***
Aku
membuka pintu rumah Zayn. Kurasa jika aku mengunjunginya, rasa penasaranku akan
berkurang. Ia tidak memberikan kabar padaku. Dan membuatku cukup khawatir akan
keadaannya. Khawatir karena dia adalah sahabat yang paling pengertian dan
sahabat andalanku. Aku lebih menyayangi Zayn daripada Justin. Tapi aku mecintai
Justin. Kau tahu apa bedanya.
Justin
memintaku untuk tidak datang ke rumah Zayn tapi aku memaksanya. Meski ia tidak
ikut turun bersamaku masuk ke dalam rumah Zayn. Kurasa ia ada benarnya juga.
Justin meninggalkanku di rumah Zayn, dan dia bilang jika aku ingin pulang, aku
harus menghubunginya agar ia menjemputku. Ketakutan terbesarku adalah melihat
orang yang kusayang tersakiti. Aku tidak pernah dan tidak ingin melihat mereka
yang kusayangi sakit hati karena perbuatanku. Dan aku tahu, sudah sering sekali
aku membuat mereka sakit hati. Ah, apa yang kubicarakan. Aku sudah berusaha
untuk menjadi orang yang lebih baik. Meski belum benar-benar terjadi.
“Zayn?
Apa kau di rumah?” teriakku menutup pintu rumahnya. Lampu ruang tamunya menyala
dan aku bisa mendengar suara televisi yang menyala. Aku melangkahkan kakiku
untuk masuk lebih dalam lagi. Dan
mendapatkan Zayn yang sedang ..merokok? Sial! Mengapa ia merokok? Dan apa itu?
Ia meminum 5 botol bir? Tolol! Dengan cepat aku melangkahkan kakiku padanya.
Kutarik
rokok yang terjepit di antara bibirnya, membuangnya, dan menginjak-injakannya
ke lantai. Kuambil satu per satu botol bir yang berada di atas lantai dan
membantingnya hingga pecah. Napasku memburu dan menatap Zayn dengan amarah yang
meluap. Aku benci dia yang seperti ini. Tuhan! Apa Kau bisa memberitahuku apa
yang sedang terjadi dengan kedua sahabat terdekatku? Karena mereka ..astaga.
Aku tidak menjelaskannya dengan kata-kata.
“Apa
yang kaulakukan di sini, Deep?” tanyanya terdengar santai, tentu saja. Ia mabu
dan terbaring santai di atas sofanya dan menyeringai padaku. Seakan-akan ia
melihat orang gila yang berada di depannya. Menghancurkan botol-botol bir yang
kosong.
“Zayn,
apa yang terjadi denganmu?” tanyaku penuh dengan nada yang khawatir. Kujatuhkan
bokongku di atas sofa dan menyentuh pipi Zayn dengan penuh rasa kasihan. Apa
yang membuatnya depresi? Kebohonganku dengan Justin? Astaga, aku harus segera
meluruskan ini.
“Deep,
kau sangat tidak peka, sayang,” ia sungguh mabuk. Tangannya yang bertato itu
memegang tanganku yang berada di pipinya. Ia mengelusnya dengan pelan. Mataku
memancarkan rasa penuh sayang padanya. Tidak mungkin ini terjadi. Ia tidak
mungkin mencintaiku karena aku tidak pernah merasakannya. Benarkah? Segala
perhatian yang ia berikan dan aku tidak merasakannya? Cukup tidak adil baginya.
“Zayn,
bicaralah padaku. Ada apa?” tanyaku mengelus pipinya, tangannya memegang erat
tanganku. Ia tertawa-tawa bagaikan orang gila. Oh, apa ini sedang terjadi?
Karena kau ingin pisau berada di tanganku sekarang.
“Kau
hamil, Deep. Apa kau tidak merasakannya? Aku. Menyukaimu. Lama. Sekali. Dan.
Kau. Hamil. Apa. Itu. Sudah. Cukup?” tanyanya. Aku tidak terkejut dengan
pernyataannya itu. Setelah ia memanggilku dengan panggilan ‘sayang’. Ia
mengelus-elus punggung tanganku dengan lembut dan matanya begitu sayu. Giginya
terlihat dari sini, senyuman cabul yang ia miliki. Astaga!
“Zayn,
aku tidak pernah berpik—“
“Tidak
apa, Deep. Kau sudah menjatuhkanku keras sekali. Dan aku sadar, Justin memang
layak memilikimu,”
“Kenapa
kau bilang seperti itu, Zayn? Tidak adil,” ujarku dengan air mata yang sudah
membendung sekarang. Sial! Mengapa aku bisa menyakitinya seperti ini? Ia begitu
terpuruk dan aku tidak bisa melihatnya seperti ini. Ia tertawa dengan keras,
seolah-olah apa yang kukatakan padanya adalah candaan. Tidak, itu tidak sama
sekali.
“Deep,
Deep, Deep. Kau adalah kau. Aku tidak bisa mengubahnya karena hanya Justin yang
mungkin bisa melakukan itu. Lihat sekarang? Kau berbadan dua. Dan aku
memakluminya. Aku tahu kau mencintainya, Deep. Aku sudah terbiasa dengan posisi
tidak adil seperti ini, Deep. Tidak apa-apa,” ujarnya melantur dan
terbatuk-batuk kemudian. Tiba-tiba ia muntah di depanku. Di bajuku. Sempurna.
****
“Apa
yang kaulakukan dengannya?” tanya Justin tampak waspada. Matanya melihatku
begitu dalam, bukan dalam arti yang baik. Tapi ia mengkhawatirku, dan itu
adalah kenyataan. Kedua tangannya memegang tanganku. Aku tidak menghubunginya
tadi, jadi aku pulang sendirian dengan baju yang berbeda. Tidak mungkin aku
pulang dengan baju yang kotor. Zayn sudah beristirahat di atas ranjangnya dan
besok aku harus melihat keadaannya kembali.
“Dia
mabuk,” ucapku dengan suara yang pelan dan menatap matanya yang begitu gelap.
Ia menggelengkan kepalanya dan menarik tanganku untuk menjauh dari pintu masuk.
Bokong kami jatuh ke atas sofa. Ia masih memegang tanganku, erat.
“Lalu,
apa yang ia lakukan padamu?” tanyanya tambah khawatir. Aku bisa melihatnya dari
matanya yang melebar dan napasnya yang tidak beraturan, bukan berarti memburu.
Dia tidak stabil.
“Justin,
apa yang kaulakukan padanya?”
“Apa
yang kulakukan padanya?” Kuanggukan kepalaku. Matanya begitu terkejut akan
pertanyaanku yang asing di telinganya. Tentu saja. Aku tidak pernah
menyalahkannya saat ia memiliki masalah dengan Zayn. Kecuali kasus ini. Aku
sering bersikap adil.
“Deep,
aku tidak ingin ia mendekatimu lagi,”
“Apa
maksudmu, Justin? Aku menyayanginya dan kami telah bersahabat selama 6 bulan.
Ap-apa tujuanmu melakukan ini, Justin?” tanyaku mengedip-kedip mataku, tak
percaya.
“Aku
mencintaimu, Deep.” Kata-kata itu ….
****
Bibirku
mengering. Menelan ludahku untuk membasahi tenggorokanku yang juga sangat
kering. Mataku tidak pernah beralih dari matanya yang berwarna cokelat emas
itu. Aku sangat masuk ke dalam sana. Ia mencintaiku. Kata-kata itu sangat
bermakna bagiku dan aku tidak pernah bermain-main dengan kata-kata itu. Dan
tujuannya memanas-manasi Zayn belum ia jawab, tapi sekarang bukan soal Zayn dan
aku. Tapi tentang aku dan Justin. Ia memantraiku dengan kata-kata itu hingga
aku menegang sekarang. Aku kehilangan suaraku. Bermenit-menit dalam keheningan
telah berlalu dan Justin terus menelan ludahnya, gugup. Begitu juga aku,
Justin.
“Deep,
jawab,” pintanya padaku. Aku mengedipkan mataku.
“Apa
yang harus kujawab, Justin?” aku berpura-pura bodoh. Justin mendesah pelan, ia
melenguh setelah itu, memutarkan matanya padaku. Ia tahu aku sedang
berpura-pura bodoh padanya dan ia memegang kedua bahuku.
“Deep,
tolong jangan bermain-main. Aku benar-benar mencintaimu,” ucapnya dengan tulus.
Senyumanku mengembang.
“Aku
juga mencintaimu, Justin,” kembali suaraku menjadi normal. Wajahnya yang
tadinya khawatir tiba-tiba berubah menjadi berseri-seri. Ia memelukku dengan
erat, namun tak menekan kandunganku. Ia menarik tubuhnya dari tubuhku dan
mulutnya berada di mulutku sekarang. Bibir kami beradu dengan hangat, tangannya
mengelus punggungku.
“Menikahlah
denganku, Deep.” Desahan nafasnya berada dalam mulutku dan kembali mencium
bibirku. Ia mengigiti bibir bawahku dan lidahnya berekplorasi di sana. “Ya.”
Aku membalasnya dengan desahan dalam mulutnya juga. Aku melingkarkan kakiku
pada pinggangnya dan memperdalam ciuman hangat kami.
****
Aku
membuka mataku dan mengerjap-erjapkannya perlahan. Mataku masih mengantuk,
untung saja ini adalah hari Sabtu dan libur. Wajahnya yang polos berada di atas
bantal putih dan tidur dengan nyenyak bagaikan malaikat. Bibirnya tampak
melengkung, menghasilkan sebuah senyuman kecil. Tangannya berada di atas
perutku, tidak berat. Mataku sayu karena masih mengantuk, tapi aku sudah
terlanjur bangun sekarang. Tidak bisa membawaku ke alam bawah sadarku lagi.
Mata
Justin terbuka begitu saja, masih dengan mata yang mengantuk. Ia tersenyum
melihatku dan kakinya menindih kakiku lalu memelukku.
“Selamat
pagi, sayang,” sapanya padaku dengan mulut yang berada dalam rambutku. Ia
menarik napasnya, mencium bau wangi rambutku. Malam tadi adalah malam yang
menyakitkan sekaligus membahagiakan. Justin mencintaiku dan memintaku untuk
menjadi istrinya. Aku menerimanya begitu saja dan itu adalah tindak ter— …baik
yang pernah kuputuskan. Aku percaya padanya. Hubungan kami hanya dibutuhkan
sedikit cinta, kepercayaan, dan kesetiaan. Lalu semuanya akan menjadi sempurna.
“Selamat
pagi, Justin,” aku membalasnya di atas pinggiran lehernya. Ia tertawa pelan,
kegelian karena bibirku yang barada di lehernya.
“Oh,
sial!” ia mendengus kesal tiba-tiba dan melepaskan pelukannya dariku. Ia berdiri
dari tempat tidurnya dan melihat pada jam dinding yang berada di dalam
kamarnya. Jam 9, ada apa? Bukankah ia tidak bekerja hari ini?
“Ada
apa, Justin?” tanyaku dengan penasaran dan mengangkat tubuhku agar aku
terduduk. Kusandarkan tubuhku dengan kedua sikuku. Mataku berlari pada perutku
yang mulai membesar. Oh, yah, ini dia saatnya. Perutku akan memancarkan
kehamilanku dan aku tidak peduli itu. Tidak ada anak haram dan aku percaya itu.
Yang ada hanyalah anak yang tidak memiliki ayah, tapi anakku akan segera
memiliki ayah. Ayah yang sangat tampan dan menarik.
“Aku
punya urusan di luar sana. Apa kau baik-baik saja jika aku tinggalkan di sini?”
tanyanya kelihatan bingung dan frustrasi. Aku menganggukan kepalaku.
“Tapi,
aku ingin bertemu dengan Zayn untuk melihat keadaannya,” aku bersuara dengan
pelan. Justin terkejut dengan pernyataanku, saat ia ingin memasuki kamar mandi,
kakinya terhenti begitu saja. Matanya menyipit dan menggelengkan kepalanya.
“Tidak,
tidak boleh. Dia berbahaya sekarang,” ucapnya ketus. Aku mendesah pelan. Ia
tidak mengerti keadaanku sekarang. Lidahku ingin membalas perkataannya namun
tiba-tiba membeku. Tidak tahu apa yang harus kukatakan selain aku peduli dengan
Zayn dan karena Zayn adalah sahabatku. Keadaannya kurang sehat sekarang dan aku
harus merawatnya. Ia terlihat begitu terpuruk tadi malam dan terus menerus
menyebut namaku dan memaki-maki Justin dengan mulut yang penuh dengan
muntahannya. Sangat sakit saat aku berusaha mengelap mulutnya dan berusaha
menenangkannya. Dan ia juga memukul pundakku dengan pelan saat aku memintanya
untuk diam dan beristirahat. Zayn bilang kalau aku jahat dan dia mencintaiku.
Aku tahu ini rasanya tidak adil baginya. Tapi perasaan tak bisa dipaksa.
Mencoba mencintainya pasti akan terasa menyakitkan dan hambar. Zayn harus
menerima kenyataan di mana memang Justin yang memilikiku.
“Justin,
aku harus pergi ke sana. Aku sungguh khawatir dengannya,” aku bangkit dari
tempat tidur dan menghampirinya yang mematung di depan pintu kamar mandi.
Matanya tidak lepas dariku dan mengerutkan keningnya. Oh, ya Tuhan. Inilah yang
harus kulakukan untuk Zayn. Setidaknya jika ia bertemu denganku ia bisa merasa
lebih baik, kurasa. Atau memperburuk. Dan aku ingin memperlurus pada Zayn kalau
aku telah bertunangan dengan Justin. Terdengar konyol? Ya, tapi itu adalah
fakta dan kenyataan.
“Tidak,”
ia masih berada pada pendiriannya. Mengapa tiba-tiba menjadi orang yang begitu
menyebalkan? Dan memusuhi sahabatnya? Apa penyebabnya? Sungguh, Justin sangat
suka bermain teka-teki denganku dan itu sangat tidak seru. Aku memegang perut
dan meringis pelan.
“Deep,
apa kau baik-baik saja?” tanyanya waspada dan mendekatiku. Tangannya menyentuh
pundakku dan meremasnya dengan lembut.
“Ya,
tentu. Tapi, Justin. Aku ingin bertemu dengan Zayn. Kali ini saja dan ini yang
terakhir,” pintaku bersungut. Ia mendesah pelan dan menggelengkan kepalanya
seolah-oleh ia menyerah denganku. Itu adalah kenyataannya, ia menyerah. Matanya
terpejam sebentar dan mengedip setelah itu.
“Kau
yang terbaik Justin.” Aku menggodanya dan memeluknya. Bibirku menyentuh pipinya
dengan lembut. Senyum manis mengembang begitu saja dan menarik wajahku dengan
kedua tangannya. Bibirnya melumat bibirku dengan lembut dan melepaskannya.
“Aku
tahu itu.” Ia kembali tersenyum dan masuk ke dalam kamar mandi.
***
“Hai,”
aku menyapa Zayn yang sedang terduduk di atas sofa dengan mata yang mengantuk.
Dia belum mandi dan itu terlihat dari pakaiannya yang tadi malam aku ganti
untuknya. Napasku tercekat dan menghembuskannya setelah aku berpikir kurasa ia
sangat depresi dengan berita kehamilanku. Mulutnya masih terkatup dengan rapat.
Matanya terus melihat ke arah layar televisi ..yang tidak menyala. Tatapan
matanya sangat kosong. Aku duduk di sebelahnya dan menyentuh pundaknya.
“Zayn,
kumohon jangan bersikap seperti ini,”
Kepalanya
menoleh melihatku. Sedetik kemudian, ia menggelengkan kepalanya. Matanya
berkantung. Beberapa hari ini pasti ia sering tidur larut malam. Sangat bukan
Zayn yang kukenal.
“Deep,
bicaralah padaku. Jujur padaku. Apa kau mencintai Justin?” bisiknya bertanya.
Aku menatap matanya yang warna senada dengan warna mata Justin. Mengingatkanku
pada Justin yang tadi pagi melarangku untuk menemui Zayn. Pertanyaannya tidak
mengejutkan. Seharusnya ia tahu jawaban untuk pertanyaan itu. Aku hamil dan aku
tidak menyesalinya. Mengapa ia tidak bisa melihat raut wajahku yang selalu
ceria saat aku berada di dekat Justin? Bukan berarti aku tidak ceria berada di
sebelahnya. Hanya sesuatu berbeda merayapi jiwaku saat Justin tersenyum,
berbicara, menyebut namaku, dengan cara yang menarikku untuk mencintainya. Zayn
sangat terbuka sedangkan Justin sedikit misterius. Bahkan aku tidak tahu apa
kesenangannya! 6 tahun ? Aku hanya tahu Justin hanyalah seorang anak pengusaha
kaya, tampan, sering bermain dengan banyak perempuan –namun hebatnya ia tidak
terserang penyakit seks- , sangat suka menjauhi masalah, menyukai Caitlin
–sebelum ia menyatakan cinta padaku-, dan tentunya ia sangat menarik. Itu saja.
Apa yang membuatnya sedih atau senang? Aku tidak sepenuhnya tahu. Istirahat.Ia
menyukai istirahat.
“Deep,”
Zayn memaksaku untuk menjawabnya.
“Mengapa
kau sangat ingin tahu perasaanku terhadapnya?”
“Karena
aku tahu kau menyukainya!”
“Mengapa
kau bertanya padaku?”
“Itu
karena aku tidak pernah mendengarnya melalui mulutmu itu, Deep!” ia membentak
keras. Terkejut? Ya, tentu saja. Namun aku tidak bereaksi berlebihan. Mulutku
tak menganga, namun kurasa mataku memancarkan rasa sakit akan bentakannya.
Tatapannya yang awalnya tajam, tiba-tiba menjadi penuh dengan penyesalan. Ia
memegang tanganku yang berada di atas bahunya itu. Tangannya yang besar
mengelus-elus punggung tanganku dan sedikit demi sedikit senyumannya
mengembang.
“Deep,
aku senang jika kau senang,” ucapannya penuh dengan dusta yang terlihat dari
matanya yang bohong itu. Dia tidak sepenuhnya senang melihatku senang bersama
Justin! Sudah jelas-jelas ia benci dengan Justin sejak kejadian tempo hari. Aku
hanya tidak bisa melihat mereka berpisah seperti ini. Kuharap yang lain belum
tahu apa yang terjadi. Karena ritual menginap kami selalu dibatalkan tiap
harinya sampai Caitlin bingung dengan Justin dan Zayn. Harry dan yang lainnya
tidak memberikan kabar mereka. Aku tak tahu sedang apa mereka sekarang, yang kuharapkan
jangan sampai mereka semua menjadi homo. Hanya karena mereka tinggal 1 atap.
Uh, itu bukan yang inginkan. Tidak, aku tidak bermaksud mengatur mereka.
Setidaknya, aku ingin melihat senyuman kecil yang akan mengembang nanti saat
aku melihat mereka di pelaminan bersama dengan wanita pilihan mereka.
“Ya,
aku tahu,” aku berbohong dan mencoba untuk menatapnya dengan penuh kejujuran.
Memalsukan perasaan adalah perbuatan terpuji. Kurasa, bukan dalam arti yang
negatif.
“Deep,
berjanjilah padaku,” ia memohon padaku dalam kesadarannya yang utuh. Hatiku
tercabik-cabik saat aku melihat air wajahnya yang begitu menyedihkan.
“Apa
pun,”
“Jika
kau akan melahirkan, berjanjilah padaku, beri nama dia Zayn jika ia lelaki.
Untuk mengenang segala apa yang telah kita perbuat selama ini,”
“Dan
jika ia perempuan?”
“Deep,
agar paras dan karismanya terlihat dari pancaran ibunya,” ia meminta padaku
dengan pisau yang menyayat hatiku. Mengapa ia bilang seperti itu padaku? Apa
dia akan meninggalkanku? Aku tidak ingin ia pergi dari hadapanku. Ia sangat
berarti bagiku, tidak ada orang sepengertian Zayn. Meski aku tahu, Justin orang
yang kucintai.
“Aku
janji. Sekarang, kumohon jangan seperti ini lagi. Ini bukan kau Zayn. Aku tidak
tega melihatmu seperti ini. Apa kau tega melihatku khawatir karenamu?” tanyaku
dengan air mata yang membendung. Bibirnya berkedut, seakan-akan perkataanku itu
lucu baginya. Padahal tidak sama sekali dan aku ingin menamparnya sekarnag.
Karena kau sekarang sedang serius!
“Aku
akan melakukannya. Apa pun yang membuatmu senang, Deep.” Senyumannya
mengembang. Aku menghapus air mataku dengan cepat dan memeluknya. Kumohon, Zayn
adalah lelaki yang baik. Aku tak ingin menyakitinya. Dan segala apa yang telah
ia lakukan padaku, aku menghargainya. Mataku tertusuk setiap kali aku
mengingatnya begitu kecewa denganku dan Justin. Amarahnya meluap saat itu,
matanya memancakan segala kebencian. Sakit rasanya jika memori itu terputar
dalam pikiranku. Aku sangat menyayangimu, Zayn. Sebagai sahabat terdekatku.
***
“Hei,
Justin,” aku menyapanya saat aku sampai di rumah. Justin terlihat rapi sekali.
Ia memaki kemeja kotak-kotak berwarna ungu-hitam, kaus dalam berwarna putih
polos dan celana jeans yang tertempel pada tubuhnya. Sangat tampan dan seksi.
Ia berdiri dari sofa yang ia duduki dan tersenyum melihatku.
“Hei,
sayang,” ia membalasku dengan kelembutan yang ia miliki. Kakinya melangkah
padaku dan memelukku. Tangannya menarik daguku dan mengecup bibirku dengan
lembut. Kupejamkan mataku sesaat dan membukanya saat ia melepaskan bibirnya
yang begitu lembut.
“Bau
wangimu ..apa yang Zayn lakukan padamu?” tanyanya mengendus-endus pundakku.
Yah, tentu saja aromaku seperti Zayn. Karena Zayn masih berbau alkohol. Ia
menjauhkan kepalanya dari pundakku dan tidak menampakan senyum.
“Deep,
jawab,” ia memaksaku. Aku mendesah pelan dan menggelengkan kepalaku.
“Dia
tidak melakukan apa-apa. Justin, mengapa kau begitu rapi sekarang?” tanyaku
mengganti topik pembicaraan. Ia mundur satu langkah dariku lalu memperlihatkan
pakaian yang ia kenakan.
“Rapi,
bukan? Apa kau menyukainya?” tanyanya mengangkat alisnya, menggodaku.
Kuanggukan kepalaku dan penuh semangat. Memang, aku sangat menyukainya.
“Ayo,
kita pergi,” ujarnya tiba-tiba dan menarik tanganku untuk keluar dari rumahnya.
Padahal aku baru saja sampai. Mau kemana? Mall? Oh, tidak terima kasih. Masih
banyak tempat-tempat yang lebih bagus dari pada Mall. Pantai, mungkin? Atau
taman? Aku menyukai alam, bukan barang-barang.
“Kemana?”
tanyaku menghentikan langkahnya.
“Kau
akan tahu sendiri,” ujarnya membuatku penasaran. Aku benci kejutan. Selamanya.
----
“Kau
suka?” tanya Justin saat aku berdiri di sebuah tebing yang begitu tinggi.
Hamparan laut biru terlihat begitu luas dan dalam. Keindahan yang jarang sekali
kulihat. Angin menerpaku dan Justin. Rambutku yang tergerai berterbangan
kemana-mana namun rambut Justin tidak. Ia memakai gel rambut hingga rambutnya
mengeras.
“Aku
sangat menyukainya, sangat,” aku mengaguminya. Ia menarik pinggangku dalam
rangkulannya. Tangannya meremas pinggulku dengan lembut. Kusandarkan kepalaku pada
bahu Justin dan menikmati angin yang menerpa kami. Kuhembuskan napasku yang
terbawa bersama angin. Segala kepedihanku dapat sedikit terobati oleh
tangan-Nya yang hebat. Senyum mengembang pada bibirku.
“Justin,
mengapa kau membawaku ke tempat seperti ini?” tanyaku dengan suara yang kecil.
Dengungan angin terdengar di telingaku dan aku menyukai suara itu.
“Karena
aku mencintaimu. Melihat bahagia adalah pekerjaanku.” Kata-kata yang keluar
dari mulutnya sangat manis. Pipiku memerah begitu saja.
****
“Caitlin?”
aku terkejut saat aku melihat Caitlin yang sedang bersantai di atas sofa milik
Justin. Ia tersenyum menatapku dan Justin yang sibuk karena terkejut ini.
Tangan Justin yang melingkar di sekitarku mengencang dan mendekatkan tubuhku
pada pinggangnya. Aku melirik Justin dan melihat rahangnya menegang. Apa yang
terjadi dengannya? Sungguh, apa ada orang yang sedang melakukan sesuatu
padanya? Karena aku sangat khawatir dengan keadaannya.
“Hei,
kalian sudah pulang?” tanya Caitlin berdiri dari sofa. Bajunya sungguh modis
dan terlihat begitu santai. Ia berjalan mendekati kami.
“Beritahu
aku, apa yang aku tidak tahu,” tambah Caitlin dengan nada yang penuh dengan
rasa penasaran namun mengintimidasi. Dan sekarang, mengapa sekarang Caitlin
yang berubah? Apa sebenarnya yang terjadi? Apa aku tertidur dalam jangka waktu
lama sehingga aku tidak tahu apa yang terjadi pada Justin, Caitlin, dan Zayn?
Termasuk dengan teman lelaki yang lain? Yang tidak pernah menghubungiku? Tolong
beritahu aku sekarang Justin. Aku sungguh gemas dengan apa yang terjadi
sekarang.
“Deep
hamil,” ujar Justin dengan datar. Bagus. Itu tidakan yang sangat bagus sehingga
aku bisa membenturkan kepalaku pada tembok hingga berdarah. Alis mata Caitiln
terangkat dan mulutnya terbuka. Tidak terkejut, melainkan menarik perhatiannya.
Ia berjalan ke kanan dan ke kiri dengan langkahan yang lambat.
“Sungguh
menarik. Beritahu aku, Deep. Mengapa kau melakukan ini padaku?” tanyanya dengan
suara yang sungguh ..menyedihkan? Wajahnya tidak memancarkan rasa sedih namun
matanya? Ia kelihatan sakit hati dengan apa yang telah kulakukan pada Justin.
Tunggu dulu, apa yang aku lakukan pada
Justin? Apa yang Justin telah lakukan padaku! Itu seharusnya. Dan sekarang aku
berdebat dengan diriku sendiri.
“Cait,
apa kau serius kau ingin membicarakan hal ini?” tanya Justin dengan nada suara
yang serius. Caitlin terkekeh pelan namun air mata membendung di kelopak
matanya. Maskaranya tidak akan luntur, aku tahu itu. Tangannya terlipat di depan
dadanya. Tangisan memecah saat ia berpura-pura tertawa. Air matanya mengalir
melewati pipi putihnya itu. Ini sungguh di luar perkiraanku. Tidak ada yang
menginginkan ini. Semuanya hancur! Ini bukan harapanku. Semua ini hancur karena
hubunganku dan Justin. Segala yang telah terjadi dalam hidupku sangat
menyenangkan. Tapi sekarang? Ini tidak berjalan dengan baik.
“Menurutmu
bagaimana Justin? Apa aku ingin membicarakan ini? Mengapa aku bertanya
sebelumnya? Astaga, Justin. Kenapa aku begitu bodoh? Tidak seharusnya aku
menyukaimu. Kau hanya mempermainkanku. Lalu apa yang kau lakukan selama ini
padaku, Justin? Bermain-main denganku? Oh, Tuhan. Mengapa kau masih hidup
Justin?” tanya Caitlin dengan suara yang lantang. Ia berteriak agar tangisannya
tak membanjiri pipinya terus menerus. Tangannya yang tadinya bergerak-gerak
menjelaskan semuanya itu langsung lesu di kedua sisi pinggangnya. Hidungnya
mulai memerah. Aku melepaskan tangan Justin yang masih merangkulku dengan erat.
Kulangkahkan kakiku untuk mendekati Caitlin. Dia sahabatku dan aku tidak ingin
menyakitinya. Ia wanita yang baik dan aku tahu semua ini adalah salahku. Sudah
seharusnya aku menjauhi Justin. Perasaanku mengalahkan segalanya! Sial!
“Cait—“
“Jangan
sentuh aku!” teriaknya saat tanganku berusaha untuk meraih pundaknya. Ia
mengangkat kedua tangannya ke atas, “aku tidak perlu sentuhanmu. Katakan apa
yang kau ingin katakan,”
Aku
tidak menangis. Tentu saja. Aku marah! Marah akan diriku, Justin dan Caitlin.
Mengapa bisa-bisanya aku terjebak dalam situasi yang seperti ini setiap
harinya? Aku sudah lelah dengan Avan, Zayn dan Justin. Ditambah Caitlin? Besok
apa?
“Cait,
maafkan aku. Aku tidak bermaksud – ini semua bukan harapan kami. Kita tidak
bisa menentang Tuhan, Cait. Kita tidak mencegah-Nya. Jangan seperti ini Cait,
maafkan aku,”
“Yeah,
benar. Kau sangat benar,” ia menghapus air matanya yang kembali turun melewati
pipinya, “tapi apa kau pernah berpikir, perasaan ini tidak bisa kubalikan
seperti semula seperti kau memutar telapak tanganku dengan mudah? Aku
mencintainya!” ia berteriak.
“Caitlin!”
Justin berteriak membela dan mendorong tubuhku untuk menjauhi Caitlin. “Jangan
pernah kau meneriakinya, ingat itu.” ucap Justin dengan suara yang tegas namun
tak berteriak.
“Justin,
mengapa kau melakukan ini padaku?” tanya Caitlin, suaranya melemah begitu saja.
Ia berusaha untuk menyentuh wajah Justin, namun Justin menjauhinya dengan cepat
dan tangannya terus berada di depan tubuhku agar aku tidak maju ke depan untuk
melangkah. Dan sekarang aku terjebak di tembok putih ini.
“Kenapa
Justin?” tanya Caitlin tampak menyedihkan, “apa kau lebih memilih dia, seorang
pelacur dibandingkan aku yang lebih baik dari pada dia? Begitu Justin?” Caitlin
berteriak sekencang-kencang mungkin. Wajahnya sangat merah. Aku terperangah
dengan apa yang telah ia katakan. Mataku melebar, mulutku menganga. Caitlin
tidak melihatku sama sekali. Jakun Justin naik-turun menelan ludahnya. Matanya
memancarkan api yang membara di sana. Ia sangat marah. Dan telinga Justin
tampak memerah. Rahangnya berkedut-kedut, terlihat dari sini. Kulit kepalaku
seakan-akan terbuka dan merontokan setiap helai rambutku. Aku juga menelan
ludahku.
Hening.
“Keluar
Caitlin,” suara Justin terdengar dingin. Tangan kirinya menunjukan pintu utama
rumah ini. Caitlin menganggukan kepalanya namun wajahnya menampakan wajah tak
percaya pada Justin. Ia mengambil tas merahnya yang berada di atas sofa.
“Ingat
satu hal Justin. Kau tidak akan pernah hidup bahagia bersamanya,” ucapnya tegas
dan menghapus air matanya dengan jari-jarinya, “selamat tinggal.” Ia keluar
dari rumah ini. Aku memejamkan mataku terkejut saat Caitlin membanting pintu
rumah Justin.
Kubuka
mataku dan melihat Justin yang berbalik melihatku. Ia juga memejamkan matanya
dan menarik napasnya. Lalu matanya terbuka. Tersirat di sana rasa sesal yang
mendalam. Aku mendekatinya dan memegang wajahnya dengan kedua tanganku dengan
lembut. Sudut-sudut bibirku melengkung ke atas, menghasilkan sebuah
senyumannya. Tapi Justin tidak membalas senyumanku.
“Tidak
apa-apa Justin. Mungkin dia benar,” kataku dengan suara yang kecil. Aku
mengelus pelan pipinya dengan telapak tanganku. Kembali ia memejamkan matanya.
Tangannya menyentuh pergelangan tanganku dan mengelusnya. Matanya terbuka dan
menggelengkan kepalanya.
“Dia
tidak benar. Kau buka pelacur, Deep,” suaranya terdengar sedih. Matanya mulai
berkaca-kaca. Dia menangis? Aku hanya terkekeh pelan. Kembali ia menggelengkan
kepalanya, “jangan tertawa. Tak ada yang lucu,” ia menegurku.
Sontak
aku berhenti tertawa dan menatapnya dengan serius.
“Dengar,
dia hanya terkejut dengan berita kehamilanku. Itu saja. Dia hanya sedang emosi.
Aku yakin ia akan meminta maaf. Tadi itu bukan Caitlin. Pasti ada sesuatu
merasukinya,”
“Ya,
setan Caitlin, mungkin,” senyumannyanya mulai terlihat. Aku tertawa pelan dan
menggelengkan kepalaku.
“Ya,
mungkin. Tapi besok ia akan menjadi malaikat Caitlin, yakin Justin. Dia bukan
Caitlin, dia hanya emosi,” aku mengelus pipinya dengan ibu jariku. Ia
memejamkan matanya, merasakan kelembutan jariku dan menganggukan kepalaku.
“Aku
hanya tidak ingin mendengar sesuatu yang buruk tentangmu dari orang lain.
Karena mereka tidak tahu apa yang mereka bicarakan,” ucapnya tak ingin
menyelesaikan perdebatan ini. Aku mendesah pelan dan menarik tanganku dari wajahnya.
“Justin,
sudah. Aku lelah sekali, apa kau ingin membuatkanku susu? Kasihan bayimu,
haus,” ucapku mengalihkan perhatiannya. Ia menganggukan kepalanya dengan penuh
semangat.
“Bayi
kita.” Ia membenarkan dan menarik wajahku lalu mengecup bibirku dengan lembut
dan melepaskannya. Kakinya melangkah keluar dari ruang tamu menuju dapur.
Senyumku
surut saat ia sudah sibuk dengan pekerjaannya. Oh, besok apa yang akan terjadi
Tuhan? Karena aku sangat tidak ingin Caitlin benar-benar berubah. Kuharap tadi
itu hanyalah emosi semata dan tidak serius. Karena sangat hatiku sangat sakit
saat Caitlin menghinaku dengan kata ‘pelacur’. Setan Caitlin. Aku terkekeh
pelan.
:)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar