Minggu, 11 Agustus 2013

Touching Fire Bab 9 - End


***

*Aaron Bieber POV*

            Sudah kuyakin pasti aku adalah lelaki terberuntung di dunia. Demi Tuhan, aku telah menjadi suami Alice dan aku benar-benar bangga telah memilikinya. Selain Alice dapat memasak, ia sangat hebat di ranjang dalam kurung waktu 3 bulan bersama denganku. Apa-apaan itu? Yeah, memang sangat menyenangkan memiliki istri sepertinya. Grace. Huh, dia masih sangat labil. Ia kembali membenciku dengan alasan yang sama seperti dulu. Tentang Blake. Tapi sudah dapat kuketahui, ia tidak mencintai Blake lagi. Ia mencintaiku, aku tahu. Hanya saja, aku sudah tidak mencintainya lagi. Alice telah masuk ke dalam hidupku. Well, aku telah pindah rumah bersama dengan Alice karena kami telah menjadi suami-istri. Meski umur Alice masih 18 tahun, ia sudah pantas menjadi istriku, menurutku begitu. Akhir-akhir ini Alice sering buang kecil dan ia juga selalu mengeluh padaku tentang keadaan tubuhnya yang selalu merasa mual dan tak merasa fit. Aku sudah membujuknya untuk pergi ke dokter, namun ia selalu menolaknya. Ia bilang padaku, pasti akan cepat sembuh. Jadi aku membiarkannya untuk beberapa hari. Kulihat Jonathan yang sedang membantu si kembar mewarnai di ruang keluarga bersama-sama. Yeah, aku sedang berada di rumah ayah setelah 30 menit yang lalu aku baru saja pulang dari tempat kerjaku. Ibu dan Alice sedang pergi keluar, entah kemana. Sampai sekarang mereka belum pulang juga. Aku telah merindukan Alice.
            “Aaron,  ada apa?” tanya Jonathan yang memerhatikanku dengan wajah yang datar. Demi apa pun, ia benar-benar mirip dengan ayah. Ketampanannya juga. Aku jadi iri dengannya. “Omong-omong, Grace ada di kamar atas,”
            “Aku tahu. Aku hanya sedang merindukan Alice. Apa kau tahu mommy dan Alice pergi kemana?”
            “Well, mommy bilang mereka akan pergi ke dokter. Tadi siang Alice hampir saja pingsan,” ujar Jonathan tanpa ragu-ragu. Mendengar kata ‘pingsan’ membuat mataku membulat. Istriku pingsan dan aku tidak ada di sebelahnya? Sungguh sial. Kukeluarkan ponselku dari kantong celana.
            “Hei. Tenang saja. Ia tidak apa-apa. Kata mommy, mungkin dia hamil,” ujar Jonathan memberitahuku. Hamil? Ah, bodohnya aku! Mengapa aku tidak pernah mengetahui ini sejak awal? Padahal Alice telah memberikan tanda-tandanya. Well, kami tidak pernah membicarakan tentang kehamilan. Ah, seorang anak. Jika memang Alice hamil, aku akan bersujud dan mencium kakinya karena telah mengandung anakku. Aku menginginkan anak! Apalagi aku menginginkan anak dari orang yang sangat kucintai. Terlebih lagi aku menyukai anak-anak. Keadaanku mulai lebih tenang. Setidaknya Alice sedang berada di tangan orang yang benar. Jika ia bersama dengan ayahku, berarti ia sedang berbicara dengan lelaki penggoda. Demi apa pun tapi ayahku selalu menggoda Alice! Bukan menggoda untuk berhubungan badan, tapi ia selalu menggoda Alice dengan keburukan-keburukanku. Untunglah Alice tidak pernah menganggap serius apa yang ayahku bicarakan tentang keburukan ayahku. Sekalipun ia percaya pada ayahku, aku yakin ia tidak akan meninggalkanku. Kudengar suara langkahan menuju dapur sehingga aku memutar kepalaku untuk melihat pada ruang dapur. Ternyata Grace. Ia tidak pernah merasa lebih baik setelah kejadian paman Zayn menculiknya dan aku menikahi Grace. Aku dapat melihat keputus asaan dari wajahnya. Kemudian ia keluar dari ruang dapur sambil membawa satu kotak tempat makanan yang berisikan salad buah.
            “Hai, Grace!”
            “Enyahlah!” ujarnya acuh.
            “Hei, jangan seperti itu padaku,” ujarku bangkit dari sofa lalu mengejarnya secepat mungkin hingga aku menangkap lengannya. “Hei, mengapa kau selalu bertingkah acuh saat aku datang?”
            “Karena kau pantas diacuhkan! Sama seperti kau mengacuhkan aku,” ujar Alice yang membuatku mengerti. Sudah kuduga. Ia sakit hati karena aku tidak membalas cintanya. Tapi itu sama seperti apa yang kurasakan saat ia berhubungan badan dengan Blake dan saat aku masih mencintainya. Hanya saja, itu sudah dulu. Bukan dirinya lagi yang ada di hatiku.
            “Grace, kita dapat membicarakannya baik-baik,”
            “Diamlah. Dan lepaskan tangan kotormu itu dari tanganku,” suruhnya tegas padaku. “Terlebih lagi Aaron, aku masih belum memaafkanmu tentang kepergian Blake. Ia meninggal karena kau dan kau tidak datang ke pemakaman. Terima kasih, pembunuh,”
            “Setidaknya kau sudah tidak mencintainya lagi,”
            “Mudah untuku berbicara seperti itu. Tapi setidaknya ia pernah singgah dalam hatiku, Aaron. Jaga bicaramu. Kuharap kau akan mendapatkan karmanya,” ujar Grace menarik kasar lengannya dari genggaman tanganku. Bertepatan dengan itu, ibuku dan Alice muncul ke ruang keluarganya.
            “Grace! Kau sudah bangun sayang?” ibuku tampak begitu ceria. Suara ibu membuat langkahan Grace berhenti dan ia membalikan tubuhnya. Saat Grace melihat Alice berada di sebelah ibuku, ia berniat untuk naik ke atas kembali namun aku menahannya.
            “Kau harus sopan, Grace,” aku menegurnya, tegas.
            “Ya, aku sudah bangun. Dan mengapa Alice ada di sini?” tanya Grace, aku dapat melihat leher Grace yang memerah. Ia marah karena kedatangan Alice. Sampai kapan Grace akan membenci Alice? Alice tidak melakukan kesalahan apa pun terhadap Grace.  
            “Well, Grace. Aku membelikan ini untukmu. Ibu bilang kau menginginkan tas ini, terimalah,” ujar Alice dengan suara lembutnya sambil ia berjalan dengan satu tas bermerk Channel. Itu sangat mahal. Dari mana Grace dapat tahu tas-tas seperti ini? Gila saja. Seleranya seperti ibu-ibu. Alice tidak sepeti itu. Kulihat Grace yang melihat tas itu sejenak lalu ia melihat pada Alice dengan tatapan dingin.
            “Aku tidak membutuhkan tas itu jika itu berasal dari tanganmu yang kotor,”
            “Grace, jaga bicaramu,” aku menegurnya.
            “Tidak apa-apa Aaron,” Alice tidak ingin aku memarahi Grace. Demi Tuhan aku benci saat Alice selalu membela Grace dibanding diriku! Aku suaminya! Dan aku cemburu karena itu. “Mungkin, aku bisa menitipkannya pada ibu,” lanjut Alice.
            “Hanya itu? Kuharap kau dan kakakku cepat pergi dari rumah ini,”  
            “Grace!” ibuku menegurnya. Namun sudah terlambat. Grace telah naik ke atas, mengabaikan ibuku. Alice menelan ludahnya, aku tahu ia sedang berusaha sabar pada Grace. Dan berusaha untuk mengambil hati Grace, namun Grace tidak pernah menerimanya. Persetan. Bukan Grace yang dapat menentukan siapa kekasihku atau istriku, semuanya berada di tanganku.
            “Jadi, bagaimana keadaanmu sayang?” tanyaku menarik Alice dalam rangkulanku. Saat aku bertanya seperti itu, Alice tersenyum malu-malu dan menundukan kepalanya. Kualihkan pandanganku pada ibuku. “Apa? Apa yang terjadi?” tanyaku tak dapat menyembunyikan rasa penasaranku dan kesenanganku.
            “Alice hamil!” seru ibuku kegirangan. “Aku akan memiliki cucu! Justin sudah mengetahuinya,”
            “Oh sial. Mengapa aku suaminya sendiri bukan menjadi orang pertama yang mengetahuinya? Tapi, tidak apa-apa. Aku benar-benar senang karena istriku hamil!” ujarku menggendong Alice hingga Alice harus melingkarkan kakinya di sekitar pinggangku. Kukecup bibirnya dengan lembut. Ya Tuhan, aku sangat mencintainya.
            “Terima kasih karena kau telah datang ke dalam kehidupanku. Tanpamu, aku mungkin tidak akan mengetahui arti cinta sebenarnya. Dan calon bayi kita, aku sangat berterima kasih padamu, Alice. Aku mencintaimu,” bisikku mengecup kembali bibir Alice.
            “Ew! Peepee! Aku ingin muntah!” teriak si kembar dari belakang. Aku tertawa, begitu juga dengan Alice. Cinta itu tidak dapat ditunggu, kita harus mencarinya dan berusaha mendapatkannya. Karena waktu tidak akan pernah menunggu kita.
            Sial! Alice-ku hamil!

***

*Author POV*

            Aaron tampak sangat bahagia mengetahui istrinya sedang hamil. Tiap langkah yang Alice ambil ia selalu berada di sisinya. Meski sesekali ia harus pergi ke luar kota untuk mengurusi bisnisnya. Justin benar-benar bangga pada Aaron karena Aaron telah menghamilili Alice. Tiap kali Aaron harus pergi ke luar kota, Alice selalu dititipkan di rumah Justin. Alice tidak pernah memiliki percakapan dengan Grace, padahal ia selalu berusaha untuk mendekati Grace sebagai adiknya. Tapi demi apa pun, Grace tidak menyukai Alice. Meski Grace sedikit kasihan karena  Alice harus mengandung di umurnya yang masih muda itu. Well, bagaimanapun juga anak yang Alice kandung adalah anak Aaron. Dan ia akan menjadi bibi dari anak Aaron dan Alice. Dan ia berharap anak itu adalah anak laki-laki agar tiap kali Grace menatap anaknya, tidak akan ada kesan Alice di dalamnya karena ia tahu wajah anak lelakinya nanti akan sama tampannya seperti Aaron. Alice rutin pergi ke dokter kandung bersama dengan Alex jika tidak ada Aaron. Kadang juga Justin yang mengantarkannya.
            Si kembar dan Jonathan sudah bertumbuh menjadi anak-anak yang sangat manis. Namun Jonathan tampak tak bisa memenuhi janjinya terhadap ibunya tentang tidak menjadi lelaki yang pendiam. Ia adalah lelaki yang pendiam, kecuali jika ia bersama dengan ibunya atau Aaron. Well, Alex tidak dapat merubah kepribadian anaknya yang masih berumur 8 tahun itu. Sama seperti sekarang. Jonathan dengan tanpa ekspresi menonton acara televisi yang lucu. Sekarang adalah waktu bersama dengan keluarga. Aaron dan Alice juga berada di sana. Saat kandungan Alice menginjak 3 bulan, Aaron memutuskan untuk tinggal di rumah Justin sampai Alice melahirkan. Karena Aaron tahu ia akan menjadi suami yang sangat sibuk. Alex dan Justin tak kalah mesra, dua pasangan itu tampak berlomba-lomba untuk memperlihatkan kemesraan mereka. Tiga sofa yang berada di ruang tamu tampak cukup untuk satu keluarga itu. Meski si kembar dan Jonathan harus duduk di karpet. Grace duduk di sofa yang di tengah-tengah sehingga dua sofa yang lain yang berhadapan itu membuat pasangan Aaron-Alice berhadapan dengan Justin-Alex. Di saat 4 anak Justin dan Alex sibuk tertawa-tawa, dua pasangan ini berusaha memamerkan kemesraan mereka. Sebenarnya, bukan dua pasangan ini. Tapi Aaron dan Justin sedang memamerkan perhatian pada istri mereka. Alex menyelonjorkan kakinya di sepanjang sofa sambil kepalanya berada di dada Justin, namun matanya melihat pada acara televisi dan tertawa. Begitu juga dengan Alice pada Aaron, Grace berusaha untuk tidak begitu memerhatikan dua pasangan aneh yang mengapitnya.
            Aaron dengan lembut mengelus kepala Alice lalu mengecup keningnya. Justin yang melihatnya tampak geram. Mengapa anaknya harus menantanginya seperti itu? Tak ingin kalah, Justin mengecup bibir Alex. Itu benar-benar membuat Alex tersentak sehingga matanya bertemu dengan mata harimau Justin. Mata harimau itu tidak pernah tidak membuatnya tercengang.
            “Kau sangat seksi,” bisik Justin hingga Aaron dapat mendengarnya, begitu juga dengan Grace. Namun Grace berusaha untuk fokus terhadap tontonannya. “Ya, terima kasih. Jangan lakukan itu di depan anak-anak Justin,” saran Alex berusaha untuk menahan rasa malunya. Pipi Alex memerah namun ia kembali pada tontonannya. Alice ikut tertawa saat adik-adiknya tertawa namun kemudian tawanya itu terhenti karena kecupan bibir dari Aaron pada bibirnya pun.
            “You are the most amazing girl I’ve ever known,” bisik Aaron saat Justin melihatnya, meski Aaron berbisik, Justin dapat mendengarnya. Sialan juga anaknya. Saat iklan muncul Alice bangkit dari sandarannya terhadap dada Aaron kemudian ia terduduk. Ia menyandarkan kepalanya, melihat pada kedua mertuanya yang tampak begitu mesra. Tangan Aaron yang besar memegang perut Alice yang mulai membuncit.
            “Hei, Alice. Aku ingin memberitahumu sesuatu,” ujar Justin membuat Alex bangkit dari sandarannya terhadap dada Justin. Alice mulai tertawa kecil saat Justin berbicara. Entahlah, selalu ada kemauan untuk tertawa tiap kali Justin ingin berbicara padanya. Karena Justin selalu menggodanya. Aaron menggeleng-gelengkan kepalanya saat ayahnya ingin berbicara pada istrinya. Karena ia tahu karena ayahnya akan mempermalukannya di depan istrinya.
            “Uh, aku yakin yang ini pasti akan bagus,” ujar Justin bersemangat. “Kautahu saat Aaron masih kecil ..demi Tuhan, ia adalah anak kecil yang sangat menyebalkan bagiku,” ekspresi Justin yang gemas terhadap ucapannya itu membuat Alice tertawa.
            “Mengapa dia bisa menyebalkan?”
            “Dad!” Aaron berusaha menahan ayahnya.
            “Aku masih ingat sekali. Waktu itu masih berumur 4 tahun dan Grace masih berumur beberapa bulan. Dia adalah anak lelaki yang tidak sopan terhadap ibunya. Kautahu mengapa aku bilang seperti itu?” tanya Justin mencondongkan tubuhnya ke depan. Alice tersenyum penuh arti, ingin mengetahui apa yang akan diberitahu.
            “Ia ..melempari Alex dengan seres dan ia tertawa-tawa. Uh, aku benar-benar ingin memukul tangannya waktu itu. Menyebalkan bukan? Kuharap kau tidak pernah dilempari seres olehnya,”
            “Dad! Aku tidak pernah melakukan itu!”
            “Tentu saja kau akan mengatakan seperti itu. Saat itu kau masih berumur 4 tahun dan aku masih mengingatnya. Bahkan kau hampir memberikan Grace seres itu,”
            “Pft. Omong kosong. Jangan dengarkan apa yang ayahku katakan,” Aaron menggeleng-gelengkan kepalanya, merasa kesal pada ayahnya. Alice hanya dapat mendongakan kepalanya untuk melihat Aaron yang tampak tidak senang dengan apa yang dikatakan ayahnya. Alice memang percaya apa yang dikatakan mertuanya, tapi itu tidak akan pernah membuat Alice berhenti mencintai Aaron. Justru ia semakin mencintai Aaron karena masa lalu Aaron. Sekalipun masa lalunya yang buruk.
            “Alice. Jika anakmu lelaki, kau akan menamainya siapa?” tanya Alex mengubah topik pembicaraan. Ia tahu Aaron tidak suka dipojoki seperti itu. Aaron yang tadinya terdiam dan menonton televisinya merasa tertarik dengan topik pembicaraan ibunya. Alice menundukan kepalanya sejenak menahan senyumnya lalu ia mendongak.
            “Well, aku akan menamainya Justin,” ujar Alice malu-malu. Aaron yang mendengar itu langsung membulat matanya. Apa-apaan? Justin? Ia tidak ingin anaknya diberi nama yang sama dengan ayahnya. Sial. Justin yang mendengar itu tersenyum-senyum dengan aneh.
            “Aku tahu mengapa,” ujar Justin dengan percaya diri, “itu karena kau berpikir jika nama anak lelakimu diberi nama Justin agar anakmu tanpa sepertiku,” lanjut Justin yang membuat Alice tertawa. Kemudian Alice menggelengkan kepalanya.
            “Tidak, bukan itu maksudku menamainya Justin. Itu karena aku berterimakasih padamu karena kau telah menemukan Aaron. Karena kau juga aku dapat bertemu dengan Aaron di bar itu. Itu adalah hadiah luar biasa dalam hidupku,” ujar Alice menjelaskannya. Semua yang berada di ruang keluarga itu tampak terdiam. Tidak ada yang bersuara, hanya bernafas. Dan tidak ada yang mengedip. Justin menelan ludahnya, tidak tahu apa yang harus ia katakan. Alex yang mendengarnya tiba-tiba saja terharu, ia menitikan air matanya. Setelah bertahun-tahun Aaron tidak pernah menjalankan sebuah hubungan, akhirnya Aaron dapat menemukan Alice. Bahkan Aaron tampak berubah menjadi lebih baik saat Alice masuk ke dalam hidupnya. Alex menghapus air matanya.
            “Oh, ayolah mom. Tidak ada air mata di sini, aku tidak menyukainya,” Aaron mengeluh, tidak ingin ibunya menangis di saat-saat seperti ini. Justin yang melihatnya langsung merangkul Alex ke dalam tangannya yang besar itu.
            “Aku ingin nama panjang anak laki-laki kita nanti, Justin Christopher Bieber. Kurasa itu akan sempurna,” ujar Aaron. Alice menganggukan kepalanya, setuju.
            “Dan jika anak itu perempuan?” kali ini Justin yang bertanya sambil mengelus kepala Alex dengan lembut. Alice menarik nafasnya.
            “Alexis. Aku berterima kasih juga padamu, mom, karena kau telah merawat Aaron sebaik mungkin. Aaron sering menceritakan tentang seberapa sayangnya dia terhadap dirimu. Karena kau, Aaron mendapatkan kasih sayang yang cukup. Ini sangat luar biasa,” ujar Alice mengangkat kedua bahunya. Alex yang mendengar ucapan menantunya itu menitikan air matanya kembali, kali ini ia menghapus air matanya.
            “Itu nama yang sangat luar biasa,” puji Aaron, ia menerima jika anaknya diberi nama ibunya. Karena itu memang rencananya dari awal. Alex menarik nafasnya.
            “Oh, Alice. Aku sangat berterima kasih padamu, sayang. Karena kau, Aaron lebih baik dari pada sebelumnya. Biasanya ia tidak pernah seceria ini. Tidak pernah sebahagia ini. Dulu ia benar-benar pendiam, tapi sejak kau datang ke dalam hidupnya ..oh aku selalu berterima kasih pada Tuhan karena Tuhan telah mengirimkan malaikat sepertimu pada Aaron,” ujar Alex yang membuat Grace yang berada di tengah-tengah itu muak. Grace seakan-akan tidak dianggap di tengah-tengah mereka. Karena kesal, Grace bangkit dari sofanya lalu berjalan dengan cepat menuju lantai atas. Bisa-bisanya Alice mengambil tempatnya menjadi primadona di rumah itu. Bisa-bisanya Alice mengambil pusat perhatian orang tuanya yang seharusnya diberikan pada Grace. Sungguh sial!


***
            Bulan demi bulan berlalu. Perut Alice semakin lama semakin membesar. Alice bahagia karena bayinya bertumbuh dengan baik dalam perutnya. Namun sebenarnya ia sedang bimbang. Ia belum memberitahu Aaron tentang keadaannya. Ia meminta Alex dan Justin untuk tidak memberitahu keadaannya. Di umurnya yang masih 18 tahun, ia seharusnya tidak boleh hamil. Terlebih lagi karena pertumbuhan Alice belum sempurna dan matang. Dan juga bentuk tubuh Alice yang mungil tidak memungkinkan bayi itu akan selamat. Dokter kandungannya telah memberitahu pada Alice, Justin dan Alex. Namun mereka bertiga tidak sama sekali memberitahu itu pada Aaron. Alex sangat ingin memberitahu Aaron tentang keadaan Alice, namun Alice memohon pada Alex untuk tidak memberitahunya. Aaron tidak pernah memiliki waktu untuk menemani Alice pergi ke dokter kandungan karena bisnis yang benar-benar membuat jadwalnya padat. Grace juga tidak mengetahu ini, meskipun Grace diberitahu oleh kedua orang tuanya, Grace tidak mungkin peduli terhadap keadaan Alice. Ia juga telah mendapatkan kekasih baru. Dan kali ini Aaron tidak mengikut campuri hubungan mereka, meski sebenarnya kekasihnya itu hanya sebagai pelarian Grace. Grace masih mencintai Aaron! Meski ia membenci Aaron karena telah membunuh Blake.
            Hari ini Alice harus dibawa ke rumah sakit karena dokter telah memberitahunya untuk datang ke rumah sakit tiga hari sebelum melahirkan. Alex sedang tidak bisa mengantar Alice untuk pergi ke rumah sakit karena ia harus menjaga si kembar. Sehingga pagi ini Justin yang mengantarnya menuju rumah sakit. Aaron sedang tidak bisa menemani Alice karena ia sedang berada di luar kota. Mobil Justin terus melaju, melewati jalan raya. Lampu hijau memberikan aba-aba untuk melewati perempatan itu. Kembali mobil itu melaju lurus tak berhenti.
            “Dad,” panggil Alice ragu-ragu. Tubuhnya yang mungil bahkan sepertinya tidak sanggup untuk menangkat perutnya yang sangat besar. Justin yang merasa terpanggil itu menolehkan kepalanya pada Alice. Kemudian Alice tersenyum gugup.
            “Ya, ada apa sayang?”
            “Huh ..aku benar-benar gugup,” ujar Alice masih tersenyum gugup. Justin yang melihat Alice terkekeh pelan lalu ia mengangguk-anggukan kepalanya.
            “Aku tahu. Alex juga saat ingin melahirkan ia sangat gugup,”
            “Oh, ben—“ Ucapan Alice terhenti seketika saat mobil Justin tiba-tiba saja tertabrak oleh sebuah mobil yang seharusnya berhenti di lampu merah. Namun terlambat. Mobil Justin sedikit bergeser dan berhenti. Mobil yang menabrak mobil Justin itu menabrak bagian pintu Alice sehingga sekarang luka yang didapatkan Alice lebih banyak didapatkan. Justin dan Alice sama-sama tak sadar. Pemilik mobil yang menabrak mobil itu tidak keluar dari mobilnya karena ia juga tidak sadarkan diri. Selang beberapa menit, Justin yang merasa shock itu terbangun. Ia mengerjap-kerjapkan matanya sesaat lalu ia melihat ke sekelilingnya lalu ia benar-benar tersadar. Ya Tuhan, ia baru saja mengalami kecelakaan yang benar-benar cepat. Ia melihat pada menantunya yang tak sadarkan diri lalu ia melihat pada kaki bagian perut Alice. Ya Tuhan, semoga bayi Alice baik-baik saja. Alice masih tak sadarkan diri. Lalu Justin berusaha untuk membuka pintu mobilnya yang tiba-tiba saja macet tak dapat dibuka, namun pada akhirnya ia dapat membuka pintu mobil itu. Tiba-tiba saja sebuah pemadam kebakaran dan sebuah ambulance muncul. Seseorang pasti menghubungi 911. Justin menarik nafasnya dalam-dalam saat petugas pemadam kebakaran muncul.
            “Ada ..ada menantuku di dalam sana. Tolong keluarkan dia secepatnya, ia sedang hamil,” ujar Justin bergemetar, panik. Kemudian beberapa petugas yang lain muncul dan melihat keadaan mobil mereka. Untunglah Alice tidak terjepit di dalam mobil itu. Tak ingin berpikir panjang, para petugas kebakaran mendorong mobil yang menabrak mobil Justin dari sisi pintu mobil belakang Alice. Tiba-tiba saja Alice membuka matanya, tersadar. Ia berusaha mengumpulkan jiwa-jiwanya yang tadi terhempas.
            “Justin,” panggil Alice tiba-tiba panik. Ia mencari-cari Justin yang berada di belakang petugas kebakaran yang berusaha membuka pintu mobilnya. “Justin, dimana kau?” kali ini suara Alice lebih tinggi lagi.
            “Aku di sini sayang, bertahanlah. Kita akan baik-baik saja,” ujar Justin berusaha menenangkan Alice.
            “Justin air ketubanku pecah!” seru Alice merasakan sesuatu yang basah di bawah sana, ia mengadahkan kepalanya ke belakang. “Justin aku berdarah,” bisiknya kali ini menangis. Beberapa saat kemudian, pintu yang rusak itu dapat terbuka dengan paksa.
            “Alice, kau akan baik-baik saja sayang,” ujar Justin benar-benar panik. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan selain mendekati para petugas kebakaran. Kemudian tiga petugas pemadam kebakaran membawa penopang korban seperti di pramuka itu. Mereka dengan pelan-pelan mengangkat Alice dari dalam mobil itu kemudian menempatkannya di atas alat itu. Secara bersamaan, ketiga pemadam kebakaran itu mengangkat Alice menuju Justin.
            “Dad,” seru Alice, memegang tangan Justin saat Justin menghampirinya. Justin ingin menangis rasanya saat ia melihat menantunya terluka. “Aku ..ah! Aku berkontraksi sekarang,” ujar Alice.
            “Kita akan membawamu ke rumah sakit sayang. Bertahanlah,”
            “Oh, dad. Aku ..rasa ..aw!” Alice mengerang. Alice telah ditempatkan ke atas tempat korban di dalam mobil ambulance. Justin ikut masuk ke dalam mobil Ambulance itu bersama dengan petugasnya.
            “Kau harus menahannya sayang, kau bisa menahannya,”
            “Sakit sekali, dad. Aaron,” bisik Alice tak tahan. Petugas ambulance itu mengeluarkan sebuah infuse lalu ia menangani Alice sebaik mungkin. Saat Alice kembali tak sadarkan diri, infuse itu dapat membuat Alice kembali tersadar.
            “10 menit lagi, kau pasti dapat menahannya 10 menit lagi,” ujar petugas itu memberitahu pada Alice. Alice mengambil nafasnya dalam-dalam untuk menahan rasa sakit tiap kali berkontraksi. Alice mengerang berkali-kali selama perjalanan menuju rumah sakit lalu Justin menghubungi Aaron. Aaron yang berada di kota lain yang sedang mengadakan rapat itu tiba-tiba saja harus terganggu. Ia langsung mengangkat panggilan dari ayahnya. Ia tahu pasti ayahnya akan menghubunginya.  Saat terangkat, Justin menekan tanda pengeras suara agar Alice dapat mendengar suara Aaron.
            “Ayah? Apa yang terjadi?” tanya Aaron tiba-tiba saja panik.
            “Aaron! Oh, bayi kita akan keluar sayang,” Alice mengambil nafasnya terus menerus.
            “Alice! Ya Tuhan! Alice. Apa yang terjadi sayang? Dimana kau sekarang?”
            “Oh, Aaron. Cepat pulang, temani aku. Aku membutuhkanmu,”
            “Alice, aku di sini sayang. Masih ada aku. Tarik nafasmu sayang, aku ada di sini. Aku mencintaimu Alice. Aku mencintaimu, bertahan untukku sayang,”
            “Engh! Aaron, aku juga mencintaimu,” erang Alice tak kuat lagi. Ia mengadahkan kepalanya ke belakang. Bertepatan saat itu juga ambulance telah sampai di depan rumah sakit. Dengan cepat Alice dikeluarkan dari mobil ambulance.

***

            Alex, , Grace, Jonathan dan si kembar sedang menunggu keadaan Alice yang berada di ruang bersalin untuk mengeluarkan bayinya. Justin berada di sebelahnya untuk mendukung Alice. Alice menarik nafasnya dalam-dalam. Ponsel Justin berada di sebelah telinga Alice, Aaron terus mengucapkan kata-kata semangat untuk Alice. Sebenarnya Justin dilarang untuk membawa alat elektronik, namun ia bersikeras membutuhkannya untuk menantunya.
            “Kau pasti bisa, sayang. Kau pasti bisa,” Aaron di seberang sana terus mendukung Alice.
            “Ooow ..Aaron, ya Tuhan,”
            “Tulang punggung tidak mendukung keadaannya!” ujar sang bidan. “Ini antara nyawa sang bayi dengan ibunya,”
            “Tidak, aku bisa melakukannya,” ujar Alice memaksa. Ia dapat melakukannya. Meski ia tahu nyawa yang akan menjadi taruhannya. “Aaron!”
            “Dorong lagi! Aku dapat melihat kepalanya sekarang!” seru sang bidan di bawah sana.
            “Engh, Aaron,” Alice terus mendorong bayinya untuk keluar dari perutnya. Tiga kali ia telah melakukannya hingga ia mendengar suara bayi menangis. Alice tersenyum. Ia telah berhasil. Ia berhasil melahirkan anak pertamanya.
            “Laki-laki. Anak Anda laki-laki,” seru sang bidan dengan senyum. Lalu bidan itu memberikan bayi yang menangis keras itu pada gendongan Alice.
            “Oh, my baby, Justin. Anak kita laki-laki Aaron, hiks,” Alice menangis, terharu. Ia mengelus terus menerus kepala bayinya yang lembap itu. Tangisan Alice lama-lama menghilang, kepalanya mengadah ke belakang, masih dalam posisi menggendong bayinya. Alice tak sadarkan diri.
            “Ia mengalami shock. Dan ia kekurangan darah!” seru Justin langsung mengambil bayi itu dari gendongan Alice. Alice sudah tak sadarkan diri. Monitor detak jantungnya memperlihatkan detak jantungnya yang semakin lama semakin menurun denyutnya. Aaron masih berada dalam telepon, namun tak ada yang menjawabnya. Justin mengambil ponselnya lalu berjalan keluar dari ruang bersalin setelah ia memberikan bayi itu pada salah satu suster.

***

            “Aku bersumpah pada Tuhan untuk menjaga dan merawat anak ini sebaik mungkin. Akan kurawat ia sesuai permintaan Alice semasa ia mengandung dulu. Aku selalu mencintai Alice. Ia adalah gadis pertama yang mengubah kehidupanku. Yang menghadirkan Justin dalam kehidupanku,” ucap Aaron berusaha tegar saat ia diperhadapkan pada pemakaman istri pertamanya yang masih baru. Ia menggendong bayi pertamanya yang terlelap. Setidaknya, bayinya masih hidup. Aaron masih memiliki pengharapan pada anaknya.
            “Aku selalu mencintainya ibu, aku selalu mencintainya!” seru Aaron menangis, kali ini. Ia menempatkan kepalanya pada bahu ibunya. Alex yang berada di sebelahnya menangis tersedu-sedu. Ia mengelus pipi Aaron selembut mungkin.
            “Ibu tahu ini sangat berat sayang. Tapi Tuhan telah memanggilnya,” ujar Alice melihat pada batu salib yang menjadi bukti bahwa Alice telah dipanggil oleh Tuhan. Grace yang berdiri berseberangan dengan Aaron ikut bersedih melihat kakaknya terpuruk. Setelah tiga hari yang lalu mereka harus diperhadapkan pada sebuah kenyataan bahwa Alice telah pergi.
            “Aku akan selalu mencintai Alice. Andai Tuhan dapat menghentikan waktu untukku agar aku bisa menikmati kehidupanku lebih lama lagi dengannya, tapi kenyataannya adalah Tuhan merenggutnya daripadaku,”
            “Aaron, aku tahu ia sangat berharga bagimu nak. Semua orang pasti pernah merasa kehilangan,” ujarJustin dari belakang, mengelus pundak Aaron. “Setidaknya Tuhan telah memberikan waktumu selama satu tahun hidup bersamanya,”
            “Biar kugendong,” bisik Grace yang telah berdiri di sebelah Aaron, lalu ia mengambil Justin kecil itu dari gendongan Aaron. Kali ini Aaron langsung memeluk ibunya lebih erat.
            “Aku telah berusaha mencari gadis yang sama sepertimu ibu. Dan aku mendapatkannya. Aku mencintainya, dari dalam hatiku. Aku menginginkan begitu banyak anak darinya. Oh Tuhan ..aku benar-benar ..aku benar-benar mencintainya,”
            “Kami semua tahu, Aaron, kau mencintai Alice,”
            “Aku tidak akan pernah melupakan gadis pertamaku. Alice Bieber, my love.” Bisik Aaron menghelakan nafasnya.

***

            “Terima kasih atas pertemuannya hari ini Mr.Bieber. Kuharap kita bisa bekerja sama dengan baik,” ujar seorang lelaki yang memiliki perawakan yang besar serta memiliki janggut yang berwarna putih. Ia menyalami Aaron setelah mereka melakukan sebuah perjanjian yang saling  menguntungkan kedua perusahaan mereka. Namun sepertinya Aaron selalu melakukan kelicikan di setiap perjanjian. Seorang gadis yang memiliki tubuh mungil dengan rambut panjang cokelatnya muncul dari belakang tubuh lelaki tua yang bertubuh besar. Ia menyalami Aaron dengan malu-malu.
            “Terima kasih Mr.Bieber, senang bertemu denganmu,” ujar gadis itu dengan suara yang lembut. Malu-malu pula. Aaron tertarik. Berapa umur gadis ini? Mungkin mereka seumur. “Aku tidak menyangka di umurmu yang masih 23 tahun ini kau sudah telah menjadi pengusaha yang sukses,”
            “Haha,” Aaron tertawa renyah sambil menarik tangannya, “Ini dikarenakan aku adalah penerus dari keluarga Bieber. Awalnya ayahku yang memberikanku satu perusahaannya namun aku mengembangkannya dengan usahaku sendiri. Jadi bisa dibilang aku sukses dengan bantuan orang tuaku,” jelas Aaron tanpa malu-malu. Baiklah, Aaron sekarang benar-benar tertarik dengan gadis ini.
            “Baiklah, Mr.Bieber, kurasa kau dapat menghubungiku jika surat itu telah jadi. Mungkin Katherine dapat mengambilnya di kantormu. Perlu kautahu, Mr.Bieber, Kath bekerja magang di perusahaanku. Aku langsung mengangkatnya menjadi asistenku karena aku dapat melihat potensi darinya,” ujar lelaki tua itu yang membuat Aaron mendapatkan keuntungan yang sangat besar. Aaron tidak perlu menanyakan lagi siapa nama gadis ini dan mengapa ia bisa bekerja dengan Mr.Smith, lelaki tua itu. “Satu lagi, dia masih sendirian,”
            Wajah Aaron terkejut, namun hanya berlangsung beberapa detik. “Gadis cantik sepertimu tidak memiliki kekasih? Wow, aku tidak menyangka,”
            “Ayah dan ibuku bilang aku tidak boleh memiliki hubungan asmara dengan seseorang jika aku belum lulus kuliah,” ujar Kath sesopan mungkin. Mr.Smith tertawa-tawa lalu ia merangkul tubuh Kath yang mungil itu ke dalam rangkulannya yang benar-benar membuat Kath pengap. Aaron tidak ikut tertawa, ia hanya menatap Kath dengan seksama. Tingkah gadis ini mengingatkan almarhum istrinya yang telah meninggalkannya satu setengah tahun yang lalu. Mengapa? Karena cara bicaranya serta sikap malu-malunya membuatnya gemas ingin membawa gadis ini masuk ke dalam kamarnya, jika perlu ia akan melakukannya di atas meja ini. Tak ingin membuang-buang waktu, Aaron dengan sengaja menatap jam tangan yang ia pakai.
            “Oh, ternyata sudah jam 4 sore. Kurasa aku harus pulang,”
            “Tentu saja, Mr.Bieber. Sekali lagi aku benar-benar senang telah bertemu denganmu. Biar Kath yang akan mengantarmu sampai lift,” ujar Mr.Smith kembali menjabat tangan Aaron lalu ia mendorong tubuh Kath agar cepat-cepat membukakan pintu untuk Aaron. Langsung saja Kath membuka pintu itu sehingga Aaron dengan segera keluar dari ruang rapatnya. Disusul dengan Kath yang langsung berjalan keluar dan mengambil jaket tebal yang ia gantung di luar ruang rapat untuk Mr.Bieber. Aaron hanya menunggunya sambil menatap gerak-gerik Kath yang tampaknya ceroboh. Map yang dibawa Kath terjatuh begitu saja sehingga ia mendengus dengan kesal. Mungkin perbedaan gadis ini dari Alice adalah rambutnya serta lekuk tubuhnya yang lebih berisi.
            “Kapan kau lulus kuliah?” tanya Aaron, penasaran. Kath yang baru saja mendapat mapnya itu langsung salah tingkah. Ya Tuhan. Ada apa dengannya?
            “S-satu bulan lagi, Mr.Bieber,”
            “Sudah berapa lama kau bekerja dengan Mr.Smith?” tanya Aaron, melangkahkan kakinya lebih dekat pada Kath yang berusaha mengacuhkannya, namun Kath tidak dapat melakukan itu karena ia tahu itu tidak sopan. Kath mengambil jaket tebal milik Aaron.
            “Kurasa sekarang bukanlah sesi wawancara, Mr.Bieber,” Kath menjawab Aaron sesopan mungkin. Aaron terkejut dengan jawaban gadis ini. Biasanya banyak wanita yang sangat ingin diketahui oleh Aaron, ingin Aaron mengenalnya, namun gadis ini? Apa-apaan. Namun Aaron masih tertarik. Gadis ini tampaknya sangat ingin menutupi privasinya. Mungkin Aaron dapat mencaritahu gadis ini. Tapi rasanya Aaron masih ingin merasa penasaran dengannya.
            “Oh, baiklah. Senang bertemu denganmu, Katherine,” ujar Aaron memberikan tatapan seksi yang sangat mendominasi saat ia mengambil jaket tebal itu dari tangan Kath.
            “Senang bertemu denganmu, Mr.Bieber,” balas Kath, kali ini lebih percaya diri.

***

            “Daddy!” seru seorang anak kecil yang memiliki rambut berwarna senada dengan rambut ayahnya. Aaron baru saja sampai di rumahnya, ia kembali lagi ke rumah Justin setelah Alice meninggal. Tidak mungkin ia akan mengurus Justin kecilnya sendirian. Justin kecil yang baru bisa berlari itu dengan semangat berlari ke arah ayahnya yang melempar tas kerjanya ke atas sofa ruang tamu lalu ia membuka tangannya untuk memeluk anaknya. Justin kecil benar-benar lucu saat ia berlari, gayanya seperti akan terjatuh namun sebenarnya ia tidak akan terjatuh. Lalu akhirnya ia sampai pada ayahnya. “Daddy!” serunya lagi saat Aaron menangkapnya lalu memeluknya dengan erat.
            “Woah! Anak daddy berat sekali!” goda Aaron sengaja jatuh ke belakang sehingga sekarang Justin kecil berada di atas tubuh Aaron. Justin kecil hanya tertawa-tawa saat ia sedang digoda oleh ayahnya. Ia menempatkan kepalanya di dada ayahnya sebentar lalu ia mengangkat kepalanya. “Hei, Justin. Bagaimana kabarmu hari ini sayang?”
            “Aku rindu daddy,” bisik Justin mengecup bibir ayahnya singkat. Yeah, mereka sering melakukan itu. Terlebih lagi, Alex, neneknya yang lebih sering mengecup bibir Justin. Well, sebenarnya, Grace juga senang mengurusi Justin kecil. Tapi itu jika tidak ada Aaron di rumah. Ia masih memiliki dendam terhadap kakaknya yang sampai sekarang tidak ingin mengakui bahwa dirinya mencintai Grace. Tiap kali Grace menatap mata Justin kecil yang berwarna hitam itu, ia teringat dengan Alice. Tidak ada rasa benci yang ia rasakan sekarang. Ia justru merasa iba karena Justin kecil tidak memiliki ibu kandungnya. Namun tidak apa-apa. Grace bisa menjadi ibunya nanti. Meski Grace tahu itu adalah tindakan tergila jika ia menikah dengan Aaron. Namun Grace masih menanamkan harapannya.
            “Ayo kita masuk ke kamar, lalu memandikan tubuhmu yang bau ini, lalu tidur. Bagaimana dengan itu?” tanya Aaron mengangkat tubuhnya dari lantai sambil menggendong Justin kecil. Justin kecil tidak gemuk, sebenarnya. Hanya saja ia berisi. Ia menggemaskan. Justin hanya mengangguk lalu menempatkan kepalanya pada bahu Aaron. Bertepatan saat Aaron ingin masuk ke dalam ruang keluarga, Alex muncul, mencari-cari Justin kecil kemana. Mereka baru saja bermain petak umpet.
            “Oh ya Tuhan, Aaron. Kupikir aku kehilangan Justin,” seru Alex menarik nafasnya, ia menggelengkan kepalanya tak percaya sekarang Justin kecil telah berada dalam gendongan ayahnya.
            “Tenang, ia sudah berada di tangan yang tepat. Apa dia sudah makan?”
            “Yeah, Grace yang menyuapinya,”
            “Kurasa aku harus memandikan anakku,” ujar Aaron tidak ingin membicarakan Grace untuk sekarang ini. Ia juga cukup kesal dengan adiknya yang telah berumur 18 tahun itu namun masih tidak memiliki pemikiran yang dewasa. Dan kebencian Grace terhadap Aaron masih tetap sama. Masih dengan alasan karena Aaron telah memukul Blake sehingga Blake meninggal. Padahal Aaron tahu Grace sudah tidak mencintai Blake. Itu yang membuat Aaron kesal. Yang tidak diketahui Aaron tentang kebencian Grace sekarang adalah Grace mencintai Aaron namun dua setengah tahun yang lalu Aaron tidak mencintainya. Itu sangat menyedihkan. Grace masih mencintai Aaron. Terlebih lagi sekarang Aaron telah memiliki anak, Grace semakin dapat memerhatikan kejantanan Aaron yang luar biasa. Aaron membuka pintu kamar anaknya lalu menurunkan Justin kecil untuk cepat masuk ke dalam kamar mandi.
            “Ayo, cepat! Gerakan kaki dan bokongmu! Jika tidak aku akan menggigitmu! Pelan-pelan jika kau sudah masuk ke dalam kamar mandi!” seru Aaron menepuk-nepuk bokong Justin kecil dengan gemas. Justin kecil langsung berlari dengan riang menuju kamar mandinya yang ia sukai. Tentu saja Justin kecil menyukai kamar mandi kecilnya. Di sana ada mainan bebek yang dapat berbunyi serta temboknya dipenuhi dengan bebek yang berenang-renang. Dan tirai bath-upnya juga bergambar bebek-bebek. Mungkin Justin kecil akan menyukai bebek di masa depan. Aaron yang masih berada di luar itu menarik nafasnya. Ternyata berat sekali menjadi seorang ayah serta pengusaha. Ia harus kerja pagi dan ia merindukan anaknya lalu ia pulang dan mengurus anaknya. Ia membutuhkan seorang istri untuk menjaga anaknya. Ia tentu saja tidak dapat berharap terus menerus pada ibunya. Aaron melepaskan dasi abu-abunya lalu melemparkannya pada daerah kumpulan mainan Justin kecil.
            “Apa kau sudah membuka bajumu, Justin?”
            “Sudah daddy!” seru Justin dari dalam kamar mandi sambil menggaruk-garuk perutnya, merasa dingin. Justin pintar, ia membuka air panas untuk memenuhi bath-upnya. Neneknya yang mengajarkannya. Justin hafal dengan seberapa banyak air panas yang dibutuhkan lalu mencampurinya dengan air dingin. Justin memang sudah membuka bajunya, kecuali celana dalam bergambar Superman-nya yang berada di belakang bokongnya itu. Aaron masuk dengan keadaan telanjang dada, ia tentu saja harus bertelanjang dada karena ia tahu tubuhnya juga akan basah.
            “Hei, hati-hati,” ujar Aaron saat anaknya membuka keran air dingin. Air panasnya sudah cukup, menurut Justin. Saat ia memutar keran air dingin ia langsung berbalik melihat ayahnya. Ia menyukai apa yang ada di tubuh ayahnya. Yeah, tattoo ayahnya.
            “Sudah cukup, cepat matikan air dinginmu itu! Kita tentu tidak ingin kedinginan bukan?” tanya Aaron mulai berjongkok. Lalu Justin kecil mematikan air dinginnya. “Ayo cepat, sekarang taruh bokongmu yang montok itu duduk di atas bath-up,” suruh Aaron memukul gemas bokong anaknya. Setelah Justin masuk ke dalam bath-up, Aaron langsung mengambil mainan bebek yang ia taruh di atas tombol penyiram toilet. Lalu ia memberikannya pada Justin.
            “Aku ingin memiliki ini,” tunjuk Justin kecil pada pinggang Aaron yang ditatto itu. Aaron hanya terdiam, ia tidak ingin anaknya menjadi sepertinya. Memiliki banyak masalah.
            “Well, apa yang kaulakukan seharian ini?” tanya Aaron, mengalihkan topik pembicaraan.

***

            “Tidak, aku tidak mencintainya,” ujar lelaki bermata harimau itu dengan suara beratnya. Ia mengiggit kedua ibu jarinya yang berdempetan karena tangannya yang terlipat. Ia tidak berani melihat wanita yang berada di hadapannya. Wanita yang begitu sayangi, ia tidak akan pernah membiarkan seorangpun dapat menyakiti wanita ini. Meski sebenarnya, ia tahu kalau ia tidak memiliki kontak batin dengan ibu yang berada di depannya. Ibunya sangat cantik. Ia menyayanginya, selamanya. Ibu yang memiliki mata biru itu menatap lelaki ini dengan lembut.
            “Aaron, kau tidak perlu berbohong,” sela ibunya memegang tangan besarnya. “Well, kau mirip dengan ayahmu. Tidak ingin mengakui sesuatu yang seharusnya diakui, kau mengerti itu?” suara ibunya benar-benar lembut.
            “Aku tidak mencintainya, ya Tuhan. Peepee. Aku benar-benar tidak percaya kau memaksaku seperti ini. Demi Tuhan, tidak,” lelaki ini menarik tangannya dari tangan Peepee-nya dengan cepat sambil terkekeh. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang ditumbuhi oleh rambutnya yang memiliki panjang kira-kira 5 cm dengan warna yang sama dengan rambut ayahnya. Ibunya tertawa pelan lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. Mereka sudah sering berbicara seperti ini. Di sebuah kamar anak lelakinya yang telah bertumbuh menjadi lelaki yang dewasa, ia sudah terbiasa berbicara empat mata dengannya.
            “Lalu mengapa kau terlihat begitu perhatian dengannya? Maksudku saat ia datang ke rumah, menyapaku dengan Justin, lalu tersenyum dengan ramah. Begitu sopan. Dan kau tahu apa yang tidak pernah kukira selama ini? Kukira kau tidak akan tersenyum setelah kau keluar dari kamar. Tapi lihat? Kau tersenyum saat ia datang,” jelas Peepee.
            “Tidak, itu salah, mom. Tolonglah jangan memojokan anakmu seperti ini. Karena sungguh, itu tidak lucu. Dan aku tidak pernah ingin berpacaran,”
            “Mengapa? Mengapa kau tidak ingin berpacaran?”
            “Karena aku ..aku tidak percaya dengan yang namanya menjalin hubungan. Aku tidak mahir. Kau lihat sendiri dengan gayaku seperti ini,” jelas Aaron, anak dari Peepee ini pasrah. Alex atau yang biasa dipanggil Peepee oleh Aaron ini menyipitkan matanya. Mata birunya menatap tajam Aaron, mencari-cari apa yang anaknya sembunyikan. Lalu ia tersenyum kecil, ia tahu apa yang Aaron sembunyikan darinya. Sialan!
            “Kau mendengar cerita dari ayahmu. Aku tahu. Kapan?” tanya Alex, mengetahuinya.
            “Sudah lama. Lama sekali. Sejak aku berumur 17 tahun kurasa,” suara Aaron yang serak-berat itu terdengar sangat seksi. Alex terdiam sejenak. Anaknya tidak memberitahunya selama 5 tahun? Oke, Alex harus mengakui bahwa Aaron adalah penyimpan rahasia yang hebat. Aaron bahkan tidak memperlihatkan ciri-cirinya menyukai wanita atau menyimpan rahasia! Sial. Dan Justin? Suaminya sendiri, suami dari Alexis, tidak menceritakan padanya bahwa ia –Justin—telah bercerita tentang masa kelamnya terhadap anak lelaki satu-satunya? Alex mendecak kesal dan memukul lututnya.
            “Mom. Pergilah. Aku tidak ingin diintropeksi seperti ini,” usir Aaron, malas. Di atas tempat tidurnya yang besar, Aaron yang tadinya terduduk langsung membaringkan tubuhnya. Alex yang terduduk di atas kursi goyang milik Aaron –yang biasa dipakai kalau Aaron sedang bermalas-malasan—itu tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. “Mom, apa kau bisa memanggil Grace?”
            “Dia tidak ingin menemuimu, kau tahu. Kau telah mematahkan penis lelaki itu dua tahun lalu dan itu membuatnya marah sekali denganmu. Selama dua tahun. Apa itu terdengar keren bagimu anak muda?”
            “Yeah, sangat keren. Kumohon bujuk dia untuk berbicara denganku. Aku telah berkali-kali meminta maaf padanya. Tapi dia selalu mengurung diri di kamarnya bahkan ia tidak menyapaku saat di ruang makan!” Aaron meremas rambutnya lalu ia memeluk bantal kepalanya. “Kumohon?” Aaron menatap ibunya yang telah berdiri dengan tatapan memohon. Alex menatap Aaron dengan tatapan yang penuh dengan kelicikan. Senyumnya miring, ia tahu apa yang akan ia lakukan pada anak lelakinya.
            “Apa? Mengapa kau tersenyum seperti itu padaku?” Aaron mulai tersenyum, namun matanya menatap ibunya hati-hati dan curiga. Alex melangkah maju pada tempat tidurnya lalu duduk di sisinya.
            “Aku akan memanggil Grace untuk berbicara denganmu lagi,” ujar Alex, lalu ia menarik nafasnya membuat Aaron terkesiap. “Asalkan …”
            “Oh Tuhan, aku tahu ini! Aku tahu ini!” Aaron bangkit dari tempat tidur hingga ia terdudukd an memukul-mukul udara dengan kesal. “Aku tahu ini. Kau selalu bersikap licik padaku. Mommy, tolonglah, jangan siksa aku seperti ini,”
            “Tidak, aku tidak menyiksamu. Hanya saja aku ingin bertanya,”
            “Baiklah. Apa itu?” Aaron bertanya dengan nada suara yang malas.
            “Well, siapa yang kaucintai sayang? Aku tidak akan menyinggung ini lagi,”
            “Grace.” ujar Aaron, bercanda. “Pft. Mom, aku tidak ingin berpacaran lagi setelah kepergian Alice. Aku trauma! Aku mencintai anakku. Ternyata benar apa yang dikatakan ayah, aku seharusnya tidak menjalin sebuah hubungan karena aku tahu akan berakhir sakit hati seperti ini. Aku tidak mencintai siapa pun, kecuali Justin-ku,”
            “Tapi gadis itu ..siapa namanya?”
            “Kath,” Aaron memberitahu ibunya. “Aku sebenarnya ingin datang ke kantornya tadi pagi, tapi kautahu aku tidak enak badan –“
            “Sudahlah, Aaron. Kau sudah besar, sudah dewasa. Jangan berpikir dengan jalan yang sama dengan ayahmu, dia hanya menyesatkanmu. Dan jangan membuat alasan karena Alice telah meninggal. Mungkin Tuhan telah menyiapkan pengganti Alice untukmu,”
            “Aku sudah bilang padamu, Peepee, aku tidak mahir dalam menjalin hubungan asmara. Aku tidak ingin kejadian Alice terulang kembali dalam kehidupanku, Peepee. Jangan memaksaku,”
            “Itu semua karena otakmu telah dicuci oleh ayahmu yang bodoh itu!” seru Peepee, gemas karena anaknya tidak ingin mendengar perkataannya. “Baiklah, aku tidak dapat melakukan apa pun lagi. Semua ada keputusan ada di tanganmu. Tapi yang jelas, saat kau bertemu dengannya tadi pagi, kau tersenyum. Jarang sekali kau tersenyum di rumah, mungkin kau tersenyum hanya karena Justin kecil. Mungkin dia yang akan menjadi kekasihmu,” Peepee berjalan menuju pintu kamar Aaron.
            “Pft, Peepee. Jangan membicarakan omong kosong, aku tidak menyukainya,”

            “Aku tidak sedang membicarakan omong kosong. Aku bisa melihatnya,” ujar Peepee membuka pintu kamar Aaron. “Kejar dia atau tidak sama sekali.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar