***
Aku
tidak memakai gaun yang Justin sarankan. Baiklah, aku memakai gaun dengan
panjang rok selutut. Berwarna jingga, berbeda dari yang lain. Sekarang aku
merasa bodoh di belakang panggung. Sudah jelas-jelas tidak akan ada yang ingin
melelangku karena penampilan cacatku. Sementara yang lain sedang memakai gaun
berwarna hitam panjang dengan motif yang berbeda. Oh, ya ampun, gayanya sungguh
berlebihan. Mata-mata yang lain menatapku dengan tatapan “Ewh!”. Aku menghela
nafas. Kemudian kami semua mendengar suara panggilan dari Mrs. Louff untuk naik
ke atas panggung. Aku berada di urutan nomor 8. Saat para kandidat maju,
semuanya bertepuk tangan. Aula tampaknya dipenuhi oleh mahavampira. Vampire-vampire
yang duduk hingga barisan kursi ke 5 adalah para pelelang. Kulihat Justin
terduduk di barisan kursi ke 5 dengan ..oh Tuhan, dia sangat tampan. Dan aku
juga melihat Theo yang berada di ujung yang lain. Aku tersentak. Kedua
kakak-beradik itu akan melelang salah satu wanita di sini? Baiklah, kita lihat
saja uang siapa yang keluar lebih banyak.
Mrs.Louff
mulai memanggil Issa untuk maju ke depan. Ia memberitahu kelebihan Issa.
“Mari
kita mulai dengan penawaran 50 dollar,”
“60!”
Aku berdiri di sini seperti orang bodoh. Dengan pakaian jinggaku. Pasti Justin
merasa kecewa dengan pakaian yang kupakai. Tapi masa bodoh! Aku hanya harus
kencan dengannya maka semuanya akan selesai.
“60
dollar satu kali,” Mrs.Louff menunggu penawar yang lain.
“60
dollar dua kali,” tapi tidak ada yang menawar Issa lebih dari 60 dollar.
“Baikah,
60 dollar terjual untuk Mr. Hammer!” seru Mrs.Louff girang. Aku terdiam,
berusaha untuk mengabaikan apa yang sedang terjadi. Mengapa aku berpikir
seperti itu? Itu dikarenakan aku memakai pakaian yang salah. Aku memakai
pakaian berwarna jingga yang memalukan. Serta potongan yang cukup pendek.
Memakai bandana yang senada dengan warna gaunku. Sepatu tinggi berwarna putih.
Apa yang kurang? Siraman darah untukku!
“Sekarang,
kita beralih ke nomor 8. Chantal Fourie, silahkan maju ke depan,” Mrs.Louff
menyambutku dengan ramah. Dengan segenap kekuatanku untuk menahan malu, aku
maju. Aku berusaha untuk tetap menegakkan kepalaku ke depan. Mrs.Louff
tercengang untuk beberapa detik setelah ia menatapku lalu ia memulai
memberitahu kelebihan-kelebihanku. Setelah ia mengucapkan kelebihan
menyedihkanku, ia mulai menawarkan harga 50 dollar.
“100
dollar!” kudengar suara Theo.
“110
dollar!” suara Justin.
“Oh
wow,” Mrs.Louff tercengang. Apa mereka gila? Vampire-vampire di aula juga ikut
terkesiap dengan tawaran kakak-beradik itu.
“120!”
“130!”
“150!”
Theo memang gila! Dia menawarkan 150 dollar untuk gadis sepertiku? Yang memakai
pakaian seperti ini? Dia mungkin telah kehilangan akalnya. Tanganku mungkin
sekarang telah berkeringat karena aku merasakan lembap di sana.
“500
dollar!” teriak Justin yang membuatku mundur ke belakang. Terkejut dengan
penawarannya. Maksudku, dia hanya sevampire mahavampira di kampus ini. Untuk
apa ia menghabiskan 500 dollar hanya untuk gadis sepertiku?
“500
dollar satu kali!” seru Mrs.Louff.
“500
dollar dua kali!” Tapi tidak ada yang menawarkan lebih dari 500 dollar. Mungkin
mereka berpikir, masih ada kencan yang lebih baik dibanding kencan bodoh dari
pelelangan ini.
“Terjual
500 dollar untuk Mr.Bieber!” seru Mrs.Louff yang membuat orang-orang bertepuk
tangan.
Kuatkan
dirimu!
Justin
membawaku keluar dari kampus. Dan itu adalah tindakan yang tidak baik. Saat
kami sedang berada di luar kampus, tiba-tiba saja mobil berhenti di depan kami.
Sevampire lelaki muncul dari dalam mobil dengan pakaian yang dapat kuketahui
dari pakaiannya, ia adalah sevampire sopir. Justin mengambil kunci dari vampire
itu lalu menarikku untuk masuk ke dalam mobil. Ia membuka pintunya untukku
namun aku tidak masuk ke dalam.
“Aku
tidak akan masuk sebelum kau memberitahu aku kemana kita akan pergi,”
“Ke
tempat yang tidak pernah kaudatangi sebelumnya,” gumam Justin mendorongku paksa
ke dalam mobilnya. Aku mendengus, semoga tidak sampai pagi nanti.
***
Aku
tidak percaya Justin membawaku ke sebuah hotel yang ia janjikan kemarin padaku.
Ia membawaku ke dunia manusia. Malam hari. Lampu kerlap-kerlip membuatku silau.
Ini adalah pertama kalinya aku masuk ke kota Atlanta. Pantas saat perjalanan
menuju Atlanta, ia memintaku untuk memakai lensa kontak mata yang ia belikan
untukku –atau mungkin dia memang punya. Ia menarik tanganku ke dalam lift. Di
dalam lift kami saling diam. Nafas kami bersahut-sahutan. Keheningan melingkupi
kami namun aku merasa ada sebuah magnet yang membuatku ingin memeluk Justin.
Tangan Justin memegang tanganku dengan erat, ia meremasnya lembut. Ada sebuah
getaran dalam maksud yang tak dapat kumengerti menjalar ke sekitar tubuhku.
Dalam hitungan detik aku tersadar, Justin langsung menarik leherku serta
pinggangku agar tubuhku kami saling berdekatan.
“Ini
adalah hal yang wajar bagi para manusia idiot itu,” gumam Justin kemudian
memagutkan bibirnya pada bibirku. Ia menjilat garis mulutku sehingga sekarang
lidahnya dapat masuk ke dalam mulutku. Tangannya yang memegang leherku sekarang
telah meremas rambutku hingga aku mendesah pelan dalam mulutnya. Lidah kami
saling bertaut. Di tambah lagi dengan remasan tangannya terhadap bokongku
membuatku memajukan tubuhku ke arahnya. Ia menggeram keras.
Tanpa
meminta persetujuan dariku, tiba-tiba saja ia menggendongku. Melingkarkan
kakiku di sekitar pinggangnya yang membuatku lupa diri bahwa aku sedang
berciuman dengan siapa. Tapi, apa peduliku! Aku suka berciuman dengannya.
Dentingan lift terdengar, tanda kami telah sampai di lantai kami. Tapi ia tidak
menurunkanku, ia masih memanjakanku dengan mulutnya. Bibir kami berpisah namun
bibirnya sekarang sedang mengecup-kecup leherku. Itu membuatku menggigit
pundaknya dan mendesah. Bagaimana mungkin ia dapat memberikan kenikmatan
seperti ini padaku? Aku tidak peduli jika ada manusia yang memerhatikan kami.
Permanusia!
Ia
menggesekan kartu kunci masuk ke dalam kamar. Lalu ia membawaku masuk ke dalam
kamar dengan bibir yang masih mengecup leherku. Aku mendesah. Ia mengunci pintu
kamarnya lalu dengan cepat ia melemparku dengan kasar ke atas tempat tidur. Ia
membuka kemeja hitam yang ia pakai lalu ia menggumam.
“Aku
sebenarnya tidak boleh melakukan ini. Tapi Theo, dia sudah kehilangan akal
telah menyukaimu. Ia tidak seharusnya menyukaimu,”
“Mengapa?”
aku bertanya, bingung.
“Karena
ada sesuatu hal yang harus kita lakukan,” seru Justin telah membuka kemeja lalu
ia menindihku. “Kau adalah vampire yang cantik, Chantal,” gumam Justin mulai
meremas dadaku dengan lembut. Aku memejamkan mataku, berusaha untuk melupakan
maksud yang ia katakan tadi.
“Kau
telah berada di tanganku, Chantal.” Bisiknya, terdengar mengancam. Permanusia!
***
Aku
menarik selimut putih tebal untuk menutupi tubuhku yang kedinginan. Sebelumnya,
aku jarang sekali terlelap. Tapi kali ini, aku sungguh lelah telah melakukan
hal yang seharusnya tidak kulakukan sebelum aku menikah. Meski sebenarnya,
vampire tidak pandang bulu untuk meniduri siapa saja. Aku baru tahu, Justin
memiliki tattoo di dadanya. Aku mengelus pundakku yang Justin gigit dengan gigi
taringnya setelah ia mendapatkan pelepasannya. Bagaimana jika Ibu tahu kalau
aku hamil? Mengandung anak vampire tidak butuh waktu yang lama. Hormon vampire
berkembang lebih cepat dibanding manusia. Aku khawatir, jika aku benar-benar
hamil. Apa yang akan kukatakan pada Ibuku? Penyesalan memang datang pada
akhirnya.
Tubuhku
yang tadinya berkeringat sekarang telah merasa kedinginan. Justin berada di
sebelahku, telah terlelap dengan rambut yang lembap. Tubuhku dan tubuhnya polos
di balik selimut putih tebal ini. Salah satu kakinya menindih kedua kakiku.
Selimut ini bahkan tidak dapat membuatku merasa hangat. Bayang-bayang akan
adanya janin di dalam perutku masih menghantuiku, tapi mataku tak bersahabat.
Ia ingin tertutup sekarang.
“Tidurlah,”
bisik Justin di belakangku. Lalu ia tangannya yang besar itu merangkul tubuhku.
Bahkan tangannya sekarang menangkup buah dada sebelah kiriku. Aku
memunggunginya. Bagaimana Justin tahu aku belum tidur? Setahuku, Justin dapat
membaca pikiran orang lain. Atau hanya orang-orang tertentu? Aku tidak tahu.
Kudengar di belakang sana suara senyum Justin.
“Apa
yang kaupikirkan?” Justin bertanya. Oh, berarti dia tidak dapat membaca
pikiranku.
“Ibuku.
Oh, seks membuat orang-orang menjadi gila,”
“Kau
menyesal? Tapi kau tadi menikmatinya,” protes Justin dengan suara yang lembut.
Aku tidak dapat memungkiri kalau aku tidak menikmatinya, aku sungguh
menikmatinya. Tapi, aku hanya takut.
“Ya,”
aku mengakuinya. Ia menarikku semakin dalam ke dalam pelukannya. Kurasakan
tubuhnya yang masih terasa basah akibat keringat yang hangat. Sekarang aku
merasa lebih baik daripada biasanya. Ternyata, Justin mempunyai sisi
kelembutannya. Kuharap ia akan melakukan ini terus menerus padaku, tapi aku juga
berharap agar dia tidak begitu berpikiran mesum saat bersama denganku.
“Kapan-kapan
kita melakukan ini lagi.” gumam Justin sepertinya benar-benar mengaminkan apa
yang ia katakan. Tapi ia tidak dapat memaksaku jika aku tidak mau. Atau dia
bisa?
***
Ibuku
bilang, jangan pernah biarkan orang lain mengambil sukacitamu. Aku hanya
mengangguk dengan nasihatnya. Entah sekarang nasihat itu masih berguna untukku
atau tidak. Karena aku merasa hidupku redup. Cahayanya mulai berkurang
setelah kejadian kemarin malam. Bahkan siang ini aku tidak berlari-lari dengan
Fluppy di hutan. Fluppy berlari-lari di depanku, berusaha untuk mengajakku
bermain dengannya tapi aku tidak berada dalam suasana untuk melakukan itu.
Bayang-bayang raut wajah Justin saat ia mengatakan bahwa aku telah berada dalam
tangannya sungguh meyakinkanku, aku memang telah berada dalam genggaman
tangannya.
Batu
yang kududuki sekarang tidak terasa lembap seperti kemarin. Batunya kali ini
lebih kering. Sekering hatiku yang belum disirami cinta. Oke, aku memang
berlebihan. Mungkin aku jatuh cinta kemarin. Tapi bagaimana bisa? Itu tidak
mungkin. Aku tidak jatuh cinta, aku hanya lupa diri. Sekarang aku percaya
dengan perkataan Ibuku tentang orang yang kaucintai adalah orang yang paling
bisa menyakitimu. Karena apa yang mereka lakukan akan sangat berarti bagimu. Aku
tidak jatuh cinta, aku hanya lupa diri. Oke, hanya lupa diri. Di rumah aku baru
saja menonton film manusia, menceritakan tentang kehidupan seorang gadis yang
penuh dengan kebohongan. Dia penuh dengan kebohongan namun menyenangkan.
Sedangkan aku? Menyedihkan. Aku tidak memiliki teman yang banyak. Julianna
sudah tidak ingin berbicara denganku saat aku melewati kedainya. Aku tahu ia
sedang membersihkan kaca bagian dalam kedainya karena aku melihatnya, namun ia
tidak menghampiriku. Aku tidak tahu apa masalahnya denganku, aku juga tidak
ingin berbicara dengannya untuk sementara ini. Kejadian tadi malam membuatku
merasa bersalah terhadap diriku sendiri. Aku merasa tidak menghargai diriku
sendiri.
Kurasakan
air hangat yang keluar melalui sudut mataku. Penyesalan ini tidak akan berakhir
sebelum aku bertemu dengan obatnya. Louis tidak akan bisa membuatku senang
karena aku pernah bilang sebelumnya, ia bukanlah vampire yang menyenangkan.
Bahkan Fluppy, sahabat setiaku, tidak dapat membuatku senang sekarang.
Pikiranku kembali lagi pada Justin. Aku memang menikmati kejadian tadi malam
dan yang lebih kusukai saat melakukannya adalah aku dapat melihat wajah Justin
lebih dekat dipenuhi dengan rasa puas. Matanya terpejam lalu ia mendengus. Dan
aku merasa cairan yang masuk ke dalam tubuhku. Tangisanku memecah, aku mengapit
kedua tanganku yang memeluk paha bagian dalam lalu menundukkan kepalaku, merasa
sangat kotor.
“Hei,
tuan puteri,” kudengar suara berat dari sevampire lelaki –aku dapat mencium
aromanya—menghampiriku. Kudongakkan kepalaku untuk melihat siapa yang datang
dan itu adalah Theo. Awalnya aku melihat senyum di wajahnya namun tiba-tiba
saja raut wajahnya berubah setelah melihatku. Apa? Oh, aku menangis. Keningnya
mengerut. Salah satu tangannya tersembunyi di belakang tapi aku tidak peduli
apa yang sedang ia sembunyikan. Aku hanya merasa ..tidak ada lagi yang penting
di dunia ini setelah kejadian tadi malam. Aku bahkan belum meminum darah.
“Siapa
yang menyakitimu?” Ia menghampiriku lalu ia duduk di sebelahku, merangkulku
dalam rangkulannya yang besar. Tangisanku tidak memecah, aku menahannya. Dan
tentu, aku tidak ingin menceritakan apa yang terjadi padaku dengan Justin tadi
malam. Seharusnya Theo tidak menyukaimu.
“Kau
bisa menceritakannya padaku,” Theo memaksaku. Tapi aku enggan untuk
menceritakannya karena kenyataannya, aku tahu, aku hanya dipermainkan oleh
Justin. Meski memang, Justin mengantarku sampai ke tengah-tengah hutan. Tempat
terakhir kali Ibuku melihat Justin.
“Baiklah,
jika kau tidak ingin menceritakannya,” gumam Theo berusaha untuk acuh. “Tebak
aku bawa apa untukmu?”
“Kebahagiaan
untukku?” Oke, sekarang aku terlihat seperti vampire yang tidak pernah merasa
bahagia. Ini semua karenanya. Theo menarik
daguku lalu kulihat kedua alisnya saling bertaut.
“Hei,
ada apa denganmu? Apa Justin menyakitimu tadi malam? Aku tidak menemui kalian
berdua di kampus. Apa yang telah ia lakukan padamu?” Theo bertanya dengan
kelembutan. Dan air mataku kembali menetes. Crap! Ia mengelus pipiku, mengapus
air mata yang mengalir –hampir menetes ke dalam telingaku—lalu ia tersenyum
manis. “Ceritakanlah,”
Aku
tidak dapat menahannya. “Aku bercinta dengan Justin tadi malam,” ujarku jujur.
Raut wajahnya yang awalnya terlihat seperti seorang Ayah baru saja melihat anak
pertamanya lahir tiba-tiba saja berubah karena dia baru saja melihat anak
pertamanya cacat! Matanya melotot dengan panasnya neraka di dalamnya, aku tidak
tahu kalau ia akan bereaksi seperti ini. Theo
menyukaimu. Ia menggumamkan kata sumpah dan aku tidak begitu menyukainya.
“Kau
bercinta dengannya? Anak setan itu sudah gila! Apa dia menyakitimu?”
“Sejauh
ini,” aku menelan ludahku, “tidak,” lanjutku. Theo yang tangannya menyentuh
pipiku sekarang lalu ia mendesah pelan. Ia kesal padaku. Kudengar suara jatuhan
sesuatu, namun aku mengabaikannya.
“Sejauh
ini tidak. Berarti dia masih memiliki kesempatan untuk melakukannya!” seru Theo
kesal. “Lalu, mengapa kau menangis?” Kepalanya yang awalnya menunduk, sekarang
terangkat. Ia melirik padaku, memberikan pandangan iba. Tidak, aku hanya merasa
bersalah pada diriku sendiri karena aku tidak berhasil melindunginya dari
lelaki yang bahkan aku belum tahu apa dia memang menyukaiku atau tidak.
“Aku
tidak berhasil menjaga diriku,” gumamku. Kutundukkan kepalaku, merasa malu pada
Theo karena mungkin sekarang ia berpikir aku adalah vampire murahan. Apa benar
yang dikatakan Justin? Tentang aku adalah sevampire murahan? Kudengar suara
gesekan celana yang Theo pakai dengan batu, ia merangkulku kembali.
“Maafkan
Justin, aku tidak bertemu dengannya sampai siang hari ini. Dia mungkin sedang
merasakan hal yang sama telah menyakitimu. Bagaimana pun, Justin memiliki sisi
rasa bersalahnya. Ia pasti akan meminta maaf,”
“Aku
tidak ingin menerima permintaan maafnya jika kau yang menyuruhnya untuk meminta
maaf,” gumamku bersandar di dadanya lalu membuka mataku. “Apa yang kau bawa?”
tanyaku mengalihkan topik pembicaraan.
“Tidak
ada, aku hanya membawa diri,” ujar Theo yang sekarang memunculkan tangannya
yang lain tanpa membawa apa pun. “Aku pikir aku adalah kebahagiaanmu,” gumam
Theo memelukku, akhirnya. Aku membutuhkan sesuatu atau sevampire yang dapat
kupeluk. Dan ternyata Theo memiliki perawakan yang lebih besar dibanding
Justin, aku baru menyadarinya.
“Kau
aneh! Kita baru bertemu selama beberapa hari!” seruku tertawa. Well, Theo
adalah kebahagiaanku kurasa. Maksudku, untuk saat ini. Kudengar suara langkahan
dari belakang kami. Aku menarik tubuhku untuk menjauh dari pelukannya lalu
membalikkan kepalaku ke belakang. Ibuku sedang berjalan dari jarak jauh. Sial!
“Theo,
kurasa kau harus pulang sekarang!” ujarku merosot dari bebatuan yang kududuki.
Theo menyusulku namun ia memberikan wajah heran. Apa? Ia bingung.
“Mengapa?”
“Ibuku!
Pergilah sekarang! Aku takut aku dihukum karena bertemu dengan pangeran
Kidrauhl! Cepat!” aku mendorong tubuhnya untuk pergi. Tapi ia menahannya, itu
membuatku dan dirinya tertawa. “Oh, Theo. Kumohon!”
“Asalkan
kau menciumku, aku mau!” tawarnya. Ya ampun, kakak-beradik ini tidak ada
bedanya. Sifatnya, mungkin. Tidak ingin mengambil resiko ketahuan Ibu, aku
langsung mengecup pipinya dan ia menghilang dari hadapanku. Dia berlari seperti
angin. Sialan. Bersamaan dengan menghilangnya dirinya dari hadapanku, Ibuku
muncul dengan pakaiannya yang seperti biasanya. Yah, Ratu Fourie selalu memakai
gaun jika tidak ingin pergi kencan dengan Phillips. Ya ampun, aku cukup gugup
bertemu dengan Ibuku. Karena saat aku telah sampai di rumah tadi pagi, aku
tidak menyapanya atau membalas sapaannya. Kubilang padanya hanyalah sepatah
kata: Lelah. Berhubungan badan dengan Justin adalah hal yang sungguh melelahkan
dalam hidupku.
“Kau
berbicara dengan siapa tadi sayang?”
“Fluppy,”
aku berbohong kembali. Sudah dua kali ..eh tidak, setiap waktu aku berbohong
padanya. Kau tidak menyadarinya? Aku berbohong padanya kalau aku tidak
berbicara dengan Justin ataupun Theo. Tapi kenyataannya, tadi malam aku baru
saja berhubungan badan dengan Justin dan aku baru saja mengecup pipi Theo. Itu
melewati batasan yang ia katakan! Sangat lebih.
“Mengapa
kau tampak pendiam pagi tadi? Kuliah membuatmu lelah?” Ibuku bertanya sambil
menghampiriku. Tangannya yang kurus itu menyentuh rambut cokelat panjangku lalu
mengelus-elusnya penuh kelembutan. Aku mengangkat kedua bahuku lalu berjalan
meninggalkannya.
“Ya,”
balasku singkat. “Ibu ingin pergi kemana?” tanyaku.
“Ingin
mencaritahu apakah puteriku baik-baik saja di luar sana. Dan Ibu telah
melihatmu di sini, baik-baik saja. Masih normal tapi tampak pucat,”
Aku
terkekeh. “Aku selalu pucat. Kita semua pucat, Ibu,” gumamku berjalan menuju
bebatuan yang tadi kududuki. Tapi langkahanku terhenti saat aku melihat seikat
sayuran berada di samping batu. Dan itu dibungkus oleh plastic. Apa tadi itu
adalah sayur yang Theo bawa? Untuk apa? Aku tertawa dalam hati. Dia sangat
romantis dengan caranya sendiri. Well, aku tidak ingin ia memberikanku bunga
mawar. Aku pernah membaca sebuah cerita tentang vampire buatan manusia. Tentang
lelakinya adalah sevampire vampire dan gadisnya adalah seorang manusia. Mereka
saling jatuh cinta. Lelakinya ingin memberikan hadiah romantis untuk kekasihnya
sebuah bunga mawar dengan duri. Saat gadis itu menerimanya, duri mawar itu
menusuk salah satu jarinya dan mengeluarkan darah. Lelaki vampire itu tidak
dapat menahan kuasa untuk tidak mengisap darah yang dikeluarkan jari itu. Maka
lelaki itu mengisap jarinya hingga gadis itu pingsan karena kehabisan darah.
Itu
konyol.
“..pergi
ke dalam,” sisa-sisa kata itulah yang terdengar di telingaku lalu Ibuku menghilang
dari belakang tubuhku. Ia ingin pergi ke kastil lagi. Kuhampiri sayur selada
yang masih segar itu lalu mengambilnya. Aku tersenyum. Ini memang seperti
kebahagiaan aneh bagiku. Kebahagiaan yang langka. Tidak ada seorangpun yang
pernah memberikanku sayur selada segar dan dihias seperti bunga mawar indah.
Bahkan sayur ini lebih baik dibanding bunga mawar. Tidak ada duri. Segar. Dan
tidak palsu. Sehat jika dimakan oleh manusia. Aku juga bisa memakannya jika aku
mau. Kuhirup sayur segarnya dalam-dalam. Lalu tersenyum kembali. Setidaknya,
Theo telah membuatku tidak sesedih tadi.
Pertanyaannya,
siapa yang menyakiti hatiku? Diriku sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar