***
Aku
lebih memilih untuk bertemu dengan Justin dibanding Julianna harus datang ke
rumahku. Siang ini aku memutuskan untuk pergi ke hutan seberang sendirian.
Berharap tiba-tiba saja Justin datang untuk menemaniku dan mengabulkan
permintaanku untuk menemaniku ke kedai Julianna. Sejuknya angin hutan ini
mengembus menyentuh tubuhku. Samar-samar matahari masuk ke dalam hutan ini,
menyilaukan pemandanganku untuk menikmati sejenak hutan seberang. Setelah usaha
pertamaku telah rusak karena kedatangan Theo. Oh ya ampun, Theo. Ia pernah
bilang padaku untuk tidak datang lagi ke hutan ini.
Itu
adalah renungan bagiku. Apa orang yang mengejarku tadi ada hubungannya dengan
Kerajaan Kidrauhl? Mengapa ia menginginkan aku mati? Bagaimana caranya ia dapat
membunuhku? Tentu saja ia beraroma vampire, aku juga punya penciuman yang
bagus. Aku tahu yang mana manusia dan bukan. Dan vampire itu tidak dapat
membunuhku. Sesama vampire tidak dapat membunuh kecuali dengan api atau
memenggal kepala namun tidak memakai tangan vampire itu sendiri. Satu
pertanyaan di benakku sekarang adalah, bagaimana caranya orangtua Justin
membunuh Ayahku? Menarik kepalanya lepas? Memukulnya? Vampire bisa saling
memukul, tapi tidak dengan senjata. Pistol tidak ampuh untuk membunuhku kecuali
dengan peluru perak. Jadi, bagaimana orangtua Justin membunuh Ayahku? Aku
sungguh penasaran. Ibuku hanya bilang bahwa Kerajaan Kidrauhl berbahaya dan aku
harus menjauhinya, apa dia membenci Kerajaan itu karena Ayah telah terbunuh?
Tapi, itu adalah peperangan. Akan ada yang kalah dan menang. Meski aku juga
kesal karena mereka aku tidak dapat mendengar suara Ayahku sendiri.
Lenyap
dalam renungan, kudengar suara langkahan dari belakang tubuhku. Semakin
mendekat, dan itu adalah vampire. Ia mengendus-endus, suara endusannya
terdengar sampai telingaku! Apa dia adalah monster? Well, menurutku, vampire
adalah monster. Berarti aku adalah monster yang membunuh hewan-hewan.
“Kau
tidak perlu jauh-jauh datang ke sini untuk meminta maaf padaku,” suara familiar
masuk ke dalam gendang telingaku. Aku membalikkan tubuhku, sigap. Lalu
mendapati Justin berdiri di belakangku dengan mulut yang penuh dengan darah.
Apa dia baru saja memangsa seseorang? Mata emasnya! Aku jadi tidak dapat
membedakan dia baru saja meminum darah dari siapa. Pakaiannyapun kotor dari
noda darah. Aku heran, apa dia sadar sekarang adalah siang hari? Matahari
bahkan sekarang sedang marah pada vampire hingga aku merasa begitu kepanasan.
“A-aku
tidak ingin meminta maaf padamu, aku tidak –“
“Jadi,
apa yang kauinginkan? Kau sudah tahu hutan ini berbahaya bagimu. Setelah aku
tahu ada vampire yang mengikutimu sepanjang perjalanan di hutanmu, apa kau
tidak takut kalau ia akan datang kembali?” Aku terdiam. Diamku meredamkan rasa
terkejutku!
“Kau
mengikutiku?” terkaku.
Ia
mengejekku dengan tawaannya. “Pft! Mengikutimu? Tidak, Theo memberitahuku. Dia
menyukaimu, kau tahu. Maksudku, hei, sadarlah! Kau tidak lebih dari perawan
murni dengan jiwa yang suci yang baru saja kugigit. Dia lebih baik dibanding
dirimu, aku heran. Apa kelebihanmu sampai-sampai ia dapat menyukaimu?” Justin
mengejekku, meminta untuk bertengkar. Apa sekarang akan terjadi Perang Dunia
III? Kuharap tidak, aku harus memenuhi janjiku terlebih dahulu untuk Julianna
sebelum ia datang ke rumahku.
“Dengar,
Justin,” aku mengangkat tanganku, meminta perdamaian. “Aku datang ke sini hanya
untuk memintamu pergi denganku ke kedai temanku, Julianna. Kumohon kau harus
memenuhinya, karena jika tidak ia akan datang ke rumahku! Aku tidak ingin dia
datang lagi ke rumahku,”
“Jika
aku tidak mau, apa yang akan kau lakukan?”
“Aku
akan membujukmu terus menerus untuk memenuhinya. Dia menyukaimu!” seruku gemas.
Justin berjalan, mengelilingiku. Matanya melihatku dari bawah kaki hingga
kepalaku, menyimak-simak apa yang sedang ia lihat. Aku menelan ludahku, apa
yang sedang ia lakukan?
“Dia
..manusia, menyukaiku? Seberapa seksi dia?”
“Dia
bahkan lebih menarik dari perawan yang baru saja kau gigit itu! Percaya padaku,
ia seksi. Tapi kumohon, jangan gigit dia. Dia sahabat manusia yang paling
kusayang, aku berteman dengannya sudah lama sekali,”
“Seberapa
lama?”
“Jawab
saja Justin. Ya atau tidak?” aku memaksanya. Ia menghentikan langkahnya, tepat
di hadapanku lalu kembali aku mendengar kekehan idiotnya.
“Jika
aku dapat tidur denganmu, maka jawabannya, Ya.”
***
Aku
tersentak.
“Apa?”
Ini seperti ..apa yang sedang ia pikirkan sekarang? Beberapa detik sebelumnya,
ia bilang padaku bahwa apa yang menarik dariku? Dan sekarang ia menawarkan ..oh
ya ampun, apa aku terlihat semurah gadis vampire yang kita temui di bar
beberapa hari yang lalu? Dia gila. Justin masih berdiri di hadapanku, membersihkan
mulutnya yang masih berlumur darah.
“Nah
sekarang kau yang jawab, Ya atau Tidak?” tanyanya berjalan keliling di
sekitarku. Santai. Seolah-olah tidak ada masalah yang akan ia dapat. Padahal
aku ingin sekali memukulnya. Matahari sepertinya masih marah dengan suhu yang
ia berikan pada vampire. Padahal niatku baik sekali untuk memenuhi janjiku agar
Julianna dapat bertemu dengan Pangeran Berengsek Bieber.
“Sayang
sekali tadi kau pulang begitu cepat. Di papan pengumuman, besok kau berada di urutan
ke 6 atau 7. Aku lupa. Kau tahu, pelelangan? Kau akan dilelangkan untuk para
mahavampira besok agar uang yang akan kami keluarkan dapat berguna untuk
teman-teman vampire kita di Afrika. Mereka membutuhkan darah yang harus kita
beli dari rumah sakit. Nah, begini, aku akan memenuhi permintaanmu hari ini
dengan imbalan yang harus kauberikan untukku, mengerti?”
Aku
memberikan wajah bingung padanya. “Eh? Aku tidak mengerti,” gumamku yang
membuatnya mendesah kesal lalu ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Kakinya
berjalan menuju salah satu pohon yang telah tumbang akibat petir, kurasa. Atau
semacamnya. Bagaimana bisa? Ia duduk di atasnya, lalu ia menatap ke sekitar
hutan. Seolah-olah ia berpikir, mengapa gadis yang ia temui bodoh sekali? Well,
aku tentu saja tidak mengerti apa yang ia katakan. Pelelangan? Pft, bodoh.
“Kau
masuk dalam daftar wanita yang akan dilelang oleh para mahavampira besok. Dan
tentu, jika aku menginginkanmu, aku bisa saja mendapatkanmu besok. Aku Pangeran
Kidrauhl, ingat?” ia menyombongkan diri.
“Lalu?”
tanyaku, takut-takut maka aku mundur beberapa langkah ke belakang.
“Aku
tahu kau takut padaku, mungkin kau berpikir kau akan diperkosa. Maka besok,
hadiah untuk para mahavampira yang membayar wanita-wanitanya adalah kencan.
Nah, jadi, besok ..berdandanlah secantik mungkin untukku. Oke?”
“Hanya
sekedar kencan bukan? Tidak lebih?”
“Aku
tidak berjanji,”
“Baiklah,”
aku mengalah.
“Maka
kau mendapatkan aku hari ini untuk bertemu manusia sialan itu,” Justin
mengumumkan. Syukurlah!
***
Suasana
sore ini sungguh membuatku cukup gugup. Aku membawa Justin, vampire gila, ke
sebuah kedai! Dan kedai itu milik sahabatku! Bagaimana mungkin aku bisa segila
itu? Tapi tidak apa-apa. Demi Julianna dan demi aku juga. Agar ia tidak datang
ke kastilku karena itu akan menjadi sebuah bencana bagiku. Kedai kopinya
seperti biasa selalu ramai. Lampu luarnya telah menyala karena matahari sudah
tidak dapat memberikan rasa marahnya padaku atau Justin. Aku sudah memberitahu
Justin untuk bersikap normal. Dan ia tidak ingin mendengarkan perkataanku
tentang matanya yang mirip dengan mata kucing! Ia tidak ingin memakai lensa
kontak mata yang telah kuberikan untuknya –stok lensa kontak mata di rumahku
banyak sekali.
Musik
country mulai terdengar saat aku
membuka pintu kedai Julianna. Banyak sekali pria-pria tua yang sedang bersantai
di kedai ini. Menyesap kopi mereka sambil membicarakan pekerjaan mereka
seharian. Untunglah aku telah memberitahu Justin untuk berpakaian yang lebih
berwarna karena kami –vampire—sering memakai pakaian berwarna hitam. Kami
mencari-cari tempat yang pas untuk berbicara dengan Julianna lalu Justin
tiba-tiba saja memegang tanganku.
“Kurasa
di ujung lebih baik,”
“Yeah,
agar kau bisa menyentuhku lagi,”
“Aku
tidak melakukan apa yang tidak ingin kulakukan,” gumam Justin menarik tanganku,
melewati meja-meja pengunjung dengan cepat. Beberapa gadis yang sedang
bersantai melihat Justin lewat dengan tatapan kagum. Mereka hanya belum tahu
saja Justin itu vampire seperti apa! Kami duduk di tempat duduk yang empuk serta
berhadapan dengan kulit berwarna merah. Di ujung, dekat jendela yang tidak
dibersihkan. Mungkin aku akan membantu Julianna untuk membersihkan kedainya
malam hari. Ia duduk di hadapanku dengan tangan yang melipat.
“Jadi,
dimana teman seksimu itu?”
“Bisakah
kita menyingkirkan pikiran mesum gilamu itu sampai kita pulang nanti? Kumohon,
bersikaplah normal malam ini. Demi aku?”
“Demi
kau,” gumamnya terkekeh lalu ia menjatuhkan tubuhnya ke belakang, menyandarkan
tubuhnya ke kursi. Saat ia ingin membuka mulutnya, Julianna datang dengan
..penampilan yang sangat cantik. Aku merasa minder karena kecantikannya yang
luar biasa malam ini.
“Hai,
Chantal! Kau datang! Aku senang kau memenuhi janjimu untuk datang dengan teman
tampanmu ini,” ia kegirangan! Ia kegirangan dan aku merasa ..entahlah. Aku
tidak dapat mendekskripsinya saat ia memuji Justin. Hanya saja, pujiannya
sungguh salah untuk Justin. Justin dengan normal berdiri dari tempat duduknya
lalu berkenalan dengan Julianna, meraih tangannya lalu memeluknya. Aku melihat
gerak-geriknya, seperti dibuat-buat. Atau Justin sedang menahan hasratnya untuk
menggigit Julianna?
“Kalian
ingin minum kopi apa?”
“Bawakan
anggur yang paling kau suka,” Justin menyeletuk, menjawabnya sedetik setelah
Julianna selesai berbicara. Julianna menganggukan kepalanya lalu ia berjalan
balik untuk mengambil kami anggur. Baiklah, kalau anggur, aku pernah
mencobanya. Selintas, aku berpikir, Justin ternyata bisa berakting normal. Saat
Julianna lenyap dari hadapan kami, aku memberikannya senyum terima kasihku.
Tapi ia meresponnya dengan kedipan mata sebelah yang membuat pipiku memerah.
Aku bertaruh, ia pasti sedang membayangkanku tidur dengannya. Karena itulah
yang ia inginkan.
“Maksud
pelelangan itu apa?” aku akhirnya berusaha untuk bersikap ramah-tamah padanya.
“Kau
akan dilelang oleh paravampira. Yang harus kaulakukan hanyalah berdiri di atas
panggung, di sebelah podium. Maka Mrs. Louff akan memberitahu apa saja
kelebihanmu. Setelah kau dilelang, uang yang dikeluarkan oleh si pelelang akan
berguna untuk membeli darah dari rumah sakit dan dikirimkan bagi teman-teman
kita di Afrika. Bagaimana menurutmu? Maukah kau berdandan cantik untukku sesuai
dengan perjanjian kita tadi?” Justin menggerak-gerakan tangannya, menjelaskan
apa yang baru saja ia katakan. Sebelum aku menjawabnya, Julianna muncul dengan
..bibir yang telah ia poles dengan pelembap bibir. Tadi bibirnya tidak lembap!
Ya ampun. Ia berdandan berlebihan untuk Justin.
“Gelas
untukmu, Chantal. Dan untukmu, Mr.Tampan,” pujinya, genit. Sekarang aku tahu
maksud Ibu tentang manusia memiliki dua sisi. Maksudku, wanita. Wanita memiliki
dua sisi. Dan sekarang aku baru saja bertemu dengan sisi Julianna yang bertemu
dengan lelaki setampan Justin. Tunggu ..apa? Lelaki setampan Justin? Aku ingin muntah
sekarang. Gelas kecil di hadapan kami telah dipenuhi oleh anggur. Botol anggur
yang berada di dalam baskom aluminium itu di taruh di ujung meja. Aku menggeser
dudukku agar Julianna dapat duduk di sebelahku.
“Jadi,
bagaimana kalian berdua dapat bertemu?” tanyanya setelah bokongnya menyentuh
kursi.
“Kita?
Satu kampus, tentu saja,” Justin menjawabnya, hangat. Sial, jika ia menjawabku,
jawabannya sungguh dingin. Dan selalu saja ada unsur menggoda atau mesum! Kapan
ia dapat memperlakukanku normal seperti ini?
“Aku
bertemu dengannya ..tampak cantik sekali. Saat pertama kali aku melihatnya, aku
seperti melihat malaikat yang dikirimkan Tuhan untukku,” jelas Justin. Tunggu
dulu! Tunggu dulu! Apa dia gila? Apa dia baru saja kehilangan akal? Dia bahkan
belum menyentuh anggur sialan itu, bagaimana bisa ia mabuk? Aku menatapnya
dengan tatapan “Bodoh! Kau luar biasa bodoh!”. Ia hanya terkekeh pelan lalu ia
mengambil gelas kecil itu kemudian menenggakkannya hingga habis. Kulirik
Julianna yang menatap Justin dengan tatapan kecewa. Oh, berarti dia
mengharapkan Justin. Tapi, maaf, Julianna. Kau tidak dapat memilikinya karena
dia adalah vampire.
“Kau
memiliki warna mata yang langka. Apa itu adalah lensa kontak mata?” tanya
Julianna, mengalihkan topik pembicaraan. Jelas ia tidak menyukai percakapan
kami yang ‘itu’.
“Tidak,”
balas Justin kemudian menjelaskan. Aku memerhatikan Justin terus menerus dengan
Julianna. Tampak normal. Tidak ada pertanyaan-pertanyaan yang menyimpang. Ia
tidak menggoda Julianna –meski aku sadar betul Julianna ingin Justin
menggodanya. Mereka membicarakan asal Justin. Aku hampir ingin muntah karena
cerita karangan Justin tentang keluarganya. Menit demi menit berlalu, aku
memerhatikan Julianna yang sesekali memainkan rambutnya. Kau tahulah sikap manusia
berjenis kelamin perempuan jika ia sudah bertemu dengan lelaki yang ia sukai. Flirting. Lucunya, di dunia vampire, aku
pernah melihatnya di depan mata kepalaku sendiri. Dan itu pada Justin. Dan itu
di bar. Oke, sudah. Aku tidak ingin mengingat kenangan di bar itu. Itu membuat
kepalaku memanas.
“Aku
rasa Chantal dan aku harus pulang sekarang. Aku harus mengerjakan tugas kampus
bersama dengannya, tugas kelompok,” ujar Justin mengakhiri percakapan mereka
yang telah berlangsung kurang lebih 30 menit.
“Kita?
Pulang?” Otakku sedang memproses apa yang ia katakan. Oh, kerja kelompok.
“Oh?
Benarkah kalian harus pulang? Kupikir kita bisa menghabiskan malam
bersama-sama. Bahkan sekarang baru jam 7 malam. Tapi tidak apa-apa,” ujar
Julianna bangkit dari tempat duduknya lalu ia melihat Justin yang juga berdiri
kemudian ia menjabat tangannya kemudian memeluk Justin dengan erat. Apa-apaan
yang sedang kulihat? Kudengar geraman dari Justin yang membuat Julianna menjauh
dari tubuh Justin dengan wajah yang girang. Apa dia berpikir Justin terangsang
akibat pelukannya? Oh, Julianna, percaya padaku. Setelah kau tahu dia adalah
vampire, aku yakin kau akan pergi ke Berlin lalu mengganti namamu dengan
Alicia.
“Baiklah,
Chantal. Terima kasih sudah memenuhi janjimu untuk datang ke sini, aku
menyayangimu,” ujar Julianna memelukku tanda terima kasih. Aku hanya dapat terdiam.
“Senang bertemu denganmu Justin, kuharap kau bisa datang lagi ke sini.
Sendirian.”
“Kuharap
begitu juga, Ms.Beautiful,” puji Justin yang berhasil membuat pipi Julianna
memerah. Tapi tanpa berpikir panjang, Justin menarik tanganku untuk keluar dari
kedai ini. Saat kami telah berada di luar kedai, ia langsung menggendongku dan
berlari secepat angin. Oh, ya ampun, apa dia gila? Aku tahu, ia sedang berusaha
menjauhi Julianna. Saat aku membalikkan kepalaku untuk melihat kedai itu, kedai
itu telah lenyap dari pandanganku. Justin cepat sekali berlari, seperti angin.
Tiba-tiba
saja ia menghentikan lariannya. Tepat di tengah-tengah hutanku. Tempat dimana
aku suka merenung bersama dengan Fluppy. Memikirkan banyaknya dedaunan yang
telah gugur. Di tengah-tengahnya, kami sedang berdiri di tengah-tengah hutan.
Aku menarik nafas, terengah-engah, begitu juga dengan Justin. Seharusnya, hanya
Justin saja yang terengah-engah karena ia berlari. Tapi jantungku sedang
berdegup kencang.
“Ingat
perjanjian kita, sekarang kau harus pulang. Mandi. Berdandanlah secantik
mungkin. Karena para kandidat harus memakai gaun yang cantik. Pakailah gaun
tercantik yang kaumiliki untukku,”
“Jika
aku tidak mau?” aku menggodanya, berusaha untuk bersikap ‘bersahabat’ dengannya
meski Ibuku melarangnya.
“Aku
akan membawamu ke sebuah hotel ..ke dunia manusia. Dan menidurimu, membuatmu
mendesah—“
“Chantal!
Apa yang kaulakukan? Bukankah kau seharusnya berada di rumah?” kudengar suara
Ibuku yang berasal dari sebelah kanan. Aku menoleh ke sebelah kanan dan
mendapati Ibuku yang terkejut setelah ia melihat Justin. Oh ya ampun, apa aku
akan dihukum? Kuharap tidak. Tapi, kemungkinannya begitu kecil. Tanpa berpikir,
Justin langsung berlari secepat angin, menghindariku.
“Ya
Tuhan, Chantal. Apa kau baik-baik saja? Apa yang telah ia lakukan padamu?”
Ibuku tampak panik. Serangan panik. Ia berlari ke arahku lalu kedua tangannya
memegang kepalaku. Ia menolehkannya ke kanan dan kiri. Memerhatikan apa aku
baik-baik saja atau tidak. Tapi kenyataannya adalah aku masih dapat bernafas.
“Kami
hanya mendiskusikan tentang kerja kelompok,” dustaku. Ya ampun, aku tidak
pernah berbohong pada Ibuku! Dan ini adalah yang pertama kalinya. Ibuku
langsung memelukku dengan isaknya. Kulihat Phillip berada di belakang Ibuku,
menatapku dengan tatapan hangat. Ia seperti Ayah kandungku, kau tahu.
“Selama
kau baik-baik saja dan kau tidak disakiti, Ibu sangat mengkhawatirkanmu setelah
melihatmu berbicara dengannya,”
“Ibu,
tidak apa-apa. Tidak ada yang terjadi padaku,” aku berusaha sebisa mungkin
untuk membuatnya tenang. Tapi, tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar