Jumat, 02 Agustus 2013

Fight for Love Bab 9 - End


***

*Author POV*

            Justin dan Beep sedang berjalan-jalan di sekitar taman yang pernah mereka datangi sebelumnya. Kali ini Justin menyukai taman. Ia mulai terbiasa dengan taman sejak Beep selalu membujuknya untuk pergi ke taman. Meski sesekali ia mendengus kesal jika Beep memaksanya untuk pergi ke taman. Tapi setidaknya, sekarang ia menyukai taman. Kehidupan Beep tampak lebih baik sekarang setelah ia melepaskan segala kebohongannya. Hidupnya sepuluh kali lebih bahagia sebelum ia melepaskan kebohongannya. Terlebih lagi, Justin dan dirinya akan segera menikah beberapa bulan lagi. Semuanya tampak sempurna. Justin merangkul Beep dengan mesra, tangannya berada di pinggang Beep dan sesekali ia meremasnya. Sudah selama seminggu lebih ini mereka hidup dengan kesenangan dan kebahagiaan yang melimpah. Seakan-akan Justin dan Beep tidak ada habis-habis untuk mencintai satu sama lain. Senyuman mereka dan kelembutan dari suara mereka selalu meliputi rumah.
            Rencananya, Justin dan Beep akan tinggal di New York. Di rumahnya yang dulu. Di rumah Theo. Namun mereka akan melangsungkan pernikahan mereka di Los Angeles. Beep meminta Justin untuk tidak membuat pernikahan mereka begitu meriah karena dia tidak begitu menginginkan pernikahan yang meriah. Sederhana lebih baik.
            “Taylor Christina Bieber. Apa kau bisa membayangkan itu? Karena aku masih belum percaya kalau namaku akan segera berubah,”
            “Well, aku pernah membayangkan bagaimana nanti jika kau menjadi istriku. Lalu kau hamil. Lalu perutmu akan membesar dan kau akan susah jalan,”
            “Lalu kau tidak akan menyukaiku lagi karena aku gemuk,”
            “Tentu saja tidak,”
            “Sebentar lagi aku akan berjanji pada Tuhan untuk mencintaimu dan mendampingimu dalam keadaan apa pun,”
            “Kau yakin?”
            “Mengapa tidak? Aku selalu yakin akan apa pun yang kuperbuat, kau tahu. Aku tidak pernah menjawab sesuatu dengan ragu,”
            “Menurutmu, jika nanti kita memiliki anak perempuan, dia akan menjadi siapa?”
            “Akan menjadi aku,” ujar Justin yang membuat Beep bingung.
            “Mengapa seperti itu?”
            “Kau tahu, karena aku cerdas, pintar bermain basket dan melakukan sesuatu tanpa ragu,” jelas Justin, lalu kepala Beep terjatuh pada pundak Justin. Mereka kemudian terduduk di atas kursi berwarna hitam dan menatapi danau yang berada di tengah-tengah taman dengan angsa cokelat yang berenang di atasnya.
            “Aku kurang yakin. Aku tidak ingin anak perempuan kita nanti menjadi gadis yang tomboy,”
            “Hey, itu bagus. Aku akan membawanya untuk olahraga kung-fu atau sejenisnya. Dia bisa menjaga dirinya sendiri. Baiklah. Dia akan cantik sama sepertimu dan pintar bermain piano. Sekarang bicarakan tentang anak lelakinya,” ujar Justin merasa begitu tertarik.
            “Baiklah, ia akan setampan dirimu. Pintar seperti dirimu. Dan pintar bermain piano seperti Theo,”
            “Mengapa kau membawa Theo?”
            “Hey, darah Theo juga mengalir dalam dirimu juga, kau tahu,” ujar Beep mengangkat kepalanya dari bahu Justin. Mata Beep mulai menatap Justin dari samping. Ternyata Justin memang masih saja terlihat tampan dari samping. Hidungnya terpahat dengan indah. Bibirnya terlihat begitu menggoda. Dan rambut cokelat keemasannya mengkilap begitu cantik. Entah mengapa, Beep merasa iri dengan lelaki ini. Lelaki ini bahkan bisa dikatakan lebih cantik dibanding dirinya.
            “Apa?” tanya Justin menoleh pada Beep yang mengamat-amatinya. Beep menggelengkan kepalanya dan terkekeh.
            “Kau tahu, kau bisa menjadi perempuan,” Justin terkejut dengan ucapan Beep.
            “Ya, kau memiliki bulu mata yang lentik dan rambut yang sebenarnya aku iri dengan rambutmu yang terasa begitu lembut jika dipegang. Kau jelas bisa menjadi perempuan,”
            “Oh dan kau merasa selama ini kau berjalan dengan seorang gadis?”
            “Tentu saja tidak! Kau tampan. Maksudku, kau bisa menjadi perempuan. Tapi aku masih menginginkanmu menjadi seorang lelaki. Aku tidak akan pernah menikah denganmu jika kau menjadi perempuan,”
            “Aku bingung mengapa aku mencintaimu. Kau aneh,” Justin menggelengkan kepalanya dan terkekeh.
****

            Justin dan Beep meninggalkan kampus mereka. Meski Beep masih membutuhkan kampus mereka. Tapi Beep dapat melanjutkannya di masa depan lagi. Justin tentu saja telah mendapatkan pekerjaan dari ayahnya. Ya, ayah Justin pemilik hotel di New York dan Justin menjadi seorang manajer di sana. Cita-cita yang Justin harapkan telah terjadi dan Justin meninggalkannya karena ia berpikir, pekerjaan yang ia dapatkan sebelumnya belum tentu akan bertahan sampai kelak ia tua nanti. Menjadi seorang manajer di sebuah hotel adalah sebuah pengalaman baru bagi Justin. Untunglah semasa kecil hingga remajanya ia dan Theo selalu diajak oleh ayahnya untuk pergi ke hotel dan mengajar Justin dan Theo tentang perhotelan. Setelah perdebatan Justin dan ayahnya tentang tanggal pernikahan mereka, akhirnya 4 bulan ke depan Justin akan melangsung pernikahan mereka. Di rumah Justin dan Theo. Theo akan menjadi kenangan terindah bagi Beep dan Justin. Segala sesuatu yang pernah dihadapi akan memberi pelajaran berharga yang akan didapat. Segala yang pernah Beep lewati, ia telah mendapatkan pelajaran baik dan buruknya suatu masalah.
            Tinggal dua minggu lagi menjelang pernikahan Beep dan Justin, Beep tampak gugup dan selalu menghafalkan ucapan janji pada Tuhan. Tapi sebenarnya, ia tidak perlu menghafalkannya. Ia sudah tahu apa yang harus ia katakan di altar nanti. Berhadapan dengan Justin dan ia akan menangis. Akhirnya ia telah mendapatkan lelaki yang ia inginkan. Lelaki yang ia cintai. Namun, ia akan melangkah ke sebuah jenjang yang lebih tinggi lagi. Ia akan menjalani kehidupan bersama Justin dan ia tidak dapat berharap sesuatu lagi pada ayahnya. Ia sepenuhnya milik Justin. Saat nanti ia akan berjalan dengan ayahnya menuju altar, lalu tangannya diberikan pada Justin, saat itu juga ayahnya telah memberikan dirinya pada Justin.
            Beep menarik nafasnya saat ia melihat ke sekeliling lapangan basket yang sekarang sudah didekorasi sedemikian indahnya. Bernuansa putih dan ungu. Justin menyukai warna ungu. Sebenarnya, Beep menyukai warna merah muda, namun tidak mungkin nuansa pernikahannya menjadi Hello Kitty yang lucu. Itu benar-benar tidak lucu. Kedua tangan Beep berada di pinggangnya lalu ia menarik nafasnya kembali. Justin keluar dari ruang keluarga dan melihat Beep yang melihat pada tukang-tukang dekorasi sedang bolak-balik membawa peralatan untuk persiapan pernikahan. Tangannya Justin terulur dari belakang dan memeluk Beep dari belakang. Beep tidak terkejut, ia tahu Justin yang memeluknya.
            “Kau menyukainya?” tanya Justin menempatkan dagunya di atas bahu Beep.
            “Apa kau menyukainya?”
            “Tentu saja. Warna kesukaanku!”
            “Aku menyukainya juga. Terlihat romantis,” bisik Beep mengagumi.
            And I will always love you. Suara Justin terdengar di telinga Beep. Beep tertawa lepas saat Justin menyanyikan lagu Whitney Houston dengan suaranya yang berat itu. Justin ikut tertawa dan ia mencium leher Beep yang terbuka baginya.
            “Kau pikir itu lucu?”
            “Oh, Mr. Bieber. Kau tidak tahu seberapa lucunya itu bagiku,”
            “Kau ingin aku menyanyikan lagu apa? Kau ingin aku menyanyikan lagu Want You Back dari Cher Llyod?” tanya Justin menggoda Beep saat lengan Justin semakin memeluk Beep lebih erat lagi hingga tubuh mereka benar-benar menempel. Beep tertawa terbahak saat Justin menyanyikan lagu itu tepat di telinga Beep dengan suaranya yang dibuat-buat cempreng.
            I want you, want you back!
            “Berhenti!” teriak Beep merasakan sesuatu yang menonjol di bawah sana. Apa-apaan Justin terangsang di saat-saat seperti ini. Beep membalikan tubuhnya dan melepaskan pegangan tangan Justin dari pinggangnya. Namun tangan Justin langsung menarik pinggang Beep kembali. Tukang-tukang yang sibuk keluar masuk dari rumah Justin menuju lapangan basketnya tampak cemburu melihat pemandangan yang mereka lihat. Bisa-bisanya mereka bermesraan di siang hari yang memang tidak panas, tapi melihat mereka bermesraan membuat para tukang-tukang tampak kepanasan. Apalagi Beep adalah seorang gadis yang benar-benar seksi.  Salah satu tangan Beep memegang leher Justin sedangkan tangannya yang lain bermain pada rambut Justin yang memanjang. Rambut Justin sudah tidak bergaya Mohawk, ia memiliki hairflip yang benar-benar cocok untuknya.
            “Kau mirip Taylor Swift, aku pernah bertemu dengannya,”
            “Kau pernah?”
            “Yeah. Dia menjadi bintang tamu di Lakers Game satu tahun yang lalu. Kau percaya itu?”
            “Mmm hmm,” gumam Beep ragu. “Jadi, aku mirip dengan Taylor Swift?”
            “Well, kau tidak pirang,” ujar Justin mengelus kepala Beep dengan lembut.Beep tertawa dan menggelengkan kepalanya.
            “Aku tidak percaya aku akan memiliki suami sepertimu,”
            “Mengapa?”
            “Kau aneh,”
            “Well, kau juga. Kita akan menjadi keluarga, Mrs.Weirdo!” ujar Justin mengecup bibir Beep dengan cepat. “Oh, kita akan membangun sebuah keluarga baru. Tak sabar untuk memiliki seutuhnya,” bisik Justin memeluk Beep dengan erat. Beep hanya menganggukan kepalanya dan menghirup wangi dari tunangannya yang sangat ia sayangi. Sebentar lagi, bisik Beep dalam hati.

***

            “Oh sial! Taylor! Taylor!” Justin mengerang di atas tubuh Beep saat ia sampai pada pelepasannya. Kali ini, Justin tidak memakai kondom dan tidak akan ada hari-hari yang akan menutup kemungkinan untuk mereka melakukan hubungan badan mereka. Pagi tadi mereka baru saja mengucap janji mereka untuk hidup semati bersama-sama sampai mau memisahkan mereka pada Tuhan. Cincin juga telah melingkar di sekitar jari manis mereka. Mereka benar-benar terlihat bahagia, begitu juga dengan sahabat-sahabat mereka. Setelah mereka terbang dari Los Angeles menuju New York, Justin tidak sabaran untuk berhubungan badan dengan Taylor. Padahal Taylor masih merasa begitu lelah, namun Justin. Entahlah, dia terlihat begitu bersemangat selama seharian penuh.
            Nama Taylor telah berubah menjadi Taylor Christina Bieber. Justin berteriak-teriak seperti orang gila di sepanjang pesta pernikahan mereka, memamerkan Taylor kebanyak orang dan memberitahu pada orang-orang bahwa Taylor adalah istrinya. Istri seksinya. Pemain basket tim Lakers juga datang ke pesta pernikahan mereka, membuat Taylor cukup bangga dapat melihat Kobe Bryant secara langsung. Tinggi dan besar, sangat tidak mudah dipercaya.
            Sekarang mereka berakhir di atas tempat tidur dengan nafas yang tidak beraturan. Akhirnya. Justin telah menyimpang benih-benihnya ke dalam tubuh Beep dan menyimpannya di sana hingga berbuah menjadi janin. Tentu saja Beep akan hamil. Kalau perlu, secepatnya!
            “Akhirnya,” bisik Justin menjatuhkan tubuhnya di samping tubuh Beep yang benar-benar tanpa busana itu. Justin langsung menarik selimutnya hingga menutupi tubuh mereka berdua, “Akhirnya,” gumam Justin lagi. Beep merasa bingung dengan ucapan Justin yang benar-benar aneh.
            “Akhirnya apa?”
            “Akhrinya spermaku berada di dalam tubuhmu,” ujar Justin. Beep terdiam. Ia tidak perlu memberitahu Justin tentang pemerkosaan Justin terakhir kali itu. Saat Justin tidak memakai kondomnya dan itu cukup membuat Beep ketakutan jika ia hamil. Tapi ia tidak ingin menyinggung masalah itu. Itu telah berlalu dan Justin memang tidak pernah menyakitinya lagi.
            “Mengapa?”
            “Aku tidak sabar untuk memiliki anak. Oh astaga, benar-benar tidak sabar,” ujar Justin lagi dengan gemas. Nafasnya mulai teratur dan Justin menempatkan kepalanya pada tangannya yang bersandar di siku-sikunya, di atas tempat tidur. Ia memiringkan tubuhnya untuk melihat kembali istrinya yang cantik itu sudah berkeringat. Begitu cantik dan benar seksi. Tubuh Justin juga telah berkeringat.

*Justin Bieber POV*
           
            Woohoo! Akhirnya. Setelah aku menunggu lama sekali untuk menyalurkan spermaku ke dalam tubuhnya, akhir mereka telah tenang di dalam sana. Aku hanya tinggal menunggu Beep mual-mual atau tubuhnya tak merasa enak badan lalu kami akan pergi ke dokter dan memeriksanya ..akhir dari cerita, Beep hamil! Itu adalah keinginanku sekarang. Ingin memiliki keturunan dari Beep. Oh, sungguh, aku tidak sabar sekali untuk memiliki anak. Dan aku berharap jika ia adalah anak lelaki yang pertama lahir. Karena jika dia memiliki adik, ia akan menjaga adiknya sebaik mungkin.
            Beep menatapku dengan tatapan bingung tadi. Oh, sebentar lagi tubuhnya akan membesar. Aku tidak peduli jika ia gemuk. Ia akan menjadi gadis terseksi dan ibu terseksi bagiku. Beep tampak begitu perhatian sepanjang pesta pernikahan. Ia benar-benar mengontrol diriku. Jika Beep tidak menegurku untuk tidak meminum banyak alkohol, mungkin malam ini aku dan dirinya tidak akan berhubungan badan. Ia benar-benar gadis yang kuinginkan. Sama seperti Theo menginginkannya. Pantas Theo menginginkan gadis ini. Ia sebenarnya gadis yang baik, itu hanya cara pandang kita saja. Dan hey! Ternyata Caitlin dan Zayn berpacaran. Sial, Zayn akan menjadi lelaki pertama yang akan mendapatkan keperawanan Caitlin. Sungguh hebat. Tapi mereka juga adalah pasangan yang cocok, jika kubilang. Well, kurasa Caitlin bisa merubah kebiasaan buruk Zayn. Sama seperti Beep yang dapat merubah kebiasaan burukku. Seperti bermain dengan banyak wanita, meminum alkohol, yah, semacamnya. Tapi aku bangga karena aku telah mendapatkan gadis ini.
            Gadis yang sekarang sedang berbaring di sebelahku. Sepenuhnya telanjang, sangat cantik dan seksi. Aku menarik wajahnya dan mengecupnya berkali-kali lalu memainkan lidahku di dalam mulutnya. Memutar-mutar dan menggodanya. Ia mengerang pelan dan mendesah.
            “Kau tahu, aku ingin memiliki anak darimu,”
            “Oh Justin. Kau telah mengatakan itu seperti seribu kali. Tapi serius, aku tahu,” ia mengeluh dan menggelengakan kepalanya. Aku tertawa dan kembali mengecup bibirnya.
            “Semoga kita memiliki anak yang kembar,” bisiknya yang membuat jantungku seakan-akan berhenti berdetak. Namun aku tidak melanjutkan aksiku. Aku tidak ingin merusak momen ini hanya karena aku bertanya, mengapa. Aku tidak ingin mengetahui alasannya. Kembali aku menindih tubuhnya dan kembali memasukan ereksiku ke dalam tubuhnya. Gila, dia sudah basah, lagi.
            “Sial!” erangku tak tahan.

***

*Taylor Bieber POV* 

            Di awal-awal pernikahan, aku bisa melihat sisi yang baik. Sudah lebih dari tiga minggu aku bangun pagi untuk membuatkan Justin sarapan dan merapikan rumah bersama dengan pelayan-pelayan yang lain. Bahkan aku biasanya membersihkan kolam renang. Karena biasanya banyak binatang seperti laba-laba  berada di atas air. Aku menggigil saat aku menyaringnya untuk mengambil laba-laba itu. Oh, aku benci laba-laba, seperti selamanya. Dan Justin tiap hari selalu membicarkan anak, anak, dan anak. Dan kau tahu apa? Tadi pagi aku melihat pada alat tes kehamilanku kalau aku hamil. Well, memang. Akhir-akhir ini aku tampak tidak enak badan. Aku mual-mual tak jelas dan sering buang air kecil. Sama seperti sekarang ini. Sore ini Justin belum pulang dari hotelnya. Biasanya sudah jam 4 sore dia akan pulang, tapi sekarang sudah jam 5 sore. Ia belum pulang juga.
            Tak sabar sekali aku ingin memberitahu padanya kalau aku hamil. Meski aku juga ragu. Namun, aku telah memeriksanya dua kali dengan alat tes kehamilan yang berbeda dan hasilnya sama. Positif. Aku benar-benar hamil. Kucelupkan kakiku ke dalam air kolam renang dan melihat pada taman yang terlihat dari sini. Taman rumah ini seperti lapangan yang benar-benar besar. Mungkin jika kau ingin bermain golf di sini, bisa. Membayangkan anak-anakku dan Justin berlari-lari dengan riang gembira saat Justin nanti mengejarnya. Lalu tertawa-tawa. Betapa menyenangkannya itu.
            “Hey,” aku terkejut, benar-benar terkejut saat Justin tiba-tiba saja muncul dari belakang dan langsung memeluk tubuhku. Dagunya berada di bahuku sekarang, ia terduduk di belakangku dan mencelupkan juga kakinya ke dalam kolam renang. Ia telah berganti pakaian. Berarti dia telah datang beberapa menit yang lalu. Sial, aku tidak mendengarnya.
            “Hai, kau sudah pulang. Aku tidak mendengarnya,”
            “Aku ingin mengejutkanmu. Tebak aku bawa apa?” tanya Justin yang langsung mengubah topik pembicaraan. Aku berbalik untuk melihat wajahnya. Kau tahu, Justin telah memiliki sedikit kumis. Sungguh lucu dan menurutku ia terlihat lebih jantan. Aku menggelengkan kepalaku, tidak tahu.
            “Apa yang kaubawa?”
            “Kau harus menebaknya,”
            “Sebuah kalung?” aku menebak-nebak. Karena tadi pagi ia memberitahuku kalau ia ingin memberikanku sebuah kalung. Well, siapa tahu ia membelinya sekarang.
            “Sial, kau hebat!” ujar Justin yang membuatku tertawa lalu ia mengeluarkan sebuah cincin dari kantong celananya. Dua liontin berbentuk huruf TJ yang benar-benar terlihat. Taylor, Justin. Sempurna. Aku menyukainya. Lalu Justin memakaikannya padaku.
            “Aku juga memiliki sesuatu untukmu,”
            “Oh, aku harap itu akan besar!”
            “Well, memang. Memang besar,” aku menggodanya. Tanganku mulai berada di dalam kantong celana pendek yang kupakai. Aku menatap Justin yang melihat pada tanganku.
            “Apa? Apa yang kaubawa?” kali ini ia benar-benar penasaran.
            “Kau harus menebaknya,” godaku padanya. Ia mendesah pelan.
            “Oh, Beep. Beritahu aku!” ia memaksaku. Aku menyerah dan mengeluarkan alat tes kehamilanku dari kantong celana dan memperlihatkannya pada Justin. Mata Justin langsung melebar saat ia melihat tes kehamilan yang kuperlihatkan padanya. Matanya berkaca-kaca. Oh, Justin. Apa dia serius? Dia menangis.
            “Apa ini benar-benar terjadi?”
            “Ya,”
            “Sial, Beep. Aku mencintaimu.” Tangisnya melempar alat tes kehamilan dari tanganku dan menarik wajahku lalu mengecupnya dengan lembut. “Akhirnya,” bisiknya lagi.
            “Ya, akhirnya,” aku melepaskan ciuman ini lalu Justin mendorongku ke dalam kolam hingga kami berdua tercebur ke dalamnya.
            “Akhirnya aku memiliki anak!” teriaknya dengan gembira lalu menyelam ke dalam air kolam beberapa saat dan muncul. Ia tersenyum penuh dengan kebahagiaan. Aku tahu mengapa Justin melakukan ini. Ia tidak ingin terlihat menangis. Padahal ia menangis. Sungguh, aku tahu ia terharu karena aku hamil. Ini memang impiannya. Impiannya ingin memiliki seorang anak. Bahkan ia memiliki anak yang begitu banyak. Lalu ia menarik pinggangku dan mengecup bibirku lagi.
            “Aku akan menjadi seorang ayah,” bisiknya, terisak.
            “Oh Justin. Kau akan menjadi ayah yang hebat,”
            “Aku tahu itu,” bisiknya percaya diri. Aku tertawa. Justin benar-benar bahagia. “Seorang bayi berada di dalam perutmu sekarang, sayang.”

***

            “Whop!” aku terkejut saat bayiku menendang perutku dan aku meringis. Cukup sakit saat bayiku menendang perutku. Justin berada di belakangku dan memegang perutku dengan senyum puas terdengar di telingaku. Kebahagiaan ini benar-benar lebih dari yang kukira. Fakta bahwa aku telah benar-benar diterima di dunia ini sungguh terjadi. Memiliki suami yang manis, tampan dan memiliki pekerjaan yang mapan. Terlebih lagi aku akan memiliki anak hasil dariku dan Justin. Kehidupan seperti ini adalah kehidupan yang sungguh kuimpikan. Yah, meski selama lima bulan lebih ini Justin memberikan perhatian yang lebih daripada seharusnya membuatku cukup kesal, tapi ia melakukan itu untukku dan bayi yang berada di dalam perutku. Ia tidak pernah absen dari jadwal ke dokter kandungan tiap minggunya. Sebenarnya dua minggu dua kali. Sampai-sampai Dr.Cowell bingung karena ia berpikir, siapa yang sebenarnya hamil? Justin atau aku? Karena tiap kali selesai pemeriksaan, selalu saja Justin yang bertanya. Well, anakku dan Justin ternyata seorang bayi lelaki. Baru saja kemarin kami mengambil hasilnya. Gambarnya benar-benar lucu. Tapi Justin tidak begitu yakin apa anak kami lelaki atau perempuan, ia hanya bisa berharap anak pertamanya adalah lelaki. Aku juga.
            Tiap harinya Justin selalu tersenyum, well, tidak setiap hari. Ia kadang marah jika aku tidak menuruti keinginannya. Dan yah, aku bukanlah tipe gadis yang menyukai dunia luar. Aku anak rumahan yang suka membersihkan rumah. Sudah berkali-kali Justin memaksaku untuk pergi keluar bersamanya. Aku mau-mau saja jika ia mengajakku ke sebuah taman atau tempat-tempat yang tenang. Masalahnya, Justin selalu ingin membawaku ke sebuah Bar! Apa-apaan! Seharusnya ia sedikit berpikir dengan keadaanku yang sekarang sudah berbadan dua.
            “Apa dia sehat di dalam sana?”
            “Oh, dia bernyanyi,” ujarku melingkarkan satu tanganku ke belakang leher Justin dan bersandar pada dadanya. Kudengar ia tersenyum dan lalu ia mendengus.
            “Kau ingin menamainya siapa?” tanya Justin yang membuatku tersentak. Well, jika anak ini lelaki, aku sangat yakin ia akan mirip dengan Justin. Hidung yang mancung, bibir yang menggiurkan dan rambut cokelat keemasan. Dan Justin adalah Theo. Seperti dulu ia memakai lensa kontak mata yang berwarna abu-abu. Ia adalah Theo.
            “Theodore Bieber,”
            “Mengapa?”
            “Theo adalah dirimu. Bayi ini akan menjadi dirimu. Aku tahu,”
            “Nama yang bagus,” bisik Justin mengecup pipiku. “Tapi aku lebih memilih Dravin,”
            “Mengapa?”
            “Entahlah, aku senang menyebutnya. Dravy atau Drave,”
            “Drave. Ya, itu bagus,” aku menganggukan kepalaku, kali ini mataku menatap pada lapangan basket masa kecil Justin. Ya, Justin telah menceritakan kenangan-kenangan masa kecilnya dengan Theo. Lapangan basket ini adalah hadiah ulang tahun dari orang tuanya. Hadiah yang begitu indah. Bisa kubilang seperti itu. Bahkan sampai sekarang masih terlihat seperti baru. Well, terduduk di atas lapangan basket dengan bantalan di bawah bokong ternyata menyenangkan. Bersandar di atas dada suami tercinta adalah nilai tambah. “Theodore Dravin Bieber, kau setuju?”
            “Theodore Dravin Bieber,” bisik Justin di telingaku. “Drave,” lanjutnya mengecup keningku. Berada di sebelahnya membuatku begitu tenang.
            “Aku heran denganmu,”
            “Heran? Mengapa?” tanyaku bingung. Maksudku, mengapa ia yang heran? Seharusnya aku. Selama lima bulan berjalan kehamilanku, semuanya tampak Justin yang hamil. Bukan aku. Dia terlalu overprotectif sehingga ia terlalu sibuk untuk mengurusi diriku dibanding dirinya. Ingin sekali aku tertawa saat masa-masa awal kehamilanku Justin belajar membuat susu hamil. Well, setidaknya ia melakukan hal yang baik. Rasa susu yang ia buat lumayan. Meski diam-diam aku harus memuntahkannya saat Justin harus menyusun peralatan yang baru saja ia keluarkan untuk membuat susu. Bahkan biasanya dapur selalu kotor karenanya. Well, itu dulu. Sekarang susu buatannya sungguh nikmat.
            “Kau hamil, tapi tubuhmu masih saja mungil. Apa tidak berat membawa si kecil di dalam perutmu?” tangan Justin mulai menjamah perutku dan mengelusnya. Aw! Sial. Bayi kami menendang perutku lagi dan aku tertawa-meringis secara bersamaan. Tiap kali perutku tertendang, nafas Justin selalu tercekat. Padahal aku tertawa. Seperti yang kubilang dari awal, dia overprotectif. Jika ia tidak ingin terlihat overprotectif, Justin biasanya mendengus dan mengelus hidungnya, sehingga mungkin itu dapat membuat aku berpikir hidung Justin gatal. Padahal tidak. Aku tahu Justin. Dia tidak berbohong padaku.
            “Well, sebenarnya, tidak juga. Hanya saja—“
            “Hanya saja apa?”
            “Hanya saja saat aku menaiki tangga, kakiku rasanya ingin patah,” setelah aku berbisik, aku bangkit dari dadanya. Dengan perhatian Justin memegang kedua bahuku untuk membantuku berdiri. Kupegang perut bawahku agar aku tidak begitu bungkuk, lalu akhirnya aku berdiri. Tersenyum puas dari atas, Justin dari bawah menggelengkan kepalanya seakan-akan tidak percaya kalau aku akan sebesar ini.
            “Dari bawah sini kau terlihat begitu menakjubkan,”
            “Oh, benarkah?”
            “Kau tidak tahu seberapa aku menyukai ibu hamil,” aku terkejut saat ia mengucapkan kata-kata. Maksudku, itu sangat lucu sekali. Ia menyukai ibu hamil? Aku membayangkan bagaimana jika ia sedang pergi ke sebuah Mall dan ia berhenti di tempat sebuah latihan ibu hamil lalu ia mengaguminya dari jarak jauh. Seberapa lucu itu benar-benar tidak bisa membuatku tertawa karena perutku mungkin akan sakit karena aku tertawa terbahak-bahak. Aku terkekeh.
            “Kau menyukai ibu hamil?” tanyaku tak percaya. Justin bangkit dari lantai lapangan dan membersihkan celananya hingga bersih. Ia mengangguk dan tersenyum. Oh, sial. Dia tampak begitu tampan dengan janggut yang samar dan kumis yang samar-samar juga di wajahnya. Tapi aku tidak ingin melihatnya seperti ini saat aku melahirkan. Jika ia menangis namun janggut yang ia miliki tidak dicukur olehnya, tangisan dari rambut-rambutnya akan menetes-netes pada wajahku. Well, setidaknya, itu adalah bayangan yang konyol dan itu tidak mungkin terjadi.
            “Mengapa?” aku benar-benar penasaran. Sambil merangkulku, kami berjalan untuk keluar dari lapangan.
            “Mmm, mereka tampak kuat. Dulu aku ingin sekali melihat ibuku melahirkan lagi, namun jantungnya tidak cukup untuk mempertahankan janin lagi sehingga sejak kelahiranku dan Theo, ibuku mengangkat rahimnya,” ujarnya menjelaskan, “Mereka memiliki perut yang besar dan itu lucu. Lalu saat umur kehamilannya menginjak delapan bulan, mereka akan berjalan lebih tegap. Maksudku, bahkan kelewat tegap. Memegang pinggang mereka dari belakang. Melihat seberapa susahnya mereka mengambil barang yang jatuh. Gerakannya akan melambat, itu semua sungguh menakjubkan,” jelas Justin yang membuatku tertawa kecil. Perut yang besar, berdiri kelewat tegap, mengambil barang yang jatuh, gerakan yang lambat. Apa sih yang sedang ia bicarakan? Dia sungguh aneh. Baiklah. Aku dan Justin aneh, lebih tepatnya.
            “Tapi dari semua ibu hamil yang pernah kutemui, kau yang tercantik,” bisiknya mencium pipiku.
            “Benarkah?”
            “Well, tidak juga. Saat Kate Middleton hamil, dia sungguh cantik,” ujar Justin yang membuatku sedikit cemberut. Apa-apaan. Kupikir aku adalah wanita tercantik baginya. Aku terdiam dan menghelakan nafasku dengan malas. Hening saat melewati kolam renang dan lalu Justin tertawa.
            “Wowowo,” kami berhenti berjalan, “Kau menganggap tadi adalah ucapan yang serius sayang?” tanya Justin memegang kedua bahuku dan menatap mataku dalam. Kulipat bibirku dan menganggukan kepala.
            “Maksudku, cara bicaramu benar-benar serius,” bisikku dengan suara yang kecil.
            “Oh, sayang, kau yang tercantik bagiku. Mengerti? Sekali pun Kate Middleton ada di hadapanku, aku masih mencintaimu. Dia memang cantik, tapi kau yang tercantik,” bisik Justin mengelus pipiku dengan lembut, “Kau tahu itu bukan?” tanya Justin. Kuanggukan kepalaku.
            “Peluk aku,” ia merentangkan tangannya. Kutarik nafasku lalu memeluknya dengan erat tanpa menyakiti si kecil. “Aku mencintaimu dan anak kita,”
            “Aku tahu, aku juga mencintaimu. Kau tahu itu,”
            “Aku selalu mengetahui itu,”
            “Aku milikmu, kau tahu itu bukan?”
            “Aku tahu, sayang. Aku tahu,” ia tertawa dan meraih daguku ke atas hingga bibir kami bertemu.

***

*Author POV*

            Pertengkaran kecil selalu saja meliputi mereka tiap harinya. Bukan Beep yang selalu mencari masalah, tapi Justin yang selalu mencari masalah pada Beep. Beep sudah berusaha menjadi ibu rumah tangga yang baik, namun Justin membuatnya tambah rumit. Pagi ini mereka tidak saling menyapa, seharusnya sekarang Justin membawa Beep ke rumah sakit untuk mengecek kira-kira kapan Beep akan melahirkan. Namun pagi ini Justin tidak ingin membawa Beep pergi ke rumah sakit. Ya, ini adalah bulan yang kesembilan Beep telah mengandung. Perutku semakin besar dan tubuhnya kali ini lebih besar dibanding bulan-bulan sebelumnya. Justin tampak seperti anak kecil. Tadi malam ia marah besar pada Beep hanya karena Beep ingin mencuci piring setelah makan malam. Padahal hanya cuci piring. Namun, Justin takut jika Beep harus mencuci piring dan tiba-tiba saja ia keguguran. Tentu saja itu tidak terjadi. Beep tertidur di kamar bawah dan Justin tidur di kamar atas. Sebenarnya, malam itu Justin ingin mencukur janggut dan kumisnya untuk diperlihatkan pada Beep, hanya karena insiden kecil itu Justin tidak jadi melakukannya.
            Beep terduduk di atas sofa ruang keluarga dan menyalakan televisi. Mencari-cari acara yang bagus untuk ditonton. Untunglah Caitlin sedang berada di perjalanan menuju rumahnya. Sehingga rasa kesepiannya akan berkurang. Kabarnya Caitlin dan Zayn telah tunangan. Setelah Caitlin lulus nanti, Zayn dan dirinya akan menikah. Bahkan Zayn ikut juga hari ini untuk berkunjung ke rumah Justin dan Beep. Mencari-cari acara televisi yang bagus, Beep merasa bosan. Kemudian acara televisinya berhenti di acara music. Ia mendengarkan lagu melankolis pertama, mencoba untuk mengerti apa yang dimaksud. Tapi tidak bisa. Ia berpikir pada Justin.
            Tangannya meraih pada ponsel yang ia taruh di atas meja ruang keluarga, menyalakannya lalu mencari nomor telepon Justin. Didekatkannya ponsel itu pada telinganya sendiri. Menunggu, menunggu, menunggu.
            “Ya,” akhirnya. Jika Beep tidak hamil, ia akan sujud syukur akhirnya Justin ingin berbicara.
            “Aku pikir kita akan ke rumah sakit untuk memeriksa kandungan,”
            “Aku sibuk,” bisik Justin yang membuat Beep merasa tersingkirkan sekarang. Beep menarik nafas, mencoba untuk mengerti Justin yang memang sibuk akhir-akhir ini. Tapi sepanjang kehamilannya, Justin tidak pernah mengabaikan kandungan Beep.
            “Baiklah. Jaga dirimu baik-baik. Aku bisa pergi sendiri, mungkin Caitlin sebentar lagi akan datang,” bisik Beep mencoba untuk mengerti. Mengapa rasanya ia tidak dijadikan yang utama bagi Justin lagi? Namun ia tepis segala pikiran buruk yang ingin mencapai pada otaknya. 
            “Ya, itu bagus. Kabari aku jika kau sudah sampai di sana,”
            “Tentu saja,” bisik Beep mematikan ponselnya. Ia mencoba untuk tidak stress. Tidak memikirkan apa yang baru saja ia lewati. Ia tidak ingin tiba-tiba saja ia melahirkan sekarang hanya karena stress. Stress dapat mempercepat kelahiran bayi.
            Beberapa detik ia memejamkan mata, tiba-tiba saja suara pintu utama terbuka. Mata Beep terbuka dan ia dengan perlahan bangkit dari sofa. Perutnya benar-benar sudah besar, tangan kanannya berusaha untuk menekan perutnya ke depan agar ia tidak merasa begitu keberatan membawa bayi yang berada di dalam perutnya. Ia sudah tidak dapat melihat kakinya lagi, bahkan untuk berjalan saja rasanya ia berlari. Berjalan dengan pelan menuju ruang tamu, senyumannya mengembang. Caitlin dan Zayn berdiri dengan koper yang mereka. Caitlin sedang menunduk untuk mengambil hadiah bagi bayi Beep, saat ia mendongak ke atas, mulut Caitlin terbuka tak percaya melihat sahabatnya sekarang telah hamil. Di umurnya yang kedua puluh satu, Beep telah hamil. Dan itu benar-benar di luar pikiran Caitlin. Tubuhnya yang dulunya mungil, sekarang tampak begitu besar karena bayi yang berada di dalam perutnya.
            “Ya Tuhan,” Caitlin kali ini berdiri dengan tegap. Ia berjalan ke arah Beep. Tangannya langsung memegang kedua bahu Beep. Ia menatap wajah Beep dengan baik-baik. Ia masih cantik. Masih tampak begitu muda. Hanya saja tubuh Beep yang sedikit membesar.
            “Kau benar-benar berbeda sekarang, di mana Justin?” tanya Caitlin meremas tangan Beep dengan lembut.
            “Dia sedang bekerja,”
            “Bukankah kau bilang hari ini kau harus pergi ke rumah sakit untuk memeriksa kandunganmu? Ini yang kesembilan bulan bukan?” tanya Caitlin menyentuh perut Beep. Beep menganggukan kepalanya dan tersenyum manis. Entahlah, kedatangan Caitlin benar-benar membuatnya cukup tenang setelah Justin memperlakukannya seperti orang tua yang diabaikan oleh anak remajanya.
            “Well, aku dan dia sedang bertengkar karena masalah kecil,”
            “Tentang?”
            “Aku mencuci piring dan ia takut aku keguguran,”
            “Oh, Justin. Dia manis sekali,” ujar Zayn dari belakang setelah ia mengambil kopernya yang lain di luar. Zayn tertawa melihat Beep yang berubah, namun ia juga senang karena sebentar lagi ia akan menjadi paman. Pasti anak Beep dan Justin akan sangat lucu sekali.
            “Dia benar-benar berlebihan,” bisik Caitlin. “Jam berapa kau harus pergi ke rumah sakit?”  
            “Well, sekarang, sebenarnya. Aku menunggumu. Apa kau keberatan untuk menemaniku?”
            “Tentu saja tidak! Oh, tidak. Kau ingin kita pergi sekarang?” tanya Caitlin benar-benar bersemangat. Padahal Caitlin baru saja turun dari pesawat. Namun ia senang karena ia dapat bertemu dengan Beep, sehingga ia tidak merasa begitu lelah karena penerbangan yang cukup panjang.
            “Tunggu dulu, aku harus mengambil peralatanku sebelum pergi ke sana,”
            “Aku temani!” seru Caitlin membalikan kepalanya dan mengedipkan matanya pada Zayn. Zayn hanya tersenyum senang karena kekasihnya juga senang. Zayn mengambil ponselnya untuk menghubungi Justin.

***

            “Aw!” Beep meringis kesakitan pada saat perjalanan menuju rumah sakit. Ia memegang pinggangnya dan meremasnya penuh dengan kesakitan. Kram yang terjadi pada perutnya sungguh membuatnya kesakitan. Untunglah ia dan Justin sering pergi untuk latihan bernafas ibu hamil saat melahirkan. Caitlin yang berada di sebelah Beep terkejut.
            “Ada apa?”
            “Aku berkontraksi, perutku! Oh, sial,” Beep meremas pakaian yang ia pakai. Baju besarnya benar-benar membantunya. Sekarang ia tahu mengapa ia harus memakai daster panjang seperti ini. Beep melihat ke arah kaki Beep, tidak ada darah namun ada air yang meleleh dari paha Beep menuju kakinya.
            “Ya Tuhan! Apa mobil ini bisa lebih cepat lagi?” tanya Caitlin beteriak pada sopir. Zayn yang terduduk di depan membalikan kepalanya dan melihat pada paha Beep yang telah bercucuran dengan air ketuban yang pecah. Sudah saatnya ia melahirkan.
            “Hubungi Justin, kumohon,” ringis Beep pada Caitlin dan Zayn. Sontak Zayn langsung mengambil ponsel yang ia bawa dan menghubungi Justin secepatnya. Tangannya yang memegang ponsel telah berada di telinga. Beep memejamkan matanya dan membisikan doa kesenangan sekaligus kesakitan yang ia rasa. Ia merasa senang karena ia akan segera melahirkan. Sebentar lagi bayinya akan lahir ke dunia. Namun ia merasakan kesakitan luar biasa pada perutnya yang kram sekarang, memohon pada Tuhan agar rasa sakit ini berkurang secepatnya. Apa pun akan ia lakukan jika rasa kram ini memudar. Dan ia membutuhkan Justin. Jika Justin berada di sebelahnya dan ia memegang tangan Justin, setidaknya rasa takut dan sakitnya akan berkurang. Ia ketakutan jika ia belum dapat mengeluarkan bayi ini dengan normal. Ia tidak ingin melakukan caesar. Tidak.
            “Ya, Justin? Istrimu –“
            “Kenapa istriku?” suara Justin mulai terdengar khawatir di seberang sana.
            “Ia akan segera melahirkan. Kita sedang berada di perjalanan menuju rumah sakit, apa kau tahu di mana rumah sakitnya?”
            “Tentu saja aku tahu bodoh,” Justin berteriak benar-benar khawatir. “Sial, aku akan segera ke sana. Bagaimana keadaannya?”             
            “Bagaimana perasaanmu, Beep?” tanya Zayn pada Beep yang memegang tangan Caitlin dengan kencang. Nafasnya tak beraturan dan ia berusaha untuk bernafas dengan normal.
            “Oh, sakit! Di mana Justin?”
            “Sakit! Ia merasa sakit,”
            “Ak-aku akan segera ke rumah sakit. Pastikan ia baik-baik saja,” ujar Justin menutup ponselnya.

***

*Justin Bieber POV*

            Astaga, Ya Tuhan. Aku tidak percaya kalau hari ini akan menjadi hari dimana istriku akan segera melahirkan. Kuharap ia baik-baik saja. Aku benar-benar menyesalkan degnan apa yang kukatakan kemarin padanya. Aku tidak ingin anakku gugur dari perutnya. Tentu saja tidak. Ia adalah anak pertamaku dan aku harus menjaga Beep sebaik mungkin. Baiklah. Aku memang memberikan perhatian yang berlebihan pada Beep. Wajar jika ia marah kemarin karena aku memaksanya untuk tidak melakukan hal-hal yang berat. Tapi setidaknya itu untuk kebaikan dirinya dan anak kami.
            Dan hari ini aku mengabaikannya. Biasanya aku membangunkannya, bahkan aku tidak satu tempat tidurnya dengannya. Aku sungguh menyesal dengan apa yang kuperbuat padanya. Aku mendesah pelan dan menggelengkan kepalaku tak percaya apa yang telah kulakukan. Ini memang terdengar sangat bodoh. Apalagi saat tadi ia menghubungiku dan aku membiarkannya, aku tidak ingin membawanya ke rumah sakit. Sebenarnya, ia telah merasakan kontraksi beberapa hari yang lalu. Namun dokter bilang bukan harinya ia akan melahirnya. Setelah kejadian itu aku benar-benar ketakutan jika tiba-tiba saja air ketubannya pecah. Bersyukur pada Tuhan karena aku selalu membawanya untuk latihan pernafasan. Bahkan aku juga tahu bagaimana caranya bernafas saat melahirkan ..Sialan! Mengapa mobil ini terasa begitu lambat berjalan? Aku menatap pada sopirku yang menyetirnya seperti lelaki sialan tak tahu diri ini.
            “Apa aku menggajimu untuk membawa mobil selambat ini? Kau tahu apa? Istriku ingin melahirkan, jika aku tidak memegan tangannya satu detik saja, kau yang akan habis. Kautahu itu,” aku mengancamnya. Sontak sopir yang memakai sarung tangan itu langsung membawa mobil ini secepat ini.
            “Aku akan menggajimu dua kali lipat jika kau membawa mobil ini seperti ini terus,” aku memujinya. Mobil ini berlaju dan bertarung dengan pikiranku. Apa Beep telah sampai di rumah sakit? Sudah pasti. Oh sial. Aku belum mencukur janggut dan kumisku. Persetan! Aku tidak peduli. Yang kupentingkan sekarang adalah keberadaanku di sampingnya.
            Mobil ini berhenti tepat di depan pintu rumah sakit. Dengan cepat aku turun dan berlari masuk ke dalam rumah sakit. Banyak sekali orang yang berlalu lalang di rumah sakit ini, termasuk diriku. Namun aku mencari resepsionis untuk mencari istriku.
            “Justin Bieber. Suami Taylor Christina Bieber yang ingin melahirkan. Apa kau tahu?” tanyaku pada petugas resepsionis. Dengan senyum penuh keramahan ia menunjukan jari telunjuknya padaku.
            “Ya, Taylor Christina Bieber atas nama Justin Bieber. Ia telah masuk ke dalam ruang persalinan. Dua lantai dari sini. Setelah Anda keluar dari pintu lift, Anda akan menemukan ruangannya di sebelah kiri,”
            “Terima kasih banyak. Ini, ambillah,” ujarku mengambil beberapa lembar uang dan memberikannya padanya karena rasa terima kasihku yang tak terkira ini. Lalu aku langsung melangkah pergi dari hadapannya dan berjalan menuju lift. Menekan tombol ke atas dan menunggu lift membuat jantungku berdetak lebih kencang daripada biasanya.

*Author POV*

            Justin masuk ke dalam lift saat pintu lift terbuka. Ia langsung menutup pintu lift tanpa membiarkan orang yang berlari-lari ke arah lift ingin masuk. Jantungnya berdegup dengan kencang dan kakinya tidak dapat diam di dalam sana. Menunggu lift ini berhenti di lantai dua rasanya begitu lama sekali. Lalu beberapa detik kemudian, pintunya terbuka dan Justin langsung berlari. Gila! Matanya terbuka lebar saat ia melihat begitu banyak anak-anak yang berlari-larian di lorong lantai dua. Matanya melihat ke atas untuk melihat di mana ruang bersalin. Di sebelah kiri. Setelah itu matanya melihat Caitlin dan Zayn yang terduduk di depan pintu bersalin. Ia berlari ke arah mereka berdua dan melihat pada pintu ruang bersalin. Oh, astaga. Untunglah istrinya belum benar-benar melahirkan.
            “Justin!” seru Caitlin mendongakan kepalanya. “Ia menunggumu di dalam sana,” ujar Caitlin. Sontak Justin langsung membuka pintu ruang bersalin. Seorang suster berkulit hitam melihat ke arah Justin dan mengambil pakaian berwarna hijau untuk Justin agar Justin tetap steril.
            “Kau suaminya? Masuklah ke dalam kamar mandi dan pakailah ini. Dua menit lagi istrimu akan segera melahirkan,” ujar suster kulit hitam itu pada Justin. Ia melihat pada Beep yang terbaring dengan nafas yang tak beraturan di atas tempat tidur. Penuh dengan keringat. Justin ikut berkeringat. Ia tidak ingin kehilangan orang yang ia cintai untuk yang ketiga kalinya. Sudah cukup dua orang yang ia sangat sayangi pergi dari dunia. Justin berjalan pada kamar mandi yang terdapat di dalam ruang bersalin. Ia menutup pintunya dan langsung memakai pakaian hijau yang baru saja diberikan oleh suster kulit hitam itu. Ia melihat pada kaca yang berada di dalam kamar mandi itu. Jantungnya berdegup dengan kencang. Tangannya bergemetar. Ia mengambil nafasnya dalam-dalam.
            “Aku bisa melewati ini. Beep akan berhasil,” gumamnya setelah mengganti pakaiannya. Lalu ia keluar dari kamar mandi dan melihat Beep yang telah berusaha untuk mengeluarkan bayi dari dalam perutnya. Sontak Justin berlari ke arah Beep dan memegang tangannya.
            Beep tersenyum saat kedatangan Justin yang sungguh tepat waktu. Nmaun perutnya benar-benar merasakan kesakitan. Sesuatu sebentar lagi akan keluar dari bawah sana. Dan ia berusaha untuk mengeluarkannya sekarang. Suster yang berada di sebelah Beep, berseberangan dengan Justin terus mengelap keringat Beep yang terus mengucur tiap detiknya.
            “Aku tidak bisa,”
            “Ya, kau bisa sayang,” bisik Justin dengan air mata yang mulai berkumpul di kelopak matanya. Setiap detiknya, ia memohonkan doa pada Tuhan untuk tidak mengambil Beep dari padanya. Justin benar-benar mencintai Beep dan anaknya yang sebentar lagi akan lahir dari perutnya ke dunia. Ia telah menunggu saat-saat ini. Anak pertamanya. Tangan Beep meremas tangan Justin dengan erat, sampai-sampai Justin harus menahan teriakannya karena sakitnya remasan Beep.
            “Oh, Justin. Ini sungguh menyakitkan,”
            “Bertahan Beep, bernafas!” Justin menyemangati istrinya.
            “Dan kau tidak mencukur janggut dan kumismu untukku,”   
            “Tidak ada waktu sayang, aku berjanji setelah kau melahirkan aku akan mencukur janggut dan kumisku,”
            “Oh, kumohon! Sakit sekali,” erang Beep.
            “Sekali dorongan lagi. Aku bisa merasakan kepalanya,” teriak bidan dari bawah sana. Justin memejamkan matanya saat tangan bidan itu masuk ke dalam bawah sana.
            “Ya Tuhan,” bisik Justin.
            “Aaarrggh!” teriak Beep mengeluarkan bayinya dengan penuh rasa kesakitan yang belum pernah ia alami sebelumnya. Lalu beberapa detik kemudian, suara teriak tangisan bayi terdengar di telinga kedua ayah dan ibu baru. Beep tersenyum senang karena akhirnya anaknya keluar dari dalam perutnya. Justin menangis saat bayi itu digendong oleh sang bidan. Seorang anak lelaki dari keturunan Bieber akhirnya lahir. Justin benar-benar bahagia. Sangat. Bahkan tak dapat mengungkapkannya dengan kata-kata. Setelah tali plasentanya terpotong oleh gunting, bayi itu diberikan pada Justin dengan kain yang baru saja membungkusnya. Bayi yang mungil dengan darah yang masih berlumur di sekujur tubuhnya. Anak lelaki yang sungguh tampan seperti Justin. Hidungnya tampak mungil namun mancung itu benar-benar lucu. Ia menangis dengan keras, membuat para suster tertawa karena Justin yang menutup matanya karena teriakan dari bayinya.
            “Theodore Dravin Bieber,”
            “Drave,” bisik Beep dengan senyuman. Ia juga menangis terharu karena akhirnya anaknya lahir.
            “Oh, anak pertama kita sayang,”
            “Tampan sepertimu,” bisik Beep menatap pada bayinya yang mungil itu. Kebahagiaan menaungi orang-orang yang berada di ruang bersalin.

***

Beberapa bulan kemudian …

            “Apa-apaan,” Justin bersumpah di depan anak lelakinya saat ia mencoba untuk memakaikan anaknya dyper di atas tempat tidur. Namun sudah berkali-kali Justin mencoba untuk memakaikannya, ia tidak bisa. Beep terduduk di atas tempat tidur dengan kaki yang menyilang, menatap Justin dengan seksama. Bingung mengapa Justin tidak bisa memakaikan dyper. Padahal sudah lama sekali Justin belajar untuk memakaikan dyper pada anak bayi. Tapi ini, untuk yang pertama kalinya, Justin tidak dapat memakaikannya. Theo tampak tidak bisa diam. Kakinya terus menendang-nendang ayahnya dan tertawa. Marah, Justin langsung membuang dyper yang ia pegang itu ke segala arah. Beep tertawa karena tingkah Justin yang gemas. Langsung saja Justin merengkuh Theo dari atas dan ia memainkan hidungnya dengan hidung Theo. Membuat Theo meraih rambut Justin dan menjambaknya. Theo tertawa karena ia merasa senang sedang menjambak rambut ayahnya.
            “Aw, aw, aw!” Justin meringis dan dengan lembut Justin menarik tangan Theo dari rambutnya. Sungguh perih sekali saat Theo menarik rambutnya.
            “Kau bukan ayah yang hebat,” ujar Beep bangkit dari tempat tidur dan mengambil dyper yang Justin lempar. Lalu Beep berjalan ke arah Justin dan menyingkirkan Justin dari hadapan Theo. Justin tertawa karena wajah Beep yang cemberut. Sebenarnya, sudah seharian ini mereka membuat perjanjian kalau Justin yang akan mengurus Theo. Tapi sejak dari tadi pagi sampai sore ini, Justin tidak dapat menjaga Theo dengan baik. Bahkan Justin memperlakukan Theo seperti anak seumurannya. Untunglah Justin tidak memberikan minuman beralkohol pada Theo. Jika ya, Theo mungkin telah berada di rumah sakit. Dengan sabar, Beep memakaikan dyper dan pakaian Theo. Ya, Theo baru saja dimandikan oleh Justin. Meski Theo harus menangis-nangis karena Justin tidak memperlakukannya dengan lembut. Bahkan Justin memaksa Theo untuk berdiri, padahal Theo belum cukup umur untuk berdiri. Theo baru bisa duduk.
            “Kau tahu mengapa aku memilihmu sebagai istriku?”
            “Aku tahu. Karena aku ditakdirkan denganmu,”        
            “Benar sekali, Mrs.Bieber. Sangat benar. Tapi selain itu, ternyata kau memiliki nilai lebih. Kau bisa menjaga bayi dengan sangat baik. Dengan kelembutan,”
            “Hmm yeah. Dulu kerja sampinganku menjadi penjaga anak,”
            “Oh sial. Pantas saja. Kau licik,”
            “Hey, aku tidak licik. Ini memang sudah berjalan dengan seharusnya. Mungkin Tuhan telah merencanakan ini sebelumnya, aku tahu,” ujar Beep menggendong Theo yang sudah benar-benar rapi lalu memberikannya pada Justin. Saat Justin menggendong Theo, Justin menjatuhkan wajahnya pada perut Theo dan membuat suara yang lucu dan bergetar. Theo tertawa karena kegelian akibat perbuatan ayahnya.
            “Bagaimana jika malam ini kita membuat adik dari Theo?”
            “Oh Justin. Kita telah membuat perjanjian jika Theo telah berumur dua tahun kita baru memberikannya adik bukan?”
            “Kemarilah,” panggi Justin sambil menaruh Theo terduduk di atas pahanya. Beep beranjak dari lantai dan merangkak terduduk di sebelah Justin. Ia menyandarkan kepalanya pada bahu Justin. “Kautahu, aku berterima kasih padamu karena kau telah memberikan kehidupan yang sempurna bagiku. Dengan Theo yang telah hadir di tengah-tengah keluarga. Ini sungguh sempurna. Aku sangat mencintaimu,”
            “Aku juga mencintaimu Justin. Selalu. Kau tahu itu?”
            “Ya, aku tahu. Aku juga mencintaimu, Theo kecil,” ujar Justin mengecup kening Theo yang botak, sebenarnya tidak botak. Rambutnya masih samar-samar di kepalanya. Wajah Theo benar-benar mirip dengan Justin, namun ia mewarisi mata dari Beep yang berwarna biru kehijauan itu. Benar-benar tampan.
            “Aku mencintai keluarga ini,” bisik Beep.
            “Oh, kau tidak tahu seberapa aku mencintai keluarga ini juga, Mrs.Bieber.”
            Keluarga Bieber yang sempurna. Dengan segala masalah kelam yang pernah mereka lewati berakhir dengan kebahagiaan. Sempurna.
            Beep telah berjuang untuk cintanya.
            Justin telah berjuan untuk cintanya.

            Tiba saatnya Theodore Dravin Bieber yang berjuang untuk cintanya kelak.

2 komentar:

  1. aseeeeek. cie kan romantis banget sihhhhh. sumpah ya mereka keluarga yang lucu banget, apalagi justin haha. ngga bisa bayangin kalau punya suami kaya justin haha.

    oh ya ren, ada yang kurang tuh. kalimat terakhir itu harusnya ditambahin jadi: Tiba saatnya Theodore Dravin Bieber yang berjuang untuk cintanya kelak dengan Laura Jesica. wkwk apa banget yak -.-

    BalasHapus
  2. Setelah masalah yg begitu banyak akhirnya mereka jadi keluarga yg harmonis.. uuuh.. so sweet bangetttt

    BalasHapus