****
DJ
memutar music dance dengan ritme yang
cukup cepat. Semua orang yang berada di ruangan itu menari-nari dengan gelak
tawa tanpa sebab. Bergelas-gelas wine yang telah mereka minum telah tersebar di
mana-mana. Lantai menari telah di isi oleh pengunjung-pengunjung tempat itu. Terlihat
di sudut ruangan itu sekelompok anak muda sedang bersenang-senang dengan
cerita-cerita yang dapat mengocok perut mereka. Beberapa lelaki di kelompok
tersebut terus meneguk bir yang mereka pesan. Dengan 2 wanita yang berada di
antara mereka.
Morgan
Deep Newman. Wanita ini tampak tidak menikmati acara yang sedang berlangsung.
Ia adalah salah satu dari 2 wanita yang berada di kelompok anak muda ini. Ia
terduduk di sudut tempat duduk yang melingkar itu bersama dengan seorang lelaki
yang merangkulnya dengan mesra. Lelaki yang merangkul terus tertawa-tawa saat
salah satu dari mereka menceritakan sebuah cerita lucu. Tapi Morgan tidak
tertawa sepenuhnya, ia hanya tersenyum merespon cerita tersebut.
“Deep,”
lelaki yang merangkulnya menatapi Morgan dengan tatapan yang lembut, “ada apa?
Kau tidak menikmati malam tahun baru ini?” tanya lelaki itu dengan lembut.
Deep, lelaki itu memanggil Morgan dengan nama tengahnya. Namun, Deep hanya
membalas Justin dengan senyuman dan menggelengkan kepalanya.
“Ayo
ceritalah,” paksa lelaki ini menggoyangkan bahu Deep yang ia rangkul. Deep
tertawa kecil dan mulai mengelus dada lelaki yang terlapisi oleh pakaian ini.
Ia memainkan jarinya di sana sambil menggigit bibirnya. Deep mulai menyandarkan
kepalanya pada bahu Justin dengan manjanya.
“Hhh,”
ia melenguh pelan, “ini bukan tahun baru yang sebenarnya dan akhir-akhir ini
aku merasa tidak enak badan,” ucapnya tidak menyukai malam tahun baru ini. Ia
merasa kurang nyaman atas perayaan yang tidak patut ia dapatkan. Seharusnya
mereka membakar jagung atau semacamnya dengan kembang api yang mereka beli dan
memasangnya di depan rumah Justin yang besar. Ya, Justin Bieber. Lelaki yang
merangkul Deep ini tampak perhatian terhadap sahabatnya ini. Sahabat tapi mesra
ini tampak terlihat begitu nyaman dengan posisi duduk mereka sekarang. Tidak
sama dengan 6 teman mereka yang lain. Mereka hanya bercerita-cerita dengan
seru, menenggakan beberapa gelas bir namun tidak ada satu pun di antara mereka
merokok. Justin, lelaki ini adalah lelaki yang paling terkenal di kalangan club
yang mereka datangi. Ia juga terkenal di kalangan tempat kerjanya, namun
beberapa hari yang lalu ia baru saja dipecat karena sudah 3 kali Justin
terlambat masuk kerja. Biar pun Justin baru saja dipecat, ia tidak tampak
khawatir. Tentu saja, ia lelaki yang memiliki harta yang banyak dari
orangtuanya. Deep tampak tidak menyukai sikap Justin yang tidak dewasa, Justin
selalu bergantung pada orangtuanya yang memang kaya itu. Dan Justin tampak
tidak berusaha untuk mencari pekerjaan lain. Justin sangat duniawi. Ia terus
bermain-main dengan wanita, menghamburkan uang bulanan yang diberikan oleh
orangtuanya. Justin tidak pernah khawatir akan masa depannya kelak. Yang hanya
ia pikirkan adalah ia akan mendapatkan warisan dari orangtuanya.
Sama
seperti sekarang. Justin baru saja mendapatkan uang yang cukup banyak dari
orangtuanya untuk merayakan malam tahun baru di sebuah club terkenal di
Atlanta. Justin tertawa, ia tidak
mendengarkan apa yang Deep katakan tadi. Ia mendengar temannya yang bernama
Zayn bercerita dengan lucunya. Deep mengangkat kepalanya dari dada Justin dan
menatap Justin. Sedetik kemudian Justin menoleh dan menatap Deep.
“Jadi,
kau tidak merasa ini malam tahun yang sebenarnya, huh?” tanya Justin melirik
Deep dengan tatapan yang ‘menantang’. Deep terdiam dan hanya menganggukan
kepalanya satu kali. “Baiklah, ayo kita pulang dan bersenang-senang.”
****
Perlahan-lahan
Deep membuka matanya dengan ragu. Ia mengerjapkan matanya berkali-kali dan
menstabilkan penglihatannya. Menatap langit-langit kamar yang tidak tampak
asing baginya. Ini kamar Justin, sahabatnya. Dan lalu ia menoleh ke samping
melihat seorang lelaki yang sedang pulas tertidur di sebelahnya. Ia tahu apa
yang baru saja terjadi dengannya. Untuk yang kesekian kalinya, ia melakukan
hubungan intim dengan Justin. Deep menarik selimut putih yang menutupi tubuhnya
yang masih polos itu. Tadi malam adalah malam yang sangat luar biasa baginya.
Ia
menekuk satu tangannya dan menumpu kepalanya di atas tangannya. Ia menatap wajah
Justin yang terlihat begitu pulas. Tampak damai dan tidak ada masalah. Ia
tersenyum kecil melihat keindahan ciptaan Tuhan ini. Tangannya mulai mengelus
bibir Justin yang tampak lebih menyembul dari pada biasanya. Ia mencubit bibir Justin dengan gemas. Bibir
yang pernah mengecup bibirnya itu. Deep tidak mengerti dengan perasaannya
sekarang. Ia sudah memiliki pacar, tapi ia tidak pernah mencintai pacarnya.
Avan, Avan Jogia adalah pacarnya sejak beberapa bulan yang lalu. Deep terpaksa
menerima cinta Avan karena Avan adalah atasannya. Ya, Deep sudah bekerja
sebagai editor penerbitan buku. Tapi Avan terus menggodanya sewaktu ia bekerja
dan mengajaknya kencan beberapa bulan yang lalu. Dan sehari setelah malam
kencan, mereka resmi berpacaran.
Kemarin
malam ia tidak bertemu dengan Avan karena Avan harus pergi ke Inggris untuk
merayakan natal sekaligus tahun baru di sana. Awalnya, Avan mengajak Deep tapi
Deep tidak mau seperti orang tolol yang hanya mengikuti Avan kemana saja tanpa
berbicara hal-hal yang ia ingin bicarakan. Avan termasuk orang yang membosankan
untuknya.
“Ngh,”
Justin melenguh dan perlahan-lahan ia membuka matanya. “Ah,” ia meregangkan
otot-otot tangannya.
“Pagi
Justin,” ujar Deep menyambut Justin dengan senyuman. Justin menautkan kedua
alisnya dan menatap Deep dengan tatapan bingung mengapa Deep berada di kamarnya
namun beberapa detik kemudian ia sadar.
“Oh,
hey cantik,” balas Justin menarik kepala Deep agar ia bisa mencium Deep. Justin
tersenyum dengan sumringah dan kembali ia meregangkan otot-ototnya. Deep
tersenyum dengan manis dan segera menarik selimutnya untuk pergi dari tempat
tidur Justin. Ia harus segera mandi. Sebenarnya ia tahu, ia sudah terlambat
untuk datang ke tempat kerjanya. Ya, seorang editor yang tidak bisa menikmati
liburan yang lama. Deep juga tahu, Avan pasti sudah berada di ruang kerjanya
sekarang. Avan adalah atasan yang paling ia benci selama ini. Diumurnya yang ke
22 ini membuatnya cukup frustrasi. Begitu banyak buku yang harus ia perbaiki.
“Kau
ingin pergi bekerja?” tanya Justin menaikan boxer merah yang semalam terlepas.
Deep hanya menganggukan kepalanya dan memasuki kamar mandi yang berada di dalam
kamar Justin.
Justin
hanya dapat menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Ia berpikir, mengapa
wanita secantik Deep tidak pernah ingin menikah? Umurnya memang masih muda
untuk menikah. Deep juga tidak pernah mencintai Avan. Ya, Deep sering
menceritakan masalah-masalahnya pada Justin.
Kadang juga Justin merasa ia harus memacari sahabatnya ini. Tapi ia
berpikir lebih panjang lagi. Ia tidak ingin kedekatannya bersama Deep hilang
begitu saja hanya karena mereka putus di tengah jalan. Namun sekarang, Justin
sedang menyukai sahabatnya yang bernama Caitlin. Ia memang menyukai Caitlin
karena Caitlin seorang wanita muda yang terlihat alim dan begitu feminism.
Tidak sama dengan Deep yang setiap hari hanya memakai celana jeans pendek
seperti lelaki dengan kaus biasa yang ia pakai. Dan bahkan Deep jarang memakai
sepatu hak tinggi –kecuali saat ia kerja. Caitlin pun sudah memiliki butik
miliknya sendiri. Terbukti dari cara berpakaiannya yang terlihat begitu modis.
Sepatu hak tinggi yang cantik dengan gaun selutut yang sederhana ia pakai,
membuat Caitlin terlihat sangat cantik. Bagi Justin, Caitlin adalah
malaikatnya. Hanya saja, Justin belum berani untuk menyatakan perasaanya pada
Caitlin. Dan ia bahkan belum pernah meniduri Caitlin. Justin tahu, Caitlin
adalah seorang wanita yang religious dan pastinya tidak ingin berhubungan badan
sebelum menikah. Ia bahkan masih memakai purity
ring-nya.
Justin
melenguh pelan. Terkadang ia bosan dengan apa yang ia miliki. Uang yang ia
dapatkan dari orangtuanya memang melimpah, rumah milik kakek dan neneknya telah
diwariskan padanya, ia sudah banyak menikmati tubuh wanita. Tidak ada niatan
dalam dirinya untuk mendapatkan pekerjaan. Ia hanya merasa terpojoki saat ia
menyadari semua sahabatnya memiliki pekerjaan. Zayn dan Liam, mereka juga
adalah sahabat Justin. Mereka menjadi arsitek. Harry, Louis dan Niall bekerja
sebagai pelayan. Meski hanya menjadi pelayan, mereka selalu mendapatkan banyak
uang tip karena ketampanan yang mereka miliki.
Justin
menggelengkan kepalanya dan terkekeh.
“Huh
tidak apa-apa. Pekerjaan bukan segalanya,” gumam Justin bangkit dari tempat
tidurnya.
****
Deep
terus menatapi layar computer dan mengamati kalimat-kalimat cerita dari seorang
penulis. Mengetik kata-kata yang kurang bagus dan sedikit menyunting
ceritanya. Ia menarik nafasnya
dalam-dalam dan menghembuskannya. Akhir-akhir ini Deep merasa mual dan tidak
enak badan. Tapi baginya itu sudah biasa. Itu penyakit yang paling laris
baginya. Dan Deep pun membenci dokter. Ia tidak pernah menyukai dokter selama
hidupnya. Karena ia sangat membenci jarum suntik yang akan menusuk di tubuhnya
atau dokter yang terkadang genit meraba-raba tubuhnya. Ia menggelengkan
kepalanya. Kepalanya begitu pening. Ia memegang menumpu kepalanya di tangannya
yang berada di atas meja itu.
“Kapan
cerita ini akan berakhir? Penulis ini bahkan tidak tahu jika cerita begitu aneh
dan tidak jelas. Mengapa atasanku bodoh sekali memilih cerita,” gumamnya
menghela nafasnya dengan malas.
“Selamat
pagi cantik,” sapa seorang lelaki yang berambut gondrong itu muncul dari
belakang Deep. Sontak Deep terkejut dan menggelengkan kepalanya. Ia langsung
salah tingkah. Antara ia harus tertawa atau ia mengabaikan sapaan atasannya
ini. Avan, pacar dari Deep ini memutar kursi yang Deep duduki. Dan mengecup
bibirnya di depan para pekerja. Sungguh memalukan. Deep langsung mendorong dada
Avan dengan cepat.
“Avan,
ini tempat kerja,” ujarnya yang tidak menyukai bibir Avan yang baru saja
mengecupi bibirnya. Avan menganggukan kepalanya sambil tersenyum dengan manis.
Perut
Deep merasa penuh. Ia harus pergi ke toilet. Ia merasa mual. “Permisi, Avan,”
ucapnya menyingkirkan tubuh Avan yang berada di depannya dan berlari kecil
menuju toilet. Ia menggelengkan kepalanya. Ini hanya sakit biasa, ujarnya dalam
hati.
****
“Selamat,
kau hamil,” ucap seorang dokter pada Deep yang terlihat begitu terkejut akan
apa yang dokter itu katakan. Ia menggelengkan kepalanya. Tidak mungkin ia
hamil. Dan satu-satunya lelaki yang pernah menidurinya adalah Justin. Justin
Bieber. Kehamilan ini membuatnya semakin membenci kehidupannya. Dia semakin
membenci dirinya sendiri. Setelah ia menerima cinta dari Avan, sekarang ia
telah mendapatkan anak dari sahabatnya sendiri. Ini jelas-jelas sudah merusak
persahabatannya dengan Justin. Walau ia pikir, Justin yang sudah merusaka
persahabatannya sejak Justin dan Deep telah berhubungan badan beberapa bulan yang
lalu hingga sekarang.
“Kehamilan
yang tidak diharapkan?” tanya dokernya menebak ekspresi Deep yang tampak
terkejut bukan karena kesenangan itu. Deep menganggukan kepalanya.
“Pembuatannya
yang tidak diharapkan,” balas Deep terbangun dari lamunannya. Dokternya
memaklumi Deep dan tersenyum pada Deep. Deep kembali menggelengkan kepalanya
dan turun dari ranjang pemeriksaan dan segera mengambil tas kecilnya yang ia
taruh di atas kursi pasien. Dan mengeluarkan beberapa lembar uang dengan nilai
yang cukup besar.
“Ini,
terima kasih banyak,” ucapnya segera melengos pergi dari tempat itu. Ia harus
memberitahu Justin.
***
“Justin,”
panggil Deep langsung membuka pintu rumah Justin tanpa mengetuknya. Ia berjalan
masuk ke dalam ruang bermain Justin. Ya, Justin memiliki ruang untuk bermain.
Di sana sama saja seperti di tempat bermain yang berada di Mall. Ia melihat
Justin dan Caitlin sedang bermain Billyard dengan mesranya. Cukup terkejut akan
apa yang dilakukan mereka. Justin sedang menggoda Caitlin. Ia berpura-pura
mengajari Caitlin cara bermain Billyard yang benar. Justin berdiri di belakang
tubuh Caitlin. Terlihat sekali Justin merasa senang di sana, berbeda dengan
Caitlin yang terlihat begitu gugup.
“Hey,
Justin! Caitlin, sedang bermain Billyard?” sapa Deep dengan ceria setelah
beberapa detik ia melamun. Perasaannya campur aduk sekarang. Antara senang
karena ada Caitlin dan sakit karena Justin bermesraan dengan Caitlin. Dia tahu
diri, dia hanya seorang sahabat untuk Justin.
“Oh
hey, Deep. Ingin bergabung?” tanya Caitlin yang menembakan bola putih itu pada
bola berwarna hitam. Deep menggelengkan kepalanya dan menjatuhkan bokongnya ke
kursi yang berada di dekat sana. Ia melihat Justin yang tiba-tiba saja tidak
tersenyum lagi. Tiba-tiba saja ponsel Caitlin berdering dari saku celananya.
Sontak Caitlin mendorong tubuh Justin untuk menjauh dari belakangnya.
“Halo.
Hey, Chris. Ada apa?” tanya Caitlin dengan ramah pada adiknya yang
menghubunginya.
“Ya,
oh astaga. Baiklah, aku akan segera ke sana,” ucap Caitlin kembali dan
tersenyum pada Deep. “Ya, tunggu aku. Bye.”
Caitlin
mematikan ponselnya dan menaruhnya ke dalam saku celananya. Ia melihat pada
Justin yang langsung menganggukan kepalanya. Justin tahu Caitlin harus pergi.
Caitlin memeluk Justin dengan erat dan segera melepaskan pelukannya.
“Bye,”
Caitlin berpamitan dan mengambil tasnya yang ia taruh di atas kursi sebelah
Deep.
Tubuh
Caitlin lenyap begitu saja dari rumah Justin. Sekarang tinggal Justin dan Deep
yang berada di ruangan itu. Justin menghentak-hentakan tongkat yang ia pegang
itu ke lantai.
“So,
apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Justin yang bisa melihat raut wajah Deep
yang begitu khawatir. Deep berdiri dari tempat duduknya dan menghampiri meja
Billyard itu. Ia bertumpu pada dua tangannya di atas meja Billyard itu dan
menatap Justin. Ia menghela nafasnya.
“Huh,
Justin,” panggilnya, “Aku hamil.” Lanjutnya yang berhasil membuat Justin
tersentak begitu saja.
“What?”
tampak wajah Justin tak percaya dengan perkataan Deep. Kepalanya terasa pusing
dan BUK! Justin terjatuh begitu saja ke lantai. Ia pingsan. Deep membulatkan
matanya tampak terkejut.
****
*Deep POV*
Titik-titik
air turun dari langit. Membasahi rumah Justin yang besar ini. Aku masih
menunggu Justin yang belum terbangun dari pingsannya. Sudah 20 menit ia masih
berada di posisinya. Aku mana kuat mengangkatnya dari lantai. Jadi aku hanya
menaruh kepalanya di atas pahaku sekarang. Entah harus kuapakan dia sekarang.
Tanganku sudah menamparnya berkali-kali. Tapi ia masih tak sadar juga.
Perutku
telah diisi oleh calon manusia yang akan lahir ke dunia ini. Yang selalu
kupikirkan saat pertama kali aku diberi tahu oleh dokter kalau aku hamil,
bagaimana nasibku bersama bayi ini? Aku dan Justin bahkan belum menikah. Dan
hubungan kami hanya sebatas sahabat. Bagaimana jika kehamilanku ini terdengar
sampai pada ke telinga Caitlin? Atau sampai pada Zayn dan teman-temanku yang
lain? Oh, Tuhan. Ini adalah masalah terbesar yang pernah kudapatkan. Tapi
setidaknya, aku tidak tinggal bersama orangtuaku. Mereka tinggal di London
bersama dengan adik perempuanku. Sudah hampir 4 tahun orangtuaku tidak pernah
mengunjungiku, begitu juga denganku. Aku tidak pernah mengunjungi mereka.
Kulihat
wajah Justin yang datar. Kucium bibirnya dengan pelan. Hanya beberapa detik
langsung kulepas begitu saja. Sedetik kemudian, ia terbangun dari pingsannya.
Matanya langsung terbuka lebar dan membangunkan kepalanya dari pahaku.
Digeleng-gelengkannya kepalanya itu dan mengerjapkan matanya berkali-kali.
“Deep,
ap-apa yang kaulakukan di sini?” tanya Justin pura-pura tak tahu. Aku mendengus
kesal dan berdiri dari dudukku di lantai ini. Kutarik tangan Justin untuk
berdiri juga dengan perasaan yang cukup jengkel. Aku tidak menyukai sikap
Justin yang satu ini. Ia sangat suka berpura-pura tak tahu atau bisa kubilang
dia ingin menjauhi masalah yang ia dapatkan. Tapi ini bukan masalah baginya!
Ini anugerah baginya. Janin yang berada dalam perutku ini adalah miliknya. Aku
menatap kedua matanya secara bergantian. Ke kanan dan ke kiri, mencoba untuk
mencari tahu apa yang sedang ia pikirkan.
“Aku
tidak bisa melakukan ini Deep,” ujar Justin menggelengkan kepalanya. Ia menjauh
dariku, melangkahkankan kakinya keluar dari ruang permainannya. Kuikuti dia
dari belakang dengan perasaan yang cukup kalut. Justin menghentikan
langkahannya tepat di depan akurium ikan dekat sofa di ruang tamunya. Ia
terdiam di sana untuk beberapa detik dan membalikan tubuhnya. Menatapku dengan
desahan nafasnya yang dapat kupastikan itu adalah desahan nafas penyesalan.
Kutautkan kedua alisku dengan raut wajah memelas.
“Tidak,
Deep. Aku belum bisa bertanggungjawab atas kehamilanmu. Merawat diriku saja aku
belum benar. Kau harus mengerti, Deep,” tuturnya kelihatan ketakutan.
Keringatnya terlihat di pelipisnya, deru nafasnya terdengar tak beraturan.
Kuanggukan kepalaku dengan pelan. Ya, dia benar. Dia belum bisa merawat dirinya
dengan baik. Bagaimana dia bisa merawat diriku dan bayi ini? Ya, aku mengerti.
“Tapi
Just, apa kau bisa mencari pekerjaan? Jika kau bisa mendapatkan pekerjaan, kau
bisa belajar bertanggungjawab dari sana,” ucapku dengan nada yang begitu
menyesakan. Matanya tidak terlihat bersinar. Tidak seperti saat ia menatap
Caitlin jika mereka sedang duduk berhadapan atau melakukan hal bersama-sama.
“Ya,
tentu. Aku bisa melakukan itu,” ujarnya menganggukan kepalanya, “tapi tolong
jangan beritahu kehamilanmu pada siapa-siapa. Aku janji akan bertanggungjawab
akan kehamilanmu, tapi tidak sekarang.”
Kuanggukan
kepalaku dan menghantarkan kakiku untuk keluar dari rumah Justin. “Aku tahu apa
yang harus kulakukan Justin. Urusi dirimu, aku memegang janjimu Just.”
****
Aku
memeluk tubuhnya yang besar ini. Aku memeluk tubuh Avan dan menangis dalam
pelukannya ini. Aku telah berbohong pada Avan. Aku menangis bukan karena aku
telah membohonginya. Tapi aku menangis karena respon yang Justin berikan
padaku. Sampai-sampai diriku sendiri bingung mengapa aku bisa menangis hanya
karena kehamilan yang tak diharapkan ini ditolak olehnya. Mungkin aku mencintai
Justin atau semacamnya. Terbukti dari apa yang baru saja kulakukan tadi. Aku
menerima perjanjian yang Justin berikan padaku. Bukannya menentang, tapi aku
menerima. Sebodoh itukah diriku?
Dan
sekarang, aku malah pergi ke rumah Avan. Terjebak dalam pelukannya. Bukannya
aku pergi ke rumah Zayn. Karena Zayn adalah sahabat yang dekat denganku. Tidak
mungkin aku pergi ke rumah Caitlin. Caitlin, ia wanita yang Justin sukai bahkan
Justin cintai. Uh, sungguh berbeda sekali perlakuan Justin padaku dan Caitlin.
Caitlin lebih dihargai dibanding Justin menghargai diriku. Aku meremas baju
yang Avan pakai. Dan meringis pelan, perutku merasa begitu sakit. Aku menjerit
dan menggigit baju Avan untuk menahan rasa sakit pada perutku.
“Hiks,
Avan. Aku sungguh minta maaf. Aku memang bodoh. Tapi Avan …” aku berhenti
berbicara. “Apa kau ingin merawat bayi dari hasil pendonoran sperma ini?” aku
memohon padanya. Tangan Avan meraup wajahku yang bersandar pada dadanya ini.
Kurasakan kepalanya yang menyentuh kepalaku, tanda ia menyetujui permintaanku.
Avan memang lelaki yang baik dan pengertian. Tapi dengan bodohnya aku
menolaknya. Aku tidak memaksakan perasaanku ini. Aku hanya menyukai Justin,
bukan Avan.
Aku
menarik nafasku untuk menahan tangisan ini. Tapi rasanya tidak bisa. Hatiku
masih terasa sakit saat aku kembali mengingat perkataan-perkataan Justin. Aku
memang wanita murahan yang tidak tahu diri.
Aku semakin mengeratkan pelukanku pada Avan. Hujan di luar sana masih
terdengar sampai pada telingaku. Menemani setiap tetesan hangat dari mataku.
Menyelimuti perasaanku yang ketakutan dan kalut. Sakit dan gelap.
***
Aku
bersandar pada sofa milik Avan. Kami sudah berada di dalam kantor. Atau lebih
tepatnya ruang kantor Avan. Tubuhku rasanya lemah sekali. Tidak ada gairah
untuk bekerja. Tapi Avan memakluminya. Ia menyuruhku untuk menenangkan diri di
atas sofanya sedangkan ia sibuk mengetik di meja kantornya. Mataku terus
mengedip dengan perlahan. Entah apa yang Justin sedang lakukan sekarang. Sangat
jelas, sekarang aku merindukannya. Itu artinya aku memang mencintainya.
Kuambil
ponsel yang berada dalam tas merah kecilku. Kunyalakan ponselku dan mencari
nomor kontak milik Zayn lalu
menelponnya. Ponsel yang kupegang, kudekatkan pada telingaku. Memegang
ponselnya saja rasanya tidak kuat. Apalagi berbicara. Ya, dari tadi pagi hingga
pagi menjelang siang ini aku malas berbicara. Makan hanya sedikit. Padahal aku
sedang hamil.
“Halo,
Deep. Ada apa? Tumben sekali kau menghubungiku,” ucapnya dengan riang. Senyuman
kecil mengembang pada wajahku. Aku terkekeh pelan.
“Tidak
ada apa-apa. Aku ingin tanya, apa Justin ada di rumahnya? Karena kupikir
kemarin kau berencana untuk menginap di rumah Justin,” ujarku dengan suara yang
pelan dan serak.
“Oh,
ya. Tadi malam aku memang menginap di rumahnya. Dan entahlah, dia terlihat
begitu depresi dan tidak bersemangat. Apa kau tahu apa yang terjadi dengannya?
Aku khawatir dengannya, siapa tahu saja dia gila karena belum mendapatkan
pekerjaan karena tadi malam ia bilang kalau ia ingin mencari pekerjaan, aku
kasihan dengannya,” Zayn berbicara begitu cepat dan panjang sekali. Membuatku
sedikit pusing dengan kata-kata yang ia ucapkan. Aku mendesah pelan dan menatap
meja hitam yang berada di hadapanku. Air mataku mulai membendung di kelopak
mataku. Membuat sebagian penglihatanku buram. Dengan pelan aku menghapusnya
dengan jari telunjukku.
“Entahlah.
Kenapa kau tidak memanggil Caitlin untuk datang ke rumah Justin? Kurasa Caitlin
bisa mengurangi depresi Justin,” balasku dengan tawaan terpaksa. Aku terbatuk
pelan dan membenarkan posisi dudukku. Dari tadi aku duduk dengan malas, tidak
tegap.
“Kau
sedang ada di mana? Kenapa tenang sekali di sana?” tanya Zayn penasaran. Mataku
melihat ke arah Avan yang masih mengetik itu.
“Aku
sedang berada di kantor Avan. Ya sudah, kirimi aku pesan kalau ada apa-apa
dengan Justin, nanti malam aku datang ke rumahmu,”
“Aiaiai,
Kapten! Aku tunggu nanti malam.” ujarnya mengikuti cara bicara Spongebob. Aku
terkekeh pelan dan menganggukan kepalaku lalu mematikan ponselku. Aku
mendongakan kepalaku menatap langit-langit ruangan Avan. Kupegang perutku
dengan pelan dan merasakan kehangatan setiap detiknya. Entahlah, setidaknya aku
memiliki anak dari orang yang kucintai. Kita tidak akan pernah tahu apa yang
telah kita lakukan akan membawa kita ke mana. Kita tak akan pernah tahu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar