***
*Aaron Bieber POV*
Sudah kuyakin pasti aku adalah
lelaki terberuntung di dunia. Demi Tuhan, aku telah menjadi suami Alice dan aku
benar-benar bangga telah memilikinya. Selain Alice dapat memasak, ia sangat
hebat di ranjang dalam kurung waktu 3 bulan bersama denganku. Apa-apaan itu?
Yeah, memang sangat menyenangkan memiliki istri sepertinya. Grace. Huh, dia
masih sangat labil. Ia kembali membenciku dengan alasan yang sama seperti dulu.
Tentang Blake. Tapi sudah dapat kuketahui, ia tidak mencintai Blake lagi. Ia
mencintaiku, aku tahu. Hanya saja, aku sudah tidak mencintainya lagi. Alice
telah masuk ke dalam hidupku. Well, aku telah pindah rumah bersama dengan Alice
karena kami telah menjadi suami-istri. Meski umur Alice masih 18 tahun, ia
sudah pantas menjadi istriku, menurutku begitu. Akhir-akhir ini Alice sering
buang kecil dan ia juga selalu mengeluh padaku tentang keadaan tubuhnya yang
selalu merasa mual dan tak merasa fit. Aku sudah membujuknya untuk pergi ke
dokter, namun ia selalu menolaknya. Ia bilang padaku, pasti akan cepat sembuh.
Jadi aku membiarkannya untuk beberapa hari. Kulihat Jonathan yang sedang
membantu si kembar mewarnai di ruang keluarga bersama-sama. Yeah, aku sedang
berada di rumah ayah setelah 30 menit yang lalu aku baru saja pulang dari
tempat kerjaku. Ibu dan Alice sedang pergi keluar, entah kemana. Sampai
sekarang mereka belum pulang juga. Aku telah merindukan Alice.
“Aaron, ada apa?” tanya Jonathan yang memerhatikanku
dengan wajah yang datar. Demi apa pun, ia benar-benar mirip dengan ayah.
Ketampanannya juga. Aku jadi iri dengannya. “Omong-omong, Grace ada di kamar
atas,”
“Aku tahu. Aku hanya sedang
merindukan Alice. Apa kau tahu mommy dan Alice pergi kemana?”
“Well, mommy bilang mereka akan
pergi ke dokter. Tadi siang Alice hampir saja pingsan,” ujar Jonathan tanpa
ragu-ragu. Mendengar kata ‘pingsan’ membuat mataku membulat. Istriku pingsan
dan aku tidak ada di sebelahnya? Sungguh sial. Kukeluarkan ponselku dari
kantong celana.
“Hei. Tenang saja. Ia tidak apa-apa.
Kata mommy, mungkin dia hamil,” ujar Jonathan memberitahuku. Hamil? Ah,
bodohnya aku! Mengapa aku tidak pernah mengetahui ini sejak awal? Padahal Alice
telah memberikan tanda-tandanya. Well, kami tidak pernah membicarakan tentang
kehamilan. Ah, seorang anak. Jika memang Alice hamil, aku akan bersujud dan
mencium kakinya karena telah mengandung anakku. Aku menginginkan anak! Apalagi
aku menginginkan anak dari orang yang sangat kucintai. Terlebih lagi aku
menyukai anak-anak. Keadaanku mulai lebih tenang. Setidaknya Alice sedang
berada di tangan orang yang benar. Jika ia bersama dengan ayahku, berarti ia
sedang berbicara dengan lelaki penggoda. Demi apa pun tapi ayahku selalu
menggoda Alice! Bukan menggoda untuk berhubungan badan, tapi ia selalu menggoda
Alice dengan keburukan-keburukanku. Untunglah Alice tidak pernah menganggap
serius apa yang ayahku bicarakan tentang keburukan ayahku. Sekalipun ia percaya
pada ayahku, aku yakin ia tidak akan meninggalkanku. Kudengar suara langkahan
menuju dapur sehingga aku memutar kepalaku untuk melihat pada ruang dapur.
Ternyata Grace. Ia tidak pernah merasa lebih baik setelah kejadian paman Zayn
menculiknya dan aku menikahi Grace. Aku dapat melihat keputus asaan dari
wajahnya. Kemudian ia keluar dari ruang dapur sambil membawa satu kotak tempat
makanan yang berisikan salad buah.
“Hai, Grace!”
“Enyahlah!” ujarnya acuh.
“Hei, jangan seperti itu padaku,”
ujarku bangkit dari sofa lalu mengejarnya secepat mungkin hingga aku menangkap
lengannya. “Hei, mengapa kau selalu bertingkah acuh saat aku datang?”
“Karena kau pantas diacuhkan! Sama
seperti kau mengacuhkan aku,” ujar Alice yang membuatku mengerti. Sudah kuduga.
Ia sakit hati karena aku tidak membalas cintanya. Tapi itu sama seperti apa
yang kurasakan saat ia berhubungan badan dengan Blake dan saat aku masih
mencintainya. Hanya saja, itu sudah dulu. Bukan dirinya lagi yang ada di
hatiku.
“Grace, kita dapat membicarakannya
baik-baik,”
“Diamlah. Dan lepaskan tangan
kotormu itu dari tanganku,” suruhnya tegas padaku. “Terlebih lagi Aaron, aku
masih belum memaafkanmu tentang kepergian Blake. Ia meninggal karena kau dan
kau tidak datang ke pemakaman. Terima kasih, pembunuh,”
“Setidaknya kau sudah tidak
mencintainya lagi,”
“Mudah untuku berbicara seperti itu.
Tapi setidaknya ia pernah singgah dalam hatiku, Aaron. Jaga bicaramu. Kuharap
kau akan mendapatkan karmanya,” ujar Grace menarik kasar lengannya dari
genggaman tanganku. Bertepatan dengan itu, ibuku dan Alice muncul ke ruang
keluarganya.
“Grace! Kau sudah bangun sayang?”
ibuku tampak begitu ceria. Suara ibu membuat langkahan Grace berhenti dan ia
membalikan tubuhnya. Saat Grace melihat Alice berada di sebelah ibuku, ia
berniat untuk naik ke atas kembali namun aku menahannya.
“Kau harus sopan, Grace,” aku menegurnya,
tegas.
“Ya, aku sudah bangun. Dan mengapa
Alice ada di sini?” tanya Grace, aku dapat melihat leher Grace yang memerah. Ia
marah karena kedatangan Alice. Sampai kapan Grace akan membenci Alice? Alice
tidak melakukan kesalahan apa pun terhadap Grace.
“Well, Grace. Aku membelikan ini
untukmu. Ibu bilang kau menginginkan tas ini, terimalah,” ujar Alice dengan
suara lembutnya sambil ia berjalan dengan satu tas bermerk Channel. Itu sangat
mahal. Dari mana Grace dapat tahu tas-tas seperti ini? Gila saja. Seleranya
seperti ibu-ibu. Alice tidak sepeti itu. Kulihat Grace yang melihat tas itu
sejenak lalu ia melihat pada Alice dengan tatapan dingin.
“Aku tidak membutuhkan tas itu jika
itu berasal dari tanganmu yang kotor,”
“Grace, jaga bicaramu,” aku menegurnya.
“Tidak apa-apa Aaron,” Alice tidak
ingin aku memarahi Grace. Demi Tuhan aku benci saat Alice selalu membela Grace
dibanding diriku! Aku suaminya! Dan aku cemburu karena itu. “Mungkin, aku bisa
menitipkannya pada ibu,” lanjut Alice.
“Hanya itu? Kuharap kau dan kakakku
cepat pergi dari rumah ini,”
“Grace!” ibuku menegurnya. Namun
sudah terlambat. Grace telah naik ke atas, mengabaikan ibuku. Alice menelan
ludahnya, aku tahu ia sedang berusaha sabar pada Grace. Dan berusaha untuk
mengambil hati Grace, namun Grace tidak pernah menerimanya. Persetan. Bukan
Grace yang dapat menentukan siapa kekasihku atau istriku, semuanya berada di
tanganku.
“Jadi, bagaimana keadaanmu sayang?”
tanyaku menarik Alice dalam rangkulanku. Saat aku bertanya seperti itu, Alice
tersenyum malu-malu dan menundukan kepalanya. Kualihkan pandanganku pada ibuku.
“Apa? Apa yang terjadi?” tanyaku tak dapat menyembunyikan rasa penasaranku dan
kesenanganku.
“Alice hamil!” seru ibuku
kegirangan. “Aku akan memiliki cucu! Justin sudah mengetahuinya,”
“Oh sial. Mengapa aku suaminya
sendiri bukan menjadi orang pertama yang mengetahuinya? Tapi, tidak apa-apa.
Aku benar-benar senang karena istriku hamil!” ujarku menggendong Alice hingga
Alice harus melingkarkan kakinya di sekitar pinggangku. Kukecup bibirnya dengan
lembut. Ya Tuhan, aku sangat mencintainya.
“Terima kasih karena kau telah
datang ke dalam kehidupanku. Tanpamu, aku mungkin tidak akan mengetahui arti
cinta sebenarnya. Dan calon bayi kita, aku sangat berterima kasih padamu, Alice.
Aku mencintaimu,” bisikku mengecup kembali bibir Alice.
“Ew! Peepee! Aku ingin muntah!”
teriak si kembar dari belakang. Aku tertawa, begitu juga dengan Alice. Cinta
itu tidak dapat ditunggu, kita harus mencarinya dan berusaha mendapatkannya.
Karena waktu tidak akan pernah menunggu kita.
Sial! Alice-ku hamil!
***
*Author POV*
Aaron tampak sangat bahagia
mengetahui istrinya sedang hamil. Tiap langkah yang Alice ambil ia selalu
berada di sisinya. Meski sesekali ia harus pergi ke luar kota untuk mengurusi
bisnisnya. Justin benar-benar bangga pada Aaron karena Aaron telah menghamilili
Alice. Tiap kali Aaron harus pergi ke luar kota, Alice selalu dititipkan di
rumah Justin. Alice tidak pernah memiliki percakapan dengan Grace, padahal ia
selalu berusaha untuk mendekati Grace sebagai adiknya. Tapi demi apa pun, Grace
tidak menyukai Alice. Meski Grace sedikit kasihan karena Alice harus mengandung di umurnya yang masih
muda itu. Well, bagaimanapun juga anak yang Alice kandung adalah anak Aaron.
Dan ia akan menjadi bibi dari anak Aaron dan Alice. Dan ia berharap anak itu
adalah anak laki-laki agar tiap kali Grace menatap anaknya, tidak akan ada
kesan Alice di dalamnya karena ia tahu wajah anak lelakinya nanti akan sama
tampannya seperti Aaron. Alice rutin pergi ke dokter kandung bersama dengan
Alex jika tidak ada Aaron. Kadang juga Justin yang mengantarkannya.
Si kembar dan Jonathan sudah
bertumbuh menjadi anak-anak yang sangat manis. Namun Jonathan tampak tak bisa
memenuhi janjinya terhadap ibunya tentang tidak menjadi lelaki yang pendiam. Ia
adalah lelaki yang pendiam, kecuali jika ia bersama dengan ibunya atau Aaron.
Well, Alex tidak dapat merubah kepribadian anaknya yang masih berumur 8 tahun
itu. Sama seperti sekarang. Jonathan dengan tanpa ekspresi menonton acara
televisi yang lucu. Sekarang adalah waktu bersama dengan keluarga. Aaron dan
Alice juga berada di sana. Saat kandungan Alice menginjak 3 bulan, Aaron
memutuskan untuk tinggal di rumah Justin sampai Alice melahirkan. Karena Aaron
tahu ia akan menjadi suami yang sangat sibuk. Alex dan Justin tak kalah mesra,
dua pasangan itu tampak berlomba-lomba untuk memperlihatkan kemesraan mereka.
Tiga sofa yang berada di ruang tamu tampak cukup untuk satu keluarga itu. Meski
si kembar dan Jonathan harus duduk di karpet. Grace duduk di sofa yang di
tengah-tengah sehingga dua sofa yang lain yang berhadapan itu membuat pasangan
Aaron-Alice berhadapan dengan Justin-Alex. Di saat 4 anak Justin dan Alex sibuk
tertawa-tawa, dua pasangan ini berusaha memamerkan kemesraan mereka.
Sebenarnya, bukan dua pasangan ini. Tapi Aaron dan Justin sedang memamerkan
perhatian pada istri mereka. Alex menyelonjorkan kakinya di sepanjang sofa
sambil kepalanya berada di dada Justin, namun matanya melihat pada acara
televisi dan tertawa. Begitu juga dengan Alice pada Aaron, Grace berusaha untuk
tidak begitu memerhatikan dua pasangan aneh yang mengapitnya.
Aaron dengan lembut mengelus kepala
Alice lalu mengecup keningnya. Justin yang melihatnya tampak geram. Mengapa
anaknya harus menantanginya seperti itu? Tak ingin kalah, Justin mengecup bibir
Alex. Itu benar-benar membuat Alex tersentak sehingga matanya bertemu dengan
mata harimau Justin. Mata harimau itu tidak pernah tidak membuatnya tercengang.
“Kau sangat seksi,” bisik Justin hingga
Aaron dapat mendengarnya, begitu juga dengan Grace. Namun Grace berusaha untuk
fokus terhadap tontonannya. “Ya, terima kasih. Jangan lakukan itu di depan
anak-anak Justin,” saran Alex berusaha untuk menahan rasa malunya. Pipi Alex
memerah namun ia kembali pada tontonannya. Alice ikut tertawa saat adik-adiknya
tertawa namun kemudian tawanya itu terhenti karena kecupan bibir dari Aaron
pada bibirnya pun.
“You are the most amazing girl I’ve
ever known,” bisik Aaron saat Justin melihatnya, meski Aaron berbisik, Justin
dapat mendengarnya. Sialan juga anaknya. Saat iklan muncul Alice bangkit dari
sandarannya terhadap dada Aaron kemudian ia terduduk. Ia menyandarkan
kepalanya, melihat pada kedua mertuanya yang tampak begitu mesra. Tangan Aaron
yang besar memegang perut Alice yang mulai membuncit.
“Hei, Alice. Aku ingin memberitahumu
sesuatu,” ujar Justin membuat Alex bangkit dari sandarannya terhadap dada
Justin. Alice mulai tertawa kecil saat Justin berbicara. Entahlah, selalu ada
kemauan untuk tertawa tiap kali Justin ingin berbicara padanya. Karena Justin
selalu menggodanya. Aaron menggeleng-gelengkan kepalanya saat ayahnya ingin
berbicara pada istrinya. Karena ia tahu karena ayahnya akan mempermalukannya di
depan istrinya.
“Uh, aku yakin yang ini pasti akan
bagus,” ujar Justin bersemangat. “Kautahu saat Aaron masih kecil ..demi Tuhan,
ia adalah anak kecil yang sangat menyebalkan bagiku,” ekspresi Justin yang
gemas terhadap ucapannya itu membuat Alice tertawa.
“Mengapa dia bisa menyebalkan?”
“Dad!” Aaron berusaha menahan
ayahnya.
“Aku masih ingat sekali. Waktu itu
masih berumur 4 tahun dan Grace masih berumur beberapa bulan. Dia adalah anak
lelaki yang tidak sopan terhadap ibunya. Kautahu mengapa aku bilang seperti
itu?” tanya Justin mencondongkan tubuhnya ke depan. Alice tersenyum penuh arti,
ingin mengetahui apa yang akan diberitahu.
“Ia ..melempari Alex dengan seres
dan ia tertawa-tawa. Uh, aku benar-benar ingin memukul tangannya waktu itu.
Menyebalkan bukan? Kuharap kau tidak pernah dilempari seres olehnya,”
“Dad! Aku tidak pernah melakukan
itu!”
“Tentu saja kau akan mengatakan
seperti itu. Saat itu kau masih berumur 4 tahun dan aku masih mengingatnya.
Bahkan kau hampir memberikan Grace seres itu,”
“Pft. Omong kosong. Jangan dengarkan
apa yang ayahku katakan,” Aaron menggeleng-gelengkan kepalanya, merasa kesal
pada ayahnya. Alice hanya dapat mendongakan kepalanya untuk melihat Aaron yang
tampak tidak senang dengan apa yang dikatakan ayahnya. Alice memang percaya apa
yang dikatakan mertuanya, tapi itu tidak akan pernah membuat Alice berhenti
mencintai Aaron. Justru ia semakin mencintai Aaron karena masa lalu Aaron.
Sekalipun masa lalunya yang buruk.
“Alice. Jika anakmu lelaki, kau akan
menamainya siapa?” tanya Alex mengubah topik pembicaraan. Ia tahu Aaron tidak
suka dipojoki seperti itu. Aaron yang tadinya terdiam dan menonton televisinya
merasa tertarik dengan topik pembicaraan ibunya. Alice menundukan kepalanya
sejenak menahan senyumnya lalu ia mendongak.
“Well, aku akan menamainya Justin,”
ujar Alice malu-malu. Aaron yang mendengar itu langsung membulat matanya.
Apa-apaan? Justin? Ia tidak ingin anaknya diberi nama yang sama dengan ayahnya.
Sial. Justin yang mendengar itu tersenyum-senyum dengan aneh.
“Aku tahu mengapa,” ujar Justin
dengan percaya diri, “itu karena kau berpikir jika nama anak lelakimu diberi
nama Justin agar anakmu tanpa sepertiku,” lanjut Justin yang membuat Alice
tertawa. Kemudian Alice menggelengkan kepalanya.
“Tidak, bukan itu maksudku
menamainya Justin. Itu karena aku berterimakasih padamu karena kau telah
menemukan Aaron. Karena kau juga aku dapat bertemu dengan Aaron di bar itu. Itu
adalah hadiah luar biasa dalam hidupku,” ujar Alice menjelaskannya. Semua yang
berada di ruang keluarga itu tampak terdiam. Tidak ada yang bersuara, hanya
bernafas. Dan tidak ada yang mengedip. Justin menelan ludahnya, tidak tahu apa
yang harus ia katakan. Alex yang mendengarnya tiba-tiba saja terharu, ia
menitikan air matanya. Setelah bertahun-tahun Aaron tidak pernah menjalankan
sebuah hubungan, akhirnya Aaron dapat menemukan Alice. Bahkan Aaron tampak
berubah menjadi lebih baik saat Alice masuk ke dalam hidupnya. Alex menghapus
air matanya.
“Oh, ayolah mom. Tidak ada air mata
di sini, aku tidak menyukainya,” Aaron mengeluh, tidak ingin ibunya menangis di
saat-saat seperti ini. Justin yang melihatnya langsung merangkul Alex ke dalam
tangannya yang besar itu.
“Aku ingin nama panjang anak
laki-laki kita nanti, Justin Christopher Bieber. Kurasa itu akan sempurna,”
ujar Aaron. Alice menganggukan kepalanya, setuju.
“Dan jika anak itu perempuan?” kali
ini Justin yang bertanya sambil mengelus kepala Alex dengan lembut. Alice
menarik nafasnya.
“Alexis. Aku berterima kasih juga
padamu, mom, karena kau telah merawat Aaron sebaik mungkin. Aaron sering menceritakan
tentang seberapa sayangnya dia terhadap dirimu. Karena kau, Aaron mendapatkan
kasih sayang yang cukup. Ini sangat luar biasa,” ujar Alice mengangkat kedua
bahunya. Alex yang mendengar ucapan menantunya itu menitikan air matanya
kembali, kali ini ia menghapus air matanya.
“Itu nama yang sangat luar biasa,”
puji Aaron, ia menerima jika anaknya diberi nama ibunya. Karena itu memang
rencananya dari awal. Alex menarik nafasnya.
“Oh, Alice. Aku sangat berterima
kasih padamu, sayang. Karena kau, Aaron lebih baik dari pada sebelumnya.
Biasanya ia tidak pernah seceria ini. Tidak pernah sebahagia ini. Dulu ia
benar-benar pendiam, tapi sejak kau datang ke dalam hidupnya ..oh aku selalu
berterima kasih pada Tuhan karena Tuhan telah mengirimkan malaikat sepertimu
pada Aaron,” ujar Alex yang membuat Grace yang berada di tengah-tengah itu
muak. Grace seakan-akan tidak dianggap di tengah-tengah mereka. Karena kesal, Grace
bangkit dari sofanya lalu berjalan dengan cepat menuju lantai atas.
Bisa-bisanya Alice mengambil tempatnya menjadi primadona di rumah itu.
Bisa-bisanya Alice mengambil pusat perhatian orang tuanya yang seharusnya
diberikan pada Grace. Sungguh sial!
***
Bulan demi bulan berlalu. Perut
Alice semakin lama semakin membesar. Alice bahagia karena bayinya bertumbuh
dengan baik dalam perutnya. Namun sebenarnya ia sedang bimbang. Ia belum
memberitahu Aaron tentang keadaannya. Ia meminta Alex dan Justin untuk tidak
memberitahu keadaannya. Di umurnya yang masih 18 tahun, ia seharusnya tidak
boleh hamil. Terlebih lagi karena pertumbuhan Alice belum sempurna dan matang.
Dan juga bentuk tubuh Alice yang mungil tidak memungkinkan bayi itu akan
selamat. Dokter kandungannya telah memberitahu pada Alice, Justin dan Alex.
Namun mereka bertiga tidak sama sekali memberitahu itu pada Aaron. Alex sangat
ingin memberitahu Aaron tentang keadaan Alice, namun Alice memohon pada Alex
untuk tidak memberitahunya. Aaron tidak pernah memiliki waktu untuk menemani
Alice pergi ke dokter kandungan karena bisnis yang benar-benar membuat
jadwalnya padat. Grace juga tidak mengetahu ini, meskipun Grace diberitahu oleh
kedua orang tuanya, Grace tidak mungkin peduli terhadap keadaan Alice. Ia juga
telah mendapatkan kekasih baru. Dan kali ini Aaron tidak mengikut campuri
hubungan mereka, meski sebenarnya kekasihnya itu hanya sebagai pelarian Grace.
Grace masih mencintai Aaron! Meski ia membenci Aaron karena telah membunuh
Blake.
Hari ini Alice harus dibawa ke rumah
sakit karena dokter telah memberitahunya untuk datang ke rumah sakit tiga hari
sebelum melahirkan. Alex sedang tidak bisa mengantar Alice untuk pergi ke rumah
sakit karena ia harus menjaga si kembar. Sehingga pagi ini Justin yang
mengantarnya menuju rumah sakit. Aaron sedang tidak bisa menemani Alice karena
ia sedang berada di luar kota. Mobil Justin terus melaju, melewati jalan raya.
Lampu hijau memberikan aba-aba untuk melewati perempatan itu. Kembali mobil itu
melaju lurus tak berhenti.
“Dad,” panggil Alice ragu-ragu.
Tubuhnya yang mungil bahkan sepertinya tidak sanggup untuk menangkat perutnya
yang sangat besar. Justin yang merasa terpanggil itu menolehkan kepalanya pada
Alice. Kemudian Alice tersenyum gugup.
“Ya, ada apa sayang?”
“Huh ..aku benar-benar gugup,” ujar
Alice masih tersenyum gugup. Justin yang melihat Alice terkekeh pelan lalu ia
mengangguk-anggukan kepalanya.
“Aku tahu. Alex juga saat ingin
melahirkan ia sangat gugup,”
“Oh, ben—“ Ucapan Alice terhenti
seketika saat mobil Justin tiba-tiba saja tertabrak oleh sebuah mobil yang
seharusnya berhenti di lampu merah. Namun terlambat. Mobil Justin sedikit
bergeser dan berhenti. Mobil yang menabrak mobil Justin itu menabrak bagian
pintu Alice sehingga sekarang luka yang didapatkan Alice lebih banyak
didapatkan. Justin dan Alice sama-sama tak sadar. Pemilik mobil yang menabrak
mobil itu tidak keluar dari mobilnya karena ia juga tidak sadarkan diri. Selang
beberapa menit, Justin yang merasa shock itu terbangun. Ia mengerjap-kerjapkan
matanya sesaat lalu ia melihat ke sekelilingnya lalu ia benar-benar tersadar.
Ya Tuhan, ia baru saja mengalami kecelakaan yang benar-benar cepat. Ia melihat
pada menantunya yang tak sadarkan diri lalu ia melihat pada kaki bagian perut
Alice. Ya Tuhan, semoga bayi Alice baik-baik saja. Alice masih tak sadarkan
diri. Lalu Justin berusaha untuk membuka pintu mobilnya yang tiba-tiba saja
macet tak dapat dibuka, namun pada akhirnya ia dapat membuka pintu mobil itu.
Tiba-tiba saja sebuah pemadam kebakaran dan sebuah ambulance muncul. Seseorang
pasti menghubungi 911. Justin menarik nafasnya dalam-dalam saat petugas pemadam
kebakaran muncul.
“Ada ..ada menantuku di dalam sana.
Tolong keluarkan dia secepatnya, ia sedang hamil,” ujar Justin bergemetar,
panik. Kemudian beberapa petugas yang lain muncul dan melihat keadaan mobil
mereka. Untunglah Alice tidak terjepit di dalam mobil itu. Tak ingin berpikir
panjang, para petugas kebakaran mendorong mobil yang menabrak mobil Justin dari
sisi pintu mobil belakang Alice. Tiba-tiba saja Alice membuka matanya,
tersadar. Ia berusaha mengumpulkan jiwa-jiwanya yang tadi terhempas.
“Justin,” panggil Alice tiba-tiba
panik. Ia mencari-cari Justin yang berada di belakang petugas kebakaran yang
berusaha membuka pintu mobilnya. “Justin, dimana kau?” kali ini suara Alice
lebih tinggi lagi.
“Aku di sini sayang, bertahanlah.
Kita akan baik-baik saja,” ujar Justin berusaha menenangkan Alice.
“Justin air ketubanku pecah!” seru
Alice merasakan sesuatu yang basah di bawah sana, ia mengadahkan kepalanya ke
belakang. “Justin aku berdarah,” bisiknya kali ini menangis. Beberapa saat
kemudian, pintu yang rusak itu dapat terbuka dengan paksa.
“Alice, kau akan baik-baik saja
sayang,” ujar Justin benar-benar panik. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan
selain mendekati para petugas kebakaran. Kemudian tiga petugas pemadam kebakaran
membawa penopang korban seperti di pramuka itu. Mereka dengan pelan-pelan
mengangkat Alice dari dalam mobil itu kemudian menempatkannya di atas alat itu.
Secara bersamaan, ketiga pemadam kebakaran itu mengangkat Alice menuju Justin.
“Dad,” seru Alice, memegang tangan
Justin saat Justin menghampirinya. Justin ingin menangis rasanya saat ia
melihat menantunya terluka. “Aku ..ah! Aku berkontraksi sekarang,” ujar Alice.
“Kita akan membawamu ke rumah sakit
sayang. Bertahanlah,”
“Oh, dad. Aku ..rasa ..aw!” Alice
mengerang. Alice telah ditempatkan ke atas tempat korban di dalam mobil
ambulance. Justin ikut masuk ke dalam mobil Ambulance itu bersama dengan
petugasnya.
“Kau harus menahannya sayang, kau
bisa menahannya,”
“Sakit sekali, dad. Aaron,” bisik
Alice tak tahan. Petugas ambulance itu mengeluarkan sebuah infuse lalu ia
menangani Alice sebaik mungkin. Saat Alice kembali tak sadarkan diri, infuse
itu dapat membuat Alice kembali tersadar.
“10 menit lagi, kau pasti dapat
menahannya 10 menit lagi,” ujar petugas itu memberitahu pada Alice. Alice
mengambil nafasnya dalam-dalam untuk menahan rasa sakit tiap kali berkontraksi.
Alice mengerang berkali-kali selama perjalanan menuju rumah sakit lalu Justin
menghubungi Aaron. Aaron yang berada di kota lain yang sedang mengadakan rapat
itu tiba-tiba saja harus terganggu. Ia langsung mengangkat panggilan dari
ayahnya. Ia tahu pasti ayahnya akan menghubunginya. Saat terangkat, Justin menekan tanda pengeras
suara agar Alice dapat mendengar suara Aaron.
“Ayah? Apa yang terjadi?” tanya
Aaron tiba-tiba saja panik.
“Aaron! Oh, bayi kita akan keluar
sayang,” Alice mengambil nafasnya terus menerus.
“Alice! Ya Tuhan! Alice. Apa yang
terjadi sayang? Dimana kau sekarang?”
“Oh, Aaron. Cepat pulang, temani
aku. Aku membutuhkanmu,”
“Alice, aku di sini sayang. Masih
ada aku. Tarik nafasmu sayang, aku ada di sini. Aku mencintaimu Alice. Aku
mencintaimu, bertahan untukku sayang,”
“Engh! Aaron, aku juga mencintaimu,”
erang Alice tak kuat lagi. Ia mengadahkan kepalanya ke belakang. Bertepatan
saat itu juga ambulance telah sampai di depan rumah sakit. Dengan cepat Alice
dikeluarkan dari mobil ambulance.
***
Alex, , Grace, Jonathan dan si
kembar sedang menunggu keadaan Alice yang berada di ruang bersalin untuk
mengeluarkan bayinya. Justin berada di sebelahnya untuk mendukung Alice. Alice
menarik nafasnya dalam-dalam. Ponsel Justin berada di sebelah telinga Alice,
Aaron terus mengucapkan kata-kata semangat untuk Alice. Sebenarnya Justin
dilarang untuk membawa alat elektronik, namun ia bersikeras membutuhkannya
untuk menantunya.
“Kau pasti bisa, sayang. Kau pasti
bisa,” Aaron di seberang sana terus mendukung Alice.
“Ooow ..Aaron, ya Tuhan,”
“Tulang punggung tidak mendukung
keadaannya!” ujar sang bidan. “Ini antara nyawa sang bayi dengan ibunya,”
“Tidak, aku bisa melakukannya,” ujar
Alice memaksa. Ia dapat melakukannya. Meski ia tahu nyawa yang akan menjadi
taruhannya. “Aaron!”
“Dorong lagi! Aku dapat melihat
kepalanya sekarang!” seru sang bidan di bawah sana.
“Engh, Aaron,” Alice terus mendorong
bayinya untuk keluar dari perutnya. Tiga kali ia telah melakukannya hingga ia
mendengar suara bayi menangis. Alice tersenyum. Ia telah berhasil. Ia berhasil
melahirkan anak pertamanya.
“Laki-laki. Anak Anda laki-laki,”
seru sang bidan dengan senyum. Lalu bidan itu memberikan bayi yang menangis
keras itu pada gendongan Alice.
“Oh, my baby, Justin. Anak kita
laki-laki Aaron, hiks,” Alice menangis, terharu. Ia mengelus terus menerus
kepala bayinya yang lembap itu. Tangisan Alice lama-lama menghilang, kepalanya
mengadah ke belakang, masih dalam posisi menggendong bayinya. Alice tak
sadarkan diri.
“Ia mengalami shock. Dan ia
kekurangan darah!” seru Justin langsung mengambil bayi itu dari gendongan
Alice. Alice sudah tak sadarkan diri. Monitor detak jantungnya memperlihatkan
detak jantungnya yang semakin lama semakin menurun denyutnya. Aaron masih
berada dalam telepon, namun tak ada yang menjawabnya. Justin mengambil
ponselnya lalu berjalan keluar dari ruang bersalin setelah ia memberikan bayi
itu pada salah satu suster.
***
“Aku bersumpah pada Tuhan untuk
menjaga dan merawat anak ini sebaik mungkin. Akan kurawat ia sesuai permintaan
Alice semasa ia mengandung dulu. Aku selalu mencintai Alice. Ia adalah gadis
pertama yang mengubah kehidupanku. Yang menghadirkan Justin dalam kehidupanku,”
ucap Aaron berusaha tegar saat ia diperhadapkan pada pemakaman istri pertamanya
yang masih baru. Ia menggendong bayi pertamanya yang terlelap. Setidaknya,
bayinya masih hidup. Aaron masih memiliki pengharapan pada anaknya.
“Aku selalu mencintainya ibu, aku
selalu mencintainya!” seru Aaron menangis, kali ini. Ia menempatkan kepalanya
pada bahu ibunya. Alex yang berada di sebelahnya menangis tersedu-sedu. Ia
mengelus pipi Aaron selembut mungkin.
“Ibu tahu ini sangat berat sayang.
Tapi Tuhan telah memanggilnya,” ujar Alice melihat pada batu salib yang menjadi
bukti bahwa Alice telah dipanggil oleh Tuhan. Grace yang berdiri berseberangan
dengan Aaron ikut bersedih melihat kakaknya terpuruk. Setelah tiga hari yang
lalu mereka harus diperhadapkan pada sebuah kenyataan bahwa Alice telah pergi.
“Aku akan selalu mencintai Alice.
Andai Tuhan dapat menghentikan waktu untukku agar aku bisa menikmati
kehidupanku lebih lama lagi dengannya, tapi kenyataannya adalah Tuhan
merenggutnya daripadaku,”
“Aaron, aku tahu ia sangat berharga
bagimu nak. Semua orang pasti pernah merasa kehilangan,” ujarJustin dari
belakang, mengelus pundak Aaron. “Setidaknya Tuhan telah memberikan waktumu
selama satu tahun hidup bersamanya,”
“Biar kugendong,” bisik Grace yang
telah berdiri di sebelah Aaron, lalu ia mengambil Justin kecil itu dari
gendongan Aaron. Kali ini Aaron langsung memeluk ibunya lebih erat.
“Aku telah berusaha mencari gadis
yang sama sepertimu ibu. Dan aku mendapatkannya. Aku mencintainya, dari dalam
hatiku. Aku menginginkan begitu banyak anak darinya. Oh Tuhan ..aku benar-benar
..aku benar-benar mencintainya,”
“Kami semua tahu, Aaron, kau
mencintai Alice,”
“Aku tidak akan pernah melupakan
gadis pertamaku. Alice Bieber, my love.” Bisik Aaron menghelakan nafasnya.
***
“Terima kasih atas pertemuannya hari
ini Mr.Bieber. Kuharap kita bisa bekerja sama dengan baik,” ujar seorang lelaki
yang memiliki perawakan yang besar serta memiliki janggut yang berwarna putih.
Ia menyalami Aaron setelah mereka melakukan sebuah perjanjian yang saling menguntungkan kedua perusahaan mereka. Namun
sepertinya Aaron selalu melakukan kelicikan di setiap perjanjian. Seorang gadis
yang memiliki tubuh mungil dengan rambut panjang cokelatnya muncul dari
belakang tubuh lelaki tua yang bertubuh besar. Ia menyalami Aaron dengan
malu-malu.
“Terima kasih Mr.Bieber, senang
bertemu denganmu,” ujar gadis itu dengan suara yang lembut. Malu-malu pula.
Aaron tertarik. Berapa umur gadis ini? Mungkin mereka seumur. “Aku tidak
menyangka di umurmu yang masih 23 tahun ini kau sudah telah menjadi pengusaha
yang sukses,”
“Haha,” Aaron tertawa renyah sambil
menarik tangannya, “Ini dikarenakan aku adalah penerus dari keluarga Bieber.
Awalnya ayahku yang memberikanku satu perusahaannya namun aku mengembangkannya
dengan usahaku sendiri. Jadi bisa dibilang aku sukses dengan bantuan orang
tuaku,” jelas Aaron tanpa malu-malu. Baiklah, Aaron sekarang benar-benar
tertarik dengan gadis ini.
“Baiklah, Mr.Bieber, kurasa kau
dapat menghubungiku jika surat itu telah jadi. Mungkin Katherine dapat
mengambilnya di kantormu. Perlu kautahu, Mr.Bieber, Kath bekerja magang di
perusahaanku. Aku langsung mengangkatnya menjadi asistenku karena aku dapat
melihat potensi darinya,” ujar lelaki tua itu yang membuat Aaron mendapatkan
keuntungan yang sangat besar. Aaron tidak perlu menanyakan lagi siapa nama
gadis ini dan mengapa ia bisa bekerja dengan Mr.Smith, lelaki tua itu. “Satu
lagi, dia masih sendirian,”
Wajah Aaron terkejut, namun hanya
berlangsung beberapa detik. “Gadis cantik sepertimu tidak memiliki kekasih?
Wow, aku tidak menyangka,”
“Ayah dan ibuku bilang aku tidak
boleh memiliki hubungan asmara dengan seseorang jika aku belum lulus kuliah,”
ujar Kath sesopan mungkin. Mr.Smith tertawa-tawa lalu ia merangkul tubuh Kath
yang mungil itu ke dalam rangkulannya yang benar-benar membuat Kath pengap.
Aaron tidak ikut tertawa, ia hanya menatap Kath dengan seksama. Tingkah gadis
ini mengingatkan almarhum istrinya yang telah meninggalkannya satu setengah
tahun yang lalu. Mengapa? Karena cara bicaranya serta sikap malu-malunya
membuatnya gemas ingin membawa gadis ini masuk ke dalam kamarnya, jika perlu ia
akan melakukannya di atas meja ini. Tak ingin membuang-buang waktu, Aaron
dengan sengaja menatap jam tangan yang ia pakai.
“Oh, ternyata sudah jam 4 sore.
Kurasa aku harus pulang,”
“Tentu saja, Mr.Bieber. Sekali lagi
aku benar-benar senang telah bertemu denganmu. Biar Kath yang akan mengantarmu
sampai lift,” ujar Mr.Smith kembali menjabat tangan Aaron lalu ia mendorong
tubuh Kath agar cepat-cepat membukakan pintu untuk Aaron. Langsung saja Kath
membuka pintu itu sehingga Aaron dengan segera keluar dari ruang rapatnya.
Disusul dengan Kath yang langsung berjalan keluar dan mengambil jaket tebal
yang ia gantung di luar ruang rapat untuk Mr.Bieber. Aaron hanya menunggunya
sambil menatap gerak-gerik Kath yang tampaknya ceroboh. Map yang dibawa Kath
terjatuh begitu saja sehingga ia mendengus dengan kesal. Mungkin perbedaan
gadis ini dari Alice adalah rambutnya serta lekuk tubuhnya yang lebih berisi.
“Kapan kau lulus kuliah?” tanya
Aaron, penasaran. Kath yang baru saja mendapat mapnya itu langsung salah
tingkah. Ya Tuhan. Ada apa dengannya?
“S-satu bulan lagi, Mr.Bieber,”
“Sudah berapa lama kau bekerja
dengan Mr.Smith?” tanya Aaron, melangkahkan kakinya lebih dekat pada Kath yang
berusaha mengacuhkannya, namun Kath tidak dapat melakukan itu karena ia tahu
itu tidak sopan. Kath mengambil jaket tebal milik Aaron.
“Kurasa sekarang bukanlah sesi
wawancara, Mr.Bieber,” Kath menjawab Aaron sesopan mungkin. Aaron terkejut
dengan jawaban gadis ini. Biasanya banyak wanita yang sangat ingin diketahui
oleh Aaron, ingin Aaron mengenalnya, namun gadis ini? Apa-apaan. Namun Aaron
masih tertarik. Gadis ini tampaknya sangat ingin menutupi privasinya. Mungkin
Aaron dapat mencaritahu gadis ini. Tapi rasanya Aaron masih ingin merasa
penasaran dengannya.
“Oh, baiklah. Senang bertemu
denganmu, Katherine,” ujar Aaron memberikan tatapan seksi yang sangat
mendominasi saat ia mengambil jaket tebal itu dari tangan Kath.
“Senang bertemu denganmu,
Mr.Bieber,” balas Kath, kali ini lebih percaya diri.
***
“Daddy!” seru seorang anak kecil
yang memiliki rambut berwarna senada dengan rambut ayahnya. Aaron baru saja
sampai di rumahnya, ia kembali lagi ke rumah Justin setelah Alice meninggal.
Tidak mungkin ia akan mengurus Justin kecilnya sendirian. Justin kecil yang
baru bisa berlari itu dengan semangat berlari ke arah ayahnya yang melempar tas
kerjanya ke atas sofa ruang tamu lalu ia membuka tangannya untuk memeluk anaknya.
Justin kecil benar-benar lucu saat ia berlari, gayanya seperti akan terjatuh
namun sebenarnya ia tidak akan terjatuh. Lalu akhirnya ia sampai pada ayahnya.
“Daddy!” serunya lagi saat Aaron menangkapnya lalu memeluknya dengan erat.
“Woah! Anak daddy berat sekali!”
goda Aaron sengaja jatuh ke belakang sehingga sekarang Justin kecil berada di
atas tubuh Aaron. Justin kecil hanya tertawa-tawa saat ia sedang digoda oleh
ayahnya. Ia menempatkan kepalanya di dada ayahnya sebentar lalu ia mengangkat
kepalanya. “Hei, Justin. Bagaimana kabarmu hari ini sayang?”
“Aku rindu daddy,” bisik Justin
mengecup bibir ayahnya singkat. Yeah, mereka sering melakukan itu. Terlebih
lagi, Alex, neneknya yang lebih sering mengecup bibir Justin. Well, sebenarnya,
Grace juga senang mengurusi Justin kecil. Tapi itu jika tidak ada Aaron di
rumah. Ia masih memiliki dendam terhadap kakaknya yang sampai sekarang tidak
ingin mengakui bahwa dirinya mencintai Grace. Tiap kali Grace menatap mata
Justin kecil yang berwarna hitam itu, ia teringat dengan Alice. Tidak ada rasa
benci yang ia rasakan sekarang. Ia justru merasa iba karena Justin kecil tidak
memiliki ibu kandungnya. Namun tidak apa-apa. Grace bisa menjadi ibunya nanti.
Meski Grace tahu itu adalah tindakan tergila jika ia menikah dengan Aaron.
Namun Grace masih menanamkan harapannya.
“Ayo kita masuk ke kamar, lalu
memandikan tubuhmu yang bau ini, lalu tidur. Bagaimana dengan itu?” tanya Aaron
mengangkat tubuhnya dari lantai sambil menggendong Justin kecil. Justin kecil
tidak gemuk, sebenarnya. Hanya saja ia berisi. Ia menggemaskan. Justin hanya
mengangguk lalu menempatkan kepalanya pada bahu Aaron. Bertepatan saat Aaron
ingin masuk ke dalam ruang keluarga, Alex muncul, mencari-cari Justin kecil
kemana. Mereka baru saja bermain petak umpet.
“Oh ya Tuhan, Aaron. Kupikir aku
kehilangan Justin,” seru Alex menarik nafasnya, ia menggelengkan kepalanya tak
percaya sekarang Justin kecil telah berada dalam gendongan ayahnya.
“Tenang, ia sudah berada di tangan
yang tepat. Apa dia sudah makan?”
“Yeah, Grace yang menyuapinya,”
“Kurasa aku harus memandikan
anakku,” ujar Aaron tidak ingin membicarakan Grace untuk sekarang ini. Ia juga
cukup kesal dengan adiknya yang telah berumur 18 tahun itu namun masih tidak
memiliki pemikiran yang dewasa. Dan kebencian Grace terhadap Aaron masih tetap
sama. Masih dengan alasan karena Aaron telah memukul Blake sehingga Blake
meninggal. Padahal Aaron tahu Grace sudah tidak mencintai Blake. Itu yang
membuat Aaron kesal. Yang tidak diketahui Aaron tentang kebencian Grace
sekarang adalah Grace mencintai Aaron namun dua setengah tahun yang lalu Aaron
tidak mencintainya. Itu sangat menyedihkan. Grace masih mencintai Aaron.
Terlebih lagi sekarang Aaron telah memiliki anak, Grace semakin dapat
memerhatikan kejantanan Aaron yang luar biasa. Aaron membuka pintu kamar anaknya
lalu menurunkan Justin kecil untuk cepat masuk ke dalam kamar mandi.
“Ayo, cepat! Gerakan kaki dan
bokongmu! Jika tidak aku akan menggigitmu! Pelan-pelan jika kau sudah masuk ke
dalam kamar mandi!” seru Aaron menepuk-nepuk bokong Justin kecil dengan gemas.
Justin kecil langsung berlari dengan riang menuju kamar mandinya yang ia sukai.
Tentu saja Justin kecil menyukai kamar mandi kecilnya. Di sana ada mainan bebek
yang dapat berbunyi serta temboknya dipenuhi dengan bebek yang berenang-renang.
Dan tirai bath-upnya juga bergambar bebek-bebek. Mungkin Justin kecil akan
menyukai bebek di masa depan. Aaron yang masih berada di luar itu menarik
nafasnya. Ternyata berat sekali menjadi seorang ayah serta pengusaha. Ia harus
kerja pagi dan ia merindukan anaknya lalu ia pulang dan mengurus anaknya. Ia
membutuhkan seorang istri untuk menjaga anaknya. Ia tentu saja tidak dapat
berharap terus menerus pada ibunya. Aaron melepaskan dasi abu-abunya lalu
melemparkannya pada daerah kumpulan mainan Justin kecil.
“Apa kau sudah membuka bajumu,
Justin?”
“Sudah daddy!” seru Justin dari
dalam kamar mandi sambil menggaruk-garuk perutnya, merasa dingin. Justin
pintar, ia membuka air panas untuk memenuhi bath-upnya. Neneknya yang
mengajarkannya. Justin hafal dengan seberapa banyak air panas yang dibutuhkan
lalu mencampurinya dengan air dingin. Justin memang sudah membuka bajunya,
kecuali celana dalam bergambar Superman-nya yang berada di belakang bokongnya
itu. Aaron masuk dengan keadaan telanjang dada, ia tentu saja harus bertelanjang
dada karena ia tahu tubuhnya juga akan basah.
“Hei, hati-hati,” ujar Aaron saat
anaknya membuka keran air dingin. Air panasnya sudah cukup, menurut Justin.
Saat ia memutar keran air dingin ia langsung berbalik melihat ayahnya. Ia
menyukai apa yang ada di tubuh ayahnya. Yeah, tattoo ayahnya.
“Sudah cukup, cepat matikan air
dinginmu itu! Kita tentu tidak ingin kedinginan bukan?” tanya Aaron mulai
berjongkok. Lalu Justin kecil mematikan air dinginnya. “Ayo cepat, sekarang
taruh bokongmu yang montok itu duduk di atas bath-up,” suruh Aaron memukul
gemas bokong anaknya. Setelah Justin masuk ke dalam bath-up, Aaron langsung
mengambil mainan bebek yang ia taruh di atas tombol penyiram toilet. Lalu ia
memberikannya pada Justin.
“Aku ingin memiliki ini,” tunjuk
Justin kecil pada pinggang Aaron yang ditatto itu. Aaron hanya terdiam, ia
tidak ingin anaknya menjadi sepertinya. Memiliki banyak masalah.
“Well, apa yang kaulakukan seharian
ini?” tanya Aaron, mengalihkan topik pembicaraan.
***
“Tidak,
aku tidak mencintainya,” ujar lelaki bermata harimau itu dengan suara beratnya.
Ia mengiggit kedua ibu jarinya yang berdempetan karena tangannya yang terlipat.
Ia tidak berani melihat wanita yang berada di hadapannya. Wanita yang begitu
sayangi, ia tidak akan pernah membiarkan seorangpun dapat menyakiti wanita ini.
Meski sebenarnya, ia tahu kalau ia tidak memiliki kontak batin dengan ibu yang
berada di depannya. Ibunya sangat cantik. Ia menyayanginya, selamanya. Ibu yang
memiliki mata biru itu menatap lelaki ini dengan lembut.
“Aaron,
kau tidak perlu berbohong,” sela ibunya memegang tangan besarnya. “Well, kau
mirip dengan ayahmu. Tidak ingin mengakui sesuatu yang seharusnya diakui, kau
mengerti itu?” suara ibunya benar-benar lembut.
“Aku
tidak mencintainya, ya Tuhan. Peepee. Aku benar-benar tidak percaya kau
memaksaku seperti ini. Demi Tuhan, tidak,” lelaki ini menarik tangannya dari
tangan Peepee-nya dengan cepat sambil terkekeh. Ia menggaruk-garuk kepalanya
yang ditumbuhi oleh rambutnya yang memiliki panjang kira-kira 5 cm dengan warna
yang sama dengan rambut ayahnya. Ibunya tertawa pelan lalu menggeleng-gelengkan
kepalanya. Mereka sudah sering berbicara seperti ini. Di sebuah kamar anak
lelakinya yang telah bertumbuh menjadi lelaki yang dewasa, ia sudah terbiasa
berbicara empat mata dengannya.
“Lalu
mengapa kau terlihat begitu perhatian dengannya? Maksudku saat ia datang ke
rumah, menyapaku dengan Justin, lalu tersenyum dengan ramah. Begitu sopan. Dan
kau tahu apa yang tidak pernah kukira selama ini? Kukira kau tidak akan
tersenyum setelah kau keluar dari kamar. Tapi lihat? Kau tersenyum saat ia
datang,” jelas Peepee.
“Tidak,
itu salah, mom. Tolonglah jangan memojokan anakmu seperti ini. Karena sungguh,
itu tidak lucu. Dan aku tidak pernah ingin berpacaran,”
“Mengapa?
Mengapa kau tidak ingin berpacaran?”
“Karena
aku ..aku tidak percaya dengan yang namanya menjalin hubungan. Aku tidak mahir.
Kau lihat sendiri dengan gayaku seperti ini,” jelas Aaron, anak dari Peepee ini
pasrah. Alex atau yang biasa dipanggil Peepee oleh Aaron ini menyipitkan
matanya. Mata birunya menatap tajam Aaron, mencari-cari apa yang anaknya
sembunyikan. Lalu ia tersenyum kecil, ia tahu apa yang Aaron sembunyikan
darinya. Sialan!
“Kau
mendengar cerita dari ayahmu. Aku tahu. Kapan?” tanya Alex, mengetahuinya.
“Sudah
lama. Lama sekali. Sejak aku berumur 17 tahun kurasa,” suara Aaron yang
serak-berat itu terdengar sangat seksi. Alex terdiam sejenak. Anaknya tidak
memberitahunya selama 5 tahun? Oke, Alex harus mengakui bahwa Aaron adalah penyimpan
rahasia yang hebat. Aaron bahkan tidak memperlihatkan ciri-cirinya menyukai
wanita atau menyimpan rahasia! Sial. Dan Justin? Suaminya sendiri, suami dari
Alexis, tidak menceritakan padanya bahwa ia –Justin—telah bercerita tentang
masa kelamnya terhadap anak lelaki satu-satunya? Alex mendecak kesal dan
memukul lututnya.
“Mom.
Pergilah. Aku tidak ingin diintropeksi seperti ini,” usir Aaron, malas. Di atas
tempat tidurnya yang besar, Aaron yang tadinya terduduk langsung membaringkan
tubuhnya. Alex yang terduduk di atas kursi goyang milik Aaron –yang biasa
dipakai kalau Aaron sedang bermalas-malasan—itu tersenyum sambil menggelengkan
kepalanya. “Mom, apa kau bisa memanggil Grace?”
“Dia
tidak ingin menemuimu, kau tahu. Kau telah mematahkan penis lelaki itu dua
tahun lalu dan itu membuatnya marah sekali denganmu. Selama dua tahun. Apa itu
terdengar keren bagimu anak muda?”
“Yeah,
sangat keren. Kumohon bujuk dia untuk berbicara denganku. Aku telah
berkali-kali meminta maaf padanya. Tapi dia selalu mengurung diri di kamarnya
bahkan ia tidak menyapaku saat di ruang makan!” Aaron meremas rambutnya lalu ia
memeluk bantal kepalanya. “Kumohon?” Aaron menatap ibunya yang telah berdiri
dengan tatapan memohon. Alex menatap Aaron dengan tatapan yang penuh dengan kelicikan.
Senyumnya miring, ia tahu apa yang akan ia lakukan pada anak lelakinya.
“Apa?
Mengapa kau tersenyum seperti itu padaku?” Aaron mulai tersenyum, namun matanya
menatap ibunya hati-hati dan curiga. Alex melangkah maju pada tempat tidurnya
lalu duduk di sisinya.
“Aku
akan memanggil Grace untuk berbicara denganmu lagi,” ujar Alex, lalu ia menarik
nafasnya membuat Aaron terkesiap. “Asalkan …”
“Oh
Tuhan, aku tahu ini! Aku tahu ini!” Aaron bangkit dari tempat tidur hingga ia
terdudukd an memukul-mukul udara dengan kesal. “Aku tahu ini. Kau selalu
bersikap licik padaku. Mommy, tolonglah, jangan siksa aku seperti ini,”
“Tidak,
aku tidak menyiksamu. Hanya saja aku ingin bertanya,”
“Baiklah.
Apa itu?” Aaron bertanya dengan nada suara yang malas.
“Well,
siapa yang kaucintai sayang? Aku tidak akan menyinggung ini lagi,”
“Grace.”
ujar Aaron, bercanda. “Pft. Mom, aku tidak ingin berpacaran lagi setelah
kepergian Alice. Aku trauma! Aku mencintai anakku. Ternyata benar apa yang
dikatakan ayah, aku seharusnya tidak menjalin sebuah hubungan karena aku tahu
akan berakhir sakit hati seperti ini. Aku tidak mencintai siapa pun, kecuali
Justin-ku,”
“Tapi
gadis itu ..siapa namanya?”
“Kath,”
Aaron memberitahu ibunya. “Aku sebenarnya ingin datang ke kantornya tadi pagi,
tapi kautahu aku tidak enak badan –“
“Sudahlah,
Aaron. Kau sudah besar, sudah dewasa. Jangan berpikir dengan jalan yang sama
dengan ayahmu, dia hanya menyesatkanmu. Dan jangan membuat alasan karena Alice
telah meninggal. Mungkin Tuhan telah menyiapkan pengganti Alice untukmu,”
“Aku sudah bilang padamu, Peepee,
aku tidak mahir dalam menjalin hubungan asmara. Aku tidak ingin kejadian Alice
terulang kembali dalam kehidupanku, Peepee. Jangan memaksaku,”
“Itu semua karena otakmu telah
dicuci oleh ayahmu yang bodoh itu!” seru Peepee, gemas karena anaknya tidak
ingin mendengar perkataannya. “Baiklah, aku tidak dapat melakukan apa pun lagi.
Semua ada keputusan ada di tanganmu. Tapi yang jelas, saat kau bertemu
dengannya tadi pagi, kau tersenyum. Jarang sekali kau tersenyum di rumah,
mungkin kau tersenyum hanya karena Justin kecil. Mungkin dia yang akan menjadi
kekasihmu,” Peepee berjalan menuju pintu kamar Aaron.
“Pft, Peepee. Jangan membicarakan
omong kosong, aku tidak menyukainya,”
“Aku tidak sedang membicarakan omong
kosong. Aku bisa melihatnya,” ujar Peepee membuka pintu kamar Aaron. “Kejar dia
atau tidak sama sekali.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar