Mata
harimau itu menatap ke segala arah. Mencari-cari siapa yang dapat ia pakai
malam ini. Tapi tidak ada yang menarik perhatiannya. Ia terduduk di sebuah sofa
yang berbentuk bulan sabit itu dengan lapisan yang berwarna merah bagaikan
seorang raja yang ingin memilih pasangan untuk pangerannya. Ia menghempaskan
nafasnya begitu saja saat seorang pelayan yang memakai pakaian seksi itu muncul
di hadapannya. Tapi satu yang membuatnya ingin tertawa. Wanita ini terlihat
begitu risih dengan pakaian yang ia pakai. Ia tertarik. Saat wanita ini
membungkuk untuk menaruh segelas wine yang berada di atas nampan ke atas meja,
Aaron, si mata harimau itu bangkit dari sandarannya.
Ia
tersenyum manis melihat wanita ini sambil matanya melihat pada tanda
pengenalnya yang terpasang di kantong seragam pelayannya. Alice. Nama yang
cantik sama seperti orangnya. Alice memeluk nampan yang ia pegang lalu matanya
melihat pada mata Aaron dengan ragu-ragu. Ia tersenyum lalu mengangguk dengan
sopan, ingin pergi dari hadapan Aaron.
“Tunggu
dulu,” Aaron menahan wanita ini dengan suaranya yang berat, membuat wanita yang
telah berpaling dari Aaron membalikan tubuhnya kembali dan tersenyum sopan.
“Alice,” sebut Aaron saat tangannya menyentuh tangan Alice yang putih itu
dengan tangannya yang besar.
“Duduklah
sebentar,”
“Tapi
maaf Mr.Bieber, aku memiliki pekerjaan di sini,” tolak Alice dengan suaranya
yang lembut. Ia berusaha untuk menjauhi atasannya ini karena banyak kabar yang
ia dengar tentang lelaki ini. Lelaki yang memiliki suatu perkumpulan yang dapat
membuat para wanita murahan kegirangan namun tidak baginya. Ia tidak ingin
dilecehkan oleh lelaki ini. Nada suara dan tolakan dari wanita muda ini membuat
telinga Aaron mendengar sesuatu yang asing. Tak pernah ia ditolak oleh seorang
wanita sebelumnya. Kecuali adiknya, Grace. Sial.
“Apa
kau ingin kupecat hanya karena kau tidak ingin menuruti permintaanku?” ancam
Aaron, sama seperti ayahnya dulu mengancam Alexis, ibunya sekarang. Pikiran
Aaron sejalan dengan ayahnya, tapi sejalan dengan ayahnya yang dulu sebelum
bertemu dengan Alex. Alice yang tidak ingin kehilangan pekerjaannya itu
terduduk di ujung sofa dengan kaki yang ia himpit agar rok pendek yang ia pakai
tidak semakin memperlihatkan tubuhnya. Ya Tuhan, mengapa ia harus memiliki pekerjaan
seperti ini? Tapi mau bagaimana lagi? Kakaknya yang memaksanya untuk bekerja di
sini agar ia mendapatkan uang dengan cepat. Mereka adalah orang miskin yang
harus memenuhi kebutuhannya.
“Mengapa
kau merasa risih dengan pakaian itu? Apa kau takut ada yang menggodamu?” Aaron
bertanya sambil jari telunjuknya yang panjang itu mengitari bibirnya yang
tipis. Sungguh tampan. Luar biasa tampan. Pipi Alice merona saat lelaki ini
menggodanya. Sial, mengapa jantungnya sekarang berdetak begitu kencang? Sebelum
ia menjawab pertanyaan dari atasannya, ia mengerjapkan matanya berkali-kali.
“Ak-aku
tidak pernah memakai pakaian seseksi ini sebelumnya, Mr.Bieber,”
“Tidak,
tidak. Jangan panggil aku Mr.Bieber. Panggil saja Aaron, aku belum tua seperti
ayahku,” Aaron menggelengkan kepalanya lalu tangan kanannya meraih gelas yang
tinggi itu lalu mengambil botol yang baru saja Alice taruh di atas meja.
“Rodd!” teriak Aaron saat seorang pelayan lelaki melewatinya. Sontak lelaki itu
berhenti melangkah dan membalikan tubuhnya pada Aaron. Sial! Mengapa Aaron
harus memanggil lelaki banci seperti ini?
“Ya,
Mr.Bieber?” suara banci yang dikeluarkan lelaki yang bernama Rodd ini membuat
Alice menundukan kepalanya, menahan tawanya.
“Apa
kau bisa mengambil satu gelas untukku lagi?” saat Aaron bertanya seperi itu
pada Rodd, Alice mendongak. “Kurasa Alice juga membutuhkan sedikit penyegaran,”
“Oh,
tidak Mr.Bieber. Aku tidak menyentuh minuman beralkohol dari bar,”
“Kau?
Kau tidak pernah? Aneh. Mungkin kau harus mencobanya,” ujar Aaron, memaksa.
“Ambilkan sekarang,” lanjut Aaron yang membuat Rodd menganggukan kepalanya dan
pergi dari hadapan mereka. Alice tidak dapat melakukan apa-apa selain harus
menutup mulutnya. Tak banyak yang harus ia lakukan. Sama seperti yang Oprah
Winfrey katakan, hanya mendengar, mengangguk dan menjawab. Itu saja. Alice
melakukannya. Tidak ingin membantah. Tapi jika atasannya telah melecehkannya,
tentu saja ia akan memberontak.
“Jadi,
siapa namamu?” Aaron mulai menuangkan wine ke dalam gelasnya.
“Alice.
Alice Lancale,”
“Kau
mengingatkanku pada ayahku. Pertemuannya dengan ibuku sama seperti ini. Tapi
bedanya, ibuku lebih pasrah dibanding dirimu yang menolak seperti ini,” jelas
Aaron yang membuat Alice tidak tahu harus merespon apa. Aaron tahu itu. “Sejak
kapan kau bekerja di sini? Aku tidak pernah melihatmu,”
“Sejak
satu minggu yang lalu,”
“Tapi
mengapa aku tidak pernah melihatmu? Apa kau bisa melihat apa yang terjadi
dengan mataku? Mungkin kau bisa melihat sesuatu yang menutupinya. Tidak mungkin
aku tidak bisa melihat malaikat secantik dirimu sejak satu minggu yang lalu,”
ujar Aaron, menggoda Alice. Ia memajukan tubuhnya dan membuka matanya
lebar-lebar. “Kau lihat? Apa yang menutupinya?” tanya Aaron menunjukan matanya
pada Alice. Sial, sial, sial! Mengapa mata lelaki ini harus terlihat begitu
indah? Maksud Alice, apa-apaan? Warna matanya sama seperti warna mata harimau.
Ia bahkan iri karena tidak memiliki warna mata sepertinya.
*Aaron Bieber POV*
Aku
tertarik dengan wanita ini. Tapi mungkin tidak dalam jangka waktu yang lama.
Mungkin aku hanya dapat memakai tubuhnya untuk sementara. Tapi aku tidak peduli
dengan dirinya yang jika nanti akan menangis. Permasalahannya adalah wanita ini
kurasa adalah wanita yang polos. Lucu ketika aku melihatnya menurun-turunkan
rok pendek yang ia pakai untuk menutupi pahanya yang putih itu. Itu adalah hal
yang baru di bar ini yang pertama kali kulihat. Rambutnya berwarna hitam
panjang, dengan bibir yang seksi berwarna merah muda, matanya ..aku menyukai
mata. Meski warna matanya adalah hitam, tapi entahlah, itu seperti membuat
sesuatu yang misterius di dalam sana.
Rodd
muncul dengan satu gelas kosong di atas nampannya lalu menaruhnya di atas
mejaku dan pergi tanpa ada sopan santun. Tapi aku tidak peduli dengannya.
Kembali aku menatap Alice yang melipat bibirnya ke dalam untuk mengurangi rasa
gugupnya. Aku ahli dalam wanita. Tapi aku tidak ahli dalam hubungan percintaan.
Aku tahu kapan mereka takut, gugup dan senang. Aku tahu gerak-gerik mereka. Aku
bisa menggoda mereka dengan gaya genitku. Tapi aku tidak pernah menunjukannya
di depan umum seperti ini. Aku terkenal di sini. Pft! Aku adalah anak dari
Justin Bieber! Model pakaian formal. Pemilik bar dan restoran. Penerus generasi
Bieber. Dan tentunya penggoda wanita, tapi tidak dengan cara yang murahan
seperti menyentuh bagian tubuh mereka di depan umum. Hanya dengan tatapan
mataku. Itu semua adalah ajaran ayahku. Ia memang ahli dalam masalah wanita.
Pantas Peepee jatuh cinta dengannya. Kuambil botol wine yang tadi Alice berikan
padaku lalu menuangkannya pada gelas yang kosong.
“Minumlah,”
suruhku mengangguk padanya. Tapi aku tidak akan memaksanya. “Mengapa kau
bekerja di sini –kau bisa duduk lebih dekat denganku—jika kau saja tidak merasa
nyaman dengan pakaianmu?” tanya Aaron, menyuruh Alice untuk duduk dekatnya.
Pelan-pelan Alice menggeser tubuhnya lebih masuk ke dalam sofa yang berbentuk
sabit itu.
“Kurasa
itu adalah pertanyaan yang sangat personal, Mr.Bieber,”
“Kau
masih ingin bekerja di sini bukan? Aku harus tahu apa alasan kau bekerja di
sini, sekali lagi, Alice. Panggil aku Aaron,”
“Well,
itu karena aku ..dan kakakku adalah keturunan orang yang tidak mampu. Kakak
lelakiku memaksaku untuk bekerja di tempat seperti ini agar kami mendapatkan
uang dengan cepat,”
“Kau
bisa bekerja di rumahku jika kau mau,” Jika
kau tertarik dengan seorang wanita, ajaklah ia ke rumahmu dan tiduri dia. Itu
adalah kata-kata ayahku. Dan aku mengikutinya. Mengikuti jejaknya, lebih
tepatnya. Kebetulan di rumah aku memiliki tiga adik yang masih kecil. Tiga adik
yang masih kecil dan satu adik yang sudah besar, Grace. Well, ada dua adik
kembarku dan satu adik jagoanku yang masih berumur 7 tahun. Yang kembar masih
berumur 4 tahun. Yeah, Peepee benar-benar subur. Aku tidak tahu apa yang dapat
membuatnya subur seperti itu tapi tidak apa-apa. Aku senang memiliki adik. Dan
mungkin, Alice dapat membantu Peepee untuk menjaga si kembar. Well, adik
lelakiku yang masih berumur 7 tahun itu bernama Jonathan. Dan si kembar, mereka
lelaki dan perempuan. Mozess dan Monica. Yeah, mereka hampir sama hanya saja
Mozess lebih mirip dengan ayah. Dan tentunya dengan adikku yang baru saja
berumur 16 tahun, Grace, ia bertumbuh begitu cantik. Aku semakin menyayanginya.
“Bekerja
di rumahmu?” suara Alice membuyarkan lamunanku.
“Yeah,
bekerja di rumahku. Tidak, bukan hal yang berat. Aku memiliki adik yang masih
kecil. Mereka kembar, lelaki dan perempuan. Dan mereka susah diatur. Mungkin
kau bisa membantu ibuku,”
“Kau
memiliki adik lelaki dan perempuan? Itu terdengar hebat. Tapi kurasa aku tidak
bisa melakukannya,” Alice menggelengkan kepalanya. Tidak bisa? Mengapa? Aku
mengangkat kedua alisku, menatapnya dengan tatapan terkejut namun memikat.
Ditambah lagi aku memberinya senyuman miring menggodaku padanya, oh yeah baby,
dia memerah.
“Mengapa
tidak bisa? Kau tampaknya wanita yang lembut sama seperti ibuku,”
“Kurasa
kau bisa memilih wanita lain yang lebih layak. Aku hanya ingin mendapatkan uang
untuk memenu—“
“Kau
bisa mendapatkan uang dengan cepat di sana, Alice. Aku serius. Aku pemilik Bar,
aku memiliki restoran. Bahkan toko buku. Apalagi yang kautunggu? Kau hanya
perlu merawat kedua adikku dan berbincang-bincang dengan ibuku,”
“Mr.Bieber,
kita baru saja bertemu dan kurasa aku tidak bisa secepat ini mengambil
keputusan. Semuanya berada di tangan kakak lelakiku,”
“Mengapa
kau harus mengambil keputusan orang lain sedangkan yang menjalankan kehidupan
adalah dirimu?” aku membuatnya terdiam sejenak. Oh yeah, benar sekali sayang.
Peepee benar-benar pintar membuat kata-kata bijak seperti ini. Kulihat Alice
menatap lantai berwarna hitam dengan ragu-ragu. Dapat kulihat sekarang, ia
tampak begitu bingung.
“Kau
bisa berpikir selama satu hari. Aku pintar menilai orang, Ms. Lancale.
Kebetulan aku masih memiliki mata yang sehat, kau sangat tidak membantu tadi.
Tapi tidak apa-apa. Kau bisa berpikir dan berunding dengan kakak lelakimu yang
..aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya tapi yang jelas ia bukanlah kakak
yang baik bagimu,”
“Dia
adalah kakak yang baik,”
“Lalu
mengapa ia memaksamu untuk bekerja di tempat yang tak bisa membuatmu nyaman?
Aku di sini berusaha untuk membantumu. Karena aku kasihan melihatmu tak nyaman
dalam seragam itu,” aku memang berusaha untuk membantunya dan memang, abangnya
bukanlah abang yang baik. Well, meski kebaikanku harus dibayar dengan kebaikan
juga. Mungkin dengan tubuhnya. Yeah, dengan tubuhnya. Aku tidak sabar dengan
apa yang akan ia katakan besok. Meski abangnya bukanlah abang yang baik,
kuharap ia ingin membantuku untuk membujuk adiknya tinggal di rumah bersamaku.
Well, mungkin jika aku telah bosan dengannya, aku akan memecatnya setelah itu.
Yeah, aku jahat. Dan aku tidak peduli.
***
Baru
kuingat Grace memiliki masalah di sekolah dengan kekasihnya. Sial sekali.
Mengapa kekasihnya yang seperti feses itu harus berada di dunia ini? Banyak
sekali teman-temannya yang memberitahuku tentang Grace bukanlah seorang gadis
yang perawan lagi. Bukan apa-apa, aku tidak ingin ada satu orangpun menyakiti
Grace. Demi Tuhan! Aku benar-benar menyayangi Grace. Pantas beberapa hari
terakhir ini ia tampak lebih pendiam. Ternyata ia menyembunyikan sesuatu
dariku. Well, aku tahu dari teman-temannya saat aku sedang menunggu Grace
keluar dari sekolahnya, maksudku pulang ke sekolah. Meski banyak dari sebagian
teman Grace memegang-megang tanganku untuk mencari perhatian dariku, tapi
sungguh, mereka tidak sama sekali menarik bagiku. Dan siapa pun yang
memerawaninya akan kupatahkan penisnya. Jika perlu, aku akan menyatukan testis
mereka menjadi satu agar mereka cepat mati! Kutarik nafasku. Dan jika memang
itu adalah kekasih Grace yang memerawaninya, aku akan memintanya untuk segera
mengakhiri hubungan mereka. Kupukul setir mobil yang kubawa, ini akibat
perasaanku yang begitu kesal.
Kuparkirkan
mobilku di garasi mobil dan dengan cepat aku keluar dari mobil lalu
menguncinya. Melangkah dengan cepat menuju rumah dengan pakaian formal
benar-benar membuatku seperti detektif. Dan aku menyukainya. Peepee bilang
tingkah lakuku dari kecil, remaja hingga dewasa adalah perubahan tingkah laku
yang sangat pesat. Ia bilang dulu aku adalah anak yang sangat ceria. Semenjak
memasuki masa remaja, mula-mula aku sedikit pendiam. Dan sekarang, aku memang
pendiam. Tapi tentu saja, untuk menggoda wanita aku harus mengubah modeku dari
mode pendiam menjadi mode penggoda. Itu seperti robot. Dan itu menarik. Pintu
utama terbuka begitu saja oleh pelayanku dan menyapaku, tapi aku
mengabaikannya. Saat memasuki ruang keluarga, kulihat Jonathan dan si kembar
sedang bermain boneka bola berwarna biru-putih. Aku ingat, dulu aku senang
sekali bermain boneka bola seperti itu bersama dengan Peepee.
“Aaron!
Kau pulang!” seru Jonathan saat ia melihatku lalu ia berlari padaku dan memeluk
kakiku. Disusul dengan si kembar yang juga berlari begitu bersemangat akan
kedatanganku di rumah. Di mana ayah dan ibu? Kurasa mereka sedang berada di
dalam kamar. Kumohon, jangan buat adik lagi untukku, aku memohon dalam hati.
“Peepee!”
seru si kembar. Peepee, yeah aku juga dipanggil Peepee oleh mereka. Tapi
terserah, selama itu tidak membuat mereka menangis.
“Hey,
little buddies! Sedang bermain bola? Well, aku tidak bisa menemani kalian dulu.
Aku harus bertemu dengan Grace sekarang. Apa kau tahu dimana dia?”
“Di
kamarnya. Ia terus berada di kamar sejak kau mengantarkannya pulang sekolah
lalu kau pergi,” ujar Jonathan menjelaskan. Aku mengangguk, mengerti.
“Mozzy
dan Moon, jangan nakal. Aku akan bermain nanti,” ujarku mengusap kepala Mozess
dan Monica lalu mengecupnya satu-satu. Begitu juga pada Jonathan. Mereka telah
melepaskan kakiku dan dengan cepat aku melangkah menuju tangga. Melewati tiap
anak tangga dengan jantung yang berdetak dengan kencang. Untuk yang pertama
kalinya aku akan masuk ke dalam permasalahan hubungan cintanya. Tapi sial, ini
untuk kebaikannya juga. Saat aku sampai di depan pintu kamarnya, aku terdiam
sejenak lalu mengetuk pintu kamarnya.
“Grace?
Apa kau di dalam?” tanyaku.
“Mhmm,
masuklah,” suara Grace yang lembut terdengar di telingaku. Aku langsung membuka
pintu kamarnya dan masuk ke dalam lalu menutup pintunya kembali. Mataku melihat
pada Grace yang sedang menunduk sambil melihat pada kukunya. Sudah kuduga ia
akan menyendiri seperti ini. Aku terduduk di ujung tempat tidurnya dan menatap
dengan tatapan prihatin.
“Ceritakanlah
padaku,” suruhku, ingin membujuknya. Ia mendongak dan tersenyum. Mengapa ia
harus memiliki sifat yang sama seperti ibuku? Yang tersenyum dalam
keterpurukannya? Ia memang memiliki banyak sifat yang sama seperti Peepee dan
sungguh, itu sangat menyebalkan.
“Apa
yang harus kuceritakan?”
“Tentang
keperawananmu, Grace. Tentu saja,” aku memaksanya, menuntut. Ia terdiam dan
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ceritakanlah
padaku, Grace. Aku akan memukulnya hingga ia meninggal. Aku serius. Aku tidak
berbohong. Dia telah menyakitimu, maka ia juga akan mendapatkan kesakitan,”
“Oh,
Aaron. Jangan seperti itu. Mengapa kau seperti daddy? Jangan seperti itu,”
keluh Grace yang menepuk keningnya dengan lemah. Ia tidak ingin memberitahunya
padaku.
“Grace.
Aku pernah memberitahumu sebelumnya. Jika ada yang menyakitimu, aku akan
mematahkan penisnya yang kecil itu, beritahu aku sekarang atau aku yang
mencaritahunya sendiri, lalu akan kupatahkan penis itu tepat di depan wajahmu,”
“Oh
Aaron! Kau sangat menjijikan!” keluh Grace.
“Jadi,
beritahu aku,”
“Baiklah-baiklah,
akan kuberitahu. Apa kau berjanji tidak akan menyakitinya?”
“Aku
tidak bisa dengan itu, beritahu aku sekarang. Waktumu hanya tiga detik,”
“Well..”
“Satu,”
“Dia..”
“Dua..”
“Blake.”
“Tiga.
Dia mati sekarang.” Sial! Kekasihnya!
“TIDAK!”
Grace langsung memukulku. Aku tidak peduli. Dia harus mati. Benar-benar mati.
“Tidak, Aaron! Kumohon jangan,”
“Dia
telah menyakitimu, kau bodoh!” aku membentak Grace. Air mata Grace mulai
mengalir.
“Tidak,
kumohon. Dia tidak menyakitiku,” Grace mulai menahan tanganku saat aku ingin
melangkah pergi dari kamarnya. “Kumohon, Aaron,” isak tangisnya mulai
terdengar. Apa-apaan?
“Apa
yang terjadi di sini?” suara ayah terdengar saat ia membuka pintunya.
“Grace
sudah tidak perawan lagi,” aku memberitahunya. Mata ayahku melebar dan tak
percaya, Peepee muncul dari belakang. “Dia harus mati. Siapa dia?”
***
*Author POV*
Lelaki
bermata harimau itu sedang bersandar di atas kap mobilnya yang berwarna hitam
itu sambil melihat satu per satu anak-anak keluar dari sekolahnya. Ia harus
menjemput Jonathan di sekolahnya. Sekarang sudah jam 2 siang. Setelah ini ia
harus menjemput adiknya, Grace, di sekolahnya. Ia memang senang menjemput
adik-adiknya. Karena ia tidak memiliki pekerjaan selain mengurusi restoran dan
toko buku. Oh dan yah, ia juga memiliki pekerjaan menjadi model pakaian formal
untuk merek-merek pakaian terkenal. Yeah, karena ketampanannya, para wanita
meminta pacar-pacar lelakinya memakai pakaian formal yang lelaki ini pakai.
Banyak teman-teman Grace yang selalu saja menjerit dari jarak jauh karena
melihat dewa Yunani yang selalu menunggu Grace di parkiran sekolah.
Seorang
anak lelaki bermata biru itu berlari-lari kegirangan dengan tas kecil yang ia
pakai. Rambutnya panjang, sama seperti milik kakak lelakinya, Aaron. Ia senang
sekali karena ia telah pulang sekolah! Aaron bangkit dari sandarannya dan
tersenyum pada Jonathan, adiknya, sambil Aaron membuka tangannya lebar-lebar
untuk memeluk Aaron. Gigi susu milik Jonathan terlihat sangat rapi, baru satu
gigi serinya yang patah sehingga sekarang ia tampak begitu lucu.
“Aaron!”
teriak Jonathan langsung memeluk Aaron dan Aaron menggendongnya.
“Hey,
little boy. Kau sudah pulang. Siap untuk menjemput Grace?” tanya Aaron sambil
membuka pintu mobil bagian depan lalu melepaskan Jonathan dari gendongannya
sehingga Jonathan langsung masuk ke dalam. Aaron membiarkan pintu terbuka
sehingga Jonathan yang memiliki tangan kecil itu menariknya agar tertutup.
Yeah, Jonathan suka menutup pintu mobil. Aaron berlari kecil menuju pintu sopir
lalu membukanya. Ia masuk ke dalam sambil tangannya memasang kunci mobil.
“Jadi,
apa yang terjadi tadi di sekolah?” tanya Aaron menyalakan mobilnya.
Mendiamkannya sejenak. Jonathan yang memiliki wajah yang tampan dengan mata
biru itu melepaskan tas kecil yang ia bawa lalu membuka retsletingnya. Tingkah
lakunya sama seperti saat Aaron masih kecil. Menggemaskan. Bedanya hanyalah
warna mereka dan hidung. Bibir mereka hampir sama. Wajah Jona lebih mendominasi
pada Alexis, tapi itu tidak memudarkan ketampanan Jona.
“Mrs.Jones
menyuruhku untuk menggambar tentang keluarga. Jadi aku menggambar diriku,
mommy, daddy, kau, Grace dan si kembar. Bukankah ini bagus menurutmu Aaron?”
tanya Jona sambil memperlihatkan sebuah kertas gambar yang telah dilukis olehnya.
Gambaran dari seorang anak 7 tahun membuat Aaron menoleh dan tertawa. Di sana
terdapat 7 orang yang memiliki warna pakaian yang berbeda. Rambut Grace dan
ibunya hanya memiliki lima helai dengan warna cokelat. Mata mereka ada yang
berwarna merah, biru dan coklat. Tapi gambar yang paling besar di sana adalah
Jonathan. Dirinya sendiri. Ia menulis satu per satu nama dari gambarannya.
Aaron berada di gambar paling ujung, begitu juga dengan dirinya. Ibunya dan
Justin berada di tengah-tengah. Grace berdiri di sebelah Aaron dan si kembar
berada di kedua sisi Justin dan Alexis. Gambaran yang benar-benar bagus untuk
anak seumur Jonthan. Aaron mulai menyetir keluar dari kawasan sekolah dan masuk
ke jalan raya. Ia menganggukan kepalanya.
“Itu
adalah gambaran terbagus yang pernah kulihat. Tapi mengapa kau harus
menggambarku dengan rambut sebanyak dua helai?”
“Itu
karena aku baik padamu. Aku tidak ingin menggambarmu sama seperti mommy dan
Grace. Kau terlihat tampan di sini, kau tahu,” Jonathan memaparkan kertasnya
dengan kedua tangannya dari jarak jauh. Lalu ia memperhatikannya. Aaron menoleh
dan tersenyum melihat adiknya yang bertingkah konyol itu. Entah mengapa ia
harus memiliki banyak adik yang sama konyolnya dengan Peepee. Ia tidak pernah
menyesal karena ayahnya menikahi Peepee, ibu terbaik yang pernah ia miliki. Ia
selalu mendengar perkataan Peepee, tapi ia tidak pernah menceritakan begitu
banyak tentang dirinya tiga tahun terakhir ini sejak ia keluar dari sekolah
pada Peepee.
Mobilnya
masuk ke dalam sebuah parkiran sekolah SMA yang disekolahi oleh Grace. Ia
memarkirkan mobilnya dengan rapi di antara banyaknya mobil yang berjejer di
sana. Kemudian, ia membalikan tubuhnya ke belakang untuk mengambil iPad
miliknya yang ia taruh di atas kursi belakang lalu memberikannya pada Jonathan.
“Yeay!” seru Jonathan saat ia mengambil iPad itu dari tangan Aaron. Aaron menurunkan
kaca jendela agar Jonathan dapat bernafas.
“Ingat,
jangan sentuh apa pun,” Aaron memperingati adiknya sambil ia keluar dari mobil
tanpa melepaskan kunci mobilnya. Itu agar Jonathan tidak merasa kepanasan di
dalam mobil. Siang ini Aaron memakai celana jins berwarna biru panjang dengan
baju polo berwarna putih sebagai atasannya. Sungguh sial! Para gadis yang
melihat Aaron keluar dari parkiran ke dalam halaman sekolah itu menatap Aaron
dengan tatapan tak percaya. Ya Tuhan! Rambut dewa Yunani itu terkibas saat
angin menerpa rambutnya. Demi Tuhan! Ia adalah lelaki tertampan yang pernah
mereka temui. Bagaimana mungkin Grace tidak menyukai kakaknya sendiri yang
tampannya luar biasa itu? Ditambah lagi dengan ototnya yang tercetak oleh
pakaian Polo itu membuatnya lebih seksi lagi. Aaron sudah terbiasa dengan
tatapan-tatapan itu, namun ia mencoba untuk mengabaikannya. Matanya melihat
pada pintu keluar-masuk murid-murid. Berharap adiknya muncul dari sana. Dan
jika adiknya keluar dengan Blake, hari ini juga ia akan memukul lelak itu. Ia
bersandar pada jeruji besi di halaman depan sambil melipat kedua tangannya. Ia
tidak memakai kacamata, sehingga sekarang tatapannya terhadap banyak murid ini
membuat ia tampak seperti elang yang mencari mangsanya. Demi Tuhan lelaki ini
adalah lelaki tertampan! Sekali lagi.
Seorang
gadis berambut pirang muncul dari pintu keluar-masuk murid dan melihat seorang
lelaki tampan menunggu sahabatnya. Ya, dia adalah sahabat Grace. Dengan cepat
ia berlari ke arah Aaron dengan bersemangat. Ia berjanji pada Grace untuk tidak
menyukai Aaron, tapi bagaimana caranya? Aaron adalah lelaki tampan dan sebagai
gadis yang normal, tentu saja ia menyukai Aaron.
“Hey,
Laura. Dimana Grace?” tanya Aaron bangkit dari sandarannya.
“Oh?
Ia masih di dalam. Katanya ia memiliki sesuatu yang harus ia urus. Kau ingin
aku memanggilnya agar cepat keluar?” tanya Laura, bersedia masuk kembali ke
dalam sekolah lagi.
“Tidak.
Antarkan aku masuk ke dalam, aku ingin melihat apa yang ia lakukan di dalam
sana,” Aaron menggelengkan kepalanya, ia berharap di dalam sana bertemu dengan
Blake lalu meninjunya. Laura menganggk, bersemangat. Jika ia diizinkan untuk
memegang tangan Aaron, dari tadi mungkin ia telah memegang tangan Aaron. Laura
membalikan tubuhnya lalu melangkah pergi untuk masuk kembali ke dalam sekolah,
diikuti oleh Aaron dari belakang. Inilah alasan mengapa Aaron memberikan
iPad-nya pada Jonathan. Karena mungkin ia akan lebih lama di sekolah Grace
dibanding kemarin-kemarin. Ia memiliki tujuan lain untuk datang ke sekolah
Grace selain menjemput Grace. Yeah, meninju Blake. Mereka melewati anak tangga,
entah Laura membawa Aaron kemana. Yang jelas ia percaya Laura akan membawanya
pada Grace. Setelah mereka sampai di lantai yang ketiga dari sekolah itu, Aaron
dan Laura mulai menelusuri lorong yang telah kosong itu. Namun pendengaran
Aaron yang tajam mendengar suara tangisan wanita dari jarak jauh. Langsung saja
Aaron mengenali suara tangisan wanita itu. Kakinya yang seperti harimau itu
berlari mengikuti suara tangisan itu, membuat Laura terkejut karena Aaron
langsung menyusulnya. Larian Aaron terhenti saat ia telah berada di ujung
lorong lalu matanya melihat pada lorong sebelah kanan yang lain.
“Sudah
kubilang untuk tidak memberitahu siapa pun kau bodoh!” bentak seorang lelaki
membuat jantung Aaron berhenti. Kau bodoh.
Sialan! Berani-beraninya lelaki sialan ini menghina adiknya.
Adik
perempuan pertamanya sedang dihimpit oleh seorang lelaki yang paling ia benci
sekarang. Ia mendengus, hidungnya menghasilkan sebuah kernyitan di sana,
sungguh ia benar-benar kesal. Melihat adiknya menangis, ia melangkah cepat ke
arah mereka lalu ia menarik kerah lelaki sialan itu hingga lelaki ini
terbanting ke atas lantai. Wajah si pengecut ini langsung pucat saat ia melihat
Aaron, kakak dari kekasihnya muncul. Tak ambil pusing, Aaron meraih kerah
kemeja yang lelaki ini pakai ke atas lalu meninju wajah tampannya terus
menerus.
“Kau.
Yang. Menyakiti. Adikku! Kau berengsek!” Aaron terus memukul wajah lelaki itu
hingga darah keluar dari mulut lelaki ini. Grace menutup mulutnya tak percaya.
“Aaron!
Berhenti!”
“Aku
tidak ..sial!” Aaron menggeser tubuhnya yang menindih lelaki ini lalu menginjak
bagian tengah celana Blake dengan keras. Sontak Blake mengerang kencang. “Mati
kau sialan!” teriak Aaron menundukan tubuhnya lalu membuka retsleting celana
Blake dengan cepat dan menarik celana jinsnya lepas dari tubuh Blake. Ia
melihat boxer berwarna biru muda masih terpasang. Tak tanggung-tanggung Aaron
menendang-tendang bokong Blake sekaligus penis Blake, bahkan testisnya.
“Aku.
Telah. Bersumpah. Untuk. Menyatukan ..fuck you! Menyatukan testismu!” bentak
Aaron kali ini menendang penis Blake
untuk yang terakhir kalinya, namun kencang. Blake langsung meringkuk bagaikan
anak bayi dan menangis. “Kuharap kau cepat mati,”
“Aaron!”
Grace benar-benar menangis dan tangannya menyentuh lengan Aaron yang telah
menegang. “Kau menyakitinya. Tidak,” –Grace menggelengkan kepalanya—“Tidak,
bukan seperti ini caranya. Ia tidak menyakitiku, ya Tuhan, Aaron,” Grace
mendesah dan isak tangisnya semakin membesar. Laura muncul saat Aaron menendang
bokong Blake untuk yang terakhir kalinya.
“Apa
yang terjadi di sini?” seorang wanita tua dengan pakaian formalnya muncul. Ia
adalah kepala sekolah. Matanya melebar saat ia melihat muridnya tersungkur
dengan tangisan sambil tangannya menyentuh bagian terlarangnya dengan hanya
boxer yang menutupinya.
“Ms.Bieber,
kurasa kita memiliki masalah di sini,”
“Aku
benar-benar kesal denganmu Aaron, entah sampai kapan. Tapi aku benar-benar
kecewa dengan apa yang kauperbuat,” Grace membisik sambil mengelap air matanya
dengan jari telunjuknya. “Ya, Mrs.Dorothy,” Grace melangkah pergi dari hadapan Aaron
dan Blake, begitu pun pada Laura.
“Sial,”
dengus Aaron.
“Arrh!”
Blake mengerang.
“Diam
kau sialan! Karena kau adikku membenciku, kau memang pembawa sial!” Aaron
menendang kembali bokong Blake hingga Blake kembali mengerang.
***
“Itu
tidak seburuk yang kaukira!” Aaron berteriak pada Grace yang melangkah naik ke
atas, melewati anak tangga dengan derai air mata di pipinya. Aaron telah
mempermalukannya di sekolah hari ini! Tentu saja Grace kesal pada Aaron. Si
kembar yang sedang bermain-main di ruang keluarga bersama-sama itu langsung
berhenti melakukan permainan mereka. Jonathan baru saja ingin bergabung dengan
si kembar, tapi karena teriakan dari Aaron, ia tidak jadi bermain dengan si
kembar. Terlalu takut untuk tertawa-tawa pada saat kakaknya sedang bertengkar.
“Kau
tidak pernah mengerti perasaanku. Dan aku membencimu!” teriak Grace dari lantai
dua lalu membanting pintu kamarnya. Aaron berdiri di depan anak tangga pertama
bawah sambil melihat ke atas lalu ia meremas rambutnya. Ketiga adiknya yang
terduduk di atas karpet ruang keluarga menatap Aaron dengan wajah polos mereka.
Ditambah lagi dengan Mozzes yang air liurnya menetes-netes.
“Ada
apa, Aaron?” suara lembut dari Alexis muncul dari dapur ke ruang keluarga.
Begitu juga dengan Justin yang muncul dari belakang Alexis. “Mengapa kau
meneriaki adikmu?” kedua alis Alex menyatu.
“Kau
telah mematahkan penisnya huh?” tanya Justin melangkah melewati Alexis dan
menatap Aaron dengan tatapan serius. Ia melangkah begitu lambat, kedua
tangannya berada di pinggangnya. Sungguh, bahkan diumurnya yang tengah baya itu
Justin masih terlihat muda dan tampan. “Akui saja,” tuntut Justin dengan nada
suara yang serius.
“Ya,
aku membuatnya menangis,”
“Kau
membuatnya menangis, eh?” tanya Justin melangkah satu kali lagi, ia mendecak
pinggang pada anak pertamanya dengan pakaiannya yang bisa dibilang santai itu.
Ia hanya memakai celana selutut berwarna hitam ditambah dengan kaos atasannya
yang berwarna putih.
“Mhmm,
Grace bilang –“ suara Aaron terhenti saat Justin maju padanya lalu memeluknya.
“Kau
memang benar-benar anakku, Aaron! Aku bangga padamu!” ujar Jutsin memeluk Aaron
dan menepuk-tepuk punggung Aaron. Aaron hanya terdiam, ia tidak tahu apa ia harus
tertawa atau ia harus bersedih. Ataukah ia harus bangga dengan perbuatannya?
Alex yang di belakang mereka hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Mommy,
apa itu penis?” Monica bertanya.
“Ya,
mommy. Apa itu penis?” tanya Mozess. Justin melepaskan pelukannya dari Aaron
lalu membalikan tubuhnya, melihat pada Alex dengan bibir yang nyengir tanpa ada
rasa bersalah. Alex mengangkat kedua tangannya, tak percaya Justin baru saja
mengatakan penis di depan anak-anak mereka yang masih kecil, ia menyerah. Alex tidak
ingin menjelaskan apa itu penis pada anak-anaknya. “Daddy? Apa itu penis?”
tanya Mozess dengan suara yang besar.
“Kau
yang tangani. Aku tidak menyerah,” ujar Alex mengangkat kedua tangannya sambil
berjalan melewati Justin dan menarik tangan Aaron untuk naik ke atas lantai
dua. “Sial!” erang Justin memukul udara dengan kesal.
“Kau
ingin tahu apa itu penis? Baiklah, biar daddy jelaskan,” ujar Justin berjalan
lambat ke arah tiga anaknya yang duduk berbaris begitu rapi. Sementara Justin
menjelaskan apa itu penis pada anak-anak mereka, Aaron dan Alexis melangkah
melewati anak-anak tangga untuk naik ke atas. Mereka melewati lorong lalu
berhenti di depan pintu kamar Grace. Terdengar dari dalam sana tangisan Grace
yang memecah. Isak tangisannya bahkan membuat hati Aaron yang keras, meleleh
begitu saja. “Grace, kita bisa membicarakannya pelan-pelan,” bujuk Alex dengan
suara yang lembut.
“Aku
tidak ingin berbicara dengan siapa pun sekarang!” teriak Grace, menangis.
“Grace,
mommy mohon sayang,” kali ini suara Alex lebih lembut.
“Aku
tahu Aaron ada di sebelahmu dan aku tidak ingin bertemu dengannya! Aku
membencinya! Aku kecewa dengannya, mommy!” teriak Grace yang membuat hati Aaron
terasa diremas begitu saja.
“Dia
membenciku mommy!” seru Aaron berbisik.
“Tidak,
dia hanya kesal padamu,” Alex bersuara pelan, berusaha untuk menenangkan
perasaan Aaron yang gelisah. “Grace, sayang, kita bisa membicarakannya. Kau
bisa menceritakannya padaku,”
“Dia
telah mempermalukanku! Dia telah membuat Blake masuk rumah sakit dan aku yakin
ia sudah cacat sekarang! Aku membencinya dia, mom! Demi Tuhan!” Grace
benar-benar membencinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar