Ini adalah hal yang paling kubenci dalam hidupku! Ya Tuhan, aku tidak percaya tanganku sebentar lagi akan lepas dari tubuhku. Apa ibuku tidak mempunyai tangan juga? Mengapa rasanya ibuku senang sekali menyiksaku? Aku tahu membantu ibu itu memang bagus, tapi mengapa harus semua kantong kertas cokelat ini yang kubawa? Jika semua barang-barang yang dibelinya terjatuh, aku tidak ambil pusing. Ini semua karena ibuku tidak ingin membantu anaknya juga. Ia bilang aku sudah dewasa sehingga aku harus rajin pergi ke supermarket agar aku tahu bahan-bahan pokok untuk membuat makanan. Maksudku, yang benar saja? Aku memang sudah 23 tahun tapi jika ibuku berpikir seperti itu, mengapa ia tidak membiarkanku untuk tinggal sendirian di sebuah apartemen? Tinggal bersama dengan orangtua dari umurku 0 sampai 23 ini sangat menyiksaku! Sebenarnya, tidak menyiksa. Hanya saja, aku membutuhkan kebebasan dari mereka. Mereka bilang karena aku adalah anak tunggal maka aku harus tinggal bersama mereka. Sebenarnya, aku bukan anak tunggal sejak kedatangan adik angkatku yang diambil dari panti asuhan. Well, aku memiliki dua adik laki-laki. Dan sekarang kautahu apa? Ibuku memaksaku untuk membiarkannya menyetir mobilku. Sebagai anak yang tidak ingin durhaka terhadap orang tua, aku memberikannya kunci mobilku. Meski aku tahu jika aku naik mobil bersama dengannya itu sama dengan aku berjalan menuju kematian. Kutunggu ibuku membuka pintu belakang mobil agar aku dapat menaruh barang-barang ini. Aku tidak akan pernah melakukan ini jika besok bukanlah hari Thanksgiving!
“Mom,
bisakah kau cepat sedikit?” tanyaku berusaha untuk mempertahankan pelukanku
terhadap belanjaan ibuku. Namun kurasa ia kesusahan untuk membuka kunci itu.
Sehingga sekarang belanjaan ibuku sedikit merosot ke bawah.
“Iya
tunggu sebentar,” gumam ibuku menarik knop pintu mobil lalu membuka pintu
belakangnya. Kautahu apa? Di bangku bagian tengah sudah dipenuhi oleh
perlengkapan Thanksgiving yang menurutku tak perlu dibeli lagi. Tapi ibuku
masih ingin membelinya sehingga sekarang belanjaan yang banyak ini harus berada
di bagasi. “Masukanlah cepat. Kita tidak punya banyak waktu untuk menyiapkan
Thanksgiving besok. Karena besok –“
“Rekan
kerja ayah akan datang. Aku tahu,” lanjutku memutar mata. Lalu dengan cepat
kumasukan belanjaan-belanjaan ini ke dalam bagasi. “Kuharap rekan kerja ayah
ramah karena jika tidak, mungkin aku akan memasukan kepalanya ke dalam kalkun,”
“Aku
juga tidak pernah bertemu dengannya. Katanya ia masih muda,”
“Oh,
begitukah? Semoga pemuda itu tidak sombong. Karena jika ya, aku mungkin akan
memasukannya ke dalam oven,”
“Ssh,
sudahlah. Kata ayah kau juga harus berhati-hati dengannya. Ia orang yang sangat
tertutup, jadi wajarkan saja jika ia akan menjadi lelaki yang pendiam,”
“Pft,
terserahlah,”
***
Demi
Tuhan aku ingin mati sekarang! Ya ampun, aku tidak percaya ayahku akan memiliki
rekan kerja yang masih muda seperti ini! Kutusuk daging kalkun yang ada di
hadapanku dengan garpu. Rasanya aku tak kuat untuk menggigit bibir bawahku
karena ketampanannya. Ia tampak begitu berwibawa duduk di ujung, dekat denganku.
Dekat denganku! Kau bisa membayangkan itu? Dia duduk denganku. Dan ayah duduk
di ujung yang lain, duduk dekat dengan ibuku. Dua adik angkatku duduk begitu
tenang di hadapanku, menikmati makanannya. Sedangkan aku di sini, hatiku sedang
sangat panas. Tubuhku bahkan panas! Tubuhku membutuhkan pelepasan sekarang.
Perlu kautahu, aku sebenarnya adalah anak yang nakal. Meski aku tidak pernah
tidur dengan banyak lelaki. Tapi aku telah tidur bersama dengan dua orang
lelaki. Dan oh Tuhan, melihat lelaki yang berada di sebelahku membuatku ingin
mendorong tubuhnya ke tembok lalu melumat bibirnya yang sekarang basah itu. Aku
bahkan belum tahu namanya, umurnya berapa. Tapi yang jelas ia adalah lelaki
yang sangat menarik.
“Jadi,
Mr.Bieber. Berapa umurmu?” tanya ayahku membuka percakapan setelah keheningan
terjadi selama beberapa menit. Dengan bersih, lelaki yang dipanggil Mr.Bieber
oleh ayahku ini mengambil serbet lalu mengelap bibirnya terlebih dahulu.
“Aku
30 tahun,” ujarnya. Aku yang sedikit menelan daging kalkun tiba-tiba saja
tersedak. Namun untungnya tidak ada yang mendengar aku tersedak. Tanganku
meraih air minum lalu menenggaknya hingga habis setengah. Apa-apaan yang baru
saja ia bilang tadi? 30 tahun? Apa kau bisa membunuhku sekarang? 30 tahun? Demi
apa pun, kau boleh membunuhku sekarang. Dia berumur 30 tahun namun ia terlihat
masih seperti anak kuliahan. Ya ampun, aku masih shock. Aku tidak habis pikir.
Nafasku rasanya tertarik oleh perkataannya begitu saja lalu ia memberikanya
lagi saat ia tertawa. “Kuharap kalian jangan terkejut,”
“Well,
aku terkejut. Tentu saja,” aku langsung mengutarakan maksudku sambil memutar
mataku, malas. Dan ia menatapku. Sial! Ia adalah lelaki yang memiliki mata
terseksi yang pernah kutemui! Aku bersumpah. Salah satu alisnya ia naikan untuk
menggodaku dan yeah, dia berhasil menggodaku.
“Mungkin
kapan-kapan kau harus datang ke rumahku untuk membuktikan bahwa aku berumur 30
tahun,” ujarnya seperti menyiratkan sesuatu di dalam sana. Well, aku mau-mau
saja jika selama itu bersama dengannya. Karena keinginan terbesarku sekarang
adalah dapat memeluknya. “Bolehkah aku mengajak putrimu kapan-kapan pergi ke
rumahku, Mr.Harris?”
“Tentu
saja. Selama kau masih bisa melindungi putriku, tidak apa-apa,” seru ayahku.
Aku langsung menatapku dengan mata melotot. Well, baiklah. Tadi aku hanya
bercanda tentang aku ingin pergi ke rumahnya. Aku tidak ingin pergi ke
rumahnya, tentu saja. Karena aku tidak mau tiap menitnya aku tersiksa karena
jantungku yang terus berdegup kencang jika bersamanya. Tidak, aku tidak mau
pergi ke rumahnya. “Mungkin, Ave akan sangat senang jika kau membawanya ke
rumahmu,”
“Ah,
ya. Jadi nama anakmu, Ave, Mr.Harris?”
“Haha,
ya. Aku yang memberi nama itu. Sebenarnya, aku ingin menamainya Merry karena ia
lahir di hari Natal. Tapi karena ia dilahirkan saat malam Natal, aku memberikan
nama Ave padanya. Seharusnya Eve, tapi tidak. Kurasa itu lebih bagus Ave,” ya
Tuhan. Ayahku melantur lagi. Ia terlalu terbuka pada Mr.Bieber ini. Aku tidak
ingin Mr.Bieber mengetahui apa pun tentangku. Kuhela nafasku dengan keras
hingga semua orang menatapku sekarang. Termasuk Mr.Bieber. Sial! Apa yang salah
dengan menghela nafas? Kutatapi mereka satu per satu dengan alis mata yang
terangkat.
“Okay,”
aku mengucapkan kata ‘okay’ begitu lama. “Ada apa? Bukankah kalkun buatan ibu
enak?” aku ingin mengalihkan perhatian. Sial. Ini sangat memalukan!
“Well,
Mr.Harris, aku tertarik dengan anakmu. Apa aku boleh memacarinya? Ia sangat
lucu dan periang,”
“Kupikir
kau sudah menikah!” seruku langsung saat ia berucap seperti itu. Apa-apaan? Ia
ingin memacariku? Pft! Kita bahkan baru bertemu beberapa menit yang lalu. “Ya
Tuhan, maafkan aku. Kupikir kau sudah menikah,” ujarku sadar bahwa suaraku tadi
benar-benar kencang. Bahkan aku tadi berteriak. Kudengar Mr.Bieber tertawa
pelan saat ia melihat reaksiku. Begitu juga dengan yang lain. Ini tidak lucu
dan ini sangat membosankan. Aku tidak ingin makan malam ini berlangsung lama.
“Tidak,
aku belum menikah,”
“Tapi
cincin yang ada di jarimu?” adik angkatku yang bernama Josh itu menyeletuk.
Justin menatapnya, tatapannya lembut.
“Ini
adalah pemberian dari seseorang, tapi bukan orang yang spesial. Hanya sekedar
hadiah,”
“Jadi,
Mr.Bieber? Kau tertarik dengan anakku? Ia bahkan masih berumur 23 tahun, kau
bisa langsung menikahinya, haha,” suara tawa dari ayahku yang khas terdengar.
Lelucon macam apa itu? Itu tidak sama sekali lucu. Aku hanya dapat terdiam
namun aku memerhatikan Justin yang tertawa dengan penuh wibawa. “Tapi aku
serius, Mr.Bieber. Bukan karena kita rekan kerja, tapi puteriku memang belum
pernah menjalin sebuah hubungan dengan pria,”
“Dia
mempunyai kelainan!” seru Nathan, adik angkatku yang lain menunjuk padaku.
“Apa-apaan!”
bisikku bersumpah. Aku bukan penyuka sesama wanita. Sudah kubilang aku pernah
berhubungan badan dengan lelaki. Tapi memang benar, aku tidak pernah memiliki
hubungan asmara dengan lelaki karena aku tidak ingin sakit hati. Hanya itu masalahnya.
Ketakutan terbesarku dalam menjalin sebuah hubungan adalah ketika salah satu di
antara kami akan pergi, meninggalkan jejak yang pahit di hati. Baiklah, itu
memang sangat berlebihan. Tapi aku serius. Kulihat Mr.Bieber memerhatikan jam
tangan yang ia pakai lalu ia mendongak.
“Mr.Harris.
Aku minta maaf, kurasa aku harus pergi sekarang. Terima kasih untuk hidangan
yang benar-benar lezat. Aku menyukainya,” ujar Mr.Bieber bangkit dari tempat
duduk. “Aku juga menyukaimu, Ave,” lirik Mr.Bieber padaku. Mata sebelahnya
mengedip padaku, dia menggodaku?
“Antar
dia keluar sekarang!” bisik ibuku tepat di telingaku. Ayahku berdiri lalu ia
menghampiri Mr.Bieber kemudian mereka saling berjabat tangan. Saat mereka telah
menarik tangan mereka, aku langsung berdiri untuk mengantar Mr.Bieber keluar
sampai depan halaman rumah. Ayah menatapku dengan kode bahwa kau harus
mendapatkan hatinya! Apa-apaan? Aku tidak mau melakukan itu. Namun aku berusaha
untuk bersikap sedingin mungkin pada Mr.Bieber. Aku berjalan lebih dulu di
depannya saat kami keluar dari ruang makan.
“Hei,
Ave,” Mr.Bieber memanggilku dari belakang. Namun aku berpura-pura tidak
mendengarnya lalu membuka pintu utama rumah orang tuaku. “Ave,” panggilnya lagi
sambil melangkah keluar dari rumahku.
“Oh
ya. Ada apa Mr.Bieber?”
“Kurasa
aku ketinggalan mantelku di dalam rumahmu, aku tidak tahu ibumu menaruhnya
dimana,” ujarnya. Apa-apaan! Ternyata dia hanya memintaku untuk mengambil
mantelnya. Memang seharusnya aku mengambil mantel itu untuknya karena sekarang adalah
musim dingin. Ia pasti akan kedinginan jika ia tidak memakai …oh shit. Aku
melantur, mungkin ini karena ayahku juga. Kulihat mantel Mr.Bieber yang berada
di atas sofa ruang tamu. Mengapa ibuku sembarang menaruhnya? Kuraih mantel itu
lalu kembali menuju pintu rumah orang tuaku.
“Terima
kasih banyak,” katanya lalu memakai mantel itu. Aku keluar dari rumah kemudian
menutup pintu. “Apa kau bisa membantuku ..untuk ..yap! Terima kasih banyak,”
ujarnya meminta bantuanku untuk menarik lengan mantelnya yang memang besar
sekali untuknya. Aku tersenyum. Ternyata jika berdiri dekat dengannya aku bisa
merasakan sesuatu yang aneh. Tidak, bukan jatuh cinta. Tapi lebih nyaman.
Apalagi mendengar suaranya.
“Aku
masih tidak percaya kau berumur 30 tahun,” ujarku, tanpa berpikir. Dari mana
kata-kata itu berasal? Padahal aku tidak memiliki niatan untuk berkata seperti
itu padanya. Ia yang menarik retsleting mantelnya itu langsung mendongak.
“Kau
masih tidak percaya padaku? Well,” tiba-tiba saja Mr.Bieber menarik tubuhku
dengan tangannya sehingga sekarang tubuhku dengan tubuhnya menempel. Sial! Apa
dia sedang menggodaku? Tapi tak dapat kupungkiri, aku tidak dapat pergi darinya
karena aku suka berada di dalam posisi ini. Terlebih lagi, jika bisa, aku ingin
mengecup bibirnya agar udara dingin yang menembus kulitku ini dapat dihangatkan
olehnya. “Kau bisa datang ke rumahku, lalu kita akan mengenal satu sama lain.
Lalu aku akan mendapatimu di bawah tubuhku. Bagaimana dengan itu, Ave?” ia
menekankan namaku. Tangannya yang sudah dilapisi dengan sarung tangan itu
menyelipkan rambutku ke belakang telingaku. Tidak pernah aku merasa begitu
pasrah pada seorang lelaki. Tapi Mr.Bieber.
“Mr.Bieber,
kurasa kau keliru. Kita tidak bisa melakukan itu, tentu saja,” aku salah
tingkah.
“Panggil
aku Max. Karena aku menginginkanmu. Aku ingin kau berada di bawah tubuhmu, di
atas, atau di belakang tubuhmu. Melihatmu memakai gaun berbahan katun seperti
ini membuatku semakin yakin kau gadis paling seksi yang pernah kutemui,”
ujarnya yang membuatku melayang tinggi. Ternyata namanya adalah Max Bieber.
“Max,
kita tidak bisa melakukan itu. Tentu saja,”
“Tidak,
jangan takut denganku. Aku tidak akan menyakitimu. Aku hanya menginginkanmu,
aku belum menikah. Jika perlu aku akan menikahimu,”
“Kau
gila,” aku terkekeh untuk mencairkan suasana ini.
“Aku
tidak gila. Aku hanya terhipnotis padamu. Mata birumu, bulu matamu, lalu
rambutmu yang berwarna cokelatmu ini membuatku terbayang akan suasana panas
..yang –“ Max tidak melanjutkan perkataannya namun ia langsung mengecup bibirku
sekali. Aku mendiamkannya! Aku tahu ini gila tapi aku menginginkannya lagi
sehingga aku mendiamkannya! Persetan apa yang akan dikatakan oleh orang-orang
nanti. Tangannya mulai berada di kepalaku, meremas rambutku.
“Ini
memang terdengar sangat aneh, tapi rasanya aku tidak sabar untuk bertemu
denganmu lagi,” ia melepaskan bibirnya dari bibirku. “Tapi aku memiliki banyak
urusan lain. Kuharap kita akan bertemu lagi. Kau sangat cantik, Ave. Kau harus
tahu itu,”
“Ini
…” aku tidak dapat melanjutkan ucapanku karena lidahku benar-benar kelu dan
membeku.
“Seperti
ini saja perjanjiannya sayang. Aku tahu kau tertarik denganku dan aku tertarik
denganmu. Kita saling mengetahui itu bukan? Dan aku ingin bertemu denganmu
lagi,” ujarnya. Aku hanya dapat mengangguk-anggukan kepalaku. Ini terjadi
begitu cepat. Maksudku, ini bahkan baru 30 menit yang lalu namun kita sudah
saling suka sama suka? Dan ia mengajakku untuk berhubungan badan dengannya?
Tapi aku tidak dapat meragukan kehebatannya di ranjang.
“Apa
besok kau memiliki acara?”
“Ya,
ada acara kumpul bersama dengan keluargaku yang lain. Itu memang selalu terjadi
tiap satu bulan satu kali,” ujarku, memberinya sedikit informasi padanya bahwa
keluargaku itu memang aneh.
“Apa
kau ingin melakukan ini untukku? Bisakah kau meminta izin kepada ayahmu untuk
menginap di rumahku? Ini memang gila! Oh Tuhan, kau memang benar, aku sangat
gila. Tapi ini semua karena kau! Aku benar-benar ..ermmh,” Max meremas bokongku
lalu ia mencium bibirku sehingga mulut kami sekarang saling terbuka. Lidahku
melesak masuk ke dalam mulutnya lalu menikmati setiap sensasinya. Dapat
kusimpulkan lelaki ini penyuka anggur. Aku mengerang saat ia benar-benar
meremas bokong dan sekarang aku tahu ia melakukan ini padaku. Karena ia tahu aku
akan menyetujui perkataan dan aku memang menginginkannya! Ini adalah keputusan
tergila yang pernah kubuat dalam hidupku. Lalu mulut kami saling tertarik. “Ya
Tuhan, Ave. Kau sangat cantik, aku akan selalu mengagumimu,”
“Max,
ini memang terjadi sangat cepat. Aku tidak tahu kita akan ..sial. Ini memang
tidak masuk akal tapi demi Tuhan, baiklah. Aku akan meminta izin pada ayahku
untuk menginap di rumahmu,”
“Aku
menunggumu. Di depan rumahmu. Besok malam. Jam 9.” Bisik Max mengecup bibirku
singkat, lalu ia menghilang, pergi.
***
“Well,
aku sudah berjanji pada Kelly untuk menginap di rumahnya,” ujarku berusaha
untuk meyakinkan temanku, Elliot, ia selalu mengagumiku. Ia datang ke rumahku
karena ia tahu hari ini adalah hari kumpul keluargaku. Ia memang dekat dengan
keluargaku. Well, aku sudah meminta izin pada ayahku untuk menginap di rumah
temanku Kelly, namun sebenarnya tidak. Tentu saja. Aku ingin bertemu dengan
Max. Apalagi sudah lewat dari jam 9
malam. Namun Elliot dari tadi menahanku untuk tidak pergi kemana-mana.
Tangannya masih memegang lenganku, aku mendesah. Kutautkan kedua alisku untuk
membujuknya agar membiarkanku pergi. Sebenarnya, ini bukan haknya untuk
melarangku pergi kemana-mana. Hanya saja, dia sudah menjadi sahabatku sejak 3
tahun yang lalu. Tahun depan ia baru lulus kuliah padahal lebih tua dua tahun
dariku. “Ellot, aku sudah berjanji,”
Elliot
mendesah pelan kemudian ia melepaskan tangannya dari lenganku. “Baiklah. Semoga
selamat dalam perjalanan. Jika kau sudah sampai di rumah Kelly, usahakan
hubungi aku,”
“Tentu
saja, aku bisa melakukannya,” ucapku, mengangguk. Tidak pernah aku berpikir
Elliot akan berlebihan seperti ini. Maksudku, sampai-sampai ia tidak ingin aku
pergi malam-malam seperti ini. Aku keluar dari ruang makan setelah baru saja
tadi aku membersihkan ruang makan sebelum aku pergi, itu kata ibu. Yeah,
bersakit-sakit terlebih dahulu. Lalu setelah ini aku akan bersenang-senang.
Beberapa keluargaku datang, sekitar ada 16 orang di rumah ini. Untunglah rumah
orang tuaku besar jadi cukup untuk menampung keluargaku yang lain. Kulewati
ruang keluarga, Jimmy dan Tommy, si kembar itu tampak serius dengan film yang
diputar. Yeah, mereka berdua adalah kembaran yang selalu bersama.
“Aku
pergi!” teriakku saat keluar dari ruang keluarga lalu mengambil tas yang berisi
baju-baju serta kuraih jaket yang telah kusiapkan di atas sofa. Entah berapa
lama aku akan menginap di rumah Mr.Bieber tapi aku tidak peduli. Selama
mungkin, jika bisa. Meski aku tahu bahwa pertemuanku dengannya adalah kemarin,
tapi aku merasa dia adalah orang yang baik.Terlebih lagi ia adalah rekan kerja
ayahku, jadi tidak mungkin ia melakukan kejahatan padaku. Kututup pintu
rumahku. Udara benar-benar dingin, untunglah aku memakai jaket sekarang. Saat
aku telah meninggalkan halaman rumah, kendaraan bermotor berlalu lalan dengan
cepat. Aku masih mencari-cari dimana Max berada. Kulihat ke sisi kiri, tidak.
Aku tidak melihat siapa pun, maksudku, tidak ada seseorang yang menungguku.
“Ave!”
suara teriakan dari seorang lelaki terdengar di telingaku. Sudah kuyakini itu
adalah Max. Kubalikan tubuhku kemudian melihat Max yang tampan memakai pakaian
hangat. Ia berlari kecil lalu ia memelukku. “Ave! Aku menunggumu di restoran
sana, lalu kau muncul jadi aku langsung keluar,” ujarnya. Kutarik tubuhku dari
tubuhnya, berniat untuk memberitahunya agar cepat-cepat pergi dari halaman
rumah karena aku takut Elliot mengetahui bahwa aku berbohong.
“Aku
pikir kau tidak jadi menjemputku,”
“Oh
itu tidak mungkin. Mobilku ada di depan restoran itu, ayo,” ajaknya menarik
tanganku untuk menghampiri restoran China yang dekat dengan rumahku. Well,
biasanya aku juga sering ke sana. Dengan Elliot. Perlu kauketahui, Elliot itu
sebenarnya tampan sekarang. Ia memiliki warna mata biru, rambut pirang, dan
perawakannya tinggi. Hanya saja Elliot tidak semisterius Mr.Bieber. Elliot
lebih terbuka. Dan harus kuakui Elliot adalah orang yang cukup membosankan.
Karena ia selalu saja bercerita tentang pelajaran di kampusnya. Aku tidak
mungkin mengerti apa yang ia bilang. Well, pertama kali aku bertemu dengannya
saat aku menjenguk pamanku di rumahnya karena ia sakit. Elliot adalah teman
dari sepupu lelakiku yang bernama Albert. Albert bertemu dengan Elliot di
California. Tentu saja Elliot dari California. Terlihat dari gaya berpakaiannya.
Lalu Albert menyarankan Elliot untuk berkuliah di Atlanta sehingga sekarang aku
dapat mengenal Elliot. Satu yang kusuka dari Elliot adalah ia seorang pendengar
yang baik. Biasanya, aku memberitahu padanya apa yang kurasakan. Ia mendengar
dan memberikan saran padaku. Well, aku selalu menganggapnya sebagai abangku
dari ibu yang lain. Terlarut dengan pikiranku, Max telah membukakan pintu
mobilnya untukku. Langsung saja aku masuk ke dalam kemudian hawa hangat terasa
di mobil ini. Huh, akhirnya aku bisa merasakan kehangatan. Max ikut masuk ke
dalam mobil sambil mendesah. Demi Tuhan itu adalah desahan paling seksi yang
pernah kudengar.
“Sebenarnya,
Max, aku masih bingung mengapa kau ingin sekali aku datang ke rumahmu,”
Max
terkekeh pelan, “Bukankah kau yang ingin aku membuktikan bahwa aku masih
berumur 30 tahun? Dan, terlebih lagi aku menginginkanmu berada di bawah, di
atas, dan di depan tubuhku,” Max tersenyum sejenak padaku setelah ia menyalakan
mobilnya.
“Maksud
dari di bawah, di atas dan di depan?” tanyaku, berpura-pura bingung. Tentu saja
ia menginginkan aku tidur dengannya. Sebenarnya, aku ingin tidur dengannya,
jika kau ingin tahu. Terlihat dari auranya yang misterius, ia seorang lelaki
yang pintar dalam bermain di atas ranjang.
“Well,
kau tentu tahulah apa yang kumaksud. Ranjang bergetar, desahan seksi, keringat.
Kau pernah melakukannya juga bukan?” tanya Max mulai menginjak pedal gas hingga
mobil ini melaju. “Jangan bilang kau tidak pernah melakukannya,”
“Well,
yeah. Aku pernah melakukannya. Dengan dua orang lelaki, tapi itu sudah lama
sekali. Aku sudah tidak pernah berhubungan badan lagi,” ucapku, tanpa
malu-malu. Kenyataannya di sini adalah sekarang aku tidak merasa terintimidasi
olehnya. Biasanya aku akan salah tingkah. Mungkin karena ia selalu menyambutku
dengan hangat. Sebenarnya, kemarin malam aku selalu memikirkan Max. Ada
perubahan dari wajahnya. Maksudku, aku dapat merasakan sesuatu yang berbeda
darinya saat ia berada di ruang makan dan berada di luar rumah orang tuaku. Dapat
kulihat respon Max saat ia pertama kali masuk ke dalam rumahku, ia tampaknya
biasa-biasa saja. Tidak tertarik padaku sama sekali. Lalu di ruang makan, ia
terdiam dan melahap makanannya. Berbicara-berbicara-berbicara terus dengan ayah
ia tampak sopan lalu ayah menyinggung tentangku tiba-tiba saja ia menggodaku
seperti mengangkat salah satu alisnya padaku. Padahal sebelumnya ia tidak
seperti itu! Ia tampak biasa-biasa saja. Keheningan terjadi setelah aku
menjawab pertanyaannya. Sial. Apa dia tidak ingin aku datang ke rumahnya? Well,
aku ingin sekali tahu rumah pengusaha kaya, tampan namun sudah ingin memasuki
umur setengah baya ini. Ini hanya terdengar aneh di telingaku. Kejadiannya
terjadi begitu cepat. 30 menit berbincang-bincang, berciuman, lalu sekarang aku
berada di mobil ini. Uh, biasanya aku tidak seperti ini pada seorang lelaki.
Siapa pun. Maksudku, tidak ada yang menarik selain Max. Dan Max telah berumur
30 tahun. Oh, ayolah. Apa kau sedang bercanda? Aku berbeda umur dengannya
sekitar 7 tahun, itu benar-benar lucu. Aku masih ragu-ragu dengan perasaan ini.
Apa perasaan ini hanya kagum sementara atau aku benar-benar menyukainya? Well,
jika aku menyukainya, mungkin aku akan tunduk padanya. Karena aku tidak pernah
tunduk pada lelaki manapun. Aku serius. Tiba-tiba saja ia mengesampingkan
mobilnya untuk diparkirkan. Apa kita sudah sampai? Max mendesah pelan lalu ia
menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia kemudian menolehkan kepalanya padaku,
tersenyum kaku.
“Ini
benar-benar memalukan. Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Aku Justin. Justin
Bieber,” ujarnya menjulurkan tangannya padaku. Oke. Baiklah. Sekarang aku
merasa ketakutan. Apa yang sebenarnya Max sedang permainkan di sini?
“Max?
Aku tidak mengerti apa yang kaulakukan,” ujarku, mulai menyentuh knop pintu
mobil bagian dalam, berniat untuk kabur. Lelaki yang mengaku dia adalah Max ini
mendesah pelan kembali, ia menundukan kepalanya sejenak, lalu kembali
mendongakan kepalanya.
“Ya
Tuhan,” suaranya seperti suara saat ia menyapa ayahku kemarin, bukan seperti
Max. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ya Tuhan, aku benar-benar minta maaf.
A-aku Justin. Ini sangat memalukan,”
“Max,
apa yang terjadi padamu?” tanyaku, kali ini aku benar-benar ketakutan. Justin,
lelaki yang baru saja memperkenalkan namanya itu menggeleng-gelengkan
kepalanya. “Oh, apa yang kaulakukan pada Max? Baiklah. Siapa pun kau, aku
benar-benar ketakutan sekarang!” seruku, hampir menjerit.
“Tidak,
ya Tuhan, tidak. Aku tidak akan menyakitimu. Beritahu aku siapa namamu. Aku
pernah melihatmu sebelumnya,”
“Ave,
namaku Ave. Tentu saja kita pernah bertemu, baru kemarin kau datang ke rumah
ayahku!”
“Oh,
ya ampun. Kau adalah anak Mr.Harris! Tentu saja. Mengapa aku bisa melupakanmu?
Maafkan aku. Apa kau ingin aku antar pulang sekarang? Ini benar-benar di luar
dugaanku,”
Aku
menatapnya bingung. Memang ia tampan, tapi mengapa ia gila? Ya ampun, aku tidak
akan pernah menyetujui ajakan Max, Justin atau siapa pun dia jika ia gila
seperti ini. Setampan apa pun orang itu, jika ia gila, ketampanannya sia-sia.
Ya Tuhan. Justin, Max atau siapa pun itu
mendesah pelan. Ia menatapku dengan tatapan Jangan-Takut-Aku-Tidak-Gila. Tapi
bagaimana mungkin aku tidak takut padanya? Ia lelaki yang aneh! Menyeramkan! Ia
mengaku dirinya adalah Max. Lalu sekarang Justin. Sebenarnya, apa nama
panjangnya adalah Max Justin Bieber? Tapi itu nama yang jelek! Tidak mungkin
namanya adalah Max Justin Bieber. Tiba-tiba saja Justin, Max, atau siapa pun
itu menarik tangannya yang dari tadi ia julurkan padaku agar aku menjabatnya.
Itu membuatku terkesiap, tentu saja. Ia mengeluarkan dompetnya lalu ia
mengeluarkan sebuah kartu. Kartu tanda pengenalnya, rupanya.
“Ini,
aku Justin. Justin Drew Bieber. Bukan Max, ya Tuhan. Aku benar-benar minta
maaf,” ujarnya memberikan kartu tanda pengenalnya itu padaku. Oh yeah. Namanya
adalah Justin Drew Bieber. Lalu siapa Max? Oke. Ini sangat menakutkan. Lalu
siapa lelaki kemarin yang baru saja menciumku? Oh, siapa pun tolong aku! Aku
terjebak di dalam masalah yang membingungkan ini. “Ap-apa yang telah Max
janjikan padamu?”
“Apa?
Apa yang sedang kaukatakan?” tanyaku, lirih. Ketakutan. Kutautkan kedua alisku,
takut. Sial! Mengapa kepalaku selalu dikelilingi oleh kata “Takut” ? Ini
menyeramkan.
“Ayolah,
Ave. Beritahu aku. Apa yang Max katakan padamu?”
“I-ia
bilang bahwa dia akan membuktikan bahwa ia berumur 30 tahun. Dan kita akan
bercinta di rumahnya,” ujarku, jujur. Memang itu bukan yang dimaksud oleh Max?
Justin, atau Max, atau siapa pun itu membenturkan kepalanya pada setir
mobilnya. Ia menggumamkan kata kotor lalu ia mengambil nafas dalam-dalam.
“Ya
Tuhan, Ave. Kau adalah anak rekan kerjaku, tapi demi Tuhan, aku tidak mungkin
menidurimu,” ujar Justin, Max, atau siapa pun itu. “Kau masih tidak percaya
namaku Justin bukan?”
“Y-yeah.
Tentu saja. Kemarin kau mengaku padaku kalau namamu adalah Max dan sekarang kau
Justin. Sebentar lagi kau akan jadi apa? Santa Claus? Superman? Batman? Atau
kau akan bilang padaku, ‘Hai! Aku Michael Jackson, maafkan aku. Aku bukan Max
Bieber yang kaumaksud. Bahkan aku tidak tahu mengapa kau dapat memanggilku
seperti itu.’, sebenarnya apa yang sedang kau tipu Justin, atau Max, atau siapa
pun kau itu?”
“Oh,
sial. Baiklah. Ayo kita ke rumahku agar aku dapat membuktikan padamu kalau aku
adalah Justin Drew Bieber,” ujar Justin, Max, atau siapa pun itu mulai kembali
melajukan mobilnya. Dan terima kasih pada Tuhan karena kita mendapatkan tempat
parkir yang kosong tadi sehingga tidak ada polisi yang dapat mencegah kita.
Well, aku masih bingung dengan lelaki ini. Sekarang aku ragu kalau ia adalah Max
atau Justin. Apa dia sedang bercanda? Jika ya, itu memang sangat lucu sekali
hingga aku ketakutan. Kuharap apa yang kusangka padanya adalah salah. Karena
aku tidak ingin berpikir kalau ia adalah orang jahat. Maksudku, penipu. Sangat
disayangkan jika ia adalah seorang penipu. Mengapa? Karena ia tampan dan kaya!
Baik hati pula. Apa kurangnya? Mungkin satu, hanya kegilaannya.
“Siapa
pun—“
“Aku
Justin! Aku Justin Bieber! Kumohon percaya padaku,” ujarnya memotong ucapanku
saat aku ingin bertanya padanya apa ia bercanda atau tidak. Namun karena ia
berbicara seperti itu, aku mengurungkan niatku untuk bertanya padanya. Karena
sungguh, aku sekarang terperangkap dalam sebuah dilema. Seharusnya aku
mendengar ucapan ibuku tentang mengenal orang yang belum kita kenal lebih dari
satu bulan bukan berarti ia adalah teman kita. Atau orang yang baik. Oh, ini
semua salahku. Aku belum bertumbuh dewasa. Ini mungkin dikarenakan diriku
sendiri atau karena aku masih tinggal bersama dengan orang tuaku. “Maaf, aku
tidak bermaksud untuk membentakmu,”
“Tidak
apa-apa. Aku hanya masih terkejut dengan pernyataan bahwa kau adalah Justin,
Justin,” aku menekankan namanya. Max. Lalu siapa itu Max? “Siapa itu Max?”
Ia
menarik nafasnya. “Aku akan menjelaskan padamu jika kau telah berada di
rumahku. Tapi, aku tidak akan menyentuhmu. Perlu kauketahui, aku bukanlah
lelaki cabul. Meski aku memang sering bermain dengan wanita, tapi aku tidak
sembarang bermain dengan wanita. Itu selama aku masih sadar,”
Kunaikan
salah satu alisku. Apa maksudnya? “Selama kau masih sadar? Apa-apaan?”
“Yeah,
itu akan kujelaskan di rumahku nanti. Tapi aku berjanji tidak akan
menyentuhmu,”
***
Rumahnya
luar biasa luas. Aku mungkin memerlukan peta jika aku disuruh untuk
membersihkan rumah ini. Justin, Max, atau siapa pun itu memegang tanganku untuk
semakin masuk ke dalam rumahnya. Aku telah melewati ruang tamunya yang kurasa
dapat diisi oleh dua puluh orang atau lebih. Lalu ruang keluarganya yang super
duper nyaman, harus kuakui. Lalu ruang olah raganya yang ..ya Tuhan, aku
menghentikan langkahanku saat aku melihat ruang olah raganya yang diisi oleh
banyak peralatan untuk olah raga. Jika aku tinggal di sini, mungkin aku akan
memiliki tubuh yang indah. Justin, Max, atau siapa pun itu ikut menghentikan
langkahannya.
“Terkadang
kau memang harus memiliki fasilitas yang lengkap,”
“Yeah,
tentu saja. Ini sangat lengkap,”
“Ayo,
biar kutunjukan kau yang lain. Aku tertarik denganmu, rasa keingintahuanmu yang
tinggi benar-benar membuatku bersemangat,” ujar Justin, Max atau siapa pun itu
menarik tanganku untuk menaiki tangganya. Sebenarnya, masih ada satu lorong
lagi tapi kurasa kita memang harus naik ke atas. Tangan Justin, Max atau siapa
pun itu masih memegang tanganku dengan erat. Menarikku dengan semangat. Justin
atau Max, mereka sama saja. Hanya saja Justin lebih terlihat seperti orang
normal. Max lebih misterius dan seksi. Saat kami telah berada di lantai dua,
aku dapat melihat begitu banyak foto-foto besar di lantai dua. Atau foto
dirinya yang sedang memakai pakaian formal. Foto dirinya sedang bermain golf.
Apa orang ini adalah orang yang mencintai dirinya sendiri? Apa dia tidak
memiliki keluarga? Setidaknya, foto orang tuanya mungkin? Tapi aku rasa aku
tidak memiliki banyak waktu karena Justin, Max atau siapa pun itu langsung
menarik tanganku untuk masuk ke dalam ..kamarnya, kurasa.
“Biar
kuperlihatkan kalau aku adalah Justin Drew Bieber,” ujarnya menarik laci meja
kerjanya lalu ia mengeluarkan banyak map. “Ini surat akta kelahiranku, surat
perjanjian-perjanjianku, kau boleh melihatnya. Di sana tertulis Justin Drew
Bieber,” suruhnya.
Aku
melakukannya. Kulihat namanya, Justin Drew Bieber. Yeah, dia Justin Drew
Bieber.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar