Jumat, 26 Juli 2013

Deep Bab 2

***

            Aku hanya terduduk dengan malas di atas sofa milik Zayn. Hari ini aku menginap di rumah Zayn bersama Justin dan Caitlin. Setidaknya, tempat ini lebih baik daripada rumah Avan kemarin. Ya, kemarin aku menginap di rumah Avan. Aku malas sendirian di rumah. Jadi lebih baik aku menginap di rumah orang-orang terdekatku. Kutatapi Justin, Zayn dan Caitlin yang sedang bermain SORRY di atas lantai. Justin tampak tidak ingin berbicara denganku sejak aku datang ke rumah Zayn.
            “Sorry, Justin,” ujar Caitlin tertawa pada Justin. Justin hanya ikut tertawa dengan senang. Uh, aku benar-benar cemburu sekarang. Mereka begitu serasi, jika kulihat dari sini. Tapi aku mengembangkan senyuman palsu saat Zayn menatapku dengan tatapan yang aneh. Dia kasihan denganku, aku tahu itu.
            Aku memeluk perutku. Hari ini aku sangat kelelahan. Ingin aku pingsan dan perasaan cemas selalu menghampiriku. Kupejamkan mataku untuk mengurangi rasa lelahku ini. Dan seharian ini aku sering pergi ke toilet untuk buang air kecil. Tapi itu sudah tidak terjadi lagi sekarang. Hanya saja aku kelelahan. Tiba-tiba 2 buah tangan merangkulku. Sontak aku membuka mataku dan melihat Zayn yang ingin menggendongku. Langsung saja aku merangkulkan tanganku pada lehernya.
            “Kenapa kau terlihat begitu pucat? Apa kau sakit?” bisik Zayn bertanya dengan perhatian. Aku menggelengkan kepalaku dan memejamkan mataku kembali. Zayn melangkahkan kakinya untuk membawaku ke kamar kosongnya. *ceklek* Zayn menutup pintu kamarnya dan menaruh tubuhku ke atas tempat tidur.
            “Apa kau akan baik-baik saja jika aku tinggalkan sendirian di sini?” tanyanya dengan perhatian, lagi. Aku menganggukan kepalaku.
            “Tapi, tolong panggilkan Justin,” suruhku padanya. Ia menganggukan kepalanya dan tersenyum padaku. Pintu kamar kosong ini ia buka dan menutupnya kembali.

            Aku menatap langit-langit kamar ini. Perutku begitu kram dari tadi siang. Tapi aku selalu menahan rasa sakitnya. Kurasa aku harus pergi ke dokter kandungan. Kurasa kandungan ini sudah berumur 1 minggu. Karena aku pernah membaca artikel di internet, tanda-tanda kehamilan. Dan ya, mereka benar. Dokter-dokter itu memang benar.
            Pintu kamarku terbuka dan melihat Justin yang muncul di hadapanku. Ia tersenyum manis padaku. Seakan-akan tidak ada yang terjadi kemarin.
            “Jadi, bagaimana kabarmu?” tanyanya basa-basi. Aku ingin menamparnya. Sudah jelas-jelas aku pucat dan lemas. Ia masih bertanya bagaimana kabarku. Kabarku ? Aku hamil! Jadi aku lelah seperti ini. Lelah karena kau, Justin Bieber!
            “Apa kau sudah mencari pekerjaan?” tanyaku membangunkan tubuhku dengan susah. Dan berhasil! Aku menyandarkan tubuhku pada kepala tempat tidur. Menurut para dokter, kita harus duduk dengan baik jika kita sedang hamil. Meski aku tahu aku belum hamil lebih dari 6 bulan. Tapi setidaknya aku bisa belajar dari sekarang.
            “Ya, aku sedang berusaha. Dengar,” ucap Justin berhenti berbicara sejenak.
            “Aku akan berusaha untuk mencari pekerjaan apa pun itu. Dan aku akan bertanggungjawab atas kehamilanmu. Tapi tolong, jangan sekarang. Aku tidak bisa.”

***

*Author POV*

            “Apa yang bisa kaulakukan dengan supermarketku?” tanya seorang lelaki tua di depan Justin dan menautkan kedua alisnya. Ia tampak ragu dengan anak muda yang berada di depannya ini. Justin dengan acuhnya terkekeh pelan. Dan membenarkan cara duduknya menjadi tegap. Ia tampak tidak berperilaku sopan di depan kakek tua ini.
            “ Apa pun. Aku bahkan bisa memasukan linggis ke dalam ****** istrimu itu!” ujar Justin dengan kata-kata kotor yang keluar dari mulutnya. Kakek tua itu tampak terkejut dengan kata-kata yang Justin keluarkan dari mulutnya dan menggelengkan kepalanya.
            “Tidak ada orang yang pernah berbicara seperti itu padaku,” ujar kakek tua itu tampak tidak menyukai kata-kata Justin. Justin tersenyum dalam hati, ia memang belum siap untuk mendapatkan pekerjaan. Tapi, Justin akan segera mendapatkan pekerjaan sekarang. Karena beberapa detik kemudian kakek tua itu tersenyum pada Justin dan mencondong tubuhnya.
            “Kau kuterima!” ujar kakek tua itu tersenyum dengan senang. Senyuman dalam hati Justin tiba-tiba surut begitu saja. Begitu juga dengan sinar di wajahnya yang tiba-tiba saja menampakan wajah kecewa. Ia tidak menginginkan pekerjaan ini tapi ia harus melakukan ini. Bagaimana pun juga Justin harus bertanggungjawab atas kehamilan sahabatnya. Sahabat!
            “Shit!” gumam Justin mulai berdiri dari tempat duduknya. Kakek tua itu juga ikut berdiri dan menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Justin. Senyuman kakek tua itu masih sama seperti tadi. Membuat Justin sedikit geli dengan senyumannya yang terlihat seperti orang homo.
            “Mulai besok kau boleh bekerja!” ujar kakek tua itu menepuk-nepuk tangan Justin yang masih ia pegang itu. Justin hanya memberikan senyuman paksa pada kakek tua itu dan menarik tangannya dengan segera. Dalam hatinya ia menyumpahi dirinya sendiri.


----

*Deep POV*

            Dari tadi aku tidak mengedipkan mataku. Layar monitor ini mengalihkan perhatianku dari segala hal. Cerita dari novel ini sungguh menarik. Aku sangat suka mengeditnya. Menarik karena cerita ini hampir sama seperti kehidupanku. Kudengar suara hentakan kaki berjalan padaku. Dan stop! Hentakan kaki itu sudah tidak terdengar lagi. Kepalaku mengadah ke atas, melihat Avan yang sedang bersandar pada kayu pembatas tempat kerjaku. Kurasa kau tahu maksudku apa. Sederetan gigi putihnya ia pamerkan padaku. Wajahnya memancarkan kebahagiaan. Tak pernah aku melihat ia sebahagia ini. Setidaknya, sampai saat ini. Tangan satunya yang tidak ia sandarkan pada kayu itu disembunyikan di belakang punggungnya.
            “Apa yang kaubawa, Avan?” aku bertanya tidak begitu penasaran. Dan aku tidak akan pernah penasaran terhadapnya. Karena dia selalu terbuka padaku. Menceritakan hal-hal yang menurutku tak perlu ia ceritakan. Bahkan aku tidak menganggapnya sebagai kekasihku. Jahat? Ya. Munafik? Ya. Aku memang seperti itu. Mengorbankan perasaanku untuk melihat Avan bahagia meski aku tidak pernah merasa bahagia berada di sampingnya. Sekalipun tidak.
            Tiba-tiba ponselku berdering. Tanda sms masuk. Tanganku dengan cepat mengambil ponsel yang berada di atas meja kerjaku. Sudah kuduga. Sebuah sms masuk. Dari Justin, senyuman kecil mengembang di wajahku. Aku sudah mendapatkan pekerjaan, kulakukan ini hanya untukmu. Love u. Isi pesan singkat yang dapat membuat senyumanku mengembang lebih lebar lagi. Rasanya jantungku ingin melompat keluar saat aku membaca kata ‘Love u’. Tolong bangunkan aku dari mimpiku!
            “Dari siapa?” tanya Avan yang merusak kebahagiaanku, membangunkan aku dari mimpiku. Oh, astaga! Aku begitu jahat padanya! Kurasa aku tidak melanjutkan hubungan ini bersama Avan. Aku tidak ingin ia mencintaiku lebih dalam lagi dan pada akhirnya ia mendapatiku tidak mencintainya. Itu lebih dari kejam, aku serius.
            “Oh tidak. Ini hanya dari sahabatku,” ucapku dengan jujur, “oh ya, apa yang kau bawa?” tanyaku mengalihkan topik pembicaraan dengan sopan. Kebahagiaan di wajahnya tidak terlihat lagi. Wajahnya begitu datar.
            “Mmm, tidak. Aku tidak membawa apa-apa. Memang apa yang kauharapkan?” tanya Avan terdengar ketus. Ada apa dengannya? Ini yang pertama kalinya ia berbicara ketus padaku. Karena memang itu kenyataannya, aku dan dia tidak pernah bertengkar. Karena dia selalu mengikuti apa yang kumau. Bukan berarti aku memanfaatkannya. Aku menurutinya juga, tapi hubungan kami selalu ada batasnya.
            “Avan,” aku memanggilnya dengan suara yang lembut, “ada apa? Ceritalah padaku. Aku siap mendengarnya,”
            “Ya?” tanyanya ragu, “Benar?” Kuanggukan kepalaku. Tangannya menarik tanganku agar aku berdiri. Lalu kami berjalan menuju ruang kerjanya.

            Pikiranku berkecamuk saat Avan menutup pintu kerjanya dengan kasar. Sampai-sampai aku tersentak. Ia melepaskan pegangannya pada tanganku dan berjalan dengan cepat menuju meja kerjanya. Apa yang ia inginkan? Ini bukan Avan yang kukenal. Aku begitu khawatir dengan ucapanku saat aku berbohong padanya. Tentang pendonoran sperma ini. Tidak mungkin aku jujur padanya. Itu akan menyakiti hatinya. Masalahnya adalah Avan orang yang baik. Ia tidak pantas mendapatkan rasa sakit dariku. Tidak sama sekali. Dan aku akan menjadi orang jahat jika itu memang terjadi padaku. Kau tahu, kebohonganku terbongkar.
            Kujatuhkan bokongku ke atas kursi yang berhadapan dengannya, dibatasi oleh meja kerjanya yang berada di tengah-tengah. Ia menggelengkan kepalanya. Apa ada masalah besar yang ia alami sekarang? Perutku sekarang terasa penuh. Serius. Entah mengapa kehamilan ini cukup menggangguku, bukan berarti aku tidak menginginkan anak ini. Aku belum terbiasa dengan kehamilanku ini. Avan menatap padaku dengan raut wajah yang sulit kubaca. Begitu datar dan tidak berarti.
            “Awalnya aku senang melihatmu begitu sehat hari ini. Tadi pagi aku tidak sempat melihatmu karena aku mendapat rapat dadakan. Aku senang melihatmu tadi, begitu serius dengan pekerjaanmu. Seperti biasanya,” ia berhenti berbicara. Menarik napasnya, bernapas. Ia menarik napasnya saat berbicara denganku. Tidak seperti biasanya, ia terlihat jengah.
            “Aku tidak mengerti denganmu, Deep. Apa yang kauinginkan dariku? Katakanlah,” ucap Avan terdengar memohon padaku. Aku mengedipkan mataku beberapa kali dan berpikir apa yang kuinginkan darinya. Tidak ada. Yang kuinginkan  dari adalah aku ingin mengakhiri hubungan ini. Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini.
            “Aku tidak tahu, Avan. Coba kau cari tahu, apa mauku,” tuntutku padanya. Matanya menyelidiki, mengamati setiap inchi wajahku. Mencari tahu apa yang kumau dari wajahku. Oh yang benar saja! Ia tidak mahir dalam membaca pikiran orang dari wajahnya. Tidak sama sekali.
            “Kau ingin hubungan ini berakhir?” tanya Avan yang membuatku terkesiap. Jantungku benar-benar ingin keluar dari tubuhku sekarang. Napasku sesak, tidak bisa bernapas sekarang. Tebakanku salah besar! Ia benar dan aku tidak menyangkalnya. Kutelan ludahku.
            “Apa menurutmu aku menginginkan itu, Avan?” tanyaku kurang yakin dengan apa yang telah ia katakan. Bisa saja ia hanya menebak-nebak. Meski aku tahu aku akan menjerit dalam hati karena kesenangan. Aku memang sangat jahat dengan lelaki ini.
            “Aku tidak tahu. Mungkin, ya. Karena aku bingung. Kau tidak pernah membiarkanku untuk masuk ke dalam kehidupanmu. Mengantarmu pulang ke rumah saja kau tidak mau. Bergaul dengan teman-temanmu, kau melarangku. Aku sudah memperlakukan dirimu sebaik mungkin,” ia berbicara cukup panjang kali ini, “kurasa kau belum benar-benar menerima diriku. Aku sudah menganggap hubungan ini dengan serius. Tapi, kau. Aku tidak tahu apa yang kau inginkan. Memiliki seorang anak? Kau bisa mendapatkannya dariku. Kita bisa menikah. Tak perlu dengan donor sperma seperti itu. Itu membuatku gelisah denganmu, Deep.”
            “Jika begitu, aku tidak bisa melanjutkannya lagi. Ini sudah lebih dari apa yang seharusnya kuterima. Kau. Kau memang lelaki yang baik. Tapi, Avan. Kau tidak mengerti diriku. Kau tidak memiliki hubungan yang santai denganku –“
            “Lalu mengapa kau menerimaku, Deep? Kenapa? Aku tidak akan pernah berpikiran negatif dengan apa yang kaulakukan padaku, aku selalu menjauhkan pikiran ini dari ‘seorang-wanita-yang-menginginkan-uang-dariku’. Karena yang kupikirkan selama aku berhubungan denganmu adalah membuatku menginginkanku. Aku menginginkanmu dan aku mendapatkannya. Dan kupikir kau memang menginginkanku juga. Bahkan sampai sekarang aku tidak bisa melihat sisi keinginanmu untuk memilikiku,” ia memotong penjelasanku. Kuanggukan kepalaku satu kali.
            “Kalau begitu, ini sudah jelas, Avan. Sangat jelas. Permisi.” Aku berdiri dari tempat dudukku dan pergi dari hadapannya. Hubunganku berakhir dengannya, tanpa jeritan dalam hatiku.

***

            “Benarkah? Aku sangat senang kau telah memiliki pekerjaan Justin. Selamat,” ujarku bahagia saat ia memberitahu aku, Caitlin, Zayn, dan teman-teman kami yang lain. Meski aku sudah tahu sebelumnya. Kupeluk tubuh Justin yang tinggi ini sebentar dan melepaskannya. Ini masih ramai dan aku mengerti perasaan Justin sekarang. Hanya aku yang memeluk Justin. Caitlin masih terduduk di atas sofa milik Justin dan tersenyum bangga pada Justin. Tersirat dari raut wajah Justin yang cukup kecewa dengan respon dari Caitlin. Zayn berseru senang dan terus melirik ke arahku. Entah apa maksudnya dan aku tidak pernah berpikir itu akan terjadi. Sangat tidak mungkin bukan kalau Zayn menyukaiku? Aku sudah berbadan dua sekarang!
            “Kau bekerja sebagai apa Justin?” tanya Caitlin dengan suaranya yang super lembut. Kontras dengan suaraku tadi. Aku menjerit bagaikan orang yang ingin diperkosa. Senyum kecil terlihat di wajah Justin. Ia terlihat sangat senang saat Caitlin perhatian dengan pekerjaannya.
            “Aku bekerja di supermarket. Di bagian kasir,” jelas Justin.

            “Justin, apa aku boleh ke kamar duluan? Karena aku sudah lelah sekali,” ujarku pada Justin. Justin menganggukan kepalanya. Dengan cepat aku berdiri dari tempat duduk yang empuk ini dan pergi ke kamar tamu milik Justin. Sebenarnya, tinggal di rumah Justin adalah rutinitas yang sangat biasa kulakukan. Semuanya sering menginap di rumah Justin. Bergilir lebih tepatnya. Biasanya, setelah dari rumah Justin, besoknya kami akan menginap di rumah Zayn. Lalu, rumah Caitlin dan teman-teman kami yang lain. Harry, Liam, Louis dan Niall tinggal dalam satu rumah yang besar. Peninggalan dari nenek Harry. Dan dengan senang hati Harry menampung teman-temannya itu. Dan dengan mudah aku, Zayn, Justin dan Caitlin menginap di rumahnya. Sungguh menyenangkan jika setiap hari kami melakukan itu.
            “Aku harus menemani Deep,” ucap Zayn yang terdengar sampai telingaku. Baru saja aku ingin menutup pintu kamarku, Zayn berlari padaku dan menahan pintu yang akan kututup ini. Ia membukanya dan masuk ke dalam kamar ini. Bokongku, kujatuhkan pada kasur yang empuk ini. Yang biasanya aku baringi.
            “Deep, ada apa denganmu?” tanya Zayn yang membuatku sedikit terkejut akan pertanyaannya yang tidak biasa kudengar. Ada apa denganku? Apa dia sudah melihat perubahannya? Oh, itu tidak mungkin. Ini bahkan belum menginjak satu bulan. Aku menautkan alisku.
            “Maksudmu?”
            “Kau sangat berbeda,  Deep,” ucapnya dengan suara yang kecil. Ia masih berdiri di depan pintu kamar. “Ada apa denganmu? Bisa kau ceritakan padaku apa yang terjadi?”
            Aku terkekeh pelan. Gila saja jika aku memberitahunya sekarang! Biarlah Justin yang memberitahunya. Memberitahu pada teman-teman kami yang lain. Jika dia memang lelaki yang tangguh, ia pasti bertanggungjawab akan kehamilanku dan tidak akan malu akan kehamilanku.
            “Aku barus aja putus dengan Avan,” ucapku dengan sedikit kebohongan. Air wajah Zayn tampak khawatir denganku. Kakinya melangkah padaku dan duduk di sebelahku.
            “Bagaimana itu bisa terjadi?”
            “Ketidakcocokan. Zayn, serius. Apa kau ingin membicarakan ini? Aku sudah lelah,” ucapku hati-hati. Wajah Zayn tiba-tiba saja datar dan menganggukan kepalanya. “Tidurlah.”
            Ia menganggukan kepalanya lagi. “Jika kau butuh sesuatu atau ada masalah yang sedang kauhadapi, kau bisa meminta bantuanku kapan saja. Aku serius Deep.”
            Zayn berdiri dari kasur ini dan melangkahkan kakinya, keluar dari kamar ini. Hari ini adalah hari yang menyenangkan sekaligus menyakitkan. Entah aku bisa melihat sisi menyakitkan itu dari mana.


****

            “Justin,” aku terkejut saat aku mendapatkan Justin yang tertidur di sebelahku. Tangannya berada di atas perutku. Dari sini, aku bisa melihat mulutnya yang begitu berwarna merah jambu itu. Sangat menggoda. Kugelengkan kepalaku. Aku harus membeli susu hamil hari ini. Aku memindahkan tangan Justin dari perutku. Kemudian aku bangkit dari kasur ini dengan pelan lalu masuk ke dalam kamar mandi yang berada di dalam kamar ini.
            Kubuka seluruh bajuku dan menggantungkannya pada gantungan baju yang tertempel pada tembok ini. Kubasuh tubuhku dengan shower yang berada di atas kepalaku. Kupejamkan mataku merasakan setiap kesegaran yang kudapatkan. Dan kuambil sabun cair dan menggosok seluruh tubuhku dengan pelan. Aku tidak ingin mengeramasi kepalaku, hari ini aku harus melakukan banyak hal. Jadi nanti malam aku bisa membersihkan rambutku yang kurasa akan kotor. Kusikat gigiku setelah aku menaruh sedikit pasta gigi pada sikat gigi.
            Aku mengeringkan tubuhku setelah aku selesai mandi dan keluar dari kamar mandi. Kuambil pakaianku yang sudah pasti ada di lemari pakaian kamar tamu. Sudah kubilang aku sudah sering menginap di sini. Bahkan aku meninggalkan banyak pakaian di rumah ini dan rumah Zayn. Karena hanya rumah mereka yang sering kutempati. Kupakai pakaianku dengan cepat. Mataku melirik Justin yang masih tertidur itu.
            Tiba-tiba saja Justin tersentak begitu saja. Terbangun dari tidurnya dan melihat ke sekeliling kamar ini. Matanya terbuka begitu lebar dan kembali normal saat ia melihatku yang sudah selesai memakai baju ini. Wajahnya terlihat begitu lega.
            “Hey, Deep,” ia memanggilku, “aku punya rencana hari ini. Kuharap kau mau dan tidak bekerja hari ini. Kau mau?” tanya Justin menawarku. Tentu saja aku mau dan aku cukup penasaran apa yang ia rencana hari ini bersamaku.
            Aku menganggukan kepalaku.

****

            Justin menutupi tubuhku dengan jaket hangat yang ia pakai. Atlanta masih bersuhu rendah. Tidak baik untuk kehamilanku sekarang. Setidaknya, menurutku seperti itu. Hari ini aku tidak bekerja di kantor Avan. Aku tidak bisa menemuinya sekarang. Kejadian kemarin membuatku sedikit takut dengannya. Entahlah, dia sedikit dingin padaku kemarin. Perasaannya tiba-tiba saja berubah. Dia bukan Avan! Aku masih tetap pada pendirianku. Seperti yang kubilang kemarin, itu bukan Avan. Karena sikapnya yang awalnya bahagia melihatku dan dalam waktu beberapa menit ia berubah menjadi dingin. Itu sangat bukan Avan sama sekali. Tapi sekarang aku merasa lega. Dia telah memberitahuku segala perasaanya padaku. Kurang lebih, ya. Dia telah memberitahu segalanya.
            Justin mengajakku pergi ke suatu tempat. Meski aku harus menunggu di rumah Zayn hingga sore hari. Dan sekarang sudah senja. Dia harus pergi bekerja tadi pagi, jadi sekarang ia bisa menarik tanganku untuk berpergian kemana saja yang ia mau. Kau tahu, ia orang kaya. Dan aku tahu ia sekarang seharusnya tidak bergantung kepada orangtuanya. Tujuanku memintanya bekerja bukan untuk uang. Tapi untung bertanggungjawab. Tidak setiap hari kita akan melewati hari yang menguntungkan, bahkan  hampir tiap hari kita akan mengira tiap hari adalah buruk.
            “Kita akan pergi kemana Justin? Kakiku ingin patah rasanya,” sungutku padanya. Justin menatapku dan meremas tanganku dengan lembut. Senyum manisnya ia pancarkan di wajahnya. Begitu memesonaku.
            “Kau akan tahu nanti, Deep,” ia menyebut namaku di akhir kalimatnya. Aku menahan senyumku dan kurasa pipiku memerah sekarang. Mungkin aku gila atau apa karena rasanya aku tidak tahu diri. Aku baru saja putus dengan pacarku dan sekarang aku tersenyum malu-malu karena sahabatku sendiri. HANYA KARENA DIA MENYEBUT NAMAKU! Apa kalian bisa membayangkan itu? Kurasa tidak.
            “Bagaimana Caitlin? Aku tidak melihatnya tadi pagi,” ujarku membuka topic pembicaraan yang lain. Ia tidak menatapku dan terus menarik tanganku, berjalan. Sebenarnya kami akan pergi kemana? Kenapa rasanya jauh sekali?
            “Oh, dia tidak jadi menginap. Katanya Christian membutuhkannya karena Christian hari ini akan pergi makan malam dengan kencannya. Tidak masuk akal,”
            “Oh.”

            Tiba-tiba kami berhenti melangkah di depan sebuah restoran Prancis. Shit! Aku benci makanan mewah. Entahlah, di mulutku mereka terasa seperti sampah, walau sebenarnya aku tidak tahu bagaimana rasanya sampah. Itu hanya kiasan. Justin menarik tanganku kembali setelah beberapa detik kami berhenti di depan pintu masuk restoran ini. Langkahan Justin berhenti di depan seorang lelaki berperawakan tinggi dengan wajah khas Prancis. Kau tahu, hidung yang aneh.
            “Mr. Bieber,” sapa lelaki tua Prancis ini dan tersenyum pada Justin. Justin menjabat tangan lelaki tua ini dan menganggukan kepalanya. “Lewat sini.”
            Lelaki tua itu mengajak Justin untuk masuk ke dalam ruang makan. Dentingan piring terdengar di tempat ini. Aku tidak menyukai suara seperti ini. Terlalu berisik. Astaga! Mengapa aku mengeluh terus menerus? Biasanya aku tidak seperti ini. Justin menarik kursi saat kami berhenti di sebuah meja bundar yang terlapisi oleh kain putih dengan lukisan sederhana di pinggirannya. Aku duduk di atas kursi dan lelaki tua itu mengambil sebuah serbet berwarna putih di atas meja makan dan mengibarkannya ke udara. Lalu ia menaruhnya di atas pahaku. Aku hanya memberikannya senyum manis.
            “Makanannya akan segera kami antar,” ujar lelaki tua itu berlalu dari hadapan kami.

            Aku menatap Justin dengan tatapan bingung. Kukerutkan dahiku. Kami bahkan belum memesan makanan! Justin menyeringai sebentar. Dia duduk berhadapan denganku dan ia tidak menatapku karena ia sibuk dengan serbet yang ia kibaskan itu.
            “Aku memesan meja ini untuk kita. Ayo, mari kita bicara,” ucap Justin yang terdengar asing di telingaku. Dan masih tidak menatapku.
            “Kemarin aku putus dengan Avan,” Aku berhasil membuatnya tersentak. Kepalanya terdongak dan menatap mataku dengan mata yang bisa kuartikan.
            “Aku sedih mendengarnya,” katanya. Wajahnya tidak menampakan kalau ia sedang sedih sekarang. Lebih tepatnya ia bingung dengan ucapanku tadi.
            “Justin,” aku memanggilnya, “aku ingin bertanya padamu,”
            “Apa itu?”
            “Apa kau senang dengan kehamilanku? Maksudku, reaksimu tidak tergambarkan,”
            Matanya melebar dan penuh arti. Warna madu di matanya begitu terang. Seperti matahari yang semakin melelehi madu. Ia mengedipkan matanya berkali-kali. Oh, sekarang aku terlihat tolol! Mengapa aku bertanya seperti itu padanya? Butuh beberapa detik untuk membuatnya menjawab. Mulutnya terbuka tapi terhenti saat seorang pelayan muncul di hadapan kami dan menaruh piring-piring yang ia bawah di depan kami. Udang?
            Justin tidak menjawab pertanyaanku. Baiklah, tidak apa-apa. Mungkin lain kali aku bisa bertanya lagi. Aku merasa beberapa orang di sini melihatku. Sedikit membuatku tidak tenang, aku malu. Justin memang berpakaian biasa, tapi ia lebih rapi. Aku dengan bodohnya memakai jaket yang ia berikan padaku dan rambutku tidak terurai dengan baik. Meski aku memakai gaun putih pendek dengan corak bunga di sana dan berbahan satin. Sangat berantakan.
            “Jangan hiraukan mereka. Apa kau ingin tahu mengapa aku mengajakmu ke tempat ini?” tanya Justin setelah kami melewati keheningan yang cukup panjang. Aku hanya menganggukan kepalaku. Dan melihat udang-udang yang mengapung di air sup yang lengket. Oh ya, aku tidak tahu nama makanan ini. Tadi aku sudah memberitahu kalian, aku tidak menyukai makanan mewah.
            “Karena aku senang,” katanya tidak mengartikan segalanya. Tidak sama sekali. Kuangkat kedua alisku dan membuka mataku lebar. Memperlihatkan wajah bingungku padanya.
            “Aku tidak mengerti Justin. Karena kau senang? Tidak masuk akal,”
            “Ya, itu masuk akal. Tadi malam,  aku melihatmu tertidur di atas kasurmu. Dan terlihat begitu nyenyak. Perasaanku senang,” ujarnya semakin melantur. Aku menggelengkan kepalaku, aku tidak mengerti dengannya. Kumasukan sendok yang berisi udang ini ke dalam mulutku. Kukunyahkan dengan pelan dan tanganku menyentuh dahi Justin. Ada apa dengannya? Apa dia sakit?
            “Aku baik-baik saja,” ucapnya menjawab pertanyaan dalam pikiranku. Kuanggukan kepalaku dan menelan udang ini.
            “Jika kau senang, mengapa kau hanya membawaku? Maksudku, kau bisa membawa Caitlin. Bukannya selama ini hanya dia yang bisa menyenangkanmu, Justin?” tanyaku menyindirnya. Ia menyeringai. Kedua sudut bibirnya berkedut, menahan tawa akan apa yang baru saja kukatakan. Kugelengkan kepalaku.
            “Kau lucu, Deep. Untuk apa aku membawa Caitlin? Aku memang menyukainya dan apa yang kau harapkan, Deep? Aku berpacaran dengannya? Itu tidak akan pernah terjadi,”
            “Kenapa?” tanyaku dengan cepat dan memasukan udang dengan kuah lengketnya ini ke dalam mulutku. Mencoba untuk menikmatinya. Ia terkekeh pelan, tidak jadi memasukan sendok ke dalam mulutnya.
            “Karena kau yang menyenangkanku, Deep,” ucapnya menjelaskan semuanya. Kuanggukan kepalaku, mencoba untuk tidak memperlihatkan wajah senangku karena ia memujiku. Aku telah menyenangkannya dan itu seolah-olah aku telah mendapatkan penghargaan. Menyenangkan Justin Bieber. Perutku sudah terasa penuh saat aku melihat mangkuk yang berada di depanku sudah habis. Aku menyandarkan tubuhku ke kursi. Kutatapi jaket biru yang ia berikan padaku.
            “Justin, sudah berapa lama kita bersahabat?” tanyaku tiba-tiba saja lupa ingatan. Serius.
            “Hampir 6 tahun, kenapa?”
            “Aku masih tidak tahu apa yang dapat menyenangkanmu,” kataku kelewat jujur. Dan itu memang kenyataannya. Mungkin, wanita-wanita, bir, dan Caitlin. Tapi aku tidak begitu yakin dengan itu. Aku seharusnya tahu dia. Karena aku sangat dekat dengan dia dan Zayn. Aku tahu apa yang dapat membuat Zayn senang. Barang-barang yang berhubungan dengan Katy Perry. Serius, dia seperti terobsesi dengan Katy Perry. Itu dapat menyenangkannya. Tapi Justin? Aku tidak begitu yakin. Ia lelaki yang tidak setia. Aku tahu tentang Justin dari Zayn. Ya, Justin, Zayn dan teman-teman lelakiku yang lain telah berteman sejak umur mereka 13 tahun hingga sekarang. Kurang lebih 12 tahun mereka telah berteman. Bisa kalian bayangkan itu? Mereka berenam –kurasa kalian tahu siapa saja- tidak kuliah. Hanya Justin dan Zayn yang memiliki peluang besar untuk pergi kuliah tapi mereka tak mau. Bedanya adalah Justin orang yang paling terakhir mendapat pekerjaan dari yang lainnya.
            Soal Caitlin, ia berkenal dengan Justin saat ia pindah dari Kanada ke Atlanta. Saat umur mereka berumur 15 tahun, kalau aku tidak salah. Kembali dengan Justin.
            “Apa kau ingin tahu, apa yang menyenangkanku?” tanya Justin menyipitkan matanya. Suaranya terdengar serius, tidak seperti biasanya. Ada apa dengannya? Apa karena dia baru saja mendapatkan pekerjaan dan dia bersikap seperti bos? Apa karena dari sekarang ia tahu kalau ia akan menjadi bos jadi mulai dari sekarang ia belajar berbicara dengan serius? Baiklah, aku terdengar cerewet sekarang.
            Kuanggukan kepalaku dengan pelan.
            “Biar kulihat. Mmm  ..kurasa aku senang jika aku sedang berada di tempat tidur,”
            “Maksudmu?”
            “Beristirahat,”

            Kuanggukan kepalaku mengerti. Dia senang saat ia beristirahat. Kurang jelas. Semua orang senang jika mereka beristirahat. Dan aneh sekali jika Justin senang karena aku beristirahat tadi malam dan dapat menyalurkan keistirahatanku padanya sehingga membuatnya senang. Konyol sekali, jelas. Aku mengangkat salah satu alisku, memberikan tatapan kurang percaya padanya.
            “Apa?”
            “Tidak,”
            “Apa? Ada apa?” Justin memaksaku. Aku mendesah pelan dan mengangkat paha kananku dan menumpunya pada paha kiriku. Dan menaruh kedua telapak tangan bertumpukan di atas paha kananku.
            “Lupakan saja. Justin, apa yang membuatmu menyukai Caitlin? Aku tidak bermaksud menyindirmu atau apa,” aku bertanya ingin tahu. Justin menjilat bibirnya setelah ia selesai memakan makanannya. Aku tidak begitu memperhatikan dirinya sedang makan.
            “Aku tidak tahu. Mungkin ..mungkin karena dia bersikap natural,” katanya terlihat jujur. Aku menganggukan kelapaku dan mengelus perutku. Sekarang perutku terasa kram. Aku ingin pergi ke toilet.
            “Permisi,” bisikku berdiri dari tempat duduk dan mencari toilet.

            Aku kembali dari toilet dan melihat tidak ada piring di atas meja. Berarti kita sudah siap untuk pulang. Justin terduduk di atas kursinya dengan kaki kanannya yang berada pada ujung lutut kirinya menatap ponsel canggihnya itu.
            “Justin,” panggilku membenarkan jaket yang kupakai. Dan sedetik kemudian Justin mendongakan kepalanya. Wajahnya sungguh bercahaya sekarang karena efek dari lampu putih yang terang di atas kami. Bulu matanya begitu panjang dan terkibas saat ia mengedipkan matanya beberapa kali.
            “Oh, ya,” seakan tersadar, Justin terbangun dari duduknya dan memasukan ponselnya ke dalam kantung celana pendeknya. Ia menarik tanganku untuk keluar dari restoran ini.

            Pikiranku terbang ke percakapan kami tadi. Sungguh bukan Justin dan aku. Aku juga terlihat begitu berbeda. Ada apa denganku dan Justin? Mungkin ini hanya karena stress? Tidak tahu dan tidak yakin. Kami mulai meninggalkan restoran Prancis itu.


            Justin membuka pintu rumah Zayn. Hari ini kami menginap di rumah Zayn. Kurasa Zayn sudah pulang dari tempat kerjanya. Karena lampu depan rumah Zayn yang sejuk itu menyala. Dan benar saja, Zayn sedang duduk bersantai di depan televisi tipisnya itu. Dia orang kaya. Aku dikelilingi oleh orang kaya. Kecuali, Harry, Liam, Niall dan Louis. Mereka berempat sama denganku. Mempunyai hidup yang berkecukupan dan sederhana. Berbeda jauh dengan Justin, Zayn dan Caitlin. Mereka seperti dihujani oleh uang tiap harinya.
            “Kalian dari mana?” tanya Zayn bingung saat ia melihat kantung kertas cokelat berada di tangan Justin. Kami baru saja pergi dari supermarket. Membeli beberapa susu hamil. Dan sikap Justin begitu santai saat kami berada di supermarket untuk membeli susu hamil untukku. Maksudku, bukankah dia ingin berita kehamilanku tidak terdengar oleh orang lain? Termasuk Zayn dan yang lainnya? Dia cukup aneh setelah ia pulang dari supermarket.
            “Supermarket, oh maaf, Zayn. Kami tidak membawakanmu permen,” ejek Justin menaruh kantung kertas itu di atas meja makan Zayn. Aku terbelalak saat Justin dengan santainya mengeluarkan satu kardus susu hamil ke atas meja. Apa dia tahu apa yang sekarang ia lakukan? Karena aku tidak yakin. Aku memelototi Justin dan respon Justin hanya memberikan wajah Apa? padaku. Damn!
            Dapur Zayn berdekatan dengan ruang keluarga Zayn. Di batasi oleh tembok kayu dengan bentuk persegi panjang besar yang membolongi tembok kayu itu. Sehingga aku bisa melihat apa yang Justin lakukan. Beruntung, posisi Zayn sedang menonton televisi karena sofanya berpaling dari dapur itu.
            Dan sekarang, Zayn melihatku dengan bingung. Sedetik kemudian ia membalikan kepalanya dan melihat Justin yang sedang membuat susu itu. Aku sangat beruntung! Justin memunggungi Zayn, sehingga susu yang sedang ia buat itu tidak terlihat oleh Zayn.     
            “Ada apa?” tanya Zayn dengan bingung dan menoleh padaku. Aku menggelengkan kepalaku dan berjalan padanya. Aku menjatuhkan bokongku ke atas sofa di sebelah Zayn.
            “Uh, Zayn. Tadi siang sungguh membosankan di sini,” keluhku pada Zayn. Tangannya tiba-tiba berada di pundakku. Merangkulku hingga tubuhku semakin hangat. Jaket yang Justin berikan padaku sudah membuatku hangat.
            “Kenapa kau tidak memasang kaset Katy Perry? Kau bisa berkaraoke,” ujar Zayn membuatku ingin menamparnya. Aku sudah bilang berulang kali kalau aku itu tidak menyukai Katy Perry. Bukan berarti aku membencinya. Hanya saja, musik Katy Perry bukan jenis music kesukaanku. Aku memukul pelan pada Zayn. Membuat Zayn tertawa kecil. Tangannya yang berada di bahuku tiba-tiba mencubit pipiku.
            “Kenapa pipimu begitu menggemaskan, Deep?” tanya Zayn dengan gemas. Pipiku memerah.
            “Deep, ini susumu,” ucap Justin yang membuat Zayn bingung. Aku ingin sekali menyiram wajah Justin yang tampan itu dengan susu panas yang ia bawa sekarang. Aku bahkan tidak yakin susu buatannya akan enak!
            “Susu? Aku pikir kau tidak begitu menyukai susu, Deep,” Zayn semakin bingung. Damn!
            “Deep hamil.” Dan semuanya terjadi.

















:)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar