Jumat, 26 Juli 2013

Deep Bab 1

****

            DJ memutar music dance dengan ritme yang cukup cepat. Semua orang yang berada di ruangan itu menari-nari dengan gelak tawa tanpa sebab. Bergelas-gelas wine yang telah mereka minum telah tersebar di mana-mana. Lantai menari telah di isi oleh pengunjung-pengunjung tempat itu. Terlihat di sudut ruangan itu sekelompok anak muda sedang bersenang-senang dengan cerita-cerita yang dapat mengocok perut mereka. Beberapa lelaki di kelompok tersebut terus meneguk bir yang mereka pesan. Dengan 2 wanita yang berada di antara mereka.
            Morgan Deep Newman. Wanita ini tampak tidak menikmati acara yang sedang berlangsung. Ia adalah salah satu dari 2 wanita yang berada di kelompok anak muda ini. Ia terduduk di sudut tempat duduk yang melingkar itu bersama dengan seorang lelaki yang merangkulnya dengan mesra. Lelaki yang merangkul terus tertawa-tawa saat salah satu dari mereka menceritakan sebuah cerita lucu. Tapi Morgan tidak tertawa sepenuhnya, ia hanya tersenyum merespon cerita tersebut.
            “Deep,” lelaki yang merangkulnya menatapi Morgan dengan tatapan yang lembut, “ada apa? Kau tidak menikmati malam tahun baru ini?” tanya lelaki itu dengan lembut. Deep, lelaki itu memanggil Morgan dengan nama tengahnya. Namun, Deep hanya membalas Justin dengan senyuman dan menggelengkan kepalanya.
            “Ayo ceritalah,” paksa lelaki ini menggoyangkan bahu Deep yang ia rangkul. Deep tertawa kecil dan mulai mengelus dada lelaki yang terlapisi oleh pakaian ini. Ia memainkan jarinya di sana sambil menggigit bibirnya. Deep mulai menyandarkan kepalanya pada bahu Justin dengan manjanya.
            “Hhh,” ia melenguh pelan, “ini bukan tahun baru yang sebenarnya dan akhir-akhir ini aku merasa tidak enak badan,” ucapnya tidak menyukai malam tahun baru ini. Ia merasa kurang nyaman atas perayaan yang tidak patut ia dapatkan. Seharusnya mereka membakar jagung atau semacamnya dengan kembang api yang mereka beli dan memasangnya di depan rumah Justin yang besar. Ya, Justin Bieber. Lelaki yang merangkul Deep ini tampak perhatian terhadap sahabatnya ini. Sahabat tapi mesra ini tampak terlihat begitu nyaman dengan posisi duduk mereka sekarang. Tidak sama dengan 6 teman mereka yang lain. Mereka hanya bercerita-cerita dengan seru, menenggakan beberapa gelas bir namun tidak ada satu pun di antara mereka merokok. Justin, lelaki ini adalah lelaki yang paling terkenal di kalangan club yang mereka datangi. Ia juga terkenal di kalangan tempat kerjanya, namun beberapa hari yang lalu ia baru saja dipecat karena sudah 3 kali Justin terlambat masuk kerja. Biar pun Justin baru saja dipecat, ia tidak tampak khawatir. Tentu saja, ia lelaki yang memiliki harta yang banyak dari orangtuanya. Deep tampak tidak menyukai sikap Justin yang tidak dewasa, Justin selalu bergantung pada orangtuanya yang memang kaya itu. Dan Justin tampak tidak berusaha untuk mencari pekerjaan lain. Justin sangat duniawi. Ia terus bermain-main dengan wanita, menghamburkan uang bulanan yang diberikan oleh orangtuanya. Justin tidak pernah khawatir akan masa depannya kelak. Yang hanya ia pikirkan adalah ia akan mendapatkan warisan dari orangtuanya.
            Sama seperti sekarang. Justin baru saja mendapatkan uang yang cukup banyak dari orangtuanya untuk merayakan malam tahun baru di sebuah club terkenal di Atlanta.  Justin tertawa, ia tidak mendengarkan apa yang Deep katakan tadi. Ia mendengar temannya yang bernama Zayn bercerita dengan lucunya. Deep mengangkat kepalanya dari dada Justin dan menatap Justin. Sedetik kemudian Justin menoleh dan menatap Deep.
            “Jadi, kau tidak merasa ini malam tahun yang sebenarnya, huh?” tanya Justin melirik Deep dengan tatapan yang ‘menantang’. Deep terdiam dan hanya menganggukan kepalanya satu kali. “Baiklah, ayo kita pulang dan bersenang-senang.”


****

            Perlahan-lahan Deep membuka matanya dengan ragu. Ia mengerjapkan matanya berkali-kali dan menstabilkan penglihatannya. Menatap langit-langit kamar yang tidak tampak asing baginya. Ini kamar Justin, sahabatnya. Dan lalu ia menoleh ke samping melihat seorang lelaki yang sedang pulas tertidur di sebelahnya. Ia tahu apa yang baru saja terjadi dengannya. Untuk yang kesekian kalinya, ia melakukan hubungan intim dengan Justin. Deep menarik selimut putih yang menutupi tubuhnya yang masih polos itu. Tadi malam adalah malam yang sangat luar biasa baginya.
            Ia menekuk satu tangannya dan menumpu kepalanya di atas tangannya. Ia menatap wajah Justin yang terlihat begitu pulas. Tampak damai dan tidak ada masalah. Ia tersenyum kecil melihat keindahan ciptaan Tuhan ini. Tangannya mulai mengelus bibir Justin yang tampak lebih menyembul dari pada biasanya.  Ia mencubit bibir Justin dengan gemas. Bibir yang pernah mengecup bibirnya itu. Deep tidak mengerti dengan perasaannya sekarang. Ia sudah memiliki pacar, tapi ia tidak pernah mencintai pacarnya. Avan, Avan Jogia adalah pacarnya sejak beberapa bulan yang lalu. Deep terpaksa menerima cinta Avan karena Avan adalah atasannya. Ya, Deep sudah bekerja sebagai editor penerbitan buku. Tapi Avan terus menggodanya sewaktu ia bekerja dan mengajaknya kencan beberapa bulan yang lalu. Dan sehari setelah malam kencan, mereka resmi berpacaran.
            Kemarin malam ia tidak bertemu dengan Avan karena Avan harus pergi ke Inggris untuk merayakan natal sekaligus tahun baru di sana. Awalnya, Avan mengajak Deep tapi Deep tidak mau seperti orang tolol yang hanya mengikuti Avan kemana saja tanpa berbicara hal-hal yang ia ingin bicarakan. Avan termasuk orang yang membosankan untuknya.
            “Ngh,” Justin melenguh dan perlahan-lahan ia membuka matanya. “Ah,” ia meregangkan otot-otot tangannya.
            “Pagi Justin,” ujar Deep menyambut Justin dengan senyuman. Justin menautkan kedua alisnya dan menatap Deep dengan tatapan bingung mengapa Deep berada di kamarnya namun beberapa detik kemudian ia sadar.
            “Oh, hey cantik,” balas Justin menarik kepala Deep agar ia bisa mencium Deep. Justin tersenyum dengan sumringah dan kembali ia meregangkan otot-ototnya. Deep tersenyum dengan manis dan segera menarik selimutnya untuk pergi dari tempat tidur Justin. Ia harus segera mandi. Sebenarnya ia tahu, ia sudah terlambat untuk datang ke tempat kerjanya. Ya, seorang editor yang tidak bisa menikmati liburan yang lama. Deep juga tahu, Avan pasti sudah berada di ruang kerjanya sekarang. Avan adalah atasan yang paling ia benci selama ini. Diumurnya yang ke 22 ini membuatnya cukup frustrasi. Begitu banyak buku yang harus ia perbaiki.
            “Kau ingin pergi bekerja?” tanya Justin menaikan boxer merah yang semalam terlepas. Deep hanya menganggukan kepalanya dan memasuki kamar mandi yang berada di dalam kamar Justin.
           
            Justin hanya dapat menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Ia berpikir, mengapa wanita secantik Deep tidak pernah ingin menikah? Umurnya memang masih muda untuk menikah. Deep juga tidak pernah mencintai Avan. Ya, Deep sering menceritakan masalah-masalahnya pada Justin.  Kadang juga Justin merasa ia harus memacari sahabatnya ini. Tapi ia berpikir lebih panjang lagi. Ia tidak ingin kedekatannya bersama Deep hilang begitu saja hanya karena mereka putus di tengah jalan. Namun sekarang, Justin sedang menyukai sahabatnya yang bernama Caitlin. Ia memang menyukai Caitlin karena Caitlin seorang wanita muda yang terlihat alim dan begitu feminism. Tidak sama dengan Deep yang setiap hari hanya memakai celana jeans pendek seperti lelaki dengan kaus biasa yang ia pakai. Dan bahkan Deep jarang memakai sepatu hak tinggi –kecuali saat ia kerja. Caitlin pun sudah memiliki butik miliknya sendiri. Terbukti dari cara berpakaiannya yang terlihat begitu modis. Sepatu hak tinggi yang cantik dengan gaun selutut yang sederhana ia pakai, membuat Caitlin terlihat sangat cantik. Bagi Justin, Caitlin adalah malaikatnya. Hanya saja, Justin belum berani untuk menyatakan perasaanya pada Caitlin. Dan ia bahkan belum pernah meniduri Caitlin. Justin tahu, Caitlin adalah seorang wanita yang religious dan pastinya tidak ingin berhubungan badan sebelum menikah. Ia bahkan masih memakai purity ring-nya.
            Justin melenguh pelan. Terkadang ia bosan dengan apa yang ia miliki. Uang yang ia dapatkan dari orangtuanya memang melimpah, rumah milik kakek dan neneknya telah diwariskan padanya, ia sudah banyak menikmati tubuh wanita. Tidak ada niatan dalam dirinya untuk mendapatkan pekerjaan. Ia hanya merasa terpojoki saat ia menyadari semua sahabatnya memiliki pekerjaan. Zayn dan Liam, mereka juga adalah sahabat Justin. Mereka menjadi arsitek. Harry, Louis dan Niall bekerja sebagai pelayan. Meski hanya menjadi pelayan, mereka selalu mendapatkan banyak uang tip karena ketampanan yang mereka miliki.
            Justin menggelengkan kepalanya dan terkekeh.
            “Huh tidak apa-apa. Pekerjaan bukan segalanya,” gumam Justin bangkit dari tempat tidurnya.


****

            Deep terus menatapi layar computer dan mengamati kalimat-kalimat cerita dari seorang penulis. Mengetik kata-kata yang kurang bagus dan sedikit menyunting ceritanya.  Ia menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya. Akhir-akhir ini Deep merasa mual dan tidak enak badan. Tapi baginya itu sudah biasa. Itu penyakit yang paling laris baginya. Dan Deep pun membenci dokter. Ia tidak pernah menyukai dokter selama hidupnya. Karena ia sangat membenci jarum suntik yang akan menusuk di tubuhnya atau dokter yang terkadang genit meraba-raba tubuhnya. Ia menggelengkan kepalanya. Kepalanya begitu pening. Ia memegang menumpu kepalanya di tangannya yang berada di atas meja itu.
            “Kapan cerita ini akan berakhir? Penulis ini bahkan tidak tahu jika cerita begitu aneh dan tidak jelas. Mengapa atasanku bodoh sekali memilih cerita,” gumamnya menghela nafasnya dengan malas.
            “Selamat pagi cantik,” sapa seorang lelaki yang berambut gondrong itu muncul dari belakang Deep. Sontak Deep terkejut dan menggelengkan kepalanya. Ia langsung salah tingkah. Antara ia harus tertawa atau ia mengabaikan sapaan atasannya ini. Avan, pacar dari Deep ini memutar kursi yang Deep duduki. Dan mengecup bibirnya di depan para pekerja. Sungguh memalukan. Deep langsung mendorong dada Avan dengan cepat.
            “Avan, ini tempat kerja,” ujarnya yang tidak menyukai bibir Avan yang baru saja mengecupi bibirnya. Avan menganggukan kepalanya sambil tersenyum dengan manis.
            Perut Deep merasa penuh. Ia harus pergi ke toilet. Ia merasa mual. “Permisi, Avan,” ucapnya menyingkirkan tubuh Avan yang berada di depannya dan berlari kecil menuju toilet. Ia menggelengkan kepalanya. Ini hanya sakit biasa, ujarnya dalam hati.


****

            “Selamat, kau hamil,” ucap seorang dokter pada Deep yang terlihat begitu terkejut akan apa yang dokter itu katakan. Ia menggelengkan kepalanya. Tidak mungkin ia hamil. Dan satu-satunya lelaki yang pernah menidurinya adalah Justin. Justin Bieber. Kehamilan ini membuatnya semakin membenci kehidupannya. Dia semakin membenci dirinya sendiri. Setelah ia menerima cinta dari Avan, sekarang ia telah mendapatkan anak dari sahabatnya sendiri. Ini jelas-jelas sudah merusak persahabatannya dengan Justin. Walau ia pikir, Justin yang sudah merusaka persahabatannya sejak Justin dan Deep telah berhubungan badan beberapa bulan yang lalu hingga sekarang. 
            “Kehamilan yang tidak diharapkan?” tanya dokernya menebak ekspresi Deep yang tampak terkejut bukan karena kesenangan itu. Deep menganggukan kepalanya.
            “Pembuatannya yang tidak diharapkan,” balas Deep terbangun dari lamunannya. Dokternya memaklumi Deep dan tersenyum pada Deep. Deep kembali menggelengkan kepalanya dan turun dari ranjang pemeriksaan dan segera mengambil tas kecilnya yang ia taruh di atas kursi pasien. Dan mengeluarkan beberapa lembar uang dengan nilai yang cukup besar.
            “Ini, terima kasih banyak,” ucapnya segera melengos pergi dari tempat itu. Ia harus memberitahu Justin.

***

            “Justin,” panggil Deep langsung membuka pintu rumah Justin tanpa mengetuknya. Ia berjalan masuk ke dalam ruang bermain Justin. Ya, Justin memiliki ruang untuk bermain. Di sana sama saja seperti di tempat bermain yang berada di Mall. Ia melihat Justin dan Caitlin sedang bermain Billyard dengan mesranya. Cukup terkejut akan apa yang dilakukan mereka. Justin sedang menggoda Caitlin. Ia berpura-pura mengajari Caitlin cara bermain Billyard yang benar. Justin berdiri di belakang tubuh Caitlin. Terlihat sekali Justin merasa senang di sana, berbeda dengan Caitlin yang terlihat begitu gugup.
            “Hey, Justin! Caitlin, sedang bermain Billyard?” sapa Deep dengan ceria setelah beberapa detik ia melamun. Perasaannya campur aduk sekarang. Antara senang karena ada Caitlin dan sakit karena Justin bermesraan dengan Caitlin. Dia tahu diri, dia hanya seorang sahabat untuk Justin.
            “Oh hey, Deep. Ingin bergabung?” tanya Caitlin yang menembakan bola putih itu pada bola berwarna hitam. Deep menggelengkan kepalanya dan menjatuhkan bokongnya ke kursi yang berada di dekat sana. Ia melihat Justin yang tiba-tiba saja tidak tersenyum lagi. Tiba-tiba saja ponsel Caitlin berdering dari saku celananya. Sontak Caitlin mendorong tubuh Justin untuk menjauh dari belakangnya.
            “Halo. Hey, Chris. Ada apa?” tanya Caitlin dengan ramah pada adiknya yang menghubunginya.
            “Ya, oh astaga. Baiklah, aku akan segera ke sana,” ucap Caitlin kembali dan tersenyum pada Deep. “Ya, tunggu aku. Bye.”
            Caitlin mematikan ponselnya dan menaruhnya ke dalam saku celananya. Ia melihat pada Justin yang langsung menganggukan kepalanya. Justin tahu Caitlin harus pergi. Caitlin memeluk Justin dengan erat dan segera melepaskan pelukannya.
            “Bye,” Caitlin berpamitan dan mengambil tasnya yang ia taruh di atas kursi sebelah Deep.

            Tubuh Caitlin lenyap begitu saja dari rumah Justin. Sekarang tinggal Justin dan Deep yang berada di ruangan itu. Justin menghentak-hentakan tongkat yang ia pegang itu ke lantai.
            “So, apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Justin yang bisa melihat raut wajah Deep yang begitu khawatir. Deep berdiri dari tempat duduknya dan menghampiri meja Billyard itu. Ia bertumpu pada dua tangannya di atas meja Billyard itu dan menatap Justin. Ia menghela nafasnya.
            “Huh, Justin,” panggilnya, “Aku hamil.” Lanjutnya yang berhasil membuat Justin tersentak begitu saja.
            “What?” tampak wajah Justin tak percaya dengan perkataan Deep. Kepalanya terasa pusing dan BUK! Justin terjatuh begitu saja ke lantai. Ia pingsan. Deep membulatkan matanya tampak terkejut.


****

*Deep POV*

            Titik-titik air turun dari langit. Membasahi rumah Justin yang besar ini. Aku masih menunggu Justin yang belum terbangun dari pingsannya. Sudah 20 menit ia masih berada di posisinya. Aku mana kuat mengangkatnya dari lantai. Jadi aku hanya menaruh kepalanya di atas pahaku sekarang. Entah harus kuapakan dia sekarang. Tanganku sudah menamparnya berkali-kali. Tapi ia masih tak sadar juga.
            Perutku telah diisi oleh calon manusia yang akan lahir ke dunia ini. Yang selalu kupikirkan saat pertama kali aku diberi tahu oleh dokter kalau aku hamil, bagaimana nasibku bersama bayi ini? Aku dan Justin bahkan belum menikah. Dan hubungan kami hanya sebatas sahabat. Bagaimana jika kehamilanku ini terdengar sampai pada ke telinga Caitlin? Atau sampai pada Zayn dan teman-temanku yang lain? Oh, Tuhan. Ini adalah masalah terbesar yang pernah kudapatkan. Tapi setidaknya, aku tidak tinggal bersama orangtuaku. Mereka tinggal di London bersama dengan adik perempuanku. Sudah hampir 4 tahun orangtuaku tidak pernah mengunjungiku, begitu juga denganku. Aku tidak pernah mengunjungi mereka.
            Kulihat wajah Justin yang datar. Kucium bibirnya dengan pelan. Hanya beberapa detik langsung kulepas begitu saja. Sedetik kemudian, ia terbangun dari pingsannya. Matanya langsung terbuka lebar dan membangunkan kepalanya dari pahaku. Digeleng-gelengkannya kepalanya itu dan mengerjapkan matanya berkali-kali.
            “Deep, ap-apa yang kaulakukan di sini?” tanya Justin pura-pura tak tahu. Aku mendengus kesal dan berdiri dari dudukku di lantai ini. Kutarik tangan Justin untuk berdiri juga dengan perasaan yang cukup jengkel. Aku tidak menyukai sikap Justin yang satu ini. Ia sangat suka berpura-pura tak tahu atau bisa kubilang dia ingin menjauhi masalah yang ia dapatkan. Tapi ini bukan masalah baginya! Ini anugerah baginya. Janin yang berada dalam perutku ini adalah miliknya. Aku menatap kedua matanya secara bergantian. Ke kanan dan ke kiri, mencoba untuk mencari tahu apa yang sedang ia pikirkan.
            “Aku tidak bisa melakukan ini Deep,” ujar Justin menggelengkan kepalanya. Ia menjauh dariku, melangkahkankan kakinya keluar dari ruang permainannya. Kuikuti dia dari belakang dengan perasaan yang cukup kalut. Justin menghentikan langkahannya tepat di depan akurium ikan dekat sofa di ruang tamunya. Ia terdiam di sana untuk beberapa detik dan membalikan tubuhnya. Menatapku dengan desahan nafasnya yang dapat kupastikan itu adalah desahan nafas penyesalan. Kutautkan kedua alisku dengan raut wajah memelas.
            “Tidak, Deep. Aku belum bisa bertanggungjawab atas kehamilanmu. Merawat diriku saja aku belum benar. Kau harus mengerti, Deep,” tuturnya kelihatan ketakutan. Keringatnya terlihat di pelipisnya, deru nafasnya terdengar tak beraturan. Kuanggukan kepalaku dengan pelan. Ya, dia benar. Dia belum bisa merawat dirinya dengan baik. Bagaimana dia bisa merawat diriku dan bayi ini? Ya, aku mengerti.
            “Tapi Just, apa kau bisa mencari pekerjaan? Jika kau bisa mendapatkan pekerjaan, kau bisa belajar bertanggungjawab dari sana,” ucapku dengan nada yang begitu menyesakan. Matanya tidak terlihat bersinar. Tidak seperti saat ia menatap Caitlin jika mereka sedang duduk berhadapan atau melakukan hal bersama-sama.
            “Ya, tentu. Aku bisa melakukan itu,” ujarnya menganggukan kepalanya, “tapi tolong jangan beritahu kehamilanmu pada siapa-siapa. Aku janji akan bertanggungjawab akan kehamilanmu, tapi tidak sekarang.”
            Kuanggukan kepalaku dan menghantarkan kakiku untuk keluar dari rumah Justin. “Aku tahu apa yang harus kulakukan Justin. Urusi dirimu, aku memegang janjimu Just.”
           

****

            Aku memeluk tubuhnya yang besar ini. Aku memeluk tubuh Avan dan menangis dalam pelukannya ini. Aku telah berbohong pada Avan. Aku menangis bukan karena aku telah membohonginya. Tapi aku menangis karena respon yang Justin berikan padaku. Sampai-sampai diriku sendiri bingung mengapa aku bisa menangis hanya karena kehamilan yang tak diharapkan ini ditolak olehnya. Mungkin aku mencintai Justin atau semacamnya. Terbukti dari apa yang baru saja kulakukan tadi. Aku menerima perjanjian yang Justin berikan padaku. Bukannya menentang, tapi aku menerima. Sebodoh itukah diriku?
            Dan sekarang, aku malah pergi ke rumah Avan. Terjebak dalam pelukannya. Bukannya aku pergi ke rumah Zayn. Karena Zayn adalah sahabat yang dekat denganku. Tidak mungkin aku pergi ke rumah Caitlin. Caitlin, ia wanita yang Justin sukai bahkan Justin cintai. Uh, sungguh berbeda sekali perlakuan Justin padaku dan Caitlin. Caitlin lebih dihargai dibanding Justin menghargai diriku. Aku meremas baju yang Avan pakai. Dan meringis pelan, perutku merasa begitu sakit. Aku menjerit dan menggigit baju Avan untuk menahan rasa sakit pada perutku.
            “Hiks, Avan. Aku sungguh minta maaf. Aku memang bodoh. Tapi Avan …” aku berhenti berbicara. “Apa kau ingin merawat bayi dari hasil pendonoran sperma ini?” aku memohon padanya. Tangan Avan meraup wajahku yang bersandar pada dadanya ini. Kurasakan kepalanya yang menyentuh kepalaku, tanda ia menyetujui permintaanku. Avan memang lelaki yang baik dan pengertian. Tapi dengan bodohnya aku menolaknya. Aku tidak memaksakan perasaanku ini. Aku hanya menyukai Justin, bukan Avan.
            Aku menarik nafasku untuk menahan tangisan ini. Tapi rasanya tidak bisa. Hatiku masih terasa sakit saat aku kembali mengingat perkataan-perkataan Justin. Aku memang wanita murahan yang tidak tahu diri.  Aku semakin mengeratkan pelukanku pada Avan. Hujan di luar sana masih terdengar sampai pada telingaku. Menemani setiap tetesan hangat dari mataku. Menyelimuti perasaanku yang ketakutan dan kalut. Sakit dan gelap.


***

            Aku bersandar pada sofa milik Avan. Kami sudah berada di dalam kantor. Atau lebih tepatnya ruang kantor Avan. Tubuhku rasanya lemah sekali. Tidak ada gairah untuk bekerja. Tapi Avan memakluminya. Ia menyuruhku untuk menenangkan diri di atas sofanya sedangkan ia sibuk mengetik di meja kantornya. Mataku terus mengedip dengan perlahan. Entah apa yang Justin sedang lakukan sekarang. Sangat jelas, sekarang aku merindukannya. Itu artinya aku memang mencintainya.
            Kuambil ponsel yang berada dalam tas merah kecilku. Kunyalakan ponselku dan mencari nomor kontak milik  Zayn lalu menelponnya. Ponsel yang kupegang, kudekatkan pada telingaku. Memegang ponselnya saja rasanya tidak kuat. Apalagi berbicara. Ya, dari tadi pagi hingga pagi menjelang siang ini aku malas berbicara. Makan hanya sedikit. Padahal aku sedang hamil.
            “Halo, Deep. Ada apa? Tumben sekali kau menghubungiku,” ucapnya dengan riang. Senyuman kecil mengembang pada wajahku. Aku terkekeh pelan.
            “Tidak ada apa-apa. Aku ingin tanya, apa Justin ada di rumahnya? Karena kupikir kemarin kau berencana untuk menginap di rumah Justin,” ujarku dengan suara yang pelan dan serak.
            “Oh, ya. Tadi malam aku memang menginap di rumahnya. Dan entahlah, dia terlihat begitu depresi dan tidak bersemangat. Apa kau tahu apa yang terjadi dengannya? Aku khawatir dengannya, siapa tahu saja dia gila karena belum mendapatkan pekerjaan karena tadi malam ia bilang kalau ia ingin mencari pekerjaan, aku kasihan dengannya,” Zayn berbicara begitu cepat dan panjang sekali. Membuatku sedikit pusing dengan kata-kata yang ia ucapkan. Aku mendesah pelan dan menatap meja hitam yang berada di hadapanku. Air mataku mulai membendung di kelopak mataku. Membuat sebagian penglihatanku buram. Dengan pelan aku menghapusnya dengan jari telunjukku.
            “Entahlah. Kenapa kau tidak memanggil Caitlin untuk datang ke rumah Justin? Kurasa Caitlin bisa mengurangi depresi Justin,” balasku dengan tawaan terpaksa. Aku terbatuk pelan dan membenarkan posisi dudukku. Dari tadi aku duduk dengan malas, tidak tegap.
            “Kau sedang ada di mana? Kenapa tenang sekali di sana?” tanya Zayn penasaran. Mataku melihat ke arah Avan yang masih mengetik itu.
            “Aku sedang berada di kantor Avan. Ya sudah, kirimi aku pesan kalau ada apa-apa dengan Justin, nanti malam aku datang ke rumahmu,”
            “Aiaiai, Kapten! Aku tunggu nanti malam.” ujarnya mengikuti cara bicara Spongebob. Aku terkekeh pelan dan menganggukan kepalaku lalu mematikan ponselku. Aku mendongakan kepalaku menatap langit-langit ruangan Avan. Kupegang perutku dengan pelan dan merasakan kehangatan setiap detiknya. Entahlah, setidaknya aku memiliki anak dari orang yang kucintai. Kita tidak akan pernah tahu apa yang telah kita lakukan akan membawa kita ke mana. Kita tak akan pernah tahu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar