***
Ibuku
menyuruh Louis untuk menjagaku di sekitar kampus. Menjaga-jaga agar aku tidak
bersama dengan Justin. Oh, yang benar saja, aku memegang perkataanku untuk
tidak bertemu dengan Justin. Maksudku, bukan bertemu, tidak berbicara
dengannya. Ibu tidak perlu menyuruh Louis untuk menjagaku, aku sudah besar. Dan
tentu saja mata pelajaran yang Louis ambil tidak sama dengan mata pelajaranku.
Mengingat perkataan Ibu tentang terbunuhnya Ayahku di tangan keluarga Bieber
itu membuatku cukup sedih. Mengapa Justin atau paling tidak Theo menceritakan
padaku tentang Kerajaan mereka yang sebenarnya? Mengapa mereka berusaha untuk
mendekatiku sedangkan mereka –mungkin—tahu tentang terbunuhnya Ayah dikarenakan
keluarga mereka? Mereka pasti tahu tapi mereka menyembunyikannya dariku. Pantas
saja aku melihat kerutan di kening Theo saat aku memberitahunya tentang
ketidaktahuanku terhadap Kerajaannya yang telah membunuh Ayahku. Merekalah yang
telah membunuh Ayahku! Aku tidak dapat melihat Ayahku karena mereka! Betapa
menyedihkannya.
Aku
sedang mengantri minumanku di kantin. Malam ini aku memang berusaha untuk
menjauhi Justin ataupun Theo. Lagi pula, aku tidak melihat batang hidung mereka
di sekitar kampus. Atau hanya aku
yang tidak melihatnya? Mungkin. Setelah Ibuku menceritakan tentang kepergian
Ayah, seluruh tubuhku melemas. Seharusnya sekarang aku senang karena aku akan
mengikuti acara Bolos Bersama Bieber! Aku menghela nafas setelah 5 orang di
depanku menghilang dari hadapanku. Kemudian aku maju ke depan konter untuk
mengambil segelas darah. Cara mengambil darah ini sebenarnya mudah. Kita hanya
perlu mengatakan berapa gelas darah yang kita inginkan. Malam ini aku tidak
begitu lapar.
“Satu,
tolong,” gumamku meminta. Tanpa buang-buang waktu, permukaan meja konter di
hadapanku terbuka begitu saja kemudian memunculkan nampan serta segelas darah
di sana. Aku mengambilnya dengan santai lalu meninggalkan konter. Pikiranku
kembali kepada Justin dan Theo. Apa yang sebenarnya mereka inginkan dariku?
Itulah pertanyaan yang harus dijawab oleh Ibuku. Ibuku menjawab, apa saja yang
dapat membuat diri mereka merasa puas. Tubuhku? Tidak mungkin. Vampire memang
“cukup” bergairah dengan manusia atau sesama vampire. Tapi, tidak mungkin
diriku yang dipilih mereka. Darahku? Tidak, sesama vampire tidak dapat saling
menggigit. Lagi pula, setiap darah vampire berwarna hitam dan lengket. Yeah,
cukup menjijikan. Para vampire sedang berbicara dengan teman-temannya di atas
meja makan mereka. Aku mencari-cari tempat yang tepat untuk dapat menyendiri.
Tapi, aku tidak menemukannya. Hanya satu tempat, di sudut, kosong. Namun
sialnya, di sebelah tempat duduk itu adalah Justin Bieber. Aku sekarang telah
melihatnya. Wajahnya muram. Aku terkejut. Bukan karena wajahnya yang tampan itu
muram sehingga aku heran, tidak. Aku terkejut karena ..berapa gelas darah yang
telah ia minum? Apa dia gila? Aku menghela. Tubuhku tersentak saat tiba-tiba
saja matanya melihat padaku. Berbalik,
tidak berbalik, berbalik, tidak berbalik, berbalik! Aku langsung
membalikkan tubuhku ke belakang untuk mencari tempat yang lain.
Tapi,
wush! Justin telah berada di
hadapanku dengan segelas darah yang ia pegang sekarang. Jarak tubuhku dengannya
sungguh dekat, bahkan hidungnya hampir menyentuh hidungku –aku cukup tinggi
juga untuk ukuran vampire.
“Mau
minum denganku? Aku telah menunggu dari tadi, aku memaksa,” ajaknya dengan
senyum miringnya. Ingat perkataan Ibumu, Chantal! Jauhi dia! Dia berbahaya!
Orangtuanya telah membunuh Ayahmu!
“Tidak,”
aku menjawabnya dengan tegas. Perubahan ekspresi wajahnya tampak sekali setelah
aku menolaknya namun ia sepertinya berhasil untuk tetap terlihat biasa-biasa
saja. Sekarang dapat kurasakan vampire-vampire di dalam kantin sedang
memerhatikan kami. Apa tidak ada hal yang lebih memalukan dari ini? Karena
kurasa, aku tidak sanggup lagi.
“Mengapa?”
“Aku
sudah tahu tentang Kerajaanmu, sekarang permisi, aku harus menghabiskan darah
ini sekarang. Dan sangat aku yakini, darah ini bukanlah darah dari seorang
perawan,” sindirku padanya. Ia melangkahkan kakinya ke samping,
mempersilahkanku untuk lewat. Kudengar kekehan darinya setelah beberapa inchi
aku melangkah darinya. Itu membuatku menghentikan langkahanku, merasa terhina.
Apa yang ia tertawakan? Apa yang lucu? Dia pikir, membunuh Ayahku adalah hal
yang lucu? Dia pikir, membunuh Ayahku keren? Tidak sama sekali. Ternyata benar
kata Ibuku, aku tidak boleh dekat-dekat dengan Justin Sialan Bieber. Kubalikkan
kepalaku ke belakang, menatapnya dengan senyum dari mata dan mulutku. Senyum
sinis.
“Apa
pun yang sedang kau tertawakan, Pangeran Justin, aku tidak sama sekali
menyukainya. Kau tahu itu, kau sungguh merendahkanku sebagai Puteri Fourie,”
ujarku membalikkan kepalaku menarik nafas lalu melangkahkan kakiku kembali.
“Oh,
wow, aku takut sekali Tuan Puteri Fourie, aw!” Justin mengejekku, lalu aku
berpikir, kekuatan apa saja yang dimiliki oleh Ibuku? “Aku tertawa karena
tingkahmu yang memalukan kemarin. ‘Aku suka caramu melakukannya’. ‘Aku menyukainya’,
‘Baiklah’. Apa yang sedang kau permainkan ..vampire murahan? Lagi pula, aku
juga tidak memaksamu untuk pergi bersama denganku. Tapi kau, pft, seperti
vampire murahan, sungguh!” Justin membuat amarahku meluap. Vampire murahan
katanya? Aku tidak butuh uang hanya untuk hidup di dunia ini! Apa yang
membuatnya berpikir aku adalah vampire murahan? Aku adalah puteri Fourie dan
aku bisa melakukan apa pun yang kumau karena itu adalah hakku! Aku bisa saja
menyuruh pasukanku untuk membunuh Justin sekarang. Suaranya menggelegar di
kantin, membuat sesapan dari salah satu vampire di kantin terhentikan begitu
saja. Pipiku memerah –padahal aku adalah vampire—merah padam lebih tepatnya.
Kubalikkan tubuhku ke belakang lalu menatapnya sejenak. Ia sedang melipat kedua
tangannya di depan dadanya, memperlihatkan sikapnya yang seperti kotoran
manusia itu. Aku ingin sekali menyiramnya dengan darah. Menyiramnya.
“Apa
maksudmu menghinaku seperti itu? Atas dasar apa? Dan, mengapa, Pangeran Bieber
anak dari seorang pembunuh?” tanyaku dengan suara yang tak kalah lantang.
Vampire-vampire yang memerhatikan kami itu terkejut dengan ucapanku. Kulihat wajah Justin masih tetap biasa saja,
namun rahangnya menegang. Seolah-olah ia ingin memukulku. Ia mulai membuku
mulutnya dengan jari telunjuk yang menunjuk padaku.
“Mereka
yang membunuh –“
“Kau
itu adalah sialan. Berengsek. Bajingan. Segala hal buruk pantas untukmu! Dan
tentu saja ..anak dari seorang pembunuh itu adalah kau! Kau sebenarnya tidak
tahu apa yang kaubicarakan tentangku! ” –jari telunjukku muncul
menunjuknya—“Satu hal, Pangeran Bieber, bukan salah satu di antara kami yang
membunuh orangtuamu!” teriakku menyiramkannya dengan darah merah yang kental
itu tepat di wajahnya, bahkan rambutnya juga tersiram darah sehingga sekarang
rambutnya berubah menjadi warna merah. Yaiks!
“Aku
bukan vampire murahan. Sekarang kumohon permisi, Pangeran Bieber. Kuharap darah
itu dapat menyegarkanmu,”
“Sialan
kau, Chantal!” ia menyumpahiku. Aku ingin menangis, ia menyumpahiku! Aku tidak
pernah menyumpahi seseorang sebelumnya, tidak sampai aku bertemu dengan Justin.
Aku tahu seharusnya sekarang lidahku dipotong oleh Ibuku karena aku berbicara
kotor pada Justin, tapi aku pikiranku nyalang. Aku tidak tahu apa lagi yang
harus kukatakan selain ia memang adalah vampire bajingan! Ia sungguh tak tahu
apa yang baru saja ia katakan tadi. Setelah ia mengatai aku adalah vampire
murahan. Sialan!
Aku
berlari dari kantin setelah aku melempar nampan serta gelas itu pada Justin
yang terkejut dengan apa yang telah kulakukan padanya. Ibu sungguh benar,
Justin memang sangat berbahaya. Ada sesuatu yang ia inginkan dariku. Untunglah
aku baru saja bertemu dengannya selama dua hari dan tanpa ikatan. Aku tidak
berteman dengannya ataupun berpacaran denganya. Itu cukup membuatku merasa lega
namun aku juga harus berhati-hati darinya. Karena seperti yang kakaknya Justin
bilang sendiri –Theo, Kerajaan mereka berbahaya. Aku memang harus menjauh dari
mereka. Ibu benar, sungguh benar.
Saat
aku sedang berlari untuk pergi mencari lift, aku menabrak seseorang
vampire. Aku terjatuh karena tubuhnya yang besar itu cukup membuatku kewalahan
untuk mencari keseimbanganku untuk berdiri.
“Hei,
Chantal. Ada apa? Mengapa kau berlari-lari? Kau seperti ayam yang hendak
disembelih,” kudengar suara Theo yang lembut memegang pundakku. Dan apa yang
baru saja ia katakan? Seperti ayam yang hendak disembelih? Apa tidak ada
istilah lain yang lebih keren dibanding ayam?
“Justin,
aku tahu,” gumamnya tiba-tiba saja saat aku masih berada dalam keadaan panik.
Aku panik karena bisa saja Justin mengejarku lalu memukulku. Meski aku tahu,
sesama vampire tidak dapat saling membunuh. Theo menghela nafasnya sejenak lalu
membantuku untuk berdiri dari lantai. “Ada apa dengannya?”
“Dia
menghinaku kalau aku adalah vampire murahan. Aku hanya ingin menjauh darinya
..dan kau juga,” bisikku terus mencari nafas yang teratur. Aku menundukkan
kepalaku, jadi aku tidak dapat melihat wajah Theo sekarang. Namun kembali ia
menghela nafasnya.
“Maafkan
tentang Justin. Dia memang bertemperamental tinggi. Ayo, kuajak kau ke taman
untuk menenangkan diri. Aku tidak sama sekali memiliki niat jahat padamu.
Percaya padaku,”
“Ibuku
bilang aku harus menjauh dari kalian!” seru menghentakkan tangannya saat ia
berusaha untuk memegang tanganku. Ia terkejut dengan reaksiku yang seperti anti
dengan vampire sepertinya. Theo menelan ludahnya lalu menatapku dengan tatapan
rasa bersalah. Oh, tidak. Jangan berikan aku mata iba! Jangan berikan mataku
seperti itu, Theo! Dia gila! Aku tidak kuat melihat Theo dengan raut wajah
seperti anak kecil itu karena itu akan membuatku merasa simpati padanya.
“Tapi
aku tidak menyakitimu. Aku berjanji, pegang kata-kataku Chantal,” ujar Theo,
memohon. Kurasa, Theo lebih baik dibanding Justin. Aku menganggukan kepalaku
lalu tangannya langsung saja memegang tanganku. Oke, sekarang aku akan berpikir
jernih tentang kejadian tadi.
Aku
menolak Justin Bieber karena Ibuku melarangnya. Saat aku berusaha menjauhinya,
ia menyatakan padaku bahwa aku adalah vampire murahan. Dan, aku tentu marah
dengan ucapannya karena aku merasa direndahkan. Aku bersumpah, seumur hidupku,
aku tidak pernah dihina seperti itu oleh siapa pun. Meski sikapku memang bukan
seperti seorang puteri yang sebenarnya, tapi tetap saja aku adalah seorang
puteri. Lalu, ia terkekeh dan aku marah karena ia menghinaku dengan kekehan
idiotnya itu. Lalu aku meneriakinya, ia ingin menyela namun aku dengan cepat
menyiramnya dengan darah sialan itu. Dan aku berlari.
Lalu
aku berada di sini.
Bersama
dengan Theo.
Tak
terasa kami telah berada di taman belakang kampus kami. Sebenarnya, bukan taman
sih jika aku ingin jujur. Ini hanyalah tempat “tongkrongan” untuk para
mahavampira di kampus ini. Taman ini tidak sama sekali besar. Justru, taman ini
berada di dekat asrama untuk para vampire. Well, asrama vampire di sini hanya
untuk vampire-vampire yang datang dari penjuru dunia. Dan Theo membawaku ke
taman yang dekat di asrama vampire lelaki. Kami terduduk di lantai depan
asrama, menatapi bulan lalu berpikir, apa akan ada serigala yang melolong malam
ini? Bulannya sempurna, bulat sempurna.
“Mari
kita lupakan tentang Ibumu sejenak. Tentang kau dengan Justin. Sekarang, aku
ingin bertanya tentangmu. Mengapa kau memiliki warna mata merah?”
“Sejak
kecil memang seperti ini. Ibuku juga heran mengapa warna mataku merah, tak
berubah seperti kalian. Apa menurutmu aku mempunyai kelainan?” tanyaku, padanya
lalu menyempilkan rambutku ke belakang telinga. Theo mengangkat kedua bahunya
lalu mendecak.
“Kau
sama seperti Justin. Dia juga sejak lahir memiliki warna mata emas, tidak
berubah. Aku kadang iri, seharusnya matanya bisa berubah menjadi merah atau
hitam. Satu lagi, jika ia ingin mencari mangsanya di dunia manusia yang
sebenarnya, ia tidak perlu memakai lensa kontak mata untuk menutupi siapa
dirinya yang sebenarnya,”
“Kau
bilang kita akan melupakan tentang aku dan Justin. Aku tidak tertarik lagi
padanya setelah ia menghinaku sebagai vampire murahan,” dengusku kesal,
siku-siku bertumpu pada ujung lututku. Aku cemberut, terserah, aku tidak peduli
jika warna mata Justin berubah menjadi merah, kuning, hijau, atau seperti warna
langit yang biru. Hatiku terbakar karena hinaannya. Kudengar Theo terkekeh
pelan lalu tangannya dengan bodoh mencabut-cabuti rumput yang kami pijak.
“Berarti
kau pernah tertarik padanya,”
“Jangan
salah sangka, kau juga sebenarnya menarik. Tapi yang membuat Justin menarik
adalah mata emasnya. Oke, apa sekarang kita bisa menghentikan percakapan kita
tentang Justin?” aku segera tersadar dalam pikiran tidak wajarku lalu muncul ke
permukaan yang wajar. Theo tertawa kembali lalu mengangguk-anggukan kepalanya.
Ia menatap pada tanaman-tanaman yang ada di hadapannya.
“Aku
memiliki kekuatan untuk memukul orang,” Theo memberikan pengumuman padaku. Aku
mengangguk, lalu mengapa? Aku juga bisa memukul orang. “Dan aku memiliki
penciuman yang bagus, seperti serigala atau anjing pelacak,”
“Menarik,”
aku berbohong, “aku memiliki telinga yang sangat peka. Aku bisa mendengar apa
pun dari jarak 3 meter. Keren kan?” aku mendorong lengannya dengan lenganku
membuatnya tersenggol ke samping lalu ia membalas senggolanku dengan cepat. Kudorong
kembali, ia mendorongku juga. Begitu terus menerus hingga ia mendorongku sampai
aku terjatuh ke samping. Aku tidak mau kalah, aku mendorongnya kencang hingga
tubuhnya jatuh ke samping. Aku tertawa terbahak-bahak, begitu juga dengannya.
Lalu ia bangkit kembali, terduduk kembali. BUG!
Aku terpental jauh ke tembok taman yang menutupi kampus. Aw! Aku meringis
kesakitan saat Theo mendorong tubuhku hingga aku terpental. Aduh, kepalaku. Apa
dia baru saja kehilangan akal sehatnya? Aku perempuan, mengapa ia berlaku kasar
padaku? Oh, ya ampun, punggungku sakit sekali. Aku masih memejamkan mataku
sambil tanganku mengusap-usap punggungku. Kudengar suara langkahannya serta
keterkejutannya melihatku terpental hingga menabrak tembok.
“Apa
kau baik-baik saja? Ya Tuhan, aku minta maaf. Aku hanya ..sial, aku tidak dapat
mengendalikan kekuatanku jika aku sedang bermain-main seperti ini,” Theo
mengangkat tubuhku, menggendongku dengan tenang. Dapat kurasakan ia seperti
tidak membawa apa-apa. Apa aku terlalu kurus untuk ukuran vampire? Tidak juga,
meski aku jarang meminum darah karena aku jarang merasa kelaparan.
“Ow,
Theodorus Beamount Bieber, apa aku sekarang terlihat baik-baik saja? Kurasa
..tulang punggungku patah di dalam sana, untunglah, aw!” aku berteriak,
berpura-pura “kesakitan”—meski memang sakit. Tapi sebenarnya, tulang punggungku
tidak patah.
“Aku
tidak dapat merasakan apa-apa, Theo, apa yang kaulakukan? Aku dapat menuntut
perbuatanmu terhadapku! Oh, ya ampun, tulangku sepertinya akan keluar dari
tubuhku!”
“Jangan
membuatku ketakutan seperti ini! Aku akan membawamu ke ruang perawatan,”
serunya kesal karena aku menakut-nakutinya. Aku tertawa dalam hati. Mengapa lelaki
seperti Theo mudah sekali ditipu? Padahal aku hanya bermain-main. Mungkin
pemikiran Ibu tentang Theo salah. Theo lebih menyenangkan dibanding Justin yang
seharusnya aku sadar, pandangan kemarin malam –saat kami berpisah—adalah
pandangan kebencian terhadapku. Tidak dengan Theo.
***
Senyum
dari bibirku tak kunjung surut setelah matahari mulai menyambut dunia manusia.
Aku bahkan merasa keadaan semakin memburuk setelah aku menyadari bahwa dari
tadi aku memikirkan Theodorus Beamount Bieber. Setelah kejadian “tulang
punggungku patah”, ia langsung membawaku ke ruang perawatan yang dimana para
vampire menatapiku dengan Theo. Namun sebelum ia mencapai ruang perawatan, aku
tertawa. Itu membuatnya terkejut dengan apa yang kulakukan, seharusnya aku
meringis tapi aku malah tertawa. Lalu ia menyadari sesuatu, aku menipunya.
Bodohnya adalah ia langsung melepaskan tubuhku dari gendongannya hingga aku tak
mungkin tertawa. Aku meringis, pada awalnya lalu tertawa. Atau lebih tepatnya,
menertawakan kebodohannya dan ketakutan dari wajahnya saat aku meringis tadi.
Sekarang aku tahu apa yang ia maksud tentang “meninju” seseorang. Atau vampire.
Saat
aku baru saja ingin memasuki daerah hutanku, seseorang memanggilku. Dan aku
tahu siapa itu, dia Julianna. Jika aku melihat Julianna, aku teringat akan film
manusia yang kutonton berjudul “Flipped”. Itu termasuk film yang kusukai, kau
tahu. Baiklah, kurasa membicarakan film kesukaanku tidak penting. Aku tersadar
dan langsung membalikkan tubuhku ke belakang. Oke, baiklah, aku akan segera
masuk ke hutan para manusia sekarang. Jika Julianna telah mendapatkanku, itu
berarti, ia akan mengajakku ke kedai kopi miliknya.
“Chantal!
Hei, kau mau kemana pagi-pagi seperti ini? Mencari kayu bakar? Dan kau habis
dari mana? Aku baru melihatmu selama beberapa hari ini,” Julianna sungguh ramah
padaku. Hutannya dan hutanku memiliki garis pembatas. Dan garis pembatas itu
adalah sebuah papan selamat tinggal dan selamat datang. Selamat tinggal Atlanta
dan Selamat datang di Atlanta. Betapa menakjubkannya itu. Hutanku berada di
luar Atlanta. Hebat. Aku menyelipkan rambutku ke belakang telinga.
“Aku
harus bertemu pamanku pagi ini,” aku berbohong. Aku sudah sering membohonginya
untuk menutupi siapa diriku sebenarnya. Aku tak ingin menakutinya.
“Well,
aku hanya penasaran. Kemarin aku melihatmu menyeberang ke hutan seberang sana.
Bersama dengan seorang lelaki. Dia tampan. Siapa dia?” Oh, baiklah. Julianna
dengan gaya berpakaiannya yang super seksi bertanya padaku tentang siapa itu
Justin. Julianna memiliki rambut hitam panjang yang cantik, mungkin agak
kemerahan. Warna matanya adalah cokelat. Dan ia adalah salah satu pelayan di
kedai kopi miliknya. Atau lebih tepatnya, milik orangtuanya. Kedai yang berada
di pinggiran hutan Atlanta. Betapa lucunya dia di pagi hari mempertanyakan
tentang sesuatu yang sebenarnya, bukan urusannya. Aku bisa saja menjawabnya
dengan ketus bahwa itu bukan urusannya, tapi Julianna, dia salah satu manusia
yang berani masuk ke hutanku. Lalu mengajak teman-temannya yang lain bermain ke
sungai dekat hutan.
“Chantal?
Kau dengar aku?” suara Julianna mengembalikan kesadaranku lalu aku langsung
menjawabnya.
“Dia
..Justin. Justin Bieber,”
“Ajak
dia ke sini. Siapa tahu dia menyukai kopi. Berjanjilah padaku, oke?” Julianna
memunculkan jari kelingkingnya. Aku mau memutar bola mataku lalu menggumam, ‘oh
ya ampun, manusia dan jari kelingking konyol. Twinky promise bullshit!’.
Kutatapi jari kelingking panjangnya di hadapanku.
“Kurasa
Justin tidak menyukai kopi,” gumamku berusaha untuk menolaknya.
“Oh
ayolah, aku juga memiliki minuman lain. Kau tahulah, kedaiku tak pernah
mengecewakan! Kumohon, ajaklah dia? Kumohon?” Baiklah, dia memaksa. Aku
mengaitkan jari kelingkingku dengan jari kelingkingnya. Kemudian aku berpikir:
Kau luar biasa bodoh Chantal Fourie!
“Oke.
Baiklah. Ajak dia sore nanti, aku menunggumu! Well, aku harus kembali bekerja.
Sarapan pagi harus disediakan, banyak pengunjung pagi ini,” serunya senang lalu
ia membalikkan tubuhnya ke belakang dan berlari menuju kedainya yang berada di pinggir hutan. Aku terkekeh
selama beberapa detik kemudian kekehanku lenyap begitu saja saat nama Justin
melintas di otakku.
“Aku
menraktirmu dan teman tampanmu, Chantal! Jangan lupakan janjimu atau aku akan
datang ke rumahmu yang indah itu!” teriakkan Julianna membuatku mendongakan
kepala.
“Aku
berjanji!” balasku berteriak. Semakin aku meyakinkannya, semakin aku merasa
bodoh sekarang. Kehembus nafasku, kembali berjalan meski pendengaranku mulai
membuat bulu romaku terangkat. Dapat kudengar suara langkahan kaki dari belakang,
entah berapa dekat ia berada di belakangku. Aku berhenti sejenak, begitu juga
dengan suara langkahan kaki itu. Kubalikkan kepalaku ke belakang, tapi tidak
ada siapa pun. Aku kembali berjalan, berusaha mengabaikan suara kaki yang
melangkah dari belakang sana. Siapa pun yang mengikutiku dari belakang, aku
harus cepat-cepat lari sekarang. Kulihat sekitarku, tidak ada kendaraan yang
melaju di sekitar jalan raya. Lalu aku berlari secepat angin berhembus. Aku
belok ke kiri karena aku sudah mulai berada di luar Atlanta. Sinar matahari
mulai redup setelah aku masuk ke dalam hutan, remang-remang lebih tepatnya. Oh,
sial. Mengapa daun-daun di hutan ini semakin banyak yang gugur? Ini bukan musim
gugur. Aku suka musim semi, meski memang udara terasa hangat. Semakin aku masuk
ke dalam hutan, semakin kudengar suara kaki yang ikut berlari dari belakang.
Pohon-pohon di hutan banyak sekali lalu aku berusaha untuk menghilang dari
pandangan siapa pun itu. Aku berdiri di balik salah satu pohon yang besar.
Kutahan nafasku berusaha untuk tidak membuat suara apa pun.
Jantungku
berdetak. Namun nafasku tertahan. Suara langkahan kaki itu mulai terdengar
kembali. Oh, terima kasih karena dedaunan yang gugur itu membuat suara
langkahan kakinya semakin terdengar.
“Sial,
seharusnya tadi aku langsung menangkapnya,” suara lelaki. Tapi aku tidak tahu
siapa dia. Ya, tidak tahu. Kupikir awalnya dia adalah Louis. Tapi untuk apa
Louis berkata seperti itu? Maksudku, Louis memang suka bermain kejar-kejaran
denganku. Well, baiklah, bukan dengan Louis. Dengan Fluppy. Aku tidak dapat
menahan nafasku lagi, kuhembuskan nafasku dengan tenang. Namun tiba-tiba saja
lelaki di belakangku terkesiap. Kudengar ia mengendus-endus.
“Dia
masih berada di sekitar sini! Sialan! Dia harus mati!” serunya gemas. Aku tahu
pasti ini bukanlah suara dari anak muda. Dia sudah tua! “Berpikir, Daniel.
Berpikir,” gumamnya menggigit-gigit jari telunjuknya. Aku menggeser tubuhku ke
samping untuk dapat mengintipnya. Lalu aku membalikkan kepalaku sedikit ke
belakang lalu melirik lelaki itu. Lelaki itu sedang berada di tengah-tengah
bebatuan. Bebatuan-ku! Batu yang sedang kuinjak sekarang, yeah, batu ada
dimana-mana hampir membuatku tergelincir saat aku menggeser tubuhku ke tempat
seperti semula.
“Whoa!”
Aku bersuara! Dan itu bodoh, aku hampir jatuh. Tanpa pikir panjang, aku
langsung berlari dari batu licin yang kuinjak. Kepalanya berbalik padaku,
seolah-olah ia mendengar suara beruang di hutan lalu ia akan menombakkannya
dengan sekuat tenaga. Matanya berwarna merah! Dan memakai anting. Jika kau
ingin tahu pemikiranku tentang antingnya, itu sangat tidak cocok dengan wajah
tuanya itu!
“Sial!”
serunya mulai berlari ke arahku. Aku berteriak, berlari semakin kencang.
Sedikit lagi adalah rumahku. “Hei, you! Son of a bitch! Come back! Daddy here
for you!”
“Go
away! Get the hell out of my fucking beautiful jungle!” Oke, baiklah. Itu
memang keluar dari batasku berbicara kotor. Itu sangat kotor, Ibuku pasti akan
menampar pipiku.
“What
kind princess are you? Did your mom taught you how to talk nice with stranger?
Swearing for no reason? You don’t know what you talking little girl!”
“My
mother told me not to talk with fucking ugly like you!” teriakku menikmati
hinaanku padanya. Sebenarnya, apa tujuannya mengejar-kejarku?
“I
will kill you!”
“My
mom was right, stranger not good for me! Now, go away!” aku menertawakannya
saat aku mulai masuk ke dalam daerah kekuasaanku. Aku telah berada di depan
halaman kastilku, keluar dari pepohonan itu. Ia berhenti di mulut hutan menuju
kastil, ia tentu akan takut untuk masuk ke dalam. Kujulurkan lidahku seperti
anak kecil padanya lalu ia mendengus kesal dan menendang tanah.
“Damn
it!” serunya sungguh kesal. Sebenarnya, apa masalahnya denganku? Aku
membalikkan tubuhku setelah aku sadar, aku telah berada di depan pintu gerbang
kastil. Tidak ada seorang manusia pernah masuk ke dalam kastil. Teman-temanku,
Julianna, dia masuk ke dalam rumahku. Ibuku bilang, tidak apa-apa untuk bermain
dengan manusia-manusia seperti Julianna, sebenarnya, di depan kastil ..Ibu
telah membuat pengaturan pembangunan rumah otomatis oleh teknologi tinggi.
Jadi, di dekat gerbang, ada sebuah tombol merah yang akan ditekan oleh salah
satu penjaga kastil. Jika tombol merah itu ditekan, maka muncullah sebuah rumah
yang besar dari dalam tanah. Maksudku, tidak mungkin “keluar” dari dalam
“tanah” yang sebenarnya. Akan ada sebuah pintu besi horizontal di dalam tanah
setinggi beberapa inchi. Lalu pintu besi itu akan terbuka dan memunculkan rumah
dari dalam tanah dalam keadaan bersih. Percaya padaku, tanah yang menjatuhi
rumah itu sama sekali tidak penting! Itu dikarenakan mereka akan segera
dibersihkan oleh vampire-vampire pembantu.
“Siapa
yang mengejarmu tadi?” suara Ibuku terdengar dari belakang. Oke, baiklah.
Kamera pengintai dari bagian luar kastil telah berhasil menangkap lelaki tua
itu. Aku mendesah pelan, membalikkan tubuhku ke belakang untuk melihat Ibu. Aku
tercengang. Wow! Ibuku tidak pernah berdandan modern seperti ini. Ia memakai
jubah vampire hitam yang ia pakai, namun kali ini ia memakai celana legging
hitam panjang dengan bots kulit cokelat panjang selutut dan atasannya ..ia
seperti memakai blazer. Blazer zaman dulu. Aku tertawa. Manusia mana yang
merasuki Ibuku hingga berubah gaya berpakaiannya seperti ini? Oh, aku tahu. Dia
ingin pergi bersama dengan Phillip, orang kepercayaan Ibuku selama
beratus-ratus tahun. Bisa kubilang, Ibuku menyukai lelaki ini. Dan sekarang,
Phillip berada di belakangnya.
“Aku
tidak tahu, vampire?” aku balik bertanya padanya.
Aku
mendesah lalu ia terkekeh. “Tidak penting, yang penting sekarang kau telah
berada di rumah dengan selamat. Ibu harus pergi bersama dengan Phillip pagi ini
untuk mencari makanan buat para pelayan,” ujar Ibuku mengelus pundakku lalu ia
membalikkan tubuhnya lalu meraih tangan Phillip untuk pergi keluar dari kastil.
Oke, setidaknya Ibuku tidak mempertanyakan tentang Justin. Karena nanti sore
aku harus mencari Justin! Louis, aku butuh—tidak! Aku tidak butuh Louis, ia
sudah tahu Ibuku membenci Kerajaan Kidrauhl. Aku harus bertemu dengan Justin,
oh, aku tahu pasti ini akan menjadi sangat memalukan. Di kampus tadi ..sungguh,
sial. Aku sekarang merasa murahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar