*Author POV*
Delapan
orang lelaki dengan lima orang gadis cantik sedang membuat lingkaran. Sebuah
botol bir yang kosong telah berada di atas karpet yang cukup licin yang dapat memutar-mutarkan
botol itu dengan cepat. Justin dan ketujuh teman-temannya yang lain duduk penuh
dengan tidak sabaran, apa yang akan mereka lakukan setelah ini. Dua orang gadis
yang mereka kenal yaitu Caitlin dan Valent duduk di sebelah Justin dan Joseph duduk
di sebelah Valent –mereka berpacaran—dengan tiga gadis yang Zayn temui di
sebuah bar kemarin duduk di sebelah Joseph dan Zayn. Mereka duduk melingkar di
dalam ruang keluarga itu, menyingkirkan meja yang sebenarnya berada di
tengah-tengah karpet itu. Salah satu gadis pirang yang tadi siang berada di
kampus itu juga termasuk gadis yang Zayn temui di bar.
“Siapa
yang terlebih dahulu?” tanya Justin dengan tenang.
“Aku!”
teriak gadis berambut pirang yang sudah bertemu dengan Justin tadi siang
mengangkat tangannya dengan semangat.
“Silahkan,
Kerri,” bisik Justin dengan suara seksi. Genit, Kerri membungkuk dan memamerkan
bokongnya pada Zayn yang berada di sebelahnya. Kerri hanya memakai celana
pendek berwarna biru muda yang benar-benar pendek, bahkan ia tidak memakai
celana dalamnya. Kerri mulai memutar botol bir yang berada di tengah-tengah itu
dengan kencang. Lalu botol itu berputar-putar ..berputar-putar ..lalu berhenti
pada Christian. Christian yang melihat botol itu yang menunjuk padanya langsung
melotot tak percaya. Astaga.
“Jujur
atau berani?” tanya Kerri dengan cepat. Christian berpikir dan menatap pada
langit-langit dan menarik nafasnya.
“Berani!”
“Buka
bajumu, kecuali boxer,” suruh Kerri yang memberikan tantangan yang cukup mudah
bagi Christian. Chris berdiri dari tempatnya dan melepaskan seluruh pakaiannya
hingga hanya tersisa boxer putih yang ia pakai. Dua gadis yang Zayn temu di bar
melihat Christia dengan mata penuh nafsu. Tentu saja. Christian memiliki tubuh
yang benar-benar indah, terpahat dengan sempurna.
“Giliranku,”
ujar Christian membungkuk dan memutarkan botol itu. Lalu botol itu berhenti
pada Caitlin.
“Jujur
atau berani,”
“Jujur,”
“Lelaki
pertama yang mendapatkan keperawananmu?” tanya Christian yang membuat Caitlin
melotot padanya dan tidak menyangka jika adiknya akan menanyakan pertanyaan
seperti itu. Caitlin menarik nafasnya dan menggelengkan kepalanya.
“Tidak,
aku tidak pernah melakukan hubungan badan,” ujar Caitlin menunduk malu. Sontak
para lelaki yang berada di sekitar mereka berteriak tak menyangka.
“Piupiupiu,”
suara mobil polisi terdengar dari mulut Louis, “sepertinya akan ada lelaki yang
beruntung malam ini,”
“Sial,
kau memang hebat menjaga diri,”
“Anak
remaja,” ejek dua gadis yang lain.
Caitlin mendongakan kepalanya dan tertawa meledak, ikut bersama dengan
teman-temannya yang lain kemudian berhenti beberapa menit kemudian.
“Giliranku,” ujar Caitlin mulai membungkuk dan memutarkan botol bir itu yang
sekarang sudah berputar. Berputar-putar ..berputar-putar ..kemudian berhenti
menunjuk pada Zayn.
“Jujur
atau berani?” tanya Caitlin.
“Hell
yeah! Berani!”
“Buka
bajumu sama seperti Christian,” ujar Caitlin yang membuat Justin menutup
mulutnya tak percaya. Astaga, ternyata Caitlin juga bisa menjadi gadis yang
sangat nakal. Justin melihat pertunjukan di depannya dengan gemas. Kapan
gilirannya? Ia sungguh tidak sabar untuk gilirannya.
“Giliranku,”
ujar Zayn yang telah membuka pakaiannya yang hanya tertinggal boxer tertempel
pada tubuhnya. Ia memutar botol itu dan berhenti pada Kerri. Kerri menjerit
penuh dengan kesenangan yang berlebihan.
“Berani!”
ujar Kerri tanpa ditanya.
“Buka
bajumu. Sisakan bra dan celana dalammu,” ujar Zayn cabul. Kerri langsung
berdiri dan melakukannya dengan cepat. Justin yang menatap Kerri membuka pakaiannya
benar-benar membuat jakunnya naik-turun. Namun jantungnya tidak berdetak lebih
kencang sama seperti ia menatap pada Beep yang jika ia menatap mata Beep
jantungnya akan berdetak lebih kencang. Namun ia ingin melakukan hubungan badan
dengan Kerri secepat mungkin. Sekarang juga. Apalagi dada milik Kerri
benar-benar besar. Saat Kerri menunduk, mata Justin melebar melihat dadanya
yang menggantung.
“Jujur
atau berani?” tanya Kerri pada Justin. Justin tersadar dari lamunannya dan
melihat botol yang ternyata menunjuk pada dirinya.
“Jujur?”
“Hal
apa yang menyenangkan yang pernah kaulakukan hari ini?”
“Aku
memasukan Beep ke dalam loker,” ujar Justin dengan jujur.
“Sial
kau Justin! Apa yang kaulakukan padanya?” teriak Caitlin bangkit dari duduknya
dan menghampiri Justin, Caitlin langsung menarik kaos putih yang Justin pakai.
Mata Justin masih berwarna abu-abu. Lensa kontak mata.
“Memasukannya
ke dalam lokernya sendiri,”
“Apa
dia terkunci?”
“Tentu
saja bodoh!”
“Sial
kau Justin! Sial!” teriak Caitlin langsung pergi dari hadapan Justin. “Kau
tidak tahu seberapa takut dirinya dengan kegelapan jika tidak ada orang-orang
di sekitarnya. Jika ia tidak dapat bernafas di dalam loker sana, aku akan
menuntutmu. Aku serius.” Ujar Caitlin menatap pada Justin dengan penuh rasa
kekesalan yang mendalam.
Sekarang
sudah malam.
Kegelapan
meliputi kampus. Beep sendirian memeluk dirinya sendiri, menangis hampir tak
bernafas lagi, dan gelap. Ketakutan. Ia menyanyikan lagu ketakutannya di dalam
loker itu penuh dengan isak tangis.
Di
dalam lokernya sendiri.
****
Nafas
terhempas jauh dari dalam tubuhnya. Menutup matanya dengan penuh kedamaian.
Bulir-bulir keringat hangat menitik dari keningnya. Rambutnya basah, kepanasan
akibat pengap yang ia rasakan. Beep pingsan setelah beberapa jam ini ia
menangis di dalam loker. Sudah tidak ada orang lagi di dalam kampus itu. Meski
mungkin hanya ada beberapa dosen dan mahasiswa yang mengambil kelas malam. Tapi
mereka semua berada di lantai tiga, lokernya terdapat di lantai satu. Sialnya
ia tidak membawa ponsel. Ia telah berdoa pada Tuhan agar ia masih selamat dari
kegelapan yang meliputi dirinya. Ia takut dengan kegelapan jika tidak ada
seseorang yang menemaninya. Ia merasa dirinya akan lenyap di dalam kegelapan
itu dan menghilang. Ia telah berteriak-teriak dan menggedor-gedor pintu loker,
namun tidak ada yang membantunya untuk keluar. Bahkan mendengarnya. Kedua
lututnya ia tekuk hingga dadanya, tas yang ia bawa berada di sebelahnya. Tempat
ini memang cukup untuk tubuhnya yang mungil, tapi tetap saja ia tidak dapat
menarik nafasnya dengan normal.
Namun
sekarang tubuhnya seakan-akan terhempas. Tidak ada yang ia rasakan. Ia pingsan.
Tak ada yang dapat ia lakukan selain itu. Suara ketukan kaki dari seseorang
terdengar dari jarak jauh menuju loker Beep. Terlihat Caitlin dengan wajahnya
yang sudah pucat berlari ke arah loker Beep dengan jantung yang berdetak
kencang. Ia menyayangi Beep, mereka telah bersahabat lebih dari 15 tahun. Tentu
saja ia tidak ingin kehilangan sahabatnya meski sahabatnya sering berbohong.
Tapi Caitlin tahu, Beep tidak akan pernah berbohong padanya. Memang benar. Beep
tidak penah berbohong pada Caitlin. Beep lebih sering membohongi dirinya
sendiri dibanding ia membohongi orang lain. Ia mencoba untuk menikmati kehidupannya,
tapi sebenarnya ia tidak bisa. Caitlin berdiri tepat di depan pintu loker Beep.
Untunglah Beep selalu memberi kode kunci lokernya.
Justin
berjalan santai dengan seorang gadis pirang, Kerri, yang ia rangkul sekarang
menuju Caitlin yang telah berkeringat. Tampak Justin biasa-biasa saja melihat
Caitlin yang khawatir itu. Justin berpikir, tidak mungkin gadis itu mati di
dalam loker. Kalaupun ia mati, hati Justin mungkin akan tersenyum. Saat kunci
telah terbuka, Caitlin langsung membuka pintunya dengan cepat. Seorang gadis
polos mungil dengan wajahnya yang pucat terkulai lemas di dalam loker itu.
Terlihat sekali Beep kehilangan nafas dan kepanasan. Untunglah masih ada tiga
garis bolong yang terdapat di pintu loker Beep, sehingga untuk beberapa jam
Beep masih bisa bernafas. Namun sekarang sudah tidak.
“Beep!”
jerit Caitlin langsung terjongkok dan memegang tangan Beep yang berkeringat
juga. “Beep, apa kau masih bernafas?” tanya Caitlin menarik kepala Beep yang
bersandar pada dinding loker. Tentu saja
Beep tidak menjawab, ia kehilangan nafas.
“Justin,
you’re such a fucking asshole I’ve ever met. This is shit!” ujar Caitlin
menarik tubuh Beep dari dalam loker.
“Apa
dia baik-baik saja?”
“Dia
sangat baik-baik saja,” gumam Caitlin mencoba menarik tubuh Beep, “Tentu saja
tidak kau sialan!” teriak Caitlin, marah. Justin melepaskan rangkulannya dari
Kerri dan berjalan lebih cepat menuju Caitlin yang berusaha untuk mengangkat
Beep. Beep telah keluar dari loker dengan tubuh yang benar-benar bekeringat.
Mata Justin melebar tak percaya dengan apa yang baru saja ia benar-benar
perbuat. Gadis ini terlihat begitu tersiksa. Bahkan keringat di rambutnya
menetes. Caitlin yang memegang kedua pergelangan Beep menatap Justin dengan
nafas yang terengah-engah.
“Apa
yang kaulakukan? Melihatnya sampai ia benar-benar mati?” tanya Caitlin
benar-benar kesal dengan Justin. Sontak Justin langsung mengangkat Beep untuk
masuk ke dalam gendongannya. Justin menempatkan Beep di atas bahu sebelah
kanannya, sehingga sekarang kepala Beep berada di punggung Justin. Kedua
tangannya menggantung di udara dan Justin memegang paha Beep dengan erat.
Caitlin tidak dapat protes dengan cara gendong Justin yang benar-benar kurang
ajar itu, tidak ada waktu untuk mengkritik cara gendong Justin. Caitlin membanting
pintu loker Beep dan menatap Kerri yang melipat tangannya di depan dadanya.
“Apa
yang kaulakukan di sini? Mengapa kau ikut dengan kami? Apa kau cemburu karena
kemesraan mereka berdua? Enyahlah! Mereka sudah ditakdirkan bersama dan kau
tidak akan pernah mendapatkan Justin,” ujar Caitlin terlalu kesal dengan
keadaan yang sekarang ia lewati. Kerri menaikan salah satu alisnya dengan
bingung, namun Kerri juga merasa tersinggung dengan ucapan Caitlin.
“Oh,
tunggu saja. Aku akan mendapatkan Justin,”
“Bermimpilah
dengan indah. Kapan pun Beep membuka matanya, maka saat itu juga ia akan
mendapatkan Justin, enyahlah!” ujar Caitlin mulai meninggalkan Kerri dan
menghampiri Justin yang sudah berada pada mulut pintu kampus yang terbuka
dengan lebar. “Tunggu aku kau bajingan!” teriak Caitlin berlari.
***
*Taylor Pulmer POV*
Mataku
terbuka secara perlahan dengan kepala yang terasa begitu pening. Melihat
bayang-bayang di hadapanku dan suaran yang tidak begitu dapat kudengar.
Beberapa detik kemudian aku melihat ke sekelilingku, Caitlin yang tertidur di
atas sofa dan Justin yang menyembunyikan wajahnya di balik kedua tangannya yang
terlipat. Akhirnya! Akhirnya aku bisa menarik nafas dengan bebas. Setelah aku
harus melewati masa-masa yang membuatku ketakutan, akhirnya aku terbangun di
rumah sakit yang begitu tenang. Dan Justin yang berada di sampingku. Justin berada di sampingku.
Aku
terkejut saat tiba-tiba saja Justin mengangkat kepalanya dan mengucek matanya
sebentar. Ternyata ia baru saja tertidur. Sudah jam berapa sekarang? Aku
melihat ke sekeliling tembok dan melihat sebuah jam dinding yang bertengger di
sana, sudah pagi. Kurasa. Karena jam sudah menunjukan pukul 8 dan tirai biru
muda terlihat begitu terang.
“Hey,
Beep,” suara Justin benar-benar lembut. Kali ini, aku percaya dengan ucapan
Justin. Tidak mungkin ia membawaku ke sini dan menungguiku di sini. Sebenarnya,
aku tahu, ia peduli padaku. Sama seperti Theo peduli padaku.
“Hai,”
aku menyapa dengan suara selembut mungkin. Kali ini aku ingin meluruskan segalanya.
“Apa kau ingin aku menjelaskan apa yang telah terjadi di antara diriku, Theo
dan kau?”
“Aku
sudah tidak mempercayaimu lagi,” ujar Justin yang awalnya kupikir ingin
memaafkanku. Hatiku mengecil saat Justin berkata seperti itu. Tapi tidak
apa-apa. Aku memang tidak patut untuk dipercayai. Aku selalu berbohong dan itu
sudah masa lalu. Kali ini aku sudah hidup dalam dunia nyata. Justin yang telah
menyadarkanku bahwa aku memang seorang yang tertolak. Dan aku bisa menerima itu
sekarang. Meski aku tahu, itu memang menyakitkan sekali. Menarik nafas, aku
mengangguk dan mencoba untuk terduduk.
“Tapi
kau boleh menjelaskannya, meski aku tahu, kau pasti berbohong,” ujar Justin
tertarik. Setidaknya, Justin ingin mendengarkan penjelasanku.
“Well,
aku terlahir menjadi anak tertolak. Kau tahu, aku anak angkat dari keluarga
Pulmer. Ibuku membuangku ke panti asuhan dan aku tidak pernah tahu di mana
ayahku. Tapi aku memiliki fotonya, ia mirip denganku. Itu dari ibuku yang
menyelipkannya di dalam bajuku sewaktu aku masih kecil. Kau ingin singkat
ceritanya?”
“Apa
pun yang kaukatakan, aku tidak akan percaya. Panjang atau pendek, aku tidak
peduli,” ujarnya tampak acuh. Aku menganggukan kepalaku dan menelan ludah,
mengerti.
“Lalu
aku hidup dalam dunia kebohongan. Aku berbohong karena aku ingin diterima oleh
orang-orang sekitar. Ya, aku berbohong agar aku diterima. Keinginan terbesarku
adalah aku diterima oleh orang yang sangat kucintai. Aku mencintai orang tua
kandungku karena mereka masih ingin mempertahanku dan lahir ke dunia ini meski
aku tahu ..aku tertolak. Dan semuanya tampak lebih rumit saat aku bertemu
dengan Theo,” aku berhenti sejenak, mengambil nafasku dalam-dalam. Oh Tuhan,
aku ingin menangis. “Lalu aku bertemu dengan Theo. Lelaki yang mengingatkanku
padamu saat aku bertemu di bandara. Aku menyukainya, tentu saja. Karena semua
berawal darimu. Tapi dari semua itu, aku mencintai hatinya yang mencintaiku
penuh dengan ketulusan,” aku menarik nafas dan menatap Justin yang tidak
menatapku. Ia tampak diam, matanya menatap kosong pada selimut yang kupakai.
“Aku
membohonginya saat aku melihatmu bersama dengan Christian, adik Caitlin. Well,
semua ini berawal darimu, maka aku lebih mencintaimu dibanding Theo. Aku
berbohong pada Theo dan aku juga berbohong padamu. Dan aku tahu, aku
benar-benar gadis pembohong sialan,” aku terkekeh, namun aku menitikan air mata
sekarang. Bodohnya aku. “Lalu beberapa bulan kemudian Theo tahu kebohonganku.
Setelah itu aku menyesal dan merasa begitu kehilangan dirinya. Aku tidak dapat
menghubunginya lagi setelah dia memutuskanku. Banyak yang bilang kalau ia pergi
ke Los Angeles. Dan aku berpikir, dia ingin menemuimu. Namun kau juga tidak
dapat dihubungi, kau tidak muncul di Skype,” jelasku, lagi.
“Lalu
satu minggu kemudian aku memberitahu ayahku kalau aku ingin pindah ke Los
Angeles dan semua ini terjadi. Aku bertemu denganmu dan kita berpacaran dan
bersenggama. Segalany begitu tentram. Aku menginginkanmu lebih dari apa pun.
Seperti yang kubilang tadi, keinginan terbesarku adalah orang yang kucintai
dapat menerimaku. Tapi aku tahu, kau tidak akan menerimaku setelah kebohongan
ini telah terbongkar. Satu lagi Justin, aku tidak sama sekali tahu, Theo telah
meninggal. Aku telah meminta pengampunan dari Tuhan akan apa yang telah
kuperbuat pada semua orang yang telah kubohongi. Dan sekarang kita berada di
sini. Kau tidak akan pernah mempercayaiku, aku tahu dan aku menerima itu,”
jelasku, “satu hal yang harus kau tahu Justin, aku mencintaimu sekalipun kau
menyakitiku berulang-ulang,” kali ini aku mengakhiri segalanya.
“Akhir
dari cerita,” bisik Justin, mendongakan kepalanya dan tersenyum padaku.
Kemudian ia menggelengkan kepalanya seakan ia tidak percaya dengan segala yang
kukatakan. Hey, aku telah berjanji pada Tuhan untuk tidak mengulangi kesalahan
yang sama.
“Aku
tahu kau tidak percaya padaku,” bisikku dengan suara yang pelan. “Aku telah
bersumpah pada Tuhan untuk tidak berbohong lagi,” lanjutku.
“Aku
tidak percaya,”
“Justin,
sekalipun kau tidak percaya dengan apa yang kukatakan tadi. Tapi aku bersumpah,
perasaanku benar-benar lega dengan segala yang telah kukatakan tadi,”
“Jadi,
lebih mencintaiku lebih dari pada Theo eh?”
“Ya,”
“Oh,
Beep,” Justin bangkit dari kursinya dan memelukku. “Aku sungguh menyesal dengan
apa yang telah kuperbuat. Bahkan aku yang telah membuatmu berada di sini,”
gumam Justin menaruh kepalaku pada dadanya yang keras. Entahlah, apa dia serius
dengan apa yang ia katakan? Haruskah aku mempercayainya? Aku masih
mencintainmya.
“Kau
mencintaiku?”
“Kau
bahkan telah bersumpah pada Tuhan untuk tidak berbohong lagi. Ya Tuhan, aku
telah menyia-nyiakanmu selama ini. Oh, maafkan aku. Maafkan aku,” bisik Justin
menarik wajahku dan mengecup bibirku berkali-kali.
“Maafkan
aku, maafkan aku, maafkan aku,” gumamnya terus mengecup bibirku dan aku
berusaha untuk menarik bibirnya agar ciuman ini akan bertahan lama. Tapi ia
memainkan bibirku.
“Kau
percaya padaku?” tanyaku di sela-sela ciumannya.
“Aku
percaya padamu sejak pertama kali aku menatap matamu. Aku sekarang aku
mencintaimu bukan karena Theo. Aku benar-benar mencintaimu, aku tidak akan
pernah menyakitimu. Melihatmu terbaring di atas tempat tidur ini benar-benar
membuatku sakit. Aku tidak akan pernah menyakitimu lagi,”
“Sekalipun
aku nakal?”
“Kalau
itu ..aku harus berpikir dua kali,” ujar Justin.
“Aku
mencintaimu Justin,”
“Maka
aku mencintaimu,” bisik Justin menarik wajahku lagi dan mengecup bibirku, kali
ini lebih dalam. Mmm.
***
Justin
membaringkanku di atas tempat tidurnya. Salah satu tangannya sudah sibuk dengan
celana jins biru muda pendek yang kupakai. Tanganku melingkar di lehernya dan
bibir kami terpagut dengan penuh kemesraan. Bunyi cepakan dari ciuman kami
membuatku semakin merasakan lembab di bawah sana. Ia telah melepaskan celana
pendekku, kemudian telapak tangannya mulai menangkup bagian bawahku dengan
tangannya yang besar. Aku mengerang di dalam mulutnya saat ia menggesekan jari
tengahnya di bawah sana. Melepaskan ciuman ini, mataku langsung bertemu dengan
mata Justin yang berkobar penuh nafsu. Tapi demi apa pun, kali ini tatapan
matanya tidak seperti dulu. Nafsu penuh cinta di dalam sini. Aku bisa merasakan
kelembutannya. Aku merasa lebih dicintai.
“Kau
menyukainya?” tanya Justin menekan-nekan bagian bawahku. Aku menganggukan
kepalaku dan mengerutkan keningku. Oh, astaga. Rasanya benar-benar nikmat. Aku
memejamkan mataku dan berusaha untuk tidak menggerak pinggulku. Tangan Justin
yang lain mulai melepaskan pakaianku dan menariknya ke atas sehingga tanganku
terlepas dari lingkaran leher Justin.
“Oh
ini adalah bagian kesukaanku,” ujar Justin menarik ke atas bra yang kupakai dan
mulutnya langsung menarik putingku ke atas sehingga aku langsung tersentak
karenanya
“Oh
kumohon!” aku menjerit saat jarinya mengesampingkan celana dalamku dan jarinya
mulai menyentuh bagian bawahku yang tidak memiliki cela apa pun di sana. Ya,
aku mencukurnya.
“Siaaaal,”
erang Justin memasukan jarinya ke dalam tubuhku. Aku tersentak, menjerit.
Bibirnya masih berada di dadaku dan memainkan lidahnya di sana.
“Tidak,
apa yang kaulakukan,” aku berusaha mendorong kepala Justin dari dadaku. Jari
jempolnya menekan pada daerah tersensitif bagian bawahku. Aku tersentak dan
Justin tertawa. Aku hampir sampai pada pelepasanku. Tubuhku tersentak ke atas
dan pinggangku melengkung ke depan.
“Ya,
terus sayang. Bagus,” desah Justin semakin mempercepat gerakan jarinya di dalam
tubuhku. Aku memegang otot lengannya dan menggelengkan kepalaku, menggigit
bibirku mencoba untuk menjerit karena keenakan. Lalu jarinya menghilang dan aku
membuka mataku. What the fuck? Ia menjilat jarinya tepat di depan mataku dan
aku hanya menggelengkan kepalaku tak percaya dengan apa yang baru saja ia
lakukan. Maksudku, ini untuk yang pertama kalinya.“Apa yang kaulakukan?”
tanyaku.
“Oh,
aku menyesal karena aku baru mencicipi rasamu sekarang. Ternyata lezat,”
bisiknya cabul lalu ia mencium bibirku kembali. “Aku akan melakukannya setelah
kau mengatakannya,”
“Mengatakan
ya untuk apa?” tanyaku bingung. Ia melepaskan bibirnya dari bibirku dan lalu ia
merogoh kantong celana jins yang masih ia pakai. Aku menggelengkan kepalaku dan
mulutku terbuka, terngaga tak percaya apa yang sekarang ia lakukan.
“Taylor
Christina Pulmer, maukah kau menjadi pendamping hidupku sampai aku mati?” WHAT
THE FUCK!
****
“Mengapa?”
tanyaku, menatap mata Justin begitu dalam. “Mengapa aku?” bisikku lagi. Justin
menarik nafasnya dan lalu ia terduduk. Ia melebarkan kakinya sehingga terbuka
kemudian ia menarik kedua kakiku dan menyeretnya menuju tubuhnya lalu ia
menempatkannya di atas pahanya. Sehingga
sekarang, kakiku juga terbuka lebar. Hanya saja aku sudah setengah telanjang.
Ia menarik kedua tanganku hingga aku terduduk berhadapan dengan wajahnya.
Mataku bertemu dengannya dan itu membuat jantungku berdetak lebih kencang.
Tangannya melingkar di sekitar pinggangku yang telanjang dan memiringkan
kepalanya ke salah satu sisi.
“Kau
mau tahu mengapa aku memilihmu menjadi istriku?” Aku menganggukan kepalaku.
Tentu saja aku ingin tahu mengapa ia memilihku. Sebenarnya, aku bersorak penuh
kebahagiaan di dalam ini karena ia menginginkanku. Aku diinginkan oleh lelaki
yang kucintai. Tentu saja aku ingin menjadi istrinya. Mataku masih melihat pada
matanya, ia menelan ludahnya.
*Justin Bieber POV*
Ya
Tuhan. Mengapa selama ini aku bodoh sekali? Aku mencintainya hanya karena aku
menyukai tubuhnya. Mungkin aku tidak bisa menyebutkan bahwa aku mencintainya.
Aku adalah lelaki yang menyatakan cinta padanya hanya karena aku ingin ia
menjadi milikku agar aku bisa memakai tubuhnya untuk keperluan nafsuku. Tapi,
sial, aku bukan lelaki seperti itu. Mengingat kejadian kemarin membuatku sadar
tentang cinta. Aku mencintai Beep. Saat aku menggendong Beep dari kampus dan
melihat wajahnya yang begitu pucat dan berkeringat, air mataku hampir mengalir.
Aku merasa, aku tidak dapat hidup tanpanya. Sebenarnya, sejak kepergiannya dari
rumahku, aku tidak dapat hidup tanpanya. Well, jika ingin kuperinci, hidupku
tidak akan tenang jika aku tidak melihat wajahnya. Keadaannya. Dan saat kemarin
aku melihat wajahnya yang pucat, jantungku seperti berhenti berdetak. Ada
ketakutan dalam hatiku. Seperti hatiku berteriak mengatakan, ia adalah gadis
yang Tuhan takdirkan bersamamu. Benar. Memang benar. Beep adalah gadis yang
ditakdirkan Tuhan untukku. Tidak mungkin jika Beep telah dipertemukan dengan
Theo, setelah ia bertemu denganku, lalu akhirnya ia bertemu denganku lagi. Ini
bukan kebetulan. Aku tidak percaya dengan kebetulan. Semuanya Tuhan telah
rancang sebaik mungkin.
Aku
meremas pinggangnya yang lembut seperti kulit bayi.
“Karena
kau adalah gadis yang ditakdir oleh Tuhan untukku,” bisikku mengecup hidungnya
dengan lembut. Beep terdiam, ia tidak menjawabku. Namun matanya seakan-akan
mencari petunjuk dari mataku. Mencari jawaban yang menurutnya lebih tepat. Tapi
aku bersumpah, aku benar-benar mencintainya. Aku tidak akan pernah menyakitinya
lagi untuk yang kedua kalinya. Sekarang aku tahu mengapa Theo tidak ingin
menyakiti Beep. Beep adalah gadis spesial dengan kebohongan yang ia miliki. Aku
percaya padanya sekarang. Ia memang telah memegang janjinya pada Tuhan.
Ceritanya sama dengan cerita yang Caitlin bilang, meski aku tahu, aku tidak
butuh Caitlin untuk mempercayai Beep. Tapi setidaknya, ia telah berjanji untuk
tidak pernah melakukannya lagi.
“Dengan
segala kekuranganku? Kau tahu, biasanya aku bersendawa setelah makan,”
“Dengan
segala kekuranganmu. Sekalipun kau bersendawa di depanku, aku tidak peduli,”
bisikku menggelengkan kepalaku, tak habis pikir ternyata dia adalah gadis yang
benar-benar liar. Oh, sungguh, aku gemas sekali dengan gadis ini. Mengapa ia
tidak langsung mengatakan: Ya!
“Jadi,
Beep, kekasih yang tidak akan pernah kusakiti untuk yang kedua kalinya. Apa kau
ingin hidup senang-susah, miskin-kaya, sehat-sakit denganku hingga maut
memisahkan kita?” tanyaku mendekatkan bibirku dengan bibirnya.
“Ya,”
“Oh,
sekarang aku tahu mengapa Theo benar-benar mencintainmu. Aku mencintaimu,
Taylor Christina Bieber,” ujarku mengecup bibirnya dengan lembut. Ia
membalasnya tak kalah lembut. Ini adalah ciuman cintaku padanya. Segalanya aku
lakukan dengan kasih, hanya untuknya. Dan anakku kelak.
***
*Taylor Pulmer POV*
Mengambil
keputusan yang benar-benar mengubah seluruh hidupku sangatlah tidak mudah.
Segalanya harus dipertimbangkan. Pernikahanku dan Justin akan berlangsung satu
tahun lagi. Aku bertunangan dengannya. Aku juga telah memberitahu masalah ini
pada ayahku dan ia cukup terkejut. Bahkan ia bertanya apakah aku hamil. Tentu
saja tidak! Tidak, aku tidak hamil. Ayah Justin juga tampak frustrasi karena
masalah ini. Oke, baiklah.
Sebenarnya
kejadian itu terjadi sekarang. Aku menatap pada ayahku yang terduduk di
hadapanku dan ia dari tadi terdiam. Justin merangkulku dengan erat, matanya
menatap pada ayahnya dengan tatapan tajam. Setajam tatapan elang mencari
mangsanya. Bahkan di saat seperti ini, Justin bisa menjadi lelaki yang lebih
garang dibanding ayahnya. Cukup menyeramkan juga. Maksudku, hey, tentu saja
ayahnya akan mempertimbangkan ini. Ini demi kelangsungan masa depan kami. Aku
telah membayangkan bagaimana anak-anakku di masa depan bersama dengan Justin.
Jika ia perempuan, talenta apa yang akan ia miliki. Bisa kubilang ia akan
pintar bermain piano, sama sepertiku. Jika ia lelaki, mungkin ia akan pintar
bermain basket.
“Justin,
ini bukan masalah yang main-main, nak. Kau harus bertanggungjawab akan dirimu
sendiri dan juga Taylor. Kau belum siap untuk bertanggungjawab atasnya,” ujar
ayahnya menatapku dan menggelengkan kepalanya. Lalu kepalaku tertunduk, tidak
berani menatap mata ayahnya yang prihatin denganku. Caitlin juga cukup was-was
dengan keputusan yang kuambil. Ia berpikir, Justin belum siap untuk mengurus
diriku. Well, Caitlin tidak mengkhawatirkanku. Aku dan Caitlin dulu adalah
seorang penjaga anak di sebuah rumah sehingga aku bisa merawat bayi dan
anak-anak kecil dengan baik. Hanya saja, Justin. Aku bisa bertanggungjawab atas
diriku, aku juga yakin Justin bisa menjadi pemimpin keluarga yang baik.
Buktinya, selama aku tinggal bersama dengan Justin, Caitlin dan Christian
semuanya tampak baik-baik saja. Karena Justin yang mengaturnya. Maksudku, jadwal
keseharian kami biasanya disesuaikan dengan jadwal Justin.
“Aku
tentu saja siap,”
“Kau
bahkan tidak bisa bertanggungjawab atas tubuhmu. Kau pernah meninggal!” teriak
ayahnya yang membuatku cukup tersentak. Penggangan tangan Justin terhadap
pinggangku semakin mengencang. Aku merasa terlindungi jika bersama dengannya.
“Sial,”
gumam Justin, “itu karena aku merasa aku masih memiliki Theo. Aku sudah bisa
merawat diriku sendiri. Oh, sial. Kenapa rasanya susah sekali untuk mendapatkan
restu darimu?” tanya Justin kesal.
“Kau
ingin aku merestui kalian? Aku selalu senang dengan hubungan kalian. Aku
setuju, tapi tidak dengan pernikahan. Kau masih sangat muda Justin, aku tidak
ingin kau tidak bisa bertanggungjawab atas Beep. Kau bahkan tidak dapat hidup
hanya dengan satu gadis,”
“Apa
yang kaukatakan? Selama delapan bulan? Kau bilang aku tidak bisa bertahan
dengan satu gadis? Apa-apaan!” Justin benar-benar kesal.
“Justin,”
aku berusaha untuk menenangkannya. Mataku langsung bertemu dengan matanya,
nafasnya tak beraturan lalu ia berusaha untuk mengaturnya sebaik mungkin.
Tangannya berkeringat dan hangat, aku bisa merasakannya. Astaga, haruskah ia
berteriak seperti itu? Pernikahan ini tidak mungkin langsung kita jalani. Butuh
berbulan-bulan untuk mempersiapkannya. Well, aku tidak butuh pernikahan yang
mewah. Asal pernikahan itu bersama dengan Justin, semuanya akan terlihat begitu
sempurna.
“Dengar.
Theo pernah mendapatkan gadis ini dan aku dapat merasakan sebetapa senangnya
dia dan bahagianya dia telah mendapatkan Beep. Lalu ia datang juga ke dalam
kehidupanku. Aku bisa merasakan hal yang sama. Oh, ayah, mengapa susahnya untuk
membujukmu agar aku menikah dengannya,” jelas Justin akhirnya dapat mengontrol
emosinya. Ia menghempaskan tubuhnya ke belakang dan menggelengkan kepalanya tak
habis pikir. Ia tampak begitu frustrasi, tapi aku tidak begitu menganggap ini
serius. Maksudku, kita masih memiliki waktu untuk melakukan pernikahan. Justin
saja yang ingin ini terjadi begitu cepat. Mendongak melihat ayahku, ia hanya mengangkat
kedua bahunya dan menggelengkan kepalanya. Ia telah menyetujui pernikahan ini
asal Justin benar-benar bertanggungjawab. Tentu saja Justin akan menjadi lelaki
yang bertanggungjawab.
“Aku
hanya ingin memiliki seseorang yang dapat mencintaiku setiap saat lagi,” bisik
Justin. Ayahnya mendongakan kepalanya, menatap pada Justin yang memejamkan
matanya lalu menghembuskan nafasnya lagi. “Sial,” bisik Justin.
“Baiklah,”
akhirnya. Kata itu akhirnya muncul dari mulut ayah Justin.
“Apa
kau serius? Karena aku serius melakukan ini,”
“Jika
kau memang mencintainya dan kau yakin dapat merawatnya dan mencintainya seperti
kau mencintai dirimu sendiri, menikahlah dengannya,” ujar ayahnya kali ini
benar-benar serius. Aku menghela nafasku dengan penuh kelegaan. Justin meremas
pinggangku dengan tangannya yang berkeringat. Aku akan benar-benar menikah
dengannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar