Kamis, 15 Agustus 2013

Kidnapped Bab 3


***

            Ibuku menyuruh Louis untuk menjagaku di sekitar kampus. Menjaga-jaga agar aku tidak bersama dengan Justin. Oh, yang benar saja, aku memegang perkataanku untuk tidak bertemu dengan Justin. Maksudku, bukan bertemu, tidak berbicara dengannya. Ibu tidak perlu menyuruh Louis untuk menjagaku, aku sudah besar. Dan tentu saja mata pelajaran yang Louis ambil tidak sama dengan mata pelajaranku. Mengingat perkataan Ibu tentang terbunuhnya Ayahku di tangan keluarga Bieber itu membuatku cukup sedih. Mengapa Justin atau paling tidak Theo menceritakan padaku tentang Kerajaan mereka yang sebenarnya? Mengapa mereka berusaha untuk mendekatiku sedangkan mereka –mungkin—tahu tentang terbunuhnya Ayah dikarenakan keluarga mereka? Mereka pasti tahu tapi mereka menyembunyikannya dariku. Pantas saja aku melihat kerutan di kening Theo saat aku memberitahunya tentang ketidaktahuanku terhadap Kerajaannya yang telah membunuh Ayahku. Merekalah yang telah membunuh Ayahku! Aku tidak dapat melihat Ayahku karena mereka! Betapa menyedihkannya.
            Aku sedang mengantri minumanku di kantin. Malam ini aku memang berusaha untuk menjauhi Justin ataupun Theo. Lagi pula, aku tidak melihat batang hidung mereka di sekitar kampus. Atau hanya aku yang tidak melihatnya? Mungkin. Setelah Ibuku menceritakan tentang kepergian Ayah, seluruh tubuhku melemas. Seharusnya sekarang aku senang karena aku akan mengikuti acara Bolos Bersama Bieber! Aku menghela nafas setelah 5 orang di depanku menghilang dari hadapanku. Kemudian aku maju ke depan konter untuk mengambil segelas darah. Cara mengambil darah ini sebenarnya mudah. Kita hanya perlu mengatakan berapa gelas darah yang kita inginkan. Malam ini aku tidak begitu lapar.
            “Satu, tolong,” gumamku meminta. Tanpa buang-buang waktu, permukaan meja konter di hadapanku terbuka begitu saja kemudian memunculkan nampan serta segelas darah di sana. Aku mengambilnya dengan santai lalu meninggalkan konter. Pikiranku kembali kepada Justin dan Theo. Apa yang sebenarnya mereka inginkan dariku? Itulah pertanyaan yang harus dijawab oleh Ibuku. Ibuku menjawab, apa saja yang dapat membuat diri mereka merasa puas. Tubuhku? Tidak mungkin. Vampire memang “cukup” bergairah dengan manusia atau sesama vampire. Tapi, tidak mungkin diriku yang dipilih mereka. Darahku? Tidak, sesama vampire tidak dapat saling menggigit. Lagi pula, setiap darah vampire berwarna hitam dan lengket. Yeah, cukup menjijikan. Para vampire sedang berbicara dengan teman-temannya di atas meja makan mereka. Aku mencari-cari tempat yang tepat untuk dapat menyendiri. Tapi, aku tidak menemukannya. Hanya satu tempat, di sudut, kosong. Namun sialnya, di sebelah tempat duduk itu adalah Justin Bieber. Aku sekarang telah melihatnya. Wajahnya muram. Aku terkejut. Bukan karena wajahnya yang tampan itu muram sehingga aku heran, tidak. Aku terkejut karena ..berapa gelas darah yang telah ia minum? Apa dia gila? Aku menghela. Tubuhku tersentak saat tiba-tiba saja matanya melihat padaku. Berbalik, tidak berbalik, berbalik, tidak berbalik, berbalik! Aku langsung membalikkan tubuhku ke belakang untuk mencari tempat yang lain.
            Tapi, wush! Justin telah berada di hadapanku dengan segelas darah yang ia pegang sekarang. Jarak tubuhku dengannya sungguh dekat, bahkan hidungnya hampir menyentuh hidungku –aku cukup tinggi juga untuk ukuran vampire.
            “Mau minum denganku? Aku telah menunggu dari tadi, aku memaksa,” ajaknya dengan senyum miringnya. Ingat perkataan Ibumu, Chantal! Jauhi dia! Dia berbahaya! Orangtuanya telah membunuh Ayahmu!
            “Tidak,” aku menjawabnya dengan tegas. Perubahan ekspresi wajahnya tampak sekali setelah aku menolaknya namun ia sepertinya berhasil untuk tetap terlihat biasa-biasa saja. Sekarang dapat kurasakan vampire-vampire di dalam kantin sedang memerhatikan kami. Apa tidak ada hal yang lebih memalukan dari ini? Karena kurasa, aku tidak sanggup lagi.
            “Mengapa?”
            “Aku sudah tahu tentang Kerajaanmu, sekarang permisi, aku harus menghabiskan darah ini sekarang. Dan sangat aku yakini, darah ini bukanlah darah dari seorang perawan,” sindirku padanya. Ia melangkahkan kakinya ke samping, mempersilahkanku untuk lewat. Kudengar kekehan darinya setelah beberapa inchi aku melangkah darinya. Itu membuatku menghentikan langkahanku, merasa terhina. Apa yang ia tertawakan? Apa yang lucu? Dia pikir, membunuh Ayahku adalah hal yang lucu? Dia pikir, membunuh Ayahku keren? Tidak sama sekali. Ternyata benar kata Ibuku, aku tidak boleh dekat-dekat dengan Justin Sialan Bieber. Kubalikkan kepalaku ke belakang, menatapnya dengan senyum dari mata dan mulutku. Senyum sinis.
            “Apa pun yang sedang kau tertawakan, Pangeran Justin, aku tidak sama sekali menyukainya. Kau tahu itu, kau sungguh merendahkanku sebagai Puteri Fourie,” ujarku membalikkan kepalaku menarik nafas lalu melangkahkan kakiku kembali.
            “Oh, wow, aku takut sekali Tuan Puteri Fourie, aw!” Justin mengejekku, lalu aku berpikir, kekuatan apa saja yang dimiliki oleh Ibuku? “Aku tertawa karena tingkahmu yang memalukan kemarin. ‘Aku suka caramu melakukannya’. ‘Aku menyukainya’, ‘Baiklah’. Apa yang sedang kau permainkan ..vampire murahan? Lagi pula, aku juga tidak memaksamu untuk pergi bersama denganku. Tapi kau, pft, seperti vampire murahan, sungguh!” Justin membuat amarahku meluap. Vampire murahan katanya? Aku tidak butuh uang hanya untuk hidup di dunia ini! Apa yang membuatnya berpikir aku adalah vampire murahan? Aku adalah puteri Fourie dan aku bisa melakukan apa pun yang kumau karena itu adalah hakku! Aku bisa saja menyuruh pasukanku untuk membunuh Justin sekarang. Suaranya menggelegar di kantin, membuat sesapan dari salah satu vampire di kantin terhentikan begitu saja. Pipiku memerah –padahal aku adalah vampire—merah padam lebih tepatnya. Kubalikkan tubuhku ke belakang lalu menatapnya sejenak. Ia sedang melipat kedua tangannya di depan dadanya, memperlihatkan sikapnya yang seperti kotoran manusia itu. Aku ingin sekali menyiramnya dengan darah. Menyiramnya.
            “Apa maksudmu menghinaku seperti itu? Atas dasar apa? Dan, mengapa, Pangeran Bieber anak dari seorang pembunuh?” tanyaku dengan suara yang tak kalah lantang. Vampire-vampire yang memerhatikan kami itu terkejut dengan ucapanku.  Kulihat wajah Justin masih tetap biasa saja, namun rahangnya menegang. Seolah-olah ia ingin memukulku. Ia mulai membuku mulutnya dengan jari telunjuk yang menunjuk padaku.
            “Mereka yang membunuh –“
            “Kau itu adalah sialan. Berengsek. Bajingan. Segala hal buruk pantas untukmu! Dan tentu saja ..anak dari seorang pembunuh itu adalah kau! Kau sebenarnya tidak tahu apa yang kaubicarakan tentangku! ” –jari telunjukku muncul menunjuknya—“Satu hal, Pangeran Bieber, bukan salah satu di antara kami yang membunuh orangtuamu!” teriakku menyiramkannya dengan darah merah yang kental itu tepat di wajahnya, bahkan rambutnya juga tersiram darah sehingga sekarang rambutnya berubah menjadi warna merah. Yaiks!
            “Aku bukan vampire murahan. Sekarang kumohon permisi, Pangeran Bieber. Kuharap darah itu dapat menyegarkanmu,”
            “Sialan kau, Chantal!” ia menyumpahiku. Aku ingin menangis, ia menyumpahiku! Aku tidak pernah menyumpahi seseorang sebelumnya, tidak sampai aku bertemu dengan Justin. Aku tahu seharusnya sekarang lidahku dipotong oleh Ibuku karena aku berbicara kotor pada Justin, tapi aku pikiranku nyalang. Aku tidak tahu apa lagi yang harus kukatakan selain ia memang adalah vampire bajingan! Ia sungguh tak tahu apa yang baru saja ia katakan tadi. Setelah ia mengatai aku adalah vampire murahan. Sialan!
            Aku berlari dari kantin setelah aku melempar nampan serta gelas itu pada Justin yang terkejut dengan apa yang telah kulakukan padanya. Ibu sungguh benar, Justin memang sangat berbahaya. Ada sesuatu yang ia inginkan dariku. Untunglah aku baru saja bertemu dengannya selama dua hari dan tanpa ikatan. Aku tidak berteman dengannya ataupun berpacaran denganya. Itu cukup membuatku merasa lega namun aku juga harus berhati-hati darinya. Karena seperti yang kakaknya Justin bilang sendiri –Theo, Kerajaan mereka berbahaya. Aku memang harus menjauh dari mereka. Ibu benar, sungguh benar.
            Saat aku sedang berlari untuk pergi mencari lift, aku menabrak seseorang vampire. Aku terjatuh karena tubuhnya yang besar itu cukup membuatku kewalahan untuk mencari keseimbanganku untuk berdiri.
            “Hei, Chantal. Ada apa? Mengapa kau berlari-lari? Kau seperti ayam yang hendak disembelih,” kudengar suara Theo yang lembut memegang pundakku. Dan apa yang baru saja ia katakan? Seperti ayam yang hendak disembelih? Apa tidak ada istilah lain yang lebih keren dibanding ayam?
            “Justin, aku tahu,” gumamnya tiba-tiba saja saat aku masih berada dalam keadaan panik. Aku panik karena bisa saja Justin mengejarku lalu memukulku. Meski aku tahu, sesama vampire tidak dapat saling membunuh. Theo menghela nafasnya sejenak lalu membantuku untuk berdiri dari lantai. “Ada apa dengannya?”
            “Dia menghinaku kalau aku adalah vampire murahan. Aku hanya ingin menjauh darinya ..dan kau juga,” bisikku terus mencari nafas yang teratur. Aku menundukkan kepalaku, jadi aku tidak dapat melihat wajah Theo sekarang. Namun kembali ia menghela nafasnya.
            “Maafkan tentang Justin. Dia memang bertemperamental tinggi. Ayo, kuajak kau ke taman untuk menenangkan diri. Aku tidak sama sekali memiliki niat jahat padamu. Percaya padaku,”
            “Ibuku bilang aku harus menjauh dari kalian!” seru menghentakkan tangannya saat ia berusaha untuk memegang tanganku. Ia terkejut dengan reaksiku yang seperti anti dengan vampire sepertinya. Theo menelan ludahnya lalu menatapku dengan tatapan rasa bersalah. Oh, tidak. Jangan berikan aku mata iba! Jangan berikan mataku seperti itu, Theo! Dia gila! Aku tidak kuat melihat Theo dengan raut wajah seperti anak kecil itu karena itu akan membuatku merasa simpati padanya.
            “Tapi aku tidak menyakitimu. Aku berjanji, pegang kata-kataku Chantal,” ujar Theo, memohon. Kurasa, Theo lebih baik dibanding Justin. Aku menganggukan kepalaku lalu tangannya langsung saja memegang tanganku. Oke, sekarang aku akan berpikir jernih tentang kejadian tadi.
            Aku menolak Justin Bieber karena Ibuku melarangnya. Saat aku berusaha menjauhinya, ia menyatakan padaku bahwa aku adalah vampire murahan. Dan, aku tentu marah dengan ucapannya karena aku merasa direndahkan. Aku bersumpah, seumur hidupku, aku tidak pernah dihina seperti itu oleh siapa pun. Meski sikapku memang bukan seperti seorang puteri yang sebenarnya, tapi tetap saja aku adalah seorang puteri. Lalu, ia terkekeh dan aku marah karena ia menghinaku dengan kekehan idiotnya itu. Lalu aku meneriakinya, ia ingin menyela namun aku dengan cepat menyiramnya dengan darah sialan itu. Dan aku berlari.
            Lalu aku berada di sini.
            Bersama dengan Theo.
            Tak terasa kami telah berada di taman belakang kampus kami. Sebenarnya, bukan taman sih jika aku ingin jujur. Ini hanyalah tempat “tongkrongan” untuk para mahavampira di kampus ini. Taman ini tidak sama sekali besar. Justru, taman ini berada di dekat asrama untuk para vampire. Well, asrama vampire di sini hanya untuk vampire-vampire yang datang dari penjuru dunia. Dan Theo membawaku ke taman yang dekat di asrama vampire lelaki. Kami terduduk di lantai depan asrama, menatapi bulan lalu berpikir, apa akan ada serigala yang melolong malam ini? Bulannya sempurna, bulat sempurna.
            “Mari kita lupakan tentang Ibumu sejenak. Tentang kau dengan Justin. Sekarang, aku ingin bertanya tentangmu. Mengapa kau memiliki warna mata merah?”
            “Sejak kecil memang seperti ini. Ibuku juga heran mengapa warna mataku merah, tak berubah seperti kalian. Apa menurutmu aku mempunyai kelainan?” tanyaku, padanya lalu menyempilkan rambutku ke belakang telinga. Theo mengangkat kedua bahunya lalu mendecak.
            “Kau sama seperti Justin. Dia juga sejak lahir memiliki warna mata emas, tidak berubah. Aku kadang iri, seharusnya matanya bisa berubah menjadi merah atau hitam. Satu lagi, jika ia ingin mencari mangsanya di dunia manusia yang sebenarnya, ia tidak perlu memakai lensa kontak mata untuk menutupi siapa dirinya yang sebenarnya,”
            “Kau bilang kita akan melupakan tentang aku dan Justin. Aku tidak tertarik lagi padanya setelah ia menghinaku sebagai vampire murahan,” dengusku kesal, siku-siku bertumpu pada ujung lututku. Aku cemberut, terserah, aku tidak peduli jika warna mata Justin berubah menjadi merah, kuning, hijau, atau seperti warna langit yang biru. Hatiku terbakar karena hinaannya. Kudengar Theo terkekeh pelan lalu tangannya dengan bodoh mencabut-cabuti rumput yang kami pijak.
            “Berarti kau pernah tertarik padanya,”
            “Jangan salah sangka, kau juga sebenarnya menarik. Tapi yang membuat Justin menarik adalah mata emasnya. Oke, apa sekarang kita bisa menghentikan percakapan kita tentang Justin?” aku segera tersadar dalam pikiran tidak wajarku lalu muncul ke permukaan yang wajar. Theo tertawa kembali lalu mengangguk-anggukan kepalanya. Ia menatap pada tanaman-tanaman yang ada di hadapannya.
            “Aku memiliki kekuatan untuk memukul orang,” Theo memberikan pengumuman padaku. Aku mengangguk, lalu mengapa? Aku juga bisa memukul orang. “Dan aku memiliki penciuman yang bagus, seperti serigala atau anjing pelacak,”
            “Menarik,” aku berbohong, “aku memiliki telinga yang sangat peka. Aku bisa mendengar apa pun dari jarak 3 meter. Keren kan?” aku mendorong lengannya dengan lenganku membuatnya tersenggol ke samping lalu ia membalas senggolanku dengan cepat. Kudorong kembali, ia mendorongku juga. Begitu terus menerus hingga ia mendorongku sampai aku terjatuh ke samping. Aku tidak mau kalah, aku mendorongnya kencang hingga tubuhnya jatuh ke samping. Aku tertawa terbahak-bahak, begitu juga dengannya. Lalu ia bangkit kembali, terduduk kembali. BUG! Aku terpental jauh ke tembok taman yang menutupi kampus. Aw! Aku meringis kesakitan saat Theo mendorong tubuhku hingga aku terpental. Aduh, kepalaku. Apa dia baru saja kehilangan akal sehatnya? Aku perempuan, mengapa ia berlaku kasar padaku? Oh, ya ampun, punggungku sakit sekali. Aku masih memejamkan mataku sambil tanganku mengusap-usap punggungku. Kudengar suara langkahannya serta keterkejutannya melihatku terpental hingga menabrak tembok.
            “Apa kau baik-baik saja? Ya Tuhan, aku minta maaf. Aku hanya ..sial, aku tidak dapat mengendalikan kekuatanku jika aku sedang bermain-main seperti ini,” Theo mengangkat tubuhku, menggendongku dengan tenang. Dapat kurasakan ia seperti tidak membawa apa-apa. Apa aku terlalu kurus untuk ukuran vampire? Tidak juga, meski aku jarang meminum darah karena aku jarang merasa kelaparan.
            “Ow, Theodorus Beamount Bieber, apa aku sekarang terlihat baik-baik saja? Kurasa ..tulang punggungku patah di dalam sana, untunglah, aw!” aku berteriak, berpura-pura “kesakitan”—meski memang sakit. Tapi sebenarnya, tulang punggungku tidak patah.
            “Aku tidak dapat merasakan apa-apa, Theo, apa yang kaulakukan? Aku dapat menuntut perbuatanmu terhadapku! Oh, ya ampun, tulangku sepertinya akan keluar dari tubuhku!”
            “Jangan membuatku ketakutan seperti ini! Aku akan membawamu ke ruang perawatan,” serunya kesal karena aku menakut-nakutinya. Aku tertawa dalam hati. Mengapa lelaki seperti Theo mudah sekali ditipu? Padahal aku hanya bermain-main. Mungkin pemikiran Ibu tentang Theo salah. Theo lebih menyenangkan dibanding Justin yang seharusnya aku sadar, pandangan kemarin malam –saat kami berpisah—adalah pandangan kebencian terhadapku. Tidak dengan Theo.

***

            Senyum dari bibirku tak kunjung surut setelah matahari mulai menyambut dunia manusia. Aku bahkan merasa keadaan semakin memburuk setelah aku menyadari bahwa dari tadi aku memikirkan Theodorus Beamount Bieber. Setelah kejadian “tulang punggungku patah”, ia langsung membawaku ke ruang perawatan yang dimana para vampire menatapiku dengan Theo. Namun sebelum ia mencapai ruang perawatan, aku tertawa. Itu membuatnya terkejut dengan apa yang kulakukan, seharusnya aku meringis tapi aku malah tertawa. Lalu ia menyadari sesuatu, aku menipunya. Bodohnya adalah ia langsung melepaskan tubuhku dari gendongannya hingga aku tak mungkin tertawa. Aku meringis, pada awalnya lalu tertawa. Atau lebih tepatnya, menertawakan kebodohannya dan ketakutan dari wajahnya saat aku meringis tadi. Sekarang aku tahu apa yang ia maksud tentang “meninju” seseorang. Atau vampire.
            Saat aku baru saja ingin memasuki daerah hutanku, seseorang memanggilku. Dan aku tahu siapa itu, dia Julianna. Jika aku melihat Julianna, aku teringat akan film manusia yang kutonton berjudul “Flipped”. Itu termasuk film yang kusukai, kau tahu. Baiklah, kurasa membicarakan film kesukaanku tidak penting. Aku tersadar dan langsung membalikkan tubuhku ke belakang. Oke, baiklah, aku akan segera masuk ke hutan para manusia sekarang. Jika Julianna telah mendapatkanku, itu berarti, ia akan mengajakku ke kedai kopi miliknya.
            “Chantal! Hei, kau mau kemana pagi-pagi seperti ini? Mencari kayu bakar? Dan kau habis dari mana? Aku baru melihatmu selama beberapa hari ini,” Julianna sungguh ramah padaku. Hutannya dan hutanku memiliki garis pembatas. Dan garis pembatas itu adalah sebuah papan selamat tinggal dan selamat datang. Selamat tinggal Atlanta dan Selamat datang di Atlanta. Betapa menakjubkannya itu. Hutanku berada di luar Atlanta. Hebat. Aku menyelipkan rambutku ke belakang telinga.
            “Aku harus bertemu pamanku pagi ini,” aku berbohong. Aku sudah sering membohonginya untuk menutupi siapa diriku sebenarnya. Aku tak ingin menakutinya.
            “Well, aku hanya penasaran. Kemarin aku melihatmu menyeberang ke hutan seberang sana. Bersama dengan seorang lelaki. Dia tampan. Siapa dia?” Oh, baiklah. Julianna dengan gaya berpakaiannya yang super seksi bertanya padaku tentang siapa itu Justin. Julianna memiliki rambut hitam panjang yang cantik, mungkin agak kemerahan. Warna matanya adalah cokelat. Dan ia adalah salah satu pelayan di kedai kopi miliknya. Atau lebih tepatnya, milik orangtuanya. Kedai yang berada di pinggiran hutan Atlanta. Betapa lucunya dia di pagi hari mempertanyakan tentang sesuatu yang sebenarnya, bukan urusannya. Aku bisa saja menjawabnya dengan ketus bahwa itu bukan urusannya, tapi Julianna, dia salah satu manusia yang berani masuk ke hutanku. Lalu mengajak teman-temannya yang lain bermain ke sungai dekat hutan.
            “Chantal? Kau dengar aku?” suara Julianna mengembalikan kesadaranku lalu aku langsung menjawabnya.
            “Dia ..Justin. Justin Bieber,”
            “Ajak dia ke sini. Siapa tahu dia menyukai kopi. Berjanjilah padaku, oke?” Julianna memunculkan jari kelingkingnya. Aku mau memutar bola mataku lalu menggumam, ‘oh ya ampun, manusia dan jari kelingking konyol. Twinky promise bullshit!’. Kutatapi jari kelingking panjangnya di hadapanku.
            “Kurasa Justin tidak menyukai kopi,” gumamku berusaha untuk menolaknya.
            “Oh ayolah, aku juga memiliki minuman lain. Kau tahulah, kedaiku tak pernah mengecewakan! Kumohon, ajaklah dia? Kumohon?” Baiklah, dia memaksa. Aku mengaitkan jari kelingkingku dengan jari kelingkingnya. Kemudian aku berpikir: Kau luar biasa bodoh Chantal Fourie!
            “Oke. Baiklah. Ajak dia sore nanti, aku menunggumu! Well, aku harus kembali bekerja. Sarapan pagi harus disediakan, banyak pengunjung pagi ini,” serunya senang lalu ia membalikkan tubuhnya ke belakang dan berlari menuju kedainya  yang berada di pinggir hutan. Aku terkekeh selama beberapa detik kemudian kekehanku lenyap begitu saja saat nama Justin melintas di otakku.
            “Aku menraktirmu dan teman tampanmu, Chantal! Jangan lupakan janjimu atau aku akan datang ke rumahmu yang indah itu!” teriakkan Julianna membuatku mendongakan kepala.
            “Aku berjanji!” balasku berteriak. Semakin aku meyakinkannya, semakin aku merasa bodoh sekarang. Kehembus nafasku, kembali berjalan meski pendengaranku mulai membuat bulu romaku terangkat. Dapat kudengar suara langkahan kaki dari belakang, entah berapa dekat ia berada di belakangku. Aku berhenti sejenak, begitu juga dengan suara langkahan kaki itu. Kubalikkan kepalaku ke belakang, tapi tidak ada siapa pun. Aku kembali berjalan, berusaha mengabaikan suara kaki yang melangkah dari belakang sana. Siapa pun yang mengikutiku dari belakang, aku harus cepat-cepat lari sekarang. Kulihat sekitarku, tidak ada kendaraan yang melaju di sekitar jalan raya. Lalu aku berlari secepat angin berhembus. Aku belok ke kiri karena aku sudah mulai berada di luar Atlanta. Sinar matahari mulai redup setelah aku masuk ke dalam hutan, remang-remang lebih tepatnya. Oh, sial. Mengapa daun-daun di hutan ini semakin banyak yang gugur? Ini bukan musim gugur. Aku suka musim semi, meski memang udara terasa hangat. Semakin aku masuk ke dalam hutan, semakin kudengar suara kaki yang ikut berlari dari belakang. Pohon-pohon di hutan banyak sekali lalu aku berusaha untuk menghilang dari pandangan siapa pun itu. Aku berdiri di balik salah satu pohon yang besar. Kutahan nafasku berusaha untuk tidak membuat suara apa pun.
            Jantungku berdetak. Namun nafasku tertahan. Suara langkahan kaki itu mulai terdengar kembali. Oh, terima kasih karena dedaunan yang gugur itu membuat suara langkahan kakinya semakin terdengar.
            “Sial, seharusnya tadi aku langsung menangkapnya,” suara lelaki. Tapi aku tidak tahu siapa dia. Ya, tidak tahu. Kupikir awalnya dia adalah Louis. Tapi untuk apa Louis berkata seperti itu? Maksudku, Louis memang suka bermain kejar-kejaran denganku. Well, baiklah, bukan dengan Louis. Dengan Fluppy. Aku tidak dapat menahan nafasku lagi, kuhembuskan nafasku dengan tenang. Namun tiba-tiba saja lelaki di belakangku terkesiap. Kudengar ia mengendus-endus.
            “Dia masih berada di sekitar sini! Sialan! Dia harus mati!” serunya gemas. Aku tahu pasti ini bukanlah suara dari anak muda. Dia sudah tua! “Berpikir, Daniel. Berpikir,” gumamnya menggigit-gigit jari telunjuknya. Aku menggeser tubuhku ke samping untuk dapat mengintipnya. Lalu aku membalikkan kepalaku sedikit ke belakang lalu melirik lelaki itu. Lelaki itu sedang berada di tengah-tengah bebatuan. Bebatuan-ku! Batu yang sedang kuinjak sekarang, yeah, batu ada dimana-mana hampir membuatku tergelincir saat aku menggeser tubuhku ke tempat seperti semula.
            “Whoa!” Aku bersuara! Dan itu bodoh, aku hampir jatuh. Tanpa pikir panjang, aku langsung berlari dari batu licin yang kuinjak. Kepalanya berbalik padaku, seolah-olah ia mendengar suara beruang di hutan lalu ia akan menombakkannya dengan sekuat tenaga. Matanya berwarna merah! Dan memakai anting. Jika kau ingin tahu pemikiranku tentang antingnya, itu sangat tidak cocok dengan wajah tuanya itu!
            “Sial!” serunya mulai berlari ke arahku. Aku berteriak, berlari semakin kencang. Sedikit lagi adalah rumahku. “Hei, you! Son of a bitch! Come back! Daddy here for you!”
            “Go away! Get the hell out of my fucking beautiful jungle!” Oke, baiklah. Itu memang keluar dari batasku berbicara kotor. Itu sangat kotor, Ibuku pasti akan menampar pipiku.
            “What kind princess are you? Did your mom taught you how to talk nice with stranger? Swearing for no reason? You don’t know what you talking little girl!”
            “My mother told me not to talk with fucking ugly like you!” teriakku menikmati hinaanku padanya. Sebenarnya, apa tujuannya mengejar-kejarku?
            “I will kill you!”
            “My mom was right, stranger not good for me! Now, go away!” aku menertawakannya saat aku mulai masuk ke dalam daerah kekuasaanku. Aku telah berada di depan halaman kastilku, keluar dari pepohonan itu. Ia berhenti di mulut hutan menuju kastil, ia tentu akan takut untuk masuk ke dalam. Kujulurkan lidahku seperti anak kecil padanya lalu ia mendengus kesal dan menendang tanah.
            “Damn it!” serunya sungguh kesal. Sebenarnya, apa masalahnya denganku? Aku membalikkan tubuhku setelah aku sadar, aku telah berada di depan pintu gerbang kastil. Tidak ada seorang manusia pernah masuk ke dalam kastil. Teman-temanku, Julianna, dia masuk ke dalam rumahku. Ibuku bilang, tidak apa-apa untuk bermain dengan manusia-manusia seperti Julianna, sebenarnya, di depan kastil ..Ibu telah membuat pengaturan pembangunan rumah otomatis oleh teknologi tinggi. Jadi, di dekat gerbang, ada sebuah tombol merah yang akan ditekan oleh salah satu penjaga kastil. Jika tombol merah itu ditekan, maka muncullah sebuah rumah yang besar dari dalam tanah. Maksudku, tidak mungkin “keluar” dari dalam “tanah” yang sebenarnya. Akan ada sebuah pintu besi horizontal di dalam tanah setinggi beberapa inchi. Lalu pintu besi itu akan terbuka dan memunculkan rumah dari dalam tanah dalam keadaan bersih. Percaya padaku, tanah yang menjatuhi rumah itu sama sekali tidak penting! Itu dikarenakan mereka akan segera dibersihkan oleh vampire-vampire pembantu.
            “Siapa yang mengejarmu tadi?” suara Ibuku terdengar dari belakang. Oke, baiklah. Kamera pengintai dari bagian luar kastil telah berhasil menangkap lelaki tua itu. Aku mendesah pelan, membalikkan tubuhku ke belakang untuk melihat Ibu. Aku tercengang. Wow! Ibuku tidak pernah berdandan modern seperti ini. Ia memakai jubah vampire hitam yang ia pakai, namun kali ini ia memakai celana legging hitam panjang dengan bots kulit cokelat panjang selutut dan atasannya ..ia seperti memakai blazer. Blazer zaman dulu. Aku tertawa. Manusia mana yang merasuki Ibuku hingga berubah gaya berpakaiannya seperti ini? Oh, aku tahu. Dia ingin pergi bersama dengan Phillip, orang kepercayaan Ibuku selama beratus-ratus tahun. Bisa kubilang, Ibuku menyukai lelaki ini. Dan sekarang, Phillip berada di belakangnya.
            “Aku tidak tahu, vampire?” aku balik bertanya padanya.
            Aku mendesah lalu ia terkekeh. “Tidak penting, yang penting sekarang kau telah berada di rumah dengan selamat. Ibu harus pergi bersama dengan Phillip pagi ini untuk mencari makanan buat para pelayan,” ujar Ibuku mengelus pundakku lalu ia membalikkan tubuhnya lalu meraih tangan Phillip untuk pergi keluar dari kastil. Oke, setidaknya Ibuku tidak mempertanyakan tentang Justin. Karena nanti sore aku harus mencari Justin! Louis, aku butuh—tidak! Aku tidak butuh Louis, ia sudah tahu Ibuku membenci Kerajaan Kidrauhl. Aku harus bertemu dengan Justin, oh, aku tahu pasti ini akan menjadi sangat memalukan. Di kampus tadi ..sungguh, sial. Aku sekarang merasa murahan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar