****
“Ap-apa?”
Zayn tergagap, “karena jika itu lelucon, itu adalah lelucon lucu,” lanjutnya
berdiri dari sofanya. Aku mendongakan kepalaku setelah terjadi keheningan
bermenit-menit. Seakan-akan keheningan itu menunggu respon Zayn. Aku
menggelengkan kepalaku. Justin hanya tersenyum kecut padaku dan Zayn. Ada apa
dengannya?
“Dia
hamil, Zayn,” ujar Justin menekan tiap suku kata yang ia keluarkan.
“Apa
benar itu, Deep?” tanya Zayn padaku. Aku memberanikan diri untuk menatap
matanya. Benar saja! Matanya penuh dengan api dan amarah yang melimpah. Pipinya
memerah, benar-benar marah. Dan apa masalahnya Zayn denganku? Apa itu adalah
urusannya jika aku hamil? Oh, man! Apa ini sedang terjadi? Karena aku harap aku
ingin mati sekarang. Aku berdiri dari sofa dan berusaha untuk menyentuh Zayn.
“Jangan
menyentuhku jika kau benar-benar hamil, Deep!” bentaknya menghindar dariku. Air
mataku membendung sekarang. Tidak sakit, tapi sakit. Kuharap kau tahu maksudku.
Zayn menganggukan kepalanya seolah-olah ia tahu apa yang sekarang terjadi.
“Dia
hamil sejak 1 minggu yang lalu. Kurasa. Kenapa Zayn?” tanya Justin terdengar
sinis? Apa maksudnya sih? Justin sekarang sedang mencari musuh. Aku juga
sekarang tidak tahu apa yang sedang terjadi pada diriku!
“Apa
yang kau lakukan padanya, kau bangsat?!” Zayn mendorong tubuh Justin ke
belakang. Membuat susu yang Justin pegang itu tertumpah pada tangannya. Dia
meringis pelan. Dengan cepat aku mendorong tubuh Zayn untuk menjauh dari
Justin. Air mataku turun begitu saja, tanpa harapan.
“Zayn,
apa kau berpikir apa yang sedang kaulakukan? Dia sahabatmu!”
“Apa
yang kulakukan? Aku ingin membunuhnya! Dia menghamilimu, Deep!” dia balik
membentakku. Lalu apa hubungannya dia dengan ini? Mungkin perasaannya memang
kecewa. Tapia pa hubungannya? Dia hanya sahabatku dan dia tidak berhak mengikut
campuri masalahku dan Justin! Aku marah dengan mereka berdua, termasuk pada
diriku sendiri.
“Kenapa?
Kenapa kau begitu marah, Zayn?” tanyaku getir. Zayn memegang kedua bahuku
dengan lembut. Seakan-akan ia tidak dapat berlaku kasar padaku. Mulutnya kaku
begitu saja. Rahangnya menegang dan wajahnya semakin memerah. Justin dari
belakang mencoba untuk melepaskan tangan Zayn yang berada pada bahuku.
“Jangan
sentuh dia!” bentak Zayn memerintah. Aku tidak bisa melihat reaksi Justin
sekarang, tapi aku yakin dia berjaga jarak dariku. “Lucu.” Justin menggumam
pelan hingga terdengar sampai pada telingaku.
“Karena
aku peduli denganmu, Deep,” ucap Zayn dengan suara yang lembut. Namun ia
menyampai sesuatu yang tak kuketahui. Aku ingin menggalinya lebih dalam lagi,
tapi bukan sekarang. Dia menyiratkan sesuatu, aku yakin. Dan alasannya sangat
tidak masuk akal. Semua orang peduli denganku! Aku tahu itu. Apa dia akan memberitahu
padaku lebih spesifik lagi? Aku tidak tahu.
“Dia
mencintaimu, Deep. Sudah Zayn, kau tidak memilikinya. Dia mil—“
“Diam,
kau berengsek!” Zayn meneriaki Justin. Kudengar dari belakang Justin
melangkahkan kakinya padaku dan melepaskan satu persatu jari Zayn yang
menyentuh bahuku. Dengan cepat Zayn menyingkirkan aku dari hadapannya dengan
tindakan yang lembut. Dan memajukan tubuhnya agar ia dekat dengan Justin.
Begitu juga dengan Justin yang mendekatinya, tanpa segelas susu di tangannya.
“Dia
milikku, Zayn,” ucap Justin yang masih bisa membuatku memerah sekarang. Sial,
kau Justin! Aku menggelengkan kepalaku dan berpikir, ini tidak benar.
“Bagaimana
kau bisa tahu itu?” tanya Zayn memiringkan kepalanya ke salah satu sisi. Nada
suaranya begitu misterius namun penuh dengan keingintahuan.
“Karena
aku sudah ditakdirkan memilikinya,” balas Justin tak mau kalah dan memiringkan
kepalanya ke salah satu sisi yang bertentangan dengan miringnya kepala Zayn.
Salah satu alis Justin terangkat dan memberikan Justin senyuman yang begitu
sombong.
“Kenapa
Zayn? Tidak bisa berbicara sekarang? Dia milikku, sekali lagi, dia milikku.
Jelas?” tanya Justin dan mengangkat kepalanya lagi. Bibirnya ia kerucutkan,
berlaga seperti lelaki yang berkuasa di tempat ini. Padahal ini adalah rumah
Zayn.
“Dia
–“
“Dia
bukan milikmu, Zayn,”
“Apa
yang kalian pikir, kalian lakukan hah?! Menjauh darinya Zayn. Dia sedang
bertingkah aneh. Kita harus berbicara Justin,” teriakku pada Justin dan menarik
tangan Justin untuk pergi dari rumah ini. Tapi sebelum itu aku mengambil
kantong kertas cokelat yang tadi Justin bawa. Aku membuka pintu rumah Justin
dengan tanganku yang masih memegang tangan Justin.
“Dan
Zayn, tolong jangan marah padaku. Aku memang hamil.” Aku mengakhiri semua
perdebatan ini dengan getir, suaraku melemah. Kutinggal Zayn yang berdiri
dengan wajah yang begitu pucat.
****
“Aku
benar-benar marah padamu Justin, kali ini, tak termaafkan,” ucapku dengan ketus
tanpa menatap Justin. Aku berada di rumahnya sekarang. Kubanting susu hamilku
pada lantai ini. Aku baru hamil beberapa minggu dan Justin telah membuatku
stress. Aku ragu bisa melanjutkan perjalanan kehamilanku ini bersama Justin.
Karena dia berubah sekarang. Aku sungguh ingin tahu apa yang membuatnya tampak
bertindak bodoh tadi.
“Maafkan
aku,” pintanya dengan suara yang begitu lembut. Aku menatap taman luar melaui
kaca tembus pandang ini. Kugelengkan kepalaku. Air mataku tak berhenti
mengalir. Zayn, sahabat terdekatku selain Justin. Aku tidak tahu kalau ia
mencintaiku. Apa benar dia mencintaiku? Aku tidak bisa merasakan getarannya.
Dan aku tidak tahu apa maksud Justin saat ia berteriak kalau aku adalah
miliknya. Aku dan dia bahkan belum menikah. Ruang tamu yang kami tempati terasa
hangat karena penghangat ruangan telah dinyalakan oleh si sialan Justin.
“Aku
hanya tak mengerti Justin.Apa tujuanmu melakukan itu?” aku bertanya dalam
kesedihan. Tiba-tiba hujan turun. Tidak deras namun membasahi kaca ruangan ini.
Aku menelan ludahku, menunggu jawaban Justin. Beberapa detik kemudian, Justin
menarik nafasnya dan menghembuskannya. Tidak dapat kumengerti.
Aku
membalikan tubuhku dan mendapati Justin yang sudah berada di depanku sekarang.
Ia menggelengkan kepalanya.
“Aku
tidak tahu apa yang membuatku terlihat serius seperti ini. Kurasa ini karena
kau,” ucapnya melantur. Apa dia mabuk? Karena kalau ya, semua itu masuk akal.
Tapi aku tidak mencium alkohol dari mulutnya. Ini bukan Jumat malam dan Justin
tidak meminum bir. Wajahku menggambarkan rasa tidak mengerti padanya. Dia dengan
lembut mengelus pipiku dengan jari-jarinya. Tidak, dia tidak bisa merayuku di
saat-saat seperti ini. Tapi, apa bisa? Kulihat matanya yang berwarna madu gelap
itu. Aku mendesah pelan dan menjatuhkan kepalaku pada dadanya. Justin merespon
dengan pelukan tangannya pada kepalaku.
“Kenapa
Justin?” tanyaku memaksanya untuk mengaku. Kudengar jantungnya berdetak 3 kali
lipat daripada biasanya. Ia gugup. Dan aku tahu ia sedang berbohong padaku.
“Itu
bodoh,” ia berujar, “Zayn tidak akan pernah memilikimu. Benar, bukan?” tanya
Justin yang membuat kepalaku terangkat dari dadanya. Ia menarik daguku hingga
kepalaku terdongak ke atas. Ia ingin menyentuh bibirnya pada bibirku. Dengan
cepat aku menggelengkan kepalaku. Aku tidak ingin melakukan ciuman dengan
Justin. Dia telah membuatku marah.
“Apa
kau sedang berusaha untuk aku melupakan masalah ini? Tidak akan pernah Justin,”
“Apa
itu ..kebenaran?”
“Ya,
tentu,”
“Aku
ragu karena kurasa aku bisa,” dia menyeringai. Ingin aku menciumnya sekarang!
Tapi aku tidak bisa melakukan itu disaat-saat seperti ini. Karena aku memang
sedang kesal.
“Tidak,
kau tidak,”
“Mau
aku tunjukan?”
“Tidak.
Tidak sama sekali, Justin. Apa kau ingin mengubah topic pembicaraan? Karena itu
tidak bisa,” ujarku kukuh dengan apa yang sedang kubicarakan sekarang. Sudah
kubilang! Justin sangat tidak bertanggungjawab. Dia selalu menghindari masalah.
“Deep,
aku sedang tidak ingin membicarakan apa yang terjadi denganku. Apa sekarang kau
bisa meminum susumu? Karena kau harus meminum itu,” ucap Justin memohon. Aku
menarik napasku. Apa aku bisa menunda pembicaraan ini? Tidak, tapi apa iya?
Kutundukan kepalaku dan menghelakan napasku. Kurasa untuk sekarang, ya. Aku
juga sudah lelah dengan Justin yang tampak mulai tertutup. Dan aku masih
penasaran dengannya. Kudongakan kepalaku dan menatap matanya yang bersinar itu.
Aku menganggukan kepalaku dengan pelan.
“Terima
kasih.” Katanya mencium pipiku dengan lembut.
***
Mataku
terus menatap layar komputer dengan kosong. Aku tidak sama sekali mengetik apa
pun sekarang. Seharusnya aku mengedit cerita yang kutunda kemarin. Batang
hidung Avan tidak terlihat sejak tadi pagi.
Sekarang sudah pukul 11 siang dan sebentar lagi waktunya istirahat.
Pikiranku masih melayang-layang pada Zayn. Dia tidak menghubungiku atau
mengirimi pesan padaku. Dan Justin, dia sudah pergi ke tempat kerjanya pagi
sekali. Dia mencoba melarikan agar kami tak berdebat lagi. Usaha yang bagus,
Justin. Karena itu berhasil. Tiba-tiba ponselku berdering. Aku keluar dari
lamunanku dan segera mengambil ponselku. Zayn?
Dengan
cepat kuangkat panggilannya.
“Temui
aku saat jam istirahat nanti,”
“Di
mana?” tanyaku dengan ragu. Apa aku mampu melihat wajahnya sekarang?
“Pizza
Hut?” tanyanya tampak santai. Rahangku menegang, perutku menegang rasanya.
“Setuju.
Zayn?”
“Ya?”
“Aku
sungguh minta maaf,” aku memohon padanya dan aku tidak tahu apa yang
kubicarakan sekarang. Untuk apa aku meminta maaf pada Zayn? Oh, karena aku dan
Justin berusaha untuk menutupi kehamilanku ini.
“Kita
bisa bicarakan itu nanti. Sampai ketemu.”
Ia
mengakhiri telepon singkat ini. Aku menaruh ponselku ke atas mejaku kembali.
Pikiranku kembali melayang pada Justin. Karena
kau menyenangkanku. Aku menyukainya, dan apa yang kau harapkan, Deep?Aku
berharap kau bisa menjadi milikku Justin. Menikmati setiap kesenangan yang
kudapat atau aku mendapatkan setiap kenikmatan yang kau dapat. Aku marah padamu
Justin, tapi aku tidak bisa marah denganmu dalam jangka waktu yang lama. Kau
punya daya tarik yang lain. Aku meraih ponselku lagi dan menekan nomor telepon
Justin. Lalu aku menghubunginya.
Butuh
beberapa detik untuk mendengar suaranya yang membuatku rindu setengah mati
sekarang. Dan ..
“Hai,
ada apa?” tanyanya terdengar sibuk.
“Justin,
aku ingin bertan—“
“Tidak
sekarang Deep, di sini begitu banyak pelanggan sekarang. Nanti malam kita akan
membicarakannya,” ia berusaha menjauh dari pertanyaanku. Terima kasih Justin.
Ini sungguh membosankan. Hampir saja aku melempar ponselku ke lantai.
Kehamilan, Justin, dan Zayn, membuatku hampir gila. Aku tidak ingin kehilangan
anak yang berada dalam kandunganku. Ini adalah kloning dari Justin. Cintaku,
sayangku, segalanya. Sangat berharga dalam perutku. Ah, aku begitu labil hari
ini.
Aku
mencari di mana Zayn berada. Dan kulihat rambut jambulnya yang khas dari pintu
masuk Pizza Hut. Dia memakai jaket kulit
hitam dan menatap luar melalui kaca. Segelas Coke sudah berada di depannya dan
satu es krim berada di depannya juga. Tapi belum tersentuh sama sekali. Aku
memberanikan diri untuk menghantar kaki ini padanya.Dan berhenti.
Zayn
memalingkan wajahnya padaku dan memberikan isyarat padaku agar aku duduk.
Dengan cepat aku duduk berhadapan dengannya. Begitu canggung dan tak
tergambarkan sekarang. Perasaanku tak menentu. Ingin menampar, meminta maaf,
dan marah padanya. Semuanya bercampur jadi satu dan tak dapat kumengerti.
“Es
krim?” tawarnya padaku. Aku menganggukan kepalaku dan mengambil es krim
berwarna putih dengan pisang yang terpotong-potong di sisinya. Kumasukan sendok
yang berisi es krim ke dalam mulutku.
“Deep,
sudah berapa lama kau menyembunyikan kehamilanmu dariku?” tanyanya tanpa
berbasa-basi lagi. Aku menelan es krimku dengan cepat, membuat tenggorokanku
dingin sekali.
“1
minggu?” aku menjawabnya dengan ragu.
“Sudah
kuduga. Apa kau tahu bagaimana perasaanku sekarang?” tanya Zayn terdengar
sedih. Aku menganggukan kepalaku.
“Tentu
saja, Zayn. Aku tahu. Aku tahu perasaanmu yang kecewa dan sedih padaku dan Just
–“
“Jangan
pernah menyebut nama bajingan itu padaku, Deep,”
“Tapi
dia sahabatmu,” aku mengelak. Aku tidak menginginkan ini. Justin dan Zayn tidak
boleh berpisah. Mereka sahabat yang selama ini baik-baik saja. Hanya saja,
Justin yang tidak mengerti batasan sahabat yang sebenarnya. Ia menghamiliku
tanpa ada rasa bersalah di dalam dirinya. Kesal dan marah tentunya saat aku
melihat respon yang tidak siap menanggung apa yang telah ia lakukan padaku.
“Dia
bajingan, berengsek. Mengapa kau ingin tidur dengan Deep?” tanyanya penasaran.
Matanya menyipit dan memiringkan kepalanya ke salah satu sisinya. Aku menarik
napasku dan menggelengkan kepalaku. AKU TIDAK BISA MENOLAK JUSTIN! Aku
berteriak dalam hati dan pikiranku. Dia seperti magnet bagiku. Tapi dia negatif
dan aku positif. Itu adalah kenyataannya.
“Zayn,
apa kau yakin ingin membicarakan itu denganku? Karena itu terdengar
menyakitkan,” kataku dengan nada hati-hati.
“Tidak.
Jika kau tak mau, tidak usah. Aku tidak memaksa. Satu hal yang perlu kau tahu
Deep, aku menyayangimu seperti –“
“Hai
Zayn!” Siapa pun itu, aku ingin mencekiknya sekarang juga! Dan suara itu
perempuan, damn!
****
“Ya,”
bisikku pada Justin dalam rangkulannya.
“Tidak
apa-apa. Dia hanya cemburu karena aku memilikimu,” Justin membalas bisikanku.
Aku menganggukan kepalaku. Setelah hampir 20 menit kau bercerita kejadian tadi
siang dengannya. Ia termasuk pendengar yang baik meski dia sering menjauh dari
masalah yang akan segara ia dapat.
“Justin,
aku bahkan belum menikah denganmu,” keluhku dengan pelan dan menaruh kepalaku
di atas dada Justin yang telanjang ini.
“Maka,
menikahlah denganku Deep.”
****
Tidak.
Aku tidak menginginkan pernikahan dengan Justin untuk sekarang ini. Ia tipe
lelaki yang tidak setia dan tidak bertanggungjawab. Aku takut jika ia akan
merasa bosan denganku dan meninggalkanku begitu saja. Dia memang sudah dewasa.
Umurnya sudah menginjak 25 tahun, tapi umur tidak memandang kedewasaan. Justin
bahkan tidak pernah berpikir apa yang akan ia lakukan setelah ini. Ia tidak
pernah melihat masa depan dari sekarang. Terlalu sibuk dengan permainannya
dengan wanita-wanita yang berada di Bar. Mengajaknya bermain dan bersenda
gurau. Ya, itu bisa membuatku cemburu. Aku jadi ingat kejadian 1 tahun lalu.
Saat aku masih perawan, saat aku masih memiliki hubungan yang baik dengan Justin
–bukan berarti sekarang aku tidak memiliki hubungan baik dengannya. Malam tahun
baru yang belum bisa membuatku cemburu. Di mana aku melihat Justin sedang
bermain dengan 2 orang gadis muda yang kurasa masih berumur 18 tahun dan saat
itu Justin berumur 24 tahun. Di sebuah Bar mereka bercumbu dengan ria. 2 GADIS!
Bisa bayangkan bagaimana jika saat itu aku berhubungan badan dengan Justin? Aku
bisa cemburu setengah mati. Tapi itu sebelum aku dan Justin melakukan hubungan
badan.
Mengingat
itu aku jadi cemburu sekarang. Dan kenapa aku membicarakan itu sekarang?
Sekarang tentang masa depanku dan Justin. Aku masih berada dalam posisi
menyandarkan kepalaku pada dada Justin yang telanjang.
“Apa
kau serius dengan apa yang kaukatakan, Justin? Karena aku tidak yakin itu bisa
terjadi,”
“Mengapa?
Komitmen?”
“Ya,”
aku menjawabnya dengan singkat.
Dari
tadi, apa yang ia pikirkan? Seharusnya ia tahu apa yang sedang ia katakan
sekarang. Ia bahkan tidak mengerti apa arti dari kata Komitmen! Astaga,
komitmen itu berarti harus dilakukan. Bagaimana jika Justin tidak bisa memenuhi
komitmen yang aku dan dia sepakatkan? Seperti, bagaimana jika kami mengucap
janji nikah di pelataran nanti? Apa dia sanggup melakukan janji itu? Tidak, aku
belum ingin menikah dengannya. Justin menarik daguku dengan pelan hingga aku
terdongak, melihatnya dari bawah sini. Kubenarkan posisiku hingga aku terbaring
di sebelahnya.
“Apa
susahnya melakukan komitmen? Maksudku, kau ingin aku melakukan apa?”
“Justin,
bukan apa yang kukatakan. Kau mengerti maksudku, bukan? Kau hanya perlu
..melakukan komitmen yang telah kau buat,”
“Apa
contohnya seperti, aku akan membahagiakanmu sampai mati nanti?” tanyanya
terdengar serius dan penuh dengan misteri. Kuanggukan kepalaku, tepat sekali
Justin.
“Ya,”
“Maka,
aku akan seperti itu. Membahagiakanmu sampai mati,” ujarnya dengan tulus. Aku
menelan ludahku. Aku bahkan tidak menatap matanya sekarang. Tapi nada suaranya
yang begitu meyakinkan dan dapat kupegang dalam hatiku. Justin akan
membahagiakanku. Sampai mati. Komitmen.
***
Kubuka
mataku perlahan-lahan dengan kepala yang cukup pusing. Astaga, aku tidur begitu
malam tadi. Justin masih tertidur dengan nyenyak, wajahnya begitu tenang.
Napasnya beraturan dan tangannya berada pada perutku. Sekarang, perutku mulai
lebih berbentuk. Aku tak sabar dengan kelahiran anak bayi ini di kehidupanku.
Kulihat jam dinding yang menunjukan pukul 08.00. Astaga! Aku terlambat sekali
untuk masuk kerja. Dan untuk pertama kalinya aku akan terlambat masuk.
Kugelengkan kepalaku dan bergegas cepat untuk mandi.
Aku
mengancingkan blazer hitam yang kupakai sekarang. Menatap cermin yang berada di
depanku. Rambut panjangku yang semakin memanjang ini kusanggul dengan rapi.
Cukup membutuhkan waktu yang lama. Dan sekarang sudah jam 08.30. Sial! Aku
semakin terlambat.
“Selamat
pagi, Deep,” sapa Justin yang sudah terbangun dari tidurnya.
“Ya,
Justin. Selamat pagi juga, aku harus pergi sekarang,” ucapku buru-buru. Aku
tidak tahu apa yang harus kubawa ke kantor sekarang! Sial, karena terlalu panik
aku sampai lupa apa yang harus kubawa. Susu hamil dan ponsel. Sudah itu saja,
kurasa.
“Jam
berapa sekarang?” tanyanya masih terlihat mengantuk.
“Oh,
Tuhan! Justin, aku sudah terlambat. Sampai jumpa nanti sore,” ujarku berteriak
padanya dan keluar dari kamarnya. Aku menggelengkan kepalaku, ini sudah sangat
terlambat.
---
Dapat
kulihat dari sini –lift- Avan berdiri di mulut pintu kantornya. Ia melihatku
dengan tatapan dingin. Ia baru saja memotong rambutnya menjadi Mohawk. Apa
maksudnya ia melakukan itu? Dia sungguh tidak cocok dengan rambut itu. Apa dia
mencoba memiripkan gaya rambutnya dengan Justin yang Mohawk? Tidak, dia sudah
memutuskanku.
“Selamat
pagi, Mr. Jogia, rambut yang bagus,” kataku menyapanya dan berbohong, rambutnya
sangat tidak cocok untuknya. Ia hanya menganggukan kepalanya satu kali. Begitu
dingin dan tidak dapat kujelaskan. Aku hanya melewatinya dan berjalan menuju
meja kerjaku. Kujatuhkan bokong dengan pelan dan mulai menyalakan komputerku
dan menaruh kantong cokelat kertas di atas mejaku. Kuangkat kakiku dan
menumpunya pada kaki kiriku. Rok pendek yang kupakai semakin tertarik ke atas,
membuatku risih. Kutarik rokku hingga mencapai lututku.
Avan
berhenti di depanku dan bersandar pada pembatas kayu yang kokoh itu. Aku ingin menamparnya
dan memotong rambutnya dengan penggunting daun. Ia memberiku senyum yang
menggoda? Tapi tidak begitu menggodaku. Rambutnya jelek sekali.
“Apa
kau suka rambutku?” tanyanya ingin tahu pendapatku. Hmm, apa aku harus
menjawabnya dengan jujur? Kurasa tidak. Beberapa hari yang lalu aku sudah
membuatnya sakit hati. Kemarin ia tidak masuk kerja ternyata. Kupikir kemarin
ia terjebak dalam rapat mendadak. Ia memainkan alisnya dan memberiku senyuman
yang aneh.
“Itu
sangat cocok denganmu Avan. Lain kali, kalau bisa, potong rambutmu hingga
botak,” ucapku dengan nada yang lembut namun menyindirnya. Avan terkekeh pelan
dan menganggukan kepalanya.
“Selamat
bekerja, Deep. Senang melihatmu. Aku tahu kau terlambat, tapi kali ini aku beri
keringanan bagimu. Dan kau tampak cantik dengan rambut sanggulanmu itu.”
Ucapnya tampak senang dan berlalu dari hadapanku. Untung saja ia memaafkanku
meski aku tidak memberitahunya kalau aku terlambat. Dan itu adalah percakapan
yang aneh bagiku.
Kugelengkan
kepalaku. Aku mengingat perkataan Justin kemarin. Ia ingin menikahiku dan akan membuatku
bahagia hingga ia mati. Itu membuatku sedikit memerah kemarin. Beberapa kata
yang memang berhasil memberikanku secercah harapan. Kurang yakin. Maksudku, aku
kurang yakin ia mencintaiku atau tidak. Karena ia belum mengucapkan kata cinta
padaku.
Oh,
ya. Zayn ternyata sedang dekat dengan asisten pribadinya. Seorang arsitek
memiliki seorang asisten pribadi. Membuatku sedikit khawatir dengan Zayn. Ia
bilang kemarin kalau ia telah berpacaran dengan gadis itu. Tidak, aku tidak
cemburu dengan gadis itu. Hanya saja, Zayn begitu mendadak memberitahu padaku.
Ia tidak pernah menceritakan tentang gadis yang sedang ia dekati. Kemarin, aku
menemui pacarnya. Cantik dan tinggi. Rambutnya pirang dan berbeda 2 tahun
dengan Zayn. Tidak serasi, untukku. Dan kurasa Zayn hanya berbohong padaku. Aku
tidak percaya dengannya. Hampir saja aku mencekik gadis itu sebelum Zayn
memberitahu kalau ia adalah pacarnya –Zayn-. Meredith, itu namanya. Nama yang
bagus dan cocok dengan rambutnya yang berwarna pirang itu.
Caitlin.
Aku ingin melihatnya setelah 2 hari lebih aku tidak bertemu dengannya. Kabar
kehaminlanku baru terdengar Zayn. Yang lain harus tahu juga. Cukup tidak adil
jika mereka tidak tahu kalau aku hamil. Entah apa perasaan Caitlin nanti jika
ia tahu kalau selama ini aku berhubungan badan dengan Justin. Tiba-tiba
ponselku berdering. Justin menghubungiku. Dengan cepat aku meraih ponselku dan
mengangkatnya.
“Bekerja?”
tanyanya langsung.
“Ya,”
“Maaf
tentang tadi. Aku tidak tahu kau terlambat,”
“Tidak
apa-apa. Sekarang aku sudah berada di kantor,” lirihku dengan suara yang pelan.
“Justin,
apa yang terjadi denganmu?” tanyaku mengingat kejadian 2 hari yang lalu,
sekaligus mengganti topik pembicaraan. Kudengar Justin menghembuskan napasnya
dengan pelan. Hari ini ia tidak bekerja karena bukan jadwalnya. Beruntung
sekali ia bekerja hanya dari Senin hingga Kamis. Lalu Jumat hingga Minggu ia
libur. Meski aku tahu, sekarang adalah hari terakhir aku bekerja di minggu ini.
“Kau
tidak akan pernah mengerti jika aku memberitahumu, Deep. Yang bisa kuberitahu
sekarang adalah karena kau. Itu penjelasanku. Apa kita mempunyai topik
pembicaraan yang lain?” tanyanya terdengar memohon. Aku menelan ludahku. Apa
yang sebenarnya terjadi padanya? Tapi aku tidak bisa memaksanya. Aku takut ia
akan memikirkan pertanyaan ini dan tidak akan focus akan pekerjaannya sebagai
kasir. Bisa-bisa ia salah menghitung uang kembalian. Atau bahkan ia akan
memberikan uang yang ada di dalam kotak penyimpanan uang. Jangan sampai itu.
“Ya,
aku punya. Bagaimana jika nanti saat aku pulang kau menjemputku, jam 5?”
tanyaku dengan suara yang lembut. Aku bisa mendengar dari sini kalau sekarang
ia menyeringai.
“Dan
apa kita membicarakan topik tadi malam? Karena bagiku itu sangat penting
bagiku,” ujarnya bersemangat. Aku mendesah pelan, terkekeh.
“Ya,
tentu. Justin, aku harus bekerja, terima kasih telah menghubungiku.”
“Bagus.
Aku menunggu kau pulang.” Ucapnya mengakhiri pembicaraan kami.
***
Sudah
jam 5 sore. Dengan cepat aku mengambil kantong kertas cokelat yang tadi kubawa
dan meraih ponselku. Kulangkahkan kakiku setelah aku merapi barang-barang di
atas mejaku. Avan belum pulang, apa dia lembur? Aku tidak begitu peduli
dengannya sekarang. Banyak karyawan yang sudah pulang dan sebagian ingin
lembur. Mungkin dari mereka semua hanya aku yang tidak pernah lembur. Ya,
lembur tidak akan berlaku bagiku karena aku tidak pernah lalai dalam pekerjaan.
Kau tahu, tidak seperti mereka yang malas bekerja sehingga mereka harus lembur
sekarang.
Tiba-tiba
ponsel yang berada di tanganku berdering, tepat saat aku masuk ke dalam lift.
Kuangkat telepon dari Justin.
“Aku
sudah berada di depan gedung. Kau di mana?” tanyanya terdengar tak sabar untuk
menemuiku. Mahluk apa yang telah merasuki Justin sehingga ia bersikap begitu
manis padaku? Dia tidak pernah seperti ini padaku. Keingintahuanku semakin
bertambah sekarang. Tapi kurasa malam ini bukanlah malam yang tepat untuk
bertanya perubahan sikapnya bahkan pribadinya.
“Aku
berada di lift. Sebentar lagi aku akan keluar,”
“Aku
membawa mobilku,” aku terkejut. Dia membawa mobilnya? Maksudku, apa dia yakin
akan membawa mobil bersamaku? Karena terakhir kali aku naik mobil bersamanya,
aku hampir mati.
“Oh,
baiklah.” Aku menekan tombol mati dan menarik napasku dalam-dalam.
Dia
membawa mobilnya. Keadaan di sini semakin memanas dan liftku belum
sampai-sampai ke bawah. Kenapa rasanya lama sekali? Kutelan ludahku, Justin
akan membawa mobilnya bersamaku. Oh, Tuhan! Aku tidak ingin mati sekarang.
Sebelum aku meninggal, aku ingin melihat kloning dari Justin ini. Kloning dari
lelaki yang kucintai. Dan sungguh kacau jika Justin membawa mobilnya bersamaku
sekarang. Dia memang memiliki SIM mengemudi, tapi, dia suka sekali melanggar
peraturan lalu lintas. Lampu merah saja ia lewati dan aku hampir mati saat itu.
Pintu
lift terbuka dan aku langsung menghantarkan kakiku keluar dari gedung ini. Dari
pintu gedung, kulihat Justin yang sedang bersandar pada pintu mobilnya.
Senyumnya mengembang saat aku muncul di depannya. Ia berdiri dengan tegap dan
menghampiriku.
“Deep,”
panggilnya memelukku dengan erat. Ada apa dengannya? Tidak seperti biasanya.
Oh, Tuhan! Aku sungguh penasaran apa yang menyebabkannya begitu manis padaku.
Aku membalas pelukannya sebentar dan menarik tubuhku dari pelukannya.
“Hai,
apa kita akan menaiki benda ini?” tanyaku menunjuk mobil yang berada di
belakang tubuhnya. Menahan napas, aku ingin muntah sekarang. Ia menganggukan
kepalanya dengan lengkungan pada bibirnya. Tuhan, kumohon, jangan sampai aku
mati karena dia melanggar peraturan-peraturan lalu lintas. Dan bahkan sekarang
ia sedang melakukannya. Memarkirkan mobilnya di depan gedungku, atau lebih
tepatnya di depan pintu gedungku. Ia akan ditilang tapi ia beruntung tidak ada
polisi yang bersiaga di jalan ini. Beberapa detik aku merenung, Justin
membukakan pintu untukku. Aku masuk ke dalam kursi depan mobil ini. Justin
menutup pintunya dan berlari kecil menuju kursi pengemudi.
“Siap?”
tanyanya bersemangat.
“Jika
kau siap,” aku membalasnya sekenanya. Ia menganggukan kepalanya dan menyalakan
mesin mobil. Sialan! Ia langsung mengebut mobilnya dengan cepat. Membuat
beberapa mobil berhenti mendadak.
“Jumat
malam,” gumamnya saat ia memelankan kecepatan mobil ini. Aku menghelakan
napasku dengan pelan. Lega akan perubahan Justin yang sudah tidak ugal-ugalan
lagi. Apa aku harus bertanya lagi apa
yang terjadi dengannya? Secara spesifik mungkin? Tidak, aku tidak boleh
memikirkan itu.
“Oh,
ya, kau pakai jaket biru di belakang sana. Udara di Atlanta dingin sekarang,
aku tidak ingin kau kedinginan,” suruhnya padaku. Dengan cepat aku membalikan
tubuhku dan mengambil jaket biru yang berada di kursi belakang mobil ini.
Kubuka blazer yang kupakai hingga aku bisa bernapas dengan lega. Justin
menyukaiku saat aku memakai blazer hitam tapi aku tidak menyukainya karena
cukup menyesakan bagiku. Maksudku, panas, kau tahu. Kemeja putihku terlihat
begitu saja dan dalam hitungan detik aku kembali memakai jaket biru yang
kemarin kupakai.
Apa
pun yang ada di pikiranku sekarang, aku bersumpah, aku mengkhawatiri Zayn sekarang.
Apa dia sudah makan? Atau apa yang dia lakukan sekarang? Seharian ini ia tidak
mengabariku keadaannya dan aku mencoba untuk menghubunginya tapi ia tidak
mengangkatnya. Oh, apa yang sedang ia lakukan? Aku ingin tahu dia sedang berada
di mana. Apa ia sedang bersama Meredith di atas sofa empuknya? Mungkin, aku tak
yakin dengan itu. Kupejamkan mataku perlahan.
“Sampai,”
kata Justin saat ia menghentikan mobilnya di sebuah parkiran yang dipenuhi
dengan banyaknya mobil. Mall? Oh, aku sangat benci dengan Mall. Maksudku,
berbelanja? Aku tidak suka berbelanja kecuali jika ada ibuku atau adik
perempuanku berada di sebelahku.
“Mall?
Justin, kau tahu aku,” keluhku mendesah pelan. Justin mematikan mesin mobilnya
namun ia tidak membuka pintu mobilnya. Ia memiringkan kepalanya dan
menyeringai.
“Apa
kau ingin si kecil kedinginan tanpa baju?” tanya Justin terkekeh pelan dan
mengelus perutku. Perutku mulai membesar. Blazerku tampak tak muat tadi. Aku
harus mengubah cara berpakaianku.
“Baju
bayi, sayang.” Sayang?
***
Tunggu
dulu. Apa aku baru saja melewati perjalanan dengan Justin bersama mobilnya
dengan selamat? Oh, Tuhan! Itu suatu keajaiban. Sudah lama sekali aku tidak
naik mobil bersama Justin pasca-kecelakaan kecil yang kudapatkan bersamanya.
Ya, ia menabraki tiang lampu lalu lintas dan kita terjebak dalam penjara selama
1 minggu. Masa-masa itu adalah masa di mana aku ingin sekali membunuh Justin.
Tapi, lihat sekarang? Ia tidak menabrak sesuatu, kurasa. Aku tertidur sejenak
tadi karena kelelahan bekerja. Dan sekarang Justin terus menggenggam tanganku
untuk mencari pakaian bayi. Bukankah itu terlalu cepat? Dan bukankah seharusnya
aku dan dia berada di rumah? Aku sangat benci dengan Mall. Tidak begitu benci
jika aku sudah bersama dengan ibu atau saudara perempuan.
Tapi
tidak. Justin terus menarik tanganku dan melihat-lihat ke toko-toko
perlengkapan bayi. Aku bahkan belum tahu jenis kelamin anak kami. Dan aku belum
pernah check-up ke dokter kandungan. 2 kali seminggu, setiap hari Senin dan
Kamis saat senja. Dan baru mulai minggu depan aku akan melakukan check-up itu
secara rutin bersama Justin. Tentu saja, Justin harus perkembangan bayi yang
ada di dalam perutku ini.
“Justin,
apa kau yakin akan melakukannya sekarang? Karena ini terlalu cepat,” ucapku
dengan suara yang lembut. Apa? Aku tidak percaya, sekarang aku menjadi aneh.
Aku berbicara lembut pada Justin? Sesuatu yang baru telah terjadi padaku
sekarang. Penyakit aneh Justin menular padaku. Oh, tidak! Justin menghentikan langkahannya dan menatap
mataku. Astaga, kenapa Tuhan membuat Justin begitu indah seperti ini? Matanya
yang berwarna madu cerah menatapku dengan lembut. Tidak menyiratkan sesuatu
namun enggan. Enggan untuk menjawab pertanyaanku. Namun tidak, ia menarik
napasnya.
“Kau
tidak ingin pergi membeli baju anak kita? Tidak apa-apa. Kau benar. Kita
terlalu cepat, bagaimana kalau kita sekarang makan?” tanyanya dengan nada suara
yang tak pernah kudengar sebelumnya. Berwibawa dan aneh di telingaku! Aku
bersumpah, cara berbicara dan sikapnya berubah begitu saja dalam hitungan hari.
Ada apa sebenarnya dengannya? Apa ayahnya baru saja menamparnya atau
semacamnya?!
“Tentu,
terserah kau,” balasku dengan suara yang pelan. Justin menganggukan kepalanya
satu kali dan menarik tanganku lagi untuk berjalan bersamanya. Aku tidak ingin
memakan makanan mewah bersamanya lagi. Perutku mual jika aku harus pergi ke
restoran mewah. Maksudku, bisakah kita pergi ke tempat yang lebih santai tapi
terjamin kualitasnya? Aku bisa memakan ayam sekarang, entahlah. Aku ingin ayam
sekarang. Tiba-tiba Justin mengajakku masuk ke dalam restoran China yang di
mana lampion-lampion merah tergantung di langit-langit ruangan ini. Banyak
sekali orang masuk ke dalam tempat ini. Tak peduli. Sekarang perutku sudah
meraung untuk memakan beberapa ikan atau semacamnya. Padahal aku ingin ayam.
“Kau
suka tempat ini?” tanya Justin saat aku dan Justin terduduk di atas kursi
empuk. Bersebelahan, di kursi berwarna merah. Seorang pelayan berpakaian khas
China itu mendekati kami dengan mata sipitnya. Begitu ramah saat ia tersenyum
pada kami, matanya begitu sipit. Justin langsung memesan makanan yang aku
bahkan tidak mengerti apa yang ia katakan sekarang. Nama-nama itu begitu asing
bagiku. Mungkin kalian berpikir kalau aku tidak pernah bersekolah atau menonton
televisi. Ah, aku tidak peduli. Pelayan itu pergi dari hadapan kami dan Justin
menoleh, melihatku.
“Jadi?”
“Oh.
Oh, iya. Ya, aku suka tempat ini,” jawabku tergagap. Sudut-sudut bibirnya
tertarik ke atas, menghasilkan sebuah senyum manis.
“Jadi,
bagaimana kabar bayi kita?” tanyanya mengelus perutku. Tubuhku bergetar
setengah mati. Seolah-olah tangannya adalah listrik bagiku. Oh, tidak! Jangan.
Ini hanyalah sentuhan biasa.
“Lebih
baik, kurasa. Jika ibunya sehat, maka bayi ini sehat, Justin,” ucapku dengan
pelan dan memberikan senyuman manisku padanya. Ia menganggukan kepalanya dan
memegang tanganku.
“Bagaimana
harimu, Deep?” tanyanya perhatian. Wow! Sangat bukan Justin. Ia tidak pernah
peduli dengan pekerjaanku atau apa yang kulakukan. Hanya Zayn yang sering
seperti itu padaku. Apa maksudnya bertanya-tanya seperti ini? Dan, apa sih yang
merasukinya sekarang? Aku ingin menarik roh itu dari dalam tubuh Justin dan
mengganti roh Justin yang asli.
“Avan
baru-baru ini memotong rambutnya, menjadi Mohawk. Sepertimu, dan gaya rambut
itu sangat tidak cocok untuknya,” ucapku dengan jujur. Matanya tidak beralih
dari mataku dan penuh dengan tanda tanya padaku. Apalagi sekarang? Hening
meliputi di antara kami. Ia memajukan kepalanya dan menemukan bibirku sudah bersentuh
dengan bibirnya, ia mengigiti bibir bawahku. Kudorong kepalanya dengan pelan.
Ini tempat umum dan aku tidak menyukai ini.
“Ada
apa?” tanyanya terlihat bingung.
“Ini
tempat umum, Justin. Tempat makan pula,”
“Lalu?”
“Aku
malu, Justin Bieber yang Terhormat,” ucapku menjauhkan wajahku dari wajahnya.
Ia terkekeh pelan dan menganggukan kepalanya, mengerti. Tangannya merangkulku
sekarang. Kusandarkan kepalaku pada bahuku dan memejamkan mataku. Oh, Tuhan!
Aku tidak bisa menahan pertanyaan yang berada dalam otakku sekarang. Aku haus
akan jawabannya sekarang. Kubuka mataku.
“Justin,
apa yang terjadi padamu?” tanyaku untuk yang kesekian kalinya. Dada Justin naik
begitu lama lalu turun. Ia mengambil napasnya dalam-dalam dan membuangnya
dengan cepat.Seakan-akan ia muak akan pertanyaanku.
“Aku
sudah bilang padamu, Deep. Kau tidak akan mengerti apa yang terjadi padaku
sekarang. Intinya, ini semua karena kau,”
“Apa
karena kehamilanku?”
“Ya,
bisa dibilang seperti itu,”
“Apa
kau akan seperti ini jika aku tidak hamil?” tanyaku. Sial! Aku melantur sekali.
Justin menoleh, melihatku dari samping. Dan menyeringai. Sialan! Pasti ia
mengira aku menyukainya –walau aku tahu, aku mencintai sudah lama dan aku
memendamnya.
“Kenapa
kau bertanya seperti itu?” tanyanya dengan nada penuh dengan kebingungan. Aku
mengangkat kepalaku dari bahunya dan mengangkat kedua bahuku. Karena aku
mencintaimu, Justin, dalam hatiku berteriak. Dan tak tersalurkan melalui mulut
dan suaraku. Belum ada keberanian yang terpendam dalam diriku. Kegugupan
melingkupiku sekarang karena Justin tersenyum menggoda padaku. Apa maksudnya?
“Ya,
tentu saja, Deep,” balasnya seperti ia tahu kegugupanku sekarang. Wajahnya
mendekati wajahku lagi, namun terhentikan. Seorang pelayan membawa sebuah
nampan yang di atasnya terdapat mangkuk-mangkuk putih yang bersih. Pelayan
bermata sipit itu menaruhnya ke atas meja kami dan aku melihat sebuah mangkuk
berisikan mie bening dengan kuah yang bening dan beberapa seafood menemaninya. Baiklah, aku akan mencobanya. Biasanya aku
hanya memakan salad atau semacamnya. Awalnya aku vegetarian –serius- tapi sejak
6 tahun yang lalu aku tidak menjadi vegetarian lagi. Aku bertobat saat Zayn
bilang padaku kalau tubuhku seperti sebatang korek api. Sial! Mengapa aku harus
mengenang itu?! Dan oh, baiklah. Sumpit berada di depanku sekarang dan aku
tidak tahu bagaimana caranya.
“Kenapa?”
tanya Justin yang tidak jadi memakan bakminya dengan garpu dan sendok! Dia
licik!
“Aku
tidak tahu bagaimana caranya memakai sumpit, oh Tuhan! Justin, bagaimana kau
tidak bisa mengetahuiku setelah kita bersahabat selama 6 tahun?” tanyaku
mengeluh. Ia mengembalikan garpu yang ia pegang ke dalam mangkuk.
“Aku
sungguh tidak tahu, Deep. Maksudku, memang kita sudah kenal selama 6 tahun. Dan
ini yang pertama kalinya aku memberimu makanan yang menggunakan sumpit. Kau
tidak memberitahuku,” jawabnya dengan lembut. Selembut yang ia bisa. Matanya
begitu sayu dan sungguh ..manis. “Baiklah, ini. Pakai ini,”
Ia
memberikan garpunya padaku. Dan lucunya, aku dan dia sedang memperdebatkan
masalah alat untuk makan. Sesuatu hal yang tidak begitu penting. Namun itu
adalah detik-detik yang mendebarkan hatiku. Matanya sayu, kau tahu. Itu sungguh
jarang terjadi pada Justin. Sayu.
“Makan,
sayang,” perintahnya padaku. Sayang? Berani-beraninya dia! Ia menautkan kedua
alisnya, tampak bingung.
“Ada
apa?”
“Kau
sangat berbeda, Justin,”
“Deep,
aku punya begitu banyak alasan mengapa aku seperti ini. Tapi, intinya adalah
kau. Kau yang membuatku seperti ini. Makanlah makananmu,” suruhnya lagi dengan
suara yang lebih lembut.
Akankah
ia berlaku seperti ini terus? Kelembutan, mata sayu, senyum manis, perhatian?
Aku tidak akan pernah ingin melewatkan masa-masa manis seperti ini. Sesuatu
telah terjadi dalam diri Justin dan itu karena aku. Aku memiliki pengaruh
padanya. Dan entahlah, apa benar begitu? Aku tidak begitu yakin. Dan mungkin,
perlahan-lahan ia bisa memberitahuku apa yang membuatnya berubah menjadi lelaki
yang lebih lembut.
:)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar