*Aaron Bieber POV*
Ya
Tuhan, ampuni aku karena telah memanfaatkan wanita ini. Terlebih lagi aku
sedang sangat bernafsu sekarang. Maafkan aku, Alice. Aku tidak bermaksud
melakukan ini padamu tapi aku harus melakukan ini. Bibirku terus memagut
bibirnya, mencoba untuk mempermainkan mulutnya. Aku harus tidur dengannya malam
ini. Aku bisa memaksanya. Karena aku yakin ia tidak berani untuk melakukan hal
ini. Demi apa pun, aku sangat bernafsu karena Laura. Aku butuh pelepasan
sekarang. Perlahan-lahan aku menarik ujung kaos putih yang ia pakai. Sungguh,
aku hampir gila karena mengetahui dirinya memakai pakaian yang tipis dengan bra
hitam yang terlihat dari pakaiannya yang tembus pandang. Awalnya mata Alice
terpejam namun ia menarik kepalanya dari kepalaku, bibir kami berpisah begitu
saja.
“Apa
yang ingin kaulakukan?” tanyanya bingung sambil tangannya memegang tanganku
yang berniat untuk membuka pakaiannya. Terlihat sekali ia tidak menyukai ini.
Tapi dia telah menandatangani surat perjanjian itu! Ia harus menanggung
resikonya. Ia harus melakukan apa yang kukatakan padanya. Jika aku ingin tidur dengannya,
maka itu harus terjadi!
“Aku
ingin menidurimu,”
“Tidak!”
“Mengapa?”
aku bertanya dengan nada yang tegas, lalu ia berdiri. Menjauh dariku. Aku ikut
berdiri, melihatnya yang melipat tangannya lalu ia berjalan mondar-mandir di
depan lemari pakaianku. Lalu ia mengangkat kedua bahunya, ia merasa ragu. Aku
tidak akan menyakitinya selama ia tidak menentangku.
“Aku
pikir kau akan melindungiku tapi kau ingin meniduriku. Mengapa? Aku tidak ingin
berhubungan badan sebelum aku menikah,”
“Pft,
kau masih percaya itu? Alice! Aku di sini berusaha untuk menjadikanmu sebagai
seorang wanita yang dewasa,” ujarku, hampir membentak. Apa dia serius? Dia
masih kecil! Grace bahkan sudah tidak perawan lagi. Namun dia? Aku tahu dengan
adanya aku dalam kehidupannya, aku akan merusak kehidupannya dengan kebahagiaan
yang kuberikan. Setidaknya, aku memberikannya kebahagiaan sebelum ia mendapati
dirinya sendiri sedang berada dalam kepahitan. Kulangkahkan kakiku untuk
mendekatinya, ia tidak berusaha untuk menjauh dariku namun tatapan matanya
berhati-hati. Lalu tanganku menyentuh pundaknya dengan lembut. “Alice,
sayangku? Kau percaya padaku? Aku tidak akan menyakitimu selama kau tidak
memintanya,”
“Aku
tidak akan pernah meminta kau menyakitiku,”
“Tapi
kau baru saja memintanya, sayang, jangan buat aku marah seperti ini. Penuhi
kebutuhanku, kumohon?” rayuku padanya dengan nada suara yang lembut. Tanganku
yang lain mulai menyentuh pipinya yang putih nan lembut. Oh sial! Tidak, jangan
sekarang Aaron! Tahan dirimu! Jangan sakiti dirinya, ia hanya belum terbiasa
dengan ini. Tarik nafasmu dalam-dalam! Suara hatiku berteriak, kemudian aku
menarik nafasku. Kali ini aku menatapnya dengan tatapan lembut.
“Tidak,”
bisiknya.
“Mengapa?
Kita sudah menjadi sepasang kekasih, percaya padaku Alice. Kau akan
menyukainya. Bahkan mungkin kau akan bersungut-sungut padaku untuk melakukannya
kembali,”
“Tidak,”
kali ini suaranya lebih besar.
“Alice?
Tolong jangan buat aku memaksamu dengan cara yang kasar,”
“Tidak,
Aaron. Kumohon, ini benar-benar salah,” Alice menggeleng-gelengkan kepalanya.
Baiklah! Kesabaranku telah habis. Gadis ini benar-benar menguji kesabaranku.
Bibirnya menjadi sebuah garis lurus yang tegang, aku meremas pundaknya.
Waktunya untuk menghukum gadis ini.
“Kau
yang membuatku ingin menyakitimu, Alice. Jadi ini adalah pertanyaan terakhir.
Lakukan atau aku memaksa?”
“Tidak!”
ia mulai memberontak. Aku tertawa, tanganku memegang lengannya dengan erat
sekarang. “Apa yang kaulakukan Aaron?”
“Perjanjian
adalah perjanjian, sayang,”
“Kau
berjanji untuk tidak menyakitiku dan melindungiku!”
“Tapi
aku tidak berjanji untuk tidak menyakitimu saat kau tidak memenuhi apa yang
kubutuhkan.” Aku menyeringai. “Aaron!” ia berteriak, tak percaya. Matanya membulat.
Aku
jahat. Dan aku bangga. Seringaiku kembali muncul.
***
Menjadi
seorang lelaki yang jahat, aku memiliki begitu banyak keuntungan dari sana.
Hanya dengan lelaki yang pendiam dan berwibawa lalu menatap gadis-gadis dengan
tatapan menggoda, mereka akan mendatangiku. Mereka memang belum melihat sisi
kegilaanku. Sama seperti saat Kath mencintaiku, ia tunduk padaku. Ayahku bilang
padaku kalau seorang lelaki harus dapat menundukan seorang wanita. Aku
melakukannya setiap saat. Membuat mereka tunduk padaku sangat mudah. Dan ayahku
memberitahu padaku, jika ia menyakitimu, sakiti dia. Aku lebih menyetujui
pemikiran ayahku tentang cintanya di masa lalu dibanding bersama dengan Peepee.
Cinta itu omong kosong. Mengapa? Karena tidak akan cinta sejati. Kau percaya
ayahku dan Peepee adalah cinta sejati? Tidak, itu tidak akan menjadi cinta
sejati jika mereka sering sekali bertengkar dengan masalah yang kecil. Aku
menyukai Peepee, tapi aku tidak menyukai hubungan antara ayah dan Peepee. Hanya
saja, Peepee dapat membuat ayahku lebih hidup. Dan jika cinta itu memang
benar-benar nyata, bukan sebuah omong kosong, ayah dan ibu kandungku tidak
mungkin akan membuangku. Mereka tidak mencintaiku. Aku tahu Peepee dulu hidup
sama sepertiku, tapi aku tidak memiliki pemikiran yang sama dengannya. Ia
memaafkan orang tuanya, memang. Tapi aku tidak akan pernah memaafkan orang
tuaku. Sama seperti ayahku tidak pernah memaafkan orang tuanya dulu, namun
semenjak ia bertemu dengan Peepee, ia memaafkan orang tuanya yang telah
meninggal. Aku tidak akan pernah percaya dengan yang namanya cinta jika aku
tidak akan pernah bertemu dengan seorang wanita seperti Peepee yang mampu
merubah ayahku. Begitu banyak cinta yang terpendam dalam diriku namun aku tidak
tahu bagaimana caranya untuk menyalurkannya. Mencintai wanita? Mereka semua
hanya membutuhkan tampangku. Tidak ada satu di antara mereka mencintaiku apa
adanya. Bagaimana jika aku miskin? Apa mereka masih mencintaiku? Well, aku
tidak akan membiarkan diriku menjadi miskin. Dan yeah, aku melantur.
Menjadi
orang jahat, banyak orang yang menakutiku. Menjadi orang jahat, banyak orang
yang menunduk padaku. Dan menjadi orang jahat ..banyak orang yang mengakui
diriku di dunia ini. Kecuali orang tuaku. Dan sekarang, aku harus membuat Alice
mengakui diriku ada di dunia ini sehingga ia dapat tunduk padaku.
Pemberontakannya membuatku benar-benar marah. Aku telah mengikatnya di atas
tempat tidur, dari tadi ia menangis dan berusaha untuk menarik ikatan
tangannya. Ia tampak begitu terbuka dengan kedua tangan yang terbentang lebar.
Meski melihatnya menangis itu sama dengan tiap detiknya hatiku meminta maaf
padanya. Tapi aku harus masuk ke dalam tubuhnya sekarang. Aku membutuhkan
pelepasan.
“Sudah
kuberitahu padamu, Alice, sayang. Dinding kamar ini kedap suara. Tolong jangan
membuatku lebih kasar lagi padamu,” aku berusaha lembut. Lututku menyentuh pada
ujung tempat tidur lalu aku merangkak untuk menindih tubuhnya yang berada di
tengah-tengah tempat tidur. Untunglah aku tidak mengikat kedua kakinya, jika
ya, ia akan menjadi sebuah huruf X.
“Kau
telah berjanji Aaron!” teriaknya tak terima.
“Aku
tidak berjanji untuk tidak menyakitimu jika kau tidak memberontak, sayang.
Sekarang dengar,” ujarku tegas. Tubuhku telah menindihnya. Sial! Dia terasa
begitu panas. Kakinya tak bergerak, biasanya gadis-gadis sepertinya pasti sudah
memukul-mukul punggungku dengan kakinya. Tapi ia tidak, mungkin ia tidak berani
menyakitiku.
“Seperti
ini perjanjiannya sayang. Kau hanya perlu melakukan apa pun yang kuinginkan,
tidak ada pemberontakan. Aku akan melindungimu, jika kau tidak membantah
diriku. Kau harus tahu itu, mengapa? Karena tidak akan ada yang menyakitimu
selain diriku,” ujarku membuatnya menelan ludah. Matanya tak lepas dari mataku,
well, ia memiliki warna mata yang misterius.
*Author POV*
Aaron
menindih tubuh Alice hanya di bagian perutnya saja. Kedua kaki alis mengangkang
karena tubuh Aaron yang terselip di antaranya. Kedua tangan Aaron berada di
sisi wajah Alice, jarak wajah mereka sungguh dekat. Rambut Aaron yang tadinya
basah sekarang telah kering, setelah Aaron berusaha untuk menarik tangan Alice
agar diam di tempat tidur, ia tidak memiliki pilihan lain. Selain mengikat
tangan Alice. Tangisan Alice mereda saat Aaron telah berkata lembut padanya.
Dan ia berpikir kembali, untuk apa ia memberontak? Aaron tentu saja tidak akan
lengah. Bodohnya ia tidak membaca surat perjanjian itu terlebih dahulu. Tapi
apa daya? Segalanya telah ia tandatangani.
“Kita
akan melakukan ini pelan sekali asal kau tidak memberontak,” bisik Aaron. “Aku
akan membuka ikatanmu jika kau tidak membantahku. Mengerti?”
“Ya,”
“Gadis
manis. Sekarang, jadilah anak yang baik, jangan memberontak. Karena aku akan
membuka ikatan tanganmu. Kau ingin aku membuka ikatan tanganmu? Apa itu sakit?”
“Ya,
kumohon. Tanganku sudah sangat sakit,”
“Apa
kau berjanji untuk tidak memberontak?”
“Ya,”
“Gadis
manis,” puji Aaron kali ini tersenyum. Kemudian dengan cepat Aaron membuka
kedua tali yang telah diikat olehnya pada tangan Alice. Kemudian hati Aaron
seperti tertusuk begitu banyak jarum, ia tidak pernah merasakan ini. Ia tidak
pernah merasa bersalah akan apa yang telah ia perbuat saat ia melihat
bilur-bilur di tangan Alice. Tangannya memerah. “Jangan menangis,”
Namun
Aaron menepis perasaan ibanya pada gadis ini. Ia telah menunggu ini sejak tiga
puluh menit yang lalu untuk masuk ke dalam tubuh gadis ini dan jika ia
membiarkan gadis ini tidak memberikannya pelepasannya, itu sama dengan ia telah
membuang-buang waktu. Tangan Alice telah bebas sekarang, namun ia tidak
berusaha untuk beranjak dari tempat tidur. Ia tidak ingin Aaron semakin
menyakitinya. Ia hanya ingin berjalan bersama dengan Aaron sebagaimana surat
perjanjian itu katakan, meski ia tidak mengetahui isinya, namun Aaron telah
memberitahunya. Ia hanya perlu tunduk pada Aaron, maka Aaron tidak akan
menyakitinya.
“Sekarang,”
desah Aaron kembali menindih tubuh Alice, ia tersenyum puas. “Sekarang, cium
aku,” bisik Aaron. Tanpa ragu-ragu, Alice mengangkat kepalanya agar bibirnya
menyentuh bibir Aaron. Matanya terpejam, air mata yang asin terasa pada bibir
Aaron. Namun Aaron menikmatinya. Mulut mereka saling terbuka serta lidah Aaron
mulai menyusup masuk ke dalamnya. Tangan kanan Aaron menopan leher Alice agar
ciuman mereka lebih dalam lagi. Untuk yang kedua kalinya, Aaron adalah lelaki
yang mencium bibirnya. Tak tahu dari mana asalnya, Alice mulai mengaitkan
lidahnya pada lidah Aaron hingga tubuhnya bergetar. Mulut Aaron mulai mengisap
bibir atas Alice kemudian bibir bawahnya. Bunyi cepakan dari mulut mereka sangat
erotis. Detik demi detik berlalu, Alice mendapati dirinya sedang terbakar oleh
api nafsu yang membara. Saat Alice ingin menekankan leher Aaron agar ciumannya
lebih dalam lagi, Aaron menarik kepalanya ke atas.
“Kau
sedang menyentuh api sayang,” bisik Aaron, mengecup bibir Alice sekali. “Terasa
sangat panas, memang. Kau tidak akan takut padaku, justru kau akan selalu
menyalakan api ini agar dirimu terbakar oleh nafsu yang membara,”
“Mengapa?”
“Seperti
yang kubilang, kau sedang menyentuh api. Kau sedang bergumul dengan api,” Aaron
terkekeh namun ia kembali mengecup bibir Alice. Kali ini ia tidak berhenti
melumat mulut Alice, ia mengangkat tubuhnya serta punggung Alice. Ia ingin ini
berlangsung dengan cepat agar ia cepat pulang sekarang. Saat Alice telah setengah duduk, ia membuka
kaos putih tipi situ dari tubuh Alice lalu menyentuh punggungnya kembali, namun
kali ini telanjang. “Kurasa kau harus memiliki tattoo di pinggangmu, Touching Fire,” bisik Aaron menggoda
Alice lalu kembali mengecup dan menjatuhkan Alice ke atas tempat tidur kembali.
Aaron tertawa-tawa sambil tangan kirinya meremas dada Alice yang bisa dibilang
berukuran besar. Kemudian Aaron menurunkan cup bra sehingga dada Alice telah
terekspos.
“Oh
sial, sayang. Kau memiliki warna merah muda, aku menyukainya,” jantung Aaron
berdetak kencang saat sesuatu yang ia sukai telah ada untuknya dalam jangka
waktu yang lama. Langsung saja mulut Aaron menangkup puting manis itu dengan
lahapnya. “Mmm,”
“Ah!
Oh, Aaron,” jeritan Alice melengking, untuk yang pertama kalinya seseorang
telah menyentuh dirinya. Rasanya benar-benar menggetarkan tubuhnya. Sesuatu
yang tidak biasa dalam dirinya tiba-tiba saja membangkitkan dirinya untuk
melakukan sesuatu yang lebih. Ia ingin mengeluarkan sesuatu yang bahkan ia sendiri
tak tahu apa itu. Dirinya telah terjebak dalam kenikmatan yang diberikan oleh
si api. Kembali lagi Aaron benar, ia telah membakar Alice dalam nafsu.
“Oh,
lihat ini. Puting mungil yang lucu dan manis, mmm, aku menyukainya,” desah
Aaron mengecup-kecup ujung putingnya yang telah mengeras. Kedua tangan Alice
telah berada di pundak Aaron, ia tidak tahan akan kenikmatan yang diberikan
oleh Aaron. Sehingga ia meremas pundak Aaron yang telanjang, untunglah ia tidak
memiliki kuku yang panjang. Dan sial! Aaron tidak memiliki banyak waktu.
Setelah bermain-main dengan dada gadis belia ini, tubuh Aaron turun. Berniat
untuk melepaskan celana jinsnya. Jari-jari Aaron dengan terampil membuka
retsleting Alice dengan pelan, begitu juga dengan kancingnya. Tak ingin ambil waktu
lama, dengan cepat Aaron melepaskan celana jins itu dari pada kaki Alice.
“Whoa,”
Aaron
mendengus saat sebuah celana dalam segitiga berwarna putih sedang menutupi
sesuatu yang akan ia masuki sebentar lagi. Oh, lihat itu. Celana dalamnya telah
basah karena cairan nafsunya sendiri. Aaron kemudian menempatkan kepalanya di
antara kedua kaki Alice, kemudian kaki Alice bertumpu pada kedua bahu Aaron.
Pertama-tama, Aaron menempatkan hidungnya kepada celana dalam putih itu untuk
menghirup aroma nafsu Alice. “Oh!” Alice mendesah tak tahan. Sesuatu sedang
memberikannya kenikmatan yang sangat aneh. Sebuah titik sensitifnya baru saja
tersentuh.
“Mmm,
kemarilah sayang. Kau harum,” Aaron semakin memperdalam kepalanya di antara
bagian bawah Alice. Alice menahan nafasnya, oh, ia tidak berani untuk bernafas
untuk saat ini. Matanya melihat pada kepala Aaron yang terbenam di bawah sana.
Kedua kakinya telah ditahan oleh Aaron di pundak Aaron sendiri. Kemudian ia
menjerit tak tahan. Ah! Sial! Mengapa Aaron mengeluarkan lidahnya?
“Tidak,
Aaron,”Alice mulai membangkitkan tubuhnya. Ia mendorong kepala Aaron dengan
cepat. “Tidak Aaron, kumohon,”
“Oh,
lihatlah gadis mungil sepertimu. Sungguh tak sabaran dan serakah, persiapkan
dirimu sebaik mungkin baby,” ujar Aaron menurunkan kedua kaki Alice dari
pundaknya. Aaron turun dari tempat tidurnya untuk mengambil sebuah kondom di
dalam celana jins yang ia taruh di atas
kursi. Kemudian dengan cepat ia membuka celana boxernya dan memakai kondom yang
telah ia keluarkan dari tempatnya. Mata Alice membulat saat matanya untuk yang
pertama kalinya melihat ereksi dari Aaron yang sangat besar. Mungkin sebesar
tangannya, mungkin. Tapi itu luar biasa besar. Tidak mungkin itu dapat masuk ke
dalam miliknya yang kecil. Tidak mungkin.
“Tidak
Aaron,” bisik Alice, menolak. Ia takut.
“Apa?”
Aaron bertanya sambil merangkak ke atas tempat tidur, kemudian membuka celana
dalam Alice. Dan sial! Milik Alice benar-benar seperti pantat bayi yang mulus.
Aaron melempar celana dalam Alice ke segala arah kemudian menindih tubuh Alice.
“Lihatlah dirimu. Tak sabaran. Bernafsu, dan milikmu. Aku menyukainya, kau
tahu, oh yes,” Aaron berbisik saat ereksinya yang licin akibat cairan dari
kondomnya itu menyentuh belahan milik Alice.
“Oh
Aaron! Bagaimana jika itu sangat sakit?”
“Semua
orang memang berkata seperti itu, dan ya ah! Oh yes, baby. Memang awalnya akan
sakit tapi pada akhirnya kau akan menikmatinya,” ujar Aaron berusaha untuk
memasuki tubuh Alice. “Hold on, baby! Oh yes! Oh, shit! Fuck!” Aaron terus
mengerang saat ereksinya berusaha masuk ke dalam tubuh Alice. Alice memejamkan
matanya sambil menjerit penuh dengan kesakitan yang tiada tara, ia meremas
sprei dengan erat. Menahan rasa sakit yang luar biasa.
“Oh
Aaron! Berhenti! Keluarkan sekarang!”
“No
baby! Oooh, fuck! Damn! Ah!” dorongan terakhir membuat teriakan Aaron membesar.
Kemudian mereka berhenti sejenak. Alice berusaha mencari nafasnya kembali,
sebuah barang telah masuk ke dalam tubuhnya. Barang asing yang benar-benar
menyakitkan. Aaron juga berusaha mengambil nafasnya. Gadis ini memiliki bagian
bawah yang benar-benar sempit. Bahkan miliknya seperti diremas-remas oleh tubuh
Alice. Tanpa berpikir panjang, Aaron mulai menggerakan tubuhnya.
“Oh!
Aaron!”
***
*Aaron Bieber POV*
Kakiku
berlari saat aku mendengar suara jeritan dari Peepee dari dalam rumah. Sontak
aku melepaskan pegangan tanganku dari Alice, berlari sekencang mungkin untuk
masuk ke dalam rumah. Apa yang terjadi? Sial! Jangan bilang ayahku menyakiti
Peepee. Aku lebih menyayangi Peepee dibanding ayahku sendiri. Meski pikiranku
dengan ayah sejalan, tapi Peepee lebih berharga. Kubuka pintu rumah lalu
berlari menuju ruang keluarga. Kudengar suara Mozzy dan Moon yang berteriak,
saat di ruang tamu aku melihat Jonathan yang tengkurap di atas sofa sambil
kepalanya ditutupi oleh bantal sofa yang besar. Merasa sangat khawatir, aku
masuk ke dalam ruang keluarga. Kemudian aku mendapati Mozzy dan Moon yang
berpelukan di atas sofa keluarga dengan raut wajah ketakutan.
“Aku
sudah bilang padamu untuk tidak berbicara dengannya lagi! Tapi mengapa kau
selalu membantah? Aku lelah memperingatimu! Karena kau, dia menggodamu! Kau
pikir aku tidak melihatnya tadi siang? Ia melihatmu seperti kau akan ditiduri
olehnya!” kudengar ayahku berteriak. Lalu mataku berpindah melihat pada ayahku
yang berniat untuk memukul ibuku. Peepee tersudut di sebuah lemari kaca. Saat
aku ingin menarik tangannya, ia sudah telanjur menampar ibuku.
“Dad!
Apa yang kaulakukan?” teriakku berjalan cepat ke arahnya, menarik tangannya
untuk menjauh ibuku. “Damn! Apa yang sedang kaupikirkan?”
“Tidak!
Aaron!” teriak Moon saat aku mendorong tubuh ayahku ke atas lantai. Aku pernah
berjanji pada diriku sendiri, jika ayahku memukul ibuku, maka aku yang akan
membereskan masalah ini dengan cara memukulnya hingga ia mengaku salah. Tentu
saja ayahku yang bersalah! Ia tidak pernah berpikir positif pada ibuku. Aku
tahu ibuku tidak akan melakukan hal yang tidak ingin ayahku inginkan, ia
seorang ibu yang ideal. Yang bermasalah di keluarga ini adalah ayahku dan aku
sendiri.
“Mengapa.
Kau. Memukulnya? Shit!” aku meninju pipi ayahku terus menerus. Bayang-bayang
ayahku memukul ibuku tadi benar-benar membuatku marah padanya. Ditambah lagi,
dimana Grace? Bloody hell! Aku benci keadaan seperti ini. “Mengapa?” aku
berteriak, menarik kaos hitam yang ayahku pakai.
“Peepee!”
kudengar suara Moon dan Mozzy yang memohon padaku untuk tidak memukul ayah
mereka. Sial! “Jangan pukul ayahku, kumohon,” Moon turun dari sofa, aku dapat
melihatnya dari ekor mataku. Kemudian ia berjalan ke arahku dan tangan
mungilnya menyentuh tanganku yang berniat untuk memukulnya. Lalu tanganku yang
memegang kaos ayahku melepaskan bajunya hingga ia tergeletak ke atas karpet. Kudengar
ayahku mengerang.
“Shut
up!”
“Daddy,”
Mozzy dan Moon mendekati ayahku lalu menyentuh wajahnya yang telah memar akibat
pukulanku. Tadi adalah kejadian yang cepat. Aku bangkit kemudian membalikan
tubuhku untuk melihat ibuku yang masih tersungkur di sudut lemari kaca dengan
bibir yang berdarah. Oh, apa yang ayahku sedang pikirkan tadi? Inilah mengapa
aku tidak percaya dengan yang namanya cinta. Cinta tidak saling menyakiti.
Kudekati ibuku, matanya terpejam dengan isak tangis yang terdengar sampai ke
telingaku.
“Mom,
are you alright?”
“Jangan
pukul ayahmu,” bisiknya. Bagaimana mungkin aku tidak memukul ayahku sedangkan
kau saja terpukul? Bodoh! Aku benci saat ibuku selalu memaafkan ayahku. Aku
tidak menjawabnya, aku langsung menggendongnya untuk masuk ke dalam kamar.
Sebenarnya, apa permasalahan mereka? Tapi aku akan menanyakannya besok. Aku
harus menghubungi Grace. Kemana gadis ini pergi, sudah jam 9 malam dan ia belum
pulang juga. Sial, apa ia menjenguk Blake? Kuharap tidak. Blake adalah orang
hina, ia tidak patut untuk didatangi oleh Grace. Aku meninggalkan ayahku yang
masih terbaring di atas karpet, dikerubungi oleh tiga anaknya yang masih kecil.
Ia tampak bodoh di sana. Pasti ia mabuk, aku dapat mencium aroma bir dari
mulutnya tadi. Sial. Kulewati setiap anak tangga sambil menggendong ibuku
menuju kamarnya. Bersusah payah, aku membuka knop pintu lalu masuk ke dalam kamarnya.
Kubaringkan tubuh ibuku dengan penuh kelembutan agar ia tidak terkejut ke atas
tempat tidur. Ia masih dalam isak tangisnya.
“Dimana
Grace?” tanya Peepee, dengan suaranya yang serak.
“Aku
tidak tahu, aku akan menghubunginya. Apa yang terjadi?”
“Tidak,
itu bukan masalah besar,”
“Aku
benci saat kau selalu memaafkannya. Ia salah dan kau selalu memaafkannya.
Mengapa?” tanyaku bingung dengannya yang memiliki hati yang sangat rendah hati.
“Karena
Tuhan selalu memaafkan setiap kesalahan yang telah kuperbuat.” Jantungku
berhenti berdetak.
***
Peepee
telah tertidur dengan nyenyak setelah aku membersihkan luka di ujung bibirnya.
Apa ayahku tidak sadar ia baru saja memukul istrinya? Entah mengapa semakin
lama aku kesal dengan Peepee yang selalu memaafkan ayah. Seharusnya ia pisah
ranjang untuk sementara waktu agar ayahku tahu bagaimana rasanya ditinggalkan
oleh seseorang yang disayang. Saat aku sampai di ruang keluarga, Alice sedang
mendengarkan keluhan dari ayahku di ruang keluarga bersama dengan Moon dan
Mozzy yang tertidur tengkurap di atas tubuh ayahku yang besar. Jonathan hanya
meringkuk di sebelah ayahku, memejamkan matanya. Seharusnya sekarang mereka
tertidur. Mata ayahku membesar saat aku melihatnya. Ternyata aku tahu mengapa
ayahku memukul ibuku. Zayn. Itu karena paman Zayn. Yeah, dulu paman Zayn adalah
sahabat ayahku, namun ayahku yang selalu berpikiran negatif mengira Zayn akan
merebut ibuku darinya. Padahal kenyataannya tidak. Paman Zayn sangat baik
padaku, malah ia sering mengajak Grace dan tiga adikku yang lain
berjalan-jalan.
Tapi
aku sedang tidak ingin berbicara dengan ayahku. Aku telah mendengar cerita
versi ibuku, mungkin tengah malam aku akan bertanya cerita versi ayahku.
Sekarang aku ingin mencari Grace terlebih dahulu. Mengapa ia belum pulang juga?
Kukeluarkan ponselku lalu menghubungi Grace, Bluetoothku langsung tersambung
dengan ponselnya. Satu nada, dua nada. Belum diangkat. Lalu diangkat.
“Dimana
kau?” tanyaku langsung.
“Ak-aku
akan segera pulang,” kudengar suaranya yang parau. Apa dia baik-baik saja?
“Ada
apa? Apa kau baik-baik saja?” aku bertanya dengan was-was. Jantungku berdetak
dengan kencang. “Grace!” aku berteriak kali ini.
“Aku
sedang bersama ..Blake. Kumohon jangan jemput aku, aku akan pulang sendiri,”
ujarnya memohon. Namun terlambat. Aku tidak akan membiarkannya terus
berlama-lama di rumah sakit itu. Blake tidak membutuhkan perhatian dari Grace,
ia telah memperkosa adikku. Ia layak mendapatkan apa yang telah kuperbuat
padanya. Tapi sial, semakin lama aku semakin membenci orang baik. Mereka
terlalu bodoh untuk dimanfaatkan. Kakiku melangkah keluar dari rumah untuk
pergi ke rumah sakit. Aku tidak peduli jika aku harus menyeret Grace dari rumah
sakit, asal saja ia keluar dari sana.
***
Air
matanya terus mengalir di pipi saat kami sedang berada dalam perjalanan untuk
pulang. Aku memergokinya mencium lelaki itu saat aku membuka pintu ruang
rawatnya. Sialnya, tepat di bibirnya. Rasanya aku tak kuasa menahan rasa
cemburuku saat melihatnya. Oh, Tuhan. Mengapa aku bisa menumbuhkan rasa cinta
ini pada adikku sendiri? Ini rasanya tidak masuk akal. Apa aku terlalu
terobsesi pada Peepee sehingga Grace, yang memiliki paras cantik seperti Peepee
membuatku jatuh cinta padanya? Ini semua karena Peepee. Karena ia adalah
seorang ibu pertama yang kusayangi, aku mempunyai obsesi untuk mendapatkan
istri yang sama sepertinya. Dan hebatnya Grace, adikku sendiri, ia memiliki
sifat yang sama seperti ibuku. Itu semakin meyakinkan diriku kalau aku
mencintainya. Namun rasanya sangat tak mungkin jika aku mengutarakan perasaan
ini padanya. Ini adalah percintaan yang rumit. Maka dari itu aku membutuhkan
Alice yang kurasa, ia memiliki sifat yang sama seperti Peepee, sebagai
pengganti Grace. Tapi ia terlalu alim, tidak begitu mirip dengan Peepee. Tapi
masa bodoh! Aku tidak peduli, setidaknya ia memiliki tubuh yang indah dan
memiliki bagian yang sangat kusuka, yeah, dadanya. Aku menyukai dadanya. Oh,
Tuhan. Mengapa rasanya aku selalu ingin memikirkan bagaimana bentuk tubuh Grace
dalam keadaan tanpa busana? Ini terdengar menjijikan, tapi aku mencintainya.
Aku juga ingin melihat tubuhnya, sama seperti Blake menyentuh tubuhnya. Semakin
lama tangisan Grace semakin surut, isakan tangisnya mulai terdengar. Dari tadi
aku mengabaikan celotehannya tentang Blake, aku ingin menampar mulutnya. Andai
ia tahu aku mencintainya, mungkin ia berhenti berbicara tentang Blake.
Telingaku rasanya panas sekali. Untunglah mulutnya yang seksi itu berhenti
berbicara.
“Sekarang
aku bertanya. Mengapa kau masih peduli dengan lelaki sepertinya? Terakhir kau
menemuinya, ia memarahimu. Kau tahu itu, ia tidak mempunyai berhak atas dirimu.
Kau bukan miliknya,” aku berbicara dengan nada suara yang dingin, datar.
*Author POV*
Grace
tertegun. Ia tak cukup umur untuk menjawabnya. Ia belum memiliki pemikiran
sedewasa kakaknya. Jari-jarinya bermain tak menentu, ia tahu seharusnya ia
mendengarkan perkataan kakaknya. Grace mencintai Blake. Mengapa kakaknya dengan
teganya mencelakai kekasihnya? Rasanya ia ingin membalas dendam pada kakaknya.
Tapi sayang, kakanya tidak memiliki kekasih. Jika ya, sudah pasti ia akan
membalas dendam. Namun dengan cara yang lebih menyakitkan. Bukan secara fisik
namun batin. Lalu ia teringat dengan Alice, ia merasa Alice adalah kekasih
kakaknya. Meski Alice mengaku kalau ia hanya seorang perawat adik-adiknya.
Namun Grace percaya pasti Alice adalah kekasih kakaknya.
“Aku
tidak tahu,” bisik Grace beberapa menit kemudian. “Apa kau dan Alice sedang
berpacaran?” Grace mengalihkan topik pembicaraan. Mendengar pertanyaan Grace
yang aneh membuat Aaron menolehkan kepalanya pada Grace.
“Ya,
mengapa?”
“Apa
kau mencintainya?” pertanyaan itu cukup membuat Aaron terkejut. Apa-apaan?
Namun Aaron tidak menjawabnya. “Jawab aku,”
“Untuk
apa aku berpacaran jika aku tidak mencintainya?” Aaron bertanya balik, kemudian
Grace tersenyum padanya. Senyuman itu memiliki maksud tertentu, namun Aaron
tidak tahu apa yang dimaksud oleh Grace. Tiba-tiba saja Grace menyandarkan
kepalanya pada bahu Aaron.
“Kau
tahu, kau benar,” bisik Grace, menyeka hidungnya yang masih basah. “Mungkin aku
memang harus menjauhi Blake. Well, aku harus belajar percintaan dari kakakku
terlebih dahulu, kurasa,”
“Mmm,
yeah. Kurasa juga begitu. Apa yang kauinginkan?” tanya Aaron, hati Aaron
tiba-tiba saja merasa hangat saat adiknya akhirnya mendengar perkataannya.
Setidaknya, sudah tidak ada lagi yang Aaron takutkan terhadap Grace. Well,
Grace telah memikirkan langkah pertamanya untuk membalas dendam. Mungkin dengan
pergi berjalan-jalan untuk beberapa hari bersama dengan keluarga keluar negeri
akan menyenangkan.
“Bagaimana
jika kita pergi ke luar negeri? Well, kurasa kita bisa meminta izin untuk tidak
masuk sekolah dan bekerja. Bagaimana dengan itu?” tanya Grace, merayu kakaknya.
Dari samping tubuh Aaron, Grace dapat mendengar suara senyum dari Aaron. Oh ini
akan berhasil! Grace berujar dalam hati.
“Kau
ingin kemana?”
“Paris?”
“Tentu
saja.” Aaron mudah sekali terayu oleh gadis yang ia cintai. Well, Aaron akan
melakukan apa saja untuk membahagiakan gadis yang ia cintai. Meski percintaan
ini adalah percintaan terlarang. Namun, apa yang bisa menahan perasaan yang
menggebu-gebu seperti Aaron?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar