CHAPTER FIFTEEN
Semua orang terlalu menikmati waktunya.
Mildred dan Benjamin sedang berbicara dengan salah satu penyewa estat keluarga
Moore. Bridget sedang membacakan cerita dongeng pada anak berumur 3 tahun yang
duduk di atas pangkuannya, di perpustakaan. Hope sedang sibuk-sibuknya mencari
Mr. Phee yang barusan ia lihat sempat melewati ruang dansa, tapi sekarang
kucing itu sudah lepas dari pandangannya. Dan Lord Moore baru saja selesai
berbicara dengan Mr. Burton, salah satu pengacara terkenal di London, di dalam
kantor kerjanya selama beberapa menit mengenai usaha Lord Moore di Bristol. Terakhir
Lord Moore melihat Grisell sedang duduk di sebelah para wanita lajang, di
pinggir tembok. Dan sepertinya ia harus membawa Grisell kembali ke kamar karena
ia melihat keletihan di mata wanita itu.
Mr. Burton sudah berbaur dengan para
tamu sementara Lord Moore berjalan menuju tempat Grisell duduk. Matanya tidak
mendapati wanita itu di sana. Mungkinkah ia pergi ke toilet atau keluar rumah
untuk mencari udara segar? Ia mendekati tempat itu, kemudian memalingkan
pandangannya pada para pedansa, tetapi Grisell tidak ada di antara mereka. Cravat abu-abu yang dikenakan Lord Moore
terasa mencekik. Pria itu melonggarkan cravat-nya
lalu mendekati salah satu wanita yang duduk di dekat kursi yang Grisell duduki.
Menyadari dirinya diperhatikan oleh seseorang di belakang, wanita berambut
hitam dikepang rumit itu membalikkan tubuhnya. Ia terkejut mendapati Lord Moore
berdiri di belakangnya dan dengan segera ia berdiri menghadap Lord Moore. Pria
itu membungkuk memberi hormat.
“Selamat malam, Miss Loutin,” sapa
Lord Moore bersikap tenang. “Apa kau melihat Miss Parnell?”
Miss Loutin melihat kursi di
sampingnya, tapi tidak ada Grisell di sana. “Terakhir kulihat ia berdansa
dengan salah satu pria. Tapi setelah itu aku tidak melihatnya,”
“Mohon maaf atas kelancanganku, Miss
Loutin, tapi apakah kau kenal dengan pria itu? Atau setidaknya tahu siapa nama
pria itu?” tanya Lord Moore mulai kedengaran cemas. Rahang pria itu menegang
karena gugup akan jawaban yang akan diterimanya. Bagaimana jika pria itu adalah
Lord Clopton? Meski Lord Moore ragu, karena pria itu sedang disibukkan dengan
permainan kartu di ruang bermain.
“Aku tidak tahu, My Lord. Tapi pria
itu tinggi dan kira-kira ia berumur 40-an,” ucap Miss Loutin terang-terangan.
Lord Moore tidak tahu apa dia harus berteriak sekarang, meninju seseorang atau
menampar satu per satu pelayannya. Terlebih lagi Eunice. Seharusnya Eunice
bersama dengan Grisell!
“Terima kasih, Miss Loutin. Kau
sangat membantu.” Lord Moore membungkuk, mengambil tangan kanan wanita itu lalu
mengecup punggung tangannya yang terbalut sarung tangan. Pria itu dengan segera
berjalan keluar dari ruang dansa ke lantai atas. Sebelum ia menyimpulkan hal
yang mustahil terjadi pada Grisell, ia harus memastikan bahwa ia telah mencari
wanita itu dimana-mana tempat. Lord Moore berjalan cepat, maskulin dan anggun
seperti bangsawan lainnya. Ia mencari Grisell di kamarnya sendiri, tapi wanita
itu tidak ada. Kakinya beralih ke kamar Grisell, tapi yang ia temukan hanyalah
Mr. Phee yang sedang mencakar-cakar sprei tempat tidur Grisell. Saat Mr. Phee
melihat Lord Moore, kucing itu segera pergi menuju jendela, menyudut di sana
dan mengeong agar pria itu segera pergi dari kamar Grisell. Yah, Mr. Phee
sedang melakukan balas dendam pada wanita itu. Tapi sepertinya kedatangan Lord
Moore menghambatnya.
Lord Moore menutup pintu kamar
Grisell kemudian membawa dirinya turun kembali ke lantai bawah. Ia menemukan Mildred
sedang sibuk berbicara dengan Lord Clopton. Sial! Lord Moore tidak melihat
tanda-tanda keberadaan Henrietta juga. Apakah ini hanyalah sebuah kebetulan
atau memang sudah direncanakan? Lord Moore tidak tahu, tapi ia ingin sekali
tahu dimana keberadaan tunangannya. Dan mungkin jika dalam menit-menit
berikutnya, kesabarannya yang selama ini selalu menjadi kekuatannya akan
hilang. Lord Moore tidak ingin bertanya dimana Grisell pada Mildred, wanita itu
bisa panic dan membuat keributan di sini. Jadi, Lord Moore pergi menuju
perpustakaan, ruang musik dan ruang duduk. Tapi dari tiga tempat itu, Lord
Moore tidak mendapatkan Grisell. Pria itu akhirnya harus menyuruh kepala
pelayannya. Ia berjalan menuju dapur, melewati beberapa orang yang
bertanya-tanya ada apa dengannya, tapi ia tidak menjawab sama sekali. Itu
membuat beberapa tamu bingung karena pria itu terkenal akan keramahannya.
Lord Moore melihat sosok tua Cornelius sedang
berbincang-bincang dengan Millicent di mulut pintu yang menghubungkan ruang
makan dengan dapur. Mereka kelihatan saling jatuh cinta satu sama lain, tapi
sekarang Lord Moore sedang tidak bisa mengurusi percintaan mereka. Menyadari
kedatangan tuannya, Cornelius segera permisi dari hadapan Millicent, kemudian
ia mendatangi Lord Moore yang berjalan padanya.
Jantung Cornelius berdetak kencang
seolah-olah jantung itu akan berhenti dalam beberapa detik ke depan. Tuannya
sedang berada dalam suasana hati yang buruk dan ia mulai mengingat-ingat apa
yang ia perbuat selama season berlangsung.
Ia pikir semuanya baik-baik saja, tidak ada kesalahan apa pun. Tapi ada yang
hilang. Biasanya Lord Moore akan pergi kemana pun bersama dengan tunangannya.
Dan menurut penglihatan Cornelius yang masih bagus, Grisell tidak mengaitkan
lengannya di lengan Lord Moore. Terakhir kali Cornelius melihat Grisell adalah
saat wanita itu sedang duduk di pinggir tembok bersama para wanita lajang.
Mungkin wanita itu sedang pergi ke toilet. Cornelius yakin Lord Moore
mendatanginya karena ada sesuatu yang salah.
“My Lord—“
“Apa kau melihat Grisell?” Tanya
Lord Moore kelihatan tenang, suaranya terjaga dan tidak ada tanda-tanda pria
itu akan marah. Tapi Tuhan tahu, Lord Moore adalah pria sabar. Dan terakhir
kali Cornelius melihat Lord Moore marah adalah saat pria itu melihat Grisell
jatuh dari kuda dan memang wanita itu terluka di bagian pinggang kirinya. Dan
dari penelitian Cornelius selama kedatangan Grisell ke Moore House, hampir
setiap hal yang menyangkut Griselll membuat seluruh indera Lord Moore sensitif
dua kali lipat.
“Aku tidak melihatnya, My Lord.
Terakhir aku melihatnya sedang duduk bersama dengan para lajang,” ucap
Cornelius sebisa mungkin bersikap setenang Lord Moore. Pria itu berjalan
semakin dekat pada Cornelius, kemudian satu tangannya menyentuh pundak kiri
Cornelius.
“Aku ingin kau dengar perkataanku
sebaik-baiknya,” ucap Lord Moore. Cornelius mengangguk patuh. “Aku ingin kau
tetap membuat season ini berlangsung
dengan baik. Suruh para bawahanmu mencari Grisell di daerah Welshing Park. Dan
kau, panggil seluruh anggota keluargaku termasuk Lord Myhill. Setelah itu kau
cari Grisell di setiap tempat di Moore House. Apa aku sudah jelas?”
“Ya, My Lord,”
“Sekarang.”
***
Grisell berusaha meyakinkan dirinya
sedang berada dalam mimpi. Tapi keberadaan pria itu terlalu nyata baginya. Ia
tidak bisa berpura-pura. Pria itu duduk berhadapan dengannya, duduk dengan kaki
diselonjorkan dan ia bersandar di kursi seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Tangan Grisell diikat menjadi satu di belakang punggungnya, sebuah kain
diselipkan dimulutnya dan diikat, begitu juga dengan kakinya. Grisell tidak
tahu apa yang bisa lebih buruk dari ini, namun ia ingin pria ini tahu bahwa
Grisell sangat membencinya. Pria itu membuka sebuah pintu kecil rahasia di
dekat kepalanya, yang ternyata itu adalah tempat penyimpanan anggur sekaligus
gelasnya. Pria itu menuangkan setengah gelas anggur kemudian menarik kakinya
dan mencondongkan tubuhnya ke arah Grisell.
Gerakannya begitu pelan saat
jari-jari itu menyentuh kain yang terselip di mulut Grisell, namun kain itu
ditarik ke bawah, keluar dari mulutnya. Seulas senyum kecil menghias wajahnya
yang bersih, kemudian pria itu mendekatkan ujung gelas ke mulut Grisell.
“Minumlah, Manis.” Tapi Grisell
membuang wajahnya dari pria itu. Senyum itu hilang seketika. Dua alis pria itu
bertaut dan dengan segera pria itu menenggak anggur itu. “Kau tidak pernah
menolakku,” katanya setelah minuman itu habis.
“Aku tidak akan pernah menolakmu
bila kau kembali padaku,”
“Tapi aku di sini, kembali padamu,
Manis. Apa yang salah?” Tanya pria itu dengan suara putus asa. Pria itu
mengangkat satu tangan yang lain, mengelus pipi halus Grisell.
“Kau terlambat, Nathan,” bisik
Grisell. Air matanya kembali berkumpul. “Aku tidak tahu siapa kau, Nathan. Atau
bahkan, apakah Nathaniel nama aslimu?”
“Itu namaku saat bersamamu. Aku
harus menutupi identitas diriku saat itu karena aku adalah buronan dari
Irlandia. Tapi aku Nathan saat bersamamu. Percayalah, kau tahu aku, Cintaku,”
ucap pria itu. Wanita itu memaki di sela-sela giginya. Grisell menarik nafas
dalam-dalam, berusaha agar air matanya tak menetes. Ia mengerjap-kerjapkan
matanya beberapa kali lalu menghela nafas dari hidungnya. Nathan menarik
dirinya dari Grisell kemudian menaruh kembali gelas itu ke dalam kompartemen. Bagaimana mungkin Grisell tahu tentang pria
itu sementara ia tidak tahu tenyata selama ini Nathaniel adalah seorang buronan
dari Irlandia? Dari penampilan pria itu sekarang, sudah jelas Nathaniel telah
menjadi pria sukses.
Tidak pernah sedetikpun Grisell
mengira pria itu akan datang kembali sejak Grisell menginjakkan kakinya di
Moore House. Lord Moore telah membuat Grisell bangun dari omong kosong itu dan
wanita itu sekarang telah benar-benar hidup. Tapi mengapa di saat Grisell telah
mencintai orang lain, Nathaniel datang menghancurkannya? Apakah Grisell memang
tidak layak mendapat kebahagiaan karena selama ini ia adalah orang yang buruk?
Lamunan Grisell buyar begitu pria itu menarik dagunya. Wajah mereka begitu
dekat. Dia memang Nathaniel Jacoby yang Grisell kenal. Matanya berwarna hitam.
Grisell bahkan baru menyadarinya sekarang. Pria itu memiliki warna mata hitam
pekat seperti kopi hitam pahit yang biasa Cornelius minum. Selama ini wajah itu
ditutupi oleh topeng dan sekarang ia melihat wajahnya dengan jelas. Terdapat
gores luka kecil di keningnya. Dulu ia pernah mencintai pria ini dan Grisell
merasa bodoh.
“Aku sangat… sangat kecewa padamu,
Sayang,” bisik Nathan menipiskan bibirnya. Sorot matanya memang memancarkan
kekecewaan yang mendalam. Pria itu sangat mencintai Grisell hingga ia bersumpah
suatu saat nanti, ia akan menikahi Grisell dan memiliki anak dengannya. Tapi
sekarang, wanita itu mengkhianatinya. “Aku mencintaimu dan kupikir kau
mencintaiku. Katakan padaku, Manis, apakah kau merindukanku?”
“Tidak,” ucap Grisell di sela-sela
giginya. Tangan pria itu akhirnya memegang rahang Grisell keras hingga mulut
Grisell rasanya tercapit. “Bedebah!”
“Apa mereka mencuci otakmu hingga
kau membenciku seperti ini, Grisell? Oh, Tuhan, hatiku sakit sekali,” ucap pria
itu menautkan kedua alisnya sekali lagi. Grisell memejamkan matanya, ia tidak
ingin merasa iba pada pria itu setelah apa yang telah ia lakukan pada Grisell.
Sebuah kecupan jatuh ke mulutnya, terasa sangat basah dan menjijikan. Dengan
sepenuh tenaga, Grisell menyentak kepalanya dari pegangan pria itu di
rahangnya.
“Jika kau memang mencintaiku,
Nathan, mengapa kau mengikatku seperti ini? Mengapa kau perlu menculikku?
Mengapa kau datang di saat yang tidak tepat? Brengsek!” Grisell begitu marah
hingga perasaan sedihnya terganti oleh kebencian yang selama ini tak kasat
mata. Tidak ada air mata yang mengalir di pipinya. Tidak kali ini. Kesabaran
Nathaniel menipis, rahang pria itu menegang dan urat-urat di tangannya mulai
muncul karena menahan rasa ingin memukul seseorang. Ia tentu tidak akan meninju
Grisell dengan tangannya sendiri, tapi buku-buku jarinya sangat gatal ingin
memukul mulut itu. Kereta kuda yang mereka naiki bergerak tak tentu karena
hujan turun. Nathaniel bersyukur karena bajingan yang berniat menikahi Grisell
pasti akan kewalahan mencari Grisell. Dan terima kasih pada wanita asing yang
ia temui beberapa hari yang lalu di Welshing Park, yang telah membantunya.
Dengan kasar, Nathaniel menarik
lengan Grisell hingga wanita itu berpindah dari tempat duduknya ke atas
pangkuannya. Di bawah penerangan yang remang-remang, suara hujan deras dan suhu
yang dingin, pikiran Nathaniel mulai terbang kemana-mana. Grisell tidak pernah
tidak membuatnya kagum. Wanita itu sangat cantik dengan kulit seputih susu,
rambut cokelat madu dan mata biru yang selalu Nathaniel tatapi. Itu dulu.
Sekarang segalanya rusak hanya karena mulutnya yang lancang! Mungkin wanita itu
sudah lupa akan sentuhannya. Mungkin wanita itu sudah lupa kenikmatan yang
pernah diberikannya. Mungkin wanita itu hampir gila karena pria yang bernama
Bajingan Moore itu tidak berhasil memuaskannya sehingga Grisell melampiaskan
perasaan jengkelnya pada Nathan.
Mata Grisell memancarkan ketakutan yang
nyata saat ia merengkuh wanita itu. Wajah mereka begitu dekat hingga Nathan
dapat mencium aroma lavender. Oh, sangat memabukkan. “Apa kau ingat sentuhan
ini?”
Pria itu mencium bagian dalam leher
Grisell. Jika Lord Moore tahu apa yang terjadi pada Grisell sekarang,
burung-burung di udara, ikan-ikan di laut dan batu di tanah tahu, pria itu akan
menggila. Hanya jika.
***
“Sejak kapan ia menghilang?” Lord
Myhill menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Ia duduk di pinggir meja
kerja Lord Moore seolah-olah itu adalah propertinya. Mildred memeluk Benjamin
di atas sofa dengan perasaan kalut. Hope sedang dicari oleh Cornelius karena
tampaknya gadis itu terlalu sibuk mencari Mr. Phee. Dan Bridget, ia berdiri di
dekat perapian, menatap pria yang baru saja bertanya pada kakak pertamanya. Dua
tangan Lord Moore masuk ke dalam kantong celananya, ia menatap keluar jendela.
Hujan turun sejak 20 menit yang lalu. Apa ini memang hari sialnya?
“Miss Loutin memberitahuku, ia
berdansa dengan seorang pria tinggi. Kuduga orang yang tidak kuundang karena
Miss Loutin tidak tahu siapa pria itu,” ucap Lord Moore tidak bergerak sama
sekali.
“Bagaimana mungkin? Bukankah
seharusnya Mildred mengetahui para tamu yang diundangnya? Bukankah seharusnya
kau menyambut para tamumu? Demi Tuhan kalian tidak teliti,” sembur Lord Myhill
membuat Bridget tersentak. Mereka tidak teliti? Apa-apaan yang pria itu baru
katakan? Lord Moore tidak akan marah akan hinaan itu, tapi pria itu akan marah
bila dalam waktu dekat Grisell tak ditemukan. Benjamin mengelus-elus lengan
istrinya yang merasa bersalah karena tidak memeriksa keadaan. Tapi Benjamin dan
Lord Moore meyakinkan Mildred bahwa ini sepenuhnya bukan kesalahannya. Kecuali
Lord Myhill. Pria itu sangat marah mengetahui adiknya ternyata hilang.
“Ini bukan salah Mildred, demi
Tuhan,” geram Lord Moore mengeluarkan tangan kirinya dari kantong celana lalu
ia mengusap wajahnya satu kali. Ia harus segera mencari Grisell setelah Hope
masuk ke dalam ruang kerjanya. “Ini salahku karena tidak menjaganya,”
“Oh, memang! Seharusnya kau
menjaga—“
“Bisakah kau tidak membentak kakakku
seperti itu, My Lord? Kita semua di sini mencemaskan Miss Parnell, bukan hanya
kau. Sekarang bukan saatnya saling menyalahkan,” tukas Bridget memotong ucapan
Lord Myhill. Pria itu mengalihkan pandangannya dari Lord Moore ke wanita itu.
Sepasang mata berwarna hijau jernih menatapnya dengan tatapan tidak suka.
Mengapa ia tidak pernah menyadari keberadaan wanita ini? Bahkan Lord Myhill
tidak pernah tahu kalau ternyata Lord Moore mempunyai adik bermata hijau.
“Ini tidak akan terjadi jika kakakmu
tetap menempatkan Grisell di sampingnya,” balas Lord Myhill tak mau kalah.
Bridget menelan ludahnya, dua tangannya berada di belakang punggung dan mulai
mencakar-cakar jari-jarinya sendiri. Ia takut dan cemas di saat yang bersamaan.
Mildred menatap adiknya dan ia tahu apa yang terjadi pada Bridget. Adiknya yang
satu itu senang menyakiti diri sendiri jika ia terintimidasi atau dalam suasana
tak bagus.
“Tapi kau tidak perlu membentaknya
seperti itu,” ucap Bridget menautkan kedua alisnya. Tidak, jangan sampai Bridget marah, bisik Mildred dalam hati.
Wanita itu segera bangkit dari sofa—membuat suaminya juga ikut bangkit—lalu
mendekati Bridget. Lord Myhill terkekeh pelan, ia menggeleng-gelengkan
kepalanya tak habis pikir.
“Aku tidak membentak, demi Tuhan,”
ucap pria itu yakin. Dan memang pria itu tidak membentak. Ia hanya memberi
penekanan di setiap katanya pada Lord Moore. “Kalian memang keluarga ceroboh,”
“Ceroboh katamu? Jadi kau ini apa,
Lord Myhill? Sampah masyarakat?” Suara Bridget meninggi. Jika Mildred tidak
merangkulnya saat itu, Benjamin tahu apa yang akan Bridget lakukan. Wanita itu
pasti akan berlari dan menerjang Lord Myhill—itu sebabnya Bridget lebih memilih
menjadi wanita pendiam daripada berbicara dengan orang-orang. Mildred berharap
Lord Moore mau menghentikan pertengkaran kecil mereka—karena Mildred yakin
Benjamin tidak akan bisa menutup mulut Bridget—tapi saat diliriknya kakak
laki-lakinya, Lord Moore sedang melamun seolah-olah telinganya tersumbat oleh
sesuatu sehingg tidak dapat mendengar sama sekali.
“Oh, Tuhan. Kau memang sangat
sensitif, ya, Miss Moore? Pantas saja laki-laki tidak pernah menyadari
keberadaanmu karena kau mudah tersinggung,” ucap Lord Myhill menggeleng-geleng
kepala. Mata hijau Bridget seolah-olah berkata ‘mati saja kau’, tetapi bukan
saatnya meladeni tatapan itu. “Pft, aku cukup dengan omong kosong ini. Aku akan
mencari Grisell,” tukas pria itu bangkit dari sisi meja.
“Oh, aku harap kau menemukan Grisell
lalu mati setelah itu!” Sumpah wanita itu membuat Lord Myhill terperenyak.
Tidak pernah ada yang menyumpahinya mati, tetapi wanita itu… sesuatu yang lain.
“Temui aku di neraka,” ucap Lord
Myhill mengibas-kibaskan tangannya seakan-akan sumpah wanita itu tidak akan
merayap ke tubuhnya jika ia menyingkirkannya terlebih dahulu. Mildred menyuruh
Bridget diam dan memeluk adiknya. Baru saat itulah Lord Moore bergerak. Gerakan
itu tiba-tiba hingga semua orang di tempat itu menatapnya.
“Bridget, tenangkan dirimu. Kau
tidak ingin kukirim ke Amerika hanya karena ucapanmu, bukan? Mildred, bawa
Bridget ke kamar. Jika kau bertemu dengan Hope, bawa ia ke kamar juga dan
istirahatlah. Tinggalkan kami bertiga di sini.”
“Tapi—“
“Lakukan saja apa yang
diperintahnya, Mildred,” ucap Benjamin memotong istrinya. Mulut Mildred
tertutup saat itu juga, kemudian ia pergi membawa Bridget keluar dari ruang
kerja Lord Moore. Mata Bridget terus menatap Lord Myhill seperti tatapan
pembunuh bayaran. Setelah dua wanita itu keluar dari ruang kerja Lord Moore,
Lord Myhill menghela nafas lega.
“Oh, adikmu sangat gila, Moore.
Bukan ingin menyinggung, tapi itulah kenyataannya,”
“Hentikan omong kosongmu,” ucap Lord
Moore mulai jengkel. “Kita akan mencari Grisell. Lord Paston, cari sheriff agar ia mengerahkan tenaga
kerjanya. Lord Myhill, kau sangat persuasif dan mulutmu manis, dan kita berdua
tahu kau datang ke sini karena Henrietta. Kuduga ia juga menghilang, tapi itu
belum pasti. Jika kau bertemu dengannya, tanyakan keberadaan Grisell. Paksa dia
sampai ia buka mulut. Sementara aku… aku akan berkuda menuju London. Apa aku
sudah jelas?”
“Tapi Moore, sekarang hujan,” ucap
Benjamin memperingatkan.
“Aku tidak peduli,”
“Aku yakin ia tidak menghilang.
Pasti ia sedang—oh lupakan, mengapa kau tidak tunggu saja sampai para anak buah
Cornelius kembali dan memberi kabar? Dan mungkin—“
“Kita sedang membicarakan Grisell di
sini, demi Tuhan!” Bentak Lord Moore begitu lancar. Lord Myhill sampai harus
mengerjap-kerjapkan matanya karena terkejut akan bentakan itu. Oh, ini sangat menarik, kata Lord Myhill
dalam hati. “Instingku berkata ia sedang berada dalam bahaya. Miss Loutin tidak
kenal pria yang mengajak Grisell berdansa. Dan aku sudah mencari ke tempat
kesukaannya, ia tidak ada di sana! Jika ia memang tidak hilang, sudah pasti ia
kembali sejak setengah jam yang lalu. Ia diculik! Jadi diam, lakukan apa yang
kuperintahkan.”
***
Aku
mencintaimu, Moore. Maafkan aku, bisik Grisell dalam hati. Bisikan itu
terucap dalam hatinya seperti mantra. Bagian atas gaunnya telah dirobek, begitu
juga pakaian dalamnya hingga buah dadanya terbuka. Jika Nathaniel berhasil
memperkosanya, Grisell lebih memilih mati di tangan Nathaniel dibanding ia
harus bertemu dengan Lord Moore dalam keadaan ternodai. Ia sadar bahwa ia
mantan pelacur. Tapi ia sudah keluar dari kehidupan lamanya. Ia sudah bersedia
menerima kehidupan barunya. Ia bersedia dicintai oleh Lord Moore. Dan ia bersedia
menjadi Ibu dari anak-anak Lord Moore. Ia bersedia. Ia pelacur beruntung yang
mendapatkan seorang bangsawan seperti Lord Moore. Hanya saja, ia tidak ingin
tubuhnya tersentuh oleh orang lain lagi.
Nathan belum mengecup bibir Grisell.
Lidahnya menjilati tulang belikat Grisell sementara tangannya meremas buah dada
Grisell yang semakin besar—ia sudah bertumbuh menjadi wanita dewasa. Mata
Grisell terbuka, menatap langit-langit kereta kuda dan air matanya yang selama
ini ia tahan menetes dari sudut mata.
“Kau pengecut,” bisik Grisell. “Kau
sama saja seperti bajingan lain. Kau tidak mencintaiku. Kau egois. Kau penuh
omong kosong. Dan yang paling terburuk dari antara semuanya adalah kau tua,”
ucap Grisell berhasil membuat Nathan mengangkat kepalanya dari sela-sela leher
Grisell. Nathan tertawa mendengar ucapan itu. Pria itu menelengkan kepalanya ke
salah satu sisi. Apakah Grisell sedang bercanda?
“Kau sadar dulu kau sangat
menginginkanku, bukan? Saat itu aku berumur 35 tahun dan kau sangat
menginginkanku. Cinta tak pandang umur, Sayangku. Dan aku tidak tua, percayalah
padaku. Kita akan memiliki anak-anak yang menggemaskan,”
“Ya, tentu saja. Dalam mimpimu,”
ucap Grisell mengejek. Nathan menatap matanya selama beberapa saat.
Kesabarannya yang tadinya menipis sekarang sudah benar-benar hilang. Mereka
baru sampai setengah perjalanan menuju pelabuhan, bahkan sampai ke London saja
mereka belum sampai. Awalnya ia hanya sedang menggoda Grisell, ingin memberinya
kenikmatan dengan jari-jarinya. Tapi sepertinya, Nathan sudah tidak bisa
menahan nafsu binatang dan amarahnya. Ia punya dua pilihan; tetap melanjutkan
perjalanan atau meminta kereta kuda berhenti di satu penginapan dan menyewa
satu kamar untuk satu jam kemudian melanjutkan kembali perjalanan. Ia tahu
bajingan itu sekarang mengejarnya. Tapi apalah gunanya uang banyak di kantong
jika ia tidak gunakan untuk menutup mulut seseorang? Ia membenarkan pakaian
Grisell yang sudah robek hingga buah dada itu tertutup kembali kemudian
mengetuk langit-langit kereta kuda sehingga kereta itu seketika berhenti.
Pintu kereta itu terbuka, kusir kuda
yang disewanya melihat keadaan di dalam. “Hujan sangat deras, Milord.”
“Aku tahu,” ucap Nathan. “Bawa kami
ke satu penginapan terdekat dan kita akan beristirahat selama satu jam,”
“Baik, Milord.” Kusir itu kembali
menutup pintu kereta kuda lalu beberapa saat kemudian kereta itu kembali
berjalan.
“Keparat!” Bentak Grisell menggeliat
dalam rangkulan Nathan. Tangan besar Nathan kembali menahan rahang bawah
Grisell, kali ini dengan kekuatan yang menyakitkan. “Kau banci karena melawan
perempuan,” katanya tidak jelas. Mata sayu Nathan menatapnya menggoda, tapi
Grisell membalasnya dengan tatapan benci.
“Ingatkah kau saat kita bercinta,
kau selalu mencium luka di leherku dan berharap luka itu akan sembuh? Kau tahu
apa? Kau akan melakukan itu lagi malam ini,”
“Kau sadar bukan kekasihku sedang
berada dalam perjalanan untuk menyelamatkanku?” Tanya Grisell dengan nada suara
mengejek dan artikulasi yang tidak jelas.
“Aku satu-satunya kekasihmu dan kita
akan bersenang-senang malam ini.”
***
Henrietta ditemukan dalam rumah
kaca. Wanita itu sedang mencium aroma bunga lavender di ruangan itu dan sedang
memenangkan diri. Lord Myhill bersandar di mulut pintu, melipat kedua tangannya
di depan dada dan memerhatikan wanita itu. Henrietta sedang membungkuk,
menghirup dalam-dalam aroma segar lavender dan sepenuhnya tidak menyadari
kedatangan Lord Myhill sampai pria itu berdeham.
“Kau bekerja sama dengan pria
jangkung itu,” ucap Lord Myhill tanpa basa-basi. Henrietta terlonjak kaget. Ia
berbalik, mendapati sosok Lord Myhill sedang mengamatinya dengan senyum miring.
Henrietta merasa jantungnya tersangkut di tenggorokannya. Sebisa mungkin ia
menelan ludahnya dan bertanya pada pria itu.
“Sejak kapan kau berdiri di sana?”
“Aku tak tahu, 10 menit mungkin?”
Tanya Lord Myhill tidak sepenuhnya berdusta. “Katakan padaku, Henrietta, apa
yang membuatmu bekerja sama dengan pria jangkung itu? Siapa dia dan mau dibawa
kemana Grisell?” Pertanyaan itu membuat Henrietta menarik nafas tajam. Sungguh,
Henrietta perlu belajar bersandiwara lebih dalam lagi. Urat-urat berwarna hijau
tercetak di leher putihnya, bukti wanita itu tegang. Ia memutarbalikkan
tubuhnya ke bunga-bunga lavender lalu jari-jarinya yang panjang menyentuh bunga
itu dengan gerakan kaku.
“Aku tidak tahu apa yang
kaubicarakan,”
“Kau jelas tahu apa yang kubicarakan, Henrietta,” ucap Lord
Myhill melangkah masuk ke dalam. “Aku tahu kau masih menginginkan Lord Moore.
Meski aku sangat bingung apa yang membuat wanita tergila-gila padanya, tapi aku
tahu kau masih menginginkannya. Saat kau masih berpacaran dengannya, aku yakin
kau pernah membayangkan memiliki anak bersamanya dan tinggal di rumah yang
sama. Tapi wanita itu datang,”
Henrietta mengangkat kepalanya, ia
menatap keluar jendela. “Aku tidak mengerti apa yang sedang kaubicarakan dan
tujuannya. Jika kau ingin berbaik hati, My Lord, aku butuh waktu untuk
menyendiri,” ucap Henrietta tegas. Harus Myhill akui, pertahanan wanita itu
cukup kuat. Tapi tidak cukup kuat untuk seorang Myhill.
“Yah, memang sulit untuk mengakui
kalau kau masih mengharapkannya. Memang sialan jalang itu tiba-tiba datang
menghancurkan hubungan kalian. Bajingan macam apa Lord Moore ini sampai-sampai
tega meninggalkanmu demi pelacur seperti Miss Parnell?”
“Dia memang jalang,” bisik
Henrietta. “Seharusnya Lord Moore menikahiku, bukan dia.”
“Aku tahu,” ucap Lord Myhill yang
tiba-tiba sudah berada di belakang punggung Henrietta. Dua tangan besarnya
menangkup bahu Henrietta. “Satu-satunya jalan agar Moore dapat menikahimu
adalah menyingkirkan si jalang itu selama-lamanya. Tapi membunuh adalah cara
yang begitu kejam. Aku dan kau pasti tidak akan tega melakukan itu. Jadi lebih
baik bekerja sama dengan seseorang yang memiliki tujuan yang sama denganmu,”
bisik pria itu tepat di telinganya. Air mata Henrietta berkumpul kemudian
menetes dengan cepat ke atas permukaan lavender.
Semua bayang-bayang pernikahan ideal
di otak Henrietta hancur hanya karena permintaan Ayah Lord Moore agar pria itu
menikahi Grisell. Mengapa Lord Moore lebih memilih merendahkan dirinya di
hadapan masyarakat dan persetan dengan permintaan Ayahnya dibanding kawin lari
dengan Henrietta? Tapi semuanya sudah berjalan sesuai dengan rencana Henrietta.
Wanita itu sudah pergi. Lord Moore akan merasa sangat kehilangan dan kesepian.
Henrietta akan masuk kembali ke dalam kehidupan pria itu dan membuat pria itu
merasa bahwa Henrietta selalu berada di sisinya, apa pun yang terjadi.
“Ia mengaku sebagai Nathaniel
Jacoby. Dia mencintai Grisell, ia menceritakan percintaan mereka berdua 5 tahun
yang lalu. Sederhana. Aku menginginkan Moore dan dia menginginkan Grisell. Ia
berencana membawa Grisell ke Prancis agar mereka bisa menikah di sana. Sangat
romantis,” kata-kata itu meluncur begitu lancar. “Sekarang Lord Moore akan
menginginkanku. Tidak ada lagi saingan untukku. Tidak ada lagi wanita yang
dapat membuat pria itu tersenyum selain karena aku. Bukankah itu menyenangkan?”
Tapi tidak ada jawaban dari
belakang. Henrietta membalikkan tubuhnya, tapi pria itu sudah pergi dari rumah
kaca. Sialan. Bagaimana mungkin
Henrietta bisa terhanyut dalam emosinya sendiri? Pria itu akan memberitahu
keberadaan Grisell sekarang dan ia akan melaporkan Henrietta kepada polisi. Dia
akan dituduh sebagai kaki-tangan atas penculikan. Tidak, tidak, tidak. Sebentar
lagi ia akan dipenjara. Dia tidak ingin menjadi tawanan siapa pun! Ia melihat
ke sekeliling rumah kaca. Ia mencari sesuatu agar ia dapat hilang dari masalah
ini.
Ia melihat sebuah gunting tanaman di
kotak peralatan yang terbuka.
Jika itu memang satu-satunya jalan.
Mana bab endingnya?
BalasHapus😣