Jumat, 02 Agustus 2013

Fight for Love Bab 8



***

*Author POV*

            Delapan orang lelaki dengan lima orang gadis cantik sedang membuat lingkaran. Sebuah botol bir yang kosong telah berada di atas karpet yang cukup licin yang dapat memutar-mutarkan botol itu dengan cepat. Justin dan ketujuh teman-temannya yang lain duduk penuh dengan tidak sabaran, apa yang akan mereka lakukan setelah ini. Dua orang gadis yang mereka kenal yaitu Caitlin dan Valent duduk di sebelah Justin dan Joseph duduk di sebelah Valent –mereka berpacaran—dengan tiga gadis yang Zayn temui di sebuah bar kemarin duduk di sebelah Joseph dan Zayn. Mereka duduk melingkar di dalam ruang keluarga itu, menyingkirkan meja yang sebenarnya berada di tengah-tengah karpet itu. Salah satu gadis pirang yang tadi siang berada di kampus itu juga termasuk gadis yang Zayn temui di bar.
            “Siapa yang terlebih dahulu?” tanya Justin dengan tenang.
            “Aku!” teriak gadis berambut pirang yang sudah bertemu dengan Justin tadi siang mengangkat tangannya dengan semangat.
            “Silahkan, Kerri,” bisik Justin dengan suara seksi. Genit, Kerri membungkuk dan memamerkan bokongnya pada Zayn yang berada di sebelahnya. Kerri hanya memakai celana pendek berwarna biru muda yang benar-benar pendek, bahkan ia tidak memakai celana dalamnya. Kerri mulai memutar botol bir yang berada di tengah-tengah itu dengan kencang. Lalu botol itu berputar-putar ..berputar-putar ..lalu berhenti pada Christian. Christian yang melihat botol itu yang menunjuk padanya langsung melotot tak percaya. Astaga.
            “Jujur atau berani?” tanya Kerri dengan cepat. Christian berpikir dan menatap pada langit-langit dan menarik nafasnya.
            “Berani!”
            “Buka bajumu, kecuali boxer,” suruh Kerri yang memberikan tantangan yang cukup mudah bagi Christian. Chris berdiri dari tempatnya dan melepaskan seluruh pakaiannya hingga hanya tersisa boxer putih yang ia pakai. Dua gadis yang Zayn temu di bar melihat Christia dengan mata penuh nafsu. Tentu saja. Christian memiliki tubuh yang benar-benar indah, terpahat dengan sempurna.
            “Giliranku,” ujar Christian membungkuk dan memutarkan botol itu. Lalu botol itu berhenti pada Caitlin.
            “Jujur atau berani,”
            “Jujur,”
            “Lelaki pertama yang mendapatkan keperawananmu?” tanya Christian yang membuat Caitlin melotot padanya dan tidak menyangka jika adiknya akan menanyakan pertanyaan seperti itu. Caitlin menarik nafasnya dan menggelengkan kepalanya.
            “Tidak, aku tidak pernah melakukan hubungan badan,” ujar Caitlin menunduk malu. Sontak para lelaki yang berada di sekitar mereka berteriak tak menyangka.
            “Piupiupiu,” suara mobil polisi terdengar dari mulut Louis, “sepertinya akan ada lelaki yang beruntung malam ini,”
            “Sial, kau memang hebat menjaga diri,”
            “Anak remaja,” ejek dua gadis yang lain.  Caitlin mendongakan kepalanya dan tertawa meledak, ikut bersama dengan teman-temannya yang lain kemudian berhenti beberapa menit kemudian. “Giliranku,” ujar Caitlin mulai membungkuk dan memutarkan botol bir itu yang sekarang sudah berputar. Berputar-putar ..berputar-putar ..kemudian berhenti menunjuk pada Zayn.
            “Jujur atau berani?” tanya Caitlin.
            “Hell yeah! Berani!”
            “Buka bajumu sama seperti Christian,” ujar Caitlin yang membuat Justin menutup mulutnya tak percaya. Astaga, ternyata Caitlin juga bisa menjadi gadis yang sangat nakal. Justin melihat pertunjukan di depannya dengan gemas. Kapan gilirannya? Ia sungguh tidak sabar untuk gilirannya.   
            “Giliranku,” ujar Zayn yang telah membuka pakaiannya yang hanya tertinggal boxer tertempel pada tubuhnya. Ia memutar botol itu dan berhenti pada Kerri. Kerri menjerit penuh dengan kesenangan yang berlebihan.
            “Berani!” ujar Kerri tanpa ditanya.
            “Buka bajumu. Sisakan bra dan celana dalammu,” ujar Zayn cabul. Kerri langsung berdiri dan melakukannya dengan cepat. Justin yang menatap Kerri membuka pakaiannya benar-benar membuat jakunnya naik-turun. Namun jantungnya tidak berdetak lebih kencang sama seperti ia menatap pada Beep yang jika ia menatap mata Beep jantungnya akan berdetak lebih kencang. Namun ia ingin melakukan hubungan badan dengan Kerri secepat mungkin. Sekarang juga. Apalagi dada milik Kerri benar-benar besar. Saat Kerri menunduk, mata Justin melebar melihat dadanya yang menggantung.
            “Jujur atau berani?” tanya Kerri pada Justin. Justin tersadar dari lamunannya dan melihat botol yang ternyata menunjuk pada dirinya.
            “Jujur?”
            “Hal apa yang menyenangkan yang pernah kaulakukan hari ini?”
            “Aku memasukan Beep ke dalam loker,” ujar Justin dengan jujur.
            “Sial kau Justin! Apa yang kaulakukan padanya?” teriak Caitlin bangkit dari duduknya dan menghampiri Justin, Caitlin langsung menarik kaos putih yang Justin pakai. Mata Justin masih berwarna abu-abu. Lensa kontak mata.
            “Memasukannya ke dalam lokernya sendiri,”
            “Apa dia terkunci?”
            “Tentu saja bodoh!”
            “Sial kau Justin! Sial!” teriak Caitlin langsung pergi dari hadapan Justin. “Kau tidak tahu seberapa takut dirinya dengan kegelapan jika tidak ada orang-orang di sekitarnya. Jika ia tidak dapat bernafas di dalam loker sana, aku akan menuntutmu. Aku serius.” Ujar Caitlin menatap pada Justin dengan penuh rasa kekesalan yang mendalam.
            Sekarang sudah malam.
            Kegelapan meliputi kampus. Beep sendirian memeluk dirinya sendiri, menangis hampir tak bernafas lagi, dan gelap. Ketakutan. Ia menyanyikan lagu ketakutannya di dalam loker itu penuh dengan isak tangis.
            Di dalam lokernya sendiri.

****

            Nafas terhempas jauh dari dalam tubuhnya. Menutup matanya dengan penuh kedamaian. Bulir-bulir keringat hangat menitik dari keningnya. Rambutnya basah, kepanasan akibat pengap yang ia rasakan. Beep pingsan setelah beberapa jam ini ia menangis di dalam loker. Sudah tidak ada orang lagi di dalam kampus itu. Meski mungkin hanya ada beberapa dosen dan mahasiswa yang mengambil kelas malam. Tapi mereka semua berada di lantai tiga, lokernya terdapat di lantai satu. Sialnya ia tidak membawa ponsel. Ia telah berdoa pada Tuhan agar ia masih selamat dari kegelapan yang meliputi dirinya. Ia takut dengan kegelapan jika tidak ada seseorang yang menemaninya. Ia merasa dirinya akan lenyap di dalam kegelapan itu dan menghilang. Ia telah berteriak-teriak dan menggedor-gedor pintu loker, namun tidak ada yang membantunya untuk keluar. Bahkan mendengarnya. Kedua lututnya ia tekuk hingga dadanya, tas yang ia bawa berada di sebelahnya. Tempat ini memang cukup untuk tubuhnya yang mungil, tapi tetap saja ia tidak dapat menarik nafasnya dengan normal.
            Namun sekarang tubuhnya seakan-akan terhempas. Tidak ada yang ia rasakan. Ia pingsan. Tak ada yang dapat ia lakukan selain itu. Suara ketukan kaki dari seseorang terdengar dari jarak jauh menuju loker Beep. Terlihat Caitlin dengan wajahnya yang sudah pucat berlari ke arah loker Beep dengan jantung yang berdetak kencang. Ia menyayangi Beep, mereka telah bersahabat lebih dari 15 tahun. Tentu saja ia tidak ingin kehilangan sahabatnya meski sahabatnya sering berbohong. Tapi Caitlin tahu, Beep tidak akan pernah berbohong padanya. Memang benar. Beep tidak penah berbohong pada Caitlin. Beep lebih sering membohongi dirinya sendiri dibanding ia membohongi orang lain. Ia mencoba untuk menikmati kehidupannya, tapi sebenarnya ia tidak bisa. Caitlin berdiri tepat di depan pintu loker Beep. Untunglah Beep selalu memberi kode kunci lokernya.
            Justin berjalan santai dengan seorang gadis pirang, Kerri, yang ia rangkul sekarang menuju Caitlin yang telah berkeringat. Tampak Justin biasa-biasa saja melihat Caitlin yang khawatir itu. Justin berpikir, tidak mungkin gadis itu mati di dalam loker. Kalaupun ia mati, hati Justin mungkin akan tersenyum. Saat kunci telah terbuka, Caitlin langsung membuka pintunya dengan cepat. Seorang gadis polos mungil dengan wajahnya yang pucat terkulai lemas di dalam loker itu. Terlihat sekali Beep kehilangan nafas dan kepanasan. Untunglah masih ada tiga garis bolong yang terdapat di pintu loker Beep, sehingga untuk beberapa jam Beep masih bisa bernafas. Namun sekarang sudah tidak.
            “Beep!” jerit Caitlin langsung terjongkok dan memegang tangan Beep yang berkeringat juga. “Beep, apa kau masih bernafas?” tanya Caitlin menarik kepala Beep yang bersandar pada dinding loker.  Tentu saja Beep tidak menjawab, ia kehilangan nafas.
            “Justin, you’re such a fucking asshole I’ve ever met. This is shit!” ujar Caitlin menarik tubuh Beep dari dalam loker.
            “Apa dia baik-baik saja?”
            “Dia sangat baik-baik saja,” gumam Caitlin mencoba menarik tubuh Beep, “Tentu saja tidak kau sialan!” teriak Caitlin, marah. Justin melepaskan rangkulannya dari Kerri dan berjalan lebih cepat menuju Caitlin yang berusaha untuk mengangkat Beep. Beep telah keluar dari loker dengan tubuh yang benar-benar bekeringat. Mata Justin melebar tak percaya dengan apa yang baru saja ia benar-benar perbuat. Gadis ini terlihat begitu tersiksa. Bahkan keringat di rambutnya menetes. Caitlin yang memegang kedua pergelangan Beep menatap Justin dengan nafas yang terengah-engah.
            “Apa yang kaulakukan? Melihatnya sampai ia benar-benar mati?” tanya Caitlin benar-benar kesal dengan Justin. Sontak Justin langsung mengangkat Beep untuk masuk ke dalam gendongannya. Justin menempatkan Beep di atas bahu sebelah kanannya, sehingga sekarang kepala Beep berada di punggung Justin. Kedua tangannya menggantung di udara dan Justin memegang paha Beep dengan erat. Caitlin tidak dapat protes dengan cara gendong Justin yang benar-benar kurang ajar itu, tidak ada waktu untuk mengkritik cara gendong Justin. Caitlin membanting pintu loker Beep dan menatap Kerri yang melipat tangannya di depan dadanya.
            “Apa yang kaulakukan di sini? Mengapa kau ikut dengan kami? Apa kau cemburu karena kemesraan mereka berdua? Enyahlah! Mereka sudah ditakdirkan bersama dan kau tidak akan pernah mendapatkan Justin,” ujar Caitlin terlalu kesal dengan keadaan yang sekarang ia lewati. Kerri menaikan salah satu alisnya dengan bingung, namun Kerri juga merasa tersinggung dengan ucapan Caitlin.
            “Oh, tunggu saja. Aku akan mendapatkan Justin,”
            “Bermimpilah dengan indah. Kapan pun Beep membuka matanya, maka saat itu juga ia akan mendapatkan Justin, enyahlah!” ujar Caitlin mulai meninggalkan Kerri dan menghampiri Justin yang sudah berada pada mulut pintu kampus yang terbuka dengan lebar. “Tunggu aku kau bajingan!” teriak Caitlin berlari.

***

*Taylor Pulmer  POV*

            Mataku terbuka secara perlahan dengan kepala yang terasa begitu pening. Melihat bayang-bayang di hadapanku dan suaran yang tidak begitu dapat kudengar. Beberapa detik kemudian aku melihat ke sekelilingku, Caitlin yang tertidur di atas sofa dan Justin yang menyembunyikan wajahnya di balik kedua tangannya yang terlipat. Akhirnya! Akhirnya aku bisa menarik nafas dengan bebas. Setelah aku harus melewati masa-masa yang membuatku ketakutan, akhirnya aku terbangun di rumah sakit yang begitu tenang. Dan Justin yang berada di sampingku. Justin berada di sampingku.
            Aku terkejut saat tiba-tiba saja Justin mengangkat kepalanya dan mengucek matanya sebentar. Ternyata ia baru saja tertidur. Sudah jam berapa sekarang? Aku melihat ke sekeliling tembok dan melihat sebuah jam dinding yang bertengger di sana, sudah pagi. Kurasa. Karena jam sudah menunjukan pukul 8 dan tirai biru muda terlihat begitu terang.
            “Hey, Beep,” suara Justin benar-benar lembut. Kali ini, aku percaya dengan ucapan Justin. Tidak mungkin ia membawaku ke sini dan menungguiku di sini. Sebenarnya, aku tahu, ia peduli padaku. Sama seperti Theo peduli padaku.
            “Hai,” aku menyapa dengan suara selembut mungkin. Kali ini aku ingin meluruskan segalanya. “Apa kau ingin aku menjelaskan apa yang telah terjadi di antara diriku, Theo dan kau?”
            “Aku sudah tidak mempercayaimu lagi,” ujar Justin yang awalnya kupikir ingin memaafkanku. Hatiku mengecil saat Justin berkata seperti itu. Tapi tidak apa-apa. Aku memang tidak patut untuk dipercayai. Aku selalu berbohong dan itu sudah masa lalu. Kali ini aku sudah hidup dalam dunia nyata. Justin yang telah menyadarkanku bahwa aku memang seorang yang tertolak. Dan aku bisa menerima itu sekarang. Meski aku tahu, itu memang menyakitkan sekali. Menarik nafas, aku mengangguk dan mencoba untuk terduduk.
            “Tapi kau boleh menjelaskannya, meski aku tahu, kau pasti berbohong,” ujar Justin tertarik. Setidaknya, Justin ingin mendengarkan penjelasanku.
            “Well, aku terlahir menjadi anak tertolak. Kau tahu, aku anak angkat dari keluarga Pulmer. Ibuku membuangku ke panti asuhan dan aku tidak pernah tahu di mana ayahku. Tapi aku memiliki fotonya, ia mirip denganku. Itu dari ibuku yang menyelipkannya di dalam bajuku sewaktu aku masih kecil. Kau ingin singkat ceritanya?”
            “Apa pun yang kaukatakan, aku tidak akan percaya. Panjang atau pendek, aku tidak peduli,” ujarnya tampak acuh. Aku menganggukan kepalaku dan menelan ludah, mengerti.
            “Lalu aku hidup dalam dunia kebohongan. Aku berbohong karena aku ingin diterima oleh orang-orang sekitar. Ya, aku berbohong agar aku diterima. Keinginan terbesarku adalah aku diterima oleh orang yang sangat kucintai. Aku mencintai orang tua kandungku karena mereka masih ingin mempertahanku dan lahir ke dunia ini meski aku tahu ..aku tertolak. Dan semuanya tampak lebih rumit saat aku bertemu dengan Theo,” aku berhenti sejenak, mengambil nafasku dalam-dalam. Oh Tuhan, aku ingin menangis. “Lalu aku bertemu dengan Theo. Lelaki yang mengingatkanku padamu saat aku bertemu di bandara. Aku menyukainya, tentu saja. Karena semua berawal darimu. Tapi dari semua itu, aku mencintai hatinya yang mencintaiku penuh dengan ketulusan,” aku menarik nafas dan menatap Justin yang tidak menatapku. Ia tampak diam, matanya menatap kosong pada selimut yang kupakai.
            “Aku membohonginya saat aku melihatmu bersama dengan Christian, adik Caitlin. Well, semua ini berawal darimu, maka aku lebih mencintaimu dibanding Theo. Aku berbohong pada Theo dan aku juga berbohong padamu. Dan aku tahu, aku benar-benar gadis pembohong sialan,” aku terkekeh, namun aku menitikan air mata sekarang. Bodohnya aku. “Lalu beberapa bulan kemudian Theo tahu kebohonganku. Setelah itu aku menyesal dan merasa begitu kehilangan dirinya. Aku tidak dapat menghubunginya lagi setelah dia memutuskanku. Banyak yang bilang kalau ia pergi ke Los Angeles. Dan aku berpikir, dia ingin menemuimu. Namun kau juga tidak dapat dihubungi, kau tidak muncul di Skype,” jelasku, lagi.
            “Lalu satu minggu kemudian aku memberitahu ayahku kalau aku ingin pindah ke Los Angeles dan semua ini terjadi. Aku bertemu denganmu dan kita berpacaran dan bersenggama. Segalany begitu tentram. Aku menginginkanmu lebih dari apa pun. Seperti yang kubilang tadi, keinginan terbesarku adalah orang yang kucintai dapat menerimaku. Tapi aku tahu, kau tidak akan menerimaku setelah kebohongan ini telah terbongkar. Satu lagi Justin, aku tidak sama sekali tahu, Theo telah meninggal. Aku telah meminta pengampunan dari Tuhan akan apa yang telah kuperbuat pada semua orang yang telah kubohongi. Dan sekarang kita berada di sini. Kau tidak akan pernah mempercayaiku, aku tahu dan aku menerima itu,” jelasku, “satu hal yang harus kau tahu Justin, aku mencintaimu sekalipun kau menyakitiku berulang-ulang,” kali ini aku mengakhiri segalanya.
            “Akhir dari cerita,” bisik Justin, mendongakan kepalanya dan tersenyum padaku. Kemudian ia menggelengkan kepalanya seakan ia tidak percaya dengan segala yang kukatakan. Hey, aku telah berjanji pada Tuhan untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
            “Aku tahu kau tidak percaya padaku,” bisikku dengan suara yang pelan. “Aku telah bersumpah pada Tuhan untuk tidak berbohong lagi,” lanjutku.
            “Aku tidak percaya,”
            “Justin, sekalipun kau tidak percaya dengan apa yang kukatakan tadi. Tapi aku bersumpah, perasaanku benar-benar lega dengan segala yang telah kukatakan tadi,”
            “Jadi, lebih mencintaiku lebih dari pada Theo eh?”
            “Ya,”
            “Oh, Beep,” Justin bangkit dari kursinya dan memelukku. “Aku sungguh menyesal dengan apa yang telah kuperbuat. Bahkan aku yang telah membuatmu berada di sini,” gumam Justin menaruh kepalaku pada dadanya yang keras. Entahlah, apa dia serius dengan apa yang ia katakan? Haruskah aku mempercayainya? Aku masih mencintainmya.
            “Kau mencintaiku?”
            “Kau bahkan telah bersumpah pada Tuhan untuk tidak berbohong lagi. Ya Tuhan, aku telah menyia-nyiakanmu selama ini. Oh, maafkan aku. Maafkan aku,” bisik Justin menarik wajahku dan mengecup bibirku berkali-kali.
            “Maafkan aku, maafkan aku, maafkan aku,” gumamnya terus mengecup bibirku dan aku berusaha untuk menarik bibirnya agar ciuman ini akan bertahan lama. Tapi ia memainkan bibirku.
            “Kau percaya padaku?” tanyaku di sela-sela ciumannya.
            “Aku percaya padamu sejak pertama kali aku menatap matamu. Aku sekarang aku mencintaimu bukan karena Theo. Aku benar-benar mencintaimu, aku tidak akan pernah menyakitimu. Melihatmu terbaring di atas tempat tidur ini benar-benar membuatku sakit. Aku tidak akan pernah menyakitimu lagi,”
            “Sekalipun aku nakal?”
            “Kalau itu ..aku harus berpikir dua kali,” ujar Justin.
            “Aku mencintaimu Justin,”
            “Maka aku mencintaimu,” bisik Justin menarik wajahku lagi dan mengecup bibirku, kali ini lebih dalam. Mmm.

***

            Justin membaringkanku di atas tempat tidurnya. Salah satu tangannya sudah sibuk dengan celana jins biru muda pendek yang kupakai. Tanganku melingkar di lehernya dan bibir kami terpagut dengan penuh kemesraan. Bunyi cepakan dari ciuman kami membuatku semakin merasakan lembab di bawah sana. Ia telah melepaskan celana pendekku, kemudian telapak tangannya mulai menangkup bagian bawahku dengan tangannya yang besar. Aku mengerang di dalam mulutnya saat ia menggesekan jari tengahnya di bawah sana. Melepaskan ciuman ini, mataku langsung bertemu dengan mata Justin yang berkobar penuh nafsu. Tapi demi apa pun, kali ini tatapan matanya tidak seperti dulu. Nafsu penuh cinta di dalam sini. Aku bisa merasakan kelembutannya. Aku merasa lebih dicintai.
            “Kau menyukainya?” tanya Justin menekan-nekan bagian bawahku. Aku menganggukan kepalaku dan mengerutkan keningku. Oh, astaga. Rasanya benar-benar nikmat. Aku memejamkan mataku dan berusaha untuk tidak menggerak pinggulku. Tangan Justin yang lain mulai melepaskan pakaianku dan menariknya ke atas sehingga tanganku terlepas dari lingkaran leher Justin.
            “Oh ini adalah bagian kesukaanku,” ujar Justin menarik ke atas bra yang kupakai dan mulutnya langsung menarik putingku ke atas sehingga aku langsung tersentak karenanya
            “Oh kumohon!” aku menjerit saat jarinya mengesampingkan celana dalamku dan jarinya mulai menyentuh bagian bawahku yang tidak memiliki cela apa pun di sana. Ya, aku mencukurnya.
            “Siaaaal,” erang Justin memasukan jarinya ke dalam tubuhku. Aku tersentak, menjerit. Bibirnya masih berada di dadaku dan memainkan lidahnya di sana.
            “Tidak, apa yang kaulakukan,” aku berusaha mendorong kepala Justin dari dadaku. Jari jempolnya menekan pada daerah tersensitif bagian bawahku. Aku tersentak dan Justin tertawa. Aku hampir sampai pada pelepasanku. Tubuhku tersentak ke atas dan pinggangku melengkung ke depan.
            “Ya, terus sayang. Bagus,” desah Justin semakin mempercepat gerakan jarinya di dalam tubuhku. Aku memegang otot lengannya dan menggelengkan kepalaku, menggigit bibirku mencoba untuk menjerit karena keenakan. Lalu jarinya menghilang dan aku membuka mataku. What the fuck? Ia menjilat jarinya tepat di depan mataku dan aku hanya menggelengkan kepalaku tak percaya dengan apa yang baru saja ia lakukan. Maksudku, ini untuk yang pertama kalinya.“Apa yang kaulakukan?” tanyaku.
            “Oh, aku menyesal karena aku baru mencicipi rasamu sekarang. Ternyata lezat,” bisiknya cabul lalu ia mencium bibirku kembali. “Aku akan melakukannya setelah kau mengatakannya,”
            “Mengatakan ya untuk apa?” tanyaku bingung. Ia melepaskan bibirnya dari bibirku dan lalu ia merogoh kantong celana jins yang masih ia pakai. Aku menggelengkan kepalaku dan mulutku terbuka, terngaga tak percaya apa yang sekarang ia lakukan.
            “Taylor Christina Pulmer, maukah kau menjadi pendamping hidupku sampai aku mati?” WHAT THE FUCK!
****

            “Mengapa?” tanyaku, menatap mata Justin begitu dalam. “Mengapa aku?” bisikku lagi. Justin menarik nafasnya dan lalu ia terduduk. Ia melebarkan kakinya sehingga terbuka kemudian ia menarik kedua kakiku dan menyeretnya menuju tubuhnya lalu ia menempatkannya di atas  pahanya. Sehingga sekarang, kakiku juga terbuka lebar. Hanya saja aku sudah setengah telanjang. Ia menarik kedua tanganku hingga aku terduduk berhadapan dengan wajahnya. Mataku bertemu dengannya dan itu membuat jantungku berdetak lebih kencang. Tangannya melingkar di sekitar pinggangku yang telanjang dan memiringkan kepalanya ke salah satu sisi.
            “Kau mau tahu mengapa aku memilihmu menjadi istriku?” Aku menganggukan kepalaku. Tentu saja aku ingin tahu mengapa ia memilihku. Sebenarnya, aku bersorak penuh kebahagiaan di dalam ini karena ia menginginkanku. Aku diinginkan oleh lelaki yang kucintai. Tentu saja aku ingin menjadi istrinya. Mataku masih melihat pada matanya, ia menelan ludahnya.

*Justin Bieber POV*

            Ya Tuhan. Mengapa selama ini aku bodoh sekali? Aku mencintainya hanya karena aku menyukai tubuhnya. Mungkin aku tidak bisa menyebutkan bahwa aku mencintainya. Aku adalah lelaki yang menyatakan cinta padanya hanya karena aku ingin ia menjadi milikku agar aku bisa memakai tubuhnya untuk keperluan nafsuku. Tapi, sial, aku bukan lelaki seperti itu. Mengingat kejadian kemarin membuatku sadar tentang cinta. Aku mencintai Beep. Saat aku menggendong Beep dari kampus dan melihat wajahnya yang begitu pucat dan berkeringat, air mataku hampir mengalir. Aku merasa, aku tidak dapat hidup tanpanya. Sebenarnya, sejak kepergiannya dari rumahku, aku tidak dapat hidup tanpanya. Well, jika ingin kuperinci, hidupku tidak akan tenang jika aku tidak melihat wajahnya. Keadaannya. Dan saat kemarin aku melihat wajahnya yang pucat, jantungku seperti berhenti berdetak. Ada ketakutan dalam hatiku. Seperti hatiku berteriak mengatakan, ia adalah gadis yang Tuhan takdirkan bersamamu. Benar. Memang benar. Beep adalah gadis yang ditakdirkan Tuhan untukku. Tidak mungkin jika Beep telah dipertemukan dengan Theo, setelah ia bertemu denganku, lalu akhirnya ia bertemu denganku lagi. Ini bukan kebetulan. Aku tidak percaya dengan kebetulan. Semuanya Tuhan telah rancang sebaik mungkin.
            Aku meremas pinggangnya yang lembut seperti kulit bayi.
            “Karena kau adalah gadis yang ditakdir oleh Tuhan untukku,” bisikku mengecup hidungnya dengan lembut. Beep terdiam, ia tidak menjawabku. Namun matanya seakan-akan mencari petunjuk dari mataku. Mencari jawaban yang menurutnya lebih tepat. Tapi aku bersumpah, aku benar-benar mencintainya. Aku tidak akan pernah menyakitinya lagi untuk yang kedua kalinya. Sekarang aku tahu mengapa Theo tidak ingin menyakiti Beep. Beep adalah gadis spesial dengan kebohongan yang ia miliki. Aku percaya padanya sekarang. Ia memang telah memegang janjinya pada Tuhan. Ceritanya sama dengan cerita yang Caitlin bilang, meski aku tahu, aku tidak butuh Caitlin untuk mempercayai Beep. Tapi setidaknya, ia telah berjanji untuk tidak pernah melakukannya lagi.
            “Dengan segala kekuranganku? Kau tahu, biasanya aku bersendawa setelah makan,”
            “Dengan segala kekuranganmu. Sekalipun kau bersendawa di depanku, aku tidak peduli,” bisikku menggelengkan kepalaku, tak habis pikir ternyata dia adalah gadis yang benar-benar liar. Oh, sungguh, aku gemas sekali dengan gadis ini. Mengapa ia tidak langsung mengatakan: Ya!
            “Jadi, Beep, kekasih yang tidak akan pernah kusakiti untuk yang kedua kalinya. Apa kau ingin hidup senang-susah, miskin-kaya, sehat-sakit denganku hingga maut memisahkan kita?” tanyaku mendekatkan bibirku dengan bibirnya.
            “Ya,”
            “Oh, sekarang aku tahu mengapa Theo benar-benar mencintainmu. Aku mencintaimu, Taylor Christina Bieber,” ujarku mengecup bibirnya dengan lembut. Ia membalasnya tak kalah lembut. Ini adalah ciuman cintaku padanya. Segalanya aku lakukan dengan kasih, hanya untuknya. Dan anakku kelak.

***

*Taylor Pulmer POV* 

            Mengambil keputusan yang benar-benar mengubah seluruh hidupku sangatlah tidak mudah. Segalanya harus dipertimbangkan. Pernikahanku dan Justin akan berlangsung satu tahun lagi. Aku bertunangan dengannya. Aku juga telah memberitahu masalah ini pada ayahku dan ia cukup terkejut. Bahkan ia bertanya apakah aku hamil. Tentu saja tidak! Tidak, aku tidak hamil. Ayah Justin juga tampak frustrasi karena masalah ini. Oke, baiklah.
            Sebenarnya kejadian itu terjadi sekarang. Aku menatap pada ayahku yang terduduk di hadapanku dan ia dari tadi terdiam. Justin merangkulku dengan erat, matanya menatap pada ayahnya dengan tatapan tajam. Setajam tatapan elang mencari mangsanya. Bahkan di saat seperti ini, Justin bisa menjadi lelaki yang lebih garang dibanding ayahnya. Cukup menyeramkan juga. Maksudku, hey, tentu saja ayahnya akan mempertimbangkan ini. Ini demi kelangsungan masa depan kami. Aku telah membayangkan bagaimana anak-anakku di masa depan bersama dengan Justin. Jika ia perempuan, talenta apa yang akan ia miliki. Bisa kubilang ia akan pintar bermain piano, sama sepertiku. Jika ia lelaki, mungkin ia akan pintar bermain basket.
            “Justin, ini bukan masalah yang main-main, nak. Kau harus bertanggungjawab akan dirimu sendiri dan juga Taylor. Kau belum siap untuk bertanggungjawab atasnya,” ujar ayahnya menatapku dan menggelengkan kepalanya. Lalu kepalaku tertunduk, tidak berani menatap mata ayahnya yang prihatin denganku. Caitlin juga cukup was-was dengan keputusan yang kuambil. Ia berpikir, Justin belum siap untuk mengurus diriku. Well, Caitlin tidak mengkhawatirkanku. Aku dan Caitlin dulu adalah seorang penjaga anak di sebuah rumah sehingga aku bisa merawat bayi dan anak-anak kecil dengan baik. Hanya saja, Justin. Aku bisa bertanggungjawab atas diriku, aku juga yakin Justin bisa menjadi pemimpin keluarga yang baik. Buktinya, selama aku tinggal bersama dengan Justin, Caitlin dan Christian semuanya tampak baik-baik saja. Karena Justin yang mengaturnya. Maksudku, jadwal keseharian kami biasanya disesuaikan dengan jadwal Justin.
            “Aku tentu saja siap,”
            “Kau bahkan tidak bisa bertanggungjawab atas tubuhmu. Kau pernah meninggal!” teriak ayahnya yang membuatku cukup tersentak. Penggangan tangan Justin terhadap pinggangku semakin mengencang. Aku merasa terlindungi jika bersama dengannya.
            “Sial,” gumam Justin, “itu karena aku merasa aku masih memiliki Theo. Aku sudah bisa merawat diriku sendiri. Oh, sial. Kenapa rasanya susah sekali untuk mendapatkan restu darimu?” tanya Justin kesal.
            “Kau ingin aku merestui kalian? Aku selalu senang dengan hubungan kalian. Aku setuju, tapi tidak dengan pernikahan. Kau masih sangat muda Justin, aku tidak ingin kau tidak bisa bertanggungjawab atas Beep. Kau bahkan tidak dapat hidup hanya dengan satu gadis,”
            “Apa yang kaukatakan? Selama delapan bulan? Kau bilang aku tidak bisa bertahan dengan satu gadis? Apa-apaan!” Justin benar-benar kesal.
            “Justin,” aku berusaha untuk menenangkannya. Mataku langsung bertemu dengan matanya, nafasnya tak beraturan lalu ia berusaha untuk mengaturnya sebaik mungkin. Tangannya berkeringat dan hangat, aku bisa merasakannya. Astaga, haruskah ia berteriak seperti itu? Pernikahan ini tidak mungkin langsung kita jalani. Butuh berbulan-bulan untuk mempersiapkannya. Well, aku tidak butuh pernikahan yang mewah. Asal pernikahan itu bersama dengan Justin, semuanya akan terlihat begitu sempurna.
            “Dengar. Theo pernah mendapatkan gadis ini dan aku dapat merasakan sebetapa senangnya dia dan bahagianya dia telah mendapatkan Beep. Lalu ia datang juga ke dalam kehidupanku. Aku bisa merasakan hal yang sama. Oh, ayah, mengapa susahnya untuk membujukmu agar aku menikah dengannya,” jelas Justin akhirnya dapat mengontrol emosinya. Ia menghempaskan tubuhnya ke belakang dan menggelengkan kepalanya tak habis pikir. Ia tampak begitu frustrasi, tapi aku tidak begitu menganggap ini serius. Maksudku, kita masih memiliki waktu untuk melakukan pernikahan. Justin saja yang ingin ini terjadi begitu cepat. Mendongak melihat ayahku, ia hanya mengangkat kedua bahunya dan menggelengkan kepalanya. Ia telah menyetujui pernikahan ini asal Justin benar-benar bertanggungjawab. Tentu saja Justin akan menjadi lelaki yang bertanggungjawab.
            “Aku hanya ingin memiliki seseorang yang dapat mencintaiku setiap saat lagi,” bisik Justin. Ayahnya mendongakan kepalanya, menatap pada Justin yang memejamkan matanya lalu menghembuskan nafasnya lagi. “Sial,” bisik Justin.
            “Baiklah,” akhirnya. Kata itu akhirnya muncul dari mulut ayah Justin.
            “Apa kau serius? Karena aku serius melakukan ini,”

            “Jika kau memang mencintainya dan kau yakin dapat merawatnya dan mencintainya seperti kau mencintai dirimu sendiri, menikahlah dengannya,” ujar ayahnya kali ini benar-benar serius. Aku menghela nafasku dengan penuh kelegaan. Justin meremas pinggangku dengan tangannya yang berkeringat. Aku akan benar-benar menikah dengannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar