Jumat, 26 Juli 2013

Deep Bab 3

****

            “Ap-apa?” Zayn tergagap, “karena jika itu lelucon, itu adalah lelucon lucu,” lanjutnya berdiri dari sofanya. Aku mendongakan kepalaku setelah terjadi keheningan bermenit-menit. Seakan-akan keheningan itu menunggu respon Zayn. Aku menggelengkan kepalaku. Justin hanya tersenyum kecut padaku dan Zayn. Ada apa dengannya?
            “Dia hamil, Zayn,” ujar Justin menekan tiap suku kata yang ia keluarkan.
            “Apa benar itu, Deep?” tanya Zayn padaku. Aku memberanikan diri untuk menatap matanya. Benar saja! Matanya penuh dengan api dan amarah yang melimpah. Pipinya memerah, benar-benar marah. Dan apa masalahnya Zayn denganku? Apa itu adalah urusannya jika aku hamil? Oh, man! Apa ini sedang terjadi? Karena aku harap aku ingin mati sekarang. Aku berdiri dari sofa dan berusaha untuk menyentuh Zayn.
            “Jangan menyentuhku jika kau benar-benar hamil, Deep!” bentaknya menghindar dariku. Air mataku membendung sekarang. Tidak sakit, tapi sakit. Kuharap kau tahu maksudku. Zayn menganggukan kepalanya seolah-olah ia tahu apa yang sekarang terjadi.
            “Dia hamil sejak 1 minggu yang lalu. Kurasa. Kenapa Zayn?” tanya Justin terdengar sinis? Apa maksudnya sih? Justin sekarang sedang mencari musuh. Aku juga sekarang tidak tahu apa yang sedang terjadi pada diriku!
            “Apa yang kau lakukan padanya, kau bangsat?!” Zayn mendorong tubuh Justin ke belakang. Membuat susu yang Justin pegang itu tertumpah pada tangannya. Dia meringis pelan. Dengan cepat aku mendorong tubuh Zayn untuk menjauh dari Justin. Air mataku turun begitu saja, tanpa harapan.
            “Zayn, apa kau berpikir apa yang sedang kaulakukan? Dia sahabatmu!”
            “Apa yang kulakukan? Aku ingin membunuhnya! Dia menghamilimu, Deep!” dia balik membentakku. Lalu apa hubungannya dia dengan ini? Mungkin perasaannya memang kecewa. Tapia pa hubungannya? Dia hanya sahabatku dan dia tidak berhak mengikut campuri masalahku dan Justin! Aku marah dengan mereka berdua, termasuk pada diriku sendiri.
            “Kenapa? Kenapa kau begitu marah, Zayn?” tanyaku getir. Zayn memegang kedua bahuku dengan lembut. Seakan-akan ia tidak dapat berlaku kasar padaku. Mulutnya kaku begitu saja. Rahangnya menegang dan wajahnya semakin memerah. Justin dari belakang mencoba untuk melepaskan tangan Zayn yang berada pada bahuku.
            “Jangan sentuh dia!” bentak Zayn memerintah. Aku tidak bisa melihat reaksi Justin sekarang, tapi aku yakin dia berjaga jarak dariku. “Lucu.” Justin menggumam pelan hingga terdengar sampai pada telingaku.
            “Karena aku peduli denganmu, Deep,” ucap Zayn dengan suara yang lembut. Namun ia menyampai sesuatu yang tak kuketahui. Aku ingin menggalinya lebih dalam lagi, tapi bukan sekarang. Dia menyiratkan sesuatu, aku yakin. Dan alasannya sangat tidak masuk akal. Semua orang peduli denganku! Aku tahu itu. Apa dia akan memberitahu padaku lebih spesifik lagi? Aku tidak tahu.
            “Dia mencintaimu, Deep. Sudah Zayn, kau tidak memilikinya. Dia mil—“
            “Diam, kau berengsek!” Zayn meneriaki Justin. Kudengar dari belakang Justin melangkahkan kakinya padaku dan melepaskan satu persatu jari Zayn yang menyentuh bahuku. Dengan cepat Zayn menyingkirkan aku dari hadapannya dengan tindakan yang lembut. Dan memajukan tubuhnya agar ia dekat dengan Justin. Begitu juga dengan Justin yang mendekatinya, tanpa segelas susu di tangannya.
            “Dia milikku, Zayn,” ucap Justin yang masih bisa membuatku memerah sekarang. Sial, kau Justin! Aku menggelengkan kepalaku dan berpikir, ini tidak benar.
            “Bagaimana kau bisa tahu itu?” tanya Zayn memiringkan kepalanya ke salah satu sisi. Nada suaranya begitu misterius namun penuh dengan keingintahuan.
            “Karena aku sudah ditakdirkan memilikinya,” balas Justin tak mau kalah dan memiringkan kepalanya ke salah satu sisi yang bertentangan dengan miringnya kepala Zayn. Salah satu alis Justin terangkat dan memberikan Justin senyuman yang begitu sombong.
            “Kenapa Zayn? Tidak bisa berbicara sekarang? Dia milikku, sekali lagi, dia milikku. Jelas?” tanya Justin dan mengangkat kepalanya lagi. Bibirnya ia kerucutkan, berlaga seperti lelaki yang berkuasa di tempat ini. Padahal ini adalah rumah Zayn.
            “Dia –“
            “Dia bukan milikmu, Zayn,”
            “Apa yang kalian pikir, kalian lakukan hah?! Menjauh darinya Zayn. Dia sedang bertingkah aneh. Kita harus berbicara Justin,” teriakku pada Justin dan menarik tangan Justin untuk pergi dari rumah ini. Tapi sebelum itu aku mengambil kantong kertas cokelat yang tadi Justin bawa. Aku membuka pintu rumah Justin dengan tanganku yang masih memegang tangan Justin.
            “Dan Zayn, tolong jangan marah padaku. Aku memang hamil.” Aku mengakhiri semua perdebatan ini dengan getir, suaraku melemah. Kutinggal Zayn yang berdiri dengan wajah yang begitu pucat.


****

            “Aku benar-benar marah padamu Justin, kali ini, tak termaafkan,” ucapku dengan ketus tanpa menatap Justin. Aku berada di rumahnya sekarang. Kubanting susu hamilku pada lantai ini. Aku baru hamil beberapa minggu dan Justin telah membuatku stress. Aku ragu bisa melanjutkan perjalanan kehamilanku ini bersama Justin. Karena dia berubah sekarang. Aku sungguh ingin tahu apa yang membuatnya tampak bertindak bodoh tadi.
            “Maafkan aku,” pintanya dengan suara yang begitu lembut. Aku menatap taman luar melaui kaca tembus pandang ini. Kugelengkan kepalaku. Air mataku tak berhenti mengalir. Zayn, sahabat terdekatku selain Justin. Aku tidak tahu kalau ia mencintaiku. Apa benar dia mencintaiku? Aku tidak bisa merasakan getarannya. Dan aku tidak tahu apa maksud Justin saat ia berteriak kalau aku adalah miliknya. Aku dan dia bahkan belum menikah. Ruang tamu yang kami tempati terasa hangat karena penghangat ruangan telah dinyalakan oleh si sialan Justin.
            “Aku hanya tak mengerti Justin.Apa tujuanmu melakukan itu?” aku bertanya dalam kesedihan. Tiba-tiba hujan turun. Tidak deras namun membasahi kaca ruangan ini. Aku menelan ludahku, menunggu jawaban Justin. Beberapa detik kemudian, Justin menarik nafasnya dan menghembuskannya. Tidak dapat kumengerti.
            Aku membalikan tubuhku dan mendapati Justin yang sudah berada di depanku sekarang. Ia menggelengkan kepalanya.
            “Aku tidak tahu apa yang membuatku terlihat serius seperti ini. Kurasa ini karena kau,” ucapnya melantur. Apa dia mabuk? Karena kalau ya, semua itu masuk akal. Tapi aku tidak mencium alkohol dari mulutnya. Ini bukan Jumat malam dan Justin tidak meminum bir. Wajahku menggambarkan rasa tidak mengerti padanya. Dia dengan lembut mengelus pipiku dengan jari-jarinya. Tidak, dia tidak bisa merayuku di saat-saat seperti ini. Tapi, apa bisa? Kulihat matanya yang berwarna madu gelap itu. Aku mendesah pelan dan menjatuhkan kepalaku pada dadanya. Justin merespon dengan pelukan tangannya pada kepalaku.
            “Kenapa Justin?” tanyaku memaksanya untuk mengaku. Kudengar jantungnya berdetak 3 kali lipat daripada biasanya. Ia gugup. Dan aku tahu ia sedang berbohong padaku.
            “Itu bodoh,” ia berujar, “Zayn tidak akan pernah memilikimu. Benar, bukan?” tanya Justin yang membuat kepalaku terangkat dari dadanya. Ia menarik daguku hingga kepalaku terdongak ke atas. Ia ingin menyentuh bibirnya pada bibirku. Dengan cepat aku menggelengkan kepalaku. Aku tidak ingin melakukan ciuman dengan Justin. Dia telah membuatku marah.
            “Apa kau sedang berusaha untuk aku melupakan masalah ini? Tidak akan pernah Justin,”
            “Apa itu ..kebenaran?”
            “Ya, tentu,”
            “Aku ragu karena kurasa aku bisa,” dia menyeringai. Ingin aku menciumnya sekarang! Tapi aku tidak bisa melakukan itu disaat-saat seperti ini. Karena aku memang sedang kesal.
            “Tidak, kau tidak,”
            “Mau aku tunjukan?”
            “Tidak. Tidak sama sekali, Justin. Apa kau ingin mengubah topic pembicaraan? Karena itu tidak bisa,” ujarku kukuh dengan apa yang sedang kubicarakan sekarang. Sudah kubilang! Justin sangat tidak bertanggungjawab. Dia selalu menghindari masalah.
            “Deep, aku sedang tidak ingin membicarakan apa yang terjadi denganku. Apa sekarang kau bisa meminum susumu? Karena kau harus meminum itu,” ucap Justin memohon. Aku menarik napasku. Apa aku bisa menunda pembicaraan ini? Tidak, tapi apa iya? Kutundukan kepalaku dan menghelakan napasku. Kurasa untuk sekarang, ya. Aku juga sudah lelah dengan Justin yang tampak mulai tertutup. Dan aku masih penasaran dengannya. Kudongakan kepalaku dan menatap matanya yang bersinar itu. Aku menganggukan kepalaku dengan pelan.
            “Terima kasih.” Katanya mencium pipiku dengan lembut.

***

            Mataku terus menatap layar komputer dengan kosong. Aku tidak sama sekali mengetik apa pun sekarang. Seharusnya aku mengedit cerita yang kutunda kemarin. Batang hidung Avan tidak terlihat sejak tadi pagi.  Sekarang sudah pukul 11 siang dan sebentar lagi waktunya istirahat. Pikiranku masih melayang-layang pada Zayn. Dia tidak menghubungiku atau mengirimi pesan padaku. Dan Justin, dia sudah pergi ke tempat kerjanya pagi sekali. Dia mencoba melarikan agar kami tak berdebat lagi. Usaha yang bagus, Justin. Karena itu berhasil. Tiba-tiba ponselku berdering. Aku keluar dari lamunanku dan segera mengambil ponselku. Zayn?
            Dengan cepat kuangkat panggilannya.
            “Temui aku saat jam istirahat nanti,”
            “Di mana?” tanyaku dengan ragu. Apa aku mampu melihat wajahnya sekarang?
            “Pizza Hut?” tanyanya tampak santai. Rahangku menegang, perutku menegang rasanya.
            “Setuju. Zayn?”
            “Ya?”
            “Aku sungguh minta maaf,” aku memohon padanya dan aku tidak tahu apa yang kubicarakan sekarang. Untuk apa aku meminta maaf pada Zayn? Oh, karena aku dan Justin berusaha untuk menutupi kehamilanku ini.
            “Kita bisa bicarakan itu nanti. Sampai ketemu.”

            Ia mengakhiri telepon singkat ini. Aku menaruh ponselku ke atas mejaku kembali. Pikiranku kembali melayang pada Justin. Karena kau menyenangkanku. Aku menyukainya, dan apa yang kau harapkan, Deep?Aku berharap kau bisa menjadi milikku Justin. Menikmati setiap kesenangan yang kudapat atau aku mendapatkan setiap kenikmatan yang kau dapat. Aku marah padamu Justin, tapi aku tidak bisa marah denganmu dalam jangka waktu yang lama. Kau punya daya tarik yang lain. Aku meraih ponselku lagi dan menekan nomor telepon Justin. Lalu aku menghubunginya.
            Butuh beberapa detik untuk mendengar suaranya yang membuatku rindu setengah mati sekarang. Dan ..
            “Hai, ada apa?” tanyanya terdengar sibuk.
            “Justin, aku ingin bertan—“
            “Tidak sekarang Deep, di sini begitu banyak pelanggan sekarang. Nanti malam kita akan membicarakannya,” ia berusaha menjauh dari pertanyaanku. Terima kasih Justin. Ini sungguh membosankan. Hampir saja aku melempar ponselku ke lantai. Kehamilan, Justin, dan Zayn, membuatku hampir gila. Aku tidak ingin kehilangan anak yang berada dalam kandunganku. Ini adalah kloning dari Justin. Cintaku, sayangku, segalanya. Sangat berharga dalam perutku. Ah, aku begitu labil hari ini.


            Aku mencari di mana Zayn berada. Dan kulihat rambut jambulnya yang khas dari pintu masuk  Pizza Hut. Dia memakai jaket kulit hitam dan menatap luar melalui kaca. Segelas Coke sudah berada di depannya dan satu es krim berada di depannya juga. Tapi belum tersentuh sama sekali. Aku memberanikan diri untuk menghantar kaki ini padanya.Dan berhenti.
            Zayn memalingkan wajahnya padaku dan memberikan isyarat padaku agar aku duduk. Dengan cepat aku duduk berhadapan dengannya. Begitu canggung dan tak tergambarkan sekarang. Perasaanku tak menentu. Ingin menampar, meminta maaf, dan marah padanya. Semuanya bercampur jadi satu dan tak dapat kumengerti.
            “Es krim?” tawarnya padaku. Aku menganggukan kepalaku dan mengambil es krim berwarna putih dengan pisang yang terpotong-potong di sisinya. Kumasukan sendok yang berisi es krim ke dalam mulutku.
            “Deep, sudah berapa lama kau menyembunyikan kehamilanmu dariku?” tanyanya tanpa berbasa-basi lagi. Aku menelan es krimku dengan cepat, membuat tenggorokanku dingin sekali.
            “1 minggu?” aku menjawabnya dengan ragu.
            “Sudah kuduga. Apa kau tahu bagaimana perasaanku sekarang?” tanya Zayn terdengar sedih. Aku menganggukan kepalaku.
            “Tentu saja, Zayn. Aku tahu. Aku tahu perasaanmu yang kecewa dan sedih padaku dan Just –“
            “Jangan pernah menyebut nama bajingan itu padaku, Deep,”
            “Tapi dia sahabatmu,” aku mengelak. Aku tidak menginginkan ini. Justin dan Zayn tidak boleh berpisah. Mereka sahabat yang selama ini baik-baik saja. Hanya saja, Justin yang tidak mengerti batasan sahabat yang sebenarnya. Ia menghamiliku tanpa ada rasa bersalah di dalam dirinya. Kesal dan marah tentunya saat aku melihat respon yang tidak siap menanggung apa yang telah ia lakukan padaku.
            “Dia bajingan, berengsek. Mengapa kau ingin tidur dengan Deep?” tanyanya penasaran. Matanya menyipit dan memiringkan kepalanya ke salah satu sisinya. Aku menarik napasku dan menggelengkan kepalaku. AKU TIDAK BISA MENOLAK JUSTIN! Aku berteriak dalam hati dan pikiranku. Dia seperti magnet bagiku. Tapi dia negatif dan aku positif. Itu adalah kenyataannya.
            “Zayn, apa kau yakin ingin membicarakan itu denganku? Karena itu terdengar menyakitkan,” kataku dengan nada hati-hati.
            “Tidak. Jika kau tak mau, tidak usah. Aku tidak memaksa. Satu hal yang perlu kau tahu Deep, aku menyayangimu seperti –“
            “Hai Zayn!” Siapa pun itu, aku ingin mencekiknya sekarang juga! Dan suara itu perempuan, damn!


****

            “Ya,” bisikku pada Justin dalam rangkulannya.
            “Tidak apa-apa. Dia hanya cemburu karena aku memilikimu,” Justin membalas bisikanku. Aku menganggukan kepalaku. Setelah hampir 20 menit kau bercerita kejadian tadi siang dengannya. Ia termasuk pendengar yang baik meski dia sering menjauh dari masalah yang akan segara ia dapat.
            “Justin, aku bahkan belum menikah denganmu,” keluhku dengan pelan dan menaruh kepalaku di atas dada Justin yang telanjang ini.
            “Maka, menikahlah denganku Deep.”
****

            Tidak. Aku tidak menginginkan pernikahan dengan Justin untuk sekarang ini. Ia tipe lelaki yang tidak setia dan tidak bertanggungjawab. Aku takut jika ia akan merasa bosan denganku dan meninggalkanku begitu saja. Dia memang sudah dewasa. Umurnya sudah menginjak 25 tahun, tapi umur tidak memandang kedewasaan. Justin bahkan tidak pernah berpikir apa yang akan ia lakukan setelah ini. Ia tidak pernah melihat masa depan dari sekarang. Terlalu sibuk dengan permainannya dengan wanita-wanita yang berada di Bar. Mengajaknya bermain dan bersenda gurau. Ya, itu bisa membuatku cemburu. Aku jadi ingat kejadian 1 tahun lalu. Saat aku masih perawan, saat aku masih memiliki hubungan yang baik dengan Justin –bukan berarti sekarang aku tidak memiliki hubungan baik dengannya. Malam tahun baru yang belum bisa membuatku cemburu. Di mana aku melihat Justin sedang bermain dengan 2 orang gadis muda yang kurasa masih berumur 18 tahun dan saat itu Justin berumur 24 tahun. Di sebuah Bar mereka bercumbu dengan ria. 2 GADIS! Bisa bayangkan bagaimana jika saat itu aku berhubungan badan dengan Justin? Aku bisa cemburu setengah mati. Tapi itu sebelum aku dan Justin melakukan hubungan badan.
            Mengingat itu aku jadi cemburu sekarang. Dan kenapa aku membicarakan itu sekarang? Sekarang tentang masa depanku dan Justin. Aku masih berada dalam posisi menyandarkan kepalaku pada dada Justin yang telanjang.
            “Apa kau serius dengan apa yang kaukatakan, Justin? Karena aku tidak yakin itu bisa terjadi,”
            “Mengapa? Komitmen?”
            “Ya,” aku menjawabnya dengan singkat.

            Dari tadi, apa yang ia pikirkan? Seharusnya ia tahu apa yang sedang ia katakan sekarang. Ia bahkan tidak mengerti apa arti dari kata Komitmen! Astaga, komitmen itu berarti harus dilakukan. Bagaimana jika Justin tidak bisa memenuhi komitmen yang aku dan dia sepakatkan? Seperti, bagaimana jika kami mengucap janji nikah di pelataran nanti? Apa dia sanggup melakukan janji itu? Tidak, aku belum ingin menikah dengannya. Justin menarik daguku dengan pelan hingga aku terdongak, melihatnya dari bawah sini. Kubenarkan posisiku hingga aku terbaring di sebelahnya.
            “Apa susahnya melakukan komitmen? Maksudku, kau ingin aku melakukan apa?”
            “Justin, bukan apa yang kukatakan. Kau mengerti maksudku, bukan? Kau hanya perlu ..melakukan komitmen yang telah kau buat,”
            “Apa contohnya seperti, aku akan membahagiakanmu sampai mati nanti?” tanyanya terdengar serius dan penuh dengan misteri. Kuanggukan kepalaku, tepat sekali Justin.
            “Ya,”
            “Maka, aku akan seperti itu. Membahagiakanmu sampai mati,” ujarnya dengan tulus. Aku menelan ludahku. Aku bahkan tidak menatap matanya sekarang. Tapi nada suaranya yang begitu meyakinkan dan dapat kupegang dalam hatiku. Justin akan membahagiakanku. Sampai mati. Komitmen.

***

            Kubuka mataku perlahan-lahan dengan kepala yang cukup pusing. Astaga, aku tidur begitu malam tadi. Justin masih tertidur dengan nyenyak, wajahnya begitu tenang. Napasnya beraturan dan tangannya berada pada perutku. Sekarang, perutku mulai lebih berbentuk. Aku tak sabar dengan kelahiran anak bayi ini di kehidupanku. Kulihat jam dinding yang menunjukan pukul 08.00. Astaga! Aku terlambat sekali untuk masuk kerja. Dan untuk pertama kalinya aku akan terlambat masuk. Kugelengkan kepalaku dan bergegas cepat untuk mandi.

            Aku mengancingkan blazer hitam yang kupakai sekarang. Menatap cermin yang berada di depanku. Rambut panjangku yang semakin memanjang ini kusanggul dengan rapi. Cukup membutuhkan waktu yang lama. Dan sekarang sudah jam 08.30. Sial! Aku semakin terlambat.
            “Selamat pagi, Deep,” sapa Justin yang sudah terbangun dari tidurnya.
            “Ya, Justin. Selamat pagi juga, aku harus pergi sekarang,” ucapku buru-buru. Aku tidak tahu apa yang harus kubawa ke kantor sekarang! Sial, karena terlalu panik aku sampai lupa apa yang harus kubawa. Susu hamil dan ponsel. Sudah itu saja, kurasa.
            “Jam berapa sekarang?” tanyanya masih terlihat mengantuk.
            “Oh, Tuhan! Justin, aku sudah terlambat. Sampai jumpa nanti sore,” ujarku berteriak padanya dan keluar dari kamarnya. Aku menggelengkan kepalaku, ini sudah sangat terlambat.

---

            Dapat kulihat dari sini –lift- Avan berdiri di mulut pintu kantornya. Ia melihatku dengan tatapan dingin. Ia baru saja memotong rambutnya menjadi Mohawk. Apa maksudnya ia melakukan itu? Dia sungguh tidak cocok dengan rambut itu. Apa dia mencoba memiripkan gaya rambutnya dengan Justin yang Mohawk? Tidak, dia sudah memutuskanku.
            “Selamat pagi, Mr. Jogia, rambut yang bagus,” kataku menyapanya dan berbohong, rambutnya sangat tidak cocok untuknya. Ia hanya menganggukan kepalanya satu kali. Begitu dingin dan tidak dapat kujelaskan. Aku hanya melewatinya dan berjalan menuju meja kerjaku. Kujatuhkan bokong dengan pelan dan mulai menyalakan komputerku dan menaruh kantong cokelat kertas di atas mejaku. Kuangkat kakiku dan menumpunya pada kaki kiriku. Rok pendek yang kupakai semakin tertarik ke atas, membuatku risih. Kutarik rokku hingga mencapai lututku.
            Avan berhenti di depanku dan bersandar pada pembatas kayu yang kokoh itu. Aku ingin menamparnya dan memotong rambutnya dengan penggunting daun. Ia memberiku senyum yang menggoda? Tapi tidak begitu menggodaku. Rambutnya jelek sekali.
            “Apa kau suka rambutku?” tanyanya ingin tahu pendapatku. Hmm, apa aku harus menjawabnya dengan jujur? Kurasa tidak. Beberapa hari yang lalu aku sudah membuatnya sakit hati. Kemarin ia tidak masuk kerja ternyata. Kupikir kemarin ia terjebak dalam rapat mendadak. Ia memainkan alisnya dan memberiku senyuman yang aneh.
            “Itu sangat cocok denganmu Avan. Lain kali, kalau bisa, potong rambutmu hingga botak,” ucapku dengan nada yang lembut namun menyindirnya. Avan terkekeh pelan dan menganggukan kepalanya.
            “Selamat bekerja, Deep. Senang melihatmu. Aku tahu kau terlambat, tapi kali ini aku beri keringanan bagimu. Dan kau tampak cantik dengan rambut sanggulanmu itu.” Ucapnya tampak senang dan berlalu dari hadapanku. Untung saja ia memaafkanku meski aku tidak memberitahunya kalau aku terlambat. Dan itu adalah percakapan yang aneh bagiku.
            Kugelengkan kepalaku. Aku mengingat perkataan Justin kemarin. Ia ingin menikahiku dan akan membuatku bahagia hingga ia mati. Itu membuatku sedikit memerah kemarin. Beberapa kata yang memang berhasil memberikanku secercah harapan. Kurang yakin. Maksudku, aku kurang yakin ia mencintaiku atau tidak. Karena ia belum mengucapkan kata cinta padaku.
            Oh, ya. Zayn ternyata sedang dekat dengan asisten pribadinya. Seorang arsitek memiliki seorang asisten pribadi. Membuatku sedikit khawatir dengan Zayn. Ia bilang kemarin kalau ia telah berpacaran dengan gadis itu. Tidak, aku tidak cemburu dengan gadis itu. Hanya saja, Zayn begitu mendadak memberitahu padaku. Ia tidak pernah menceritakan tentang gadis yang sedang ia dekati. Kemarin, aku menemui pacarnya. Cantik dan tinggi. Rambutnya pirang dan berbeda 2 tahun dengan Zayn. Tidak serasi, untukku. Dan kurasa Zayn hanya berbohong padaku. Aku tidak percaya dengannya. Hampir saja aku mencekik gadis itu sebelum Zayn memberitahu kalau ia adalah pacarnya –Zayn-. Meredith, itu namanya. Nama yang bagus dan cocok dengan rambutnya yang berwarna pirang itu.
            Caitlin. Aku ingin melihatnya setelah 2 hari lebih aku tidak bertemu dengannya. Kabar kehaminlanku baru terdengar Zayn. Yang lain harus tahu juga. Cukup tidak adil jika mereka tidak tahu kalau aku hamil. Entah apa perasaan Caitlin nanti jika ia tahu kalau selama ini aku berhubungan badan dengan Justin. Tiba-tiba ponselku berdering. Justin menghubungiku. Dengan cepat aku meraih ponselku dan mengangkatnya.
            “Bekerja?” tanyanya langsung.
            “Ya,”
            “Maaf tentang tadi. Aku tidak tahu kau terlambat,”
            “Tidak apa-apa. Sekarang aku sudah berada di kantor,” lirihku dengan suara yang pelan.
            “Justin, apa yang terjadi denganmu?” tanyaku mengingat kejadian 2 hari yang lalu, sekaligus mengganti topik pembicaraan. Kudengar Justin menghembuskan napasnya dengan pelan. Hari ini ia tidak bekerja karena bukan jadwalnya. Beruntung sekali ia bekerja hanya dari Senin hingga Kamis. Lalu Jumat hingga Minggu ia libur. Meski aku tahu, sekarang adalah hari terakhir aku bekerja di minggu ini.
            “Kau tidak akan pernah mengerti jika aku memberitahumu, Deep. Yang bisa kuberitahu sekarang adalah karena kau. Itu penjelasanku. Apa kita mempunyai topik pembicaraan yang lain?” tanyanya terdengar memohon. Aku menelan ludahku. Apa yang sebenarnya terjadi padanya? Tapi aku tidak bisa memaksanya. Aku takut ia akan memikirkan pertanyaan ini dan tidak akan focus akan pekerjaannya sebagai kasir. Bisa-bisa ia salah menghitung uang kembalian. Atau bahkan ia akan memberikan uang yang ada di dalam kotak penyimpanan uang. Jangan sampai itu.
            “Ya, aku punya. Bagaimana jika nanti saat aku pulang kau menjemputku, jam 5?” tanyaku dengan suara yang lembut. Aku bisa mendengar dari sini kalau sekarang ia menyeringai.
            “Dan apa kita membicarakan topik tadi malam? Karena bagiku itu sangat penting bagiku,” ujarnya bersemangat. Aku mendesah pelan, terkekeh.
            “Ya, tentu. Justin, aku harus bekerja, terima kasih telah menghubungiku.”
            “Bagus. Aku menunggu kau pulang.” Ucapnya mengakhiri pembicaraan kami.


***

            Sudah jam 5 sore. Dengan cepat aku mengambil kantong kertas cokelat yang tadi kubawa dan meraih ponselku. Kulangkahkan kakiku setelah aku merapi barang-barang di atas mejaku. Avan belum pulang, apa dia lembur? Aku tidak begitu peduli dengannya sekarang. Banyak karyawan yang sudah pulang dan sebagian ingin lembur. Mungkin dari mereka semua hanya aku yang tidak pernah lembur. Ya, lembur tidak akan berlaku bagiku karena aku tidak pernah lalai dalam pekerjaan. Kau tahu, tidak seperti mereka yang malas bekerja sehingga mereka harus lembur sekarang.
            Tiba-tiba ponsel yang berada di tanganku berdering, tepat saat aku masuk ke dalam lift. Kuangkat telepon dari Justin.
            “Aku sudah berada di depan gedung. Kau di mana?” tanyanya terdengar tak sabar untuk menemuiku. Mahluk apa yang telah merasuki Justin sehingga ia bersikap begitu manis padaku? Dia tidak pernah seperti ini padaku. Keingintahuanku semakin bertambah sekarang. Tapi kurasa malam ini bukanlah malam yang tepat untuk bertanya perubahan sikapnya bahkan pribadinya.
            “Aku berada di lift. Sebentar lagi aku akan keluar,”
            “Aku membawa mobilku,” aku terkejut. Dia membawa mobilnya? Maksudku, apa dia yakin akan membawa mobil bersamaku? Karena terakhir kali aku naik mobil bersamanya, aku hampir mati.
            “Oh, baiklah.” Aku menekan tombol mati dan menarik napasku dalam-dalam.
            Dia membawa mobilnya. Keadaan di sini semakin memanas dan liftku belum sampai-sampai ke bawah. Kenapa rasanya lama sekali? Kutelan ludahku, Justin akan membawa mobilnya bersamaku. Oh, Tuhan! Aku tidak ingin mati sekarang. Sebelum aku meninggal, aku ingin melihat kloning dari Justin ini. Kloning dari lelaki yang kucintai. Dan sungguh kacau jika Justin membawa mobilnya bersamaku sekarang. Dia memang memiliki SIM mengemudi, tapi, dia suka sekali melanggar peraturan lalu lintas. Lampu merah saja ia lewati dan aku hampir mati saat itu.
            Pintu lift terbuka dan aku langsung menghantarkan kakiku keluar dari gedung ini. Dari pintu gedung, kulihat Justin yang sedang bersandar pada pintu mobilnya. Senyumnya mengembang saat aku muncul di depannya. Ia berdiri dengan tegap dan menghampiriku.
            “Deep,” panggilnya memelukku dengan erat. Ada apa dengannya? Tidak seperti biasanya. Oh, Tuhan! Aku sungguh penasaran apa yang menyebabkannya begitu manis padaku. Aku membalas pelukannya sebentar dan menarik tubuhku dari pelukannya.
            “Hai, apa kita akan menaiki benda ini?” tanyaku menunjuk mobil yang berada di belakang tubuhnya. Menahan napas, aku ingin muntah sekarang. Ia menganggukan kepalanya dengan lengkungan pada bibirnya. Tuhan, kumohon, jangan sampai aku mati karena dia melanggar peraturan-peraturan lalu lintas. Dan bahkan sekarang ia sedang melakukannya. Memarkirkan mobilnya di depan gedungku, atau lebih tepatnya di depan pintu gedungku. Ia akan ditilang tapi ia beruntung tidak ada polisi yang bersiaga di jalan ini. Beberapa detik aku merenung, Justin membukakan pintu untukku. Aku masuk ke dalam kursi depan mobil ini. Justin menutup pintunya dan berlari kecil menuju kursi pengemudi.
            “Siap?” tanyanya bersemangat.
            “Jika kau siap,” aku membalasnya sekenanya. Ia menganggukan kepalanya dan menyalakan mesin mobil. Sialan! Ia langsung mengebut mobilnya dengan cepat. Membuat beberapa mobil berhenti mendadak.
            “Jumat malam,” gumamnya saat ia memelankan kecepatan mobil ini. Aku menghelakan napasku dengan pelan. Lega akan perubahan Justin yang sudah tidak ugal-ugalan lagi. Apa aku harus bertanya lagi apa  yang terjadi dengannya? Secara spesifik mungkin? Tidak, aku tidak boleh memikirkan itu.
            “Oh, ya, kau pakai jaket biru di belakang sana. Udara di Atlanta dingin sekarang, aku tidak ingin kau kedinginan,” suruhnya padaku. Dengan cepat aku membalikan tubuhku dan mengambil jaket biru yang berada di kursi belakang mobil ini. Kubuka blazer yang kupakai hingga aku bisa bernapas dengan lega. Justin menyukaiku saat aku memakai blazer hitam tapi aku tidak menyukainya karena cukup menyesakan bagiku. Maksudku, panas, kau tahu. Kemeja putihku terlihat begitu saja dan dalam hitungan detik aku kembali memakai jaket biru yang kemarin kupakai.
            Apa pun yang ada di pikiranku sekarang, aku bersumpah, aku mengkhawatiri Zayn sekarang. Apa dia sudah makan? Atau apa yang dia lakukan sekarang? Seharian ini ia tidak mengabariku keadaannya dan aku mencoba untuk menghubunginya tapi ia tidak mengangkatnya. Oh, apa yang sedang ia lakukan? Aku ingin tahu dia sedang berada di mana. Apa ia sedang bersama Meredith di atas sofa empuknya? Mungkin, aku tak yakin dengan itu. Kupejamkan mataku perlahan.
           
            “Sampai,” kata Justin saat ia menghentikan mobilnya di sebuah parkiran yang dipenuhi dengan banyaknya mobil. Mall? Oh, aku sangat benci dengan Mall. Maksudku, berbelanja? Aku tidak suka berbelanja kecuali jika ada ibuku atau adik perempuanku berada di sebelahku.
            “Mall? Justin, kau tahu aku,” keluhku mendesah pelan. Justin mematikan mesin mobilnya namun ia tidak membuka pintu mobilnya. Ia memiringkan kepalanya dan menyeringai.
            “Apa kau ingin si kecil kedinginan tanpa baju?” tanya Justin terkekeh pelan dan mengelus perutku. Perutku mulai membesar. Blazerku tampak tak muat tadi. Aku harus mengubah cara berpakaianku.
            “Baju bayi, sayang.” Sayang?


***

            Tunggu dulu. Apa aku baru saja melewati perjalanan dengan Justin bersama mobilnya dengan selamat? Oh, Tuhan! Itu suatu keajaiban. Sudah lama sekali aku tidak naik mobil bersama Justin pasca-kecelakaan kecil yang kudapatkan bersamanya. Ya, ia menabraki tiang lampu lalu lintas dan kita terjebak dalam penjara selama 1 minggu. Masa-masa itu adalah masa di mana aku ingin sekali membunuh Justin. Tapi, lihat sekarang? Ia tidak menabrak sesuatu, kurasa. Aku tertidur sejenak tadi karena kelelahan bekerja. Dan sekarang Justin terus menggenggam tanganku untuk mencari pakaian bayi. Bukankah itu terlalu cepat? Dan bukankah seharusnya aku dan dia berada di rumah? Aku sangat benci dengan Mall. Tidak begitu benci jika aku sudah bersama dengan ibu atau saudara perempuan.
            Tapi tidak. Justin terus menarik tanganku dan melihat-lihat ke toko-toko perlengkapan bayi. Aku bahkan belum tahu jenis kelamin anak kami. Dan aku belum pernah check-up ke dokter kandungan. 2 kali seminggu, setiap hari Senin dan Kamis saat senja. Dan baru mulai minggu depan aku akan melakukan check-up itu secara rutin bersama Justin. Tentu saja, Justin harus perkembangan bayi yang ada di dalam perutku ini.
            “Justin, apa kau yakin akan melakukannya sekarang? Karena ini terlalu cepat,” ucapku dengan suara yang lembut. Apa? Aku tidak percaya, sekarang aku menjadi aneh. Aku berbicara lembut pada Justin? Sesuatu yang baru telah terjadi padaku sekarang. Penyakit aneh Justin menular padaku. Oh, tidak!  Justin menghentikan langkahannya dan menatap mataku. Astaga, kenapa Tuhan membuat Justin begitu indah seperti ini? Matanya yang berwarna madu cerah menatapku dengan lembut. Tidak menyiratkan sesuatu namun enggan. Enggan untuk menjawab pertanyaanku. Namun tidak, ia menarik napasnya.
            “Kau tidak ingin pergi membeli baju anak kita? Tidak apa-apa. Kau benar. Kita terlalu cepat, bagaimana kalau kita sekarang makan?” tanyanya dengan nada suara yang tak pernah kudengar sebelumnya. Berwibawa dan aneh di telingaku! Aku bersumpah, cara berbicara dan sikapnya berubah begitu saja dalam hitungan hari. Ada apa sebenarnya dengannya? Apa ayahnya baru saja menamparnya atau semacamnya?!
            “Tentu, terserah kau,” balasku dengan suara yang pelan. Justin menganggukan kepalanya satu kali dan menarik tanganku lagi untuk berjalan bersamanya. Aku tidak ingin memakan makanan mewah bersamanya lagi. Perutku mual jika aku harus pergi ke restoran mewah. Maksudku, bisakah kita pergi ke tempat yang lebih santai tapi terjamin kualitasnya? Aku bisa memakan ayam sekarang, entahlah. Aku ingin ayam sekarang. Tiba-tiba Justin mengajakku masuk ke dalam restoran China yang di mana lampion-lampion merah tergantung di langit-langit ruangan ini. Banyak sekali orang masuk ke dalam tempat ini. Tak peduli. Sekarang perutku sudah meraung untuk memakan beberapa ikan atau semacamnya. Padahal aku ingin ayam.
            “Kau suka tempat ini?” tanya Justin saat aku dan Justin terduduk di atas kursi empuk. Bersebelahan, di kursi berwarna merah. Seorang pelayan berpakaian khas China itu mendekati kami dengan mata sipitnya. Begitu ramah saat ia tersenyum pada kami, matanya begitu sipit. Justin langsung memesan makanan yang aku bahkan tidak mengerti apa yang ia katakan sekarang. Nama-nama itu begitu asing bagiku. Mungkin kalian berpikir kalau aku tidak pernah bersekolah atau menonton televisi. Ah, aku tidak peduli. Pelayan itu pergi dari hadapan kami dan Justin menoleh, melihatku.
            “Jadi?”
            “Oh. Oh, iya. Ya, aku suka tempat ini,” jawabku tergagap. Sudut-sudut bibirnya tertarik ke atas, menghasilkan sebuah senyum manis.
            “Jadi, bagaimana kabar bayi kita?” tanyanya mengelus perutku. Tubuhku bergetar setengah mati. Seolah-olah tangannya adalah listrik bagiku. Oh, tidak! Jangan. Ini hanyalah sentuhan biasa.
            “Lebih baik, kurasa. Jika ibunya sehat, maka bayi ini sehat, Justin,” ucapku dengan pelan dan memberikan senyuman manisku padanya. Ia menganggukan kepalanya dan memegang tanganku.
            “Bagaimana harimu, Deep?” tanyanya perhatian. Wow! Sangat bukan Justin. Ia tidak pernah peduli dengan pekerjaanku atau apa yang kulakukan. Hanya Zayn yang sering seperti itu padaku. Apa maksudnya bertanya-tanya seperti ini? Dan, apa sih yang merasukinya sekarang? Aku ingin menarik roh itu dari dalam tubuh Justin dan mengganti roh Justin yang asli.
            “Avan baru-baru ini memotong rambutnya, menjadi Mohawk. Sepertimu, dan gaya rambut itu sangat tidak cocok untuknya,” ucapku dengan jujur. Matanya tidak beralih dari mataku dan penuh dengan tanda tanya padaku. Apalagi sekarang? Hening meliputi di antara kami. Ia memajukan kepalanya dan menemukan bibirku sudah bersentuh dengan bibirnya, ia mengigiti bibir bawahku. Kudorong kepalanya dengan pelan. Ini tempat umum dan aku tidak menyukai ini.
            “Ada apa?” tanyanya terlihat bingung.
            “Ini tempat umum, Justin. Tempat makan pula,”
            “Lalu?”
            “Aku malu, Justin Bieber yang Terhormat,” ucapku menjauhkan wajahku dari wajahnya. Ia terkekeh pelan dan menganggukan kepalanya, mengerti. Tangannya merangkulku sekarang. Kusandarkan kepalaku pada bahuku dan memejamkan mataku. Oh, Tuhan! Aku tidak bisa menahan pertanyaan yang berada dalam otakku sekarang. Aku haus akan jawabannya sekarang. Kubuka mataku.
            “Justin, apa yang terjadi padamu?” tanyaku untuk yang kesekian kalinya. Dada Justin naik begitu lama lalu turun. Ia mengambil napasnya dalam-dalam dan membuangnya dengan cepat.Seakan-akan ia muak akan pertanyaanku.
            “Aku sudah bilang padamu, Deep. Kau tidak akan mengerti apa yang terjadi padaku sekarang. Intinya, ini semua karena kau,”
            “Apa karena kehamilanku?”
            “Ya, bisa dibilang seperti itu,”
            “Apa kau akan seperti ini jika aku tidak hamil?” tanyaku. Sial! Aku melantur sekali. Justin menoleh, melihatku dari samping. Dan menyeringai. Sialan! Pasti ia mengira aku menyukainya –walau aku tahu, aku mencintai sudah lama dan aku memendamnya.
            “Kenapa kau bertanya seperti itu?” tanyanya dengan nada penuh dengan kebingungan. Aku mengangkat kepalaku dari bahunya dan mengangkat kedua bahuku. Karena aku mencintaimu, Justin, dalam hatiku berteriak. Dan tak tersalurkan melalui mulut dan suaraku. Belum ada keberanian yang terpendam dalam diriku. Kegugupan melingkupiku sekarang karena Justin tersenyum menggoda padaku. Apa maksudnya?
            “Ya, tentu saja, Deep,” balasnya seperti ia tahu kegugupanku sekarang. Wajahnya mendekati wajahku lagi, namun terhentikan. Seorang pelayan membawa sebuah nampan yang di atasnya terdapat mangkuk-mangkuk putih yang bersih. Pelayan bermata sipit itu menaruhnya ke atas meja kami dan aku melihat sebuah mangkuk berisikan mie bening dengan kuah yang bening dan beberapa seafood menemaninya. Baiklah, aku akan mencobanya. Biasanya aku hanya memakan salad atau semacamnya. Awalnya aku vegetarian –serius- tapi sejak 6 tahun yang lalu aku tidak menjadi vegetarian lagi. Aku bertobat saat Zayn bilang padaku kalau tubuhku seperti sebatang korek api. Sial! Mengapa aku harus mengenang itu?! Dan oh, baiklah. Sumpit berada di depanku sekarang dan aku tidak tahu bagaimana caranya.
            “Kenapa?” tanya Justin yang tidak jadi memakan bakminya dengan garpu dan sendok! Dia licik!
            “Aku tidak tahu bagaimana caranya memakai sumpit, oh Tuhan! Justin, bagaimana kau tidak bisa mengetahuiku setelah kita bersahabat selama 6 tahun?” tanyaku mengeluh. Ia mengembalikan garpu yang ia pegang ke dalam mangkuk.
            “Aku sungguh tidak tahu, Deep. Maksudku, memang kita sudah kenal selama 6 tahun. Dan ini yang pertama kalinya aku memberimu makanan yang menggunakan sumpit. Kau tidak memberitahuku,” jawabnya dengan lembut. Selembut yang ia bisa. Matanya begitu sayu dan sungguh ..manis. “Baiklah, ini. Pakai ini,”
            Ia memberikan garpunya padaku. Dan lucunya, aku dan dia sedang memperdebatkan masalah alat untuk makan. Sesuatu hal yang tidak begitu penting. Namun itu adalah detik-detik yang mendebarkan hatiku. Matanya sayu, kau tahu. Itu sungguh jarang terjadi pada Justin. Sayu.
            “Makan, sayang,” perintahnya padaku. Sayang? Berani-beraninya dia! Ia menautkan kedua alisnya, tampak bingung.
            “Ada apa?”
            “Kau sangat berbeda, Justin,”
            “Deep, aku punya begitu banyak alasan mengapa aku seperti ini. Tapi, intinya adalah kau. Kau yang membuatku seperti ini. Makanlah makananmu,” suruhnya lagi dengan suara yang lebih lembut.

            Akankah ia berlaku seperti ini terus? Kelembutan, mata sayu, senyum manis, perhatian? Aku tidak akan pernah ingin melewatkan masa-masa manis seperti ini. Sesuatu telah terjadi dalam diri Justin dan itu karena aku. Aku memiliki pengaruh padanya. Dan entahlah, apa benar begitu? Aku tidak begitu yakin. Dan mungkin, perlahan-lahan ia bisa memberitahuku apa yang membuatnya berubah menjadi lelaki yang lebih lembut.




:)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar