***
“Bayi
kalian sehat sekali. Saya tidak mengira akan sesehat ini,” ucap dokter lelaki
yang berada di depanku dan Justin. Ini adalah bulan ke lima kehamilanku. Dan
serius, perutku semakin membesar. Senyum Justin mengembang dengan manisnya.
Justin tampak bahagia dengan perkataan-perkataan yang selalu keluar dari mulut
dokter. Maksudku, tentu saja. Dokter ini tidak pernah melihat suatu gejala pada
bayiku. Yang artinya bayiku selalu sehat dan Justin sebagai calon ayahnya,
bahagia.
“Dan,
bagaimana dengan berat badan istriku?” tanya Justin yang tidak mengejutkanku.
Ia memang selalu seperti itu pada orang-orang di sekitar. Kami belum menikah
namun ia selalu memanggilku sebagai istrinya. Memang, ia telah bertunangan
denganku tanpa memberitahu orangtuanya dan orangtuaku. Jadi, kami lebih
terlihat seperti suami-istri.
“Oh,
dia baik-baik saja. Bahkan ia tidak seperti kebanyakan ibu-ibu hamil pada
umumnya. Berat badannya tidak melonjak naik. Dia sangat pintar menjaga
tubuhnya,” goda dokter padaku. Aku hanya tersenyum malu-malu pada dokter.
Justin melirikku dan senyumnya surut begitu. Ada apa? Oh, sial! Justin akan
memarahiku sesudah ini. Meski aku tidak yakin di mana letak kesalahanku.
“Kalau
begitu, kami permisi. Terima kasih, dokter,” ujar Justin berdiri dari tempat
duduknya dan menjabat tangan dokter kandunganku. Tangan Justin menarik tanganku
untuk berdiri dengan pelan. Ia membantuku berjalan keluar dari ruangan ini.
Sial! Kenapa Justin sekarang terlihat seperti berjalan dengan anak berumur 3
tahun yang baru bisa berjalan?
“Jangan
pernah berpikir aku akan bersikap manis karena tadi,” bisiknya tepat di telingaku.
Mataku membulat begitu saja. Dan pikiranku melayang ke mana-mana. Apa yang akan
ia lakukan padaku? Memarahiku setelah sampai di rumah? Membiarkanku tidur
sendirian di kamar? Atau ia tidak
memanjakanku? Oh, jangan sampai itu terjadi.
Kami
sudah keluar dari rumah dokter kandungan khususku. Justin mengeluarkan kunci
mobilnya dan membuka pintu mobil lalu dengan pelan ia membawaku masuk ke dalam
mobil. Oh, sungguh, aku tidak menginginkan pertengkaran sekarang. Padahal baru
tadi aku mendapatkan kabar gembira. Mengapa ia bisa sekali merusak perasaanku
dalam hitungan menit? Itu sungguh rumit.
Ah
yeah, aku hampir lupa dengan kalian. Sudah lama beberapa lama ini Justin
bekerja menjadi manajer di supermarketnya. Pangkatnya dinaikan. Aku bahagia
dengan itu. Orangtuanya masih belum mengetahui kehamilanku. Hebat, bukan? Tentu
saja. Mereka masih sibuk dengan pekerjaan mereka. Soal Caitlin dan Zayn. Mereka
menjaga jarak denganku dan Justin. Mungkin memang kami berbicara, tapi kami
sudah tidak mengadakan ritual-ritual yang biasa kami lakukan. Tidak ada yang
namanya bermain atau menginap di rumah sahabat. Caitlin tampak begitu depresi
setelah kejadian beberapa bulan itu. Dan Zayn, dia memang masih berbicara
denganku dan dekat denganku. Namun dengan Justin? Aku tidak tahu. Mereka tidak
berbicara.
“Apa
yang kaupikirkan?” tanya Justin saat ia sudah menjalankan mobil ini. Membaur
dengan mobil-mobil yang berada di jalan. Aku menoleh ke arahnya. Rahang
bawahnya menegang, menahan kemarahan. Kenapa dia?
“Caitlin
dan Zayn,”
“Jangan
pernah memikirkan mereka lagi. Kau tahu mengapa aku seperti ini padamu, Mrs.
Bieber?” tanya Justin yang membuatku sedikit terkejut dengan perkataannya. Mrs.
Bieber? Oh, baiklah. Itu juga tidak apa-apa. Aku menelan ludahku dan mencari
kata-kata yang pas untuk kukatakan. Tapi tidak ada.
“Tidak,”
jawabku dengan suara yang kecil.
“Sudah
kuduga,” ia berkata dengan dingin, “apa tadi kau baru saja tersenyum malu-malu
di depan Dr. Hall? Kau tahu, aku sangat tidak menyukai kegenitanmu terhadap
lelaki lain selain padaku,” tambahnya.
Seorang
Justin Bieber cemburu pada dokter kandungan? Astaga! Ini sudah yang kesekian
kalinya aku datang pada Dr. Hall dan sekarang dia marah hanya karena aku
tersenyum malu-malu pada Dr. Hall? Bunuh aku, tolong? Sial! Dia bereaksi
terlalu berlebihan. Padahal dia sudah berkali-kali melihatku tersentuh oleh Dr.
Hall. Dan dia cemburu dengan alasan yang tidak masuk akal? Aku bahkan tidak ada
niatan untuk bersikap genit di depan Dr. Hall! Itu perbuatan terendah yang pernah kulakukan. Bersikap
genit? Aku tidak pernah melakukan sikap genitku pada lelaki lain selain Justin.
Oh, astaga. Justin, sayang, aku tidak pernah berpikir kau akan cemburu seperti
ini.
“Deep,”
ia memanggil namaku.
“Maaf
Justin. Tapi aku tidak pernah ada niatan untuk melakukan hal itu. Tapi dia
memujiku, aku wanita. Bersikap malu seperti tadi adalah wajar,” aku membela
diriku. Dia terkekeh dan memutar setir mobilnya untuk belok ke sebelah kanan.
Mataku tidak beralih dari wajahnya itu. Kau tahu, Justin sudah memiliki
bulu-bulu halus di sekitar dagunya dan aku tidak menyukainya. Hanya saja, aku
belum memberitahunya untuk mencukur rambut tipis di dagunya itu.
“Begitukah?
Baiklah, aku mengerti. Tapi aku sudah terlanjur cemburu, jadi bagaimana
sekarang?” tanyanya tampak menggodaku. Aku mengeluh pelan. Dia ingin aku
menciumnya sekarang. Tapi ia sedang menyetir. “Kita bisa berhenti di pinggir
jalan,”
“Tidak.
Tidak perlu. Sebentar lagi kita akan sampai Justin. Tolong Justin, aku tahu kau
ingin mendapatkan ciuman yang lebih dari pada biasanya. Tapi sungguh Justin,
kau membuat bayi yang berada di perutku mual. Serius,” aku berkata dengan suara yang pelan.
“Tidak
menciumku atau aku akan meninggalkanmu selama satu minggu di rumah?” tanya
Justin dengan nada yang serius. Sial! Aku tahu ia sangat bersungguh-sungguh
dengan perkataannya. Dia akan tinggal di hotel atau semacamnya. Astaga, mengapa
kekasihku sangat seperti anak kecil?
“Baiklah,
di rumah. Tidak menggerayangi, Justin,” memperingatinya. Ia tersenyum puas dan
bangga. Dia menang, lagi. Bagaimana bisa aku menolak lelaki seperti Justin? Ia
tidak dapat kutolak.
“Bagus.”
****
“Oh,
sial!” teriak Justin saat ponselnya tiba-tiba saja berbunyi. Padahal bibir kami
hampir saja bersentuhan. Aku juga sudah memejamkan mataku. Tapi, yah, ponselnya
mengganggu kami. Justin meraih ponselnya yang berada di dalam kantong celananya
dan langsung mengangkat telepon ponselnya itu.
“Apa
itu?” tanya Justin dengan suara yang sabar. Napasnya naik-turun tak beraturan.
Dia tampak begitu kesal. Astaga, Justin. Kau sangat berlebihan. Apa yang
terjadi denganmu, sayang? Kau tidak pernah memberitahuku apa yang terjadi
padamu. Justin tampaknya tidak suka sekali jika aku bertanya apa yang terjadi
dengannya. Ia terus menggumam dan berdiri dari sofa yang kami duduki.
Oh,
pasti pekerjaannya lagi. Mengapa sepertinya rumit sekali pekerjaannya? Ya,
tanggungjawabnya sangat besar dan dia harus mengatur segala sesuatu di
supermarket itu. Ah, ya. Aku jadi ingat dengan Avan. Lelaki itu. Dia masih saja
mencoba untuk menarik perhatianku. Sialnya, besok aku harus pergi bekerja lagi.
Dengan malunya aku harus datang dengan pakaian ibu hamil. Tapi entahlah,
bukankah aku sudah terlihat seperti ibu-ibu? Avan seharusnya sudah bisa menjauh
dariku. Maksudku, kau tahu, aku sudah berbadan dua dan aku sudah tidak menarik
lagi. Tapi Avan? Dia masih saja mencoba untuk mendekatiku. Padahal aku sudah
bilang padanya kalau aku telah memiliki pacar. Tapi terserahlah. Aku tidak
pernah mencoba untuk menarik perhatiannya. Jika ia menyukaiku, aku bisa apa?
Membuatnya membenciku? Bagaimana? Aku sudah hamil dan dia tidak membenciku,
aneh.
Tiba-tiba
ponselku berdering. Aku terkesiap dan mengambil ponselku yang kutaruh di atas
meja ruang tamu. Zayn. Tumben sekali dia menghubungiku. Kuraih ponselku dan
langsung mengangkatnya. Sesaat aku melirik Justin yang masih berbicara dengan
ponselnya di dekat jendela. Ia tampak sibuk.
“Ya?”
aku bersuara dan berdiri dari sofa. Menjauh dari Justin mungkin lebih baik.
Kulangkahkan kakiku menuju dapur. Dari ponsel aku bisa mendengar suara musik
yang sangat keras. Di mana dia? Suara tawaan wanita juga terdengar juga. Oh,
astaga. Apa lagi sekarang? Bisakah aku tenang dalam jangka waktu yang lama?
“Deep,
sayang, apa kabar?” tanyanya tertawa-tawa tak jelas. Mataku melebar dan menatap
ke arah pisau yang tersusun rapi di dalam sebuah balok. Sekarang aku berniat
untuk mengambil pisau itu dan datang ke tempat Zayn berada lalu menusuknya
sekarang. Aku bersyukur pada Tuhan karena biarpun aku melewati masa-masa ini
bayiku masih sehat dan aku tidak depresi karena ini.
“Zayn,
apa yang kaulakukan? Kau ada di mana?” tanyaku dengan was-was. Ia tertawa lagi.
“Ssh,
jangan seperti itu Deep. Aku baik-baik saja di sini. Oh, astaga Deep. Bagaimana
keadaan bayimu? Apa kau sudah tahu jenis kelamin anakmu?” tanya Zayn
tertawa-tawa lagi. Dia mabuk dan sekarang ia bersama dengan wanita-wanita
nakal. Sial kau Zayn! Aku sangat ingin menemuinya sekarang. Tapi tentu saja aku
tidak bisa.
“Zayn,
kau di mana? Biar aku jemput kau pulang,” aku bertindak konyol dan aku meminta
pertengkaran dengan Justin. Bagus.
Tiba-tiba
Justin menarik ponsel yang berada di tanganku dan membantingnya ke lantai.
Ponselku hancur berkeping-keping. Mataku langsung melihat ke arah Justin yang
terlihat begitu marah. Apa haruskah dia semarah itu padaku? Aku terkejut
setengah mati akan perbuatan yang sangat agresif itu.
“Apa
yang dia katakan?” tanya Justin dengan penuh kebencian di setiap nadanya. Aku
menyentuh lengannya yang besar itu.
“Justin,
kumohon jangan marah padaku. Tapi, Zayn. Dia sedang berada dalam masalah,”
“Apa
itu?”
“Dia
sedang mabuk dan aku takut jika tidak ada orang yang bisa menemaninya pulang,”
ucapku dengan suara yang pelan. Mata Justin masih berapi-api, ia tampak marah
sekali. Tapi aku tidak bisa meredakannya begitu saja. Mencium bibirnya tidak
cukup. Dia justru akan semakin marah jika aku memperlakukannya seperti itu.
“Berhenti
untuk bersikap baik padanya Deep! Aku benci dia! Dia telah …dia telah ..”
suaranya menghilang, tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia tampak begitu
benci dengan Zayn. Matanya mulai berkaca-kaca. Aku khawatir dengan Justin.
“Dia
telah apa, Justin?” tanyaku berhati-hati dan meremas pundaknya dengan lembut.
Justin menatapku tepat pada mataku. Aku terbakar sekarang. Terbakar dalam
artian yang buruk dan aku tidak menyukainya. Ia menepis tanganku yang berada di
lengannya dan menggebrakan meja makan yang berada di sampingnya.
“Dia
telah memperkosa adikku, Deep!” teriaknya yang membuatku terkejut setengah
mati.
“Tidak,”
“Ya!
Jelas dia melakukannya! Dia bajingan dan aku tidak ingin kau berdekatan
dengannya. Adikku terlalu bodoh untuk mencariku di rumah Zayn dan aku bahkan
tidak tahu mengapa ia bisa pergi ke rumah Zayn. Kau tahu seberapa besar cintaku
pada adikku? Sebesar ini!” ia merentangkan tangannya, “aku tidak akan pernah
memaafkannya atas kesalahan itu,”
Air
mataku mulai mengalir di melintasi pipiku. Perasaanku hancur berkeping-keping.
Perutku rasanya lebih penuh dari pada biasanya. Otakku tak bisa berpikir.
Buntu, lebih tepatnya. Amarah melingkupiku. Zayn, apa yang telah ia lakukan
pada Jazzy kecil milik Justin-ku? Napas Justin tak beraturan dan semuanya
terdengar lebih masuk akal.
Kepalaku
mulai berpikir dan kembali mengingat apa yang telah terjadi. Dan semuanya
terputar. Aku ingat saat Justin begitu senang, malam tahun baru ia tampak
menikmati apa yang telah terjadi. Tidak denganku –sebelum melakukan hubungan
itu. Dia memang tidak memberitahuku tentang kedatangan adiknya. Tapi, mungkin
karena adiknya akan datang ke Atlanta membuatnya senang. Ia memang mencintai
adiknya lebih dari siapa pun. Entahlah, mungkin ia lebih menyayangi adiknya
daripada aku. Mungkin, aku tidak yakin juga. Dan semua terlihat masuk akal.
Beberapa hari setelah aku memberitahu kalau aku hamil, sikap Justin tidak
begitu dekat Zayn. Astaga, ini sangat benar dan aku ..tidak bisa berkata-kata.
Sekarang aku mengerti mengapa Justin selalu memanas-manasi Justin. Aku tahu
mengapa Justin sengaja memberitahu kalau aku hamil. Dia pasti menyinggung
tentang perkosaan Zayn terhadap adiknya. Pasti Justin berpikir kalau adiknya
akan hamil sepertiku. Astaga. Ini sangat jelas.
“Tolong
jangan menangis,” pinta Justin mendekatiku dan memelukku. Ibu jarinya menghapus
air mataku yang melintas di pipiku. Aku tidak bisa menahan emosi yang berada di
benakku Justin.
“Tapi,
Justin. Dia telah memperkosa adikmu dan aku tidak habis pikir,”
“Sekarang
kau tahu mengapa aku seperti ini, Deep,” balasnya langsung dan memelukku dengan
hangat. Aku menganggukan kepalaku dan air mataku terserap oleh kaos hitam yang
ia pakai.
“Jangan
pernah mencoba untuk mendekatinya, Deep,” pinta Justin padaku. Aku tidak tahu
apa yang harus kupilih sekarang. Zayn, astaga, aku menyayanginya. Tapi rasa
simpatikku terhadapnya berkurang. Dia telah memperkosa adik kekasihku disaat
beberapa hari setelah tahun baru dan ..aku tidak pernah tahu itu. Sial! Aku
benci perasaan ini.
“Janji
padaku, Deep,” paksa Justin lagi. Baiklah, aku mengerti. Dia kekasihku dan aku
tidak ingin menjadi kekasih yang jahat baginya. Aku menganggukan kepalaku.
“Ya,
tentu saja, Justin. Apa pun.” Aku mengeluarkan suara yang parau.
****
“Selamat
pagi, Deep,” sapa Avan saat aku baru saja tiba di tempat kerjaku. Ia memainkan
alisnya dan membuatku semakin sensitif terhadapnya. Ini efek kejadian tadi
malam. Ingin sekali aku berkata kasar padanya, tapi aku tahu dia adalah
atasanku dan aku mencintai pekerjaanku –meski hanya beberapa novel yang aku
suka. Aku mencoba untuk tersenyum padanya.
“Ada
apa?” tanyanya tampak tahu ada beban dalam diriku. Ia berusaha untuk terlihat
perhatian padaku dan itu tidak berhasil, Mr. Jogia.
“Kau
tampak tampan hari ini, Avan,” ucapku memujinya. Lidahku sekarang minta
digilas. Astaga, apa aku baru saja mengatakan itu? Untung saja, Justin tidak
berada di sebelahku. Mungkin Justin sudah marah sekali denganku. Atau yang
lebih parah, Justin tidak akan menawariku pilihan. Ia pasti sudah kabur dari
rumah dan tidak akan kembali selama 1 bulan. Oh, baiklah. Sekarang aku yang
berekasi berlebihan.
“Terima
kasih, begitu juga denganmu, Deep. Kau sangat senang hari ini,”
TOLOL!
Pantas sampai sekarang tidak ada wanita yang ingin dekat dengannya. Kepekaannya
mungkin tipis sekali karena lensa matanya memiliki tebal yang setara dengan
kulit kudanil. Butakah dia ? Sudah jelas-jelas aku berpura-pura tersenyum
padanya dan aku tidak sedang dalam suasanaku yang baik. Kalau Justin, mungkin
dia akan memelukku dan bertanya apa yang terjadi.
“Ya,
terima kasih Avan. Sekarang, biarkan aku menyelesaikan pekerjaanku yang sudah
menungguku,” ucapku dengan nada suara yang dibuat-buat berseri. Wanita memang
pandai sekali menutupi rasa sedihnya. Ya, seperti aku.
“Baik,
Deep. Aku tinggalkan kau, tidak apa-apa bukan?” tanyanya menggodaku.
“Oh,
jika kau ingin tetap tinggal, tidak apa-apa,” kataku dengan nada yang begitu
palsu. Padahal dalam hati: Pergi kau setan!
“Maaf,
Deep. Aku juga memiliki pekerjaan yang menumpuk. Semoga harimu menyenangkan,”
ucapnya dengan senyum lalu melengos pergi dari hadapanku.
Aku
menghembuskan napasku dengan lega. Pikiranku melayang menuju Caitlin. Aku ingin
bertemu dengannya dan menanyakan keadaannya. Atau siapa tahu, Caitlin tahu
tentang masalah adik Justin. Oh, Zayn. Kenapa dia terdengar begitu bejat? Adik
dari sahabatnya sendiri? Tolonglah aku, Tuhan! Aku sudah menganggap adik Justin
adalah adikku. Meski aku baru beberapa kali bertemu dengannya. Ia gadis yang
sangat manis. Dan cantik. Umurnya sudah menginjak 15 tahun dan dia adalah
remaja yang manis. Tapi Zayn? Aku juga ingin tahu keadaan adik Justin sekarang
bagaimana.
Kuraih
ponselku dan mencari nomor telepon Caitin. Kuhubungi Caitlin. Ponsel yang
berada di tanganku, kudekatkan pada telingaku. Butuh beberapa detik untuk
menunggu jawabannya.
“Ya?”
tanyanya dengan suara yang ..parau? Kuharap ia tidak habis menangis.
“Hei,
Caitlin. Apa kabar?”
“Aku
baik-baik saja. Ada apa kau menelponku?” tanyanya dengan nada yang lebih baik
dan ramah dari pada terakhir kali aku berbicara dengannya. Butuh beberapa bulan
untuk menstabilkan keadaan Caitin. Dan aku harus mengorbankan perasaanku demi
perasaan Caitlin. Justin harus datang mengunjungi Caitlin dan terus memperlurus
masalah yang belum terselesaikan. Kau tahu, Caitlin mencintai Justin.
“Aku
hanya ingin bertemu denganmu malam ini. Di rumah Justin, mungkin?” tanyaku
tanpa ada ragu sedikitpun. Kudengar ia
menghela napasnya, mulutnya terbuka.
“Ya,
tentu,”
“Terima
kasih, Cait. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan.” ucapku langsung mematikan
ponselku. Kutaruh ponselku dengan kasar. Apa akan seperti ini terus selamanya?
Aku tidak tahu. Dan aku hanya bisa berharap agar perasaan Zayn, Caitlin, maupun
Avan akan berubah. Secepat mungkin.
***
“Justin,
jangan main-main!” aku tertawa-tawa saat ia menutup mataku dan mengajakku ke
suatu tempat. Kenapa laki-laki ini suka sekali memberikanku kejutan? Aku benci
kejutan. Secara keseluruhan, aku takut kejutan yang diberikan adalah kejutan
terburuk dalam hidupku. Kau tahu maksudku, seperti Zayn memperkosa adik Justin.
Dan mobil yang ia bawa terus berjalan. Entah ia akan membawaku ke mana. Hanya
musik rapp yang terputar sekarang. Aku tahu Justin tersenyum senang karena ia
tahu jantungku sekarang berdetak 100 kali lebih cepat dari pada biasanya. Atau
bisa kusimpulkan kalau jantungku akan meledak.
Tiba-tiba
mobil ini berhenti. Tubuhku tersentak begitu saja. Justin membuka pintu
mobilnya dan dalam beberapa detik ia membuka pintu mobilku. Tangannya menarik
tanganku dan aku bisa merasakan gerakannya yang begitu hati-hati saat aku
keluar dari mobil dan pelan-pelan ia menutup pintu mobilnya. Terdengar raungan
gas mobil di jalanan. Sebenarnya kita akan ke mana? Gelap sekali di sini. Ia
menutup mataku dengan kain berwarna hitam.
“Jalan
pelan-pelan,” ucapnya dengan perhatian. Aku menganggukan kepalaku dan kami
mulai memasuki sebuah gedung. Entahlah, pintu gedung ini tertutup dan tidak ada
suara.
“Aku
akan sangat mengejutkanmu sekarang,” ucapnya berbisik tepat di telinga.
“Justin,
jangan membuatku ketakutan,” ujarku dengan ragu. Aku takut sekali.
“Jangan
buka matamu sebelum aku menyuruhmu, mengerti?” tanyanya yang berdiri di
depanku. Aku memegang lengannya dengan erat dan menganggukan kepalaku.
Tiba-tiba ia membuka kain hitam yang berada di sekeliling kepalaku. Mataku
masih terpejam.
“Sekarang
buka,” perintahnya padaku.
Aku
perlahan membuka mataku. APA-APAAN INI?! Aku menjerit dalam hati. Air mataku
membendung begitu saja. Sudut-sudut bibirku melengkung ke atas, menghasil
senyuman haru di sini. Aku bisa melihat orangtuaku, adik-adikku, orangtua
Justin dan adik-adik Justin. Astaga, keluarga Bieber dan Newman berada di sini.
Berdiri sejajar dalam sebuah restoran yang bisa kubilang mewah sekali. Ini
restoran Prancis yang pernah kudatangi dengan Justin. Air mataku turun begitu
saja. Ini kejutan terbaik yang pernah kudapatkan.
Beberapa
detik kemudian Justin bersujud di depanku. Ia mengambil sesuatu dari kantong
celananya. Sebuah kotak merah dan ia membukanya di depanku. Aku menutup
mulutku, tak percaya.
“Morgan
Deep Newman, maukah kau mencintaiku, hidup bersamaku, dan berbagi kehidupan
bersamaku dari sisa hidupmu?” tanya Justin memohon padaku. Aku menatap matanya
dan beralih pada orangtuaku. Ibuku menganggukan kepalanya.
“Tentu
saja Justin,” ucapku dengan rasa penuh kebahagiaan. Air mataku semakin
menderas. Justin memasangkan cincin itu ke dalam jari manisku lalu ia berdiri
dan memelukku.
“Aku
mencintaimu, Deep,”
“Begitu
juga aku.”
****
Tubuhnya
tampak lebih kurus dari pada saat terakhir kali aku bertemu dengannya.
Rambutnya memang tampak rapi dengan bandana yang berada di kepalanya. Pakaian
yang ia pakai sangat tertutup. Penampilan memang dapat menipu. Pancaran mata
yang ia perlihatkan menyiratkan suatu ketakutan yang mendalam dan traumatis
yang tak dapat disembuhkan. Jazzy kecil yang malang, mengapa Zayn tega sekali
melakukan itu pada adik Justin? Ia terduduk di atas sofa milik Justin,
berhadapan denganku dan Justin yang berada di sampingku. Caitlin tampak begitu
perhatian dengan Jazzy di sebelahnya. Caitlin sepenuhnya tahu apa yang terjadi
dengan Jazzy. Dan, aku? Aku tidak tahu apa-apa sebelum Justin menceritakan
semuanya padaku.
Saat
malam tahun baru, Justin meminta Jazzy untuk datang ke rumah Justin dan
menginap beberapa hari di sana. Jazzy akan datang ke rumah Justin 3 hari
setelah malam tahun baru. Dan aku sangat bisa melihat wajah Justin yang
berseri. Aku sangat ingat saat 3 hari itu Justin masih berada dalam sikapnya
yang wajar. Kau tahu maksudku bukan? Seperti saat aku memberitahu kalau aku
hamil, Justin masih bertindak acuh dan tidak seserius sekarang. Di hari ketiga
setelah tahun baru itu, Jazzy datang ke rumah Zayn. Katanya, Jazzy tidak dapat
menemukan Justin di rumah. Tentu saja, Justin sudah mendapatkan pekerjaan dan
aku juga sedang bekerja. Jadi, Jazzy lebih memilih pergi ke rumah Zayn. Ya, aku
ingat saat pertama kali aku bertemu dengan Jazzy, kami berkenalan di rumah Zayn.
Jelas sekali Jazzy tahu rumah Zayn. Lalu semuanya terjadi. Sehari setelah itu
tidak ada tanda kedatangan Jazzy ke rumah Justin dan sikap Justin mulai
berubah. Ia lebih serius, overprotectif, dan was-was.
Hari
itu aku ingat Justin membawaku pergi ke restoran dan semuanya terlihat jelas
sekali. Ia tampak berwibawa, serius dan tidak berbasa-basi. Dan pulang ke rumah
Zayn dengan tampang yang tak peduli dengan Zayn. Membuat susu sembarangan di
rumah Zayn, padahal ia menginginkan aku tidak memberitahu tentang kehamilan.
Dan kejujurannya saat ia bilang pada Zayn kalau aku hamil. Aku sangat yakin,
Justin sedang menyinggung Zayn. Lalu Justin bilang, dia milikku. Oh, Tuhan. Semua ini tampak menyeramkan dan aku tidak
tahu apa yang harus kulakukan pada Zayn.
Dia
lelaki yang baik selama ini. Tapi perlakuannya terhadap adik Justin?
“Deep,”
panggil Justin dengan suara yang lembut. Keheningan memang terus menerus
melingkupi kami selama beberapa menit terakhir. Setelah Caitlin menceritakan
semuanya tanpa emosi. Kau tahu tujuanku memanggil Caitlin adalah supaya ia
dapat menceritakan tentang kejadian ini tanpa ada hinaan sedikitpun. Aku bisa
memprediksi, jika Justin yang bercerita pasti ia akan larut dalam emosinya.
“Apa
yang kaupikirkan?” tanya Justin perhatian. Kuangkat kedua bahuku, tidak tahu.
Aku tidak tahu apa yang kupikirkan selain prihatin.
“Apa
kau sudah membawanya ke psikiater?” tanyaku menatap Jazzy yang murung. Caitlin
yang berada di sebelahnya terus mengelus lengan Jazzy dengan perhatian. Mata
Caitlin melebar saat aku bertanya seperti itu dan sedetik kemudian ia
menganggukan kepalanya.
“Tak
ada yang perlu kau khawatirkan. Semuanya baik-baik saja,” kata Caitlin dengan
suara yang lembut. Ia menyelipkan rambut Jazzy ke belakang telinganya.
“Jazzy,”
aku memanggil Jazzy, tapi tentu saja ia tidak mendongakan kepalanya. “Apa yang
kau rasakan sekarang?”
“Kepahitan,”
bisiknya dengan suara yang kecil. Mataku beralih pada Justin, wajah Justin
tampak memerah. Ingin menangis namun ia menahannya. Rahang bawahnya menegang.
Dengan pelan aku menjulurkan tanganku pada bahu Justin dan mengelusnya dengan
pelan.
“Aku
mengerti,” bisikku, tangan Justin memegang tangan yang berada di perutku,
“Jazzy, apa kau ingin tinggal bersama kami?” tanyaku kelewat batas. Sial! Aku
yakin Justin pasti akan memarahiku karena tawaran ini. Tentu saja! Karena Zayn
masih berada di sekitar kami dan ..aduh, mengapa aku tolol sekali?!
Jazzy
mendongakan kepalanya. Aku bisa melihat di sekitar bola matanya, kantong mata
yang berwarna hitam. Pasti ia sering sekali menangis. Namun, dengan manisnya ia
tersenyum dan menganggukan kepalanya. Justin menarik tanganku untuk berdiri
dari sofa dan menarikku untuk menjauh dari mereka. Ia membawaku ke taman
belakang. Aku tahu itu. Ia pasti marah besar padaku. Tangannya menutup pintu
rumah belakang dan kulihat ia memerah.
“Apa
kau tahu apa yang baru saja kaulakukan?” tanya Justin, sabar. Kuanggukan
kepalaku.
“Apa
alasanmu memintanya tinggal bersama kita?” tanyanya lagi.
“Justin,
adikmu butuh kegiatan. Apa kau tidak tega melihatnya meratapi kehidupannya yang
sudah hancur itu di dalam kamarnya? Aku tidak ingin ia menjadi gila. Ini tidak
berbahaya. Ia bisa merawatku dan mungkin, susu buatannya akan lebih enak
daripada buatanmu,” aku mengejek.
“Jadi
selama ini susu yang kubuat tidak enak? Sial!” katanya menatap pada
tumbuhan-tumbuhan yang berada di sekitar kami. Kembali matanya menatapku, ia
mendesah pelan. Apa yang sedang ia bicarakan?
“Kami
akan membawanya ke tempat rehabilitas,” balas Justin kembali ke dalam topik
pembicaraan. Mataku membulat.
“Tidak,”
“Kenapa?”
tuntutnya.
“Itu
..Justin. Kumohon kali ini saja. Aku ingin mengenalnya lebih baik dan mungkin
aku bisa membantunya untuk melupakan trauma yang ia rasakan. Sangat jahat jika
aku tidak melakukan itu. Apa kau ingin ia takut kepada lelaki di Amerika ini
selain denganmu dan ayahmu? Itu konyol, Justin,” jelasku panjang lebar.
Hening.
Ini sudah keputusanku. Jazzy memang harus ikut denganku. Aku bisa menjaganya
menjauh dari Zayn –meski secara teknis Zayn berada di sekitar sini. Tapi
setidaknya ia akan memiliki pekerjaan di sini. Kegiatan. Sekolah? Kita bisa
memanggil guru privat. Sangat menyenangkan jika aku bisa mengenal anak remaja
itu berada di rumah ini.
“Baiklah.
Jika itu maumu, maka jadilah. Senang sekarang, Mrs. Bieber?” tanyanya pasrah.
Kedua tangannya dengan lesu menggantung di sebelah tubuhnya. Matanya terpejam
dan beberapa detik kemudian terbuka. Lebih terang warnanya, sekarang. Kupeluk
tubuhnya dengan erat, tanpa menyakiti bayi yang berada di dalam perutku.
“Ya,
terima kasih Justin.”
****
Aku
akan menikah dengan Justin setelah aku melahirkan. Masih lama sekali. 5 bulan
lagi dan selama waktu panjang itu aku dan Justin akan menjadi sibuk. Pernikahan
kami tidak akan melibatkan kerabat-kerabat orangtua Justin atau orangtuaku.
Hanya kerabatku dan Justin. Sederhana sekali, bukan? Tidak meriah dan aku tidak
peduli. Aku hanya ingin Justin berada dalam posisi di mana ia akan menjadi
suamiku. Orangtuaku tidak marah dengan apa yang Justin perbuat padaku. Padahal
Justin telah menghamiliku. Alasan yang ibuku berikan saat ia mengizinkanku
untuk menikah dengan Justin adalah Justin adalah orang yang bertanggungjawab.
ITU SALAH BESAR! Aku ingin mati saat ibuku bilang seperti itu padaku. Mungkin,
ya. Tapi tidak, itu tidak sangat benar. Well, mungkin aku memang tidak meminta
pernikahan padanya, aku hanya ingin ia bertanggungjawab atas kehamilanku. Tapi
akhirnya, ia menikahiku. Justin sangat tidak mudah ditebak, akhir-akhir ini.
Aku
menyalakan komputer yang belum kunyalakan dari tadi. Padahal aku telah berada
di kantor 5 menit yang lalu. Ponselku berdering. Selalu saja seperti itu.
Ponselku akan berdering atau aku akan menghubungi seseorang. Apa siklus
kehidupanku akan seperti ini? Aku tidak tahu. Dari Zayn. Apa aku harus
mengangkatnya? Mungkin.
Aku
menekan tombol terima dan mendekatkan ponsel pada telingaku.
“Hai,”
sapanya saat aku mengangkatnya.
“Hei,”
“Bagaimana
kabarmu, Deep? Bagaimana dengan bayimu?” tanyanya dengan suara yang tampak
dibuat bahagia. Mengapa ia sering sekali bertanya tentang keadaan bayiku?
Bukankah dia seharusnya muak? Maksudku, dia tidak menyukai kehamilanku.
“Aku
baik-baik saja,”
“Deep, kumohon
maafkan aku,” suaranya tampak suram. Mataku membulat. Sebenarnya, apa yang
ingin ia bicarakan padaku?
“Zayn,
apa yang kau sesalkan?” tanyaku dengan suara yang prihatin. Mengapa aku harus
dijadikan menjadi orang yang mudah sekali luluh?! Sial!
“Aku
tahu, kau sudah tahu apa yang kubicarakan. Aku sungguh minta maaf,”
“Kenapa
aku? Kau salah orang Zayn,”
“Aku
memang pengecut, Deep. Apa kau ingin menemuiku siang ini? Aku akan
menjemputmu,”
Sial,
mengapa aku berada di posisi yang tidak kuinginkan? Di satu sisi aku ingin
memenuhi janjiku pada Justin. Tapi aku juga ingin bertemu dengan Zayn dan
membicarakan masalahnya dengan Zayn.
“Baiklah,”
kata itu adalah kata terburuk yang pernah kukatakan selama kehidupanku.
“Bagus,
sampai bertemu saat makan siang, Deep.” Dapat kupastikan ia sedang tersenyum.
Ia menutup teleponnya. Kulirik jam dinding yang berada di tembok. Baru jam
08.30. Aku masih punya waktu yang banyak untuk mencari kata-kata yang baik
untuk kukatakan nanti. Kugelengkan kepalaku dan menatap layar monitor yang
sudah menyala. Jazzy, astaga. Remaja yang malang.
----
Kuhantarkan
kakiku untuk keluar dari gedung perusahaanku. Sudah jam makan dan aku harus
pergi ke restoran yang sudah Zayn beritahu padaku. Tidak jauh dari sini. Kuerat
jaket tipis yang kupakai. Sebenarnya, aku tidak memakai pakaian ibu hamil.
Karena pakaian ibu hamil sangat besar dan longgar untuk tubuhku. Aku hanya
memakai gaun sependek lutut namun tentu saja perutku yang besar ini tidak akan
tertutupi. Ini musim semi dan sangat sejuk. Atlanta tampak lebih segar dari
pada biasanya. Mungkin kendaraan di sekitar sini tidak begitu banyak.
“Deep!”
teriak seorang wanita dari belakang. Sontak aku menghentikan langkahanku dan
membalikan tubuhku. Caitlin? Apa yang ia lakukan di siang seperti ini? Bukankah
seharusnya ia berada di butiknya? Aku tidak tahu.
“Deep,”
ia menghampiriku dengan napas yang tak beraturan. Pakaiannya benar-benar modis.
Memang dia sangat cocok menjadi desainer dan pemilik butik. Mungkin jika orang
asing melihatnya akan berpikiran kalau Caitlin masih 20 tahun ke bawah dan
tidak memiliki pekerjaan, atau paling tidak mereka akan berpikir kalau Caitlin
adalah seorang mahasiswi yang magang di suatu tempat kerja.
“Jangan
lakukan itu,” pintanya saat napasnya mulai tertatur. Apa maksudnya?
“Jangan
temui Zayn. Aku tahu itu dari Justin. Justin sedang tidak bisa menemuimu sekarang,
jadi dia memintaku untuk melarangmu pergi bertemu dengan Zayn,”
“Mengapa?”
“Kau
tahu itu, Deep,” ia menyentuhkan tangannya pada pundakku, “tolong bantu aku.
Jangan temui Zayn,”
“Tapi
ia ingin menemuiku untuk membicarakan tentang Jazzy,”
“Deep,
kau tidak perlu melakukan itu. Itu hanya membuat Justin marah padamu. Tentang
Jazzy, masalah itu sudah selesai. Kau bisa merawat Jazzy di rumah, Deep. Ia
bisa mengatasi semuanya. Tapi Zayn? Jangan bertemu dengannya, Deep. Aku tidak
tahu apa yang Zayn pikirkan, tapi aku rasa ia memiliki niat jahat padamu,”
jelasnya panjang-lebar. Tangannya masih berada pada pundakku. Niat jahat? Tapi,
bukankah Zayn selalu ingin membantuku? Maksudku, dia tidak mungkin mencari
masalah padaku.
“Apa
itu?” tanyaku dengan penasaran. Angin yang dingin mulai menusuk
tulang-tulangku. Kami mulai menepi di dekat sebuah toko kue. Rambut Caitlin
berkibaran tak jelas. Astaga, rambutnya
indah sekali. Pantas sebelumnya Justin bisa menyukainya, aku baru menyadari hal
itu. Dulu rambutnya lurus sekali, tapi sekarang? Gelombang rambutnya yang
berwarna cokelatnya terlihat sangat indah.
“Dia
ingin menggugurkan kandunganmu,” DEG! Mataku membulat dan menggelengkan
kepalaku.
“Tidak,”
“Ya,
Deep. Dia ingin menggugurkan kandunganmu. Aku tahu itu karena aku pernah
melihat sebuah catatan kecil di atas meja kerjanya. Di sana ditulis, ‘Gugurkan
kandungan Deep, bunuh Justin, Deep menjadi milikku. Sederhana.’ Itu yang
kuingat. Jadi, kumohon?” ia menautkan kedua alisnya. Memohon padaku. Kuanggukan
kepalaku.
Dan
rasa pusing di kepalaku mulai melanda. Zayn ingin menggugurkan kandunganku?
Tapi, mengapa? Pantas! Pantas aku heran mengapa Zayn selalu bertanya tentang
keadaan bayiku akhir-akhir ini. Sekarang aku tahu alasannya mengapa.
“Ayo,
makan siang bersamaku.” Ajak Caitlin padaku. Kuanggukan kepalaku, setuju. Zayn
ingin menggugurkan kandunganku? Sial!
****
“Mengapa?”
tanya Justin tampak kesal denganku. Ia berdiri menatap jendela ruang tamu. Melihat
jalanan yang berada di depan rumah Justin. Aku menundukan kepalaku, menatapi
kuku jariku. Justin sangat marah sekali saat ia menjemputku pulang. Ia bahkan
tidak menyapaku saat ia menjemputku. Menciumku saja tidak! Hari ini adalah hari
tersial yang pernah kulewati. Avan tak bersemangat, Zayn berusaha untuk
menggugurkan kandunganku, dan sekarang Justin marah padaku. Bagaimana bisa 3
lelaki yang peduli padaku membuatku hampir gila dan selalu merasa bersalah pada
mereka?
“Deep,”
ia memaksa lagi, seperti biasanya.
“Aku
hanya ingin membicarakan Jazzy dengannya,”
“Tapi
kau sudah berjanji padaku,”
“Aku
tahu, Justin. Hanya saja, aku ..” aku tidak bisa melanjutkan kata-kataku dan
mendongakan kepalaku. Menatap Justin yang sudah berbalik melihatku. Matanya tampak
dingin, tidak berekspresi. Kakinya melangkah mendekatiku yang terduduk di atas
sofa empuk ini. Untung saja, Jazzy belum datang ke rumah ini. Bisa-bisa dia
berteriak ketakutan. Oh, aku harus berjanji untuk tidak membicarakan Zayn di
depan Jazzy.
“Hanya
saja, apa? Astaga, Deep. Kau tahu seberapa pedulinya aku denganmu? Aku tidak
ingin kehilanganmu dan calon anak pertamaku. Kau tahu seberapa jahatnya dia?
Dia ingin menggugurkan bayi kita. Apa kau ingin itu terjadi? Dia sudah gila,”
“Tidak,
dia tidak gila,”
“Dan
mengapa kau selalu membelanya, Deep? Aku benci saat kau selalu membelanya!” ia
berteriak, marah.
“Aku
tidak pernah membelanya, Justin!” aku membentak balik padanya dan berdiri dari
sofa. Kupegang perut bawahku untuk meringankan berat pada perutku. Ia melihat
ke arah perutku dan lalu mataku lagi.
“Lalu,
apa yang tadi kau katakan, Deep? Dia memang gila,”
“Justin,
dia tidak akan bertindak seperti itu. Aku yakin ia hilang kendali,”
“Hilang
kendali,” bisiknya dengan suara yang pelan. Sedetik ia menatap ke lantai dan
kembali menatapku. Kakinya melangkah mendekatiku. “Hilang kendali dapat
menyebabkan kehamilan pada adikku!” ia membentak dengan keras dan
menunjuk-nunjuk ke segala arah. Wajahnya sangat memerah dan rahang bawahnya
menegang. Pertama kalinya, ia marah besar padaku. Mulutku terbuka dan langsung
kututup. Namun aku yakin mataku dapat memancarkan rasa ketakutan dan
terkejutanku padanya. Matanya melotot padaku, sangat marah.
“Maaf,”
bisiknya mendekatiku dan meraih kepalaku. Ia memelukku dengan erat. Kepalaku
bersandar pada dadanya yang bidang itu dan memejamkan mataku.
“Deep,
jangan pernah berbicara atau menemuinya. Kumohon, berjanjilah padaku,”
“Ya,”
“Bagaimana
bisa aku memegang kata-katamu sedangkan 6 jam lalu kau baru saja akan berhadapan
dengan Tuhan di alam sana?” ia bertanya tak yakin padaku. Aku dapat merasakan
jantungnya yang berdetak lebih kencang dari pada biasanya.
“Aku
janji, Justin. Percaya padaku,” kuangkat kepalaku dan mendongakan kepalaku. Ia
menundukan kepalanya. “Bagus.” Dan bibirnya mulai bertemu dengan bibirku lagi.
Hangat.
:)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar