***
*Author POV*
Justin
dan Beep sedang berjalan-jalan di sekitar taman yang pernah mereka datangi
sebelumnya. Kali ini Justin menyukai taman. Ia mulai terbiasa dengan taman
sejak Beep selalu membujuknya untuk pergi ke taman. Meski sesekali ia mendengus
kesal jika Beep memaksanya untuk pergi ke taman. Tapi setidaknya, sekarang ia
menyukai taman. Kehidupan Beep tampak lebih baik sekarang setelah ia melepaskan
segala kebohongannya. Hidupnya sepuluh kali lebih bahagia sebelum ia melepaskan
kebohongannya. Terlebih lagi, Justin dan dirinya akan segera menikah beberapa
bulan lagi. Semuanya tampak sempurna. Justin merangkul Beep dengan mesra,
tangannya berada di pinggang Beep dan sesekali ia meremasnya. Sudah selama
seminggu lebih ini mereka hidup dengan kesenangan dan kebahagiaan yang
melimpah. Seakan-akan Justin dan Beep tidak ada habis-habis untuk mencintai
satu sama lain. Senyuman mereka dan kelembutan dari suara mereka selalu
meliputi rumah.
Rencananya,
Justin dan Beep akan tinggal di New York. Di rumahnya yang dulu. Di rumah Theo.
Namun mereka akan melangsungkan pernikahan mereka di Los Angeles. Beep meminta
Justin untuk tidak membuat pernikahan mereka begitu meriah karena dia tidak
begitu menginginkan pernikahan yang meriah. Sederhana lebih baik.
“Taylor
Christina Bieber. Apa kau bisa membayangkan itu? Karena aku masih belum percaya
kalau namaku akan segera berubah,”
“Well,
aku pernah membayangkan bagaimana nanti jika kau menjadi istriku. Lalu kau
hamil. Lalu perutmu akan membesar dan kau akan susah jalan,”
“Lalu
kau tidak akan menyukaiku lagi karena aku gemuk,”
“Tentu
saja tidak,”
“Sebentar
lagi aku akan berjanji pada Tuhan untuk mencintaimu dan mendampingimu dalam
keadaan apa pun,”
“Kau
yakin?”
“Mengapa
tidak? Aku selalu yakin akan apa pun yang kuperbuat, kau tahu. Aku tidak pernah
menjawab sesuatu dengan ragu,”
“Menurutmu,
jika nanti kita memiliki anak perempuan, dia akan menjadi siapa?”
“Akan
menjadi aku,” ujar Justin yang membuat Beep bingung.
“Mengapa
seperti itu?”
“Kau
tahu, karena aku cerdas, pintar bermain basket dan melakukan sesuatu tanpa
ragu,” jelas Justin, lalu kepala Beep terjatuh pada pundak Justin. Mereka
kemudian terduduk di atas kursi berwarna hitam dan menatapi danau yang berada
di tengah-tengah taman dengan angsa cokelat yang berenang di atasnya.
“Aku
kurang yakin. Aku tidak ingin anak perempuan kita nanti menjadi gadis yang
tomboy,”
“Hey,
itu bagus. Aku akan membawanya untuk olahraga kung-fu atau sejenisnya. Dia bisa
menjaga dirinya sendiri. Baiklah. Dia akan cantik sama sepertimu dan pintar
bermain piano. Sekarang bicarakan tentang anak lelakinya,” ujar Justin merasa
begitu tertarik.
“Baiklah,
ia akan setampan dirimu. Pintar seperti dirimu. Dan pintar bermain piano
seperti Theo,”
“Mengapa
kau membawa Theo?”
“Hey,
darah Theo juga mengalir dalam dirimu juga, kau tahu,” ujar Beep mengangkat
kepalanya dari bahu Justin. Mata Beep mulai menatap Justin dari samping.
Ternyata Justin memang masih saja terlihat tampan dari samping. Hidungnya
terpahat dengan indah. Bibirnya terlihat begitu menggoda. Dan rambut cokelat
keemasannya mengkilap begitu cantik. Entah mengapa, Beep merasa iri dengan
lelaki ini. Lelaki ini bahkan bisa dikatakan lebih cantik dibanding dirinya.
“Apa?”
tanya Justin menoleh pada Beep yang mengamat-amatinya. Beep menggelengkan
kepalanya dan terkekeh.
“Kau
tahu, kau bisa menjadi perempuan,” Justin terkejut dengan ucapan Beep.
“Ya,
kau memiliki bulu mata yang lentik dan rambut yang sebenarnya aku iri dengan
rambutmu yang terasa begitu lembut jika dipegang. Kau jelas bisa menjadi
perempuan,”
“Oh
dan kau merasa selama ini kau berjalan dengan seorang gadis?”
“Tentu
saja tidak! Kau tampan. Maksudku, kau bisa menjadi perempuan. Tapi aku masih
menginginkanmu menjadi seorang lelaki. Aku tidak akan pernah menikah denganmu
jika kau menjadi perempuan,”
“Aku
bingung mengapa aku mencintaimu. Kau aneh,” Justin menggelengkan kepalanya dan
terkekeh.
****
Justin
dan Beep meninggalkan kampus mereka. Meski Beep masih membutuhkan kampus
mereka. Tapi Beep dapat melanjutkannya di masa depan lagi. Justin tentu saja
telah mendapatkan pekerjaan dari ayahnya. Ya, ayah Justin pemilik hotel di New
York dan Justin menjadi seorang manajer di sana. Cita-cita yang Justin harapkan
telah terjadi dan Justin meninggalkannya karena ia berpikir, pekerjaan yang ia
dapatkan sebelumnya belum tentu akan bertahan sampai kelak ia tua nanti.
Menjadi seorang manajer di sebuah hotel adalah sebuah pengalaman baru bagi
Justin. Untunglah semasa kecil hingga remajanya ia dan Theo selalu diajak oleh
ayahnya untuk pergi ke hotel dan mengajar Justin dan Theo tentang perhotelan.
Setelah perdebatan Justin dan ayahnya tentang tanggal pernikahan mereka,
akhirnya 4 bulan ke depan Justin akan melangsung pernikahan mereka. Di rumah
Justin dan Theo. Theo akan menjadi kenangan terindah bagi Beep dan Justin.
Segala sesuatu yang pernah dihadapi akan memberi pelajaran berharga yang akan
didapat. Segala yang pernah Beep lewati, ia telah mendapatkan pelajaran baik
dan buruknya suatu masalah.
Tinggal
dua minggu lagi menjelang pernikahan Beep dan Justin, Beep tampak gugup dan
selalu menghafalkan ucapan janji pada Tuhan. Tapi sebenarnya, ia tidak perlu
menghafalkannya. Ia sudah tahu apa yang harus ia katakan di altar nanti.
Berhadapan dengan Justin dan ia akan menangis. Akhirnya ia telah mendapatkan
lelaki yang ia inginkan. Lelaki yang ia cintai. Namun, ia akan melangkah ke
sebuah jenjang yang lebih tinggi lagi. Ia akan menjalani kehidupan bersama
Justin dan ia tidak dapat berharap sesuatu lagi pada ayahnya. Ia sepenuhnya
milik Justin. Saat nanti ia akan berjalan dengan ayahnya menuju altar, lalu
tangannya diberikan pada Justin, saat itu juga ayahnya telah memberikan dirinya
pada Justin.
Beep
menarik nafasnya saat ia melihat ke sekeliling lapangan basket yang sekarang
sudah didekorasi sedemikian indahnya. Bernuansa putih dan ungu. Justin menyukai
warna ungu. Sebenarnya, Beep menyukai warna merah muda, namun tidak mungkin
nuansa pernikahannya menjadi Hello Kitty yang lucu. Itu benar-benar tidak lucu.
Kedua tangan Beep berada di pinggangnya lalu ia menarik nafasnya kembali.
Justin keluar dari ruang keluarga dan melihat Beep yang melihat pada
tukang-tukang dekorasi sedang bolak-balik membawa peralatan untuk persiapan
pernikahan. Tangannya Justin terulur dari belakang dan memeluk Beep dari
belakang. Beep tidak terkejut, ia tahu Justin yang memeluknya.
“Kau
menyukainya?” tanya Justin menempatkan dagunya di atas bahu Beep.
“Apa
kau menyukainya?”
“Tentu
saja. Warna kesukaanku!”
“Aku
menyukainya juga. Terlihat romantis,” bisik Beep mengagumi.
And I will always love you. Suara Justin
terdengar di telinga Beep. Beep tertawa lepas saat Justin menyanyikan lagu
Whitney Houston dengan suaranya yang berat itu. Justin ikut tertawa dan ia
mencium leher Beep yang terbuka baginya.
“Kau
pikir itu lucu?”
“Oh,
Mr. Bieber. Kau tidak tahu seberapa lucunya itu bagiku,”
“Kau
ingin aku menyanyikan lagu apa? Kau ingin aku menyanyikan lagu Want You Back dari Cher Llyod?” tanya
Justin menggoda Beep saat lengan Justin semakin memeluk Beep lebih erat lagi
hingga tubuh mereka benar-benar menempel. Beep tertawa terbahak saat Justin
menyanyikan lagu itu tepat di telinga Beep dengan suaranya yang dibuat-buat
cempreng.
I want you, want you back!
“Berhenti!”
teriak Beep merasakan sesuatu yang menonjol di bawah sana. Apa-apaan Justin
terangsang di saat-saat seperti ini. Beep membalikan tubuhnya dan melepaskan
pegangan tangan Justin dari pinggangnya. Namun tangan Justin langsung menarik
pinggang Beep kembali. Tukang-tukang yang sibuk keluar masuk dari rumah Justin
menuju lapangan basketnya tampak cemburu melihat pemandangan yang mereka lihat.
Bisa-bisanya mereka bermesraan di siang hari yang memang tidak panas, tapi melihat
mereka bermesraan membuat para tukang-tukang tampak kepanasan. Apalagi Beep
adalah seorang gadis yang benar-benar seksi. Salah satu tangan Beep memegang leher Justin
sedangkan tangannya yang lain bermain pada rambut Justin yang memanjang. Rambut
Justin sudah tidak bergaya Mohawk, ia memiliki hairflip yang benar-benar cocok untuknya.
“Kau
mirip Taylor Swift, aku pernah bertemu dengannya,”
“Kau
pernah?”
“Yeah.
Dia menjadi bintang tamu di Lakers Game satu tahun yang lalu. Kau percaya itu?”
“Mmm
hmm,” gumam Beep ragu. “Jadi, aku mirip dengan Taylor Swift?”
“Well,
kau tidak pirang,” ujar Justin mengelus kepala Beep dengan lembut.Beep tertawa
dan menggelengkan kepalanya.
“Aku
tidak percaya aku akan memiliki suami sepertimu,”
“Mengapa?”
“Kau
aneh,”
“Well,
kau juga. Kita akan menjadi keluarga, Mrs.Weirdo!” ujar Justin mengecup bibir
Beep dengan cepat. “Oh, kita akan membangun sebuah keluarga baru. Tak sabar
untuk memiliki seutuhnya,” bisik Justin memeluk Beep dengan erat. Beep hanya
menganggukan kepalanya dan menghirup wangi dari tunangannya yang sangat ia
sayangi. Sebentar lagi, bisik Beep dalam hati.
***
“Oh
sial! Taylor! Taylor!” Justin mengerang di atas tubuh Beep saat ia sampai pada
pelepasannya. Kali ini, Justin tidak memakai kondom dan tidak akan ada
hari-hari yang akan menutup kemungkinan untuk mereka melakukan hubungan badan
mereka. Pagi tadi mereka baru saja mengucap janji mereka untuk hidup semati
bersama-sama sampai mau memisahkan mereka pada Tuhan. Cincin juga telah
melingkar di sekitar jari manis mereka. Mereka benar-benar terlihat bahagia,
begitu juga dengan sahabat-sahabat mereka. Setelah mereka terbang dari Los
Angeles menuju New York, Justin tidak sabaran untuk berhubungan badan dengan
Taylor. Padahal Taylor masih merasa begitu lelah, namun Justin. Entahlah, dia
terlihat begitu bersemangat selama seharian penuh.
Nama
Taylor telah berubah menjadi Taylor Christina Bieber. Justin berteriak-teriak
seperti orang gila di sepanjang pesta pernikahan mereka, memamerkan Taylor
kebanyak orang dan memberitahu pada orang-orang bahwa Taylor adalah istrinya.
Istri seksinya. Pemain basket tim Lakers juga datang ke pesta pernikahan
mereka, membuat Taylor cukup bangga dapat melihat Kobe Bryant secara langsung.
Tinggi dan besar, sangat tidak mudah dipercaya.
Sekarang
mereka berakhir di atas tempat tidur dengan nafas yang tidak beraturan.
Akhirnya. Justin telah menyimpang benih-benihnya ke dalam tubuh Beep dan
menyimpannya di sana hingga berbuah menjadi janin. Tentu saja Beep akan hamil.
Kalau perlu, secepatnya!
“Akhirnya,”
bisik Justin menjatuhkan tubuhnya di samping tubuh Beep yang benar-benar tanpa
busana itu. Justin langsung menarik selimutnya hingga menutupi tubuh mereka
berdua, “Akhirnya,” gumam Justin lagi. Beep merasa bingung dengan ucapan Justin
yang benar-benar aneh.
“Akhirnya
apa?”
“Akhrinya
spermaku berada di dalam tubuhmu,” ujar Justin. Beep terdiam. Ia tidak perlu
memberitahu Justin tentang pemerkosaan Justin terakhir kali itu. Saat Justin
tidak memakai kondomnya dan itu cukup membuat Beep ketakutan jika ia hamil.
Tapi ia tidak ingin menyinggung masalah itu. Itu telah berlalu dan Justin
memang tidak pernah menyakitinya lagi.
“Mengapa?”
“Aku
tidak sabar untuk memiliki anak. Oh astaga, benar-benar tidak sabar,” ujar
Justin lagi dengan gemas. Nafasnya mulai teratur dan Justin menempatkan
kepalanya pada tangannya yang bersandar di siku-sikunya, di atas tempat tidur.
Ia memiringkan tubuhnya untuk melihat kembali istrinya yang cantik itu sudah
berkeringat. Begitu cantik dan benar seksi. Tubuh Justin juga telah
berkeringat.
*Justin Bieber POV*
Woohoo!
Akhirnya. Setelah aku menunggu lama sekali untuk menyalurkan spermaku ke dalam
tubuhnya, akhir mereka telah tenang di dalam sana. Aku hanya tinggal menunggu
Beep mual-mual atau tubuhnya tak merasa enak badan lalu kami akan pergi ke
dokter dan memeriksanya ..akhir dari cerita, Beep hamil! Itu adalah keinginanku
sekarang. Ingin memiliki keturunan dari Beep. Oh, sungguh, aku tidak sabar
sekali untuk memiliki anak. Dan aku berharap jika ia adalah anak lelaki yang
pertama lahir. Karena jika dia memiliki adik, ia akan menjaga adiknya sebaik
mungkin.
Beep
menatapku dengan tatapan bingung tadi. Oh, sebentar lagi tubuhnya akan
membesar. Aku tidak peduli jika ia gemuk. Ia akan menjadi gadis terseksi dan ibu
terseksi bagiku. Beep tampak begitu perhatian sepanjang pesta pernikahan. Ia
benar-benar mengontrol diriku. Jika Beep tidak menegurku untuk tidak meminum
banyak alkohol, mungkin malam ini aku dan dirinya tidak akan berhubungan badan.
Ia benar-benar gadis yang kuinginkan. Sama seperti Theo menginginkannya. Pantas
Theo menginginkan gadis ini. Ia sebenarnya gadis yang baik, itu hanya cara
pandang kita saja. Dan hey! Ternyata Caitlin dan Zayn berpacaran. Sial, Zayn
akan menjadi lelaki pertama yang akan mendapatkan keperawanan Caitlin. Sungguh
hebat. Tapi mereka juga adalah pasangan yang cocok, jika kubilang. Well, kurasa
Caitlin bisa merubah kebiasaan buruk Zayn. Sama seperti Beep yang dapat merubah
kebiasaan burukku. Seperti bermain dengan banyak wanita, meminum alkohol, yah,
semacamnya. Tapi aku bangga karena aku telah mendapatkan gadis ini.
Gadis
yang sekarang sedang berbaring di sebelahku. Sepenuhnya telanjang, sangat
cantik dan seksi. Aku menarik wajahnya dan mengecupnya berkali-kali lalu
memainkan lidahku di dalam mulutnya. Memutar-mutar dan menggodanya. Ia
mengerang pelan dan mendesah.
“Kau
tahu, aku ingin memiliki anak darimu,”
“Oh
Justin. Kau telah mengatakan itu seperti seribu kali. Tapi serius, aku tahu,”
ia mengeluh dan menggelengakan kepalanya. Aku tertawa dan kembali mengecup
bibirnya.
“Semoga
kita memiliki anak yang kembar,” bisiknya yang membuat jantungku seakan-akan
berhenti berdetak. Namun aku tidak melanjutkan aksiku. Aku tidak ingin merusak
momen ini hanya karena aku bertanya, mengapa. Aku tidak ingin mengetahui
alasannya. Kembali aku menindih tubuhnya dan kembali memasukan ereksiku ke
dalam tubuhnya. Gila, dia sudah basah, lagi.
“Sial!”
erangku tak tahan.
***
*Taylor Bieber POV*
Di
awal-awal pernikahan, aku bisa melihat sisi yang baik. Sudah lebih dari tiga
minggu aku bangun pagi untuk membuatkan Justin sarapan dan merapikan rumah
bersama dengan pelayan-pelayan yang lain. Bahkan aku biasanya membersihkan
kolam renang. Karena biasanya banyak binatang seperti laba-laba berada di atas air. Aku menggigil saat aku
menyaringnya untuk mengambil laba-laba itu. Oh, aku benci laba-laba, seperti
selamanya. Dan Justin tiap hari selalu membicarkan anak, anak, dan anak. Dan
kau tahu apa? Tadi pagi aku melihat pada alat tes kehamilanku kalau aku hamil.
Well, memang. Akhir-akhir ini aku tampak tidak enak badan. Aku mual-mual tak
jelas dan sering buang air kecil. Sama seperti sekarang ini. Sore ini Justin
belum pulang dari hotelnya. Biasanya sudah jam 4 sore dia akan pulang, tapi
sekarang sudah jam 5 sore. Ia belum pulang juga.
Tak
sabar sekali aku ingin memberitahu padanya kalau aku hamil. Meski aku juga
ragu. Namun, aku telah memeriksanya dua kali dengan alat tes kehamilan yang
berbeda dan hasilnya sama. Positif. Aku benar-benar hamil. Kucelupkan kakiku ke
dalam air kolam renang dan melihat pada taman yang terlihat dari sini. Taman
rumah ini seperti lapangan yang benar-benar besar. Mungkin jika kau ingin
bermain golf di sini, bisa. Membayangkan anak-anakku dan Justin berlari-lari
dengan riang gembira saat Justin nanti mengejarnya. Lalu tertawa-tawa. Betapa
menyenangkannya itu.
“Hey,”
aku terkejut, benar-benar terkejut saat Justin tiba-tiba saja muncul dari
belakang dan langsung memeluk tubuhku. Dagunya berada di bahuku sekarang, ia
terduduk di belakangku dan mencelupkan juga kakinya ke dalam kolam renang. Ia
telah berganti pakaian. Berarti dia telah datang beberapa menit yang lalu.
Sial, aku tidak mendengarnya.
“Hai,
kau sudah pulang. Aku tidak mendengarnya,”
“Aku
ingin mengejutkanmu. Tebak aku bawa apa?” tanya Justin yang langsung mengubah
topik pembicaraan. Aku berbalik untuk melihat wajahnya. Kau tahu, Justin telah
memiliki sedikit kumis. Sungguh lucu dan menurutku ia terlihat lebih jantan.
Aku menggelengkan kepalaku, tidak tahu.
“Apa
yang kaubawa?”
“Kau
harus menebaknya,”
“Sebuah
kalung?” aku menebak-nebak. Karena tadi pagi ia memberitahuku kalau ia ingin
memberikanku sebuah kalung. Well, siapa tahu ia membelinya sekarang.
“Sial,
kau hebat!” ujar Justin yang membuatku tertawa lalu ia mengeluarkan sebuah
cincin dari kantong celananya. Dua liontin berbentuk huruf TJ yang benar-benar
terlihat. Taylor, Justin. Sempurna. Aku menyukainya. Lalu Justin memakaikannya
padaku.
“Aku
juga memiliki sesuatu untukmu,”
“Oh,
aku harap itu akan besar!”
“Well,
memang. Memang besar,” aku menggodanya. Tanganku mulai berada di dalam kantong
celana pendek yang kupakai. Aku menatap Justin yang melihat pada tanganku.
“Apa?
Apa yang kaubawa?” kali ini ia benar-benar penasaran.
“Kau
harus menebaknya,” godaku padanya. Ia mendesah pelan.
“Oh,
Beep. Beritahu aku!” ia memaksaku. Aku menyerah dan mengeluarkan alat tes
kehamilanku dari kantong celana dan memperlihatkannya pada Justin. Mata Justin
langsung melebar saat ia melihat tes kehamilan yang kuperlihatkan padanya.
Matanya berkaca-kaca. Oh, Justin. Apa dia serius? Dia menangis.
“Apa
ini benar-benar terjadi?”
“Ya,”
“Sial,
Beep. Aku mencintaimu.” Tangisnya melempar alat tes kehamilan dari tanganku dan
menarik wajahku lalu mengecupnya dengan lembut. “Akhirnya,” bisiknya lagi.
“Ya,
akhirnya,” aku melepaskan ciuman ini lalu Justin mendorongku ke dalam kolam
hingga kami berdua tercebur ke dalamnya.
“Akhirnya
aku memiliki anak!” teriaknya dengan gembira lalu menyelam ke dalam air kolam
beberapa saat dan muncul. Ia tersenyum penuh dengan kebahagiaan. Aku tahu
mengapa Justin melakukan ini. Ia tidak ingin terlihat menangis. Padahal ia
menangis. Sungguh, aku tahu ia terharu karena aku hamil. Ini memang impiannya.
Impiannya ingin memiliki seorang anak. Bahkan ia memiliki anak yang begitu
banyak. Lalu ia menarik pinggangku dan mengecup bibirku lagi.
“Aku
akan menjadi seorang ayah,” bisiknya, terisak.
“Oh
Justin. Kau akan menjadi ayah yang hebat,”
“Aku
tahu itu,” bisiknya percaya diri. Aku tertawa. Justin benar-benar bahagia.
“Seorang bayi berada di dalam perutmu sekarang, sayang.”
***
“Whop!”
aku terkejut saat bayiku menendang perutku dan aku meringis. Cukup sakit saat
bayiku menendang perutku. Justin berada di belakangku dan memegang perutku
dengan senyum puas terdengar di telingaku. Kebahagiaan ini benar-benar lebih
dari yang kukira. Fakta bahwa aku telah benar-benar diterima di dunia ini
sungguh terjadi. Memiliki suami yang manis, tampan dan memiliki pekerjaan yang
mapan. Terlebih lagi aku akan memiliki anak hasil dariku dan Justin. Kehidupan
seperti ini adalah kehidupan yang sungguh kuimpikan. Yah, meski selama lima
bulan lebih ini Justin memberikan perhatian yang lebih daripada seharusnya
membuatku cukup kesal, tapi ia melakukan itu untukku dan bayi yang berada di dalam
perutku. Ia tidak pernah absen dari jadwal ke dokter kandungan tiap minggunya.
Sebenarnya dua minggu dua kali. Sampai-sampai Dr.Cowell bingung karena ia
berpikir, siapa yang sebenarnya hamil? Justin atau aku? Karena tiap kali
selesai pemeriksaan, selalu saja Justin yang bertanya. Well, anakku dan Justin
ternyata seorang bayi lelaki. Baru saja kemarin kami mengambil hasilnya.
Gambarnya benar-benar lucu. Tapi Justin tidak begitu yakin apa anak kami lelaki
atau perempuan, ia hanya bisa berharap anak pertamanya adalah lelaki. Aku juga.
Tiap
harinya Justin selalu tersenyum, well, tidak setiap hari. Ia kadang marah jika
aku tidak menuruti keinginannya. Dan yah, aku bukanlah tipe gadis yang menyukai
dunia luar. Aku anak rumahan yang suka membersihkan rumah. Sudah berkali-kali
Justin memaksaku untuk pergi keluar bersamanya. Aku mau-mau saja jika ia
mengajakku ke sebuah taman atau tempat-tempat yang tenang. Masalahnya, Justin
selalu ingin membawaku ke sebuah Bar! Apa-apaan! Seharusnya ia sedikit berpikir
dengan keadaanku yang sekarang sudah berbadan dua.
“Apa
dia sehat di dalam sana?”
“Oh,
dia bernyanyi,” ujarku melingkarkan satu tanganku ke belakang leher Justin dan
bersandar pada dadanya. Kudengar ia tersenyum dan lalu ia mendengus.
“Kau
ingin menamainya siapa?” tanya Justin yang membuatku tersentak. Well, jika anak
ini lelaki, aku sangat yakin ia akan mirip dengan Justin. Hidung yang mancung,
bibir yang menggiurkan dan rambut cokelat keemasan. Dan Justin adalah Theo.
Seperti dulu ia memakai lensa kontak mata yang berwarna abu-abu. Ia adalah
Theo.
“Theodore
Bieber,”
“Mengapa?”
“Theo
adalah dirimu. Bayi ini akan menjadi dirimu. Aku tahu,”
“Nama
yang bagus,” bisik Justin mengecup pipiku. “Tapi aku lebih memilih Dravin,”
“Mengapa?”
“Entahlah,
aku senang menyebutnya. Dravy atau Drave,”
“Drave.
Ya, itu bagus,” aku menganggukan kepalaku, kali ini mataku menatap pada
lapangan basket masa kecil Justin. Ya, Justin telah menceritakan
kenangan-kenangan masa kecilnya dengan Theo. Lapangan basket ini adalah hadiah ulang
tahun dari orang tuanya. Hadiah yang begitu indah. Bisa kubilang seperti itu.
Bahkan sampai sekarang masih terlihat seperti baru. Well, terduduk di atas
lapangan basket dengan bantalan di bawah bokong ternyata menyenangkan.
Bersandar di atas dada suami tercinta adalah nilai tambah. “Theodore Dravin
Bieber, kau setuju?”
“Theodore
Dravin Bieber,” bisik Justin di telingaku. “Drave,” lanjutnya mengecup
keningku. Berada di sebelahnya membuatku begitu tenang.
“Aku
heran denganmu,”
“Heran?
Mengapa?” tanyaku bingung. Maksudku, mengapa ia yang heran? Seharusnya aku.
Selama lima bulan berjalan kehamilanku, semuanya tampak Justin yang hamil.
Bukan aku. Dia terlalu overprotectif sehingga ia terlalu sibuk untuk mengurusi
diriku dibanding dirinya. Ingin sekali aku tertawa saat masa-masa awal
kehamilanku Justin belajar membuat susu hamil. Well, setidaknya ia melakukan
hal yang baik. Rasa susu yang ia buat lumayan. Meski diam-diam aku harus
memuntahkannya saat Justin harus menyusun peralatan yang baru saja ia keluarkan
untuk membuat susu. Bahkan biasanya dapur selalu kotor karenanya. Well, itu
dulu. Sekarang susu buatannya sungguh nikmat.
“Kau
hamil, tapi tubuhmu masih saja mungil. Apa tidak berat membawa si kecil di
dalam perutmu?” tangan Justin mulai menjamah perutku dan mengelusnya. Aw! Sial.
Bayi kami menendang perutku lagi dan aku tertawa-meringis secara bersamaan.
Tiap kali perutku tertendang, nafas Justin selalu tercekat. Padahal aku
tertawa. Seperti yang kubilang dari awal, dia overprotectif. Jika ia tidak ingin
terlihat overprotectif, Justin biasanya mendengus dan mengelus hidungnya,
sehingga mungkin itu dapat membuat aku berpikir hidung Justin gatal. Padahal
tidak. Aku tahu Justin. Dia tidak berbohong padaku.
“Well,
sebenarnya, tidak juga. Hanya saja—“
“Hanya
saja apa?”
“Hanya
saja saat aku menaiki tangga, kakiku rasanya ingin patah,” setelah aku
berbisik, aku bangkit dari dadanya. Dengan perhatian Justin memegang kedua
bahuku untuk membantuku berdiri. Kupegang perut bawahku agar aku tidak begitu
bungkuk, lalu akhirnya aku berdiri. Tersenyum puas dari atas, Justin dari bawah
menggelengkan kepalanya seakan-akan tidak percaya kalau aku akan sebesar ini.
“Dari
bawah sini kau terlihat begitu menakjubkan,”
“Oh,
benarkah?”
“Kau
tidak tahu seberapa aku menyukai ibu hamil,” aku terkejut saat ia mengucapkan
kata-kata. Maksudku, itu sangat lucu sekali. Ia menyukai ibu hamil? Aku
membayangkan bagaimana jika ia sedang pergi ke sebuah Mall dan ia berhenti di
tempat sebuah latihan ibu hamil lalu ia mengaguminya dari jarak jauh. Seberapa
lucu itu benar-benar tidak bisa membuatku tertawa karena perutku mungkin akan
sakit karena aku tertawa terbahak-bahak. Aku terkekeh.
“Kau
menyukai ibu hamil?” tanyaku tak percaya. Justin bangkit dari lantai lapangan
dan membersihkan celananya hingga bersih. Ia mengangguk dan tersenyum. Oh,
sial. Dia tampak begitu tampan dengan janggut yang samar dan kumis yang
samar-samar juga di wajahnya. Tapi aku tidak ingin melihatnya seperti ini saat
aku melahirkan. Jika ia menangis namun janggut yang ia miliki tidak dicukur
olehnya, tangisan dari rambut-rambutnya akan menetes-netes pada wajahku. Well,
setidaknya, itu adalah bayangan yang konyol dan itu tidak mungkin terjadi.
“Mengapa?”
aku benar-benar penasaran. Sambil merangkulku, kami berjalan untuk keluar dari
lapangan.
“Mmm,
mereka tampak kuat. Dulu aku ingin sekali melihat ibuku melahirkan lagi, namun
jantungnya tidak cukup untuk mempertahankan janin lagi sehingga sejak
kelahiranku dan Theo, ibuku mengangkat rahimnya,” ujarnya menjelaskan, “Mereka
memiliki perut yang besar dan itu lucu. Lalu saat umur kehamilannya menginjak
delapan bulan, mereka akan berjalan lebih tegap. Maksudku, bahkan kelewat
tegap. Memegang pinggang mereka dari belakang. Melihat seberapa susahnya mereka
mengambil barang yang jatuh. Gerakannya akan melambat, itu semua sungguh
menakjubkan,” jelas Justin yang membuatku tertawa kecil. Perut yang besar,
berdiri kelewat tegap, mengambil barang yang jatuh, gerakan yang lambat. Apa
sih yang sedang ia bicarakan? Dia sungguh aneh. Baiklah. Aku dan Justin aneh,
lebih tepatnya.
“Tapi
dari semua ibu hamil yang pernah kutemui, kau yang tercantik,” bisiknya mencium
pipiku.
“Benarkah?”
“Well,
tidak juga. Saat Kate Middleton hamil, dia sungguh cantik,” ujar Justin yang
membuatku sedikit cemberut. Apa-apaan. Kupikir aku adalah wanita tercantik
baginya. Aku terdiam dan menghelakan nafasku dengan malas. Hening saat melewati
kolam renang dan lalu Justin tertawa.
“Wowowo,”
kami berhenti berjalan, “Kau menganggap tadi adalah ucapan yang serius sayang?”
tanya Justin memegang kedua bahuku dan menatap mataku dalam. Kulipat bibirku
dan menganggukan kepala.
“Maksudku,
cara bicaramu benar-benar serius,” bisikku dengan suara yang kecil.
“Oh,
sayang, kau yang tercantik bagiku. Mengerti? Sekali pun Kate Middleton ada di
hadapanku, aku masih mencintaimu. Dia memang cantik, tapi kau yang tercantik,”
bisik Justin mengelus pipiku dengan lembut, “Kau tahu itu bukan?” tanya Justin.
Kuanggukan kepalaku.
“Peluk
aku,” ia merentangkan tangannya. Kutarik nafasku lalu memeluknya dengan erat
tanpa menyakiti si kecil. “Aku mencintaimu dan anak kita,”
“Aku
tahu, aku juga mencintaimu. Kau tahu itu,”
“Aku
selalu mengetahui itu,”
“Aku
milikmu, kau tahu itu bukan?”
“Aku
tahu, sayang. Aku tahu,” ia tertawa dan meraih daguku ke atas hingga bibir kami
bertemu.
***
*Author POV*
Pertengkaran
kecil selalu saja meliputi mereka tiap harinya. Bukan Beep yang selalu mencari
masalah, tapi Justin yang selalu mencari masalah pada Beep. Beep sudah berusaha
menjadi ibu rumah tangga yang baik, namun Justin membuatnya tambah rumit. Pagi
ini mereka tidak saling menyapa, seharusnya sekarang Justin membawa Beep ke
rumah sakit untuk mengecek kira-kira kapan Beep akan melahirkan. Namun pagi ini
Justin tidak ingin membawa Beep pergi ke rumah sakit. Ya, ini adalah bulan yang
kesembilan Beep telah mengandung. Perutku semakin besar dan tubuhnya kali ini
lebih besar dibanding bulan-bulan sebelumnya. Justin tampak seperti anak kecil.
Tadi malam ia marah besar pada Beep hanya karena Beep ingin mencuci piring
setelah makan malam. Padahal hanya cuci piring. Namun, Justin takut jika Beep
harus mencuci piring dan tiba-tiba saja ia keguguran. Tentu saja itu tidak
terjadi. Beep tertidur di kamar bawah dan Justin tidur di kamar atas.
Sebenarnya, malam itu Justin ingin mencukur janggut dan kumisnya untuk
diperlihatkan pada Beep, hanya karena insiden kecil itu Justin tidak jadi
melakukannya.
Beep
terduduk di atas sofa ruang keluarga dan menyalakan televisi. Mencari-cari
acara yang bagus untuk ditonton. Untunglah Caitlin sedang berada di perjalanan
menuju rumahnya. Sehingga rasa kesepiannya akan berkurang. Kabarnya Caitlin dan
Zayn telah tunangan. Setelah Caitlin lulus nanti, Zayn dan dirinya akan
menikah. Bahkan Zayn ikut juga hari ini untuk berkunjung ke rumah Justin dan
Beep. Mencari-cari acara televisi yang bagus, Beep merasa bosan. Kemudian acara
televisinya berhenti di acara music. Ia mendengarkan lagu melankolis pertama,
mencoba untuk mengerti apa yang dimaksud. Tapi tidak bisa. Ia berpikir pada
Justin.
Tangannya
meraih pada ponsel yang ia taruh di atas meja ruang keluarga, menyalakannya
lalu mencari nomor telepon Justin. Didekatkannya ponsel itu pada telinganya
sendiri. Menunggu, menunggu, menunggu.
“Ya,”
akhirnya. Jika Beep tidak hamil, ia akan sujud syukur akhirnya Justin ingin
berbicara.
“Aku
pikir kita akan ke rumah sakit untuk memeriksa kandungan,”
“Aku
sibuk,” bisik Justin yang membuat Beep merasa tersingkirkan sekarang. Beep
menarik nafas, mencoba untuk mengerti Justin yang memang sibuk akhir-akhir ini.
Tapi sepanjang kehamilannya, Justin tidak pernah mengabaikan kandungan Beep.
“Baiklah.
Jaga dirimu baik-baik. Aku bisa pergi sendiri, mungkin Caitlin sebentar lagi
akan datang,” bisik Beep mencoba untuk mengerti. Mengapa rasanya ia tidak
dijadikan yang utama bagi Justin lagi? Namun ia tepis segala pikiran buruk yang
ingin mencapai pada otaknya.
“Ya,
itu bagus. Kabari aku jika kau sudah sampai di sana,”
“Tentu
saja,” bisik Beep mematikan ponselnya. Ia mencoba untuk tidak stress. Tidak
memikirkan apa yang baru saja ia lewati. Ia tidak ingin tiba-tiba saja ia
melahirkan sekarang hanya karena stress. Stress dapat mempercepat kelahiran
bayi.
Beberapa
detik ia memejamkan mata, tiba-tiba saja suara pintu utama terbuka. Mata Beep
terbuka dan ia dengan perlahan bangkit dari sofa. Perutnya benar-benar sudah
besar, tangan kanannya berusaha untuk menekan perutnya ke depan agar ia tidak
merasa begitu keberatan membawa bayi yang berada di dalam perutnya. Ia sudah
tidak dapat melihat kakinya lagi, bahkan untuk berjalan saja rasanya ia
berlari. Berjalan dengan pelan menuju ruang tamu, senyumannya mengembang.
Caitlin dan Zayn berdiri dengan koper yang mereka. Caitlin sedang menunduk
untuk mengambil hadiah bagi bayi Beep, saat ia mendongak ke atas, mulut Caitlin
terbuka tak percaya melihat sahabatnya sekarang telah hamil. Di umurnya yang
kedua puluh satu, Beep telah hamil. Dan itu benar-benar di luar pikiran
Caitlin. Tubuhnya yang dulunya mungil, sekarang tampak begitu besar karena bayi
yang berada di dalam perutnya.
“Ya
Tuhan,” Caitlin kali ini berdiri dengan tegap. Ia berjalan ke arah Beep.
Tangannya langsung memegang kedua bahu Beep. Ia menatap wajah Beep dengan
baik-baik. Ia masih cantik. Masih tampak begitu muda. Hanya saja tubuh Beep
yang sedikit membesar.
“Kau
benar-benar berbeda sekarang, di mana Justin?” tanya Caitlin meremas tangan
Beep dengan lembut.
“Dia
sedang bekerja,”
“Bukankah
kau bilang hari ini kau harus pergi ke rumah sakit untuk memeriksa kandunganmu?
Ini yang kesembilan bulan bukan?” tanya Caitlin menyentuh perut Beep. Beep
menganggukan kepalanya dan tersenyum manis. Entahlah, kedatangan Caitlin
benar-benar membuatnya cukup tenang setelah Justin memperlakukannya seperti
orang tua yang diabaikan oleh anak remajanya.
“Well,
aku dan dia sedang bertengkar karena masalah kecil,”
“Tentang?”
“Aku
mencuci piring dan ia takut aku keguguran,”
“Oh,
Justin. Dia manis sekali,” ujar Zayn dari belakang setelah ia mengambil
kopernya yang lain di luar. Zayn tertawa melihat Beep yang berubah, namun ia
juga senang karena sebentar lagi ia akan menjadi paman. Pasti anak Beep dan
Justin akan sangat lucu sekali.
“Dia
benar-benar berlebihan,” bisik Caitlin. “Jam berapa kau harus pergi ke rumah
sakit?”
“Well,
sekarang, sebenarnya. Aku menunggumu. Apa kau keberatan untuk menemaniku?”
“Tentu
saja tidak! Oh, tidak. Kau ingin kita pergi sekarang?” tanya Caitlin
benar-benar bersemangat. Padahal Caitlin baru saja turun dari pesawat. Namun ia
senang karena ia dapat bertemu dengan Beep, sehingga ia tidak merasa begitu
lelah karena penerbangan yang cukup panjang.
“Tunggu
dulu, aku harus mengambil peralatanku sebelum pergi ke sana,”
“Aku
temani!” seru Caitlin membalikan kepalanya dan mengedipkan matanya pada Zayn.
Zayn hanya tersenyum senang karena kekasihnya juga senang. Zayn mengambil
ponselnya untuk menghubungi Justin.
***
“Aw!”
Beep meringis kesakitan pada saat perjalanan menuju rumah sakit. Ia memegang
pinggangnya dan meremasnya penuh dengan kesakitan. Kram yang terjadi pada
perutnya sungguh membuatnya kesakitan. Untunglah ia dan Justin sering pergi
untuk latihan bernafas ibu hamil saat melahirkan. Caitlin yang berada di
sebelah Beep terkejut.
“Ada
apa?”
“Aku
berkontraksi, perutku! Oh, sial,” Beep meremas pakaian yang ia pakai. Baju
besarnya benar-benar membantunya. Sekarang ia tahu mengapa ia harus memakai
daster panjang seperti ini. Beep melihat ke arah kaki Beep, tidak ada darah
namun ada air yang meleleh dari paha Beep menuju kakinya.
“Ya
Tuhan! Apa mobil ini bisa lebih cepat lagi?” tanya Caitlin beteriak pada sopir.
Zayn yang terduduk di depan membalikan kepalanya dan melihat pada paha Beep
yang telah bercucuran dengan air ketuban yang pecah. Sudah saatnya ia
melahirkan.
“Hubungi
Justin, kumohon,” ringis Beep pada Caitlin dan Zayn. Sontak Zayn langsung
mengambil ponsel yang ia bawa dan menghubungi Justin secepatnya. Tangannya yang
memegang ponsel telah berada di telinga. Beep memejamkan matanya dan membisikan
doa kesenangan sekaligus kesakitan yang ia rasa. Ia merasa senang karena ia akan
segera melahirkan. Sebentar lagi bayinya akan lahir ke dunia. Namun ia
merasakan kesakitan luar biasa pada perutnya yang kram sekarang, memohon pada
Tuhan agar rasa sakit ini berkurang secepatnya. Apa pun akan ia lakukan jika
rasa kram ini memudar. Dan ia membutuhkan Justin. Jika Justin berada di
sebelahnya dan ia memegang tangan Justin, setidaknya rasa takut dan sakitnya
akan berkurang. Ia ketakutan jika ia belum dapat mengeluarkan bayi ini dengan
normal. Ia tidak ingin melakukan caesar. Tidak.
“Ya,
Justin? Istrimu –“
“Kenapa
istriku?” suara Justin mulai terdengar khawatir di seberang sana.
“Ia
akan segera melahirkan. Kita sedang berada di perjalanan menuju rumah sakit,
apa kau tahu di mana rumah sakitnya?”
“Tentu
saja aku tahu bodoh,” Justin berteriak benar-benar khawatir. “Sial, aku akan
segera ke sana. Bagaimana keadaannya?”
“Bagaimana
perasaanmu, Beep?” tanya Zayn pada Beep yang memegang tangan Caitlin dengan
kencang. Nafasnya tak beraturan dan ia berusaha untuk bernafas dengan normal.
“Oh,
sakit! Di mana Justin?”
“Sakit!
Ia merasa sakit,”
“Ak-aku
akan segera ke rumah sakit. Pastikan ia baik-baik saja,” ujar Justin menutup
ponselnya.
***
*Justin Bieber POV*
Astaga,
Ya Tuhan. Aku tidak percaya kalau hari ini akan menjadi hari dimana istriku akan
segera melahirkan. Kuharap ia baik-baik saja. Aku benar-benar menyesalkan
degnan apa yang kukatakan kemarin padanya. Aku tidak ingin anakku gugur dari
perutnya. Tentu saja tidak. Ia adalah anak pertamaku dan aku harus menjaga Beep
sebaik mungkin. Baiklah. Aku memang memberikan perhatian yang berlebihan pada
Beep. Wajar jika ia marah kemarin karena aku memaksanya untuk tidak melakukan
hal-hal yang berat. Tapi setidaknya itu untuk kebaikan dirinya dan anak kami.
Dan
hari ini aku mengabaikannya. Biasanya aku membangunkannya, bahkan aku tidak
satu tempat tidurnya dengannya. Aku sungguh menyesal dengan apa yang kuperbuat
padanya. Aku mendesah pelan dan menggelengkan kepalaku tak percaya apa yang
telah kulakukan. Ini memang terdengar sangat bodoh. Apalagi saat tadi ia
menghubungiku dan aku membiarkannya, aku tidak ingin membawanya ke rumah sakit.
Sebenarnya, ia telah merasakan kontraksi beberapa hari yang lalu. Namun dokter
bilang bukan harinya ia akan melahirnya. Setelah kejadian itu aku benar-benar
ketakutan jika tiba-tiba saja air ketubannya pecah. Bersyukur pada Tuhan karena
aku selalu membawanya untuk latihan pernafasan. Bahkan aku juga tahu bagaimana
caranya bernafas saat melahirkan ..Sialan! Mengapa mobil ini terasa begitu
lambat berjalan? Aku menatap pada sopirku yang menyetirnya seperti lelaki
sialan tak tahu diri ini.
“Apa
aku menggajimu untuk membawa mobil selambat ini? Kau tahu apa? Istriku ingin
melahirkan, jika aku tidak memegan tangannya satu detik saja, kau yang akan
habis. Kautahu itu,” aku mengancamnya. Sontak sopir yang memakai sarung tangan
itu langsung membawa mobil ini secepat ini.
“Aku
akan menggajimu dua kali lipat jika kau membawa mobil ini seperti ini terus,”
aku memujinya. Mobil ini berlaju dan bertarung dengan pikiranku. Apa Beep telah
sampai di rumah sakit? Sudah pasti. Oh sial. Aku belum mencukur janggut dan
kumisku. Persetan! Aku tidak peduli. Yang kupentingkan sekarang adalah
keberadaanku di sampingnya.
Mobil
ini berhenti tepat di depan pintu rumah sakit. Dengan cepat aku turun dan
berlari masuk ke dalam rumah sakit. Banyak sekali orang yang berlalu lalang di
rumah sakit ini, termasuk diriku. Namun aku mencari resepsionis untuk mencari
istriku.
“Justin
Bieber. Suami Taylor Christina Bieber yang ingin melahirkan. Apa kau tahu?”
tanyaku pada petugas resepsionis. Dengan senyum penuh keramahan ia menunjukan
jari telunjuknya padaku.
“Ya,
Taylor Christina Bieber atas nama Justin Bieber. Ia telah masuk ke dalam ruang
persalinan. Dua lantai dari sini. Setelah Anda keluar dari pintu lift, Anda
akan menemukan ruangannya di sebelah kiri,”
“Terima
kasih banyak. Ini, ambillah,” ujarku mengambil beberapa lembar uang dan
memberikannya padanya karena rasa terima kasihku yang tak terkira ini. Lalu aku
langsung melangkah pergi dari hadapannya dan berjalan menuju lift. Menekan
tombol ke atas dan menunggu lift membuat jantungku berdetak lebih kencang
daripada biasanya.
*Author POV*
Justin
masuk ke dalam lift saat pintu lift terbuka. Ia langsung menutup pintu lift
tanpa membiarkan orang yang berlari-lari ke arah lift ingin masuk. Jantungnya
berdegup dengan kencang dan kakinya tidak dapat diam di dalam sana. Menunggu
lift ini berhenti di lantai dua rasanya begitu lama sekali. Lalu beberapa detik
kemudian, pintunya terbuka dan Justin langsung berlari. Gila! Matanya terbuka
lebar saat ia melihat begitu banyak anak-anak yang berlari-larian di lorong
lantai dua. Matanya melihat ke atas untuk melihat di mana ruang bersalin. Di
sebelah kiri. Setelah itu matanya melihat Caitlin dan Zayn yang terduduk di depan
pintu bersalin. Ia berlari ke arah mereka berdua dan melihat pada pintu ruang
bersalin. Oh, astaga. Untunglah istrinya belum benar-benar melahirkan.
“Justin!”
seru Caitlin mendongakan kepalanya. “Ia menunggumu di dalam sana,” ujar
Caitlin. Sontak Justin langsung membuka pintu ruang bersalin. Seorang suster
berkulit hitam melihat ke arah Justin dan mengambil pakaian berwarna hijau
untuk Justin agar Justin tetap steril.
“Kau
suaminya? Masuklah ke dalam kamar mandi dan pakailah ini. Dua menit lagi istrimu
akan segera melahirkan,” ujar suster kulit hitam itu pada Justin. Ia melihat
pada Beep yang terbaring dengan nafas yang tak beraturan di atas tempat tidur.
Penuh dengan keringat. Justin ikut berkeringat. Ia tidak ingin kehilangan orang
yang ia cintai untuk yang ketiga kalinya. Sudah cukup dua orang yang ia sangat
sayangi pergi dari dunia. Justin berjalan pada kamar mandi yang terdapat di
dalam ruang bersalin. Ia menutup pintunya dan langsung memakai pakaian hijau
yang baru saja diberikan oleh suster kulit hitam itu. Ia melihat pada kaca yang
berada di dalam kamar mandi itu. Jantungnya berdegup dengan kencang. Tangannya
bergemetar. Ia mengambil nafasnya dalam-dalam.
“Aku
bisa melewati ini. Beep akan berhasil,” gumamnya setelah mengganti pakaiannya.
Lalu ia keluar dari kamar mandi dan melihat Beep yang telah berusaha untuk
mengeluarkan bayi dari dalam perutnya. Sontak Justin berlari ke arah Beep dan
memegang tangannya.
Beep
tersenyum saat kedatangan Justin yang sungguh tepat waktu. Nmaun perutnya
benar-benar merasakan kesakitan. Sesuatu sebentar lagi akan keluar dari bawah
sana. Dan ia berusaha untuk mengeluarkannya sekarang. Suster yang berada di
sebelah Beep, berseberangan dengan Justin terus mengelap keringat Beep yang
terus mengucur tiap detiknya.
“Aku
tidak bisa,”
“Ya,
kau bisa sayang,” bisik Justin dengan air mata yang mulai berkumpul di kelopak
matanya. Setiap detiknya, ia memohonkan doa pada Tuhan untuk tidak mengambil
Beep dari padanya. Justin benar-benar mencintai Beep dan anaknya yang sebentar lagi
akan lahir dari perutnya ke dunia. Ia telah menunggu saat-saat ini. Anak
pertamanya. Tangan Beep meremas tangan Justin dengan erat, sampai-sampai Justin
harus menahan teriakannya karena sakitnya remasan Beep.
“Oh,
Justin. Ini sungguh menyakitkan,”
“Bertahan
Beep, bernafas!” Justin menyemangati istrinya.
“Dan
kau tidak mencukur janggut dan kumismu untukku,”
“Tidak ada waktu sayang, aku berjanji setelah kau melahirkan aku akan mencukur janggut dan kumisku,”
“Tidak ada waktu sayang, aku berjanji setelah kau melahirkan aku akan mencukur janggut dan kumisku,”
“Oh,
kumohon! Sakit sekali,” erang Beep.
“Sekali
dorongan lagi. Aku bisa merasakan kepalanya,” teriak bidan dari bawah sana.
Justin memejamkan matanya saat tangan bidan itu masuk ke dalam bawah sana.
“Ya
Tuhan,” bisik Justin.
“Aaarrggh!”
teriak Beep mengeluarkan bayinya dengan penuh rasa kesakitan yang belum pernah
ia alami sebelumnya. Lalu beberapa detik kemudian, suara teriak tangisan bayi
terdengar di telinga kedua ayah dan ibu baru. Beep tersenyum senang karena
akhirnya anaknya keluar dari dalam perutnya. Justin menangis saat bayi itu digendong
oleh sang bidan. Seorang anak lelaki dari keturunan Bieber akhirnya lahir.
Justin benar-benar bahagia. Sangat. Bahkan tak dapat mengungkapkannya dengan
kata-kata. Setelah tali plasentanya terpotong oleh gunting, bayi itu diberikan
pada Justin dengan kain yang baru saja membungkusnya. Bayi yang mungil dengan
darah yang masih berlumur di sekujur tubuhnya. Anak lelaki yang sungguh tampan
seperti Justin. Hidungnya tampak mungil namun mancung itu benar-benar lucu. Ia
menangis dengan keras, membuat para suster tertawa karena Justin yang menutup
matanya karena teriakan dari bayinya.
“Theodore
Dravin Bieber,”
“Drave,”
bisik Beep dengan senyuman. Ia juga menangis terharu karena akhirnya anaknya
lahir.
“Oh,
anak pertama kita sayang,”
“Tampan sepertimu,” bisik Beep menatap pada bayinya yang mungil itu. Kebahagiaan menaungi orang-orang yang berada di ruang bersalin.
“Tampan sepertimu,” bisik Beep menatap pada bayinya yang mungil itu. Kebahagiaan menaungi orang-orang yang berada di ruang bersalin.
***
Beberapa bulan kemudian …
“Apa-apaan,”
Justin bersumpah di depan anak lelakinya saat ia mencoba untuk memakaikan
anaknya dyper di atas tempat tidur. Namun sudah berkali-kali Justin mencoba
untuk memakaikannya, ia tidak bisa. Beep terduduk di atas tempat tidur dengan
kaki yang menyilang, menatap Justin dengan seksama. Bingung mengapa Justin
tidak bisa memakaikan dyper. Padahal sudah lama sekali Justin belajar untuk
memakaikan dyper pada anak bayi. Tapi ini, untuk yang pertama kalinya, Justin
tidak dapat memakaikannya. Theo tampak tidak bisa diam. Kakinya terus
menendang-nendang ayahnya dan tertawa. Marah, Justin langsung membuang dyper
yang ia pegang itu ke segala arah. Beep tertawa karena tingkah Justin yang
gemas. Langsung saja Justin merengkuh Theo dari atas dan ia memainkan hidungnya
dengan hidung Theo. Membuat Theo meraih rambut Justin dan menjambaknya. Theo
tertawa karena ia merasa senang sedang menjambak rambut ayahnya.
“Aw,
aw, aw!” Justin meringis dan dengan lembut Justin menarik tangan Theo dari
rambutnya. Sungguh perih sekali saat Theo menarik rambutnya.
“Kau
bukan ayah yang hebat,” ujar Beep bangkit dari tempat tidur dan mengambil dyper
yang Justin lempar. Lalu Beep berjalan ke arah Justin dan menyingkirkan Justin
dari hadapan Theo. Justin tertawa karena wajah Beep yang cemberut. Sebenarnya,
sudah seharian ini mereka membuat perjanjian kalau Justin yang akan mengurus
Theo. Tapi sejak dari tadi pagi sampai sore ini, Justin tidak dapat menjaga
Theo dengan baik. Bahkan Justin memperlakukan Theo seperti anak seumurannya.
Untunglah Justin tidak memberikan minuman beralkohol pada Theo. Jika ya, Theo
mungkin telah berada di rumah sakit. Dengan sabar, Beep memakaikan dyper dan
pakaian Theo. Ya, Theo baru saja dimandikan oleh Justin. Meski Theo harus
menangis-nangis karena Justin tidak memperlakukannya dengan lembut. Bahkan
Justin memaksa Theo untuk berdiri, padahal Theo belum cukup umur untuk berdiri.
Theo baru bisa duduk.
“Kau
tahu mengapa aku memilihmu sebagai istriku?”
“Aku
tahu. Karena aku ditakdirkan denganmu,”
“Benar
sekali, Mrs.Bieber. Sangat benar. Tapi selain itu, ternyata kau memiliki nilai
lebih. Kau bisa menjaga bayi dengan sangat baik. Dengan kelembutan,”
“Hmm
yeah. Dulu kerja sampinganku menjadi penjaga anak,”
“Oh
sial. Pantas saja. Kau licik,”
“Hey,
aku tidak licik. Ini memang sudah berjalan dengan seharusnya. Mungkin Tuhan
telah merencanakan ini sebelumnya, aku tahu,” ujar Beep menggendong Theo yang
sudah benar-benar rapi lalu memberikannya pada Justin. Saat Justin menggendong
Theo, Justin menjatuhkan wajahnya pada perut Theo dan membuat suara yang lucu
dan bergetar. Theo tertawa karena kegelian akibat perbuatan ayahnya.
“Bagaimana
jika malam ini kita membuat adik dari Theo?”
“Oh
Justin. Kita telah membuat perjanjian jika Theo telah berumur dua tahun kita
baru memberikannya adik bukan?”
“Kemarilah,”
panggi Justin sambil menaruh Theo terduduk di atas pahanya. Beep beranjak dari
lantai dan merangkak terduduk di sebelah Justin. Ia menyandarkan kepalanya pada
bahu Justin. “Kautahu, aku berterima kasih padamu karena kau telah memberikan
kehidupan yang sempurna bagiku. Dengan Theo yang telah hadir di tengah-tengah
keluarga. Ini sungguh sempurna. Aku sangat mencintaimu,”
“Aku
juga mencintaimu Justin. Selalu. Kau tahu itu?”
“Ya,
aku tahu. Aku juga mencintaimu, Theo kecil,” ujar Justin mengecup kening Theo
yang botak, sebenarnya tidak botak. Rambutnya masih samar-samar di kepalanya.
Wajah Theo benar-benar mirip dengan Justin, namun ia mewarisi mata dari Beep
yang berwarna biru kehijauan itu. Benar-benar tampan.
“Aku
mencintai keluarga ini,” bisik Beep.
“Oh,
kau tidak tahu seberapa aku mencintai keluarga ini juga, Mrs.Bieber.”
Keluarga
Bieber yang sempurna. Dengan segala masalah kelam yang pernah mereka lewati
berakhir dengan kebahagiaan. Sempurna.
Beep
telah berjuang untuk cintanya.
Justin
telah berjuan untuk cintanya.
Tiba
saatnya Theodore Dravin Bieber yang berjuang untuk cintanya kelak.
aseeeeek. cie kan romantis banget sihhhhh. sumpah ya mereka keluarga yang lucu banget, apalagi justin haha. ngga bisa bayangin kalau punya suami kaya justin haha.
BalasHapusoh ya ren, ada yang kurang tuh. kalimat terakhir itu harusnya ditambahin jadi: Tiba saatnya Theodore Dravin Bieber yang berjuang untuk cintanya kelak dengan Laura Jesica. wkwk apa banget yak -.-
Setelah masalah yg begitu banyak akhirnya mereka jadi keluarga yg harmonis.. uuuh.. so sweet bangetttt
BalasHapus