***
Mentari
pagi menyapa keluarga Bieber dengan sinarnya yang cerah. Burung-burung di pagi
hari bernyanyi-nyanyi dengan merdu. Angin sejuk menerpa bunga-bungaan yang
berada di taman. Suara lembut dari Alexis menyertai keluarga Bieber. Ia sedang
berdoa untuk sarapan pagi mereka. Aaron menundukan kepalanya sambil melipat
tangannya, begitu juga dengan yang lain. Kecuali Mozzy dan Moon. Dari tadi
mereka saling mencolek satu sama lain. Moon menutup matanya setelah ia mencolek
Mozzy, merasa dicolek, Mozzy membuka matanya dan mengintip orang-orang sejenak
lalu memperhatikan kembarannya yang berada di sebelahnya. Kemudian ia mencolek
kemabarannya, dengan sigap Mozzy langsung memposisikan dirinya sama seperti
sedang berdoa.
“Amin,”
ujar Alex membuka matanya lalu matanya langsung memperhatikan Moon dan Mozzy.
Kebetulan sekali saat ia berkata ‘Amin’, Moon sedang berusaha untuk mencolek
Mozzy. Alex tersenyum dengan kesan : “Ha, aku melihatmu tidak berdoa” pada Moon
sehingga Moon langsung menarik tangannya dari tubuh Mozzy kemudian ia tersenyum
malu-malu karena ketahuan. “Apa kau bisa memberitahuku mengapa kau tidak
berdoa, Ms.Bieber?” Alex melipat tangannya di atas meja makannya.
“Mozzy
yang lebih dulu mencolekku!” Moon menyalahkan Mozzy, membuat Alice yang duduk
di sebelah Aaron terkekeh. Raut wajah Moon benar-benar lucu.
“Tidak!
Bukan aku! Ia yang lebih dulu!”
“Tunggu
dulu. Apa yang diajarkan saat kau pergi ke sekolah minggu? Apa Tuhan
mengajarkan kalian untuk membalas kejahatan dengan kejahatan?”
“Tapi
ia yang lebih dulu, mommy,” sungut Monica menundukan kepalanya.
“Ha,
sudahlah. Makanlah makananmu biar kita cepat sekolah,” ujar Justin tidak ingin
memperdebatkan masalah kecil, Justin menatap Alex sejenak. Mata Alex melotot
padanya. “Apa? Mengapa kau menatapku seperti itu?” tanya Justin memasukan
makanannya ke dalam mulut.
“Kau
tidak ingin anakmu menjadi anak yang baik? Ba—“
“Mommy,
sudahlah! Kita harus cepat-cepat untuk pergi ke sekolah. Grace, apa kau ingin
berangkat denganku?” tanya Aaron bertanya pada Grace sekaligus menghentikan
pertengkaran kecil ibu dan ayahnya. Grace duduk berhadapan dengan Aaron hanya
terdiam, sibuk dengan makanannya. “Grace, aku bertanya padamu, adik
tersayangku. Apa kau ingin berangkat denganku?”
“Setelah
apa yang kaulakukan padaku dan mantan kekasihku kemarin? Oh, kurasa tidak,”
Grace menatap Aaron dengan tatapan tajam selama beberapa detik, penuh dengan
amarah, kemudian ia kembali sibuk dengan makanannya. Aaron tidak ingin memaksa
Grace untuk berbicara dengannya. Sama seperti Grace, semua yang berada di ruang
makan sibuk dengan makanannya. Jonathan duduk bersebelahan dengan Aaron,
sehingga sekarang Aaron terhimpit oleh dua orang.
“Kau
ingin aku suapi?” tanya Alice melihat Mozzy yang kelihatannya sulit sekali
untuk memasukan sendok besar ke dalam mulutnya. Apakah itu adalah sendok yang
benar untuk dipakai? Alice rasa tidak.
“Tidak,
aku bisa,” ujar Mozzy percaya diri. Justin mengunyah makanannya sambil
memperhatikan anak kembarnya sedang memakan makanannya dengan lahap. Namun
Mozzy tidak sama sekali rapi dalam masalah memasukan makananya. Untunglah Mozzy
tahu bagaimana caranya agar bajunya tidak kotor karena makanan. Ia memakai
taplak meja yang tergantung di hadapannya lalu menyelipkannya pada lingkar
leher baju yang ia pakai. Justin mengizinkannya tiap kali Mozzy melakukan itu.
Justru menurut Justin itu adalah tindakan yang cerdas. Apa otak Mozzy sama
dengan otak Mr.Bean? Justin harap tidak.
“Jadi,
Alice, kau datang dari mana?” tanya Grace, tidak dapat menjadi gadis yang pendiam.
Aaron menoleh pada adiknya yang cantik itu, ia sedang berusaha fokus pada
makanannya, tapi demi apa pun wajah adiknya benar-benar cantik.
“Sebenarnya
aku dari Bar, kakakmu yang menyuruhku untuk bekerja dengannya di rumah ini,”
“Tunggu
dulu, berarti kasusmu sama dengan kasusku, anak muda,” Justin menyeletuk,
menatap pada Aaron. “Aku dan ibumu juga bertemu di Bar dan meminta ibumu
bekerja di rumahku untuk menjadi penjagamu. Apa kalian berdua adalah
reinkarnasi dari kita?”
“Justin,
aku tidak percaya dengan reinkarnasi,” ujar Alexis menggelengkan kepalanya.
“Daddy,
apa itu reinkarnasi?” Monica bertanya.
“Ya,
apa itu reinkarnasi?” tanya Mozzy yang ikut-ikut bertanya. Jonathan memang
seorang anak kecil yang pendiam, sehingga tiap pagi ia selalu menjadi pendengar
yang baik dan memperhatikan keluarganya yang selalu berbicara sesuatu yang dia
sendiri tak tahu apa yang sedang keluarganya sedang bicarakan. Justin melirik
pada si kembar melalui sudut matanya lalu menatap pada Alex yang berpura-pura
tak menatapnya.
“Aku
tak tanggung,” ujar Alex mendongak, kali ini menatap Justin.
“Sial!”
gumam Justin. Mengapa ia harus mengucapkan kata-kata yang tidak dimengerti di
hadapan anak-anaknya?
“Jadi
di sini kau akan menjaga Moon dan Mozzy?” tanya Grace, mengabaikan ayahnya.
Alice mengangguk. “Kurasa kau jangan terlalu dekat dengan kakakku, dia cukup
berbahaya,”
“Apa
yang sedang kaubicarakan?” Aaron protes pada Grace. Apa Grace sedang
menggodanya hanya untuk bercanda? Atau Grace memang benar-benar mengartikan kalimatnya?
Alice hanya terdiam, tidak ingin membalas ucapan Grace. Ia tidak ingin Aaron
dan Grace bertengkar.
“Perlu
kauketahui Grace Alison Bieber, aku telah menanggung segalanya. Biaya rumah
sakit, perawatan, dan terlebih lagi uang pengganti segalanya! Kau harus tahu
itu,”
“Uang
tidak dapat mengembalikan masa depannya, kau setan,”
“Grace!”
Alex menegur anaknya.
“Dia
tentu saja tidak memiliki masa depan yang cerah karena memerawani adikku! Kau
seharusnya tahu diri, aku telah membelamu! Apa kau ingin hamil di luar nikah?
Apa kau ingin masa depanmu rusak? Beruntung aku merusak masa depannya demi masa
depanmu kau bodoh! Kau bilang aku tidak pernah mengerti perasaanmu, semua itu
karena aku peduli padamu! Dengan Blake yang tidak dapat bereproduksi, aku dapat
menyelamatkan begitu banyak wanita di sekitar Atlanta ini, kau tahu itu!”
“Apa
maksudmu menyelamatkan? Kau jelas-jelas merusak masa depannya. Ia tidak akan
mempunyai anak lagi, persetan denganmu!”
“Grace!
Jaga bicaramu anak muda!” Justin menegurnya. “Apa yang dikatakan kakakmu itu
semuanya benar!”
“Daddy
selalu saja membela Aaron. Aku tidak percaya kalian selalu berkerjasama selama
ini,” Grace melipat tangannya di depan dada, matanya mulai berkaca-kaca.
“Apa
kau yakin anak-anak itu akan mendapatkan perhatian dari Blake?”
“Apa
pedulimu terhadap anak-anak Aaron?” Grace mulai berdiri, Aaron ikut berdiri.
“Jika
aku tidak peduli pada anak-anak, aku sudah pasti akan membiarkanmu menangis
saat banyak anak sekolah yang menjauhimu! Aku tidak mungkin mengantar Jonathan
dan si kembar ke sekolah, tidak bermain bersama dengannya, dan kau tahu apa
yang lebih membuatku merasa peduli dengan anak-anak? Sekalipun aku sibuk, aku
masih dapat memperhatikan mereka dibanding dirimu yang sedang berusaha sedang
merusak masa depanmu sendiri,”
“Aku
benci saat kau selalu menang berdebat denganmu! Argh! Aku membencimu!” Grace
berteriak, berusaha menahan tangannya untuk tidak menjambak rambutnya. “Aku
selesai, aku berangkat dengan Jordy,” ujar Grace pergi dari hadapan
keluarganya. Semuanya terdiam, nafas Aaron naik-turun tak beraturan. Baru kali
ini ia memarahi Grace sejahat itu. Grace menghilang dari ruang makan, Aaron
kembali duduk di atas kursi.
“Mommy,
what happened?”
“Yeah,
what happened?
“Nothing.”
Alex hanya dapat tertegun dengan ucapan-ucapan Aaron yang memang segalanya
adalah benar. Alex sekarang tahu. Ia tahu bahwa ..Aaron mencintai adiknya
sendiri. Ia menelan ludahnya.
***
Mobil
berwarna hitam yang melaju itu tampak hening di dalamnya. Tidak ada yang
bersuara sedikitpun. Terlebih lagi sang sopir yang terdiam, fokus terhadap
jalanan yang berada di depan matanya. Aaron menolehkan kepalanya, memastikan ke
belakang bahwa si kembar baik-baik saja bersama dengan Alice. Well, mereka
memang baik-baik saja. Seharusnya, si kembar tidak perlu ditempatkan di dalam
tempat duduk khusus untuk anak bayi. Tapi sejak Alex –ibu Aaron—melahirkan,
Justin tampak lebih protectif terhadap anak-anaknya. Sehingga sekarang, si
kembar harus berada di tempat duduk yang dapat dibawa keluar untuk digendong
nanti. Aaron membelokan mobilnya untuk masuk ke dalam sebuah halaman sekolah.
Sekolah Jonathan. Pagi ini Jonathan lebih pendiam dibanding hari-hari
sebelumnya. Ia tidak mengucapkan sepatah katapun, yang dari tadi ia lakukan
hanyalah matanya menatap pandang lurus pada jalanan yang dilewati oleh mobil
yang disetir oleh abangnya. Biasanya, jika ia telah memiliki ruang bersama
dengan Aaron, ia terus berceloteh tak ada henti. Hanya pada Aaron. Aaron
menaikan rem tangan saat mereka telah sampai di parkiran sekolah. Tidak ada
yang bergerak sama sekali. Well, jam masuk
sekolah belum berdering, mereka masih mempunyai waktu untuk berbicara.
“Well,
ada apa dengan adik kecilku?” tanya Aaron sambil menyandarkan siku-sikunya pada
setir mobil tanpa mematikan mesin mobil. Jonathan yang memiliki wajah mirip
dengan Justin itu mendongakan kepalanya. Biru matanya sama dengan Alex, maka
dari itu Aaron senang sekali menatap mata Jonathan ..well, dan Mozzy. Hanya
mereka berdua pewaris mata biru Alex. Dengan malas, Jonathan hanya mengangkat
kedua bahunya, tampak sangat acuh. “Kau bisa menceritakannya pada kakakmu yang
tampan ini,” paksa Aaron, percaya diri. Ucapan Aaron membuat Jonathan melotot
lalu menelan ludahnya untuk menahan tawanya.
“Kaubilang
dirimu tampan? Well, harus kauketahui Aaron, aku lebih tampan darimu,” ucap
Jonathan, kali ini lebih bersemangat. Nah! Itu dia adik Aaron yang kecil telah
kembali. Aaron tersenyum sejenak lalu tertawa.
“Oh?
Benarkah? Bisa membuktikan itu?” tanya Aaron yang membuat Jonathan ingin
berbicar tiba-tiba saja tersentak sesaat, ia terdiam. Jari telunjuk yang
awalnya mengacung tinggi di depan wajah Aaron tiba-tiba saja menyusut. Jonathan
tidak dapat membuktikan itu. Ia hanya memiliki teman-teman lelaki. Tidak ada
anak perempuan yang menemaninya. Yang menyanjungnya hanya ibu cantiknya. Tidak
ada yang lain. Grace tidak pernah memujinya.
“Berarti
kau tidak tampan, hah,” Aaron menghelakan nafasnya sambil menggeleng kepala.
“Kau ignin tahu apa rahasia untuk menjadi lelaki tampan?”
“Tidak
perlu. Mommy telah memujiku tampan dan aku percaya aku tampan,”
“Whoa!
Kau ternyata hebat untuk mengelak. Well, mommy tidak akan menjadi kekasihmu
kelak, kau tahu. Sedikit ilmu ketampanan untuk mendapat teman perempuan pagi
ini? Tawaran ini tidak akan datang dua kali,” ujar Aaron, menggoda Jonathan.
Alice dan si kembar yang berada di belakang hanya dapat memandang pertunjukan
lucu antara adik dan kakak yang saling menghina dan menggoda. Dan yeah, saling
meninggi diri. Jonathan menimbang-nimbang tawaran kakaknya, berpikir waktu
masuk sekolah akan berdering, akhirnya Jonathan menarik nafas.
“Baiklah,”
ujarnya lesu.
“Alice,
kemarilah,” suruh Aaron membuat Alice mencondongkan tubuhnya ke depan. Kemudian
Aaron membisikan Alice sesuatu, ia tertawa. “Baiklah,” bisik Alice memundurkan
tubuhnya.
“Apa?
Apa yang kaubisikan padanya? Cepatlah, aku tidak memiliki banyak waktu,” ujar
Jonathan melihat jam digital yang berada di dalam mobil kakaknya. Kemudian
Aaron mengulurkan tangannya ke atas kepala Jona dan memejamkan matanya.
“Biarlah
ketampananku turun pada adikku,” ujar Aaron sambil tangannya mengusap-usap
kepala Jona hingga rambut Jona yang panjang acak-acakan. “Hey! Berhentilah! Kau
membuatku semakin jelek!” teriak Jona menarik tangan Aaron dari kepalanya.
Aaron tertawa lalu menarik tangannya dari kepala Jonathan.
“Baiklah,
aku hanya berusaha untuk merapikan rambutmu. Tunggu, aku rasa aku menyimpan di
dalam jasku,” ujar Aaron sambil membalikan kepalanya pada Alice. “Bisa kau
ambil jas yang tergantung di belakang sana?” tanya Aaron menunjuk pada jas
hitamnya yang berada di kursi belakang, namun sedang berada dalam keadaan
menggantung. Langsung saja tangan kecil itu menarik jas milik Aaron lalu
memberikannya pada Aaron.
*Aaron Bieber POV*
Kuraih
jasku yang berada di tangan Alice cepat-cepat. Waktuku tinggal sedikit untuk
merapikan rambut Aaron agar sama dengan rambutku. Well, memberikan sedikit gel
pada rambutnya agar sama dengan rambutku. Hanya sedikit, aku tidak begitu suka
memakai gel hingga rambutku benar-benar kaku. Jona menghadapkan kepalanya
padaku sehingga aku dengan mudahnya mencolek sedikit gel yang kuambil dari
kantong jas. Kurapikan rambutnya ke samping agar lebih rapi. Well, ia memang
tampan. Adikku memang harus tampan sepertiku. Walau aku tahu aku berbeda dari
yang lain, tapi aku tidak peduli. Secara natural, orang yang hidup selalu
bersamaan wajah mereka semakin lama akan semakin mirip. Well, hanya untuk
orang-orang tertentu, hell, aku tidak tahu dari mana aku tahu itu. Senyum kecil
muncul di wajahku saat aku mengamat-amati ketampanan adikku. Oke, dengan
seperti ini pasti akan banyak anak perempuan yang akan bermain dengannya.
“Kau
sudah tampan sekarang. Ayo cepat angkat bokongmu dari kursi ini! Waktumu tidak
banyak untuk memberikan pesonamu pada banyak orang, oh, aku sangat yakin
guru-guru akan memujamu,”
“Baiklah,
baiklah,” seru Jona membuka pintu mobil lalu pergi dari hadapanku.
“Jadi
anak yang baik! Jangan menggoda teman perempuanmu!”
“Aku
tidak berjanji!” teriak Jona sambil menutup pintu mobil, ia tertawa-tawa
seperti anak kecil yang gila. Sama sepertiku yang kadang-kadang gila. Kuhelakan
nafas, tanganku memegang rem tangan, mataku melihat pada kaca spion yang berada
di dalam mobil untuk melihat Alice dan si kembar yang dari tadi suara mereka
tak kudengar. Mungkin hanya bisikan-bisikan aneh dari belakang.
“Siap
untuk pergi ke sekolah?” seruku bertanya.
“Yes
Peepee!” seru si kembar mengangkat kedua tangannya ke udara. Aku tertawa. Well,
aku berpikir untuk menunggu si kembar bersama dengan Alice adalah ide yang
bagus.
***
Tapi
ternyata tidak. Itu bukanlah ide yang bagus sama sekali. Aneh. Aku sudah sering
menunggu si kembar di sekolah mereka tapi para ibu-ibu yang menunggu
anak-anaknya sering melihatku. Itu cukup membuatku risih dengan mata mereka
yang liar. Entahlah, apa mereka tidak sadar bahwa mereka telah memiliki suami?
Lagipula jika mereka menginginkanku, aku tidak menginginkan mereka. Itu sangat
menjijikan. Terlebih lagi mereka telah menjadi ibu-ibu yang memiliki anak.
Well, jika Alex bukanlah ibuku, aku sudah pasti memacarinya sejak dulu. Tapi
aku sadar, ia adalah ibuku dan aku menyayanginya sebagai ibuku. Alice tampak
begitu senang bermain dengan Mozzy dan Moon bersama dengan anak-anak yang lain.
Well, yang mereka lakukan selama di sekolah hanyalah untuk bermain-main untuk
menambah kreatifitas mereka. Moon suka bermain pasir bersama dengan Mozzy,
entah apa yang sering mereka buat tapi untukku, apa pun yang ia buat pasti
bagus.
Sama
seperti sekarang, Alice dengan Moon dan Mozzy sedang bermain pasir. Sekop kecil
berwarna kuning telah berada di tangan Moon sedangkan ember biru berada di
tangan Mozzy. Guru-guru di sini sering menilai mereka dengan apa yang mereka
lakukan selama mereka di sekolah. Apa perilaku mereka baik atau tidak. Sampai
mana kecerdasan mereka dalam bermain. Kreatifitas mereka dalam membuat sesuatu.
Tak jarang Moon dan Mozzy selalu pulang dengan kue bintang berwarna kuning dari
guru mereka karena mereka melakukan sesuatu yang bagus. Kue buatan guru di sini
memang terbilang enak sekali. Entah sekolah ini sangat lucu. Biasanya sekolah
lain anak-anak mereka diberikan nilai bintang pada bukunya, tapi hey, benar
juga. Ini hanyalah play group. Anak-anak hanya bermain. Hanya belajar bekerja
sama. Tiba-tiba Bluetooth yang kupakai berdering, langsung saja aku mengangkat
telepon sialan ini.
“Bieber,”
ujarku, tegas.
“Yo!
Aaron! Kau datang hari ini?” suara Max terdengar di telingaku, ia bertanya soal
rencana kami nanti malam. Menatap Alice sejenak, aku berpikir, mungkin ia dapat
kubawa ke Penthouse malam ini. “Well, aku membawa gadisku, apa itu tidak
apa-apa?” logat dari suara Max memang berciri khas, tentu saja. Ia ras hitam,
orang kulit hitam biasanya berbicara dengan logat seperti sedang melakukan
rapp, padahal sebenarnya tidak. Satu lagi, aku tidak bermaksud untuk rasis.
“Yeah,
aku juga membawa gadisku. Berapa malam ini?”
“Terserah
kau, man! Kaulah ketuanya, kau yang berhak untuk menetapkan perjanjiannya,”
“Bisa
diatur,” desisku menyipitkan mata, menajamkan tatapanku pada Alice yang
tertawa-tawa dengan riang di pinggir kotak pasir. Dia tampak sempurna dengan
rambutnya yang berwarna hitam. Tidak begitu hitam, ia mengkilap.
***
Mataku
menatap pada seorang wanita yang muncul di hadapanku dan para temanku. Pakaian
yang ia pakai benar-benar seksi. Seragam putih yang biasa suster rumah sakit
pakai telah melekat pada tubuhnya yang berisi dan padat. Buah dadanya besar.
Pinggangnya kecil. Rok yang ia pakai benar-benar pendek serta kancing-kancing
yang seharusnya menutup bagian dadanya terbuka dengan sengaja. Menarik. Well,
aku yang menyuruhnya ke sini, tapi tidak dengan pakaian super seksi itu! Aku
mengeras di bawah sini. Yeah, aku telah berada di Penthouse. Perkumpulan ini
hanya mengedepankan seksualitas. Untuk memenuhi kebutuhan biologis kami. Tapi,
aku tidak sering memakai gadis-gadis yang muncul tiap kali pertemuan. Max
memang membawa teman gadisnya, harus kuakui, gadis berkulit hitam manis itu
benar-benar menarik. Namanya Macy. Hampir sama dengan toko pakaian Macy’s.
Alice duduk di sebelahku, matanya melihat pada Laura –gadis yang memakai
seragam suster—yang sedang menari-nari dengan erotis di atas panggung kecil
yang kubuat dengan tiang di tengahnya. Yeah, seperti penari telanjang. Well,
batas untuk menggoda lelaki-lelaki di sini hanya berhenti pada celana dalam dan
bra yang harus masih melekat. Selebih itu, mereka tidak akan kami pakai.
“Mengapa
kau membawaku ke tempat yang seperti ini?” Alice bertanya padaku, bingung.
Well, untuk apa lagi? Untuk melihat gadis-gadis seksi yang akan kupakai.
Kautahu, Laura sekarang adalah taruhan kami. Well, aku memiliki kurang lebih
tujuh anggota di perkumpulan ini untuk mengumpulkan uang taruhan. Aku yang akan
memutuskan seberapa banyak uang yang harus dikeluarkan tiap malamnya. Dan yeah,
malam ini kami telah mengumpulkan uang sebanyak 40.000 dollar. Satu orangnya
5000 dollar. Dan siapa pun yang tidak tahan untuk menahan hasratnya malam ini,
ia harus membayar tiap satu orang 40.000 dollar sehingga ia harus membayar
delapan kali lipat dari uang awalnya. Yeah, aku bisa mendapatkan 40.000 dollar.
Dan uang 40.000 dollar yang telah kami kumpul akan diberikan pada si pelacur
yang sedang menari-nari di atas panggung sana. Aku terdiam, tidak menjawab
Alice namun kudengar ia mendengus. “Aku ingin pulang. Ini bukanlah tempat yang
baik untukku,”
“Diamlah,
aku sedang menonton Laura. Ini. Gunakanlah ini sebaik mungkin agar kau tidak
begitu banyak bicara,” ujarku sambil mengambil iPad yang kutaruh di kantong jas
dalamku yang besar. Tanpa menatapnya, aku menyodorkan pada Alice yang langsung
mengambilnya. Kemudian aku kembali berkonsentrasi pada Laura yang sekarang ia
telah membuka satu kancing yang seharusnya menutupi perutnya. Sial dia sangat
seksi! Terlebih lagi ia memiliki rambut cokelat yang bergelombang.
Mengingatkanku padanya.
*Alice Lancale POV*
Aku
tidak mengerti mengapa Aaron membawaku ke tempat ini. Ia bilang padaku bahwa
malam ini kami berdua akan bersenang-senang. Ia akan membawaku ke tempat
karaoke. Memang saat mobilnya berhenti di depan gedung bertingkat ini kupikir
adalah tempat karaoke karena saat kami memasuki gedung ini, begitu banyak orang
yang ingin memesan ruang karaoke bersama dengan pasangannya. Tapi Aaron? Ia
tidak perlu mendaftar terlebih dahulu. Ia langsung saja masuk ke dalam lift dan
akhirnya aku berada di sini. Ini bukan seperti tempat karaoke, ini tempat
penari telanjang bermain. Aku bukanlah wanita yang menyukai sesama wanita. Meski
aku melihat ada satu orang gadis yang berkulit hitam manis berada di dalam
ruangan ini. Dan awalnya aku berpikir, aku akan bersenang-senang dengan Aaron
hanya berdua saja. Tapi kenyataannya, teman-teman Aaron juga ikut. Aku merasa
bosan. Well, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dengan iPad ini. Aku tidak
menyukai permainan. Aku tidak suka bermain internet. Dan sialnya, aku orang
yang selalu mengeluh. Oh, Alice! Berhentilah mengeluh! Nikmatilah apa yang
sedang kaupegang. Kemudian aku mencari bacaan di dalam iPad, well, aku suka
membaca buku.
“Kau
ingin minum?” suara Aaron mulai kudengar saat teriakan berisik dari pada
teman-temannya. Kudongakan kepalaku, tepat sekali! Tepat sekali mataku melihat
pada Laura, si penari telanjang itu membuka pakaiannya sehingga sekarang ia
hanya memakai bra dan celana dalam. Dimana rasa malu wanita ini? Aku menelan
ludahku. “Tidak berat, minumlah,” suara Aaron kembali membuatku tersadar
sehingga aku membalikan kepalaku padanya. Segelas anggur telah ia pegang lalu
ia menyodorkannya padaku, senyumannya benar-benar luar biasa manis. Jantungku
berdetak lebih kencang dari biasa dan kupu-kupu yang berada di perutku sedang
menari-nari. “Minumlah, aku memaksa,”
“B-baiklah,”
Ia memaksa! Aku berseru dalam hati. Apa yang dapat membuatku menolak dirinya?
Kurasa tidak ada. Tanganku mengambil gelas anggur dari tangannya yang besar,
well, tanganku tidak begitu halus. Tidak seperti tangan Alex atau Grace yang
lembut. Kemudian aku meneguk anggur ini hingga aku memejamkan mataku, kudengar
Aaron tertawa.
“Nikmatilah.
Jangan menyusahkan dirimu dengan sesuatu yang nikmat,”
“A-aku
tidak terbiasa,” ujarku. Bersamaan dengan itu, seorang lelaki bangkit dari
tempat duduknya lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Oh
man! Aaron, kau memang berengsek. Bisa-bisanya kau membawa gadis seksinya ke
sini. Ambillah, kalian memang sialan,” ujar seorang lelaki berambut panjang
kira-kira 4 inchi, hampir sama dengan rambut milik Aaron. Bedanya lelaki ini
memiliki bibir yang tipis serta warna mata biru. Aaron hanya tertawa pelan
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku terdiam sejenak melihat rambutnya
yang bergerak lambat. Oh sial! Ini adalah pemandangan yang benar-benar luar
biasa. Bagaimana bisa ia tampak begitu menawan? Aku tidak pernah berpikir ini
akan terjadi dalam hidupku. Tapi ini sangat luar biasa! “Aku tidak menanggung
apa pun, Joe. Itu masalahmu,” kembali suaranya terdengar seperti malaikat yang
sedang bernyanyi. Tiba-tiba saja lelaki yang bernama Joe itu melemparkan satu
per satu lelaki yang berada di sini satu koper yang entah apa yang ada di
dalamnya.
“Kau
memang yang terbaik,” ujar Aaron terkekeh pelan lalu tiba-tiba menolehkan
kepalanya padaku. “Kita pulang, tapi bukan ke rumah ayahku. Tapi apartemenku,”
ucapan Aaron tiba-tiba saja berubah bersama dengan raut wajahnya juga. Ada apa?
Ia menatapku tajam dan ia berbisik begitu ..menakutkan. Kutautkan kedua alisku.
“Mengapa?”
“Karena
ada sesuatu yang harus kita lakukan,”
“Apa?”
aku bingung, sangat bingung. Dalam kebingungan, Aaron menarik tanganku untuk
berdiri dari sofa yang dari tadi kami telah duduki. “Ke apartemenku sekarang
atau hidupmu tidak akan tenang.”
***
Mataku
melihat ke sekliling ruangan apartemen Aaron yang baru saja kuinjak. Dinding putih menutupi diriku dan dirinya
dari dalam sini terhadap dunia luar. Sejak perjalanan menuju apartemen, Aaron
hanya mendengus terus menerus dan tidak pernah menjadi pertanyaan yang
kutanyakan. Ia bilang padaku untuk diam, tak mengatakan sepatah katapun. Aku
melakukannya. Aaron sedang masuk ke dalam kamar mandinya sehingga aku
menunggunya di ruang tamu. Sofa kulit hitamnya sangat menarik perhatian. Banyak
teman-teman kerja memberitahuku tentang sofa kulit. Jika digunakan oleh pemuda
seperti Aaron, berarti Aaron sering melakukan hubungan badan. Aku tidak pernah
sebelumnya melakukan hubungan badan, bahkan aku tidak penasaran bagaimana
rasanya seperti yang biasanya orang-orang katakan. Padahal tiap harinya,
kakakku selalu membawa satu per satu wanita yang berbeda. Well, aku tahu apa
yang mereka lakukan tapi aku tidak mengambil pusing. Berpikir tentang aku
berada di apartemen ini, aku merasa seperti keluarga sekarang. Setelah dua hari
yang seru kulakukan, aku merasa begitu dekat dengan keluarga Bieber. Mungkin
karena beberapa bulan yang lalu aku pernah bertemu dengan Mrs.Bieber di panti
asuhan sebagai relawan untuk merawat anak-anak di sana. Aku menjadi guru bahasa
Inggris di sana untuk sementara waktu. Kakakku tidak setuju aku bekerja di sana
karena tidak aku tidak mendapatkan uang. Tapi demi apa pun aku mencintai
anak-anak. Mereka mempunyai hak untuk mendapatkan kasih sayang, meski bukan
dari orang tua kandung mereka. Aku hanya ingin anak-anak di panti asuhan
mendapatkan kasih sayang yang cukup, tidak sepertiku yang memang memiliki
keluarga namun aku tidak pernah merasa merekalah keluargaku. Bahkan aku mencoba
untuk lari dari mereka, hanya saja aku tidak bisa. Kehidupanku bergantung pada
orang tua lalu mereka pergi. Tidak ada yang bisa kulakukan selain tinggal
bersama dengan kakakku. Bahkan aku masih 18 tahun.
Lama
memperhatikan lukisan-lukisan yang dipajang di dinding putih milik Aaron, aku
lelah berdiri.Kujatuhkan bokongku ke atas sofa hitam yang baru saja
kubicarakan. Huh, jika aku berbicara, aku sering melantur. Mungkin karena itu
juga banyak orang tidak menyukaiku. Mereka bilang aku adalah orang aneh. Aku
hanya seorang gadis ceria yang ingin membagikan kasih sayangku kepada banyak
orang. Terlalu banyak cinta dalam diriku yang harus kuberikan pada banyak
orang. Termasuk Mozzy dan Moon, terlebih Aaron. Oh, demi apa pun, aku harus
mengatakan banyak terima kasih padanya karena telah menyuruhku untuk bekerja di
rumahnya. Karenanya, aku memiliki pekerjaan yang kusukai dan tidak ada lagi
amarah dari kakakku. Aku tersenyum-senyum layaknya orang gila sekarang.
Mengingat tatapannya yang ..entahlah, benar-benar memikat malam itu. Aku tahu
ini gila tapi aku rasa aku jatuh cinta padanya. Mungkin. Aku tidak pernah
merasakan jatuh cinta seumur hidupku, hanya saja aku belum tahu bagaimana orang
mendekskripsikannya. Sehingga aku tidak begitu tahu apa aku pernah jatuh cinta.
Aku hanya mengagumi. Tapi Aaron? Apa yang dapat menghentikannya? Entahlah.
“Hei,
apa kau baik-baik saja?” suara Aaron yang berat terdengar di telingaku, aku
menoleh pada arah suaranya. Kemudian jantungku berhenti sesaat. Seorang lelaki
berdada bidang dengan tattoo di pinggangnya yang ..aku tidak tahu itu tulisan
apa. Tapi demi Tuhan, ia adalah lelaki terseksi yang pernah kulihat di dunia
ini. Rambutnya basah, menyiratkan sesuatu yang aku sendiri tidak tahu bagaimana
caranya menyampaikannya. Celana boxer hitam telah ia pakai. Rambutnya yang
masih basah itu terus meneteskan air dari ujung-ujung rambutnya. “Alice? Apa
kau baik-baik saja?” kembali suara Aaron membuyarkan lamunanku. Sontak aku
berdiri dan mengerjapkan mataku berkali-kali.
“Y-ya,
aku baik-baik saja,” aku terkekeh pelan sambil memainkan jari-jariku, “apa aku
boleh mengambil segelas air? Tenggorokanku kering,” karena melihatmu telanjang
dada seperti ini! Aku melanjutkan perkataan dalam hati. Sialan. Ini adalah
perubahan yang sangat pesat dalam diriku. Mengingat apa yang Mrs.Bieber katakan
padaku tadi siang hingga sore mengenai dua lelaki Bieber yang luar biasa
tampan. Tapi ketampanan Aaron berbeda dengan ketampanan Mr.Bieber. Mr.Bieber
memang tampan, harus kuakui, hanya saja ia sudah berumur. Dan Aaron, ia
memiliki pahatan pipi yang lebih curam sehingga aku seperti melihat dewa di
hadapanku. Aaron menjilat bibirnya sebentar, membuatku terkesiap. Apa-apaan
yang sedang ia lakukan? Itu membuat getaran elektrik di hatiku.
“Ambillah,
aku hanya ingin memastikan dirimu baik-baik saja di luar sini. Tapi ..melihatmu
tersenyum-senyum sendiri membuatku khawatir. Apa yang kaupikirkan tadi?” tanya
Aaron sambil berjalan menuju ruang dapur yang berada di belakang tubuhnya,
langsung saja aku ikut berjalan menuju dapur. Bahu dan punggungnya benar-benar
lebar, bahkan ototnya sudah terlihat tanpa ia kencangkan. “Katakan padaku apa
yang kaupikirkan,” tuntut Aaron membuka pintu kulkas, mengeluarkan sebotol air
putih yang masih bersegel. Kemudian ia memberikannya padaku.
“Aku
hanya ..aku sangat berterima kasih padamu, Aaron. Kau benar. Aku memang cocok
bekerja di pekerjaan ini dibanding pekerjaanmu sebelumnya,” ujarku menarik
nafas, menahan jeritanku. “Dan karena kau ..hhh ..aku lebih merasa hidup.
Terima kasih, Aaron,” aku menarik nafas kembali untuk menahan jeritanku, lagi.
Demi Tuhan aku ingin memeluknya sekarang, tapi melihat keadaannya yang
telanjang di balik handuk itu, aku tidak jadi memeluknya. Aaron terdiam
sejenak, tangannya bertumpu pada meja makan untuk menahan tubuhnya. Salah satu
sudut bibirnya tertarik ke atas dengan salah satu alis yang terangkat juga.
“Kau
yakin dengan apa yang kaukatakan? Aku ingin membuat perjanjian denganmu,” ucap
Aaron menegakan tubuhnya kembali lalu ia berjalan melewati tubuhku. Benar-benar
harum! Kubalikan tubuhku untuk mengikutinya sambil tanganku membuka tutup
botol. “Aku ingin kau ..masuklah,” suruh Aaron saat kami telah berada di depan
pintu kamarnya. Kemudian aku masuk.
“Aku
ingin kau ..menandatangani perjanjian ini. Ini adalah perjanjian yang pernah
kulakukan bersama dengan seorang wanita bernama Kath. Dia seorang gadis
berambut pirang yang sangat seksi, dan yeah, hubunganku dengannya berhenti di
tengah jalan karena ia tidak tahan denganku,”
“Apa
yang terjadi?” tanyaku tertarik.
“Perjanjian
ini berisikan bahwa kau akan melakukan apa pun untukku ..dengan begitu aku dapat
melindungimu dari apa pun. Ini untuk kebaikanmu, kurasa,” ucapan Aaron
membuatku terkejut. Aku melakukan apa pun untuknya? Hell! Tidak. Aku tidak mau.
Aku dapat melindungi diriku sendiri, aku hanya butuh pekerjaan sederhana ini.
Tanpa gajipun, tak apa. Tapi perjanjian konyol itu? Tidak, terima kasih. “Kau
belum mendengar lanjutannya, sayang. Aku mengubahnya sedikit. Kau tidak perlu
melakukan apa pun untukku ..tapi hanya kau harus mencintaiku agar semuanya
berjalan dengan baik,”
“Aku
tidak mengerti,” tanpa ragu-ragu aku
terduduk di atas tempat tidurnya.
“Kau
hanya perlu mencintaiku agar semuanya berjalan dengan baik, sayang. Tidak, aku
tidak akan menyakitimu, aku justru akan melindungi dirimu,”
“Tujuan?”
“Aku
sedang ingin membalas dendam, Alice, my dear. Kau harus melakukan ini untukku,
tolonglah?” ia bersungut padaku. Secarik kertas telah berada di tangannya
sekarang. Dia serius? Aku terdiam sejenak. Aku hanya perlu mencintainya maka
semuanya akan berjalan dengan baik. Mengapa? Dia ingin membalas dendam pada
siapa? Aku tidak mengerti. Apa mungkin ia ingin membuat seseorang cemburu?
Kurasa tidak. Tidak mungkin ia melakukan hal semurah itu. Ia bilang ia tidak
akan menyakitiku. “Aku melakukan ini karena ..aku ingin belajar untuk menjalin
sebuah hubungan. Setidaknya, kita mencoba?” tanya Aaron. Sudah kuduga, tidak
mungkin ia memiliki niat yang buruk terhadapku.
“Aku
pikir kau sangat ahli dengan seorang wanita?”
“Secara
teknis, ya. Tapi aku tidak pernah menjalin hubungan asmara, kumohon?”
“Mengapa
aku?”
“Aku
tahu kau akan bertanya seperti itu,” bisik Aaron menarik nafasnya, satu
tanganya yang lain menutup mulutnya dengan jari-jarinya yang panjang. Lalu ia
berjalan bolak-balik di tempatnya, seperti ia berpikir. Aku membiarkannya
berpikir sebentar. Lalu ia menarik nafasnya, melepaskan tangannya dari mulut. “Karena
aku tahu, kau akan percaya padaku,” bisiknya menatap mataku. Matanya seperti
harimau, memang benar apa yang dikatakan Mrs.Bieber tentang matanya. Seperti
harimau yang ..bernafsu. Dan yeah, aku percaya padanya.
“Kumohon
Alice, kau harus percaya padaku,”
“Baiklah,”
tanpa ambil pusing, Aaron langsung memberikan kertas itu padaku sambil
mengambil satu pulpen yang ia taruh di dalam laci meja lampunya. “Tapi aku
masih ragu dengan ini. Maksudku, ini adalah pengambilan keputusan tercepat yang
tak pernah kulakukan sebelumnya,” ujarku cukup ragu. Bagaimana jika Aaron tidak
jatuh cinta padaku? Bagaimana jika ini tidak akan berjalan dengan baik? Itu
sama dengan aku membuang-buang waktu. Tapi setidaknya ..aku memiliki
pengalaman.
“Alice,
ini memang terdengar konyol. Perasaan memang tidak dapat dipaksakan, tapi
seperti yang kubilang sebelumnya padamu. Dalam waktu dua hari ..kau akan
mencintaiku,” dan dia memang benar. Aku jatuh cinta padanya, itu gila.
Ucapannya seakan-akan adalah nubuat, tapi kenyataannya adalah tidak. Ini
natural. Aku jatuh cinta dengannya karena perlakuannya dingin namun tampak
begitu perhatian. Terlebih lagi dia adalah lelaki pecinta anak kecil. Aku bisa
melihatnya dari tatapan matanya pada Mozzy, Moon dan Jonathan. Tampak damai.
“Tapi
bagaimana jika kau tidak mencintaiku?” aku ragu-ragu. Aaron tersentak, ia
memegang kedua bahuku lalu meremasnya. Sial. Tatapan mata macam apa ini? Dia terlalu
menggoda.
“Kita
hanya mencoba, sayang,” tangannya menyentuh pipiku dengan lembut. Kemudian aku
mengangguk. Setidaknya aku dapat memperlihatkan rasa cintaku padanya.
Dibandingkan aku harus memendamnya seperti orang yang mengharapkan sesuatu yang
tidak pasti? Ini pasti. Dia adalah pacarku jika aku menandatangani perjanjian
ini. “Percaya padaku,” bisiknya tersenyum. Tanpa membaca kertas ini, aku
langsung menandatanganinya. Kemudian aku mendongak, menatap Aaron malu-malu.
“Sekarang,
kau adalah kekasihku. Kita akan menjalaninya perlahan-lahan. Aku akan belajar
mencintaimu. Melalui dirimu, aku mungkin akan dapat merasakan sesuatu yang
tidak pernah kurasakan sebelumnya,” bisik Aaron menarik kertas perjanjian ini
lalu melemparnya asal. Meski ini adalah kejadian terjadi yang pernah kulalui
dalam hidupku dan terdengar begitu aneh, aku akan menjalankannya selama itu
bersama Aaron. Aku percaya padanya. “Cium aku,” ia berjongkok di depanku.
“Apa?”
aku tergagap, tidak percaya ia akan menawarkan sesuatu yang tidak pernah
kuharapkan. Bahkan aku tidak pernah berpikiran sampai kepada ciuman. Aku
..tidak pernah berciuman. Cukup memalukan. “Aku tidak pernah berciuman
sebelumnya,” bisikku menundukan kepala. Jari-jariku bermain tak menentu,
merasakan kegugupan atas rasa malu yang telah kuperlihatkan. Namun salah satu
jarinya yang panjang menaikan daguku sehingga aku mendongak.
“Kau
tidak perlu malu. Aku akan memberi pelajaran padamu. Pelajaran yang luar biasa.
Sesuatu yang tidak pernah kautemui sebelumnya. Percaya padaku, Alice, aku akan
mencoba mencintaimu,” bisik Aaron menarik leherku hingga aku menunduk. Bibir
kami bertemu, aku memejamkan mataku, berusaha untuk menikmati permainan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar