Kamis, 15 Agustus 2013

Kidnapped Bab 5

***

            Aku tidak memakai gaun yang Justin sarankan. Baiklah, aku memakai gaun dengan panjang rok selutut. Berwarna jingga, berbeda dari yang lain. Sekarang aku merasa bodoh di belakang panggung. Sudah jelas-jelas tidak akan ada yang ingin melelangku karena penampilan cacatku. Sementara yang lain sedang memakai gaun berwarna hitam panjang dengan motif yang berbeda. Oh, ya ampun, gayanya sungguh berlebihan. Mata-mata yang lain menatapku dengan tatapan “Ewh!”. Aku menghela nafas. Kemudian kami semua mendengar suara panggilan dari Mrs. Louff untuk naik ke atas panggung. Aku berada di urutan nomor 8. Saat para kandidat maju, semuanya bertepuk tangan. Aula tampaknya dipenuhi oleh mahavampira. Vampire-vampire yang duduk hingga barisan kursi ke 5 adalah para pelelang. Kulihat Justin terduduk di barisan kursi ke 5 dengan ..oh Tuhan, dia sangat tampan. Dan aku juga melihat Theo yang berada di ujung yang lain. Aku tersentak. Kedua kakak-beradik itu akan melelang salah satu wanita di sini? Baiklah, kita lihat saja uang siapa yang keluar lebih banyak.
            Mrs.Louff mulai memanggil Issa untuk maju ke depan. Ia memberitahu kelebihan Issa.
            “Mari kita mulai dengan penawaran 50 dollar,”
            “60!” Aku berdiri di sini seperti orang bodoh. Dengan pakaian jinggaku. Pasti Justin merasa kecewa dengan pakaian yang kupakai. Tapi masa bodoh! Aku hanya harus kencan dengannya maka semuanya akan selesai.
            “60 dollar satu kali,” Mrs.Louff menunggu penawar yang lain.
            “60 dollar dua kali,” tapi tidak ada yang menawar Issa lebih dari 60 dollar.
            “Baikah, 60 dollar terjual untuk Mr. Hammer!” seru Mrs.Louff girang. Aku terdiam, berusaha untuk mengabaikan apa yang sedang terjadi. Mengapa aku berpikir seperti itu? Itu dikarenakan aku memakai pakaian yang salah. Aku memakai pakaian berwarna jingga yang memalukan. Serta potongan yang cukup pendek. Memakai bandana yang senada dengan warna gaunku. Sepatu tinggi berwarna putih. Apa yang kurang? Siraman darah untukku!
            “Sekarang, kita beralih ke nomor 8. Chantal Fourie, silahkan maju ke depan,” Mrs.Louff menyambutku dengan ramah. Dengan segenap kekuatanku untuk menahan malu, aku maju. Aku berusaha untuk tetap menegakkan kepalaku ke depan. Mrs.Louff tercengang untuk beberapa detik setelah ia menatapku lalu ia memulai memberitahu kelebihan-kelebihanku. Setelah ia mengucapkan kelebihan menyedihkanku, ia mulai menawarkan harga 50 dollar.
            “100 dollar!” kudengar suara Theo.
            “110 dollar!” suara Justin.
            “Oh wow,” Mrs.Louff tercengang. Apa mereka gila? Vampire-vampire di aula juga ikut terkesiap dengan tawaran kakak-beradik itu.
            “120!”
            “130!”
            “150!” Theo memang gila! Dia menawarkan 150 dollar untuk gadis sepertiku? Yang memakai pakaian seperti ini? Dia mungkin telah kehilangan akalnya. Tanganku mungkin sekarang telah berkeringat karena aku merasakan lembap di sana.
            “500 dollar!” teriak Justin yang membuatku mundur ke belakang. Terkejut dengan penawarannya. Maksudku, dia hanya sevampire mahavampira di kampus ini. Untuk apa ia menghabiskan 500 dollar hanya untuk gadis sepertiku?
            “500 dollar satu kali!” seru Mrs.Louff.
            “500 dollar dua kali!” Tapi tidak ada yang menawarkan lebih dari 500 dollar. Mungkin mereka berpikir, masih ada kencan yang lebih baik dibanding kencan bodoh dari pelelangan ini.
            “Terjual 500 dollar untuk Mr.Bieber!” seru Mrs.Louff yang membuat orang-orang bertepuk tangan.
            Kuatkan dirimu!

            Justin membawaku keluar dari kampus. Dan itu adalah tindakan yang tidak baik. Saat kami sedang berada di luar kampus, tiba-tiba saja mobil berhenti di depan kami. Sevampire lelaki muncul dari dalam mobil dengan pakaian yang dapat kuketahui dari pakaiannya, ia adalah sevampire sopir. Justin mengambil kunci dari vampire itu lalu menarikku untuk masuk ke dalam mobil. Ia membuka pintunya untukku namun aku tidak masuk ke dalam.
            “Aku tidak akan masuk sebelum kau memberitahu aku kemana kita akan pergi,”
            “Ke tempat yang tidak pernah kaudatangi sebelumnya,” gumam Justin mendorongku paksa ke dalam mobilnya. Aku mendengus, semoga tidak sampai pagi nanti.

***

            Aku tidak percaya Justin membawaku ke sebuah hotel yang ia janjikan kemarin padaku. Ia membawaku ke dunia manusia. Malam hari. Lampu kerlap-kerlip membuatku silau. Ini adalah pertama kalinya aku masuk ke kota Atlanta. Pantas saat perjalanan menuju Atlanta, ia memintaku untuk memakai lensa kontak mata yang ia belikan untukku –atau mungkin dia memang punya. Ia menarik tanganku ke dalam lift. Di dalam lift kami saling diam. Nafas kami bersahut-sahutan. Keheningan melingkupi kami namun aku merasa ada sebuah magnet yang membuatku ingin memeluk Justin. Tangan Justin memegang tanganku dengan erat, ia meremasnya lembut. Ada sebuah getaran dalam maksud yang tak dapat kumengerti menjalar ke sekitar tubuhku. Dalam hitungan detik aku tersadar, Justin langsung menarik leherku serta pinggangku agar tubuhku kami saling berdekatan.
            “Ini adalah hal yang wajar bagi para manusia idiot itu,” gumam Justin kemudian memagutkan bibirnya pada bibirku. Ia menjilat garis mulutku sehingga sekarang lidahnya dapat masuk ke dalam mulutku. Tangannya yang memegang leherku sekarang telah meremas rambutku hingga aku mendesah pelan dalam mulutnya. Lidah kami saling bertaut. Di tambah lagi dengan remasan tangannya terhadap bokongku membuatku memajukan tubuhku ke arahnya. Ia menggeram keras.
            Tanpa meminta persetujuan dariku, tiba-tiba saja ia menggendongku. Melingkarkan kakiku di sekitar pinggangnya yang membuatku lupa diri bahwa aku sedang berciuman dengan siapa. Tapi, apa peduliku! Aku suka berciuman dengannya. Dentingan lift terdengar, tanda kami telah sampai di lantai kami. Tapi ia tidak menurunkanku, ia masih memanjakanku dengan mulutnya. Bibir kami berpisah namun bibirnya sekarang sedang mengecup-kecup leherku. Itu membuatku menggigit pundaknya dan mendesah. Bagaimana mungkin ia dapat memberikan kenikmatan seperti ini padaku? Aku tidak peduli jika ada manusia yang memerhatikan kami. Permanusia!
            Ia menggesekan kartu kunci masuk ke dalam kamar. Lalu ia membawaku masuk ke dalam kamar dengan bibir yang masih mengecup leherku. Aku mendesah. Ia mengunci pintu kamarnya lalu dengan cepat ia melemparku dengan kasar ke atas tempat tidur. Ia membuka kemeja hitam yang ia pakai lalu ia menggumam.
            “Aku sebenarnya tidak boleh melakukan ini. Tapi Theo, dia sudah kehilangan akal telah menyukaimu. Ia tidak seharusnya menyukaimu,”
            “Mengapa?” aku bertanya, bingung.
            “Karena ada sesuatu hal yang harus kita lakukan,” seru Justin telah membuka kemeja lalu ia menindihku. “Kau adalah vampire yang cantik, Chantal,” gumam Justin mulai meremas dadaku dengan lembut. Aku memejamkan mataku, berusaha untuk melupakan maksud yang ia katakan tadi.
            “Kau telah berada di tanganku, Chantal.” Bisiknya, terdengar mengancam. Permanusia!
***

            Aku menarik selimut putih tebal untuk menutupi tubuhku yang kedinginan. Sebelumnya, aku jarang sekali terlelap. Tapi kali ini, aku sungguh lelah telah melakukan hal yang seharusnya tidak kulakukan sebelum aku menikah. Meski sebenarnya, vampire tidak pandang bulu untuk meniduri siapa saja. Aku baru tahu, Justin memiliki tattoo di dadanya. Aku mengelus pundakku yang Justin gigit dengan gigi taringnya setelah ia mendapatkan pelepasannya. Bagaimana jika Ibu tahu kalau aku hamil? Mengandung anak vampire tidak butuh waktu yang lama. Hormon vampire berkembang lebih cepat dibanding manusia. Aku khawatir, jika aku benar-benar hamil. Apa yang akan kukatakan pada Ibuku? Penyesalan memang datang pada akhirnya.
            Tubuhku yang tadinya berkeringat sekarang telah merasa kedinginan. Justin berada di sebelahku, telah terlelap dengan rambut yang lembap. Tubuhku dan tubuhnya polos di balik selimut putih tebal ini. Salah satu kakinya menindih kedua kakiku. Selimut ini bahkan tidak dapat membuatku merasa hangat. Bayang-bayang akan adanya janin di dalam perutku masih menghantuiku, tapi mataku tak bersahabat. Ia ingin tertutup sekarang.
            “Tidurlah,” bisik Justin di belakangku. Lalu ia tangannya yang besar itu merangkul tubuhku. Bahkan tangannya sekarang menangkup buah dada sebelah kiriku. Aku memunggunginya. Bagaimana Justin tahu aku belum tidur? Setahuku, Justin dapat membaca pikiran orang lain. Atau hanya orang-orang tertentu? Aku tidak tahu. Kudengar di belakang sana suara senyum Justin.
            “Apa yang kaupikirkan?” Justin bertanya. Oh, berarti dia tidak dapat membaca pikiranku.
            “Ibuku. Oh, seks membuat orang-orang menjadi gila,”
            “Kau menyesal? Tapi kau tadi menikmatinya,” protes Justin dengan suara yang lembut. Aku tidak dapat memungkiri kalau aku tidak menikmatinya, aku sungguh menikmatinya. Tapi, aku hanya takut.
            “Ya,” aku mengakuinya. Ia menarikku semakin dalam ke dalam pelukannya. Kurasakan tubuhnya yang masih terasa basah akibat keringat yang hangat. Sekarang aku merasa lebih baik daripada biasanya. Ternyata, Justin mempunyai sisi kelembutannya. Kuharap ia akan melakukan ini terus menerus padaku, tapi aku juga berharap agar dia tidak begitu berpikiran mesum saat bersama denganku.
            “Kapan-kapan kita melakukan ini lagi.” gumam Justin sepertinya benar-benar mengaminkan apa yang ia katakan. Tapi ia tidak dapat memaksaku jika aku tidak mau. Atau dia bisa?

***

            Ibuku bilang, jangan pernah biarkan orang lain mengambil sukacitamu. Aku hanya mengangguk dengan nasihatnya. Entah sekarang nasihat itu masih berguna untukku atau tidak. Karena aku merasa hidupku redup. Cahayanya mulai berkurang setelah kejadian kemarin malam. Bahkan siang ini aku tidak berlari-lari dengan Fluppy di hutan. Fluppy berlari-lari di depanku, berusaha untuk mengajakku bermain dengannya tapi aku tidak berada dalam suasana untuk melakukan itu. Bayang-bayang raut wajah Justin saat ia mengatakan bahwa aku telah berada dalam tangannya sungguh meyakinkanku, aku memang telah berada dalam genggaman tangannya.
            Batu yang kududuki sekarang tidak terasa lembap seperti kemarin. Batunya kali ini lebih kering. Sekering hatiku yang belum disirami cinta. Oke, aku memang berlebihan. Mungkin aku jatuh cinta kemarin. Tapi bagaimana bisa? Itu tidak mungkin. Aku tidak jatuh cinta, aku hanya lupa diri. Sekarang aku percaya dengan perkataan Ibuku tentang orang yang kaucintai adalah orang yang paling bisa menyakitimu. Karena apa yang mereka lakukan akan sangat berarti bagimu. Aku tidak jatuh cinta, aku hanya lupa diri. Oke, hanya lupa diri. Di rumah aku baru saja menonton film manusia, menceritakan tentang kehidupan seorang gadis yang penuh dengan kebohongan. Dia penuh dengan kebohongan namun menyenangkan. Sedangkan aku? Menyedihkan. Aku tidak memiliki teman yang banyak. Julianna sudah tidak ingin berbicara denganku saat aku melewati kedainya. Aku tahu ia sedang membersihkan kaca bagian dalam kedainya karena aku melihatnya, namun ia tidak menghampiriku. Aku tidak tahu apa masalahnya denganku, aku juga tidak ingin berbicara dengannya untuk sementara ini. Kejadian tadi malam membuatku merasa bersalah terhadap diriku sendiri. Aku merasa tidak menghargai diriku sendiri.
            Kurasakan air hangat yang keluar melalui sudut mataku. Penyesalan ini tidak akan berakhir sebelum aku bertemu dengan obatnya. Louis tidak akan bisa membuatku senang karena aku pernah bilang sebelumnya, ia bukanlah vampire yang menyenangkan. Bahkan Fluppy, sahabat setiaku, tidak dapat membuatku senang sekarang. Pikiranku kembali lagi pada Justin. Aku memang menikmati kejadian tadi malam dan yang lebih kusukai saat melakukannya adalah aku dapat melihat wajah Justin lebih dekat dipenuhi dengan rasa puas. Matanya terpejam lalu ia mendengus. Dan aku merasa cairan yang masuk ke dalam tubuhku. Tangisanku memecah, aku mengapit kedua tanganku yang memeluk paha bagian dalam lalu menundukkan kepalaku, merasa sangat kotor.
            “Hei, tuan puteri,” kudengar suara berat dari sevampire lelaki –aku dapat mencium aromanya—menghampiriku. Kudongakkan kepalaku untuk melihat siapa yang datang dan itu adalah Theo. Awalnya aku melihat senyum di wajahnya namun tiba-tiba saja raut wajahnya berubah setelah melihatku. Apa? Oh, aku menangis. Keningnya mengerut. Salah satu tangannya tersembunyi di belakang tapi aku tidak peduli apa yang sedang ia sembunyikan. Aku hanya merasa ..tidak ada lagi yang penting di dunia ini setelah kejadian tadi malam. Aku bahkan belum meminum darah.
            “Siapa yang menyakitimu?” Ia menghampiriku lalu ia duduk di sebelahku, merangkulku dalam rangkulannya yang besar. Tangisanku tidak memecah, aku menahannya. Dan tentu, aku tidak ingin menceritakan apa yang terjadi padaku dengan Justin tadi malam. Seharusnya Theo tidak menyukaimu.
            “Kau bisa menceritakannya padaku,” Theo memaksaku. Tapi aku enggan untuk menceritakannya karena kenyataannya, aku tahu, aku hanya dipermainkan oleh Justin. Meski memang, Justin mengantarku sampai ke tengah-tengah hutan. Tempat terakhir kali Ibuku melihat Justin.
            “Baiklah, jika kau tidak ingin menceritakannya,” gumam Theo berusaha untuk acuh. “Tebak aku bawa apa untukmu?”
            “Kebahagiaan untukku?” Oke, sekarang aku terlihat seperti vampire yang tidak pernah merasa bahagia. Ini semua karenanya. Theo menarik daguku lalu kulihat kedua alisnya saling bertaut.
            “Hei, ada apa denganmu? Apa Justin menyakitimu tadi malam? Aku tidak menemui kalian berdua di kampus. Apa yang telah ia lakukan padamu?” Theo bertanya dengan kelembutan. Dan air mataku kembali menetes. Crap! Ia mengelus pipiku, mengapus air mata yang mengalir –hampir menetes ke dalam telingaku—lalu ia tersenyum manis. “Ceritakanlah,”
            Aku tidak dapat menahannya. “Aku bercinta dengan Justin tadi malam,” ujarku jujur. Raut wajahnya yang awalnya terlihat seperti seorang Ayah baru saja melihat anak pertamanya lahir tiba-tiba saja berubah karena dia baru saja melihat anak pertamanya cacat! Matanya melotot dengan panasnya neraka di dalamnya, aku tidak tahu kalau ia akan bereaksi seperti ini. Theo menyukaimu. Ia menggumamkan kata sumpah dan aku tidak begitu menyukainya.
            “Kau bercinta dengannya? Anak setan itu sudah gila! Apa dia menyakitimu?”
            “Sejauh ini,” aku menelan ludahku, “tidak,” lanjutku. Theo yang tangannya menyentuh pipiku sekarang lalu ia mendesah pelan. Ia kesal padaku. Kudengar suara jatuhan sesuatu, namun aku mengabaikannya.
            “Sejauh ini tidak. Berarti dia masih memiliki kesempatan untuk melakukannya!” seru Theo kesal. “Lalu, mengapa kau menangis?” Kepalanya yang awalnya menunduk, sekarang terangkat. Ia melirik padaku, memberikan pandangan iba. Tidak, aku hanya merasa bersalah pada diriku sendiri karena aku tidak berhasil melindunginya dari lelaki yang bahkan aku belum tahu apa dia memang menyukaiku atau tidak.
            “Aku tidak berhasil menjaga diriku,” gumamku. Kutundukkan kepalaku, merasa malu pada Theo karena mungkin sekarang ia berpikir aku adalah vampire murahan. Apa benar yang dikatakan Justin? Tentang aku adalah sevampire murahan? Kudengar suara gesekan celana yang Theo pakai dengan batu, ia merangkulku kembali.
            “Maafkan Justin, aku tidak bertemu dengannya sampai siang hari ini. Dia mungkin sedang merasakan hal yang sama telah menyakitimu. Bagaimana pun, Justin memiliki sisi rasa bersalahnya. Ia pasti akan meminta maaf,”
            “Aku tidak ingin menerima permintaan maafnya jika kau yang menyuruhnya untuk meminta maaf,” gumamku bersandar di dadanya lalu membuka mataku. “Apa yang kau bawa?” tanyaku mengalihkan topik pembicaraan.
            “Tidak ada, aku hanya membawa diri,” ujar Theo yang sekarang memunculkan tangannya yang lain tanpa membawa apa pun. “Aku pikir aku adalah kebahagiaanmu,” gumam Theo memelukku, akhirnya. Aku membutuhkan sesuatu atau sevampire yang dapat kupeluk. Dan ternyata Theo memiliki perawakan yang lebih besar dibanding Justin, aku baru menyadarinya.
            “Kau aneh! Kita baru bertemu selama beberapa hari!” seruku tertawa. Well, Theo adalah kebahagiaanku kurasa. Maksudku, untuk saat ini. Kudengar suara langkahan dari belakang kami. Aku menarik tubuhku untuk menjauh dari pelukannya lalu membalikkan kepalaku ke belakang. Ibuku sedang berjalan dari jarak jauh. Sial!
            “Theo, kurasa kau harus pulang sekarang!” ujarku merosot dari bebatuan yang kududuki. Theo menyusulku namun ia memberikan wajah heran. Apa? Ia bingung.
            “Mengapa?”
            “Ibuku! Pergilah sekarang! Aku takut aku dihukum karena bertemu dengan pangeran Kidrauhl! Cepat!” aku mendorong tubuhnya untuk pergi. Tapi ia menahannya, itu membuatku dan dirinya tertawa. “Oh, Theo. Kumohon!”
            “Asalkan kau menciumku, aku mau!” tawarnya. Ya ampun, kakak-beradik ini tidak ada bedanya. Sifatnya, mungkin. Tidak ingin mengambil resiko ketahuan Ibu, aku langsung mengecup pipinya dan ia menghilang dari hadapanku. Dia berlari seperti angin. Sialan. Bersamaan dengan menghilangnya dirinya dari hadapanku, Ibuku muncul dengan pakaiannya yang seperti biasanya. Yah, Ratu Fourie selalu memakai gaun jika tidak ingin pergi kencan dengan Phillips. Ya ampun, aku cukup gugup bertemu dengan Ibuku. Karena saat aku telah sampai di rumah tadi pagi, aku tidak menyapanya atau membalas sapaannya. Kubilang padanya hanyalah sepatah kata: Lelah. Berhubungan badan dengan Justin adalah hal yang sungguh melelahkan dalam hidupku.
            “Kau berbicara dengan siapa tadi sayang?”
            “Fluppy,” aku berbohong kembali. Sudah dua kali ..eh tidak, setiap waktu aku berbohong padanya. Kau tidak menyadarinya? Aku berbohong padanya kalau aku tidak berbicara dengan Justin ataupun Theo. Tapi kenyataannya, tadi malam aku baru saja berhubungan badan dengan Justin dan aku baru saja mengecup pipi Theo. Itu melewati batasan yang ia katakan! Sangat lebih.
            “Mengapa kau tampak pendiam pagi tadi? Kuliah membuatmu lelah?” Ibuku bertanya sambil menghampiriku. Tangannya yang kurus itu menyentuh rambut cokelat panjangku lalu mengelus-elusnya penuh kelembutan. Aku mengangkat kedua bahuku lalu berjalan meninggalkannya.
            “Ya,” balasku singkat. “Ibu ingin pergi kemana?” tanyaku.
            “Ingin mencaritahu apakah puteriku baik-baik saja di luar sana. Dan Ibu telah melihatmu di sini, baik-baik saja. Masih normal tapi tampak pucat,”
            Aku terkekeh. “Aku selalu pucat. Kita semua pucat, Ibu,” gumamku berjalan menuju bebatuan yang tadi kududuki. Tapi langkahanku terhenti saat aku melihat seikat sayuran berada di samping batu. Dan itu dibungkus oleh plastic. Apa tadi itu adalah sayur yang Theo bawa? Untuk apa? Aku tertawa dalam hati. Dia sangat romantis dengan caranya sendiri. Well, aku tidak ingin ia memberikanku bunga mawar. Aku pernah membaca sebuah cerita tentang vampire buatan manusia. Tentang lelakinya adalah sevampire vampire dan gadisnya adalah seorang manusia. Mereka saling jatuh cinta. Lelakinya ingin memberikan hadiah romantis untuk kekasihnya sebuah bunga mawar dengan duri. Saat gadis itu menerimanya, duri mawar itu menusuk salah satu jarinya dan mengeluarkan darah. Lelaki vampire itu tidak dapat menahan kuasa untuk tidak mengisap darah yang dikeluarkan jari itu. Maka lelaki itu mengisap jarinya hingga gadis itu pingsan karena kehabisan darah.
            Itu konyol.
            “..pergi ke dalam,” sisa-sisa kata itulah yang terdengar di telingaku lalu Ibuku menghilang dari belakang tubuhku. Ia ingin pergi ke kastil lagi. Kuhampiri sayur selada yang masih segar itu lalu mengambilnya. Aku tersenyum. Ini memang seperti kebahagiaan aneh bagiku. Kebahagiaan yang langka. Tidak ada seorangpun yang pernah memberikanku sayur selada segar dan dihias seperti bunga mawar indah. Bahkan sayur ini lebih baik dibanding bunga mawar. Tidak ada duri. Segar. Dan tidak palsu. Sehat jika dimakan oleh manusia. Aku juga bisa memakannya jika aku mau. Kuhirup sayur segarnya dalam-dalam. Lalu tersenyum kembali. Setidaknya, Theo telah membuatku tidak sesedih tadi.

            Pertanyaannya, siapa yang menyakiti hatiku? Diriku sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar