Selasa, 06 Agustus 2013

Touching Fire Bab 3

***

            Mentari pagi menyapa keluarga Bieber dengan sinarnya yang cerah. Burung-burung di pagi hari bernyanyi-nyanyi dengan merdu. Angin sejuk menerpa bunga-bungaan yang berada di taman. Suara lembut dari Alexis menyertai keluarga Bieber. Ia sedang berdoa untuk sarapan pagi mereka. Aaron menundukan kepalanya sambil melipat tangannya, begitu juga dengan yang lain. Kecuali Mozzy dan Moon. Dari tadi mereka saling mencolek satu sama lain. Moon menutup matanya setelah ia mencolek Mozzy, merasa dicolek, Mozzy membuka matanya dan mengintip orang-orang sejenak lalu memperhatikan kembarannya yang berada di sebelahnya. Kemudian ia mencolek kemabarannya, dengan sigap Mozzy langsung memposisikan dirinya sama seperti sedang berdoa.
            “Amin,” ujar Alex membuka matanya lalu matanya langsung memperhatikan Moon dan Mozzy. Kebetulan sekali saat ia berkata ‘Amin’, Moon sedang berusaha untuk mencolek Mozzy. Alex tersenyum dengan kesan : “Ha, aku melihatmu tidak berdoa” pada Moon sehingga Moon langsung menarik tangannya dari tubuh Mozzy kemudian ia tersenyum malu-malu karena ketahuan. “Apa kau bisa memberitahuku mengapa kau tidak berdoa, Ms.Bieber?” Alex melipat tangannya di atas meja makannya.
            “Mozzy yang lebih dulu mencolekku!” Moon menyalahkan Mozzy, membuat Alice yang duduk di sebelah Aaron terkekeh. Raut wajah Moon benar-benar lucu.
            “Tidak! Bukan aku! Ia yang lebih dulu!”
            “Tunggu dulu. Apa yang diajarkan saat kau pergi ke sekolah minggu? Apa Tuhan mengajarkan kalian untuk membalas kejahatan dengan kejahatan?”
            “Tapi ia yang lebih dulu, mommy,” sungut Monica menundukan kepalanya.
            “Ha, sudahlah. Makanlah makananmu biar kita cepat sekolah,” ujar Justin tidak ingin memperdebatkan masalah kecil, Justin menatap Alex sejenak. Mata Alex melotot padanya. “Apa? Mengapa kau menatapku seperti itu?” tanya Justin memasukan makanannya ke dalam mulut.
            “Kau tidak ingin anakmu menjadi anak yang baik? Ba—“
            “Mommy, sudahlah! Kita harus cepat-cepat untuk pergi ke sekolah. Grace, apa kau ingin berangkat denganku?” tanya Aaron bertanya pada Grace sekaligus menghentikan pertengkaran kecil ibu dan ayahnya. Grace duduk berhadapan dengan Aaron hanya terdiam, sibuk dengan makanannya. “Grace, aku bertanya padamu, adik tersayangku. Apa kau ingin berangkat denganku?”
            “Setelah apa yang kaulakukan padaku dan mantan kekasihku kemarin? Oh, kurasa tidak,” Grace menatap Aaron dengan tatapan tajam selama beberapa detik, penuh dengan amarah, kemudian ia kembali sibuk dengan makanannya. Aaron tidak ingin memaksa Grace untuk berbicara dengannya. Sama seperti Grace, semua yang berada di ruang makan sibuk dengan makanannya. Jonathan duduk bersebelahan dengan Aaron, sehingga sekarang Aaron terhimpit oleh dua orang.
            “Kau ingin aku suapi?” tanya Alice melihat Mozzy yang kelihatannya sulit sekali untuk memasukan sendok besar ke dalam mulutnya. Apakah itu adalah sendok yang benar untuk dipakai? Alice rasa tidak.
            “Tidak, aku bisa,” ujar Mozzy percaya diri. Justin mengunyah makanannya sambil memperhatikan anak kembarnya sedang memakan makanannya dengan lahap. Namun Mozzy tidak sama sekali rapi dalam masalah memasukan makananya. Untunglah Mozzy tahu bagaimana caranya agar bajunya tidak kotor karena makanan. Ia memakai taplak meja yang tergantung di hadapannya lalu menyelipkannya pada lingkar leher baju yang ia pakai. Justin mengizinkannya tiap kali Mozzy melakukan itu. Justru menurut Justin itu adalah tindakan yang cerdas. Apa otak Mozzy sama dengan otak Mr.Bean? Justin harap tidak.
            “Jadi, Alice, kau datang dari mana?” tanya Grace, tidak dapat menjadi gadis yang pendiam. Aaron menoleh pada adiknya yang cantik itu, ia sedang berusaha fokus pada makanannya, tapi demi apa pun wajah adiknya benar-benar cantik.
            “Sebenarnya aku dari Bar, kakakmu yang menyuruhku untuk bekerja dengannya di rumah ini,”
            “Tunggu dulu, berarti kasusmu sama dengan kasusku, anak muda,” Justin menyeletuk, menatap pada Aaron. “Aku dan ibumu juga bertemu di Bar dan meminta ibumu bekerja di rumahku untuk menjadi penjagamu. Apa kalian berdua adalah reinkarnasi dari kita?”
            “Justin, aku tidak percaya dengan reinkarnasi,” ujar Alexis menggelengkan kepalanya.
            “Daddy, apa itu reinkarnasi?” Monica bertanya.
            “Ya, apa itu reinkarnasi?” tanya Mozzy yang ikut-ikut bertanya. Jonathan memang seorang anak kecil yang pendiam, sehingga tiap pagi ia selalu menjadi pendengar yang baik dan memperhatikan keluarganya yang selalu berbicara sesuatu yang dia sendiri tak tahu apa yang sedang keluarganya sedang bicarakan. Justin melirik pada si kembar melalui sudut matanya lalu menatap pada Alex yang berpura-pura tak menatapnya.
            “Aku tak tanggung,” ujar Alex mendongak, kali ini menatap Justin.
            “Sial!” gumam Justin. Mengapa ia harus mengucapkan kata-kata yang tidak dimengerti di hadapan anak-anaknya?
            “Jadi di sini kau akan menjaga Moon dan Mozzy?” tanya Grace, mengabaikan ayahnya. Alice mengangguk. “Kurasa kau jangan terlalu dekat dengan kakakku, dia cukup berbahaya,”
            “Apa yang sedang kaubicarakan?” Aaron protes pada Grace. Apa Grace sedang menggodanya hanya untuk bercanda? Atau Grace memang benar-benar mengartikan kalimatnya? Alice hanya terdiam, tidak ingin membalas ucapan Grace. Ia tidak ingin Aaron dan Grace bertengkar.
            “Perlu kauketahui Grace Alison Bieber, aku telah menanggung segalanya. Biaya rumah sakit, perawatan, dan terlebih lagi uang pengganti segalanya! Kau harus tahu itu,”
            “Uang tidak dapat mengembalikan masa depannya, kau setan,”
            “Grace!” Alex menegur anaknya.
            “Dia tentu saja tidak memiliki masa depan yang cerah karena memerawani adikku! Kau seharusnya tahu diri, aku telah membelamu! Apa kau ingin hamil di luar nikah? Apa kau ingin masa depanmu rusak? Beruntung aku merusak masa depannya demi masa depanmu kau bodoh! Kau bilang aku tidak pernah mengerti perasaanmu, semua itu karena aku peduli padamu! Dengan Blake yang tidak dapat bereproduksi, aku dapat menyelamatkan begitu banyak wanita di sekitar Atlanta ini, kau tahu itu!”
            “Apa maksudmu menyelamatkan? Kau jelas-jelas merusak masa depannya. Ia tidak akan mempunyai anak lagi, persetan denganmu!”
            “Grace! Jaga bicaramu anak muda!” Justin menegurnya. “Apa yang dikatakan kakakmu itu semuanya benar!”
            “Daddy selalu saja membela Aaron. Aku tidak percaya kalian selalu berkerjasama selama ini,” Grace melipat tangannya di depan dada, matanya mulai berkaca-kaca.
            “Apa kau yakin anak-anak itu akan mendapatkan perhatian dari Blake?”
            “Apa pedulimu terhadap anak-anak Aaron?” Grace mulai berdiri, Aaron ikut berdiri.
            “Jika aku tidak peduli pada anak-anak, aku sudah pasti akan membiarkanmu menangis saat banyak anak sekolah yang menjauhimu! Aku tidak mungkin mengantar Jonathan dan si kembar ke sekolah, tidak bermain bersama dengannya, dan kau tahu apa yang lebih membuatku merasa peduli dengan anak-anak? Sekalipun aku sibuk, aku masih dapat memperhatikan mereka dibanding dirimu yang sedang berusaha sedang merusak masa depanmu sendiri,”
            “Aku benci saat kau selalu menang berdebat denganmu! Argh! Aku membencimu!” Grace berteriak, berusaha menahan tangannya untuk tidak menjambak rambutnya. “Aku selesai, aku berangkat dengan Jordy,” ujar Grace pergi dari hadapan keluarganya. Semuanya terdiam, nafas Aaron naik-turun tak beraturan. Baru kali ini ia memarahi Grace sejahat itu. Grace menghilang dari ruang makan, Aaron kembali duduk di atas kursi.
            “Mommy, what happened?”
            “Yeah, what happened?
            “Nothing.” Alex hanya dapat tertegun dengan ucapan-ucapan Aaron yang memang segalanya adalah benar. Alex sekarang tahu. Ia tahu bahwa ..Aaron mencintai adiknya sendiri. Ia menelan ludahnya.

***

            Mobil berwarna hitam yang melaju itu tampak hening di dalamnya. Tidak ada yang bersuara sedikitpun. Terlebih lagi sang sopir yang terdiam, fokus terhadap jalanan yang berada di depan matanya. Aaron menolehkan kepalanya, memastikan ke belakang bahwa si kembar baik-baik saja bersama dengan Alice. Well, mereka memang baik-baik saja. Seharusnya, si kembar tidak perlu ditempatkan di dalam tempat duduk khusus untuk anak bayi. Tapi sejak Alex –ibu Aaron—melahirkan, Justin tampak lebih protectif terhadap anak-anaknya. Sehingga sekarang, si kembar harus berada di tempat duduk yang dapat dibawa keluar untuk digendong nanti. Aaron membelokan mobilnya untuk masuk ke dalam sebuah halaman sekolah. Sekolah Jonathan. Pagi ini Jonathan lebih pendiam dibanding hari-hari sebelumnya. Ia tidak mengucapkan sepatah katapun, yang dari tadi ia lakukan hanyalah matanya menatap pandang lurus pada jalanan yang dilewati oleh mobil yang disetir oleh abangnya. Biasanya, jika ia telah memiliki ruang bersama dengan Aaron, ia terus berceloteh tak ada henti. Hanya pada Aaron. Aaron menaikan rem tangan saat mereka telah sampai di parkiran sekolah. Tidak ada yang bergerak sama sekali. Well, jam masuk  sekolah belum berdering, mereka masih mempunyai waktu untuk berbicara.
            “Well, ada apa dengan adik kecilku?” tanya Aaron sambil menyandarkan siku-sikunya pada setir mobil tanpa mematikan mesin mobil. Jonathan yang memiliki wajah mirip dengan Justin itu mendongakan kepalanya. Biru matanya sama dengan Alex, maka dari itu Aaron senang sekali menatap mata Jonathan ..well, dan Mozzy. Hanya mereka berdua pewaris mata biru Alex. Dengan malas, Jonathan hanya mengangkat kedua bahunya, tampak sangat acuh. “Kau bisa menceritakannya pada kakakmu yang tampan ini,” paksa Aaron, percaya diri. Ucapan Aaron membuat Jonathan melotot lalu menelan ludahnya untuk menahan tawanya.
            “Kaubilang dirimu tampan? Well, harus kauketahui Aaron, aku lebih tampan darimu,” ucap Jonathan, kali ini lebih bersemangat. Nah! Itu dia adik Aaron yang kecil telah kembali. Aaron tersenyum sejenak lalu tertawa.
            “Oh? Benarkah? Bisa membuktikan itu?” tanya Aaron yang membuat Jonathan ingin berbicar tiba-tiba saja tersentak sesaat, ia terdiam. Jari telunjuk yang awalnya mengacung tinggi di depan wajah Aaron tiba-tiba saja menyusut. Jonathan tidak dapat membuktikan itu. Ia hanya memiliki teman-teman lelaki. Tidak ada anak perempuan yang menemaninya. Yang menyanjungnya hanya ibu cantiknya. Tidak ada yang lain. Grace tidak pernah memujinya.
            “Berarti kau tidak tampan, hah,” Aaron menghelakan nafasnya sambil menggeleng kepala. “Kau ignin tahu apa rahasia untuk menjadi lelaki tampan?”
            “Tidak perlu. Mommy telah memujiku tampan dan aku percaya aku tampan,”
            “Whoa! Kau ternyata hebat untuk mengelak. Well, mommy tidak akan menjadi kekasihmu kelak, kau tahu. Sedikit ilmu ketampanan untuk mendapat teman perempuan pagi ini? Tawaran ini tidak akan datang dua kali,” ujar Aaron, menggoda Jonathan. Alice dan si kembar yang berada di belakang hanya dapat memandang pertunjukan lucu antara adik dan kakak yang saling menghina dan menggoda. Dan yeah, saling meninggi diri. Jonathan menimbang-nimbang tawaran kakaknya, berpikir waktu masuk sekolah akan berdering, akhirnya Jonathan menarik nafas.
            “Baiklah,” ujarnya lesu.
            “Alice, kemarilah,” suruh Aaron membuat Alice mencondongkan tubuhnya ke depan. Kemudian Aaron membisikan Alice sesuatu, ia tertawa. “Baiklah,” bisik Alice memundurkan tubuhnya.
            “Apa? Apa yang kaubisikan padanya? Cepatlah, aku tidak memiliki banyak waktu,” ujar Jonathan melihat jam digital yang berada di dalam mobil kakaknya. Kemudian Aaron mengulurkan tangannya ke atas kepala Jona dan memejamkan matanya.
            “Biarlah ketampananku turun pada adikku,” ujar Aaron sambil tangannya mengusap-usap kepala Jona hingga rambut Jona yang panjang acak-acakan. “Hey! Berhentilah! Kau membuatku semakin jelek!” teriak Jona menarik tangan Aaron dari kepalanya. Aaron tertawa lalu menarik tangannya dari kepala Jonathan.
            “Baiklah, aku hanya berusaha untuk merapikan rambutmu. Tunggu, aku rasa aku menyimpan di dalam jasku,” ujar Aaron sambil membalikan kepalanya pada Alice. “Bisa kau ambil jas yang tergantung di belakang sana?” tanya Aaron menunjuk pada jas hitamnya yang berada di kursi belakang, namun sedang berada dalam keadaan menggantung. Langsung saja tangan kecil itu menarik jas milik Aaron lalu memberikannya pada Aaron.

*Aaron Bieber POV*

            Kuraih jasku yang berada di tangan Alice cepat-cepat. Waktuku tinggal sedikit untuk merapikan rambut Aaron agar sama dengan rambutku. Well, memberikan sedikit gel pada rambutnya agar sama dengan rambutku. Hanya sedikit, aku tidak begitu suka memakai gel hingga rambutku benar-benar kaku. Jona menghadapkan kepalanya padaku sehingga aku dengan mudahnya mencolek sedikit gel yang kuambil dari kantong jas. Kurapikan rambutnya ke samping agar lebih rapi. Well, ia memang tampan. Adikku memang harus tampan sepertiku. Walau aku tahu aku berbeda dari yang lain, tapi aku tidak peduli. Secara natural, orang yang hidup selalu bersamaan wajah mereka semakin lama akan semakin mirip. Well, hanya untuk orang-orang tertentu, hell, aku tidak tahu dari mana aku tahu itu. Senyum kecil muncul di wajahku saat aku mengamat-amati ketampanan adikku. Oke, dengan seperti ini pasti akan banyak anak perempuan yang akan bermain dengannya.
            “Kau sudah tampan sekarang. Ayo cepat angkat bokongmu dari kursi ini! Waktumu tidak banyak untuk memberikan pesonamu pada banyak orang, oh, aku sangat yakin guru-guru akan memujamu,”
            “Baiklah, baiklah,” seru Jona membuka pintu mobil lalu pergi dari hadapanku.
            “Jadi anak yang baik! Jangan menggoda teman perempuanmu!”
            “Aku tidak berjanji!” teriak Jona sambil menutup pintu mobil, ia tertawa-tawa seperti anak kecil yang gila. Sama sepertiku yang kadang-kadang gila. Kuhelakan nafas, tanganku memegang rem tangan, mataku melihat pada kaca spion yang berada di dalam mobil untuk melihat Alice dan si kembar yang dari tadi suara mereka tak kudengar. Mungkin hanya bisikan-bisikan aneh dari belakang.
            “Siap untuk pergi ke sekolah?” seruku bertanya.
            “Yes Peepee!” seru si kembar mengangkat kedua tangannya ke udara. Aku tertawa. Well, aku berpikir untuk menunggu si kembar bersama dengan Alice adalah ide yang bagus.

***

            Tapi ternyata tidak. Itu bukanlah ide yang bagus sama sekali. Aneh. Aku sudah sering menunggu si kembar di sekolah mereka tapi para ibu-ibu yang menunggu anak-anaknya sering melihatku. Itu cukup membuatku risih dengan mata mereka yang liar. Entahlah, apa mereka tidak sadar bahwa mereka telah memiliki suami? Lagipula jika mereka menginginkanku, aku tidak menginginkan mereka. Itu sangat menjijikan. Terlebih lagi mereka telah menjadi ibu-ibu yang memiliki anak. Well, jika Alex bukanlah ibuku, aku sudah pasti memacarinya sejak dulu. Tapi aku sadar, ia adalah ibuku dan aku menyayanginya sebagai ibuku. Alice tampak begitu senang bermain dengan Mozzy dan Moon bersama dengan anak-anak yang lain. Well, yang mereka lakukan selama di sekolah hanyalah untuk bermain-main untuk menambah kreatifitas mereka. Moon suka bermain pasir bersama dengan Mozzy, entah apa yang sering mereka buat tapi untukku, apa pun yang ia buat pasti bagus.
            Sama seperti sekarang, Alice dengan Moon dan Mozzy sedang bermain pasir. Sekop kecil berwarna kuning telah berada di tangan Moon sedangkan ember biru berada di tangan Mozzy. Guru-guru di sini sering menilai mereka dengan apa yang mereka lakukan selama mereka di sekolah. Apa perilaku mereka baik atau tidak. Sampai mana kecerdasan mereka dalam bermain. Kreatifitas mereka dalam membuat sesuatu. Tak jarang Moon dan Mozzy selalu pulang dengan kue bintang berwarna kuning dari guru mereka karena mereka melakukan sesuatu yang bagus. Kue buatan guru di sini memang terbilang enak sekali. Entah sekolah ini sangat lucu. Biasanya sekolah lain anak-anak mereka diberikan nilai bintang pada bukunya, tapi hey, benar juga. Ini hanyalah play group. Anak-anak hanya bermain. Hanya belajar bekerja sama. Tiba-tiba Bluetooth yang kupakai berdering, langsung saja aku mengangkat telepon sialan ini.
            “Bieber,” ujarku, tegas.
            “Yo! Aaron! Kau datang hari ini?” suara Max terdengar di telingaku, ia bertanya soal rencana kami nanti malam. Menatap Alice sejenak, aku berpikir, mungkin ia dapat kubawa ke Penthouse malam ini. “Well, aku membawa gadisku, apa itu tidak apa-apa?” logat dari suara Max memang berciri khas, tentu saja. Ia ras hitam, orang kulit hitam biasanya berbicara dengan logat seperti sedang melakukan rapp, padahal sebenarnya tidak. Satu lagi, aku tidak bermaksud untuk rasis.
            “Yeah, aku juga membawa gadisku. Berapa malam ini?”
            “Terserah kau, man! Kaulah ketuanya, kau yang berhak untuk menetapkan perjanjiannya,”
            “Bisa diatur,” desisku menyipitkan mata, menajamkan tatapanku pada Alice yang tertawa-tawa dengan riang di pinggir kotak pasir. Dia tampak sempurna dengan rambutnya yang berwarna hitam. Tidak begitu hitam, ia mengkilap.

***

            Mataku menatap pada seorang wanita yang muncul di hadapanku dan para temanku. Pakaian yang ia pakai benar-benar seksi. Seragam putih yang biasa suster rumah sakit pakai telah melekat pada tubuhnya yang berisi dan padat. Buah dadanya besar. Pinggangnya kecil. Rok yang ia pakai benar-benar pendek serta kancing-kancing yang seharusnya menutup bagian dadanya terbuka dengan sengaja. Menarik. Well, aku yang menyuruhnya ke sini, tapi tidak dengan pakaian super seksi itu! Aku mengeras di bawah sini. Yeah, aku telah berada di Penthouse. Perkumpulan ini hanya mengedepankan seksualitas. Untuk memenuhi kebutuhan biologis kami. Tapi, aku tidak sering memakai gadis-gadis yang muncul tiap kali pertemuan. Max memang membawa teman gadisnya, harus kuakui, gadis berkulit hitam manis itu benar-benar menarik. Namanya Macy. Hampir sama dengan toko pakaian Macy’s. Alice duduk di sebelahku, matanya melihat pada Laura –gadis yang memakai seragam suster—yang sedang menari-nari dengan erotis di atas panggung kecil yang kubuat dengan tiang di tengahnya. Yeah, seperti penari telanjang. Well, batas untuk menggoda lelaki-lelaki di sini hanya berhenti pada celana dalam dan bra yang harus masih melekat. Selebih itu, mereka tidak akan kami pakai.
            “Mengapa kau membawaku ke tempat yang seperti ini?” Alice bertanya padaku, bingung. Well, untuk apa lagi? Untuk melihat gadis-gadis seksi yang akan kupakai. Kautahu, Laura sekarang adalah taruhan kami. Well, aku memiliki kurang lebih tujuh anggota di perkumpulan ini untuk mengumpulkan uang taruhan. Aku yang akan memutuskan seberapa banyak uang yang harus dikeluarkan tiap malamnya. Dan yeah, malam ini kami telah mengumpulkan uang sebanyak 40.000 dollar. Satu orangnya 5000 dollar. Dan siapa pun yang tidak tahan untuk menahan hasratnya malam ini, ia harus membayar tiap satu orang 40.000 dollar sehingga ia harus membayar delapan kali lipat dari uang awalnya. Yeah, aku bisa mendapatkan 40.000 dollar. Dan uang 40.000 dollar yang telah kami kumpul akan diberikan pada si pelacur yang sedang menari-nari di atas panggung sana. Aku terdiam, tidak menjawab Alice namun kudengar ia mendengus. “Aku ingin pulang. Ini bukanlah tempat yang baik untukku,”
            “Diamlah, aku sedang menonton Laura. Ini. Gunakanlah ini sebaik mungkin agar kau tidak begitu banyak bicara,” ujarku sambil mengambil iPad yang kutaruh di kantong jas dalamku yang besar. Tanpa menatapnya, aku menyodorkan pada Alice yang langsung mengambilnya. Kemudian aku kembali berkonsentrasi pada Laura yang sekarang ia telah membuka satu kancing yang seharusnya menutupi perutnya. Sial dia sangat seksi! Terlebih lagi ia memiliki rambut cokelat yang bergelombang. Mengingatkanku padanya.

*Alice Lancale POV*

            Aku tidak mengerti mengapa Aaron membawaku ke tempat ini. Ia bilang padaku bahwa malam ini kami berdua akan bersenang-senang. Ia akan membawaku ke tempat karaoke. Memang saat mobilnya berhenti di depan gedung bertingkat ini kupikir adalah tempat karaoke karena saat kami memasuki gedung ini, begitu banyak orang yang ingin memesan ruang karaoke bersama dengan pasangannya. Tapi Aaron? Ia tidak perlu mendaftar terlebih dahulu. Ia langsung saja masuk ke dalam lift dan akhirnya aku berada di sini. Ini bukan seperti tempat karaoke, ini tempat penari telanjang bermain. Aku bukanlah wanita yang menyukai sesama wanita. Meski aku melihat ada satu orang gadis yang berkulit hitam manis berada di dalam ruangan ini. Dan awalnya aku berpikir, aku akan bersenang-senang dengan Aaron hanya berdua saja. Tapi kenyataannya, teman-teman Aaron juga ikut. Aku merasa bosan. Well, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dengan iPad ini. Aku tidak menyukai permainan. Aku tidak suka bermain internet. Dan sialnya, aku orang yang selalu mengeluh. Oh, Alice! Berhentilah mengeluh! Nikmatilah apa yang sedang kaupegang. Kemudian aku mencari bacaan di dalam iPad, well, aku suka membaca buku.
            “Kau ingin minum?” suara Aaron mulai kudengar saat teriakan berisik dari pada teman-temannya. Kudongakan kepalaku, tepat sekali! Tepat sekali mataku melihat pada Laura, si penari telanjang itu membuka pakaiannya sehingga sekarang ia hanya memakai bra dan celana dalam. Dimana rasa malu wanita ini? Aku menelan ludahku. “Tidak berat, minumlah,” suara Aaron kembali membuatku tersadar sehingga aku membalikan kepalaku padanya. Segelas anggur telah ia pegang lalu ia menyodorkannya padaku, senyumannya benar-benar luar biasa manis. Jantungku berdetak lebih kencang dari biasa dan kupu-kupu yang berada di perutku sedang menari-nari. “Minumlah, aku memaksa,”
            “B-baiklah,” Ia memaksa! Aku berseru dalam hati. Apa yang dapat membuatku menolak dirinya? Kurasa tidak ada. Tanganku mengambil gelas anggur dari tangannya yang besar, well, tanganku tidak begitu halus. Tidak seperti tangan Alex atau Grace yang lembut. Kemudian aku meneguk anggur ini hingga aku memejamkan mataku, kudengar Aaron tertawa.
            “Nikmatilah. Jangan menyusahkan dirimu dengan sesuatu yang nikmat,”
            “A-aku tidak terbiasa,” ujarku. Bersamaan dengan itu, seorang lelaki bangkit dari tempat duduknya lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.
            “Oh man! Aaron, kau memang berengsek. Bisa-bisanya kau membawa gadis seksinya ke sini. Ambillah, kalian memang sialan,” ujar seorang lelaki berambut panjang kira-kira 4 inchi, hampir sama dengan rambut milik Aaron. Bedanya lelaki ini memiliki bibir yang tipis serta warna mata biru. Aaron hanya tertawa pelan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku terdiam sejenak melihat rambutnya yang bergerak lambat. Oh sial! Ini adalah pemandangan yang benar-benar luar biasa. Bagaimana bisa ia tampak begitu menawan? Aku tidak pernah berpikir ini akan terjadi dalam hidupku. Tapi ini sangat luar biasa! “Aku tidak menanggung apa pun, Joe. Itu masalahmu,” kembali suaranya terdengar seperti malaikat yang sedang bernyanyi. Tiba-tiba saja lelaki yang bernama Joe itu melemparkan satu per satu lelaki yang berada di sini satu koper yang entah apa yang ada di dalamnya.
            “Kau memang yang terbaik,” ujar Aaron terkekeh pelan lalu tiba-tiba menolehkan kepalanya padaku. “Kita pulang, tapi bukan ke rumah ayahku. Tapi apartemenku,” ucapan Aaron tiba-tiba saja berubah bersama dengan raut wajahnya juga. Ada apa? Ia menatapku tajam dan ia berbisik begitu ..menakutkan. Kutautkan kedua alisku.
            “Mengapa?”
            “Karena ada sesuatu yang harus kita lakukan,”
            “Apa?” aku bingung, sangat bingung. Dalam kebingungan, Aaron menarik tanganku untuk berdiri dari sofa yang dari tadi kami telah duduki. “Ke apartemenku sekarang atau hidupmu tidak akan tenang.”
***

            Mataku melihat ke sekliling ruangan apartemen Aaron yang baru saja kuinjak.  Dinding putih menutupi diriku dan dirinya dari dalam sini terhadap dunia luar. Sejak perjalanan menuju apartemen, Aaron hanya mendengus terus menerus dan tidak pernah menjadi pertanyaan yang kutanyakan. Ia bilang padaku untuk diam, tak mengatakan sepatah katapun. Aku melakukannya. Aaron sedang masuk ke dalam kamar mandinya sehingga aku menunggunya di ruang tamu. Sofa kulit hitamnya sangat menarik perhatian. Banyak teman-teman kerja memberitahuku tentang sofa kulit. Jika digunakan oleh pemuda seperti Aaron, berarti Aaron sering melakukan hubungan badan. Aku tidak pernah sebelumnya melakukan hubungan badan, bahkan aku tidak penasaran bagaimana rasanya seperti yang biasanya orang-orang katakan. Padahal tiap harinya, kakakku selalu membawa satu per satu wanita yang berbeda. Well, aku tahu apa yang mereka lakukan tapi aku tidak mengambil pusing. Berpikir tentang aku berada di apartemen ini, aku merasa seperti keluarga sekarang. Setelah dua hari yang seru kulakukan, aku merasa begitu dekat dengan keluarga Bieber. Mungkin karena beberapa bulan yang lalu aku pernah bertemu dengan Mrs.Bieber di panti asuhan sebagai relawan untuk merawat anak-anak di sana. Aku menjadi guru bahasa Inggris di sana untuk sementara waktu. Kakakku tidak setuju aku bekerja di sana karena tidak aku tidak mendapatkan uang. Tapi demi apa pun aku mencintai anak-anak. Mereka mempunyai hak untuk mendapatkan kasih sayang, meski bukan dari orang tua kandung mereka. Aku hanya ingin anak-anak di panti asuhan mendapatkan kasih sayang yang cukup, tidak sepertiku yang memang memiliki keluarga namun aku tidak pernah merasa merekalah keluargaku. Bahkan aku mencoba untuk lari dari mereka, hanya saja aku tidak bisa. Kehidupanku bergantung pada orang tua lalu mereka pergi. Tidak ada yang bisa kulakukan selain tinggal bersama dengan kakakku. Bahkan aku masih 18 tahun.
            Lama memperhatikan lukisan-lukisan yang dipajang di dinding putih milik Aaron, aku lelah berdiri.Kujatuhkan bokongku ke atas sofa hitam yang baru saja kubicarakan. Huh, jika aku berbicara, aku sering melantur. Mungkin karena itu juga banyak orang tidak menyukaiku. Mereka bilang aku adalah orang aneh. Aku hanya seorang gadis ceria yang ingin membagikan kasih sayangku kepada banyak orang. Terlalu banyak cinta dalam diriku yang harus kuberikan pada banyak orang. Termasuk Mozzy dan Moon, terlebih Aaron. Oh, demi apa pun, aku harus mengatakan banyak terima kasih padanya karena telah menyuruhku untuk bekerja di rumahnya. Karenanya, aku memiliki pekerjaan yang kusukai dan tidak ada lagi amarah dari kakakku. Aku tersenyum-senyum layaknya orang gila sekarang. Mengingat tatapannya yang ..entahlah, benar-benar memikat malam itu. Aku tahu ini gila tapi aku rasa aku jatuh cinta padanya. Mungkin. Aku tidak pernah merasakan jatuh cinta seumur hidupku, hanya saja aku belum tahu bagaimana orang mendekskripsikannya. Sehingga aku tidak begitu tahu apa aku pernah jatuh cinta. Aku hanya mengagumi. Tapi Aaron? Apa yang dapat menghentikannya? Entahlah.
            “Hei, apa kau baik-baik saja?” suara Aaron yang berat terdengar di telingaku, aku menoleh pada arah suaranya. Kemudian jantungku berhenti sesaat. Seorang lelaki berdada bidang dengan tattoo di pinggangnya yang ..aku tidak tahu itu tulisan apa. Tapi demi Tuhan, ia adalah lelaki terseksi yang pernah kulihat di dunia ini. Rambutnya basah, menyiratkan sesuatu yang aku sendiri tidak tahu bagaimana caranya menyampaikannya. Celana boxer hitam telah ia pakai. Rambutnya yang masih basah itu terus meneteskan air dari ujung-ujung rambutnya. “Alice? Apa kau baik-baik saja?” kembali suara Aaron membuyarkan lamunanku. Sontak aku berdiri dan mengerjapkan mataku berkali-kali.
            “Y-ya, aku baik-baik saja,” aku terkekeh pelan sambil memainkan jari-jariku, “apa aku boleh mengambil segelas air? Tenggorokanku kering,” karena melihatmu telanjang dada seperti ini! Aku melanjutkan perkataan dalam hati. Sialan. Ini adalah perubahan yang sangat pesat dalam diriku. Mengingat apa yang Mrs.Bieber katakan padaku tadi siang hingga sore mengenai dua lelaki Bieber yang luar biasa tampan. Tapi ketampanan Aaron berbeda dengan ketampanan Mr.Bieber. Mr.Bieber memang tampan, harus kuakui, hanya saja ia sudah berumur. Dan Aaron, ia memiliki pahatan pipi yang lebih curam sehingga aku seperti melihat dewa di hadapanku. Aaron menjilat bibirnya sebentar, membuatku terkesiap. Apa-apaan yang sedang ia lakukan? Itu membuat getaran elektrik di hatiku.
            “Ambillah, aku hanya ingin memastikan dirimu baik-baik saja di luar sini. Tapi ..melihatmu tersenyum-senyum sendiri membuatku khawatir. Apa yang kaupikirkan tadi?” tanya Aaron sambil berjalan menuju ruang dapur yang berada di belakang tubuhnya, langsung saja aku ikut berjalan menuju dapur. Bahu dan punggungnya benar-benar lebar, bahkan ototnya sudah terlihat tanpa ia kencangkan. “Katakan padaku apa yang kaupikirkan,” tuntut Aaron membuka pintu kulkas, mengeluarkan sebotol air putih yang masih bersegel. Kemudian ia memberikannya padaku.
            “Aku hanya ..aku sangat berterima kasih padamu, Aaron. Kau benar. Aku memang cocok bekerja di pekerjaan ini dibanding pekerjaanmu sebelumnya,” ujarku menarik nafas, menahan jeritanku. “Dan karena kau ..hhh ..aku lebih merasa hidup. Terima kasih, Aaron,” aku menarik nafas kembali untuk menahan jeritanku, lagi. Demi Tuhan aku ingin memeluknya sekarang, tapi melihat keadaannya yang telanjang di balik handuk itu, aku tidak jadi memeluknya. Aaron terdiam sejenak, tangannya bertumpu pada meja makan untuk menahan tubuhnya. Salah satu sudut bibirnya tertarik ke atas dengan salah satu alis yang terangkat juga.
            “Kau yakin dengan apa yang kaukatakan? Aku ingin membuat perjanjian denganmu,” ucap Aaron menegakan tubuhnya kembali lalu ia berjalan melewati tubuhku. Benar-benar harum! Kubalikan tubuhku untuk mengikutinya sambil tanganku membuka tutup botol. “Aku ingin kau ..masuklah,” suruh Aaron saat kami telah berada di depan pintu kamarnya. Kemudian aku masuk.
            “Aku ingin kau ..menandatangani perjanjian ini. Ini adalah perjanjian yang pernah kulakukan bersama dengan seorang wanita bernama Kath. Dia seorang gadis berambut pirang yang sangat seksi, dan yeah, hubunganku dengannya berhenti di tengah jalan karena ia tidak tahan denganku,”
            “Apa yang terjadi?” tanyaku tertarik.
            “Perjanjian ini berisikan bahwa kau akan melakukan apa pun untukku ..dengan begitu aku dapat melindungimu dari apa pun. Ini untuk kebaikanmu, kurasa,” ucapan Aaron membuatku terkejut. Aku melakukan apa pun untuknya? Hell! Tidak. Aku tidak mau. Aku dapat melindungi diriku sendiri, aku hanya butuh pekerjaan sederhana ini. Tanpa gajipun, tak apa. Tapi perjanjian konyol itu? Tidak, terima kasih. “Kau belum mendengar lanjutannya, sayang. Aku mengubahnya sedikit. Kau tidak perlu melakukan apa pun untukku ..tapi hanya kau harus mencintaiku agar semuanya berjalan dengan baik,”
            “Aku tidak mengerti,”  tanpa ragu-ragu aku terduduk di atas tempat tidurnya.
            “Kau hanya perlu mencintaiku agar semuanya berjalan dengan baik, sayang. Tidak, aku tidak akan menyakitimu, aku justru akan melindungi dirimu,”
            “Tujuan?”
            “Aku sedang ingin membalas dendam, Alice, my dear. Kau harus melakukan ini untukku, tolonglah?” ia bersungut padaku. Secarik kertas telah berada di tangannya sekarang. Dia serius? Aku terdiam sejenak. Aku hanya perlu mencintainya maka semuanya akan berjalan dengan baik. Mengapa? Dia ingin membalas dendam pada siapa? Aku tidak mengerti. Apa mungkin ia ingin membuat seseorang cemburu? Kurasa tidak. Tidak mungkin ia melakukan hal semurah itu. Ia bilang ia tidak akan menyakitiku. “Aku melakukan ini karena ..aku ingin belajar untuk menjalin sebuah hubungan. Setidaknya, kita mencoba?” tanya Aaron. Sudah kuduga, tidak mungkin ia memiliki niat yang buruk terhadapku.
            “Aku pikir kau sangat ahli dengan seorang wanita?”
            “Secara teknis, ya. Tapi aku tidak pernah menjalin hubungan asmara, kumohon?”
            “Mengapa aku?”
            “Aku tahu kau akan bertanya seperti itu,” bisik Aaron menarik nafasnya, satu tanganya yang lain menutup mulutnya dengan jari-jarinya yang panjang. Lalu ia berjalan bolak-balik di tempatnya, seperti ia berpikir. Aku membiarkannya berpikir sebentar. Lalu ia menarik nafasnya, melepaskan tangannya dari mulut. “Karena aku tahu, kau akan percaya padaku,” bisiknya menatap mataku. Matanya seperti harimau, memang benar apa yang dikatakan Mrs.Bieber tentang matanya. Seperti harimau yang ..bernafsu. Dan yeah, aku percaya padanya.
            “Kumohon Alice, kau harus percaya padaku,”
            “Baiklah,” tanpa ambil pusing, Aaron langsung memberikan kertas itu padaku sambil mengambil satu pulpen yang ia taruh di dalam laci meja lampunya. “Tapi aku masih ragu dengan ini. Maksudku, ini adalah pengambilan keputusan tercepat yang tak pernah kulakukan sebelumnya,” ujarku cukup ragu. Bagaimana jika Aaron tidak jatuh cinta padaku? Bagaimana jika ini tidak akan berjalan dengan baik? Itu sama dengan aku membuang-buang waktu. Tapi setidaknya ..aku memiliki pengalaman.
            “Alice, ini memang terdengar konyol. Perasaan memang tidak dapat dipaksakan, tapi seperti yang kubilang sebelumnya padamu. Dalam waktu dua hari ..kau akan mencintaiku,” dan dia memang benar. Aku jatuh cinta padanya, itu gila. Ucapannya seakan-akan adalah nubuat, tapi kenyataannya adalah tidak. Ini natural. Aku jatuh cinta dengannya karena perlakuannya dingin namun tampak begitu perhatian. Terlebih lagi dia adalah lelaki pecinta anak kecil. Aku bisa melihatnya dari tatapan matanya pada Mozzy, Moon dan Jonathan. Tampak damai.
            “Tapi bagaimana jika kau tidak mencintaiku?” aku ragu-ragu. Aaron tersentak, ia memegang kedua bahuku lalu meremasnya. Sial. Tatapan mata macam apa ini? Dia terlalu menggoda.
            “Kita hanya mencoba, sayang,” tangannya menyentuh pipiku dengan lembut. Kemudian aku mengangguk. Setidaknya aku dapat memperlihatkan rasa cintaku padanya. Dibandingkan aku harus memendamnya seperti orang yang mengharapkan sesuatu yang tidak pasti? Ini pasti. Dia adalah pacarku jika aku menandatangani perjanjian ini. “Percaya padaku,” bisiknya tersenyum. Tanpa membaca kertas ini, aku langsung menandatanganinya. Kemudian aku mendongak, menatap Aaron malu-malu.
            “Sekarang, kau adalah kekasihku. Kita akan menjalaninya perlahan-lahan. Aku akan belajar mencintaimu. Melalui dirimu, aku mungkin akan dapat merasakan sesuatu yang tidak pernah kurasakan sebelumnya,” bisik Aaron menarik kertas perjanjian ini lalu melemparnya asal. Meski ini adalah kejadian terjadi yang pernah kulalui dalam hidupku dan terdengar begitu aneh, aku akan menjalankannya selama itu bersama Aaron. Aku percaya padanya. “Cium aku,” ia berjongkok di depanku.
            “Apa?” aku tergagap, tidak percaya ia akan menawarkan sesuatu yang tidak pernah kuharapkan. Bahkan aku tidak pernah berpikiran sampai kepada ciuman. Aku ..tidak pernah berciuman. Cukup memalukan. “Aku tidak pernah berciuman sebelumnya,” bisikku menundukan kepala. Jari-jariku bermain tak menentu, merasakan kegugupan atas rasa malu yang telah kuperlihatkan. Namun salah satu jarinya yang panjang menaikan daguku sehingga aku mendongak.
            “Kau tidak perlu malu. Aku akan memberi pelajaran padamu. Pelajaran yang luar biasa. Sesuatu yang tidak pernah kautemui sebelumnya. Percaya padaku, Alice, aku akan mencoba mencintaimu,” bisik Aaron menarik leherku hingga aku menunduk. Bibir kami bertemu, aku memejamkan mataku, berusaha untuk menikmati permainan ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar