Jumat, 26 Juli 2013

Deep Bab 5

***

            “Bayi kalian sehat sekali. Saya tidak mengira akan sesehat ini,” ucap dokter lelaki yang berada di depanku dan Justin. Ini adalah bulan ke lima kehamilanku. Dan serius, perutku semakin membesar. Senyum Justin mengembang dengan manisnya. Justin tampak bahagia dengan perkataan-perkataan yang selalu keluar dari mulut dokter. Maksudku, tentu saja. Dokter ini tidak pernah melihat suatu gejala pada bayiku. Yang artinya bayiku selalu sehat dan Justin sebagai calon ayahnya, bahagia.
            “Dan, bagaimana dengan berat badan istriku?” tanya Justin yang tidak mengejutkanku. Ia memang selalu seperti itu pada orang-orang di sekitar. Kami belum menikah namun ia selalu memanggilku sebagai istrinya. Memang, ia telah bertunangan denganku tanpa memberitahu orangtuanya dan orangtuaku. Jadi, kami lebih terlihat seperti suami-istri.
            “Oh, dia baik-baik saja. Bahkan ia tidak seperti kebanyakan ibu-ibu hamil pada umumnya. Berat badannya tidak melonjak naik. Dia sangat pintar menjaga tubuhnya,” goda dokter padaku. Aku hanya tersenyum malu-malu pada dokter. Justin melirikku dan senyumnya surut begitu. Ada apa? Oh, sial! Justin akan memarahiku sesudah ini. Meski aku tidak yakin di mana letak kesalahanku.
            “Kalau begitu, kami permisi. Terima kasih, dokter,” ujar Justin berdiri dari tempat duduknya dan menjabat tangan dokter kandunganku. Tangan Justin menarik tanganku untuk berdiri dengan pelan. Ia membantuku berjalan keluar dari ruangan ini. Sial! Kenapa Justin sekarang terlihat seperti berjalan dengan anak berumur 3 tahun yang baru bisa berjalan?
            “Jangan pernah berpikir aku akan bersikap manis karena tadi,” bisiknya tepat di telingaku. Mataku membulat begitu saja. Dan pikiranku melayang ke mana-mana. Apa yang akan ia lakukan padaku? Memarahiku setelah sampai di rumah? Membiarkanku tidur sendirian di kamar?  Atau ia tidak memanjakanku? Oh, jangan sampai itu terjadi.
            Kami sudah keluar dari rumah dokter kandungan khususku. Justin mengeluarkan kunci mobilnya dan membuka pintu mobil lalu dengan pelan ia membawaku masuk ke dalam mobil. Oh, sungguh, aku tidak menginginkan pertengkaran sekarang. Padahal baru tadi aku mendapatkan kabar gembira. Mengapa ia bisa sekali merusak perasaanku dalam hitungan menit? Itu sungguh rumit.
            Ah yeah, aku hampir lupa dengan kalian. Sudah lama beberapa lama ini Justin bekerja menjadi manajer di supermarketnya. Pangkatnya dinaikan. Aku bahagia dengan itu. Orangtuanya masih belum mengetahui kehamilanku. Hebat, bukan? Tentu saja. Mereka masih sibuk dengan pekerjaan mereka. Soal Caitlin dan Zayn. Mereka menjaga jarak denganku dan Justin. Mungkin memang kami berbicara, tapi kami sudah tidak mengadakan ritual-ritual yang biasa kami lakukan. Tidak ada yang namanya bermain atau menginap di rumah sahabat. Caitlin tampak begitu depresi setelah kejadian beberapa bulan itu. Dan Zayn, dia memang masih berbicara denganku dan dekat denganku. Namun dengan Justin? Aku tidak tahu. Mereka tidak berbicara.
            “Apa yang kaupikirkan?” tanya Justin saat ia sudah menjalankan mobil ini. Membaur dengan mobil-mobil yang berada di jalan. Aku menoleh ke arahnya. Rahang bawahnya menegang, menahan kemarahan. Kenapa dia?
            “Caitlin dan Zayn,”
            “Jangan pernah memikirkan mereka lagi. Kau tahu mengapa aku seperti ini padamu, Mrs. Bieber?” tanya Justin yang membuatku sedikit terkejut dengan perkataannya. Mrs. Bieber? Oh, baiklah. Itu juga tidak apa-apa. Aku menelan ludahku dan mencari kata-kata yang pas untuk kukatakan. Tapi tidak ada.
            “Tidak,” jawabku dengan suara yang kecil.
            “Sudah kuduga,” ia berkata dengan dingin, “apa tadi kau baru saja tersenyum malu-malu di depan Dr. Hall? Kau tahu, aku sangat tidak menyukai kegenitanmu terhadap lelaki lain selain padaku,” tambahnya.
            Seorang Justin Bieber cemburu pada dokter kandungan? Astaga! Ini sudah yang kesekian kalinya aku datang pada Dr. Hall dan sekarang dia marah hanya karena aku tersenyum malu-malu pada Dr. Hall? Bunuh aku, tolong? Sial! Dia bereaksi terlalu berlebihan. Padahal dia sudah berkali-kali melihatku tersentuh oleh Dr. Hall. Dan dia cemburu dengan alasan yang tidak masuk akal? Aku bahkan tidak ada niatan untuk bersikap genit di depan Dr. Hall! Itu perbuatan  terendah yang pernah kulakukan. Bersikap genit? Aku tidak pernah melakukan sikap genitku pada lelaki lain selain Justin. Oh, astaga. Justin, sayang, aku tidak pernah berpikir kau akan cemburu seperti ini.
            “Deep,” ia memanggil namaku.
            “Maaf Justin. Tapi aku tidak pernah ada niatan untuk melakukan hal itu. Tapi dia memujiku, aku wanita. Bersikap malu seperti tadi adalah wajar,” aku membela diriku. Dia terkekeh dan memutar setir mobilnya untuk belok ke sebelah kanan. Mataku tidak beralih dari wajahnya itu. Kau tahu, Justin sudah memiliki bulu-bulu halus di sekitar dagunya dan aku tidak menyukainya. Hanya saja, aku belum memberitahunya untuk mencukur rambut tipis di dagunya itu.
            “Begitukah? Baiklah, aku mengerti. Tapi aku sudah terlanjur cemburu, jadi bagaimana sekarang?” tanyanya tampak menggodaku. Aku mengeluh pelan. Dia ingin aku menciumnya sekarang. Tapi ia sedang menyetir. “Kita bisa berhenti di pinggir jalan,”
            “Tidak. Tidak perlu. Sebentar lagi kita akan sampai Justin. Tolong Justin, aku tahu kau ingin mendapatkan ciuman yang lebih dari pada biasanya. Tapi sungguh Justin, kau membuat bayi yang berada di perutku mual. Serius,” aku berkata dengan  suara yang pelan.
            “Tidak menciumku atau aku akan meninggalkanmu selama satu minggu di rumah?” tanya Justin dengan nada yang serius. Sial! Aku tahu ia sangat bersungguh-sungguh dengan perkataannya. Dia akan tinggal di hotel atau semacamnya. Astaga, mengapa kekasihku sangat seperti anak kecil?
            “Baiklah, di rumah. Tidak menggerayangi, Justin,” memperingatinya. Ia tersenyum puas dan bangga. Dia menang, lagi. Bagaimana bisa aku menolak lelaki seperti Justin? Ia tidak dapat kutolak.
            “Bagus.”                                                   

****

            “Oh, sial!” teriak Justin saat ponselnya tiba-tiba saja berbunyi. Padahal bibir kami hampir saja bersentuhan. Aku juga sudah memejamkan mataku. Tapi, yah, ponselnya mengganggu kami. Justin meraih ponselnya yang berada di dalam kantong celananya dan langsung mengangkat telepon ponselnya itu.
            “Apa itu?” tanya Justin dengan suara yang sabar. Napasnya naik-turun tak beraturan. Dia tampak begitu kesal. Astaga, Justin. Kau sangat berlebihan. Apa yang terjadi denganmu, sayang? Kau tidak pernah memberitahuku apa yang terjadi padamu. Justin tampaknya tidak suka sekali jika aku bertanya apa yang terjadi dengannya. Ia terus menggumam dan berdiri dari sofa yang kami duduki.
            Oh, pasti pekerjaannya lagi. Mengapa sepertinya rumit sekali pekerjaannya? Ya, tanggungjawabnya sangat besar dan dia harus mengatur segala sesuatu di supermarket itu. Ah, ya. Aku jadi ingat dengan Avan. Lelaki itu. Dia masih saja mencoba untuk menarik perhatianku. Sialnya, besok aku harus pergi bekerja lagi. Dengan malunya aku harus datang dengan pakaian ibu hamil. Tapi entahlah, bukankah aku sudah terlihat seperti ibu-ibu? Avan seharusnya sudah bisa menjauh dariku. Maksudku, kau tahu, aku sudah berbadan dua dan aku sudah tidak menarik lagi. Tapi Avan? Dia masih saja mencoba untuk mendekatiku. Padahal aku sudah bilang padanya kalau aku telah memiliki pacar. Tapi terserahlah. Aku tidak pernah mencoba untuk menarik perhatiannya. Jika ia menyukaiku, aku bisa apa? Membuatnya membenciku? Bagaimana? Aku sudah hamil dan dia tidak membenciku, aneh.
            Tiba-tiba ponselku berdering. Aku terkesiap dan mengambil ponselku yang kutaruh di atas meja ruang tamu. Zayn. Tumben sekali dia menghubungiku. Kuraih ponselku dan langsung mengangkatnya. Sesaat aku melirik Justin yang masih berbicara dengan ponselnya di dekat jendela. Ia tampak sibuk.
            “Ya?” aku bersuara dan berdiri dari sofa. Menjauh dari Justin mungkin lebih baik. Kulangkahkan kakiku menuju dapur. Dari ponsel aku bisa mendengar suara musik yang sangat keras. Di mana dia? Suara tawaan wanita juga terdengar juga. Oh, astaga. Apa lagi sekarang? Bisakah aku tenang dalam jangka waktu yang lama?
            “Deep, sayang, apa kabar?” tanyanya tertawa-tawa tak jelas. Mataku melebar dan menatap ke arah pisau yang tersusun rapi di dalam sebuah balok. Sekarang aku berniat untuk mengambil pisau itu dan datang ke tempat Zayn berada lalu menusuknya sekarang. Aku bersyukur pada Tuhan karena biarpun aku melewati masa-masa ini bayiku masih sehat dan aku tidak depresi karena ini.
            “Zayn, apa yang kaulakukan? Kau ada di mana?” tanyaku dengan was-was. Ia tertawa lagi.
            “Ssh, jangan seperti itu Deep. Aku baik-baik saja di sini. Oh, astaga Deep. Bagaimana keadaan bayimu? Apa kau sudah tahu jenis kelamin anakmu?” tanya Zayn tertawa-tawa lagi. Dia mabuk dan sekarang ia bersama dengan wanita-wanita nakal. Sial kau Zayn! Aku sangat ingin menemuinya sekarang. Tapi tentu saja aku tidak bisa.
            “Zayn, kau di mana? Biar aku jemput kau pulang,” aku bertindak konyol dan aku meminta pertengkaran dengan Justin. Bagus.
            Tiba-tiba Justin menarik ponsel yang berada di tanganku dan membantingnya ke lantai. Ponselku hancur berkeping-keping. Mataku langsung melihat ke arah Justin yang terlihat begitu marah. Apa haruskah dia semarah itu padaku? Aku terkejut setengah mati akan perbuatan yang sangat agresif itu.
            “Apa yang dia katakan?” tanya Justin dengan penuh kebencian di setiap nadanya. Aku menyentuh lengannya yang besar itu.
            “Justin, kumohon jangan marah padaku. Tapi, Zayn. Dia sedang berada dalam masalah,”
            “Apa itu?”
            “Dia sedang mabuk dan aku takut jika tidak ada orang yang bisa menemaninya pulang,” ucapku dengan suara yang pelan. Mata Justin masih berapi-api, ia tampak marah sekali. Tapi aku tidak bisa meredakannya begitu saja. Mencium bibirnya tidak cukup. Dia justru akan semakin marah jika aku memperlakukannya seperti itu.
            “Berhenti untuk bersikap baik padanya Deep! Aku benci dia! Dia telah …dia telah ..” suaranya menghilang, tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia tampak begitu benci dengan Zayn. Matanya mulai berkaca-kaca. Aku khawatir dengan Justin.
            “Dia telah apa, Justin?” tanyaku berhati-hati dan meremas pundaknya dengan lembut. Justin menatapku tepat pada mataku. Aku terbakar sekarang. Terbakar dalam artian yang buruk dan aku tidak menyukainya. Ia menepis tanganku yang berada di lengannya dan menggebrakan meja makan yang berada di sampingnya.
            “Dia telah memperkosa adikku, Deep!” teriaknya yang membuatku terkejut setengah mati.
            “Tidak,”
            “Ya! Jelas dia melakukannya! Dia bajingan dan aku tidak ingin kau berdekatan dengannya. Adikku terlalu bodoh untuk mencariku di rumah Zayn dan aku bahkan tidak tahu mengapa ia bisa pergi ke rumah Zayn. Kau tahu seberapa besar cintaku pada adikku? Sebesar ini!” ia merentangkan tangannya, “aku tidak akan pernah memaafkannya atas kesalahan itu,”
            Air mataku mulai mengalir di melintasi pipiku. Perasaanku hancur berkeping-keping. Perutku rasanya lebih penuh dari pada biasanya. Otakku tak bisa berpikir. Buntu, lebih tepatnya. Amarah melingkupiku. Zayn, apa yang telah ia lakukan pada Jazzy kecil milik Justin-ku? Napas Justin tak beraturan dan semuanya terdengar lebih masuk akal.
            Kepalaku mulai berpikir dan kembali mengingat apa yang telah terjadi. Dan semuanya terputar. Aku ingat saat Justin begitu senang, malam tahun baru ia tampak menikmati apa yang telah terjadi. Tidak denganku –sebelum melakukan hubungan itu. Dia memang tidak memberitahuku tentang kedatangan adiknya. Tapi, mungkin karena adiknya akan datang ke Atlanta membuatnya senang. Ia memang mencintai adiknya lebih dari siapa pun. Entahlah, mungkin ia lebih menyayangi adiknya daripada aku. Mungkin, aku tidak yakin juga. Dan semua terlihat masuk akal. Beberapa hari setelah aku memberitahu kalau aku hamil, sikap Justin tidak begitu dekat Zayn. Astaga, ini sangat benar dan aku ..tidak bisa berkata-kata. Sekarang aku mengerti mengapa Justin selalu memanas-manasi Justin. Aku tahu mengapa Justin sengaja memberitahu kalau aku hamil. Dia pasti menyinggung tentang perkosaan Zayn terhadap adiknya. Pasti Justin berpikir kalau adiknya akan hamil sepertiku. Astaga. Ini sangat jelas.
            “Tolong jangan menangis,” pinta Justin mendekatiku dan memelukku. Ibu jarinya menghapus air mataku yang melintas di pipiku. Aku tidak bisa menahan emosi yang berada di benakku Justin.
            “Tapi, Justin. Dia telah memperkosa adikmu dan aku tidak habis pikir,”
            “Sekarang kau tahu mengapa aku seperti ini, Deep,” balasnya langsung dan memelukku dengan hangat. Aku menganggukan kepalaku dan air mataku terserap oleh kaos hitam yang ia pakai.
            “Jangan pernah mencoba untuk mendekatinya, Deep,” pinta Justin padaku. Aku tidak tahu apa yang harus kupilih sekarang. Zayn, astaga, aku menyayanginya. Tapi rasa simpatikku terhadapnya berkurang. Dia telah memperkosa adik kekasihku disaat beberapa hari setelah tahun baru dan ..aku tidak pernah tahu itu. Sial! Aku benci perasaan ini.
            “Janji padaku, Deep,” paksa Justin lagi. Baiklah, aku mengerti. Dia kekasihku dan aku tidak ingin menjadi kekasih yang jahat baginya. Aku menganggukan kepalaku.
            “Ya, tentu saja, Justin. Apa pun.” Aku mengeluarkan suara yang parau.


****

            “Selamat pagi, Deep,” sapa Avan saat aku baru saja tiba di tempat kerjaku. Ia memainkan alisnya dan membuatku semakin sensitif terhadapnya. Ini efek kejadian tadi malam. Ingin sekali aku berkata kasar padanya, tapi aku tahu dia adalah atasanku dan aku mencintai pekerjaanku –meski hanya beberapa novel yang aku suka. Aku mencoba untuk tersenyum padanya.
            “Ada apa?” tanyanya tampak tahu ada beban dalam diriku. Ia berusaha untuk terlihat perhatian padaku dan itu tidak berhasil, Mr. Jogia.
            “Kau tampak tampan hari ini, Avan,” ucapku memujinya. Lidahku sekarang minta digilas. Astaga, apa aku baru saja mengatakan itu? Untung saja, Justin tidak berada di sebelahku. Mungkin Justin sudah marah sekali denganku. Atau yang lebih parah, Justin tidak akan menawariku pilihan. Ia pasti sudah kabur dari rumah dan tidak akan kembali selama 1 bulan. Oh, baiklah. Sekarang aku yang berekasi berlebihan.
            “Terima kasih, begitu juga denganmu, Deep. Kau sangat senang hari ini,”
            TOLOL! Pantas sampai sekarang tidak ada wanita yang ingin dekat dengannya. Kepekaannya mungkin tipis sekali karena lensa matanya memiliki tebal yang setara dengan kulit kudanil. Butakah dia ? Sudah jelas-jelas aku berpura-pura tersenyum padanya dan aku tidak sedang dalam suasanaku yang baik. Kalau Justin, mungkin dia akan memelukku dan bertanya apa yang terjadi.
            “Ya, terima kasih Avan. Sekarang, biarkan aku menyelesaikan pekerjaanku yang sudah menungguku,” ucapku dengan nada suara yang dibuat-buat berseri. Wanita memang pandai sekali menutupi rasa sedihnya. Ya, seperti aku.
            “Baik, Deep. Aku tinggalkan kau, tidak apa-apa bukan?” tanyanya menggodaku.
            “Oh, jika kau ingin tetap tinggal, tidak apa-apa,” kataku dengan nada yang begitu palsu. Padahal dalam hati: Pergi kau setan!
            “Maaf, Deep. Aku juga memiliki pekerjaan yang menumpuk. Semoga harimu menyenangkan,” ucapnya dengan senyum lalu melengos pergi dari hadapanku.

            Aku menghembuskan napasku dengan lega. Pikiranku melayang menuju Caitlin. Aku ingin bertemu dengannya dan menanyakan keadaannya. Atau siapa tahu, Caitlin tahu tentang masalah adik Justin. Oh, Zayn. Kenapa dia terdengar begitu bejat? Adik dari sahabatnya sendiri? Tolonglah aku, Tuhan! Aku sudah menganggap adik Justin adalah adikku. Meski aku baru beberapa kali bertemu dengannya. Ia gadis yang sangat manis. Dan cantik. Umurnya sudah menginjak 15 tahun dan dia adalah remaja yang manis. Tapi Zayn? Aku juga ingin tahu keadaan adik Justin sekarang bagaimana.
            Kuraih ponselku dan mencari nomor telepon Caitin. Kuhubungi Caitlin. Ponsel yang berada di tanganku, kudekatkan pada telingaku. Butuh beberapa detik untuk menunggu jawabannya.
            “Ya?” tanyanya dengan suara yang ..parau? Kuharap ia tidak habis menangis.
            “Hei, Caitlin. Apa kabar?”
            “Aku baik-baik saja. Ada apa kau menelponku?” tanyanya dengan nada yang lebih baik dan ramah dari pada terakhir kali aku berbicara dengannya. Butuh beberapa bulan untuk menstabilkan keadaan Caitin. Dan aku harus mengorbankan perasaanku demi perasaan Caitlin. Justin harus datang mengunjungi Caitlin dan terus memperlurus masalah yang belum terselesaikan. Kau tahu, Caitlin mencintai Justin.
            “Aku hanya ingin bertemu denganmu malam ini. Di rumah Justin, mungkin?” tanyaku tanpa ada ragu sedikitpun.  Kudengar ia menghela napasnya, mulutnya terbuka.
            “Ya, tentu,”
            “Terima kasih, Cait. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan.” ucapku langsung mematikan ponselku. Kutaruh ponselku dengan kasar. Apa akan seperti ini terus selamanya? Aku tidak tahu. Dan aku hanya bisa berharap agar perasaan Zayn, Caitlin, maupun Avan akan berubah. Secepat mungkin.

***

            “Justin, jangan main-main!” aku tertawa-tawa saat ia menutup mataku dan mengajakku ke suatu tempat. Kenapa laki-laki ini suka sekali memberikanku kejutan? Aku benci kejutan. Secara keseluruhan, aku takut kejutan yang diberikan adalah kejutan terburuk dalam hidupku. Kau tahu maksudku, seperti Zayn memperkosa adik Justin. Dan mobil yang ia bawa terus berjalan. Entah ia akan membawaku ke mana. Hanya musik rapp yang terputar sekarang. Aku tahu Justin tersenyum senang karena ia tahu jantungku sekarang berdetak 100 kali lebih cepat dari pada biasanya. Atau bisa kusimpulkan kalau jantungku akan meledak.
            Tiba-tiba mobil ini berhenti. Tubuhku tersentak begitu saja. Justin membuka pintu mobilnya dan dalam beberapa detik ia membuka pintu mobilku. Tangannya menarik tanganku dan aku bisa merasakan gerakannya yang begitu hati-hati saat aku keluar dari mobil dan pelan-pelan ia menutup pintu mobilnya. Terdengar raungan gas mobil di jalanan. Sebenarnya kita akan ke mana? Gelap sekali di sini. Ia menutup mataku dengan kain berwarna hitam.
            “Jalan pelan-pelan,” ucapnya dengan perhatian. Aku menganggukan kepalaku dan kami mulai memasuki sebuah gedung. Entahlah, pintu gedung ini tertutup dan tidak ada suara.
            “Aku akan sangat mengejutkanmu sekarang,” ucapnya berbisik tepat di telinga.
            “Justin, jangan membuatku ketakutan,” ujarku dengan ragu. Aku takut sekali.
            “Jangan buka matamu sebelum aku menyuruhmu, mengerti?” tanyanya yang berdiri di depanku. Aku memegang lengannya dengan erat dan menganggukan kepalaku. Tiba-tiba ia membuka kain hitam yang berada di sekeliling kepalaku. Mataku masih terpejam.
            “Sekarang buka,” perintahnya padaku.

            Aku perlahan membuka mataku. APA-APAAN INI?! Aku menjerit dalam hati. Air mataku membendung begitu saja. Sudut-sudut bibirku melengkung ke atas, menghasil senyuman haru di sini. Aku bisa melihat orangtuaku, adik-adikku, orangtua Justin dan adik-adik Justin. Astaga, keluarga Bieber dan Newman berada di sini. Berdiri sejajar dalam sebuah restoran yang bisa kubilang mewah sekali. Ini restoran Prancis yang pernah kudatangi dengan Justin. Air mataku turun begitu saja. Ini kejutan terbaik yang pernah kudapatkan.
            Beberapa detik kemudian Justin bersujud di depanku. Ia mengambil sesuatu dari kantong celananya. Sebuah kotak merah dan ia membukanya di depanku. Aku menutup mulutku, tak percaya.
            “Morgan Deep Newman, maukah kau mencintaiku, hidup bersamaku, dan berbagi kehidupan bersamaku dari sisa hidupmu?” tanya Justin memohon padaku. Aku menatap matanya dan beralih pada orangtuaku. Ibuku menganggukan kepalanya.
            “Tentu saja Justin,” ucapku dengan rasa penuh kebahagiaan. Air mataku semakin menderas. Justin memasangkan cincin itu ke dalam jari manisku lalu ia berdiri dan memelukku.
            “Aku mencintaimu, Deep,”
            “Begitu juga aku.”

****

            Tubuhnya tampak lebih kurus dari pada saat terakhir kali aku bertemu dengannya. Rambutnya memang tampak rapi dengan bandana yang berada di kepalanya. Pakaian yang ia pakai sangat tertutup. Penampilan memang dapat menipu. Pancaran mata yang ia perlihatkan menyiratkan suatu ketakutan yang mendalam dan traumatis yang tak dapat disembuhkan. Jazzy kecil yang malang, mengapa Zayn tega sekali melakukan itu pada adik Justin? Ia terduduk di atas sofa milik Justin, berhadapan denganku dan Justin yang berada di sampingku. Caitlin tampak begitu perhatian dengan Jazzy di sebelahnya. Caitlin sepenuhnya tahu apa yang terjadi dengan Jazzy. Dan, aku? Aku tidak tahu apa-apa sebelum Justin menceritakan semuanya padaku.
            Saat malam tahun baru, Justin meminta Jazzy untuk datang ke rumah Justin dan menginap beberapa hari di sana. Jazzy akan datang ke rumah Justin 3 hari setelah malam tahun baru. Dan aku sangat bisa melihat wajah Justin yang berseri. Aku sangat ingat saat 3 hari itu Justin masih berada dalam sikapnya yang wajar. Kau tahu maksudku bukan? Seperti saat aku memberitahu kalau aku hamil, Justin masih bertindak acuh dan tidak seserius sekarang. Di hari ketiga setelah tahun baru itu, Jazzy datang ke rumah Zayn. Katanya, Jazzy tidak dapat menemukan Justin di rumah. Tentu saja, Justin sudah mendapatkan pekerjaan dan aku juga sedang bekerja. Jadi, Jazzy lebih memilih pergi ke rumah Zayn. Ya, aku ingat saat pertama kali aku bertemu dengan Jazzy, kami berkenalan di rumah Zayn. Jelas sekali Jazzy tahu rumah Zayn. Lalu semuanya terjadi. Sehari setelah itu tidak ada tanda kedatangan Jazzy ke rumah Justin dan sikap Justin mulai berubah. Ia lebih serius, overprotectif, dan was-was.
            Hari itu aku ingat Justin membawaku pergi ke restoran dan semuanya terlihat jelas sekali. Ia tampak berwibawa, serius dan tidak berbasa-basi. Dan pulang ke rumah Zayn dengan tampang yang tak peduli dengan Zayn. Membuat susu sembarangan di rumah Zayn, padahal ia menginginkan aku tidak memberitahu tentang kehamilan. Dan kejujurannya saat ia bilang pada Zayn kalau aku hamil. Aku sangat yakin, Justin sedang menyinggung Zayn. Lalu Justin bilang, dia milikku. Oh, Tuhan. Semua ini tampak menyeramkan dan aku tidak tahu apa yang harus kulakukan pada Zayn.
            Dia lelaki yang baik selama ini. Tapi perlakuannya terhadap adik Justin?
            “Deep,” panggil Justin dengan suara yang lembut. Keheningan memang terus menerus melingkupi kami selama beberapa menit terakhir. Setelah Caitlin menceritakan semuanya tanpa emosi. Kau tahu tujuanku memanggil Caitlin adalah supaya ia dapat menceritakan tentang kejadian ini tanpa ada hinaan sedikitpun. Aku bisa memprediksi, jika Justin yang bercerita pasti ia akan larut dalam emosinya.
            “Apa yang kaupikirkan?” tanya Justin perhatian. Kuangkat kedua bahuku, tidak tahu. Aku tidak tahu apa yang kupikirkan selain prihatin.
            “Apa kau sudah membawanya ke psikiater?” tanyaku menatap Jazzy yang murung. Caitlin yang berada di sebelahnya terus mengelus lengan Jazzy dengan perhatian. Mata Caitlin melebar saat aku bertanya seperti itu dan sedetik kemudian ia menganggukan kepalanya.
            “Tak ada yang perlu kau khawatirkan. Semuanya baik-baik saja,” kata Caitlin dengan suara yang lembut. Ia menyelipkan rambut Jazzy ke belakang telinganya.
            “Jazzy,” aku memanggil Jazzy, tapi tentu saja ia tidak mendongakan kepalanya. “Apa yang kau rasakan sekarang?”
            “Kepahitan,” bisiknya dengan suara yang kecil. Mataku beralih pada Justin, wajah Justin tampak memerah. Ingin menangis namun ia menahannya. Rahang bawahnya menegang. Dengan pelan aku menjulurkan tanganku pada bahu Justin dan mengelusnya dengan pelan.
            “Aku mengerti,” bisikku, tangan Justin memegang tangan yang berada di perutku, “Jazzy, apa kau ingin tinggal bersama kami?” tanyaku kelewat batas. Sial! Aku yakin Justin pasti akan memarahiku karena tawaran ini. Tentu saja! Karena Zayn masih berada di sekitar kami dan ..aduh, mengapa aku tolol sekali?!
            Jazzy mendongakan kepalanya. Aku bisa melihat di sekitar bola matanya, kantong mata yang berwarna hitam. Pasti ia sering sekali menangis. Namun, dengan manisnya ia tersenyum dan menganggukan kepalanya. Justin menarik tanganku untuk berdiri dari sofa dan menarikku untuk menjauh dari mereka. Ia membawaku ke taman belakang. Aku tahu itu. Ia pasti marah besar padaku. Tangannya menutup pintu rumah belakang dan kulihat ia memerah.
            “Apa kau tahu apa yang baru saja kaulakukan?” tanya Justin, sabar. Kuanggukan kepalaku.
            “Apa alasanmu memintanya tinggal bersama kita?” tanyanya lagi.
            “Justin, adikmu butuh kegiatan. Apa kau tidak tega melihatnya meratapi kehidupannya yang sudah hancur itu di dalam kamarnya? Aku tidak ingin ia menjadi gila. Ini tidak berbahaya. Ia bisa merawatku dan mungkin, susu buatannya akan lebih enak daripada buatanmu,” aku mengejek.
            “Jadi selama ini susu yang kubuat tidak enak? Sial!” katanya menatap pada tumbuhan-tumbuhan yang berada di sekitar kami. Kembali matanya menatapku, ia mendesah pelan. Apa yang sedang ia bicarakan?
            “Kami akan membawanya ke tempat rehabilitas,” balas Justin kembali ke dalam topik pembicaraan. Mataku membulat.
            “Tidak,”
            “Kenapa?” tuntutnya.
            “Itu ..Justin. Kumohon kali ini saja. Aku ingin mengenalnya lebih baik dan mungkin aku bisa membantunya untuk melupakan trauma yang ia rasakan. Sangat jahat jika aku tidak melakukan itu. Apa kau ingin ia takut kepada lelaki di Amerika ini selain denganmu dan ayahmu? Itu konyol, Justin,” jelasku panjang lebar.
            Hening. Ini sudah keputusanku. Jazzy memang harus ikut denganku. Aku bisa menjaganya menjauh dari Zayn –meski secara teknis Zayn berada di sekitar sini. Tapi setidaknya ia akan memiliki pekerjaan di sini. Kegiatan. Sekolah? Kita bisa memanggil guru privat. Sangat menyenangkan jika aku bisa mengenal anak remaja itu berada di rumah ini.
            “Baiklah. Jika itu maumu, maka jadilah. Senang sekarang, Mrs. Bieber?” tanyanya pasrah. Kedua tangannya dengan lesu menggantung di sebelah tubuhnya. Matanya terpejam dan beberapa detik kemudian terbuka. Lebih terang warnanya, sekarang. Kupeluk tubuhnya dengan erat, tanpa menyakiti bayi yang berada di dalam perutku.
            “Ya, terima kasih Justin.”


****
           
            Aku akan menikah dengan Justin setelah aku melahirkan. Masih lama sekali. 5 bulan lagi dan selama waktu panjang itu aku dan Justin akan menjadi sibuk. Pernikahan kami tidak akan melibatkan kerabat-kerabat orangtua Justin atau orangtuaku. Hanya kerabatku dan Justin. Sederhana sekali, bukan? Tidak meriah dan aku tidak peduli. Aku hanya ingin Justin berada dalam posisi di mana ia akan menjadi suamiku. Orangtuaku tidak marah dengan apa yang Justin perbuat padaku. Padahal Justin telah menghamiliku. Alasan yang ibuku berikan saat ia mengizinkanku untuk menikah dengan Justin adalah Justin adalah orang yang bertanggungjawab. ITU SALAH BESAR! Aku ingin mati saat ibuku bilang seperti itu padaku. Mungkin, ya. Tapi tidak, itu tidak sangat benar. Well, mungkin aku memang tidak meminta pernikahan padanya, aku hanya ingin ia bertanggungjawab atas kehamilanku. Tapi akhirnya, ia menikahiku. Justin sangat tidak mudah ditebak, akhir-akhir ini.
            Aku menyalakan komputer yang belum kunyalakan dari tadi. Padahal aku telah berada di kantor 5 menit yang lalu. Ponselku berdering. Selalu saja seperti itu. Ponselku akan berdering atau aku akan menghubungi seseorang. Apa siklus kehidupanku akan seperti ini? Aku tidak tahu. Dari Zayn. Apa aku harus mengangkatnya? Mungkin.
            Aku menekan tombol terima dan mendekatkan ponsel pada telingaku.
            “Hai,” sapanya saat aku mengangkatnya.
            “Hei,”
            “Bagaimana kabarmu, Deep? Bagaimana dengan bayimu?” tanyanya dengan suara yang tampak dibuat bahagia. Mengapa ia sering sekali bertanya tentang keadaan bayiku? Bukankah dia seharusnya muak? Maksudku, dia tidak menyukai kehamilanku.
            “Aku baik-baik saja,”
“Deep, kumohon maafkan aku,” suaranya tampak suram. Mataku membulat. Sebenarnya, apa yang ingin ia bicarakan padaku?
            “Zayn, apa yang kau sesalkan?” tanyaku dengan suara yang prihatin. Mengapa aku harus dijadikan menjadi orang yang mudah sekali luluh?! Sial!
            “Aku tahu, kau sudah tahu apa yang kubicarakan. Aku sungguh minta maaf,”
            “Kenapa aku? Kau salah orang Zayn,”
            “Aku memang pengecut, Deep. Apa kau ingin menemuiku siang ini? Aku akan menjemputmu,”
            Sial, mengapa aku berada di posisi yang tidak kuinginkan? Di satu sisi aku ingin memenuhi janjiku pada Justin. Tapi aku juga ingin bertemu dengan Zayn dan membicarakan masalahnya dengan Zayn.
            “Baiklah,” kata itu adalah kata terburuk yang pernah kukatakan selama kehidupanku.
            “Bagus, sampai bertemu saat makan siang, Deep.” Dapat kupastikan ia sedang tersenyum. Ia menutup teleponnya. Kulirik jam dinding yang berada di tembok. Baru jam 08.30. Aku masih punya waktu yang banyak untuk mencari kata-kata yang baik untuk kukatakan nanti. Kugelengkan kepalaku dan menatap layar monitor yang sudah menyala. Jazzy, astaga. Remaja yang malang.


----

            Kuhantarkan kakiku untuk keluar dari gedung perusahaanku. Sudah jam makan dan aku harus pergi ke restoran yang sudah Zayn beritahu padaku. Tidak jauh dari sini. Kuerat jaket tipis yang kupakai. Sebenarnya, aku tidak memakai pakaian ibu hamil. Karena pakaian ibu hamil sangat besar dan longgar untuk tubuhku. Aku hanya memakai gaun sependek lutut namun tentu saja perutku yang besar ini tidak akan tertutupi. Ini musim semi dan sangat sejuk. Atlanta tampak lebih segar dari pada biasanya. Mungkin kendaraan di sekitar sini tidak begitu banyak.
            “Deep!” teriak seorang wanita dari belakang. Sontak aku menghentikan langkahanku dan membalikan tubuhku. Caitlin? Apa yang ia lakukan di siang seperti ini? Bukankah seharusnya ia berada di butiknya? Aku tidak tahu.
            “Deep,” ia menghampiriku dengan napas yang tak beraturan. Pakaiannya benar-benar modis. Memang dia sangat cocok menjadi desainer dan pemilik butik. Mungkin jika orang asing melihatnya akan berpikiran kalau Caitlin masih 20 tahun ke bawah dan tidak memiliki pekerjaan, atau paling tidak mereka akan berpikir kalau Caitlin adalah seorang mahasiswi yang magang di suatu tempat kerja.
            “Jangan lakukan itu,” pintanya saat napasnya mulai tertatur. Apa maksudnya?
            “Jangan temui Zayn. Aku tahu itu dari Justin. Justin sedang tidak bisa menemuimu sekarang, jadi dia memintaku untuk melarangmu pergi bertemu dengan Zayn,”
            “Mengapa?”
            “Kau tahu itu, Deep,” ia menyentuhkan tangannya pada pundakku, “tolong bantu aku. Jangan temui Zayn,”
            “Tapi ia ingin menemuiku untuk membicarakan tentang Jazzy,”
            “Deep, kau tidak perlu melakukan itu. Itu hanya membuat Justin marah padamu. Tentang Jazzy, masalah itu sudah selesai. Kau bisa merawat Jazzy di rumah, Deep. Ia bisa mengatasi semuanya. Tapi Zayn? Jangan bertemu dengannya, Deep. Aku tidak tahu apa yang Zayn pikirkan, tapi aku rasa ia memiliki niat jahat padamu,” jelasnya panjang-lebar. Tangannya masih berada pada pundakku. Niat jahat? Tapi, bukankah Zayn selalu ingin membantuku? Maksudku, dia tidak mungkin mencari masalah padaku.
            “Apa itu?” tanyaku dengan penasaran. Angin yang dingin mulai menusuk tulang-tulangku. Kami mulai menepi di dekat sebuah toko kue. Rambut Caitlin berkibaran tak  jelas. Astaga, rambutnya indah sekali. Pantas sebelumnya Justin bisa menyukainya, aku baru menyadari hal itu. Dulu rambutnya lurus sekali, tapi sekarang? Gelombang rambutnya yang berwarna cokelatnya terlihat sangat indah.
            “Dia ingin menggugurkan kandunganmu,” DEG! Mataku membulat dan menggelengkan kepalaku.
            “Tidak,”
            “Ya, Deep. Dia ingin menggugurkan kandunganmu. Aku tahu itu karena aku pernah melihat sebuah catatan kecil di atas meja kerjanya. Di sana ditulis, ‘Gugurkan kandungan Deep, bunuh Justin, Deep menjadi milikku. Sederhana.’ Itu yang kuingat. Jadi, kumohon?” ia menautkan kedua alisnya. Memohon padaku. Kuanggukan kepalaku.
            Dan rasa pusing di kepalaku mulai melanda. Zayn ingin menggugurkan kandunganku? Tapi, mengapa? Pantas! Pantas aku heran mengapa Zayn selalu bertanya tentang keadaan bayiku akhir-akhir ini. Sekarang aku tahu alasannya mengapa.
            “Ayo, makan siang bersamaku.” Ajak Caitlin padaku. Kuanggukan kepalaku, setuju. Zayn ingin menggugurkan kandunganku? Sial!

****

            “Mengapa?” tanya Justin tampak kesal denganku. Ia berdiri menatap jendela ruang tamu. Melihat jalanan yang berada di depan rumah Justin. Aku menundukan kepalaku, menatapi kuku jariku. Justin sangat marah sekali saat ia menjemputku pulang. Ia bahkan tidak menyapaku saat ia menjemputku. Menciumku saja tidak! Hari ini adalah hari tersial yang pernah kulewati. Avan tak bersemangat, Zayn berusaha untuk menggugurkan kandunganku, dan sekarang Justin marah padaku. Bagaimana bisa 3 lelaki yang peduli padaku membuatku hampir gila dan selalu merasa bersalah pada mereka?
            “Deep,” ia memaksa lagi, seperti biasanya.
            “Aku hanya ingin membicarakan Jazzy dengannya,”
            “Tapi kau sudah berjanji padaku,”
            “Aku tahu, Justin. Hanya saja, aku ..” aku tidak bisa melanjutkan kata-kataku dan mendongakan kepalaku. Menatap Justin yang sudah berbalik melihatku. Matanya tampak dingin, tidak berekspresi. Kakinya melangkah mendekatiku yang terduduk di atas sofa empuk ini. Untung saja, Jazzy belum datang ke rumah ini. Bisa-bisa dia berteriak ketakutan. Oh, aku harus berjanji untuk tidak membicarakan Zayn di depan Jazzy.
            “Hanya saja, apa? Astaga, Deep. Kau tahu seberapa pedulinya aku denganmu? Aku tidak ingin kehilanganmu dan calon anak pertamaku. Kau tahu seberapa jahatnya dia? Dia ingin menggugurkan bayi kita. Apa kau ingin itu terjadi? Dia sudah gila,”
            “Tidak, dia tidak gila,”
            “Dan mengapa kau selalu membelanya, Deep? Aku benci saat kau selalu membelanya!” ia berteriak, marah.
            “Aku tidak pernah membelanya, Justin!” aku membentak balik padanya dan berdiri dari sofa. Kupegang perut bawahku untuk meringankan berat pada perutku. Ia melihat ke arah perutku dan lalu mataku lagi.
            “Lalu, apa yang tadi kau katakan, Deep? Dia memang gila,”
            “Justin, dia tidak akan bertindak seperti itu. Aku yakin ia hilang kendali,”
            “Hilang kendali,” bisiknya dengan suara yang pelan. Sedetik ia menatap ke lantai dan kembali menatapku. Kakinya melangkah mendekatiku. “Hilang kendali dapat menyebabkan kehamilan pada adikku!” ia membentak dengan keras dan menunjuk-nunjuk ke segala arah. Wajahnya sangat memerah dan rahang bawahnya menegang. Pertama kalinya, ia marah besar padaku. Mulutku terbuka dan langsung kututup. Namun aku yakin mataku dapat memancarkan rasa ketakutan dan terkejutanku padanya. Matanya melotot padaku, sangat marah.
            “Maaf,” bisiknya mendekatiku dan meraih kepalaku. Ia memelukku dengan erat. Kepalaku bersandar pada dadanya yang bidang itu dan memejamkan mataku.
            “Deep, jangan pernah berbicara atau menemuinya. Kumohon, berjanjilah padaku,”
            “Ya,”
            “Bagaimana bisa aku memegang kata-katamu sedangkan 6 jam lalu kau baru saja akan berhadapan dengan Tuhan di alam sana?” ia bertanya tak yakin padaku. Aku dapat merasakan jantungnya yang berdetak lebih kencang dari pada biasanya.
            “Aku janji, Justin. Percaya padaku,” kuangkat kepalaku dan mendongakan kepalaku. Ia menundukan kepalanya. “Bagus.” Dan bibirnya mulai bertemu dengan bibirku lagi.

            Hangat.




:)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar