Selasa, 06 Agustus 2013

Touching Fire Bab 1

            Mata harimau itu menatap ke segala arah. Mencari-cari siapa yang dapat ia pakai malam ini. Tapi tidak ada yang menarik perhatiannya. Ia terduduk di sebuah sofa yang berbentuk bulan sabit itu dengan lapisan yang berwarna merah bagaikan seorang raja yang ingin memilih pasangan untuk pangerannya. Ia menghempaskan nafasnya begitu saja saat seorang pelayan yang memakai pakaian seksi itu muncul di hadapannya. Tapi satu yang membuatnya ingin tertawa. Wanita ini terlihat begitu risih dengan pakaian yang ia pakai. Ia tertarik. Saat wanita ini membungkuk untuk menaruh segelas wine yang berada di atas nampan ke atas meja, Aaron, si mata harimau itu bangkit dari sandarannya.
            Ia tersenyum manis melihat wanita ini sambil matanya melihat pada tanda pengenalnya yang terpasang di kantong seragam pelayannya. Alice. Nama yang cantik sama seperti orangnya. Alice memeluk nampan yang ia pegang lalu matanya melihat pada mata Aaron dengan ragu-ragu. Ia tersenyum lalu mengangguk dengan sopan, ingin pergi dari hadapan Aaron.
            “Tunggu dulu,” Aaron menahan wanita ini dengan suaranya yang berat, membuat wanita yang telah berpaling dari Aaron membalikan tubuhnya kembali dan tersenyum sopan. “Alice,” sebut Aaron saat tangannya menyentuh tangan Alice yang putih itu dengan tangannya yang besar.
            “Duduklah sebentar,”
            “Tapi maaf Mr.Bieber, aku memiliki pekerjaan di sini,” tolak Alice dengan suaranya yang lembut. Ia berusaha untuk menjauhi atasannya ini karena banyak kabar yang ia dengar tentang lelaki ini. Lelaki yang memiliki suatu perkumpulan yang dapat membuat para wanita murahan kegirangan namun tidak baginya. Ia tidak ingin dilecehkan oleh lelaki ini. Nada suara dan tolakan dari wanita muda ini membuat telinga Aaron mendengar sesuatu yang asing. Tak pernah ia ditolak oleh seorang wanita sebelumnya. Kecuali adiknya, Grace. Sial.
            “Apa kau ingin kupecat hanya karena kau tidak ingin menuruti permintaanku?” ancam Aaron, sama seperti ayahnya dulu mengancam Alexis, ibunya sekarang. Pikiran Aaron sejalan dengan ayahnya, tapi sejalan dengan ayahnya yang dulu sebelum bertemu dengan Alex. Alice yang tidak ingin kehilangan pekerjaannya itu terduduk di ujung sofa dengan kaki yang ia himpit agar rok pendek yang ia pakai tidak semakin memperlihatkan tubuhnya. Ya Tuhan, mengapa ia harus memiliki pekerjaan seperti ini? Tapi mau bagaimana lagi? Kakaknya yang memaksanya untuk bekerja di sini agar ia mendapatkan uang dengan cepat. Mereka adalah orang miskin yang harus memenuhi kebutuhannya.
            “Mengapa kau merasa risih dengan pakaian itu? Apa kau takut ada yang menggodamu?” Aaron bertanya sambil jari telunjuknya yang panjang itu mengitari bibirnya yang tipis. Sungguh tampan. Luar biasa tampan. Pipi Alice merona saat lelaki ini menggodanya. Sial, mengapa jantungnya sekarang berdetak begitu kencang? Sebelum ia menjawab pertanyaan dari atasannya, ia mengerjapkan matanya berkali-kali.
            “Ak-aku tidak pernah memakai pakaian seseksi ini sebelumnya, Mr.Bieber,”
            “Tidak, tidak. Jangan panggil aku Mr.Bieber. Panggil saja Aaron, aku belum tua seperti ayahku,” Aaron menggelengkan kepalanya lalu tangan kanannya meraih gelas yang tinggi itu lalu mengambil botol yang baru saja Alice taruh di atas meja. “Rodd!” teriak Aaron saat seorang pelayan lelaki melewatinya. Sontak lelaki itu berhenti melangkah dan membalikan tubuhnya pada Aaron. Sial! Mengapa Aaron harus memanggil lelaki banci seperti ini?
            “Ya, Mr.Bieber?” suara banci yang dikeluarkan lelaki yang bernama Rodd ini membuat Alice menundukan kepalanya, menahan tawanya.
            “Apa kau bisa mengambil satu gelas untukku lagi?” saat Aaron bertanya seperi itu pada Rodd, Alice mendongak. “Kurasa Alice juga membutuhkan sedikit penyegaran,”
            “Oh, tidak Mr.Bieber. Aku tidak menyentuh minuman beralkohol dari bar,”
            “Kau? Kau tidak pernah? Aneh. Mungkin kau harus mencobanya,” ujar Aaron, memaksa. “Ambilkan sekarang,” lanjut Aaron yang membuat Rodd menganggukan kepalanya dan pergi dari hadapan mereka. Alice tidak dapat melakukan apa-apa selain harus menutup mulutnya. Tak banyak yang harus ia lakukan. Sama seperti yang Oprah Winfrey katakan, hanya mendengar, mengangguk dan menjawab. Itu saja. Alice melakukannya. Tidak ingin membantah. Tapi jika atasannya telah melecehkannya, tentu saja ia akan memberontak.
            “Jadi, siapa namamu?” Aaron mulai menuangkan wine ke dalam gelasnya.
            “Alice. Alice Lancale,”
            “Kau mengingatkanku pada ayahku. Pertemuannya dengan ibuku sama seperti ini. Tapi bedanya, ibuku lebih pasrah dibanding dirimu yang menolak seperti ini,” jelas Aaron yang membuat Alice tidak tahu harus merespon apa. Aaron tahu itu. “Sejak kapan kau bekerja di sini? Aku tidak pernah melihatmu,”
            “Sejak satu minggu yang lalu,”
            “Tapi mengapa aku tidak pernah melihatmu? Apa kau bisa melihat apa yang terjadi dengan mataku? Mungkin kau bisa melihat sesuatu yang menutupinya. Tidak mungkin aku tidak bisa melihat malaikat secantik dirimu sejak satu minggu yang lalu,” ujar Aaron, menggoda Alice. Ia memajukan tubuhnya dan membuka matanya lebar-lebar. “Kau lihat? Apa yang menutupinya?” tanya Aaron menunjukan matanya pada Alice. Sial, sial, sial! Mengapa mata lelaki ini harus terlihat begitu indah? Maksud Alice, apa-apaan? Warna matanya sama seperti warna mata harimau. Ia bahkan iri karena tidak memiliki warna mata sepertinya.

*Aaron Bieber POV*

            Aku tertarik dengan wanita ini. Tapi mungkin tidak dalam jangka waktu yang lama. Mungkin aku hanya dapat memakai tubuhnya untuk sementara. Tapi aku tidak peduli dengan dirinya yang jika nanti akan menangis. Permasalahannya adalah wanita ini kurasa adalah wanita yang polos. Lucu ketika aku melihatnya menurun-turunkan rok pendek yang ia pakai untuk menutupi pahanya yang putih itu. Itu adalah hal yang baru di bar ini yang pertama kali kulihat. Rambutnya berwarna hitam panjang, dengan bibir yang seksi berwarna merah muda, matanya ..aku menyukai mata. Meski warna matanya adalah hitam, tapi entahlah, itu seperti membuat sesuatu yang misterius di dalam sana.
            Rodd muncul dengan satu gelas kosong di atas nampannya lalu menaruhnya di atas mejaku dan pergi tanpa ada sopan santun. Tapi aku tidak peduli dengannya. Kembali aku menatap Alice yang melipat bibirnya ke dalam untuk mengurangi rasa gugupnya. Aku ahli dalam wanita. Tapi aku tidak ahli dalam hubungan percintaan. Aku tahu kapan mereka takut, gugup dan senang. Aku tahu gerak-gerik mereka. Aku bisa menggoda mereka dengan gaya genitku. Tapi aku tidak pernah menunjukannya di depan umum seperti ini. Aku terkenal di sini. Pft! Aku adalah anak dari Justin Bieber! Model pakaian formal. Pemilik bar dan restoran. Penerus generasi Bieber. Dan tentunya penggoda wanita, tapi tidak dengan cara yang murahan seperti menyentuh bagian tubuh mereka di depan umum. Hanya dengan tatapan mataku. Itu semua adalah ajaran ayahku. Ia memang ahli dalam masalah wanita. Pantas Peepee jatuh cinta dengannya. Kuambil botol wine yang tadi Alice berikan padaku lalu menuangkannya pada gelas yang kosong.
            “Minumlah,” suruhku mengangguk padanya. Tapi aku tidak akan memaksanya. “Mengapa kau bekerja di sini –kau bisa duduk lebih dekat denganku—jika kau saja tidak merasa nyaman dengan pakaianmu?” tanya Aaron, menyuruh Alice untuk duduk dekatnya. Pelan-pelan Alice menggeser tubuhnya lebih masuk ke dalam sofa yang berbentuk sabit itu.
            “Kurasa itu adalah pertanyaan yang sangat personal, Mr.Bieber,”
            “Kau masih ingin bekerja di sini bukan? Aku harus tahu apa alasan kau bekerja di sini, sekali lagi, Alice. Panggil aku Aaron,”
            “Well, itu karena aku ..dan kakakku adalah keturunan orang yang tidak mampu. Kakak lelakiku memaksaku untuk bekerja di tempat seperti ini agar kami mendapatkan uang dengan cepat,”
            “Kau bisa bekerja di rumahku jika kau mau,” Jika kau tertarik dengan seorang wanita, ajaklah ia ke rumahmu dan tiduri dia. Itu adalah kata-kata ayahku. Dan aku mengikutinya. Mengikuti jejaknya, lebih tepatnya. Kebetulan di rumah aku memiliki tiga adik yang masih kecil. Tiga adik yang masih kecil dan satu adik yang sudah besar, Grace. Well, ada dua adik kembarku dan satu adik jagoanku yang masih berumur 7 tahun. Yang kembar masih berumur 4 tahun. Yeah, Peepee benar-benar subur. Aku tidak tahu apa yang dapat membuatnya subur seperti itu tapi tidak apa-apa. Aku senang memiliki adik. Dan mungkin, Alice dapat membantu Peepee untuk menjaga si kembar. Well, adik lelakiku yang masih berumur 7 tahun itu bernama Jonathan. Dan si kembar, mereka lelaki dan perempuan. Mozess dan Monica. Yeah, mereka hampir sama hanya saja Mozess lebih mirip dengan ayah. Dan tentunya dengan adikku yang baru saja berumur 16 tahun, Grace, ia bertumbuh begitu cantik. Aku semakin menyayanginya.
            “Bekerja di rumahmu?” suara Alice membuyarkan lamunanku.
            “Yeah, bekerja di rumahku. Tidak, bukan hal yang berat. Aku memiliki adik yang masih kecil. Mereka kembar, lelaki dan perempuan. Dan mereka susah diatur. Mungkin kau bisa membantu ibuku,”
            “Kau memiliki adik lelaki dan perempuan? Itu terdengar hebat. Tapi kurasa aku tidak bisa melakukannya,” Alice menggelengkan kepalanya. Tidak bisa? Mengapa? Aku mengangkat kedua alisku, menatapnya dengan tatapan terkejut namun memikat. Ditambah lagi aku memberinya senyuman miring menggodaku padanya, oh yeah baby, dia memerah.
            “Mengapa tidak bisa? Kau tampaknya wanita yang lembut sama seperti ibuku,”       
            “Kurasa kau bisa memilih wanita lain yang lebih layak. Aku hanya ingin mendapatkan uang untuk memenu—“
            “Kau bisa mendapatkan uang dengan cepat di sana, Alice. Aku serius. Aku pemilik Bar, aku memiliki restoran. Bahkan toko buku. Apalagi yang kautunggu? Kau hanya perlu merawat kedua adikku dan berbincang-bincang dengan ibuku,”
            “Mr.Bieber, kita baru saja bertemu dan kurasa aku tidak bisa secepat ini mengambil keputusan. Semuanya berada di tangan kakak lelakiku,”
            “Mengapa kau harus mengambil keputusan orang lain sedangkan yang menjalankan kehidupan adalah dirimu?” aku membuatnya terdiam sejenak. Oh yeah, benar sekali sayang. Peepee benar-benar pintar membuat kata-kata bijak seperti ini. Kulihat Alice menatap lantai berwarna hitam dengan ragu-ragu. Dapat kulihat sekarang, ia tampak begitu bingung.
            “Kau bisa berpikir selama satu hari. Aku pintar menilai orang, Ms. Lancale. Kebetulan aku masih memiliki mata yang sehat, kau sangat tidak membantu tadi. Tapi tidak apa-apa. Kau bisa berpikir dan berunding dengan kakak lelakimu yang ..aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya tapi yang jelas ia bukanlah kakak yang baik bagimu,”
            “Dia adalah kakak yang baik,”
            “Lalu mengapa ia memaksamu untuk bekerja di tempat yang tak bisa membuatmu nyaman? Aku di sini berusaha untuk membantumu. Karena aku kasihan melihatmu tak nyaman dalam seragam itu,” aku memang berusaha untuk membantunya dan memang, abangnya bukanlah abang yang baik. Well, meski kebaikanku harus dibayar dengan kebaikan juga. Mungkin dengan tubuhnya. Yeah, dengan tubuhnya. Aku tidak sabar dengan apa yang akan ia katakan besok. Meski abangnya bukanlah abang yang baik, kuharap ia ingin membantuku untuk membujuk adiknya tinggal di rumah bersamaku. Well, mungkin jika aku telah bosan dengannya, aku akan memecatnya setelah itu. Yeah, aku jahat. Dan aku tidak peduli.

***

            Baru kuingat Grace memiliki masalah di sekolah dengan kekasihnya. Sial sekali. Mengapa kekasihnya yang seperti feses itu harus berada di dunia ini? Banyak sekali teman-temannya yang memberitahuku tentang Grace bukanlah seorang gadis yang perawan lagi. Bukan apa-apa, aku tidak ingin ada satu orangpun menyakiti Grace. Demi Tuhan! Aku benar-benar menyayangi Grace. Pantas beberapa hari terakhir ini ia tampak lebih pendiam. Ternyata ia menyembunyikan sesuatu dariku. Well, aku tahu dari teman-temannya saat aku sedang menunggu Grace keluar dari sekolahnya, maksudku pulang ke sekolah. Meski banyak dari sebagian teman Grace memegang-megang tanganku untuk mencari perhatian dariku, tapi sungguh, mereka tidak sama sekali menarik bagiku. Dan siapa pun yang memerawaninya akan kupatahkan penisnya. Jika perlu, aku akan menyatukan testis mereka menjadi satu agar mereka cepat mati! Kutarik nafasku. Dan jika memang itu adalah kekasih Grace yang memerawaninya, aku akan memintanya untuk segera mengakhiri hubungan mereka. Kupukul setir mobil yang kubawa, ini akibat perasaanku yang begitu kesal.
            Kuparkirkan mobilku di garasi mobil dan dengan cepat aku keluar dari mobil lalu menguncinya. Melangkah dengan cepat menuju rumah dengan pakaian formal benar-benar membuatku seperti detektif. Dan aku menyukainya. Peepee bilang tingkah lakuku dari kecil, remaja hingga dewasa adalah perubahan tingkah laku yang sangat pesat. Ia bilang dulu aku adalah anak yang sangat ceria. Semenjak memasuki masa remaja, mula-mula aku sedikit pendiam. Dan sekarang, aku memang pendiam. Tapi tentu saja, untuk menggoda wanita aku harus mengubah modeku dari mode pendiam menjadi mode penggoda. Itu seperti robot. Dan itu menarik. Pintu utama terbuka begitu saja oleh pelayanku dan menyapaku, tapi aku mengabaikannya. Saat memasuki ruang keluarga, kulihat Jonathan dan si kembar sedang bermain boneka bola berwarna biru-putih. Aku ingat, dulu aku senang sekali bermain boneka bola seperti itu bersama dengan Peepee.
            “Aaron! Kau pulang!” seru Jonathan saat ia melihatku lalu ia berlari padaku dan memeluk kakiku. Disusul dengan si kembar yang juga berlari begitu bersemangat akan kedatanganku di rumah. Di mana ayah dan ibu? Kurasa mereka sedang berada di dalam kamar. Kumohon, jangan buat adik lagi untukku, aku memohon dalam hati.
            “Peepee!” seru si kembar. Peepee, yeah aku juga dipanggil Peepee oleh mereka. Tapi terserah, selama itu tidak membuat mereka menangis.
            “Hey, little buddies! Sedang bermain bola? Well, aku tidak bisa menemani kalian dulu. Aku harus bertemu dengan Grace sekarang. Apa kau tahu dimana dia?”
            “Di kamarnya. Ia terus berada di kamar sejak kau mengantarkannya pulang sekolah lalu kau pergi,” ujar Jonathan menjelaskan. Aku mengangguk, mengerti.
            “Mozzy dan Moon, jangan nakal. Aku akan bermain nanti,” ujarku mengusap kepala Mozess dan Monica lalu mengecupnya satu-satu. Begitu juga pada Jonathan. Mereka telah melepaskan kakiku dan dengan cepat aku melangkah menuju tangga. Melewati tiap anak tangga dengan jantung yang berdetak dengan kencang. Untuk yang pertama kalinya aku akan masuk ke dalam permasalahan hubungan cintanya. Tapi sial, ini untuk kebaikannya juga. Saat aku sampai di depan pintu kamarnya, aku terdiam sejenak lalu mengetuk pintu kamarnya.
            “Grace? Apa kau di dalam?” tanyaku.
            “Mhmm, masuklah,” suara Grace yang lembut terdengar di telingaku. Aku langsung membuka pintu kamarnya dan masuk ke dalam lalu menutup pintunya kembali. Mataku melihat pada Grace yang sedang menunduk sambil melihat pada kukunya. Sudah kuduga ia akan menyendiri seperti ini. Aku terduduk di ujung tempat tidurnya dan menatap dengan tatapan prihatin.
            “Ceritakanlah padaku,” suruhku, ingin membujuknya. Ia mendongak dan tersenyum. Mengapa ia harus memiliki sifat yang sama seperti ibuku? Yang tersenyum dalam keterpurukannya? Ia memang memiliki banyak sifat yang sama seperti Peepee dan sungguh, itu sangat menyebalkan.
            “Apa yang harus kuceritakan?”
            “Tentang keperawananmu, Grace. Tentu saja,” aku memaksanya, menuntut. Ia terdiam dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
            “Ceritakanlah padaku, Grace. Aku akan memukulnya hingga ia meninggal. Aku serius. Aku tidak berbohong. Dia telah menyakitimu, maka ia juga akan mendapatkan kesakitan,”
            “Oh, Aaron. Jangan seperti itu. Mengapa kau seperti daddy? Jangan seperti itu,” keluh Grace yang menepuk keningnya dengan lemah. Ia tidak ingin memberitahunya padaku.
            “Grace. Aku pernah memberitahumu sebelumnya. Jika ada yang menyakitimu, aku akan mematahkan penisnya yang kecil itu, beritahu aku sekarang atau aku yang mencaritahunya sendiri, lalu akan kupatahkan penis itu tepat di depan wajahmu,”
            “Oh Aaron! Kau sangat menjijikan!” keluh Grace.
            “Jadi, beritahu aku,”
            “Baiklah-baiklah, akan kuberitahu. Apa kau berjanji tidak akan menyakitinya?”
            “Aku tidak bisa dengan itu, beritahu aku sekarang. Waktumu hanya tiga detik,”
            “Well..”
            “Satu,”
            “Dia..”
            “Dua..”
            “Blake.”
            “Tiga. Dia mati sekarang.” Sial! Kekasihnya!
            “TIDAK!” Grace langsung memukulku. Aku tidak peduli. Dia harus mati. Benar-benar mati. “Tidak, Aaron! Kumohon jangan,”
            “Dia telah menyakitimu, kau bodoh!” aku membentak Grace. Air mata Grace mulai mengalir.
            “Tidak, kumohon. Dia tidak menyakitiku,” Grace mulai menahan tanganku saat aku ingin melangkah pergi dari kamarnya. “Kumohon, Aaron,” isak tangisnya mulai terdengar. Apa-apaan?
            “Apa yang terjadi di sini?” suara ayah terdengar saat ia membuka pintunya.
            “Grace sudah tidak perawan lagi,” aku memberitahunya. Mata ayahku melebar dan tak percaya, Peepee muncul dari belakang. “Dia harus mati. Siapa dia?”

***

*Author POV*

            Lelaki bermata harimau itu sedang bersandar di atas kap mobilnya yang berwarna hitam itu sambil melihat satu per satu anak-anak keluar dari sekolahnya. Ia harus menjemput Jonathan di sekolahnya. Sekarang sudah jam 2 siang. Setelah ini ia harus menjemput adiknya, Grace, di sekolahnya. Ia memang senang menjemput adik-adiknya. Karena ia tidak memiliki pekerjaan selain mengurusi restoran dan toko buku. Oh dan yah, ia juga memiliki pekerjaan menjadi model pakaian formal untuk merek-merek pakaian terkenal. Yeah, karena ketampanannya, para wanita meminta pacar-pacar lelakinya memakai pakaian formal yang lelaki ini pakai. Banyak teman-teman Grace yang selalu saja menjerit dari jarak jauh karena melihat dewa Yunani yang selalu menunggu Grace di parkiran sekolah.
            Seorang anak lelaki bermata biru itu berlari-lari kegirangan dengan tas kecil yang ia pakai. Rambutnya panjang, sama seperti milik kakak lelakinya, Aaron. Ia senang sekali karena ia telah pulang sekolah! Aaron bangkit dari sandarannya dan tersenyum pada Jonathan, adiknya, sambil Aaron membuka tangannya lebar-lebar untuk memeluk Aaron. Gigi susu milik Jonathan terlihat sangat rapi, baru satu gigi serinya yang patah sehingga sekarang ia tampak begitu lucu.
            “Aaron!” teriak Jonathan langsung memeluk Aaron dan Aaron menggendongnya.
            “Hey, little boy. Kau sudah pulang. Siap untuk menjemput Grace?” tanya Aaron sambil membuka pintu mobil bagian depan lalu melepaskan Jonathan dari gendongannya sehingga Jonathan langsung masuk ke dalam. Aaron membiarkan pintu terbuka sehingga Jonathan yang memiliki tangan kecil itu menariknya agar tertutup. Yeah, Jonathan suka menutup pintu mobil. Aaron berlari kecil menuju pintu sopir lalu membukanya. Ia masuk ke dalam sambil tangannya memasang kunci mobil.
            “Jadi, apa yang terjadi tadi di sekolah?” tanya Aaron menyalakan mobilnya. Mendiamkannya sejenak. Jonathan yang memiliki wajah yang tampan dengan mata biru itu melepaskan tas kecil yang ia bawa lalu membuka retsletingnya. Tingkah lakunya sama seperti saat Aaron masih kecil. Menggemaskan. Bedanya hanyalah warna mereka dan hidung. Bibir mereka hampir sama. Wajah Jona lebih mendominasi pada Alexis, tapi itu tidak memudarkan ketampanan Jona.
            “Mrs.Jones menyuruhku untuk menggambar tentang keluarga. Jadi aku menggambar diriku, mommy, daddy, kau, Grace dan si kembar. Bukankah ini bagus menurutmu Aaron?” tanya Jona sambil memperlihatkan sebuah kertas gambar yang telah dilukis olehnya. Gambaran dari seorang anak 7 tahun membuat Aaron menoleh dan tertawa. Di sana terdapat 7 orang yang memiliki warna pakaian yang berbeda. Rambut Grace dan ibunya hanya memiliki lima helai dengan warna cokelat. Mata mereka ada yang berwarna merah, biru dan coklat. Tapi gambar yang paling besar di sana adalah Jonathan. Dirinya sendiri. Ia menulis satu per satu nama dari gambarannya. Aaron berada di gambar paling ujung, begitu juga dengan dirinya. Ibunya dan Justin berada di tengah-tengah. Grace berdiri di sebelah Aaron dan si kembar berada di kedua sisi Justin dan Alexis. Gambaran yang benar-benar bagus untuk anak seumur Jonthan. Aaron mulai menyetir keluar dari kawasan sekolah dan masuk ke jalan raya. Ia menganggukan kepalanya.
            “Itu adalah gambaran terbagus yang pernah kulihat. Tapi mengapa kau harus menggambarku dengan rambut sebanyak dua helai?”
            “Itu karena aku baik padamu. Aku tidak ingin menggambarmu sama seperti mommy dan Grace. Kau terlihat tampan di sini, kau tahu,” Jonathan memaparkan kertasnya dengan kedua tangannya dari jarak jauh. Lalu ia memperhatikannya. Aaron menoleh dan tersenyum melihat adiknya yang bertingkah konyol itu. Entah mengapa ia harus memiliki banyak adik yang sama konyolnya dengan Peepee. Ia tidak pernah menyesal karena ayahnya menikahi Peepee, ibu terbaik yang pernah ia miliki. Ia selalu mendengar perkataan Peepee, tapi ia tidak pernah menceritakan begitu banyak tentang dirinya tiga tahun terakhir ini sejak ia keluar dari sekolah pada Peepee.
            Mobilnya masuk ke dalam sebuah parkiran sekolah SMA yang disekolahi oleh Grace. Ia memarkirkan mobilnya dengan rapi di antara banyaknya mobil yang berjejer di sana. Kemudian, ia membalikan tubuhnya ke belakang untuk mengambil iPad miliknya yang ia taruh di atas kursi belakang lalu memberikannya pada Jonathan. “Yeay!” seru Jonathan saat ia mengambil iPad itu dari tangan Aaron. Aaron menurunkan kaca jendela agar Jonathan dapat bernafas.
            “Ingat, jangan sentuh apa pun,” Aaron memperingati adiknya sambil ia keluar dari mobil tanpa melepaskan kunci mobilnya. Itu agar Jonathan tidak merasa kepanasan di dalam mobil. Siang ini Aaron memakai celana jins berwarna biru panjang dengan baju polo berwarna putih sebagai atasannya. Sungguh sial! Para gadis yang melihat Aaron keluar dari parkiran ke dalam halaman sekolah itu menatap Aaron dengan tatapan tak percaya. Ya Tuhan! Rambut dewa Yunani itu terkibas saat angin menerpa rambutnya. Demi Tuhan! Ia adalah lelaki tertampan yang pernah mereka temui. Bagaimana mungkin Grace tidak menyukai kakaknya sendiri yang tampannya luar biasa itu? Ditambah lagi dengan ototnya yang tercetak oleh pakaian Polo itu membuatnya lebih seksi lagi. Aaron sudah terbiasa dengan tatapan-tatapan itu, namun ia mencoba untuk mengabaikannya. Matanya melihat pada pintu keluar-masuk murid-murid. Berharap adiknya muncul dari sana. Dan jika adiknya keluar dengan Blake, hari ini juga ia akan memukul lelak itu. Ia bersandar pada jeruji besi di halaman depan sambil melipat kedua tangannya. Ia tidak memakai kacamata, sehingga sekarang tatapannya terhadap banyak murid ini membuat ia tampak seperti elang yang mencari mangsanya. Demi Tuhan lelaki ini adalah lelaki tertampan! Sekali lagi.
            Seorang gadis berambut pirang muncul dari pintu keluar-masuk murid dan melihat seorang lelaki tampan menunggu sahabatnya. Ya, dia adalah sahabat Grace. Dengan cepat ia berlari ke arah Aaron dengan bersemangat. Ia berjanji pada Grace untuk tidak menyukai Aaron, tapi bagaimana caranya? Aaron adalah lelaki tampan dan sebagai gadis yang normal, tentu saja ia menyukai Aaron.
            “Hey, Laura. Dimana Grace?” tanya Aaron bangkit dari sandarannya.
            “Oh? Ia masih di dalam. Katanya ia memiliki sesuatu yang harus ia urus. Kau ingin aku memanggilnya agar cepat keluar?” tanya Laura, bersedia masuk kembali ke dalam sekolah lagi.
            “Tidak. Antarkan aku masuk ke dalam, aku ingin melihat apa yang ia lakukan di dalam sana,” Aaron menggelengkan kepalanya, ia berharap di dalam sana bertemu dengan Blake lalu meninjunya. Laura menganggk, bersemangat. Jika ia diizinkan untuk memegang tangan Aaron, dari tadi mungkin ia telah memegang tangan Aaron. Laura membalikan tubuhnya lalu melangkah pergi untuk masuk kembali ke dalam sekolah, diikuti oleh Aaron dari belakang. Inilah alasan mengapa Aaron memberikan iPad-nya pada Jonathan. Karena mungkin ia akan lebih lama di sekolah Grace dibanding kemarin-kemarin. Ia memiliki tujuan lain untuk datang ke sekolah Grace selain menjemput Grace. Yeah, meninju Blake. Mereka melewati anak tangga, entah Laura membawa Aaron kemana. Yang jelas ia percaya Laura akan membawanya pada Grace. Setelah mereka sampai di lantai yang ketiga dari sekolah itu, Aaron dan Laura mulai menelusuri lorong yang telah kosong itu. Namun pendengaran Aaron yang tajam mendengar suara tangisan wanita dari jarak jauh. Langsung saja Aaron mengenali suara tangisan wanita itu. Kakinya yang seperti harimau itu berlari mengikuti suara tangisan itu, membuat Laura terkejut karena Aaron langsung menyusulnya. Larian Aaron terhenti saat ia telah berada di ujung lorong lalu matanya melihat pada lorong sebelah kanan yang lain.
            “Sudah kubilang untuk tidak memberitahu siapa pun kau bodoh!” bentak seorang lelaki membuat jantung Aaron berhenti. Kau bodoh. Sialan! Berani-beraninya lelaki sialan ini menghina adiknya.
            Adik perempuan pertamanya sedang dihimpit oleh seorang lelaki yang paling ia benci sekarang. Ia mendengus, hidungnya menghasilkan sebuah kernyitan di sana, sungguh ia benar-benar kesal. Melihat adiknya menangis, ia melangkah cepat ke arah mereka lalu ia menarik kerah lelaki sialan itu hingga lelaki ini terbanting ke atas lantai. Wajah si pengecut ini langsung pucat saat ia melihat Aaron, kakak dari kekasihnya muncul. Tak ambil pusing, Aaron meraih kerah kemeja yang lelaki ini pakai ke atas lalu meninju wajah tampannya terus menerus.
            “Kau. Yang. Menyakiti. Adikku! Kau berengsek!” Aaron terus memukul wajah lelaki itu hingga darah keluar dari mulut lelaki ini. Grace menutup mulutnya tak percaya.
            “Aaron! Berhenti!”
            “Aku tidak ..sial!” Aaron menggeser tubuhnya yang menindih lelaki ini lalu menginjak bagian tengah celana Blake dengan keras. Sontak Blake mengerang kencang. “Mati kau sialan!” teriak Aaron menundukan tubuhnya lalu membuka retsleting celana Blake dengan cepat dan menarik celana jinsnya lepas dari tubuh Blake. Ia melihat boxer berwarna biru muda masih terpasang. Tak tanggung-tanggung Aaron menendang-tendang bokong Blake sekaligus penis Blake, bahkan testisnya.
            “Aku. Telah. Bersumpah. Untuk. Menyatukan ..fuck you! Menyatukan testismu!” bentak Aaron kali ini menendang penis  Blake untuk yang terakhir kalinya, namun kencang. Blake langsung meringkuk bagaikan anak bayi dan menangis. “Kuharap kau cepat mati,”
            “Aaron!” Grace benar-benar menangis dan tangannya menyentuh lengan Aaron yang telah menegang. “Kau menyakitinya. Tidak,” –Grace menggelengkan kepalanya—“Tidak, bukan seperti ini caranya. Ia tidak menyakitiku, ya Tuhan, Aaron,” Grace mendesah dan isak tangisnya semakin membesar. Laura muncul saat Aaron menendang bokong Blake untuk yang terakhir kalinya.
            “Apa yang terjadi di sini?” seorang wanita tua dengan pakaian formalnya muncul. Ia adalah kepala sekolah. Matanya melebar saat ia melihat muridnya tersungkur dengan tangisan sambil tangannya menyentuh bagian terlarangnya dengan hanya boxer yang menutupinya.
            “Ms.Bieber, kurasa kita memiliki masalah di sini,”
            “Aku benar-benar kesal denganmu Aaron, entah sampai kapan. Tapi aku benar-benar kecewa dengan apa yang kauperbuat,” Grace membisik sambil mengelap air matanya dengan jari telunjuknya. “Ya, Mrs.Dorothy,” Grace melangkah pergi dari hadapan Aaron dan Blake, begitu pun pada Laura.
            “Sial,” dengus Aaron.
            “Arrh!” Blake mengerang.
            “Diam kau sialan! Karena kau adikku membenciku, kau memang pembawa sial!” Aaron menendang kembali bokong Blake hingga Blake kembali mengerang.

***

            “Itu tidak seburuk yang kaukira!” Aaron berteriak pada Grace yang melangkah naik ke atas, melewati anak tangga dengan derai air mata di pipinya. Aaron telah mempermalukannya di sekolah hari ini! Tentu saja Grace kesal pada Aaron. Si kembar yang sedang bermain-main di ruang keluarga bersama-sama itu langsung berhenti melakukan permainan mereka. Jonathan baru saja ingin bergabung dengan si kembar, tapi karena teriakan dari Aaron, ia tidak jadi bermain dengan si kembar. Terlalu takut untuk tertawa-tawa pada saat kakaknya sedang bertengkar.
            “Kau tidak pernah mengerti perasaanku. Dan aku membencimu!” teriak Grace dari lantai dua lalu membanting pintu kamarnya. Aaron berdiri di depan anak tangga pertama bawah sambil melihat ke atas lalu ia meremas rambutnya. Ketiga adiknya yang terduduk di atas karpet ruang keluarga menatap Aaron dengan wajah polos mereka. Ditambah lagi dengan Mozzes yang air liurnya menetes-netes.
            “Ada apa, Aaron?” suara lembut dari Alexis muncul dari dapur ke ruang keluarga. Begitu juga dengan Justin yang muncul dari belakang Alexis. “Mengapa kau meneriaki adikmu?” kedua alis Alex menyatu.
            “Kau telah mematahkan penisnya huh?” tanya Justin melangkah melewati Alexis dan menatap Aaron dengan tatapan serius. Ia melangkah begitu lambat, kedua tangannya berada di pinggangnya. Sungguh, bahkan diumurnya yang tengah baya itu Justin masih terlihat muda dan tampan. “Akui saja,” tuntut Justin dengan nada suara yang serius.
            “Ya, aku membuatnya menangis,”
            “Kau membuatnya menangis, eh?” tanya Justin melangkah satu kali lagi, ia mendecak pinggang pada anak pertamanya dengan pakaiannya yang bisa dibilang santai itu. Ia hanya memakai celana selutut berwarna hitam ditambah dengan kaos atasannya yang berwarna putih.
            “Mhmm, Grace bilang –“ suara Aaron terhenti saat Justin maju padanya lalu memeluknya.
            “Kau memang benar-benar anakku, Aaron! Aku bangga padamu!” ujar Jutsin memeluk Aaron dan menepuk-tepuk punggung Aaron. Aaron hanya terdiam, ia tidak tahu apa ia harus tertawa atau ia harus bersedih. Ataukah ia harus bangga dengan perbuatannya? Alex yang di belakang mereka hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
            “Mommy, apa itu penis?” Monica bertanya.
            “Ya, mommy. Apa itu penis?” tanya Mozess. Justin melepaskan pelukannya dari Aaron lalu membalikan tubuhnya, melihat pada Alex dengan bibir yang nyengir tanpa ada rasa bersalah. Alex mengangkat kedua tangannya, tak percaya Justin baru saja mengatakan penis di depan anak-anak mereka yang masih kecil, ia menyerah. Alex tidak ingin menjelaskan apa itu penis pada anak-anaknya. “Daddy? Apa itu penis?” tanya Mozess dengan suara yang besar.
            “Kau yang tangani. Aku tidak menyerah,” ujar Alex mengangkat kedua tangannya sambil berjalan melewati Justin dan menarik tangan Aaron untuk naik ke atas lantai dua. “Sial!” erang Justin memukul udara dengan kesal.
            “Kau ingin tahu apa itu penis? Baiklah, biar daddy jelaskan,” ujar Justin berjalan lambat ke arah tiga anaknya yang duduk berbaris begitu rapi. Sementara Justin menjelaskan apa itu penis pada anak-anak mereka, Aaron dan Alexis melangkah melewati anak-anak tangga untuk naik ke atas. Mereka melewati lorong lalu berhenti di depan pintu kamar Grace. Terdengar dari dalam sana tangisan Grace yang memecah. Isak tangisannya bahkan membuat hati Aaron yang keras, meleleh begitu saja. “Grace, kita bisa membicarakannya pelan-pelan,” bujuk Alex dengan suara yang lembut.
            “Aku tidak ingin berbicara dengan siapa pun sekarang!” teriak Grace, menangis.
            “Grace, mommy mohon sayang,” kali ini suara Alex lebih lembut.
            “Aku tahu Aaron ada di sebelahmu dan aku tidak ingin bertemu dengannya! Aku membencinya! Aku kecewa dengannya, mommy!” teriak Grace yang membuat hati Aaron terasa diremas begitu saja.
            “Dia membenciku mommy!” seru Aaron berbisik.
            “Tidak, dia hanya kesal padamu,” Alex bersuara pelan, berusaha untuk menenangkan perasaan Aaron yang gelisah. “Grace, sayang, kita bisa membicarakannya. Kau bisa menceritakannya padaku,”

            “Dia telah mempermalukanku! Dia telah membuat Blake masuk rumah sakit dan aku yakin ia sudah cacat sekarang! Aku membencinya dia, mom! Demi Tuhan!” Grace benar-benar membencinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar