***
Aku
hanya terduduk dengan malas di atas sofa milik Zayn. Hari ini aku menginap di
rumah Zayn bersama Justin dan Caitlin. Setidaknya, tempat ini lebih baik
daripada rumah Avan kemarin. Ya, kemarin aku menginap di rumah Avan. Aku malas
sendirian di rumah. Jadi lebih baik aku menginap di rumah orang-orang
terdekatku. Kutatapi Justin, Zayn dan Caitlin yang sedang bermain SORRY di atas
lantai. Justin tampak tidak ingin berbicara denganku sejak aku datang ke rumah
Zayn.
“Sorry,
Justin,” ujar Caitlin tertawa pada Justin. Justin hanya ikut tertawa dengan senang.
Uh, aku benar-benar cemburu sekarang. Mereka begitu serasi, jika kulihat dari
sini. Tapi aku mengembangkan senyuman palsu saat Zayn menatapku dengan tatapan
yang aneh. Dia kasihan denganku, aku tahu itu.
Aku
memeluk perutku. Hari ini aku sangat kelelahan. Ingin aku pingsan dan perasaan
cemas selalu menghampiriku. Kupejamkan mataku untuk mengurangi rasa lelahku
ini. Dan seharian ini aku sering pergi ke toilet untuk buang air kecil. Tapi
itu sudah tidak terjadi lagi sekarang. Hanya saja aku kelelahan. Tiba-tiba 2
buah tangan merangkulku. Sontak aku membuka mataku dan melihat Zayn yang ingin
menggendongku. Langsung saja aku merangkulkan tanganku pada lehernya.
“Kenapa
kau terlihat begitu pucat? Apa kau sakit?” bisik Zayn bertanya dengan
perhatian. Aku menggelengkan kepalaku dan memejamkan mataku kembali. Zayn
melangkahkan kakinya untuk membawaku ke kamar kosongnya. *ceklek* Zayn menutup
pintu kamarnya dan menaruh tubuhku ke atas tempat tidur.
“Apa
kau akan baik-baik saja jika aku tinggalkan sendirian di sini?” tanyanya dengan
perhatian, lagi. Aku menganggukan kepalaku.
“Tapi,
tolong panggilkan Justin,” suruhku padanya. Ia menganggukan kepalanya dan
tersenyum padaku. Pintu kamar kosong ini ia buka dan menutupnya kembali.
Aku
menatap langit-langit kamar ini. Perutku begitu kram dari tadi siang. Tapi aku
selalu menahan rasa sakitnya. Kurasa aku harus pergi ke dokter kandungan.
Kurasa kandungan ini sudah berumur 1 minggu. Karena aku pernah membaca artikel
di internet, tanda-tanda kehamilan. Dan ya, mereka benar. Dokter-dokter itu
memang benar.
Pintu
kamarku terbuka dan melihat Justin yang muncul di hadapanku. Ia tersenyum manis
padaku. Seakan-akan tidak ada yang terjadi kemarin.
“Jadi,
bagaimana kabarmu?” tanyanya basa-basi. Aku ingin menamparnya. Sudah
jelas-jelas aku pucat dan lemas. Ia masih bertanya bagaimana kabarku. Kabarku ?
Aku hamil! Jadi aku lelah seperti ini. Lelah karena kau, Justin Bieber!
“Apa
kau sudah mencari pekerjaan?” tanyaku membangunkan tubuhku dengan susah. Dan
berhasil! Aku menyandarkan tubuhku pada kepala tempat tidur. Menurut para
dokter, kita harus duduk dengan baik jika kita sedang hamil. Meski aku tahu aku
belum hamil lebih dari 6 bulan. Tapi setidaknya aku bisa belajar dari sekarang.
“Ya,
aku sedang berusaha. Dengar,” ucap Justin berhenti berbicara sejenak.
“Aku
akan berusaha untuk mencari pekerjaan apa pun itu. Dan aku akan
bertanggungjawab atas kehamilanmu. Tapi tolong, jangan sekarang. Aku tidak
bisa.”
***
*Author POV*
“Apa
yang bisa kaulakukan dengan supermarketku?” tanya seorang lelaki tua di depan
Justin dan menautkan kedua alisnya. Ia tampak ragu dengan anak muda yang berada
di depannya ini. Justin dengan acuhnya terkekeh pelan. Dan membenarkan cara
duduknya menjadi tegap. Ia tampak tidak berperilaku sopan di depan kakek tua
ini.
“
Apa pun. Aku bahkan bisa memasukan linggis ke dalam ****** istrimu itu!” ujar
Justin dengan kata-kata kotor yang keluar dari mulutnya. Kakek tua itu tampak
terkejut dengan kata-kata yang Justin keluarkan dari mulutnya dan menggelengkan
kepalanya.
“Tidak
ada orang yang pernah berbicara seperti itu padaku,” ujar kakek tua itu tampak
tidak menyukai kata-kata Justin. Justin tersenyum dalam hati, ia memang belum
siap untuk mendapatkan pekerjaan. Tapi, Justin akan segera mendapatkan
pekerjaan sekarang. Karena beberapa detik kemudian kakek tua itu tersenyum pada
Justin dan mencondong tubuhnya.
“Kau
kuterima!” ujar kakek tua itu tersenyum dengan senang. Senyuman dalam hati
Justin tiba-tiba surut begitu saja. Begitu juga dengan sinar di wajahnya yang
tiba-tiba saja menampakan wajah kecewa. Ia tidak menginginkan pekerjaan ini
tapi ia harus melakukan ini. Bagaimana pun juga Justin harus bertanggungjawab
atas kehamilan sahabatnya. Sahabat!
“Shit!”
gumam Justin mulai berdiri dari tempat duduknya. Kakek tua itu juga ikut
berdiri dan menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Justin. Senyuman
kakek tua itu masih sama seperti tadi. Membuat Justin sedikit geli dengan
senyumannya yang terlihat seperti orang homo.
“Mulai
besok kau boleh bekerja!” ujar kakek tua itu menepuk-nepuk tangan Justin yang
masih ia pegang itu. Justin hanya memberikan senyuman paksa pada kakek tua itu
dan menarik tangannya dengan segera. Dalam hatinya ia menyumpahi dirinya
sendiri.
----
*Deep POV*
Dari
tadi aku tidak mengedipkan mataku. Layar monitor ini mengalihkan perhatianku
dari segala hal. Cerita dari novel ini sungguh menarik. Aku sangat suka
mengeditnya. Menarik karena cerita ini hampir sama seperti kehidupanku.
Kudengar suara hentakan kaki berjalan padaku. Dan stop! Hentakan kaki itu sudah
tidak terdengar lagi. Kepalaku mengadah ke atas, melihat Avan yang sedang
bersandar pada kayu pembatas tempat kerjaku. Kurasa kau tahu maksudku apa.
Sederetan gigi putihnya ia pamerkan padaku. Wajahnya memancarkan kebahagiaan.
Tak pernah aku melihat ia sebahagia ini. Setidaknya, sampai saat ini. Tangan
satunya yang tidak ia sandarkan pada kayu itu disembunyikan di belakang
punggungnya.
“Apa
yang kaubawa, Avan?” aku bertanya tidak begitu penasaran. Dan aku tidak akan
pernah penasaran terhadapnya. Karena dia selalu terbuka padaku. Menceritakan
hal-hal yang menurutku tak perlu ia ceritakan. Bahkan aku tidak menganggapnya
sebagai kekasihku. Jahat? Ya. Munafik? Ya. Aku memang seperti itu. Mengorbankan
perasaanku untuk melihat Avan bahagia meski aku tidak pernah merasa bahagia
berada di sampingnya. Sekalipun tidak.
Tiba-tiba
ponselku berdering. Tanda sms masuk. Tanganku dengan cepat mengambil ponsel
yang berada di atas meja kerjaku. Sudah kuduga. Sebuah sms masuk. Dari Justin,
senyuman kecil mengembang di wajahku. Aku
sudah mendapatkan pekerjaan, kulakukan ini hanya untukmu. Love u. Isi pesan
singkat yang dapat membuat senyumanku mengembang lebih lebar lagi. Rasanya
jantungku ingin melompat keluar saat aku membaca kata ‘Love u’. Tolong
bangunkan aku dari mimpiku!
“Dari
siapa?” tanya Avan yang merusak kebahagiaanku, membangunkan aku dari mimpiku.
Oh, astaga! Aku begitu jahat padanya! Kurasa aku tidak melanjutkan hubungan ini
bersama Avan. Aku tidak ingin ia mencintaiku lebih dalam lagi dan pada akhirnya
ia mendapatiku tidak mencintainya. Itu lebih dari kejam, aku serius.
“Oh
tidak. Ini hanya dari sahabatku,” ucapku dengan jujur, “oh ya, apa yang kau
bawa?” tanyaku mengalihkan topik pembicaraan dengan sopan. Kebahagiaan di
wajahnya tidak terlihat lagi. Wajahnya begitu datar.
“Mmm,
tidak. Aku tidak membawa apa-apa. Memang apa yang kauharapkan?” tanya Avan
terdengar ketus. Ada apa dengannya? Ini yang pertama kalinya ia berbicara ketus
padaku. Karena memang itu kenyataannya, aku dan dia tidak pernah bertengkar.
Karena dia selalu mengikuti apa yang kumau. Bukan berarti aku memanfaatkannya.
Aku menurutinya juga, tapi hubungan kami selalu ada batasnya.
“Avan,”
aku memanggilnya dengan suara yang lembut, “ada apa? Ceritalah padaku. Aku siap
mendengarnya,”
“Ya?”
tanyanya ragu, “Benar?” Kuanggukan kepalaku. Tangannya menarik tanganku agar
aku berdiri. Lalu kami berjalan menuju ruang kerjanya.
Pikiranku
berkecamuk saat Avan menutup pintu kerjanya dengan kasar. Sampai-sampai aku
tersentak. Ia melepaskan pegangannya pada tanganku dan berjalan dengan cepat
menuju meja kerjanya. Apa yang ia inginkan? Ini bukan Avan yang kukenal. Aku
begitu khawatir dengan ucapanku saat aku berbohong padanya. Tentang pendonoran
sperma ini. Tidak mungkin aku jujur padanya. Itu akan menyakiti hatinya. Masalahnya
adalah Avan orang yang baik. Ia tidak pantas mendapatkan rasa sakit dariku.
Tidak sama sekali. Dan aku akan menjadi orang jahat jika itu memang terjadi
padaku. Kau tahu, kebohonganku terbongkar.
Kujatuhkan
bokongku ke atas kursi yang berhadapan dengannya, dibatasi oleh meja kerjanya
yang berada di tengah-tengah. Ia menggelengkan kepalanya. Apa ada masalah besar
yang ia alami sekarang? Perutku sekarang terasa penuh. Serius. Entah mengapa
kehamilan ini cukup menggangguku, bukan berarti aku tidak menginginkan anak
ini. Aku belum terbiasa dengan kehamilanku ini. Avan menatap padaku dengan raut
wajah yang sulit kubaca. Begitu datar dan tidak berarti.
“Awalnya
aku senang melihatmu begitu sehat hari ini. Tadi pagi aku tidak sempat
melihatmu karena aku mendapat rapat dadakan. Aku senang melihatmu tadi, begitu
serius dengan pekerjaanmu. Seperti biasanya,” ia berhenti berbicara. Menarik
napasnya, bernapas. Ia menarik napasnya saat berbicara denganku. Tidak seperti
biasanya, ia terlihat jengah.
“Aku
tidak mengerti denganmu, Deep. Apa yang kauinginkan dariku? Katakanlah,” ucap
Avan terdengar memohon padaku. Aku mengedipkan mataku beberapa kali dan
berpikir apa yang kuinginkan darinya. Tidak ada. Yang kuinginkan dari adalah aku ingin mengakhiri hubungan
ini. Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini.
“Aku
tidak tahu, Avan. Coba kau cari tahu, apa mauku,” tuntutku padanya. Matanya
menyelidiki, mengamati setiap inchi wajahku. Mencari tahu apa yang kumau dari
wajahku. Oh yang benar saja! Ia tidak mahir dalam membaca pikiran orang dari
wajahnya. Tidak sama sekali.
“Kau
ingin hubungan ini berakhir?” tanya Avan yang membuatku terkesiap. Jantungku
benar-benar ingin keluar dari tubuhku sekarang. Napasku sesak, tidak bisa
bernapas sekarang. Tebakanku salah besar! Ia benar dan aku tidak menyangkalnya.
Kutelan ludahku.
“Apa
menurutmu aku menginginkan itu, Avan?” tanyaku kurang yakin dengan apa yang
telah ia katakan. Bisa saja ia hanya menebak-nebak. Meski aku tahu aku akan
menjerit dalam hati karena kesenangan. Aku memang sangat jahat dengan lelaki
ini.
“Aku
tidak tahu. Mungkin, ya. Karena aku bingung. Kau tidak pernah membiarkanku
untuk masuk ke dalam kehidupanmu. Mengantarmu pulang ke rumah saja kau tidak
mau. Bergaul dengan teman-temanmu, kau melarangku. Aku sudah memperlakukan
dirimu sebaik mungkin,” ia berbicara cukup panjang kali ini, “kurasa kau belum
benar-benar menerima diriku. Aku sudah menganggap hubungan ini dengan serius.
Tapi, kau. Aku tidak tahu apa yang kau inginkan. Memiliki seorang anak? Kau
bisa mendapatkannya dariku. Kita bisa menikah. Tak perlu dengan donor sperma
seperti itu. Itu membuatku gelisah denganmu, Deep.”
“Jika
begitu, aku tidak bisa melanjutkannya lagi. Ini sudah lebih dari apa yang
seharusnya kuterima. Kau. Kau memang lelaki yang baik. Tapi, Avan. Kau tidak
mengerti diriku. Kau tidak memiliki hubungan yang santai denganku –“
“Lalu
mengapa kau menerimaku, Deep? Kenapa? Aku tidak akan pernah berpikiran negatif
dengan apa yang kaulakukan padaku, aku selalu menjauhkan pikiran ini dari
‘seorang-wanita-yang-menginginkan-uang-dariku’. Karena yang kupikirkan selama
aku berhubungan denganmu adalah membuatku menginginkanku. Aku menginginkanmu
dan aku mendapatkannya. Dan kupikir kau memang menginginkanku juga. Bahkan
sampai sekarang aku tidak bisa melihat sisi keinginanmu untuk memilikiku,” ia
memotong penjelasanku. Kuanggukan kepalaku satu kali.
“Kalau
begitu, ini sudah jelas, Avan. Sangat jelas. Permisi.” Aku berdiri dari tempat
dudukku dan pergi dari hadapannya. Hubunganku berakhir dengannya, tanpa jeritan
dalam hatiku.
***
“Benarkah?
Aku sangat senang kau telah memiliki pekerjaan Justin. Selamat,” ujarku bahagia
saat ia memberitahu aku, Caitlin, Zayn, dan teman-teman kami yang lain. Meski
aku sudah tahu sebelumnya. Kupeluk tubuh Justin yang tinggi ini sebentar dan
melepaskannya. Ini masih ramai dan aku mengerti perasaan Justin sekarang. Hanya
aku yang memeluk Justin. Caitlin masih terduduk di atas sofa milik Justin dan
tersenyum bangga pada Justin. Tersirat dari raut wajah Justin yang cukup kecewa
dengan respon dari Caitlin. Zayn berseru senang dan terus melirik ke arahku.
Entah apa maksudnya dan aku tidak pernah berpikir itu akan terjadi. Sangat
tidak mungkin bukan kalau Zayn menyukaiku? Aku sudah berbadan dua sekarang!
“Kau
bekerja sebagai apa Justin?” tanya Caitlin dengan suaranya yang super lembut.
Kontras dengan suaraku tadi. Aku menjerit bagaikan orang yang ingin diperkosa.
Senyum kecil terlihat di wajah Justin. Ia terlihat sangat senang saat Caitlin
perhatian dengan pekerjaannya.
“Aku
bekerja di supermarket. Di bagian kasir,” jelas Justin.
“Justin,
apa aku boleh ke kamar duluan? Karena aku sudah lelah sekali,” ujarku pada
Justin. Justin menganggukan kepalanya. Dengan cepat aku berdiri dari tempat
duduk yang empuk ini dan pergi ke kamar tamu milik Justin. Sebenarnya, tinggal
di rumah Justin adalah rutinitas yang sangat biasa kulakukan. Semuanya sering
menginap di rumah Justin. Bergilir lebih tepatnya. Biasanya, setelah dari rumah
Justin, besoknya kami akan menginap di rumah Zayn. Lalu, rumah Caitlin dan
teman-teman kami yang lain. Harry, Liam, Louis dan Niall tinggal dalam satu
rumah yang besar. Peninggalan dari nenek Harry. Dan dengan senang hati Harry
menampung teman-temannya itu. Dan dengan mudah aku, Zayn, Justin dan Caitlin
menginap di rumahnya. Sungguh menyenangkan jika setiap hari kami melakukan itu.
“Aku
harus menemani Deep,” ucap Zayn yang terdengar sampai telingaku. Baru saja aku
ingin menutup pintu kamarku, Zayn berlari padaku dan menahan pintu yang akan
kututup ini. Ia membukanya dan masuk ke dalam kamar ini. Bokongku, kujatuhkan
pada kasur yang empuk ini. Yang biasanya aku baringi.
“Deep,
ada apa denganmu?” tanya Zayn yang membuatku sedikit terkejut akan
pertanyaannya yang tidak biasa kudengar. Ada apa denganku? Apa dia sudah
melihat perubahannya? Oh, itu tidak mungkin. Ini bahkan belum menginjak satu
bulan. Aku menautkan alisku.
“Maksudmu?”
“Kau
sangat berbeda, Deep,” ucapnya dengan
suara yang kecil. Ia masih berdiri di depan pintu kamar. “Ada apa denganmu?
Bisa kau ceritakan padaku apa yang terjadi?”
Aku
terkekeh pelan. Gila saja jika aku memberitahunya sekarang! Biarlah Justin yang
memberitahunya. Memberitahu pada teman-teman kami yang lain. Jika dia memang
lelaki yang tangguh, ia pasti bertanggungjawab akan kehamilanku dan tidak akan
malu akan kehamilanku.
“Aku
barus aja putus dengan Avan,” ucapku dengan sedikit kebohongan. Air wajah Zayn
tampak khawatir denganku. Kakinya melangkah padaku dan duduk di sebelahku.
“Bagaimana
itu bisa terjadi?”
“Ketidakcocokan.
Zayn, serius. Apa kau ingin membicarakan ini? Aku sudah lelah,” ucapku
hati-hati. Wajah Zayn tiba-tiba saja datar dan menganggukan kepalanya.
“Tidurlah.”
Ia
menganggukan kepalanya lagi. “Jika kau butuh sesuatu atau ada masalah yang
sedang kauhadapi, kau bisa meminta bantuanku kapan saja. Aku serius Deep.”
Zayn
berdiri dari kasur ini dan melangkahkan kakinya, keluar dari kamar ini. Hari
ini adalah hari yang menyenangkan sekaligus menyakitkan. Entah aku bisa melihat
sisi menyakitkan itu dari mana.
****
“Justin,”
aku terkejut saat aku mendapatkan Justin yang tertidur di sebelahku. Tangannya
berada di atas perutku. Dari sini, aku bisa melihat mulutnya yang begitu
berwarna merah jambu itu. Sangat menggoda. Kugelengkan kepalaku. Aku harus
membeli susu hamil hari ini. Aku memindahkan tangan Justin dari perutku.
Kemudian aku bangkit dari kasur ini dengan pelan lalu masuk ke dalam kamar
mandi yang berada di dalam kamar ini.
Kubuka
seluruh bajuku dan menggantungkannya pada gantungan baju yang tertempel pada
tembok ini. Kubasuh tubuhku dengan shower yang berada di atas kepalaku.
Kupejamkan mataku merasakan setiap kesegaran yang kudapatkan. Dan kuambil sabun
cair dan menggosok seluruh tubuhku dengan pelan. Aku tidak ingin mengeramasi
kepalaku, hari ini aku harus melakukan banyak hal. Jadi nanti malam aku bisa
membersihkan rambutku yang kurasa akan kotor. Kusikat gigiku setelah aku
menaruh sedikit pasta gigi pada sikat gigi.
Aku
mengeringkan tubuhku setelah aku selesai mandi dan keluar dari kamar mandi.
Kuambil pakaianku yang sudah pasti ada di lemari pakaian kamar tamu. Sudah
kubilang aku sudah sering menginap di sini. Bahkan aku meninggalkan banyak
pakaian di rumah ini dan rumah Zayn. Karena hanya rumah mereka yang sering kutempati.
Kupakai pakaianku dengan cepat. Mataku melirik Justin yang masih tertidur itu.
Tiba-tiba
saja Justin tersentak begitu saja. Terbangun dari tidurnya dan melihat ke
sekeliling kamar ini. Matanya terbuka begitu lebar dan kembali normal saat ia
melihatku yang sudah selesai memakai baju ini. Wajahnya terlihat begitu lega.
“Hey,
Deep,” ia memanggilku, “aku punya rencana hari ini. Kuharap kau mau dan tidak
bekerja hari ini. Kau mau?” tanya Justin menawarku. Tentu saja aku mau dan aku
cukup penasaran apa yang ia rencana hari ini bersamaku.
Aku
menganggukan kepalaku.
****
Justin
menutupi tubuhku dengan jaket hangat yang ia pakai. Atlanta masih bersuhu
rendah. Tidak baik untuk kehamilanku sekarang. Setidaknya, menurutku seperti
itu. Hari ini aku tidak bekerja di kantor Avan. Aku tidak bisa menemuinya
sekarang. Kejadian kemarin membuatku sedikit takut dengannya. Entahlah, dia
sedikit dingin padaku kemarin. Perasaannya tiba-tiba saja berubah. Dia bukan
Avan! Aku masih tetap pada pendirianku. Seperti yang kubilang kemarin, itu
bukan Avan. Karena sikapnya yang awalnya bahagia melihatku dan dalam waktu
beberapa menit ia berubah menjadi dingin. Itu sangat bukan Avan sama sekali.
Tapi sekarang aku merasa lega. Dia telah memberitahuku segala perasaanya
padaku. Kurang lebih, ya. Dia telah memberitahu segalanya.
Justin
mengajakku pergi ke suatu tempat. Meski aku harus menunggu di rumah Zayn hingga
sore hari. Dan sekarang sudah senja. Dia harus pergi bekerja tadi pagi, jadi
sekarang ia bisa menarik tanganku untuk berpergian kemana saja yang ia mau. Kau
tahu, ia orang kaya. Dan aku tahu ia sekarang seharusnya tidak bergantung
kepada orangtuanya. Tujuanku memintanya bekerja bukan untuk uang. Tapi untung
bertanggungjawab. Tidak setiap hari kita akan melewati hari yang menguntungkan,
bahkan hampir tiap hari kita akan
mengira tiap hari adalah buruk.
“Kita
akan pergi kemana Justin? Kakiku ingin patah rasanya,” sungutku padanya. Justin
menatapku dan meremas tanganku dengan lembut. Senyum manisnya ia pancarkan di
wajahnya. Begitu memesonaku.
“Kau
akan tahu nanti, Deep,” ia menyebut namaku di akhir kalimatnya. Aku menahan
senyumku dan kurasa pipiku memerah sekarang. Mungkin aku gila atau apa karena
rasanya aku tidak tahu diri. Aku baru saja putus dengan pacarku dan sekarang
aku tersenyum malu-malu karena sahabatku sendiri. HANYA KARENA DIA MENYEBUT
NAMAKU! Apa kalian bisa membayangkan itu? Kurasa tidak.
“Bagaimana
Caitlin? Aku tidak melihatnya tadi pagi,” ujarku membuka topic pembicaraan yang
lain. Ia tidak menatapku dan terus menarik tanganku, berjalan. Sebenarnya kami
akan pergi kemana? Kenapa rasanya jauh sekali?
“Oh,
dia tidak jadi menginap. Katanya Christian membutuhkannya karena Christian hari
ini akan pergi makan malam dengan kencannya. Tidak masuk akal,”
“Oh.”
Tiba-tiba
kami berhenti melangkah di depan sebuah restoran Prancis. Shit! Aku benci
makanan mewah. Entahlah, di mulutku mereka terasa seperti sampah, walau
sebenarnya aku tidak tahu bagaimana rasanya sampah. Itu hanya kiasan. Justin
menarik tanganku kembali setelah beberapa detik kami berhenti di depan pintu
masuk restoran ini. Langkahan Justin berhenti di depan seorang lelaki
berperawakan tinggi dengan wajah khas Prancis. Kau tahu, hidung yang aneh.
“Mr.
Bieber,” sapa lelaki tua Prancis ini dan tersenyum pada Justin. Justin menjabat
tangan lelaki tua ini dan menganggukan kepalanya. “Lewat sini.”
Lelaki
tua itu mengajak Justin untuk masuk ke dalam ruang makan. Dentingan piring
terdengar di tempat ini. Aku tidak menyukai suara seperti ini. Terlalu berisik.
Astaga! Mengapa aku mengeluh terus menerus? Biasanya aku tidak seperti ini.
Justin menarik kursi saat kami berhenti di sebuah meja bundar yang terlapisi
oleh kain putih dengan lukisan sederhana di pinggirannya. Aku duduk di atas
kursi dan lelaki tua itu mengambil sebuah serbet berwarna putih di atas meja
makan dan mengibarkannya ke udara. Lalu ia menaruhnya di atas pahaku. Aku hanya
memberikannya senyum manis.
“Makanannya
akan segera kami antar,” ujar lelaki tua itu berlalu dari hadapan kami.
Aku
menatap Justin dengan tatapan bingung. Kukerutkan dahiku. Kami bahkan belum
memesan makanan! Justin menyeringai sebentar. Dia duduk berhadapan denganku dan
ia tidak menatapku karena ia sibuk dengan serbet yang ia kibaskan itu.
“Aku
memesan meja ini untuk kita. Ayo, mari kita bicara,” ucap Justin yang terdengar
asing di telingaku. Dan masih tidak menatapku.
“Kemarin
aku putus dengan Avan,” Aku berhasil membuatnya tersentak. Kepalanya terdongak
dan menatap mataku dengan mata yang bisa kuartikan.
“Aku
sedih mendengarnya,” katanya. Wajahnya tidak menampakan kalau ia sedang sedih
sekarang. Lebih tepatnya ia bingung dengan ucapanku tadi.
“Justin,”
aku memanggilnya, “aku ingin bertanya padamu,”
“Apa
itu?”
“Apa
kau senang dengan kehamilanku? Maksudku, reaksimu tidak tergambarkan,”
Matanya
melebar dan penuh arti. Warna madu di matanya begitu terang. Seperti matahari
yang semakin melelehi madu. Ia mengedipkan matanya berkali-kali. Oh, sekarang
aku terlihat tolol! Mengapa aku bertanya seperti itu padanya? Butuh beberapa
detik untuk membuatnya menjawab. Mulutnya terbuka tapi terhenti saat seorang
pelayan muncul di hadapan kami dan menaruh piring-piring yang ia bawah di depan
kami. Udang?
Justin
tidak menjawab pertanyaanku. Baiklah, tidak apa-apa. Mungkin lain kali aku bisa
bertanya lagi. Aku merasa beberapa orang di sini melihatku. Sedikit membuatku
tidak tenang, aku malu. Justin memang berpakaian biasa, tapi ia lebih rapi. Aku
dengan bodohnya memakai jaket yang ia berikan padaku dan rambutku tidak terurai
dengan baik. Meski aku memakai gaun putih pendek dengan corak bunga di sana dan
berbahan satin. Sangat berantakan.
“Jangan
hiraukan mereka. Apa kau ingin tahu mengapa aku mengajakmu ke tempat ini?”
tanya Justin setelah kami melewati keheningan yang cukup panjang. Aku hanya
menganggukan kepalaku. Dan melihat udang-udang yang mengapung di air sup yang
lengket. Oh ya, aku tidak tahu nama makanan ini. Tadi aku sudah memberitahu
kalian, aku tidak menyukai makanan mewah.
“Karena
aku senang,” katanya tidak mengartikan segalanya. Tidak sama sekali. Kuangkat
kedua alisku dan membuka mataku lebar. Memperlihatkan wajah bingungku padanya.
“Aku
tidak mengerti Justin. Karena kau senang? Tidak masuk akal,”
“Ya,
itu masuk akal. Tadi malam, aku
melihatmu tertidur di atas kasurmu. Dan terlihat begitu nyenyak. Perasaanku
senang,” ujarnya semakin melantur. Aku menggelengkan kepalaku, aku tidak
mengerti dengannya. Kumasukan sendok yang berisi udang ini ke dalam mulutku.
Kukunyahkan dengan pelan dan tanganku menyentuh dahi Justin. Ada apa dengannya?
Apa dia sakit?
“Aku
baik-baik saja,” ucapnya menjawab pertanyaan dalam pikiranku. Kuanggukan
kepalaku dan menelan udang ini.
“Jika
kau senang, mengapa kau hanya membawaku? Maksudku, kau bisa membawa Caitlin.
Bukannya selama ini hanya dia yang bisa menyenangkanmu, Justin?” tanyaku
menyindirnya. Ia menyeringai. Kedua sudut bibirnya berkedut, menahan tawa akan
apa yang baru saja kukatakan. Kugelengkan kepalaku.
“Kau
lucu, Deep. Untuk apa aku membawa Caitlin? Aku memang menyukainya dan apa yang
kau harapkan, Deep? Aku berpacaran dengannya? Itu tidak akan pernah terjadi,”
“Kenapa?”
tanyaku dengan cepat dan memasukan udang dengan kuah lengketnya ini ke dalam
mulutku. Mencoba untuk menikmatinya. Ia terkekeh pelan, tidak jadi memasukan
sendok ke dalam mulutnya.
“Karena
kau yang menyenangkanku, Deep,” ucapnya menjelaskan semuanya. Kuanggukan
kepalaku, mencoba untuk tidak memperlihatkan wajah senangku karena ia memujiku.
Aku telah menyenangkannya dan itu seolah-olah aku telah mendapatkan
penghargaan. Menyenangkan Justin Bieber. Perutku sudah terasa penuh saat aku
melihat mangkuk yang berada di depanku sudah habis. Aku menyandarkan tubuhku ke
kursi. Kutatapi jaket biru yang ia berikan padaku.
“Justin,
sudah berapa lama kita bersahabat?” tanyaku tiba-tiba saja lupa ingatan. Serius.
“Hampir
6 tahun, kenapa?”
“Aku
masih tidak tahu apa yang dapat menyenangkanmu,” kataku kelewat jujur. Dan itu
memang kenyataannya. Mungkin, wanita-wanita, bir, dan Caitlin. Tapi aku tidak
begitu yakin dengan itu. Aku seharusnya tahu dia. Karena aku sangat dekat
dengan dia dan Zayn. Aku tahu apa yang dapat membuat Zayn senang. Barang-barang
yang berhubungan dengan Katy Perry. Serius, dia seperti terobsesi dengan Katy
Perry. Itu dapat menyenangkannya. Tapi Justin? Aku tidak begitu yakin. Ia
lelaki yang tidak setia. Aku tahu tentang Justin dari Zayn. Ya, Justin, Zayn
dan teman-teman lelakiku yang lain telah berteman sejak umur mereka 13 tahun
hingga sekarang. Kurang lebih 12 tahun mereka telah berteman. Bisa kalian
bayangkan itu? Mereka berenam –kurasa kalian tahu siapa saja- tidak kuliah.
Hanya Justin dan Zayn yang memiliki peluang besar untuk pergi kuliah tapi
mereka tak mau. Bedanya adalah Justin orang yang paling terakhir mendapat
pekerjaan dari yang lainnya.
Soal
Caitlin, ia berkenal dengan Justin saat ia pindah dari Kanada ke Atlanta. Saat
umur mereka berumur 15 tahun, kalau aku tidak salah. Kembali dengan Justin.
“Apa
kau ingin tahu, apa yang menyenangkanku?” tanya Justin menyipitkan matanya.
Suaranya terdengar serius, tidak seperti biasanya. Ada apa dengannya? Apa
karena dia baru saja mendapatkan pekerjaan dan dia bersikap seperti bos? Apa
karena dari sekarang ia tahu kalau ia akan menjadi bos jadi mulai dari sekarang
ia belajar berbicara dengan serius? Baiklah, aku terdengar cerewet sekarang.
Kuanggukan
kepalaku dengan pelan.
“Biar
kulihat. Mmm ..kurasa aku senang jika
aku sedang berada di tempat tidur,”
“Maksudmu?”
“Beristirahat,”
Kuanggukan
kepalaku mengerti. Dia senang saat ia beristirahat. Kurang jelas. Semua orang
senang jika mereka beristirahat. Dan aneh sekali jika Justin senang karena aku
beristirahat tadi malam dan dapat menyalurkan keistirahatanku padanya sehingga
membuatnya senang. Konyol sekali, jelas. Aku mengangkat salah satu alisku,
memberikan tatapan kurang percaya padanya.
“Apa?”
“Tidak,”
“Apa?
Ada apa?” Justin memaksaku. Aku mendesah pelan dan mengangkat paha kananku dan
menumpunya pada paha kiriku. Dan menaruh kedua telapak tangan bertumpukan di
atas paha kananku.
“Lupakan
saja. Justin, apa yang membuatmu menyukai Caitlin? Aku tidak bermaksud
menyindirmu atau apa,” aku bertanya ingin tahu. Justin menjilat bibirnya
setelah ia selesai memakan makanannya. Aku tidak begitu memperhatikan dirinya
sedang makan.
“Aku
tidak tahu. Mungkin ..mungkin karena dia bersikap natural,” katanya terlihat
jujur. Aku menganggukan kelapaku dan mengelus perutku. Sekarang perutku terasa
kram. Aku ingin pergi ke toilet.
“Permisi,”
bisikku berdiri dari tempat duduk dan mencari toilet.
Aku
kembali dari toilet dan melihat tidak ada piring di atas meja. Berarti kita
sudah siap untuk pulang. Justin terduduk di atas kursinya dengan kaki kanannya
yang berada pada ujung lutut kirinya menatap ponsel canggihnya itu.
“Justin,”
panggilku membenarkan jaket yang kupakai. Dan sedetik kemudian Justin mendongakan
kepalanya. Wajahnya sungguh bercahaya sekarang karena efek dari lampu putih
yang terang di atas kami. Bulu matanya begitu panjang dan terkibas saat ia
mengedipkan matanya beberapa kali.
“Oh,
ya,” seakan tersadar, Justin terbangun dari duduknya dan memasukan ponselnya ke
dalam kantung celana pendeknya. Ia menarik tanganku untuk keluar dari restoran
ini.
Pikiranku
terbang ke percakapan kami tadi. Sungguh bukan Justin dan aku. Aku juga
terlihat begitu berbeda. Ada apa denganku dan Justin? Mungkin ini hanya karena
stress? Tidak tahu dan tidak yakin. Kami mulai meninggalkan restoran Prancis
itu.
Justin
membuka pintu rumah Zayn. Hari ini kami menginap di rumah Zayn. Kurasa Zayn
sudah pulang dari tempat kerjanya. Karena lampu depan rumah Zayn yang sejuk itu
menyala. Dan benar saja, Zayn sedang duduk bersantai di depan televisi tipisnya
itu. Dia orang kaya. Aku dikelilingi oleh orang kaya. Kecuali, Harry, Liam,
Niall dan Louis. Mereka berempat sama denganku. Mempunyai hidup yang
berkecukupan dan sederhana. Berbeda jauh dengan Justin, Zayn dan Caitlin.
Mereka seperti dihujani oleh uang tiap harinya.
“Kalian
dari mana?” tanya Zayn bingung saat ia melihat kantung kertas cokelat berada di
tangan Justin. Kami baru saja pergi dari supermarket. Membeli beberapa susu
hamil. Dan sikap Justin begitu santai saat kami berada di supermarket untuk
membeli susu hamil untukku. Maksudku, bukankah dia ingin berita kehamilanku
tidak terdengar oleh orang lain? Termasuk Zayn dan yang lainnya? Dia cukup aneh
setelah ia pulang dari supermarket.
“Supermarket,
oh maaf, Zayn. Kami tidak membawakanmu permen,” ejek Justin menaruh kantung
kertas itu di atas meja makan Zayn. Aku terbelalak saat Justin dengan santainya
mengeluarkan satu kardus susu hamil ke atas meja. Apa dia tahu apa yang
sekarang ia lakukan? Karena aku tidak yakin. Aku memelototi Justin dan respon
Justin hanya memberikan wajah Apa? padaku. Damn!
Dapur
Zayn berdekatan dengan ruang keluarga Zayn. Di batasi oleh tembok kayu dengan
bentuk persegi panjang besar yang membolongi tembok kayu itu. Sehingga aku bisa
melihat apa yang Justin lakukan. Beruntung, posisi Zayn sedang menonton
televisi karena sofanya berpaling dari dapur itu.
Dan
sekarang, Zayn melihatku dengan bingung. Sedetik kemudian ia membalikan kepalanya
dan melihat Justin yang sedang membuat susu itu. Aku sangat beruntung! Justin
memunggungi Zayn, sehingga susu yang sedang ia buat itu tidak terlihat oleh
Zayn.
“Ada
apa?” tanya Zayn dengan bingung dan menoleh padaku. Aku menggelengkan kepalaku
dan berjalan padanya. Aku menjatuhkan bokongku ke atas sofa di sebelah Zayn.
“Uh,
Zayn. Tadi siang sungguh membosankan di sini,” keluhku pada Zayn. Tangannya
tiba-tiba berada di pundakku. Merangkulku hingga tubuhku semakin hangat. Jaket
yang Justin berikan padaku sudah membuatku hangat.
“Kenapa
kau tidak memasang kaset Katy Perry? Kau bisa berkaraoke,” ujar Zayn membuatku
ingin menamparnya. Aku sudah bilang berulang kali kalau aku itu tidak menyukai
Katy Perry. Bukan berarti aku membencinya. Hanya saja, musik Katy Perry bukan
jenis music kesukaanku. Aku memukul pelan pada Zayn. Membuat Zayn tertawa
kecil. Tangannya yang berada di bahuku tiba-tiba mencubit pipiku.
“Kenapa
pipimu begitu menggemaskan, Deep?” tanya Zayn dengan gemas. Pipiku memerah.
“Deep,
ini susumu,” ucap Justin yang membuat Zayn bingung. Aku ingin sekali menyiram
wajah Justin yang tampan itu dengan susu panas yang ia bawa sekarang. Aku
bahkan tidak yakin susu buatannya akan enak!
“Susu?
Aku pikir kau tidak begitu menyukai susu, Deep,” Zayn semakin bingung. Damn!
“Deep
hamil.” Dan semuanya terjadi.
:)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar