Jumat, 26 Juli 2013

Deep Bab 4

***

            Aku membuka pintu rumah Zayn. Kurasa jika aku mengunjunginya, rasa penasaranku akan berkurang. Ia tidak memberikan kabar padaku. Dan membuatku cukup khawatir akan keadaannya. Khawatir karena dia adalah sahabat yang paling pengertian dan sahabat andalanku. Aku lebih menyayangi Zayn daripada Justin. Tapi aku mecintai Justin. Kau tahu apa bedanya.
            Justin memintaku untuk tidak datang ke rumah Zayn tapi aku memaksanya. Meski ia tidak ikut turun bersamaku masuk ke dalam rumah Zayn. Kurasa ia ada benarnya juga. Justin meninggalkanku di rumah Zayn, dan dia bilang jika aku ingin pulang, aku harus menghubunginya agar ia menjemputku. Ketakutan terbesarku adalah melihat orang yang kusayang tersakiti. Aku tidak pernah dan tidak ingin melihat mereka yang kusayangi sakit hati karena perbuatanku. Dan aku tahu, sudah sering sekali aku membuat mereka sakit hati. Ah, apa yang kubicarakan. Aku sudah berusaha untuk menjadi orang yang lebih baik. Meski belum benar-benar terjadi.
            “Zayn? Apa kau di rumah?” teriakku menutup pintu rumahnya. Lampu ruang tamunya menyala dan aku bisa mendengar suara televisi yang menyala. Aku melangkahkan kakiku untuk masuk  lebih dalam lagi. Dan mendapatkan Zayn yang sedang ..merokok? Sial! Mengapa ia merokok? Dan apa itu? Ia meminum 5 botol bir? Tolol! Dengan cepat aku melangkahkan kakiku padanya.
            Kutarik rokok yang terjepit di antara bibirnya, membuangnya, dan menginjak-injakannya ke lantai. Kuambil satu per satu botol bir yang berada di atas lantai dan membantingnya hingga pecah. Napasku memburu dan menatap Zayn dengan amarah yang meluap. Aku benci dia yang seperti ini. Tuhan! Apa Kau bisa memberitahuku apa yang sedang terjadi dengan kedua sahabat terdekatku? Karena mereka ..astaga. Aku tidak menjelaskannya dengan kata-kata.
            “Apa yang kaulakukan di sini, Deep?” tanyanya terdengar santai, tentu saja. Ia mabu dan terbaring santai di atas sofanya dan menyeringai padaku. Seakan-akan ia melihat orang gila yang berada di depannya. Menghancurkan botol-botol bir yang kosong.
            “Zayn, apa yang terjadi denganmu?” tanyaku penuh dengan nada yang khawatir. Kujatuhkan bokongku di atas sofa dan menyentuh pipi Zayn dengan penuh rasa kasihan. Apa yang membuatnya depresi? Kebohonganku dengan Justin? Astaga, aku harus segera meluruskan ini.
            “Deep, kau sangat tidak peka, sayang,” ia sungguh mabuk. Tangannya yang bertato itu memegang tanganku yang berada di pipinya. Ia mengelusnya dengan pelan. Mataku memancarkan rasa penuh sayang padanya. Tidak mungkin ini terjadi. Ia tidak mungkin mencintaiku karena aku tidak pernah merasakannya. Benarkah? Segala perhatian yang ia berikan dan aku tidak merasakannya? Cukup tidak adil baginya.
            “Zayn, bicaralah padaku. Ada apa?” tanyaku mengelus pipinya, tangannya memegang erat tanganku. Ia tertawa-tawa bagaikan orang gila. Oh, apa ini sedang terjadi? Karena kau ingin pisau berada di tanganku sekarang.
            “Kau hamil, Deep. Apa kau tidak merasakannya? Aku. Menyukaimu. Lama. Sekali. Dan. Kau. Hamil. Apa. Itu. Sudah. Cukup?” tanyanya. Aku tidak terkejut dengan pernyataannya itu. Setelah ia memanggilku dengan panggilan ‘sayang’. Ia mengelus-elus punggung tanganku dengan lembut dan matanya begitu sayu. Giginya terlihat dari sini, senyuman cabul yang ia miliki. Astaga!
            “Zayn, aku tidak pernah berpik—“
            “Tidak apa, Deep. Kau sudah menjatuhkanku keras sekali. Dan aku sadar, Justin memang layak memilikimu,”
            “Kenapa kau bilang seperti itu, Zayn? Tidak adil,” ujarku dengan air mata yang sudah membendung sekarang. Sial! Mengapa aku bisa menyakitinya seperti ini? Ia begitu terpuruk dan aku tidak bisa melihatnya seperti ini. Ia tertawa dengan keras, seolah-olah apa yang kukatakan padanya adalah candaan. Tidak, itu tidak sama sekali.
            “Deep, Deep, Deep. Kau adalah kau. Aku tidak bisa mengubahnya karena hanya Justin yang mungkin bisa melakukan itu. Lihat sekarang? Kau berbadan dua. Dan aku memakluminya. Aku tahu kau mencintainya, Deep. Aku sudah terbiasa dengan posisi tidak adil seperti ini, Deep. Tidak apa-apa,” ujarnya melantur dan terbatuk-batuk kemudian. Tiba-tiba ia muntah di depanku. Di bajuku. Sempurna.


****

            “Apa yang kaulakukan dengannya?” tanya Justin tampak waspada. Matanya melihatku begitu dalam, bukan dalam arti yang baik. Tapi ia mengkhawatirku, dan itu adalah kenyataan. Kedua tangannya memegang tanganku. Aku tidak menghubunginya tadi, jadi aku pulang sendirian dengan baju yang berbeda. Tidak mungkin aku pulang dengan baju yang kotor. Zayn sudah beristirahat di atas ranjangnya dan besok aku harus melihat keadaannya kembali.
            “Dia mabuk,” ucapku dengan suara yang pelan dan menatap matanya yang begitu gelap. Ia menggelengkan kepalanya dan menarik tanganku untuk menjauh dari pintu masuk. Bokong kami jatuh ke atas sofa. Ia masih memegang tanganku, erat.
            “Lalu, apa yang ia lakukan padamu?” tanyanya tambah khawatir. Aku bisa melihatnya dari matanya yang melebar dan napasnya yang tidak beraturan, bukan berarti memburu. Dia tidak stabil.
            “Justin, apa yang kaulakukan padanya?”
            “Apa yang kulakukan padanya?” Kuanggukan kepalaku. Matanya begitu terkejut akan pertanyaanku yang asing di telinganya. Tentu saja. Aku tidak pernah menyalahkannya saat ia memiliki masalah dengan Zayn. Kecuali kasus ini. Aku sering bersikap adil.
            “Deep, aku tidak ingin ia mendekatimu lagi,”
            “Apa maksudmu, Justin? Aku menyayanginya dan kami telah bersahabat selama 6 bulan. Ap-apa tujuanmu melakukan ini, Justin?” tanyaku mengedip-kedip mataku, tak percaya.
            “Aku mencintaimu, Deep.” Kata-kata itu ….


****

            Bibirku mengering. Menelan ludahku untuk membasahi tenggorokanku yang juga sangat kering. Mataku tidak pernah beralih dari matanya yang berwarna cokelat emas itu. Aku sangat masuk ke dalam sana. Ia mencintaiku. Kata-kata itu sangat bermakna bagiku dan aku tidak pernah bermain-main dengan kata-kata itu. Dan tujuannya memanas-manasi Zayn belum ia jawab, tapi sekarang bukan soal Zayn dan aku. Tapi tentang aku dan Justin. Ia memantraiku dengan kata-kata itu hingga aku menegang sekarang. Aku kehilangan suaraku. Bermenit-menit dalam keheningan telah berlalu dan Justin terus menelan ludahnya, gugup. Begitu juga aku, Justin.
            “Deep, jawab,” pintanya padaku. Aku mengedipkan mataku.
            “Apa yang harus kujawab, Justin?” aku berpura-pura bodoh. Justin mendesah pelan, ia melenguh setelah itu, memutarkan matanya padaku. Ia tahu aku sedang berpura-pura bodoh padanya dan ia memegang kedua bahuku.
            “Deep, tolong jangan bermain-main. Aku benar-benar mencintaimu,” ucapnya dengan tulus. Senyumanku mengembang.
            “Aku juga mencintaimu, Justin,” kembali suaraku menjadi normal. Wajahnya yang tadinya khawatir tiba-tiba berubah menjadi berseri-seri. Ia memelukku dengan erat, namun tak menekan kandunganku. Ia menarik tubuhnya dari tubuhku dan mulutnya berada di mulutku sekarang. Bibir kami beradu dengan hangat, tangannya mengelus punggungku.
            “Menikahlah denganku, Deep.” Desahan nafasnya berada dalam mulutku dan kembali mencium bibirku. Ia mengigiti bibir bawahku dan lidahnya berekplorasi di sana. “Ya.” Aku membalasnya dengan desahan dalam mulutnya juga. Aku melingkarkan kakiku pada pinggangnya dan memperdalam ciuman hangat kami.

****

            Aku membuka mataku dan mengerjap-erjapkannya perlahan. Mataku masih mengantuk, untung saja ini adalah hari Sabtu dan libur. Wajahnya yang polos berada di atas bantal putih dan tidur dengan nyenyak bagaikan malaikat. Bibirnya tampak melengkung, menghasilkan sebuah senyuman kecil. Tangannya berada di atas perutku, tidak berat. Mataku sayu karena masih mengantuk, tapi aku sudah terlanjur bangun sekarang. Tidak bisa membawaku ke alam bawah sadarku lagi.
            Mata Justin terbuka begitu saja, masih dengan mata yang mengantuk. Ia tersenyum melihatku dan kakinya menindih kakiku lalu memelukku.
            “Selamat pagi, sayang,” sapanya padaku dengan mulut yang berada dalam rambutku. Ia menarik napasnya, mencium bau wangi rambutku. Malam tadi adalah malam yang menyakitkan sekaligus membahagiakan. Justin mencintaiku dan memintaku untuk menjadi istrinya. Aku menerimanya begitu saja dan itu adalah tindak ter— …baik yang pernah kuputuskan. Aku percaya padanya. Hubungan kami hanya dibutuhkan sedikit cinta, kepercayaan, dan kesetiaan. Lalu semuanya akan menjadi sempurna.
            “Selamat pagi, Justin,” aku membalasnya di atas pinggiran lehernya. Ia tertawa pelan, kegelian karena bibirku yang barada di lehernya.
            “Oh, sial!” ia mendengus kesal tiba-tiba dan melepaskan pelukannya dariku. Ia berdiri dari tempat tidurnya dan melihat pada jam dinding yang berada di dalam kamarnya. Jam 9, ada apa? Bukankah ia tidak bekerja hari ini?
            “Ada apa, Justin?” tanyaku dengan penasaran dan mengangkat tubuhku agar aku terduduk. Kusandarkan tubuhku dengan kedua sikuku. Mataku berlari pada perutku yang mulai membesar. Oh, yah, ini dia saatnya. Perutku akan memancarkan kehamilanku dan aku tidak peduli itu. Tidak ada anak haram dan aku percaya itu. Yang ada hanyalah anak yang tidak memiliki ayah, tapi anakku akan segera memiliki ayah. Ayah yang sangat tampan dan menarik.
            “Aku punya urusan di luar sana. Apa kau baik-baik saja jika aku tinggalkan di sini?” tanyanya kelihatan bingung dan frustrasi. Aku menganggukan kepalaku.
            “Tapi, aku ingin bertemu dengan Zayn untuk melihat keadaannya,” aku bersuara dengan pelan. Justin terkejut dengan pernyataanku, saat ia ingin memasuki kamar mandi, kakinya terhenti begitu saja. Matanya menyipit dan menggelengkan kepalanya.
            “Tidak, tidak boleh. Dia berbahaya sekarang,” ucapnya ketus. Aku mendesah pelan. Ia tidak mengerti keadaanku sekarang. Lidahku ingin membalas perkataannya namun tiba-tiba membeku. Tidak tahu apa yang harus kukatakan selain aku peduli dengan Zayn dan karena Zayn adalah sahabatku. Keadaannya kurang sehat sekarang dan aku harus merawatnya. Ia terlihat begitu terpuruk tadi malam dan terus menerus menyebut namaku dan memaki-maki Justin dengan mulut yang penuh dengan muntahannya. Sangat sakit saat aku berusaha mengelap mulutnya dan berusaha menenangkannya. Dan ia juga memukul pundakku dengan pelan saat aku memintanya untuk diam dan beristirahat. Zayn bilang kalau aku jahat dan dia mencintaiku. Aku tahu ini rasanya tidak adil baginya. Tapi perasaan tak bisa dipaksa. Mencoba mencintainya pasti akan terasa menyakitkan dan hambar. Zayn harus menerima kenyataan di mana memang Justin yang memilikiku.
            “Justin, aku harus pergi ke sana. Aku sungguh khawatir dengannya,” aku bangkit dari tempat tidur dan menghampirinya yang mematung di depan pintu kamar mandi. Matanya tidak lepas dariku dan mengerutkan keningnya. Oh, ya Tuhan. Inilah yang harus kulakukan untuk Zayn. Setidaknya jika ia bertemu denganku ia bisa merasa lebih baik, kurasa. Atau memperburuk. Dan aku ingin memperlurus pada Zayn kalau aku telah bertunangan dengan Justin. Terdengar konyol? Ya, tapi itu adalah fakta dan kenyataan.
            “Tidak,” ia masih berada pada pendiriannya. Mengapa tiba-tiba menjadi orang yang begitu menyebalkan? Dan memusuhi sahabatnya? Apa penyebabnya? Sungguh, Justin sangat suka bermain teka-teki denganku dan itu sangat tidak seru. Aku memegang perut dan meringis pelan.
            “Deep, apa kau baik-baik saja?” tanyanya waspada dan mendekatiku. Tangannya menyentuh pundakku dan meremasnya dengan lembut.
            “Ya, tentu. Tapi, Justin. Aku ingin bertemu dengan Zayn. Kali ini saja dan ini yang terakhir,” pintaku bersungut. Ia mendesah pelan dan menggelengkan kepalanya seolah-oleh ia menyerah denganku. Itu adalah kenyataannya, ia menyerah. Matanya terpejam sebentar dan mengedip setelah itu.
            “Kau yang terbaik Justin.” Aku menggodanya dan memeluknya. Bibirku menyentuh pipinya dengan lembut. Senyum manis mengembang begitu saja dan menarik wajahku dengan kedua tangannya. Bibirnya melumat bibirku dengan lembut dan melepaskannya.
            “Aku tahu itu.” Ia kembali tersenyum dan masuk ke dalam kamar mandi.

***

            “Hai,” aku menyapa Zayn yang sedang terduduk di atas sofa dengan mata yang mengantuk. Dia belum mandi dan itu terlihat dari pakaiannya yang tadi malam aku ganti untuknya. Napasku tercekat dan menghembuskannya setelah aku berpikir kurasa ia sangat depresi dengan berita kehamilanku. Mulutnya masih terkatup dengan rapat. Matanya terus melihat ke arah layar televisi ..yang tidak menyala. Tatapan matanya sangat kosong. Aku duduk di sebelahnya dan menyentuh pundaknya.
            “Zayn, kumohon jangan bersikap seperti ini,”
            Kepalanya menoleh melihatku. Sedetik kemudian, ia menggelengkan kepalanya. Matanya berkantung. Beberapa hari ini pasti ia sering tidur larut malam. Sangat bukan Zayn yang kukenal.
            “Deep, bicaralah padaku. Jujur padaku. Apa kau mencintai Justin?” bisiknya bertanya. Aku menatap matanya yang warna senada dengan warna mata Justin. Mengingatkanku pada Justin yang tadi pagi melarangku untuk menemui Zayn. Pertanyaannya tidak mengejutkan. Seharusnya ia tahu jawaban untuk pertanyaan itu. Aku hamil dan aku tidak menyesalinya. Mengapa ia tidak bisa melihat raut wajahku yang selalu ceria saat aku berada di dekat Justin? Bukan berarti aku tidak ceria berada di sebelahnya. Hanya sesuatu berbeda merayapi jiwaku saat Justin tersenyum, berbicara, menyebut namaku, dengan cara yang menarikku untuk mencintainya. Zayn sangat terbuka sedangkan Justin sedikit misterius. Bahkan aku tidak tahu apa kesenangannya! 6 tahun ? Aku hanya tahu Justin hanyalah seorang anak pengusaha kaya, tampan, sering bermain dengan banyak perempuan –namun hebatnya ia tidak terserang penyakit seks- , sangat suka menjauhi masalah, menyukai Caitlin –sebelum ia menyatakan cinta padaku-, dan tentunya ia sangat menarik. Itu saja. Apa yang membuatnya sedih atau senang? Aku tidak sepenuhnya tahu. Istirahat.Ia menyukai istirahat.
            “Deep,” Zayn memaksaku untuk menjawabnya.
            “Mengapa kau sangat ingin tahu perasaanku terhadapnya?”
            “Karena aku tahu kau menyukainya!”
            “Mengapa kau bertanya padaku?”
            “Itu karena aku tidak pernah mendengarnya melalui mulutmu itu, Deep!” ia membentak keras. Terkejut? Ya, tentu saja. Namun aku tidak bereaksi berlebihan. Mulutku tak menganga, namun kurasa mataku memancarkan rasa sakit akan bentakannya. Tatapannya yang awalnya tajam, tiba-tiba menjadi penuh dengan penyesalan. Ia memegang tanganku yang berada di atas bahunya itu. Tangannya yang besar mengelus-elus punggung tanganku dan sedikit demi sedikit senyumannya mengembang.
            “Deep, aku senang jika kau senang,” ucapannya penuh dengan dusta yang terlihat dari matanya yang bohong itu. Dia tidak sepenuhnya senang melihatku senang bersama Justin! Sudah jelas-jelas ia benci dengan Justin sejak kejadian tempo hari. Aku hanya tidak bisa melihat mereka berpisah seperti ini. Kuharap yang lain belum tahu apa yang terjadi. Karena ritual menginap kami selalu dibatalkan tiap harinya sampai Caitlin bingung dengan Justin dan Zayn. Harry dan yang lainnya tidak memberikan kabar mereka. Aku tak tahu sedang apa mereka sekarang, yang kuharapkan jangan sampai mereka semua menjadi homo. Hanya karena mereka tinggal 1 atap. Uh, itu bukan yang inginkan. Tidak, aku tidak bermaksud mengatur mereka. Setidaknya, aku ingin melihat senyuman kecil yang akan mengembang nanti saat aku melihat mereka di pelaminan bersama dengan wanita pilihan mereka.
            “Ya, aku tahu,” aku berbohong dan mencoba untuk menatapnya dengan penuh kejujuran. Memalsukan perasaan adalah perbuatan terpuji. Kurasa, bukan dalam arti yang negatif.
            “Deep, berjanjilah padaku,” ia memohon padaku dalam kesadarannya yang utuh. Hatiku tercabik-cabik saat aku melihat air wajahnya yang begitu menyedihkan.
            “Apa pun,”
            “Jika kau akan melahirkan, berjanjilah padaku, beri nama dia Zayn jika ia lelaki. Untuk mengenang segala apa yang telah kita perbuat selama ini,”
            “Dan jika ia perempuan?”
            “Deep, agar paras dan karismanya terlihat dari pancaran ibunya,” ia meminta padaku dengan pisau yang menyayat hatiku. Mengapa ia bilang seperti itu padaku? Apa dia akan meninggalkanku? Aku tidak ingin ia pergi dari hadapanku. Ia sangat berarti bagiku, tidak ada orang sepengertian Zayn. Meski aku tahu, Justin orang yang kucintai.
            “Aku janji. Sekarang, kumohon jangan seperti ini lagi. Ini bukan kau Zayn. Aku tidak tega melihatmu seperti ini. Apa kau tega melihatku khawatir karenamu?” tanyaku dengan air mata yang membendung. Bibirnya berkedut, seakan-akan perkataanku itu lucu baginya. Padahal tidak sama sekali dan aku ingin menamparnya sekarnag. Karena kau sekarang sedang serius!
            “Aku akan melakukannya. Apa pun yang membuatmu senang, Deep.” Senyumannya mengembang. Aku menghapus air mataku dengan cepat dan memeluknya. Kumohon, Zayn adalah lelaki yang baik. Aku tak ingin menyakitinya. Dan segala apa yang telah ia lakukan padaku, aku menghargainya. Mataku tertusuk setiap kali aku mengingatnya begitu kecewa denganku dan Justin. Amarahnya meluap saat itu, matanya memancakan segala kebencian. Sakit rasanya jika memori itu terputar dalam pikiranku. Aku sangat menyayangimu, Zayn. Sebagai sahabat terdekatku.

***
            “Hei, Justin,” aku menyapanya saat aku sampai di rumah. Justin terlihat rapi sekali. Ia memaki kemeja kotak-kotak berwarna ungu-hitam, kaus dalam berwarna putih polos dan celana jeans yang tertempel pada tubuhnya. Sangat tampan dan seksi. Ia berdiri dari sofa yang ia duduki dan tersenyum melihatku.
            “Hei, sayang,” ia membalasku dengan kelembutan yang ia miliki. Kakinya melangkah padaku dan memelukku. Tangannya menarik daguku dan mengecup bibirku dengan lembut. Kupejamkan mataku sesaat dan membukanya saat ia melepaskan bibirnya yang begitu lembut.
            “Bau wangimu ..apa yang Zayn lakukan padamu?” tanyanya mengendus-endus pundakku. Yah, tentu saja aromaku seperti Zayn. Karena Zayn masih berbau alkohol. Ia menjauhkan kepalanya dari pundakku dan tidak menampakan senyum.
            “Deep, jawab,” ia memaksaku. Aku mendesah pelan dan menggelengkan kepalaku.
            “Dia tidak melakukan apa-apa. Justin, mengapa kau begitu rapi sekarang?” tanyaku mengganti topik pembicaraan. Ia mundur satu langkah dariku lalu memperlihatkan pakaian yang ia kenakan.
            “Rapi, bukan? Apa kau menyukainya?” tanyanya mengangkat alisnya, menggodaku. Kuanggukan kepalaku dan penuh semangat. Memang, aku sangat menyukainya.
            “Ayo, kita pergi,” ujarnya tiba-tiba dan menarik tanganku untuk keluar dari rumahnya. Padahal aku baru saja sampai. Mau kemana? Mall? Oh, tidak terima kasih. Masih banyak tempat-tempat yang lebih bagus dari pada Mall. Pantai, mungkin? Atau taman? Aku menyukai alam, bukan barang-barang.
            “Kemana?” tanyaku menghentikan langkahnya.
            “Kau akan tahu sendiri,” ujarnya membuatku penasaran. Aku benci kejutan. Selamanya.


----

            “Kau suka?” tanya Justin saat aku berdiri di sebuah tebing yang begitu tinggi. Hamparan laut biru terlihat begitu luas dan dalam. Keindahan yang jarang sekali kulihat. Angin menerpaku dan Justin. Rambutku yang tergerai berterbangan kemana-mana namun rambut Justin tidak. Ia memakai gel rambut hingga rambutnya mengeras.
            “Aku sangat menyukainya, sangat,” aku mengaguminya. Ia menarik pinggangku dalam rangkulannya. Tangannya meremas pinggulku dengan lembut. Kusandarkan kepalaku pada bahu Justin dan menikmati angin yang menerpa kami. Kuhembuskan napasku yang terbawa bersama angin. Segala kepedihanku dapat sedikit terobati oleh tangan-Nya yang hebat. Senyum mengembang pada bibirku.
            “Justin, mengapa kau membawaku ke tempat seperti ini?” tanyaku dengan suara yang kecil. Dengungan angin terdengar di telingaku dan aku menyukai suara itu.
            “Karena aku mencintaimu. Melihat bahagia adalah pekerjaanku.” Kata-kata yang keluar dari mulutnya sangat manis. Pipiku memerah begitu saja.

****
            “Caitlin?” aku terkejut saat aku melihat Caitlin yang sedang bersantai di atas sofa milik Justin. Ia tersenyum menatapku dan Justin yang sibuk karena terkejut ini. Tangan Justin yang melingkar di sekitarku mengencang dan mendekatkan tubuhku pada pinggangnya. Aku melirik Justin dan melihat rahangnya menegang. Apa yang terjadi dengannya? Sungguh, apa ada orang yang sedang melakukan sesuatu padanya? Karena aku sangat khawatir dengan keadaannya.
            “Hei, kalian sudah pulang?” tanya Caitlin berdiri dari sofa. Bajunya sungguh modis dan terlihat begitu santai. Ia berjalan mendekati kami.
            “Beritahu aku, apa yang aku tidak tahu,” tambah Caitlin dengan nada yang penuh dengan rasa penasaran namun mengintimidasi. Dan sekarang, mengapa sekarang Caitlin yang berubah? Apa sebenarnya yang terjadi? Apa aku tertidur dalam jangka waktu lama sehingga aku tidak tahu apa yang terjadi pada Justin, Caitlin, dan Zayn? Termasuk dengan teman lelaki yang lain? Yang tidak pernah menghubungiku? Tolong beritahu aku sekarang Justin. Aku sungguh gemas dengan apa yang terjadi sekarang.
            “Deep hamil,” ujar Justin dengan datar. Bagus. Itu tidakan yang sangat bagus sehingga aku bisa membenturkan kepalaku pada tembok hingga berdarah. Alis mata Caitiln terangkat dan mulutnya terbuka. Tidak terkejut, melainkan menarik perhatiannya. Ia berjalan ke kanan dan ke kiri dengan langkahan yang lambat.
            “Sungguh menarik. Beritahu aku, Deep. Mengapa kau melakukan ini padaku?” tanyanya dengan suara yang sungguh ..menyedihkan? Wajahnya tidak memancarkan rasa sedih namun matanya? Ia kelihatan sakit hati dengan apa yang telah kulakukan pada Justin. Tunggu  dulu, apa yang aku lakukan pada Justin? Apa yang Justin telah lakukan padaku! Itu seharusnya. Dan sekarang aku berdebat dengan diriku sendiri.
            “Cait, apa kau serius kau ingin membicarakan hal ini?” tanya Justin dengan nada suara yang serius. Caitlin terkekeh pelan namun air mata membendung di kelopak matanya. Maskaranya tidak akan luntur, aku tahu itu. Tangannya terlipat di depan dadanya. Tangisan memecah saat ia berpura-pura tertawa. Air matanya mengalir melewati pipi putihnya itu. Ini sungguh di luar perkiraanku. Tidak ada yang menginginkan ini. Semuanya hancur! Ini bukan harapanku. Semua ini hancur karena hubunganku dan Justin. Segala yang telah terjadi dalam hidupku sangat menyenangkan. Tapi sekarang? Ini tidak berjalan dengan baik.
            “Menurutmu bagaimana Justin? Apa aku ingin membicarakan ini? Mengapa aku bertanya sebelumnya? Astaga, Justin. Kenapa aku begitu bodoh? Tidak seharusnya aku menyukaimu. Kau hanya mempermainkanku. Lalu apa yang kau lakukan selama ini padaku, Justin? Bermain-main denganku? Oh, Tuhan. Mengapa kau masih hidup Justin?” tanya Caitlin dengan suara yang lantang. Ia berteriak agar tangisannya tak membanjiri pipinya terus menerus. Tangannya yang tadinya bergerak-gerak menjelaskan semuanya itu langsung lesu di kedua sisi pinggangnya. Hidungnya mulai memerah. Aku melepaskan tangan Justin yang masih merangkulku dengan erat. Kulangkahkan kakiku untuk mendekati Caitlin. Dia sahabatku dan aku tidak ingin menyakitinya. Ia wanita yang baik dan aku tahu semua ini adalah salahku. Sudah seharusnya aku menjauhi Justin. Perasaanku mengalahkan segalanya! Sial!
            “Cait—“
            “Jangan sentuh aku!” teriaknya saat tanganku berusaha untuk meraih pundaknya. Ia mengangkat kedua tangannya ke atas, “aku tidak perlu sentuhanmu. Katakan apa yang kau ingin katakan,”
            Aku tidak menangis. Tentu saja. Aku marah! Marah akan diriku, Justin dan Caitlin. Mengapa bisa-bisanya aku terjebak dalam situasi yang seperti ini setiap harinya? Aku sudah lelah dengan Avan, Zayn dan Justin. Ditambah Caitlin? Besok apa?
            “Cait, maafkan aku. Aku tidak bermaksud – ini semua bukan harapan kami. Kita tidak bisa menentang Tuhan, Cait. Kita tidak mencegah-Nya. Jangan seperti ini Cait, maafkan aku,”
            “Yeah, benar. Kau sangat benar,” ia menghapus air matanya yang kembali turun melewati pipinya, “tapi apa kau pernah berpikir, perasaan ini tidak bisa kubalikan seperti semula seperti kau memutar telapak tanganku dengan mudah? Aku mencintainya!” ia berteriak.
            “Caitlin!” Justin berteriak membela dan mendorong tubuhku untuk menjauhi Caitlin. “Jangan pernah kau meneriakinya, ingat itu.” ucap Justin dengan suara yang tegas namun tak berteriak.
            “Justin, mengapa kau melakukan ini padaku?” tanya Caitlin, suaranya melemah begitu saja. Ia berusaha untuk menyentuh wajah Justin, namun Justin menjauhinya dengan cepat dan tangannya terus berada di depan tubuhku agar aku tidak maju ke depan untuk melangkah. Dan sekarang aku terjebak di tembok putih ini.
            “Kenapa Justin?” tanya Caitlin tampak menyedihkan, “apa kau lebih memilih dia, seorang pelacur dibandingkan aku yang lebih baik dari pada dia? Begitu Justin?” Caitlin berteriak sekencang-kencang mungkin. Wajahnya sangat merah. Aku terperangah dengan apa yang telah ia katakan. Mataku melebar, mulutku menganga. Caitlin tidak melihatku sama sekali. Jakun Justin naik-turun menelan ludahnya. Matanya memancarkan api yang membara di sana. Ia sangat marah. Dan telinga Justin tampak memerah. Rahangnya berkedut-kedut, terlihat dari sini. Kulit kepalaku seakan-akan terbuka dan merontokan setiap helai rambutku. Aku juga menelan ludahku.
            Hening.
            “Keluar Caitlin,” suara Justin terdengar dingin. Tangan kirinya menunjukan pintu utama rumah ini. Caitlin menganggukan kepalanya namun wajahnya menampakan wajah tak percaya pada Justin. Ia mengambil tas merahnya yang berada di atas sofa.
            “Ingat satu hal Justin. Kau tidak akan pernah hidup bahagia bersamanya,” ucapnya tegas dan menghapus air matanya dengan jari-jarinya, “selamat tinggal.” Ia keluar dari rumah ini. Aku memejamkan mataku terkejut saat Caitlin membanting pintu rumah Justin.

            Kubuka mataku dan melihat Justin yang berbalik melihatku. Ia juga memejamkan matanya dan menarik napasnya. Lalu matanya terbuka. Tersirat di sana rasa sesal yang mendalam. Aku mendekatinya dan memegang wajahnya dengan kedua tanganku dengan lembut. Sudut-sudut bibirku melengkung ke atas, menghasilkan sebuah senyumannya. Tapi Justin tidak membalas senyumanku.
            “Tidak apa-apa Justin. Mungkin dia benar,” kataku dengan suara yang kecil. Aku mengelus pelan pipinya dengan telapak tanganku. Kembali ia memejamkan matanya. Tangannya menyentuh pergelangan tanganku dan mengelusnya. Matanya terbuka dan menggelengkan kepalanya.
            “Dia tidak benar. Kau buka pelacur, Deep,” suaranya terdengar sedih. Matanya mulai berkaca-kaca. Dia menangis? Aku hanya terkekeh pelan. Kembali ia menggelengkan kepalanya, “jangan tertawa. Tak ada yang lucu,” ia menegurku.
            Sontak aku berhenti tertawa dan menatapnya dengan serius.
            “Dengar, dia hanya terkejut dengan berita kehamilanku. Itu saja. Dia hanya sedang emosi. Aku yakin ia akan meminta maaf. Tadi itu bukan Caitlin. Pasti ada sesuatu merasukinya,”
            “Ya, setan Caitlin, mungkin,” senyumannyanya mulai terlihat. Aku tertawa pelan dan menggelengkan kepalaku.
            “Ya, mungkin. Tapi besok ia akan menjadi malaikat Caitlin, yakin Justin. Dia bukan Caitlin, dia hanya emosi,” aku mengelus pipinya dengan ibu jariku. Ia memejamkan matanya, merasakan kelembutan jariku dan menganggukan kepalaku.
            “Aku hanya tidak ingin mendengar sesuatu yang buruk tentangmu dari orang lain. Karena mereka tidak tahu apa yang mereka bicarakan,” ucapnya tak ingin menyelesaikan perdebatan ini. Aku mendesah pelan dan menarik tanganku dari wajahnya.
            “Justin, sudah. Aku lelah sekali, apa kau ingin membuatkanku susu? Kasihan bayimu, haus,” ucapku mengalihkan perhatiannya. Ia menganggukan kepalanya dengan penuh semangat.
            “Bayi kita.” Ia membenarkan dan menarik wajahku lalu mengecup bibirku dengan lembut dan melepaskannya. Kakinya melangkah keluar dari ruang tamu menuju dapur.

            Senyumku surut saat ia sudah sibuk dengan pekerjaannya. Oh, besok apa yang akan terjadi Tuhan? Karena aku sangat tidak ingin Caitlin benar-benar berubah. Kuharap tadi itu hanyalah emosi semata dan tidak serius. Karena sangat hatiku sangat sakit saat Caitlin menghinaku dengan kata ‘pelacur’. Setan Caitlin. Aku terkekeh pelan.














:)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar