sepasang kekasih, percaya padaku Alice. Kau akan menyukainya. Bahkan mungkin kau akan bersungut-sungut padaku untuk melakukannya kembali,”
            “Tidak,” kali ini suaranya lebih besar.
            “Alice? Tolong jangan buat aku memaksamu dengan cara yang kasar,”
            “Tidak, Aaron. Kumohon, ini benar-benar salah,” Alice menggeleng-gelengkan kepalanya. Baiklah! Kesabaranku telah habis. Gadis ini benar-benar menguji kesabaranku. Bibirnya menjadi sebuah garis lurus yang tegang, aku meremas pundaknya. Waktunya untuk menghukum gadis ini.
            “Kau yang membuatku ingin menyakitimu, Alice. Jadi ini adalah pertanyaan terakhir. Lakukan atau aku memaksa?”
            “Tidak!” ia mulai memberontak. Aku tertawa, tanganku memegang lengannya dengan erat sekarang. “Apa yang kaulakukan Aaron?”
            “Perjanjian adalah perjanjian, sayang,”
            “Kau berjanji untuk tidak menyakitiku dan melindungiku!”
            “Tapi aku tidak berjanji untuk tidak menyakitimu saat kau tidak memenuhi apa yang kubutuhkan.” Aku menyeringai. “Aaron!” ia berteriak, tak percaya. Matanya membulat.
            Aku jahat. Dan aku bangga. Seringaiku kembali muncul.

***

            Menjadi seorang lelaki yang jahat, aku memiliki begitu banyak keuntungan dari sana. Hanya dengan lelaki yang pendiam dan berwibawa lalu menatap gadis-gadis dengan tatapan menggoda, mereka akan mendatangiku. Mereka memang belum melihat sisi kegilaanku. Sama seperti saat Kath mencintaiku, ia tunduk padaku. Ayahku bilang padaku kalau seorang lelaki harus dapat menundukan seorang wanita. Aku melakukannya setiap saat. Membuat mereka tunduk padaku sangat mudah. Dan ayahku memberitahu padaku, jika ia menyakitimu, sakiti dia. Aku lebih menyetujui pemikiran ayahku tentang cintanya di masa lalu dibanding bersama dengan Peepee. Cinta itu omong kosong. Mengapa? Karena tidak akan cinta sejati. Kau percaya ayahku dan Peepee adalah cinta sejati? Tidak, itu tidak akan menjadi cinta sejati jika mereka sering sekali bertengkar dengan masalah yang kecil. Aku menyukai Peepee, tapi aku tidak menyukai hubungan antara ayah dan Peepee. Hanya saja, Peepee dapat membuat ayahku lebih hidup. Dan jika cinta itu memang benar-benar nyata, bukan sebuah omong kosong, ayah dan ibu kandungku tidak mungkin akan membuangku. Mereka tidak mencintaiku. Aku tahu Peepee dulu hidup sama sepertiku, tapi aku tidak memiliki pemikiran yang sama dengannya. Ia memaafkan orang tuanya, memang. Tapi aku tidak akan pernah memaafkan orang tuaku. Sama seperti ayahku tidak pernah memaafkan orang tuanya dulu, namun semenjak ia bertemu dengan Peepee, ia memaafkan orang tuanya yang telah meninggal. Aku tidak akan pernah percaya dengan yang namanya cinta jika aku tidak akan pernah bertemu dengan seorang wanita seperti Peepee yang mampu merubah ayahku. Begitu banyak cinta yang terpendam dalam diriku namun aku tidak tahu bagaimana caranya untuk menyalurkannya. Mencintai wanita? Mereka semua hanya membutuhkan tampangku. Tidak ada satu di antara mereka mencintaiku apa adanya. Bagaimana jika aku miskin? Apa mereka masih mencintaiku? Well, aku tidak akan membiarkan diriku menjadi miskin. Dan yeah, aku melantur.
            Menjadi orang jahat, banyak orang yang menakutiku. Menjadi orang jahat, banyak orang yang menunduk padaku. Dan menjadi orang jahat ..banyak orang yang mengakui diriku di dunia ini. Kecuali orang tuaku. Dan sekarang, aku harus membuat Alice mengakui diriku ada di dunia ini sehingga ia dapat tunduk padaku. Pemberontakannya membuatku benar-benar marah. Aku telah mengikatnya di atas tempat tidur, dari tadi ia menangis dan berusaha untuk menarik ikatan tangannya. Ia tampak begitu terbuka dengan kedua tangan yang terbentang lebar. Meski melihatnya menangis itu sama dengan tiap detiknya hatiku meminta maaf padanya. Tapi aku harus masuk ke dalam tubuhnya sekarang. Aku membutuhkan pelepasan.
            “Sudah kuberitahu padamu, Alice, sayang. Dinding kamar ini kedap suara. Tolong jangan membuatku lebih kasar lagi padamu,” aku berusaha lembut. Lututku menyentuh pada ujung tempat tidur lalu aku merangkak untuk menindih tubuhnya yang berada di tengah-tengah tempat tidur. Untunglah aku tidak mengikat kedua kakinya, jika ya, ia akan menjadi sebuah huruf X.
            “Kau telah berjanji Aaron!” teriaknya tak terima.
            “Aku tidak berjanji untuk tidak menyakitimu jika kau tidak memberontak, sayang. Sekarang dengar,” ujarku tegas. Tubuhku telah menindihnya. Sial! Dia terasa begitu panas. Kakinya tak bergerak, biasanya gadis-gadis sepertinya pasti sudah memukul-mukul punggungku dengan kakinya. Tapi ia tidak, mungkin ia tidak berani menyakitiku.
            “Seperti ini perjanjiannya sayang. Kau hanya perlu melakukan apa pun yang kuinginkan, tidak ada pemberontakan. Aku akan melindungimu, jika kau tidak membantah diriku. Kau harus tahu itu, mengapa? Karena tidak akan ada yang menyakitimu selain diriku,” ujarku membuatnya menelan ludah. Matanya tak lepas dari mataku, well, ia memiliki warna mata yang misterius.

*Author POV*

            Aaron menindih tubuh Alice hanya di bagian perutnya saja. Kedua kaki alis mengangkang karena tubuh Aaron yang terselip di antaranya. Kedua tangan Aaron berada di sisi wajah Alice, jarak wajah mereka sungguh dekat. Rambut Aaron yang tadinya basah sekarang telah kering, setelah Aaron berusaha untuk menarik tangan Alice agar diam di tempat tidur, ia tidak memiliki pilihan lain. Selain mengikat tangan Alice. Tangisan Alice mereda saat Aaron telah berkata lembut padanya. Dan ia berpikir kembali, untuk apa ia memberontak? Aaron tentu saja tidak akan lengah. Bodohnya ia tidak membaca surat perjanjian itu terlebih dahulu. Tapi apa daya? Segalanya telah ia tandatangani.
            “Kita akan melakukan ini pelan sekali asal kau tidak memberontak,” bisik Aaron. “Aku akan membuka ikatanmu jika kau tidak membantahku. Mengerti?”
            “Ya,”
            “Gadis manis. Sekarang, jadilah anak yang baik, jangan memberontak. Karena aku akan membuka ikatan tanganmu. Kau ingin aku membuka ikatan tanganmu? Apa itu sakit?”
            “Ya, kumohon. Tanganku sudah sangat sakit,”
            “Apa kau berjanji untuk tidak memberontak?”
            “Ya,”
            “Gadis manis,” puji Aaron kali ini tersenyum. Kemudian dengan cepat Aaron membuka kedua tali yang telah diikat olehnya pada tangan Alice. Kemudian hati Aaron seperti tertusuk begitu banyak jarum, ia tidak pernah merasakan ini. Ia tidak pernah merasa bersalah akan apa yang telah ia perbuat saat ia melihat bilur-bilur di tangan Alice. Tangannya memerah. “Jangan menangis,”
            Namun Aaron menepis perasaan ibanya pada gadis ini. Ia telah menunggu ini sejak tiga puluh menit yang lalu untuk masuk ke dalam tubuh gadis ini dan jika ia membiarkan gadis ini tidak memberikannya pelepasannya, itu sama dengan ia telah membuang-buang waktu. Tangan Alice telah bebas sekarang, namun ia tidak berusaha untuk beranjak dari tempat tidur. Ia tidak ingin Aaron semakin menyakitinya. Ia hanya ingin berjalan bersama dengan Aaron sebagaimana surat perjanjian itu katakan, meski ia tidak mengetahui isinya, namun Aaron telah memberitahunya. Ia hanya perlu tunduk pada Aaron, maka Aaron tidak akan menyakitinya.
            “Sekarang,” desah Aaron kembali menindih tubuh Alice, ia tersenyum puas. “Sekarang, cium aku,” bisik Aaron. Tanpa ragu-ragu, Alice mengangkat kepalanya agar bibirnya menyentuh bibir Aaron. Matanya terpejam, air mata yang asin terasa pada bibir Aaron. Namun Aaron menikmatinya. Mulut mereka saling terbuka serta lidah Aaron mulai menyusup masuk ke dalamnya. Tangan kanan Aaron menopan leher Alice agar ciuman mereka lebih dalam lagi. Untuk yang kedua kalinya, Aaron adalah lelaki yang mencium bibirnya. Tak tahu dari mana asalnya, Alice mulai mengaitkan lidahnya pada lidah Aaron hingga tubuhnya bergetar. Mulut Aaron mulai mengisap bibir atas Alice kemudian bibir bawahnya. Bunyi cepakan dari mulut mereka sangat erotis. Detik demi detik berlalu, Alice mendapati dirinya sedang terbakar oleh api nafsu yang membara. Saat Alice ingin menekankan leher Aaron agar ciumannya lebih dalam lagi, Aaron menarik kepalanya ke atas.
            “Kau sedang menyentuh api sayang,” bisik Aaron, mengecup bibir Alice sekali. “Terasa sangat panas, memang. Kau tidak akan takut padaku, justru kau akan selalu menyalakan api ini agar dirimu terbakar oleh nafsu yang membara,”
            “Mengapa?”
            “Seperti yang kubilang, kau sedang menyentuh api. Kau sedang bergumul dengan api,” Aaron terkekeh namun ia kembali mengecup bibir Alice. Kali ini ia tidak berhenti melumat mulut Alice, ia mengangkat tubuhnya serta punggung Alice. Ia ingin ini berlangsung dengan cepat agar ia cepat pulang sekarang.  Saat Alice telah setengah duduk, ia membuka kaos putih tipi situ dari tubuh Alice lalu menyentuh punggungnya kembali, namun kali ini telanjang. “Kurasa kau harus memiliki tattoo di pinggangmu, Touching Fire,” bisik Aaron menggoda Alice lalu kembali mengecup dan menjatuhkan Alice ke atas tempat tidur kembali. Aaron tertawa-tawa sambil tangan kirinya meremas dada Alice yang bisa dibilang berukuran besar. Kemudian Aaron menurunkan cup bra sehingga dada Alice telah terekspos.
            “Oh sial, sayang. Kau memiliki warna merah muda, aku menyukainya,” jantung Aaron berdetak kencang saat sesuatu yang ia sukai telah ada untuknya dalam jangka waktu yang lama. Langsung saja mulut Aaron menangkup puting manis itu dengan lahapnya. “Mmm,”
            “Ah! Oh, Aaron,” jeritan Alice melengking, untuk yang pertama kalinya seseorang telah menyentuh dirinya. Rasanya benar-benar menggetarkan tubuhnya. Sesuatu yang tidak biasa dalam dirinya tiba-tiba saja membangkitkan dirinya untuk melakukan sesuatu yang lebih. Ia ingin mengeluarkan sesuatu yang bahkan ia sendiri tak tahu apa itu. Dirinya telah terjebak dalam kenikmatan yang diberikan oleh si api. Kembali lagi Aaron benar, ia telah membakar Alice dalam nafsu.
            “Oh, lihat ini. Puting mungil yang lucu dan manis, mmm, aku menyukainya,” desah Aaron mengecup-kecup ujung putingnya yang telah mengeras. Kedua tangan Alice telah berada di pundak Aaron, ia tidak tahan akan kenikmatan yang diberikan oleh Aaron. Sehingga ia meremas pundak Aaron yang telanjang, untunglah ia tidak memiliki kuku yang panjang. Dan sial! Aaron tidak memiliki banyak waktu. Setelah bermain-main dengan dada gadis belia ini, tubuh Aaron turun. Berniat untuk melepaskan celana jinsnya. Jari-jari Aaron dengan terampil membuka retsleting Alice dengan pelan, begitu juga dengan kancingnya. Tak ingin ambil waktu lama, dengan cepat Aaron melepaskan celana jins itu dari pada kaki Alice. “Whoa,”
            Aaron mendengus saat sebuah celana dalam segitiga berwarna putih sedang menutupi sesuatu yang akan ia masuki sebentar lagi. Oh, lihat itu. Celana dalamnya telah basah karena cairan nafsunya sendiri. Aaron kemudian menempatkan kepalanya di antara kedua kaki Alice, kemudian kaki Alice bertumpu pada kedua bahu Aaron. Pertama-tama, Aaron menempatkan hidungnya kepada celana dalam putih itu untuk menghirup aroma nafsu Alice. “Oh!” Alice mendesah tak tahan. Sesuatu sedang memberikannya kenikmatan yang sangat aneh. Sebuah titik sensitifnya baru saja tersentuh.
            “Mmm, kemarilah sayang. Kau harum,” Aaron semakin memperdalam kepalanya di antara bagian bawah Alice. Alice menahan nafasnya, oh, ia tidak berani untuk bernafas untuk saat ini. Matanya melihat pada kepala Aaron yang terbenam di bawah sana. Kedua kakinya telah ditahan oleh Aaron di pundak Aaron sendiri. Kemudian ia menjerit tak tahan. Ah! Sial! Mengapa Aaron mengeluarkan lidahnya?
            “Tidak, Aaron,”Alice mulai membangkitkan tubuhnya. Ia mendorong kepala Aaron dengan cepat. “Tidak Aaron, kumohon,”
            “Oh, lihatlah gadis mungil sepertimu. Sungguh tak sabaran dan serakah, persiapkan dirimu sebaik mungkin baby,” ujar Aaron menurunkan kedua kaki Alice dari pundaknya. Aaron turun dari tempat tidurnya untuk mengambil sebuah kondom di dalam  celana jins yang ia taruh di atas kursi. Kemudian dengan cepat ia membuka celana boxernya dan memakai kondom yang telah ia keluarkan dari tempatnya. Mata Alice membulat saat matanya untuk yang pertama kalinya melihat ereksi dari Aaron yang sangat besar. Mungkin sebesar tangannya, mungkin. Tapi itu luar biasa besar. Tidak mungkin itu dapat masuk ke dalam miliknya yang kecil. Tidak mungkin.
            “Tidak Aaron,” bisik Alice, menolak. Ia takut.
            “Apa?” Aaron bertanya sambil merangkak ke atas tempat tidur, kemudian membuka celana dalam Alice. Dan sial! Milik Alice benar-benar seperti pantat bayi yang mulus. Aaron melempar celana dalam Alice ke segala arah kemudian menindih tubuh Alice. “Lihatlah dirimu. Tak sabaran. Bernafsu, dan milikmu. Aku menyukainya, kau tahu, oh yes,” Aaron berbisik saat ereksinya yang licin akibat cairan dari kondomnya itu menyentuh belahan milik Alice.
            “Oh Aaron! Bagaimana jika itu sangat sakit?”
            “Semua orang memang berkata seperti itu, dan ya ah! Oh yes, baby. Memang awalnya akan sakit tapi pada akhirnya kau akan menikmatinya,” ujar Aaron berusaha untuk memasuki tubuh Alice. “Hold on, baby! Oh yes! Oh, shit! Fuck!” Aaron terus mengerang saat ereksinya berusaha masuk ke dalam tubuh Alice. Alice memejamkan matanya sambil menjerit penuh dengan kesakitan yang tiada tara, ia meremas sprei dengan erat. Menahan rasa sakit yang luar biasa.
            “Oh Aaron! Berhenti! Keluarkan sekarang!”
            “No baby! Oooh, fuck! Damn! Ah!” dorongan terakhir membuat teriakan Aaron membesar. Kemudian mereka berhenti sejenak. Alice berusaha mencari nafasnya kembali, sebuah barang telah masuk ke dalam tubuhnya. Barang asing yang benar-benar menyakitkan. Aaron juga berusaha mengambil nafasnya. Gadis ini memiliki bagian bawah yang benar-benar sempit. Bahkan miliknya seperti diremas-remas oleh tubuh Alice. Tanpa berpikir panjang, Aaron mulai menggerakan tubuhnya.
            “Oh! Aaron!”


***

*Aaron Bieber POV*

            Kakiku berlari saat aku mendengar suara jeritan dari Peepee dari dalam rumah. Sontak aku melepaskan pegangan tanganku dari Alice, berlari sekencang mungkin untuk masuk ke dalam rumah. Apa yang terjadi? Sial! Jangan bilang ayahku menyakiti Peepee. Aku lebih menyayangi Peepee dibanding ayahku sendiri. Meski pikiranku dengan ayah sejalan, tapi Peepee lebih berharga. Kubuka pintu rumah lalu berlari menuju ruang keluarga. Kudengar suara Mozzy dan Moon yang berteriak, saat di ruang tamu aku melihat Jonathan yang tengkurap di atas sofa sambil kepalanya ditutupi oleh bantal sofa yang besar. Merasa sangat khawatir, aku masuk ke dalam ruang keluarga. Kemudian aku mendapati Mozzy dan Moon yang berpelukan di atas sofa keluarga dengan raut wajah ketakutan.
            “Aku sudah bilang padamu untuk tidak berbicara dengannya lagi! Tapi mengapa kau selalu membantah? Aku lelah memperingatimu! Karena kau, dia menggodamu! Kau pikir aku tidak melihatnya tadi siang? Ia melihatmu seperti kau akan ditiduri olehnya!” kudengar ayahku berteriak. Lalu mataku berpindah melihat pada ayahku yang berniat untuk memukul ibuku. Peepee tersudut di sebuah lemari kaca. Saat aku ingin menarik tangannya, ia sudah telanjur menampar ibuku.
            “Dad! Apa yang kaulakukan?” teriakku berjalan cepat ke arahnya, menarik tangannya untuk menjauh ibuku. “Damn! Apa yang sedang kaupikirkan?”
            “Tidak! Aaron!” teriak Moon saat aku mendorong tubuh ayahku ke atas lantai. Aku pernah berjanji pada diriku sendiri, jika ayahku memukul ibuku, maka aku yang akan membereskan masalah ini dengan cara memukulnya hingga ia mengaku salah. Tentu saja ayahku yang bersalah! Ia tidak pernah berpikir positif pada ibuku. Aku tahu ibuku tidak akan melakukan hal yang tidak ingin ayahku inginkan, ia seorang ibu yang ideal. Yang bermasalah di keluarga ini adalah ayahku dan aku sendiri.
            “Mengapa. Kau. Memukulnya? Shit!” aku meninju pipi ayahku terus menerus. Bayang-bayang ayahku memukul ibuku tadi benar-benar membuatku marah padanya. Ditambah lagi, dimana Grace? Bloody hell! Aku benci keadaan seperti ini. “Mengapa?” aku berteriak, menarik kaos hitam yang ayahku pakai.
            “Peepee!” kudengar suara Moon dan Mozzy yang memohon padaku untuk tidak memukul ayah mereka. Sial! “Jangan pukul ayahku, kumohon,” Moon turun dari sofa, aku dapat melihatnya dari ekor mataku. Kemudian ia berjalan ke arahku dan tangan mungilnya menyentuh tanganku yang berniat untuk memukulnya. Lalu tanganku yang memegang kaos ayahku melepaskan bajunya hingga ia tergeletak ke atas karpet. Kudengar ayahku mengerang.
            “Shut up!”
            “Daddy,” Mozzy dan Moon mendekati ayahku lalu menyentuh wajahnya yang telah memar akibat pukulanku. Tadi adalah kejadian yang cepat. Aku bangkit kemudian membalikan tubuhku untuk melihat ibuku yang masih tersungkur di sudut lemari kaca dengan bibir yang berdarah. Oh, apa yang ayahku sedang pikirkan tadi? Inilah mengapa aku tidak percaya dengan yang namanya cinta. Cinta tidak saling menyakiti. Kudekati ibuku, matanya terpejam dengan isak tangis yang terdengar sampai ke telingaku.
            “Mom, are you alright?”
            “Jangan pukul ayahmu,” bisiknya. Bagaimana mungkin aku tidak memukul ayahku sedangkan kau saja terpukul? Bodoh! Aku benci saat ibuku selalu memaafkan ayahku. Aku tidak menjawabnya, aku langsung menggendongnya untuk masuk ke dalam kamar. Sebenarnya, apa permasalahan mereka? Tapi aku akan menanyakannya besok. Aku harus menghubungi Grace. Kemana gadis ini pergi, sudah jam 9 malam dan ia belum pulang juga. Sial, apa ia menjenguk Blake? Kuharap tidak. Blake adalah orang hina, ia tidak patut untuk didatangi oleh Grace. Aku meninggalkan ayahku yang masih terbaring di atas karpet, dikerubungi oleh tiga anaknya yang masih kecil. Ia tampak bodoh di sana. Pasti ia mabuk, aku dapat mencium aroma bir dari mulutnya tadi. Sial. Kulewati setiap anak tangga sambil menggendong ibuku menuju kamarnya. Bersusah payah, aku membuka knop pintu lalu masuk ke dalam kamarnya. Kubaringkan tubuh ibuku dengan penuh kelembutan agar ia tidak terkejut ke atas tempat tidur. Ia masih dalam isak tangisnya.
            “Dimana Grace?” tanya Peepee, dengan suaranya yang serak.
            “Aku tidak tahu, aku akan menghubunginya. Apa yang terjadi?”
            “Tidak, itu bukan masalah besar,”
            “Aku benci saat kau selalu memaafkannya. Ia salah dan kau selalu memaafkannya. Mengapa?” tanyaku bingung dengannya yang memiliki hati yang sangat rendah hati.
            “Karena Tuhan selalu memaafkan setiap kesalahan yang telah kuperbuat.” Jantungku berhenti berdetak.

***
            Peepee telah tertidur dengan nyenyak setelah aku membersihkan luka di ujung bibirnya. Apa ayahku tidak sadar ia baru saja memukul istrinya? Entah mengapa semakin lama aku kesal dengan Peepee yang selalu memaafkan ayah. Seharusnya ia pisah ranjang untuk sementara waktu agar ayahku tahu bagaimana rasanya ditinggalkan oleh seseorang yang disayang. Saat aku sampai di ruang keluarga, Alice sedang mendengarkan keluhan dari ayahku di ruang keluarga bersama dengan Moon dan Mozzy yang tertidur tengkurap di atas tubuh ayahku yang besar. Jonathan hanya meringkuk di sebelah ayahku, memejamkan matanya. Seharusnya sekarang mereka tertidur. Mata ayahku membesar saat aku melihatnya. Ternyata aku tahu mengapa ayahku memukul ibuku. Zayn. Itu karena paman Zayn. Yeah, dulu paman Zayn adalah sahabat ayahku, namun ayahku yang selalu berpikiran negatif mengira Zayn akan merebut ibuku darinya. Padahal kenyataannya tidak. Paman Zayn sangat baik padaku, malah ia sering mengajak Grace dan tiga adikku yang lain berjalan-jalan.
            Tapi aku sedang tidak ingin berbicara dengan ayahku. Aku telah mendengar cerita versi ibuku, mungkin tengah malam aku akan bertanya cerita versi ayahku. Sekarang aku ingin mencari Grace terlebih dahulu. Mengapa ia belum pulang juga? Kukeluarkan ponselku lalu menghubungi Grace, Bluetoothku langsung tersambung dengan ponselnya. Satu nada, dua nada. Belum diangkat. Lalu diangkat.
            “Dimana kau?” tanyaku langsung.
            “Ak-aku akan segera pulang,” kudengar suaranya yang parau. Apa dia baik-baik saja?
            “Ada apa? Apa kau baik-baik saja?” aku bertanya dengan was-was. Jantungku berdetak dengan kencang. “Grace!” aku berteriak kali ini.
            “Aku sedang bersama ..Blake. Kumohon jangan jemput aku, aku akan pulang sendiri,” ujarnya memohon. Namun terlambat. Aku tidak akan membiarkannya terus berlama-lama di rumah sakit itu. Blake tidak membutuhkan perhatian dari Grace, ia telah memperkosa adikku. Ia layak mendapatkan apa yang telah kuperbuat padanya. Tapi sial, semakin lama aku semakin membenci orang baik. Mereka terlalu bodoh untuk dimanfaatkan. Kakiku melangkah keluar dari rumah untuk pergi ke rumah sakit. Aku tidak peduli jika aku harus menyeret Grace dari rumah sakit, asal saja ia keluar dari sana.

***

            Air matanya terus mengalir di pipi saat kami sedang berada dalam perjalanan untuk pulang. Aku memergokinya mencium lelaki itu saat aku membuka pintu ruang rawatnya. Sialnya, tepat di bibirnya. Rasanya aku tak kuasa menahan rasa cemburuku saat melihatnya. Oh, Tuhan. Mengapa aku bisa menumbuhkan rasa cinta ini pada adikku sendiri? Ini rasanya tidak masuk akal. Apa aku terlalu terobsesi pada Peepee sehingga Grace, yang memiliki paras cantik seperti Peepee membuatku jatuh cinta padanya? Ini semua karena Peepee. Karena ia adalah seorang ibu pertama yang kusayangi, aku mempunyai obsesi untuk mendapatkan istri yang sama sepertinya. Dan hebatnya Grace, adikku sendiri, ia memiliki sifat yang sama seperti ibuku. Itu semakin meyakinkan diriku kalau aku mencintainya. Namun rasanya sangat tak mungkin jika aku mengutarakan perasaan ini padanya. Ini adalah percintaan yang rumit. Maka dari itu aku membutuhkan Alice yang kurasa, ia memiliki sifat yang sama seperti Peepee, sebagai pengganti Grace. Tapi ia terlalu alim, tidak begitu mirip dengan Peepee. Tapi masa bodoh! Aku tidak peduli, setidaknya ia memiliki tubuh yang indah dan memiliki bagian yang sangat kusuka, yeah, dadanya. Aku menyukai dadanya. Oh, Tuhan. Mengapa rasanya aku selalu ingin memikirkan bagaimana bentuk tubuh Grace dalam keadaan tanpa busana? Ini terdengar menjijikan, tapi aku mencintainya. Aku juga ingin melihat tubuhnya, sama seperti Blake menyentuh tubuhnya. Semakin lama tangisan Grace semakin surut, isakan tangisnya mulai terdengar. Dari tadi aku mengabaikan celotehannya tentang Blake, aku ingin menampar mulutnya. Andai ia tahu aku mencintainya, mungkin ia berhenti berbicara tentang Blake. Telingaku rasanya panas sekali. Untunglah mulutnya yang seksi itu berhenti berbicara.
            “Sekarang aku bertanya. Mengapa kau masih peduli dengan lelaki sepertinya? Terakhir kau menemuinya, ia memarahimu. Kau tahu itu, ia tidak mempunyai berhak atas dirimu. Kau bukan miliknya,” aku berbicara dengan nada suara yang dingin, datar.

*Author POV*

            Grace tertegun. Ia tak cukup umur untuk menjawabnya. Ia belum memiliki pemikiran sedewasa kakaknya. Jari-jarinya bermain tak menentu, ia tahu seharusnya ia mendengarkan perkataan kakaknya. Grace mencintai Blake. Mengapa kakaknya dengan teganya mencelakai kekasihnya? Rasanya ia ingin membalas dendam pada kakaknya. Tapi sayang, kakanya tidak memiliki kekasih. Jika ya, sudah pasti ia akan membalas dendam. Namun dengan cara yang lebih menyakitkan. Bukan secara fisik namun batin. Lalu ia teringat dengan Alice, ia merasa Alice adalah kekasih kakaknya. Meski Alice mengaku kalau ia hanya seorang perawat adik-adiknya. Namun Grace percaya pasti Alice adalah kekasih kakaknya.
            “Aku tidak tahu,” bisik Grace beberapa menit kemudian. “Apa kau dan Alice sedang berpacaran?” Grace mengalihkan topik pembicaraan. Mendengar pertanyaan Grace yang aneh membuat Aaron menolehkan kepalanya pada Grace. 
            “Ya, mengapa?”
            “Apa kau mencintainya?” pertanyaan itu cukup membuat Aaron terkejut. Apa-apaan? Namun Aaron tidak menjawabnya. “Jawab aku,”
            “Untuk apa aku berpacaran jika aku tidak mencintainya?” Aaron bertanya balik, kemudian Grace tersenyum padanya. Senyuman itu memiliki maksud tertentu, namun Aaron tidak tahu apa yang dimaksud oleh Grace. Tiba-tiba saja Grace menyandarkan kepalanya pada bahu Aaron.
            “Kau tahu, kau benar,” bisik Grace, menyeka hidungnya yang masih basah. “Mungkin aku memang harus menjauhi Blake. Well, aku harus belajar percintaan dari kakakku terlebih dahulu, kurasa,”
            “Mmm, yeah. Kurasa juga begitu. Apa yang kauinginkan?” tanya Aaron, hati Aaron tiba-tiba saja merasa hangat saat adiknya akhirnya mendengar perkataannya. Setidaknya, sudah tidak ada lagi yang Aaron takutkan terhadap Grace. Well, Grace telah memikirkan langkah pertamanya untuk membalas dendam. Mungkin dengan pergi berjalan-jalan untuk beberapa hari bersama dengan keluarga keluar negeri akan menyenangkan.
            “Bagaimana jika kita pergi ke luar negeri? Well, kurasa kita bisa meminta izin untuk tidak masuk sekolah dan bekerja. Bagaimana dengan itu?” tanya Grace, merayu kakaknya. Dari samping tubuh Aaron, Grace dapat mendengar suara senyum dari Aaron. Oh ini akan berhasil! Grace berujar dalam hati.
            “Kau ingin kemana?”
            “Paris?”

            “Tentu saja.” Aaron mudah sekali terayu oleh gadis yang ia cintai. Well, Aaron akan melakukan apa saja untuk membahagiakan gadis yang ia cintai. Meski percintaan ini adalah percintaan terlarang. Namun, apa yang bisa menahan perasaan yang menggebu-gebu seperti Aaron?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar