Jumat, 02 Agustus 2013

Fight for Love Bab 7



***

            “Ya Tuhan! Dia tampan sekali dan dia Justin Bieber pemain basket tim Lakers itu!”
            “Apa dia Justin Bieber yang berada di tim Lakers itu? Dia harus menjadi milikku,”
            “Aku bersumpah demi sahabat-sahabatku kalau aku akan membuatnya ingin meniduriku,”
            “Wanita yang berada di sebelahnya ada pelacur,”      
            “Wanita murahan! Sial,”
            Jeritan-jeritan dan hinaan-hinaan dari para mahasiswa kampus itu terdengar sampai pada ke telinga Justin saat dia dan Beep melewati anak tangga untuk masuk ke dalam kampus. Beep menundukan kepalanya, merasa malu karena ia telah dihina sebagai pelacur bagi Justin. Justin bahkan tidak merasa risih saat kekasihnya dihina seperti itu karena baginya, Beep bukanlah pelacur. Meski Justin tidak begitu serius mencintai Beep seperti Beep sangat serius mencintai Justin, tapi Justin masih menghargai Justin. Dan ya, mungkin Justin bisa memanggil Beep sebagai pengisi hatinya untuk sementara dan penyalur hasrat gairahnya.  Beep mencintai Justin tidak berlandaskan dengan nafsu, tidak sama seperti Justin yang mencintai Beep karena nafsunya yang selalu menggebu-gebu saat ia menatap mata Beep sehingga jantungnya selalu berdetak lebih kencang.
            Caitlin yang berada di belakang Justin dan Beep mempercepat langkahannya untuk mensejajarkan jalan mereka. Kemudian mereka berhenti di depan pintu loker mereka dan membukanya masing-masing.
            “Mereka memanggilku pelacur,” gumam Beep merasa terlecehkan.
            “Tidak, kau bukan,” bisik Caitlin yang berada di sampingnya.
            “Aku merasa begitu malu dengan ..ya Tuhan, aku merasa begitu kotor sekarang,” bisik Beep mendekatkan bibirnya pada telinga Caitlin Caitlin menganggukan kepalanya dan merapikan bukunya di dalam loker. Justin tampak pendiam pagi ini, ia tidak ingin mengurusi Beep untuk sementara sekaligus Justin merasa kesal karena kemarin malam Beep menolak untuk tidak berhubungan badan. Karena di setiap kecupan dari Justin memberikan kenyamanan sekaligus kepahitan. Tentu saja sangat tidak lucu jika Beep melakukan hubungan badan Beep menangis di setiap dorongan yang Justin berikan. Berpikir bahwa Justin menyatakan cinta hanya agar Justin memiliki tubuh Beep, meski tidak sepenuhnya. Tapi setidaknya, Justin juga bisa melakukannya. Bahkan Beep juga merasa ketakutan jika ia hamil. Tapi untunglah Justin dan dirinya melakukannya di luar dari tanggal terlarang bagi Justin dan dirinya demi kebaikan bersama.
            “Beep. Dengar aku. Kau bukan pelacur. Kau pemusik. Mengerti? Kita semua yang berada di sini adalah pemusik yang handal. Oke? Kau percaya padaku kalau kau bukanlah pelacur?” tanya Caitlin memegang kedua bahu Beep dengan erat. Beep menganggukan kepalanya.
            “Hey, kalian,” seorang lelaki tiba-tiba saja muncul di hadapan Justin, Beep dan Caitlin. Wajahnya adalah wajah seorang Pakistan dengan sedikit janggut yang berada di sekitar dagunya. Warna matanya sama seperti Justin, tapi tentu saja mata Justin adalah mata terbaik bagi Beep setelah Theo. “Justin Bieber dan teman-temannya? Kau tahu, Bieber. Aku mengagumimu bermain di tim Lakers dan mencetak angka-angka dengan hebat seperti Kobe Bryant. Dude, kau sangat mengagumkan!” puji lelaki itu yang membuat kepala Justin membesar.
            “Bisakah kau menandatangani tas putih ini dengan spidol ini? Namaku Zayn,” ujar Zayn mengeluarkan sebuah spidol besar berwarna hitam dan langsung memberikannya pada Justin. Justin cukup terkejut namun ia menerima tawaran dari Zayn.
            “Zayn ..jaga baik-baik,” gumam Justin sambil menandatangani tas putih milik Zayn.
            “Apa kita bisa menjadi teman? Aku angkatan tahun lalu,”
            “Ya, tentu saja. Tentu saja,” celetuk Caitlin yang senang akan kedatangan lelaki yang begitu menarik ini. Semangatnya yang benar-benar membuat Caitlin senang dan tidak pemalu.
            “Ya, tentu saja kita bisa menjadi teman,” ujar Justin menganggukan kepalanya dengan senang juga. Tidak perlu waktu yang lama, ia langsung memiliki teman. Beep hanya terdiam, ia tidak ingin banyak bicara.
            “Aku akan memanggil teman-temanku yang lain,” ujar Zayn berlalu dari hadapan mereka. “Tetap di sana!” teriak Zayn keluar dari gedung kampus untuk mencari teman-temannya yang lain.

***

            Hari demi hari berlalu dengan penuh kesenangan yang meliputi diri Justin, Beep dan Caitlin dengan teman-teman baru mereka. Mereka tampak begitu akrab. Zayn cukup tertarik dengan Catilin yang cantik dan teman-temannya seperti Niall, Harry, Liam dan Louis sangat menyenangkan. Bahkan mereka tiap harinya datang ke rumah Justin untuk bermain basket. Suatu kehormatan dapat bermain basket bersama dengan seorang Justin Bieber mantan pemain Lakers.
            Mereka telah menempuh satu bulan penuh dengan penuh canda tawa yang menaungi mereka tiap harinya. Perasaan kalut Beep semakin berkurang meski Justin tampaknya tidak begitu perhatian seperti dulu setelah Justin menemukan rumor dari New York melalui Josh tentang Beep yang ternyata satu kampus bersama dengan Theo. Ya, Justin juga mencari tahu asal-usul Beep yang tidak jelas baginya. Beep tidak pernah ingin membahas masa lalunya, tentunya. Beep merasa malu jika ia menceritakan kepada banyak orang tentang ia adalah anak yang tertolak dan anak yang tidak diinginkan.
            Beep baru saja menghubungi ayahnya, ia ingin mengunjungi rumahnya ayahnya setelah beberapa bulan tidak bertemu dengan ayahnya dan hanya melakukan hubungan kontak melalui ponsel. Beep juga merindukan ayah angkatnya yang ia sayangi. Tapi ia harus menunggu Justin yang belum pulang hari Minggu ini. Padahal sekarang sudah sore menjelang malam. Untung saja rumah ayah Beep tidak begitu jauh dengan rumah Justin. Dan ia juga telah diberitahu alamat rumah ayahnya. Malam ini Beep merasakan kesepian yang begitu mendalam dari Justin yang semakin semakin menjauhinya. Ia mencintai Justin, tentu saja, tapi harapannya satu bulan lalu sepertinya tidak akan pernah terjalani dengan mulus. Ia menarik kedua lututnya hingga sampai pada dadanya yang semakin membesar. Ia menatap pada langit malam di tengah-tengah lapangan basket tanpa jaket. Tentu saja. Malam ini tidak begitu dingin. Melihat bintang-bintang yang mulai bermunculan lalu air matanya mengalir.
            Sampai kapan Beep harus hidup dalam penyesalan yang tiada akhir? Ia tidak pernah berbicara dengan Theo. Dan ia ingin berbicara dengan Theo, ingin mendengar bahwa Theo memaafkannya.
            “Fuck! Sial! Sial! Sial kalian semua. Fuck you Christian! Aku membencimu! Sialan kau!” teriak Justin yang tiba-tiba benar-benar membuat Beep terkejut. Ia langsung bangkit dari lantai lapangan basket dan menghapus air matanya. “Aku membencimu juga Caitlin! Kalian semua telah berbohong padaku!” PRANG! Suara pecahan beling terdengar dari dalam rumah. Beep berlari masuk ke dalam rumah Justin dan melihat barang-barang koleksi perahu botol milik Justin yang berada di dalam lemari berjatuhan terbuang dari tangan Justin. Justin menangis dan ia menggelengkan kepalanya di atas sofa keluarganya.
            “Justin?” bisik Beep dengan ragu. Beep merasa begitu ketakutan. Secepat ini? Secepat inikah Justin akan mengetahui kebohongannya yang akan segera terungkap? Atau telah terungkap? Justin mendongak dengan mata yang berair dan memerah. Ia menatap Beep dengan tatapan penuh dengan kebencian.
            “Kau! Kau yang telah menyakiti Theo. Sial kau Beep. Seharusnya aku tahu dari awal kalau kau adalah kekasih dari Theo. Tapi ..ya Tuhan. Aku begitu bodoh sekarang!” teriak Justin meremas rambutnya. “Jantung ini adalah milik Theo. Apa kau juga tahu tentang ini pembohong?” tanya Justin yang membuat jantung Beep berhenti sesaat. Jantung Theo? Kejut Beep tak percaya. Selama ini Theo telah meninggal? Beep merasa ingin mual sekarang.
            “Aku tidak mau tahu. Kau harus keluar dari sini kau sialan pembohong!” bentak Justin pada Beep yang air matanya telah mengalir. “Pembohong!” teriak Justin pada Beep dan Caitlin yang berada di belakang Beep. Semuanya hening.
            Kecuali satu.
            Hati Beep yang menangis.
            Aku ditolak. Kembali. Bisik Beep dengan suara yang kecil dari dalam hatinya. Oleh orang yang sangat kucintai.

***

            “Apa kau ingin mendengarkan penjelasanku sebelum aku pergi dari rumahmu?” tanya Beep dengan suara yang benar-benar kecil. Ia berusaha sebisa mungkin untuk tidak membuat isak tangis, namun ia tidak bisa menahannya. Christian dan Caitlin yang berada di belakangnya tampak diam dan menundukan kepalanya. Beeplah yang memiliki kebohongan terbesar dan semuanya itu bisa dikatakan adalah salahnya, bagi Justin. Justin benar-benar bersyukur pada Tuhan karena Beep bukanlah istrinya kelak. Ia tidak akan pernah mencintai Beep. Persetan dengan cinta! Justin mencintai Beep itu kemungkinan besar karena Theo. Bisa dibilang begitu. Sejak hubungan cinta Theo dan Beep, Theo selalu menahan hasratnya untuk melakukan hubungan badan sehingga tiap kali ia menatap mata Beep, jantungnya berdetak lebih kencang daripada biasanya. Gairahnya juga muncul saat itu, tapi Theo ingin menjaga tubuh Beep sebaik mungkin. Namun Justin, yang telah memiliki jantung Theo tidak dapat menahan segala hasrat terpendam yang dimiliki Theo. Segalanya tersalurkan dari Theo. Jantung ini adalah dari Theo. Theo adalah sebagian dari tubuhnya. Hasrat Theo adalah hasratnya juga. Nafsu Theo adalah nafsunya juga. Tapi persetan dari segalanya! Ia ingin Beep pergi dari hadapannya. Tatapan mata birunya benar-benar membuatnya muak!
            Beep masih berdiri di depan Justin dengan air mata yang terus mengalir. Berdiri dari sofa, Justin berusaha untuk bisa menyentuh kembali tangan Beep. Meski ia berpikir bahwa Beep hanyalah mahluk hina yang selalu berbohong. Ia menarik tangan Beep dengan kasar, namun Beep menahan rasa sakit dari tarikan tangan Justin. Beep berpikir, ini mungkin memang apa yang seharusnya terjadi. Tapi mengapa harus bersama Justin? Kenapa penolakan yang harus diterima berikutnya adalah penolakan dari orang yang paling ia inginkan? Ia cintai? Justin menyeret Beep sampai pada depan pintu kamar Beep. Ia membuka pintunya dan masuk bersama dengan Beep.
            “Sial!” gumam Justin merasa menyesal karena telah menerima Beep masuk ke dalam rumahnya dan hidupnya. Ia menggelengkan kepalanya dan membanting tangan Beep dengan kasar. Lalu ia berjalan menuju lemari pakaian Beep.
            “Sial! Sial! Sial!” marah Justin mengeluarkan pakaian-pakaian Beep dari dalam lemari ke atas lantai dengan kesal. “Aku tahu kau telah mengetahui bahwa Theo telah meninggal. Jadi kau merasa ‘Oh Ya Tuhan, Justin tidak akan pernah tahu kalau aku adalah kekasih dari Theo’. Ya, pasti kau berpikir seperti itu. Untunglah aku tidak pernah benar-benar mencintaimu,” gumam Justin terus mengeluarkan pakaian-pakaian Beep dengan acak. Hati Beep keluar dari tubuhnya saat itu juga,  merasa bahwa untuk apa ia hidup lagi di dunia jika Justin sudah tidak lagi menginginkannya? Karena satu-satunya lelaki di dunia ini yang paling ia inginkan adalah Justin. Ia bisa merasakan itu dari awal. Takdirnya yaitu bersama Justin. Tapi pemikiran yang selama ini ia pikir salah besar. Justin dan dirinya tidak ditakdirkan bersama.
            “Sekarang, lihat aku,” suruh Justin pada Beep yang menundukan kepalanya, air matanya mengalir dengan lambat melewati pipinya. Beep berusaha untuk mendongakan kepalanya lalu berhasil. Ia bertemu dengan tatapan Justin yang penuh dengan kebencian. Aku patut dibenci. Pikirnya menarik nafas dan berusaha untuk tidak menangis.
            “Apa kau benar-benar tahu kalau Theo telah meninggal dan ia memberikan jantung ini padaku?”
            “Tidak,” bisik Beep jujur. Tapi pembohong adalah pembohong. Ketahuan. Menjijikan. Tidak akan ada yang percaya lagi.
            “Pembohong!” teriak Justin terduduk di atas tempat tidur Beep. “Tentu saja kau tahu kalau saudara lelaki yang lebih kucintai dibanding dirimu itu telah berada bersama Tuhan! Kau yang telah menyakitinya, kau pelacur!”
            “Justin!” teriak Caitlin dari belakang. Merasa tidak terima jika sahabatnya dibentak dengan panggilan pelacur. “Apa maksudmu memanggilnya sebagai pelacur?” tanya Caitlin mulai melangkah masuk ke dalam kamar Beep. Beep berpaling ke belakang dan menatap Beep dengan tatapan memohon untuk tidak dibantu oleh Caitlin.
            “Tidak,” bisik Beep ingin masalah ini teratasi oleh dirinya sendiri. Biarkan dia yang menanggu resikonya sendiri. “Kumohon,” bisik Beep lagi. Caitlin menatap Beep dengan tatapan penuh rasa kasihan yang pernah ia rasakan dalam hidupnya. Kemudian Caitlin mengambil nafasnya dalam-dalam.
            “Biarkan aku dan Beep sialan ini menyelesaikan masalah kami bersama. Dan kau tahu Caitlin? Kau bahkan tidak pernah dianggap sebagai sahabat oleh si pembohong ini!” ujar Justin bangkit dari tempat tidur Beep, ia berjalan menuju Caitlin dan mendorong Caitlin untuk keluar dari kamar Beep.
            “Jika kau benar-benar menyakitinya –“ pintu kamar Beep telah tertutup dan terkunci oleh Justin. “Sekarang, tadi sampai mana kita sayang?” tanya Justin berbalik dan menghampiri Beep. Ia menyentuh pundak Beep dari belakang dengan lembut. Kembali air mata Beep mengalir. Apakah Justin akan menyakitinya? Jika ya, mungkin ia memang harus mendapatkannya.
            “Apa kau ingin menyakitiku?” tanya Beep, gemetar.
            “Apa kau percaya aku akan menyakitimu?”
            “Mungkin,”
            “Aku tidak menerima jawaban yang tidak pasti,”
            “Ya,”
            “Maka itu akan terjadi padamu, sayang,” bisik Justin di telinga Beep, “sekarang,” lanjut Justin membuat darah Beep berdesir. “Naik ke atas tempat tidur sekarang,”
            “Apa yang akan kaulakukan?” tanya Beep berbisik.
            “Memperkosamu sampai kau merasakan kesakitan seperti yang kurasakan,” bisik Justin penuh dengan kengerian yang membuat Beep menggelengkan kepalanya. Ia sedang tidak ingin berhubungan badan di saat seperti ini. Tidak mungkin! Beep menyingkirkan tangan Justin dari bahunya lalu berbalik, menatap pada Justin yang tersenyum miring dengan penuh kejahatan di wajahnya. Beep merasa ini begitu berlebihan. Ia tidak ingin disakiti secara fisik. Theo tidak pernah melakukan ini. Theo bahkan tidak pernah meneriaki Beep seperti Justin yang baru saja melakukannya. Tiba-tiba tangan Beep terasa begitu gatal ingin menampar Justin.
            “Kau tidak tahu apa yang kurasakan, kau pembohong sialan!” teriak Justin pada Beep, sontak tangan Beep langsung menampar pipi mulus milik Justin dengan kasar.
            “Aku lebih baik tinggal kembali ke panti asuhan dibanding aku harus berhubungan badan lagi denganmu Justin!” teriak Beep yang akhirnya memberitahu pada Justin bahwa ia adalah anak buangan dan tidak diinginkan oleh orang tuanya. Justin tertawa terbahak-bahak, seakan-akan itu benar-benar lucu.
            “Pantas saja kau seperti ini, Beep. Seharusnya aku tahu dari awal bahwa kau anak yang tertolak!”
            “Maka dari itu aku tidak ingin kau menolakku! Aku tidak ingin tertolak untuk yang kedua kalinya oleh orang yang sangat kucintai,”
            “Pfft, omong kosong. Kau saja belum pernah bertemu dengan orang tua kandungmu. Lalu bagaimana bisa kau bilang kau itu mencintainya?” tanya Justin mengejek Beep yang wajahnya sudah benar-benar memerah. Ia merasa dipermalukan. Ia memang anak tertolak dan ia memang akan selalu ditolak oleh siapa pun.
            “Karena ..aku berada di dunia ini karena cinta mereka dan aku sangat yakin, mereka mencintaiku,”
            “Aku tidak mencintaimu,”
            “Maka dari itu, biarkanlah itu terjadi,”
            “Kau tahu apa bagian terbaiknya?” tanya Justin memajukan wajahnya pada wajah Beep. Beep terdiam dengan bibir yang bergetar, “Aku tidak mencintaimu dan aku hanya mempergunakan tubuhmu untuk keperluan nafsuku yang selalu menggebu-gebu,”
            “Setidaknya aku melakukan itu karena aku mencintaimu,” bisik Beep dengan suara terkecil yang pernah ia keluarkan dari mulutnya. Justin terdiam namun ia tidak merasa kasihan pada Beep. Hati Justin juga sakit karena Theo ternyata adalah kekasih dari Beep. “Dan satu pembenaran, aku sudah tidak pernah memiliki hubungan lagi dengan Theo sejak aku menginjakan kakiku di Los Angeles,” ujar Beep beranjak dari tempatnya.
            “Kau ingin kemana? Kita belum selesai, aku ingin menyakitimu terlebih dahulu,” ujar Justin menarik bahu Beep dan langsung memegang kedua tangannya dengan erat. Ia menarik Beep dan membantingnya di atas tempat tidur.
            “Theo tidak pernah menyakitiku,”      
            “Karena dia terlalu penakut untuk melakukannya,”
            “Karena dia mencintaiku,”
            “Kau tidak pernah mencintainya juga bukan? Kau pembohong?” tanya Justin melepaskan celana yang ia pakai dengan cepat.
            “Karena bodohnya, aku terlalu sibuk untuk mencintaimu,” bisik Beep merasa semuanya terlihat begitu jelas. Mata Justin melebar saat Beep menyatakan kalimat itu langsung dari mulutnya. Ia telah menindih tubuh Beep dengan tubuhnya yang begitu besar dan berotot. Apalagi ia adalah lelaki yang begitu tinggi. Air mata Beep sudah tidak mengalir lagi, ia hanya mencoba untuk menahan rasa sakit yang akan segera ia terima nanti. Tidak ada gairah yang tumbuh sekarang. Ia sedang tidak ada niatan untuk melakukannya.
            “Oh, lihat ini. Si wajah polos yang nakal sudah tidak menangis. Jadilah anak yang baik untuk ayah,” bisik Justin sambil mengelus pipi mulus Beep dan tangannya yang satunya sibuk untuk menurun celana pendek milik Beep. Ia melepaskan celana pendeknya dengan cepat dan ia menempatkan ereksinya yang tertutupi oleh boxer berwarna merah yang ia pakai. Lalu Justin melepaskan boxer yang ia pakai dengan cepat, tak sabaran untuk mencicipi gadis sialan ini yang telah menyakiti hatinya dan saudara kembarnya. Ia tidak akan pernah mempercayai apa pun yang akan dikatakan oleh gadis polos sialan ini. Ereksinya sudah benar-benar mengeras, dia tidak pernah berhubungan badan lagi sejak hari ulang tahun Beep. Sehingga sekarang, tiap kali tatapan mata itu bertemu dengan miliknya, ia ingin melakukan hubungan badan di mana saja dan harus terjadi. Tapi tidak mungkin. Ia masih mempunyai akal sehat untuk melakukannya. Tapi waktu menunjukannya sekarang. Ia ingin melakukan hubungan badan ini untuk yang terakhir kalinya ..dan lain kali : TRUTH OR DARE! Yang akan segera menentukan siapa gadis yang akan segera ia tiduri. Kembali lagi dengan kebiasan lama Justin.
            “Oh sial! Kau belum basah sayang,” bisik Justin saat ingin mendorong ereksinya masuk ke dalam tubuh Beep. Beep merasakan kesakitan yang luar biasa sakit saat yang besar itu masuk ke dalam tubuhnya. Tapi Justin berusaha terus memasukan ereksinya ke dalam tubuh Beep.
            “Justin! Aku tidak bisa!” dorong Beep dengan tangannya yang kecil itu pada bahu Justin yang berotot. Tapi tentu saja Beep tidak dapat melakukannya. Ia hanya seorang gadis mungil yang harus menahan rasa sakit yang sekarang ia rasakan.
            “Kau bi –Ah!” Justin memasukan seluruhnya. Kuku Beep tenggelam ke dalam bahu Justin dan ia mulai menangis. Ini benar-benar menyakitkan.
            “Kau lelaki terjahat yang pernah kutemui,” bisik Beep berusaha untuk menahan rasa sakitnya saat Justin sejenak mendiamkan ereksinya di dalam tubuh Beep. Justin terdiam dengan nafas yang terengah-engah, biarpun gadis ini telah melakukan hubungan badan berkali-kali dengan Justin, tapi tetap saja miliknya benar-benar ketat.
            “Aku tahu. Kau seharusnya berhati-hati dari awal ..sial!”

***

*Justin Bieber POV*

            Aku tidak peduli jika gadis itu merasakan kesakitan yang luar biasa setelah aku melakukan hubungan badan bersamanya kemarin. Hari ini ia tidak kelihatan masuk ke kampus. Padahal aku belum puas untuk menyakitinya. Semua keinginanku harus terjadi sekarang. Ia harus membayar segalanya yang telah ia perbuat. Ia telah menyakiti hati Theo. Caitlin telah menjelaskan segalanya tentang hubungannya dengan Theo. Ternyata dia memang pembohong tingkat atas. Aku tidak percaya kalau selama ini aku dikelabui oleh keseksiannya. Fiuh! Hilang sudah gadis seksiku yang dapat kutiduri tiap harinya. Rencananya besok aku dan teman-teman yang lain ingin bermain di rumahku. Berpesta sejenak, meski sebenarnya hatiku begitu sakit sejak kemarin malam karena aku baru tahu dan sialan! Ayahku juga telah mengetahui tentang ini sejak lama. Sial Theo! Mengapa ia tidak ingin memberitahu jantung ini adalah milikku? Kata ayah, Theo tidak ingin aku menangis jika aku mengetahui kalau ia telah meninggal karena jantung yang ia berikan. Memang. Memang aku menangis setelah aku tahu bahwa jantung ini adalah jantung Theo. Persetan dengan perjanjianku dengan Theo! Theo sudah tidak ada lagi di dunia ini. Jadi untuk apa aku menjalani janji itu?
            Lagi pula, aku memang tidak ingin bertemu dengan gadis sialan itu. Rasanya sulit sekali untuk menyebut namanya atau nama panggilannya. Ia cocok dipanggil sebagai Pembohong Sialan. Karena dia pembohong dan ia memang seorang sialan! Caitlin dan Christian masih dapat kuberi toleransi dan mereka juga masih dapat kupercaya. Mereka berbohong karena keinginan dari ayahku. Pembohong Sialan itu? Dia memang memiliki niatan untuk membohongi. Tangisannya tidak dapat kupercayai lagi. Cintanya palsu. Semua yang ada pada diri si Sialan itu adalah omong kosong dan aku benar-benar membencinya.    Sebenarnya, rencanaku hari ini jika ia masuk ke dalam kampus lagi, aku dan teman-temannya yang lainnya ingin memasukannya ke dalam loker jika hari sudah senja hingga besok. Aku tidak peduli jika nanti ia sakit. Rasa sakitnya tidak sama sekali sebanding dengan rasa sakit hatiku dan Theo. Ia harus mendapatkan balasan yang setimpal. Dia memang bisa melakukan itu pada Theo, menyakiti Theo, Theo terlalu lemah untuk menyakiti gadis. Tapi aku. Aku sudah sering menendang wanita pergi dari rumahku dengan cara kemarin. Ia sama saja dengan gadis-gadis lain yang pernah kutemui. Tak ada bedanya.
            Aku membencimu, Taylor Christina Pulmer. Akhirnya.
***

            “Di sini?” tanyaku saat aku melihat sebuah makam yang rapi dengan batu salib yang berdiri dengan tegak menancap di dalam tanah. Menatap Josh yang berada di sebelahku dan memegang payung berwarna hitam, ia menganggukan kepalanya. Mataku kembali berpaling pada pemakaman dari saudara kandungku yang sangat kucintai lebih dari siapa pun di dunia ini. Air mataku sudah tidak mengalir kembali. Air mataku telah habis sejak perjalananku menuju kembali ke LA setelah aku pergi ke New York, ke rumah Theo dan mencari tahu apa yang Josh telah katakan selama ini memang benar. Gadis sialan itu telah menyakiti Theo, aku yakin itu. Awalnya aku memang menyukainya karena dia adalah gadis yang manis, pada awalnya. Tapi cinta ini tumbuh dikarenakan Theo. Aku sangat yakin. Sejak aku hidup kembali, semuanya terasa berubah. Aku lebih menyukai music dan aku mencintai gadis pembohong sialan itu. Berarti, aku tidak mencintai gadis pembohong sialan itu dari dalam hatiku sendiri. Ini semua semata karena nafsu Theo yang terpendam. Itu adalah kebenaran.
            Tanganku meremas bunga yang kubeli untuk Theo. Kemudian aku menundukan tubuhku, menaruhnya di atas makamnya yang benar-benar rapi. Kuhembuskan nafasku saat aku telah berdiri dengan tegap. Menatap pada makam-makam rapi yang lain. Theo telah meninggal dan aku tidak mengembalikannya lagi. Mungkin hanya peninggalan-peninggalannya di dunia seperti piano miliknya. Aku telah meminta Josh untuk mengirimkan piano milik Theo ke LA sejak kemarin. Tapi kurasa akan datang dua hari lagi. Maksudku, alat-alat musiknya yang lain. Hanya itu yang perlu kujaga.
            Dan Taylor Christina Pulmer.
            Sial. Nama itu rasanya terus bertarung di dalam otakku semenjak aku berbicara sendiri dengan otakku. Dan akhirnya nama itu tersebut begitu saja. Tapi tidak mungkin. Aku menggelengkan kepalaku. Taylor bukanlah orang yang harus kujaga karena dia adalah peninggalan dari Theo. Dia bukan benda. Walau aku tahu seberapa cintanya Theo pada Beep. Hanya saja, aku belum siap untuk menerimanya kembali dalam kehidupanku dan aku tidak ingin ia kembali masuk ke dalam kehidupanku. Masih banyak dendam yang harus kusalurkan pada Beep. Ia telah menyakiti Theo selama delapan bulan, maka ia akan mendapatkan balasan selama delapan bulan juga. Dan diriku. Ia telah membohongi diriku selama enam bulan. Maka ia akan mendapatkan balasan selama satu tahun lebih. Semuanya akan berlangsung di kampus. Selama mungkin. Kalau bisa ..
            Sampai ia menghembus nafas terakhirnya. Mungkin.
            Sama seperti Theo.

***

            Caitlin dan Christian sedang bermain basket di belakang halaman rumahku malam-malam seperti ini sedangkan aku duduk di atas kursi berwarna hijau milikku sambil melihat Christian yang selalu menggoda Caitlin. Jika kulihat-lihat, Caitlin adalah gadis yang benar-benar menarik. Bahkan sekarang aku sadar, Caitlin lebih cantik dan seksi dibanding dengan Beep. Oh sial. Jangan bilang aku menyukainya. Aku tahu Caitlin menyukai Zayn dari Beep satu bulan yang lalu. Well, sebenarnya aku bisa melihatnya sejak dulu. Sejak tatapan Caitlin pada Zayn yang benar-benar berbeda. Perbedaan Caitlin dan Beep adalah Beep adalah gadis murahan yang harusnya mati sekarang. Oh Tuhan. Aku tahu, aku begitu jahat. Ini semua dikarenakan perbuatannya pada saudara kembarku. Ia telah berbohong pada Theo. Semuanya terlihat begitu jelas. Caitlin tidak mungkin berbohong padaku tentang kebohongan Beep yang benar-benar luar biasa banyak. Karena bodohnya aku sibuk mencintaimu. Itu adalah omong kosong yang pernah kudengar sebelumnya. Tidak ada yang mencintaiku begitu tulus. Tidak ada. Semua gadis yang bersamaku tidak akan pernah tinggal lebih dari satu minggu denganku. Kekasih pun hanya bertahan selama satu bulan karena aku terlalu bosan dengan mereka. Sama seperti Beep.
            Rasanya aku tidak sabar untuk besok sore. Kuharap Beep datang sehingga loker yang telah aku dan teman-teman siapkan akan berguna untuknya. Aku tersenyum kecil melihat pada Christian yang tulang keringnya tertendang oleh Caitlin secara tidak sengaja. Ia meringis.
            “Kau kakak terjahat yang pernah kutemui!”
            “Oh ya Tuhan, Christian. Aku benar-benar minta maaf,”
            “Dasar perempuan!” aku meneriaki Christian, mengejeknya.

***

*Taylor Pulmer POV*

            Mataku melihat pada papan tulis dengan tatapan kosong. Apa pun yang dosen katakan di depan sana sama sekali tidak masuk ke dalam telingaku bahkan otakku. Semuanya terasa begitu hampa. Aku menangis hampir seharian. Jika ayahku tidak datang untuk mengajakku makan malam ke restoran china tadi malam, mataku sekarang mungkin sudah tidak ada lagi. Mungkin siang ini aku harus memakai kacamata hitam agar orang-orang tidak dapat melihatku lagi. Tapi itu tidak terjadi sekarang. Caitlin tidak menemaniku hari ini karena hari ini ia tidak memiliki jadwal. Sehingga hari ini aku tidak memiliki teman untuk diajak bicara. Mungkin Caitlin juga tidak ingin berbicara denganku lagi. Tapi mungkin juga tidak. Semuanya ini berawal dari padaku. Justin memang benar. Aku adalah gadis pembohong sialan. Segala makian yang ia katakan padaku sepenuhnya sama sekali benar.
            Siang ini aku melihatnya di luar bersama dengan teman-teman yang lain. Ia tampak lebih sehat dan luar biasa baik daripada sebelumnya. Mungkin ia senang karena sudah tidak ada diriku berada di sisinya lagi. Mungkin kepergianku dari kehidupannya membuat dirinya lebih baik. Zayn tidak menatapku. Hanya Liam yang menatapku dengan tatapan bingung namun menyiratkan sesuatu. Aku tidak dapat menatap mata Justin karena dia memakai kacamata hitam. Namun jari tengahnya membuktikan padaku kalau ia benar-benar membenciku. Dan yah, cepat sekali ia mendapatkan gadis cantik berambut pirang di sebelahnya. Ia mengelus pundak gadis mungil itu dengan jari tengah yang ia pamerkan padaku. Saat itu aku berpikir, mungkin aku harus ikut bersama dengan Theo. Kemarin juga aku pergi ke gereja dengan ayahku dan berdiam diri di sana hanya untuk meminta pengampunan dosa yang telah selama ini kuperbuat. Sekarang aku sudah benar-benar bersih. Aku tidak ingin membuat dosa yang sama lagi. Tidak akan ada kebohongan dalam diriku lagi. Meski aku tahu, aku bukanlah gadis yang patut untuk dipercayai lagi. Well, aku juga menangis di depan pendeta. Sejelas mungkin aku memberitahu pada Tuhan apa yang kuperbuat, meski aku tahu, Tuhan lebih tahu diriku dibanding diriku sendiri mengetahui diriku. Aku tidak dapat menghitung setiap helai rambutku, namun Tuhan bisa melakukannya. Aku tahu itu.
            Terbangun dari lamunanku, aku melirik pada jam tangan hitam yang kupakai. Sudah jam 4 sore. Ternyata sudah sore. Mr. Fergusson yang mengajar di depan kelas telah membenarkan kacamatanya, dari balik lensa kacamatanya ia menatapku dengan tatapan elang. Kuberikan ia senyum kecil dan ia mulai tersenyum lalu menggelengkan kepalanya.
            “Pelajaran selesai, kuharap kalian melakukan tugas yang baru saja kuberikan. Tugas yang baru saja kuberikan, mengerti?” tanyanya menekan kalimat terakhirnya. Oh. Ternyata ia memperhatikanku yang tidak memperhatikannya. Ia melirikku kembali saat ia mengangkat tas cokelat kuno miliknya dan tersenyum penuh arti padaku. Aku menganggukan kepalaku, meminta maaf karena aku tidak memerhatikannya saat mengajar. Kukerjap-kerjapkan mataku berkali-kali, mencoba untuk mengambil nafas yang baru agar aku lebih tenang. Kemudian aku mengambil laptop yang berada di hadapanku dan menutupnya langsung tanpa mematikannya. Tanganku meraih tas yang berada di sebelah kursiku dan memasukan laptop ini ke dalamnya.
            “Hey, chieke. Justin Bieber sang pemain basket memanggilmu di dekat lokermu,” seorang lelaki berambut pirang muncul ke dalam kelasku dengan tas selempang yang ia pakai. Tas selempang. Tapi buru-buru aku memikirkan apa yang baru saja ia katakan. Justin ingin menemuiku di dekat lokerku? Apa ia ingin mendengarkan penjelasanku? Oh kuharap. Senyuman penuh kepastian muncul dengan penuh kebahagiaan yang membanjiri tubuhku. Sambil menempatkan tas selempang di atas bahuku, aku berjalan keluar dari kelas dengan kaki yang penuh semangat membawa tubuhku untuk Justin yang ingin menemuiku. Oh, Justin akan menemuiku.
            Apa yang ingin ia bicarakan? Kuharap ia ingin memaafkanku. Dan kuharap juga ia ingin mendengarkan penjelasanku tentang mengapa aku sering berbohong. Satu alasan. Aku tertolak.  Aku tertolak. Mungkin aku akan menjelaskan seluruh kehidupanku padanya. Sama seperti dulu ia masuk ke dalam duniaku yang penuh dengan kepalsuan. Tapi aku telah berjanji pada Tuhan untuk tidak melakukan dosa yang sama. Semua itu bukan aku lagi. Sekarang, aku adalah Taylor Christina Pulmer yang baru.
            Tanganku melambai saat mataku melihat seorang lelaki yang masih kucintai berdiri tepat di depan lokerku. Ia bersandar di sana dengan kacamata hitam yang ia pakai dan kain bandana berwarna merah yang mengelilingi kepalanya. Ia memperlihatkan tattoo miliknya yang terdapat pada lengannya.
            “Justin!” aku berteriak memanggilnya. Ia mendongak dan tersenyum melihatku. Aku semakin mempercepat langkahanku sampai pada aku berada di hadapannya.
            “Hey,” sapanya dengan lembut. Sudah hampir dua hari aku tidak bertemu dengannya, akhirnya aku bisa mendengar suaranya yang lembut. “Kau ingin menaruh laptop-mu di dalam loker?” tanyanya penu dengan perhatian. Aku menganggukan kepalaku.
            “Hey, tunggu dulu. Aku merindukanmu,” bisiknya menarik wajahku tiba-tiba dan mengecup bibirku dengan lembut. “Aku minta maaf dengan segala apa yang kuperbuat,” ujar Justin penuh dengan ketulusan. Hatiku meleleh. Apa ia benar-benar mengatakan itu? Kuharap.
            “Kau ingin memaafkanku?” tanyanya melepaskan kacamatanya. Sial! Abu-abu!
            “Jika kau memaafkanku,” Apa dia memakai lensa kontak? Sungguh, ia benar-benar seperti Theo.
            “Aku memaafkanmu,” bisiknya penuh arti namun sungguh menyakitkan karena aku tidak dapat menatap mata Justin yang asli. Entah mengapa, kurasa ia sengaja melakukan ini hanya untuk mengingatkanku pada Theo. “Kau ingin memasukan laptop-mu sekarang?” tanyanya menyingkir dari depan lokerku. Aku menganggukan kepalaku dengan semangat dan memasukan kode kunci lokerku dengan cepat. Saat aku membuka lokerku, mulutku terbuka. Di mana barang-barangku yang lain?
            “Bersenang-senang di dalam sana, sayang!” ujar Justin mendorong tubuhku ke dalam. Kepalaku terbentur besi loker bagian dalam saat Justin mendorong tubuhku masuk ke dalam, aku meringis dan langsung membalikan tubuhku saat pintu loker ingin ditutup oleh Justin.
            “Tidak Justin!”
            “Zayn!” Justin berteriak dan melihat ke arah samping lalu Zayn muncul. BRAK! Kepalaku terpukul dengan kencang, aku terjerembap jatuh ke bawah dan aku tidak mendengarkan apa-apa lagi selain tawaan dan pintu loker yang tertutup. Oh kumohon, aku takut dengan kegelapan sekarang.
            “Kita berhasil,” adalah kata-kata terakhir yang kudengar.


1 komentar:

  1. "Ia menarik kedua lututnya hingga sampai pada dadanya yang semakin membesar." haha ngakak gue baca ini xD
    Ih Justin kok jadi pembully gitu sih? Sumpah kasian banget si Taylor :( emang dimasukkin ke loker muat ya? *mikir keras*

    BalasHapus