Sabtu, 03 Agustus 2013

Criminal Crime Bab 9 - End




***

            Aku menatap pada Arthur dengan mata yang membulat. Tidak pernah berpikir aku akan tertembak. Pakaian anti-peluru yang kukenakan benar-benar berguna untukku. Peluru yang baru saja menembak perutku terjatuh begitu saja ke bawah, melewati pakaian luarku yang sekarang telah bolong akibat tembakan dari Elliot. Dapat kulihat ekspresi Arthur yang terkejut serta pucat namun aku tahu, aku akan baik-baik saja. Tangan Elliot telah benar-benar terkunci oleh Arthur dengan satu tangannya. Lalu satu tangannya yang lain mulai meraih pisau yang ia simpan di dalam sepatunya.
            “Tidak.” bisikku menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku tidak ingin Elliot mati sekarang. Tidak, sekarang. Belum saatnya. Tapi Arthur menggeleng-gelengkan kepalanya. Pisau yang sekarang berada di tangan kirinya langsung tertancap pada leher Elliot. Tepat pada pembuluh nadi Elliot. Mata Elliot membulat, aku mundur beberapa langkah darinya. Aku baru saja melihat Arthur membunuh sahabatku –mantan sahabatku—tepat di depan mataku.
            “Mengapa?” tanyaku, lirih sekaligus tak percaya. Rencanaku tidak seperti ini! Kita telah mendiskusikannya! Tidak, Elliot tidak boleh mati sekarang! Tapi terlambat, aku tahu. Elliot telah tergeletak di atas lantai putihnya dengan mata yang masih terbuka. Ia masih hidup, hanya saja, ia tidak akan tertolong. Karena, jika salah satu dari kami melepaskan pisau itu dari lehernya, darahnya akan semakin keluar lebih banyak. Oh, aku tidak ingin menyentuh darah dari seorang pembunuh yang membunuh ayahku. Elliot telah menipuku, ia bilang bahwa Ian adalah pelakunya agar kesalahannya tertutupi. Dia sangat terobsesi denganku dan itu ..berbahaya.
            Arthur masih belum menjawab pertanyaanku.
            Nafasku dan nafasnya terengah-engah, menantikan detik-detik terakhir Elliot bernafas. Lalu Elliot menatapku, ia berusaha untuk bernafas dan darahnya terus mengalir melalui pisau milik Arthur.
            “Perlu kauketahui, aku mencintaimu,” bisiknya.
            “Kau tidak mencintaiku. Tidak dengan cara seperti ini.”
            “Akankah kau mengingat pada diriku kelak?”
            “Selalu.” bisikku menarik nafas, berusaha untuk tidak menangis saat Elliot menatapku dengan tatapan kecewa. Ia tahu aku akan selalu mengingatnya karena perbuatannya terhadap diriku. Ayahku hilang di tangannya. Ayahku mati di tangannya. Bagaimana mungkin kejadian ini terdengar begitu menarik untuk diriku agar aku menjadi FBI? Tiba-tiba aku merasa pusing, dengan cepat aku menyentuh lemari yang berada di dekat untukku menyeimbangkan tubuhku.
            “Waktunya untuk menyingkirkan manusia –mayat—sialan ini,” gumam Justin –oh!—mengangkat ponselnya lalu ia mendekatkan ponsel itu pada telinganya. “Ya, sekarang. Nomor 5. Sebersih mungkin. Aku dan Ave akan pergi dari tempat ini sekarang. Ya, bagus. Terima kasih,” ujar Justin yang telah muncul. Aku tahu Justin tidak akan terkejut dengan pemandangan di hadapannya. Elliot telah memejamkan matanya. Ia telah tiada. Meninggal karena terbunuh, sama seperti ia membunuh ayahku. Tapi aku tidak merasa kasihan atau iba pada seorang lelaki yang telah membunuh ayahku. Dia gila. Dia tidak memiliki otak. Dan ia memang harus mati. Tapi seharusnya tidak sekarang, ia harus berada di penjara untuk selama bertahun-tahun lalu Arthur akan membunuhnya.
            “Tidak akan ada yang mencari kita, sekalipun itu polisi,”
            “Aku tidak meragukan itu,” ujarku kemudian Justin memegang tanganku untuk pergi dari apartemen ini. Kuharap tidak ada yang mendengar suara tembakan dari Elliot tadi.
            “Apa kau baik-baik saja?” tanya Justin terdengar khawatir setelah kita telah keluar dari apartemen Elliot lalu menutup pintu namun tidak begitu rapat. Aku menganggukan kepalaku. “Bagus. Aku hanya khawatir saat kulihat pakaianmu bolong, Elliot menembakmu,”
            “Dia memang gila,”
            “Aku tahu. Mari kita pulang.”

***

            Ibuku tidak percaya bahwa Elliot-lah yang membunuh ayah. Ia menangis dan aku memeluknya dengan erat. Justin berada di hadapan kami dengan kedua mata yang memerhatikan kami prihatin. Atau ia menatap ibuku dengan tatapan prihatin. Tapi Justin tidak tinggal diam, ia memang selalu menjadi pria yang manis. Tangan kirinya merogoh kantong celananya lalu ia mengeluarkan sapu tangan cokelat miliknya dengan jahitan namanya Bieber di sana. Lalu ia memberikannya pada ibuku yang menundukkan kepalanya.
            “Terima kasih,” bisik ibuku mengambil sapu tangan itu lalu ia mengelap air matanya.
            “Ya.” gumam Justin tersenyum kecil. Kutarik nafasku menatap Justin gugup. Oh, ya ampun, situasi ini tidak akan mendukung lamaran Justin terhadapku. Justin ingin meminta izin padaku untuk menikah denganku. Oh, aku telah mengatakan “Ya” padanya. Hanya saja, ia harus meminta izin pada ibuku. Ia tidak ingin menikah dengan seseorang yang orangtuanya tidak setuju dengannya. Aku menggelengkan kepala pada Justin. Memberikan kode bahwa ia tidak dapat melamarku.
            “Apa kau baru saja tertembak?” tanya ibuku saat jarinya menyentuh pakaianku yang memiliki lingkar bolong yang kecil, ia mendongakkan kepalanya untuk menatapku. Oh, mata itu berair ditemani dengan kepahitan. Aku tidak dapat melihat ibuku menangis seperti ini. Kurasa Elliot memang benar. Sasaran pertama saat kau ingin menyakiti seseorang adalah hatinya. Dia telah menyakiti hatiku lalu ibuku kemudian ia menyakiti Justin karena ia tahu, aku akan menyalahkan Justin. Bagaimana Elliot tahu tentang Justin –Arthur—adalah seorang pembunuh? Oh, ya, tentu saja ayahku. Ayahku sering sekali bercerita pada Elliot. Mengapa tampaknya Elliot tega sekali membunuh ayahku yang sudah baik hati ingin memberikan diriku padanya tapi ia malah mengambil jalan alternatif yang membuatnya justru tidak akan pernah mendapatkanku? Ia bahkan sekarang telah berada di neraka.
            “Ya,” bisikku memegang pergelangan tangan ibuku. “Tapi aku tidak apa-apa,” lanjutku buru-buru.
            “Aku dan Ave telah memakai pakaian anti-peluru sebelum kita datang ke rumah Elliot,”
            “Bagaimana dengan Elliot?” tanya ibuku menatap pada Justin.
            “Kau tidak perlu mengkhawatirkannya mom,” jawabku mewakili Justin. Tidak, ibuku tidak perlu tahu bahwa Justin –Arthur—adalah pembunuh. Maksudku, Arthur membunuh Elliot karena ada alasannya. Meski aku juga tidak setuju Elliot mati sekarang. Belum saatnya, tapi sudah terlanjur.
            “Kupikir ia adalah lelaki yang baik,”
            “Terkadang orang baik adalah orang yang berbahaya,” gumam Justin. Aku menganggukan kepalaku setuju. Benar. Terkadang orang baik adalah orang yang berbahaya. Kemudian aku tertawa sendiri karena pemikiran bodohku: Jika orang baik adalah orang yang berbahaya, mengapa kau tidak menjadi pelacur saja? Kau akan menjadi orang baik sekaligus orang jahat. Ibuku terdiam.
            “Aku datang ke sini untuk meminta izin padamu, Mrs.Harris,”
            “Jika kau ingin menikahi anakku..” ucapan ibuku terhenti. Oh! Bagaimana bisa ibuku tahu bahwa Justin datang ke sini untuk meminta izin menikah denganku. “Tunggu apalagi?” tanya ibuku membuat jantungku yang awalnya berdegup kencang tiba-tiba saja ibuku menghentikan jantung itu seketika. Ibuku merestui hubungan kami? Aku tidak menatap Justin. Nafasku tertarik entah kemana. Rasanya butuh beberapa detik untuk menyaring apa yang ibuku katakan. Suasana ini sepertinya tidak bertahap! Bagaimana dari awalnya kami menangis lalu sekarang ibuku tiba-tiba membawa kami ke dunia lain yang aku tidak tahu bagaimana menjabarkan dunia yang sedang kulihat. Semuanya terlihat begitu putih setelah aku mengedipkan mataku, langitnya begitu putih. Bukan biru. Dan rerumputan yang kuinjak tampak menari diiringi music dari angin yang lembut. Satu pohon Sakura dengan daun-daunnya yang berwarna cantik itu tidak bergerak padahal angin menerpa tubuh kami secara bersamaan. Lalu aku menyadari bahwa memang aku sedang tidak berada di dunia nyata. Kemudian aku menundukkan kepalaku untuk melihat pakaian yang kukenakan. Pakaian putih panjang. Oh, jangan bilang aku sedang mengalami Lucid Dream.
            Tiba-tiba saja kabut mengaburkan penglihatanku saat aku melangkahkan kakiku untuk mendekati pohon Sakura. Lalu kabut itu menghilang secara perlahan. Samar-samar aku melihat seorang lelaki yang memakai pakaian serba putih dan ia adalah ayahku. Ia tersenyum damai padaku lalu ia menganggukan kepalanya.
            “Jika kau memang sudah memastikan ialah pendamping hidupmu, mengapa kau harus memikirkan ucapan orang lain? Semuanya akan mengalir seperti sungai menuju laut. Satu hal yang pasti, Ave, anakku yang manis, jangan pikirkan pemikiran orang lain sayang tentang hubunganmu. Tidak akan ada yang mengontrol rasa cintamu terhadap orang yang kaucinta selain seorang yang kaucintai.” Jelas ayahku membuatku menangis. Oh, aku menangis. Apa ini memang mimpi? Apa ini hanya ilusi atau semacamnya? Kumohon, jangan biarkan waktu ini cepat berlalu. Aku masih merindukan ayahku.
            “Bolehkah aku menyentuhmu?” tanyaku penuh dengan kesedihan.
            “Tidak,”
            “Mengapa?” Aku sungguh kecewa. Aku ingin memeluknya untuk yang terakhir kalinya. Karena aku tahu, waktu singkat ini tidak akan pernah datang untuk yang kedua kalinya.
            “Tidakkah kau ingin waktu ini berjalan lama? Well, mungkin kita hanya memiliki waktu sedikit. Jangan sentuh aku atau aku akan benar-benar menghilang,” ia mengatakan dengan senyum kecil penuh dengan kedamaian. Tentu saja ia damai di sisi Tuhan. Ia sudah tidak memiliki masalah lagi dan ia tenang!
            “Aku akan menikah dengannya ayah. Apa kau mengizinkanku untuk menikah dengannya?”
            “Mengapa kau bertanya seperti itu padaku lagi? Aku sudah tidak berada di sisimu, Ave,”
            “Apa kau akan sedih jika aku menikah dengannya nanti? Mommy menyetujui hubungan kami,”
            “Tidak.” Jawabnya singkat. “Seperti yang kubilang, Ave, jangan pikirkan pemikiran orang lain terhadap hubunganmu. Selama kau merasa kau tidak merugikan mereka,”
            “Apa kau merasa dirugikan, ayah?” tanyaku terdengar bodoh. Aku telah menangis dan aku merasakan air mataku sekarang.
            “Ave,” ayahku membelai namaku dengan lidahnya. Oh, suara itu. Suara yang sering menegurku, memujiku dengan ucapan: Kau anak ayah yang luar biasa cantik. Satu-satunya anak ayah yang paling ayah sayangi. “Aku telah meninggal. Pikirkan ibumu sekarang. Bagaimana perasaannya. Jika ia memang sudah ..” tapi ayahku telah menghilang mengikuti angin yang menerpa tubuh kami. Ia langsung menghilang dari hadapanku dan aku berteriak. Terjatuh pada lututku sendiri.
            “Ayah,” bisikku sedih, kupejam mataku penuh dengan kesedihan. Aku terjatuh, tergeletak ke atas rerumputan lembut ini. Begitu lemah untuk bangkit. Tapi dari segala yang telah terjadi beberapa menit yang lalu: Jika kau memang sudah memastikan ialah pendamping hidupmu, mengapa kau harus memikirkan ucapan orang lain? Semuanya akan mengalir seperti sungai menuju laut. Satu hal yang pasti, Ave, anakku yang manis, jangan pikirkan pemikiran orang lain sayang tentang hubunganmu. Tidak akan ada yang mengontrol rasa cintamu terhadap orang yang kaucinta selain seorang yang kaucintai. Jadi hanya Justin yang dapat menghentikan rasa cinta ini dan diriku sendiri.
            “Ave!” samar-samar aku mendengar suara Justin. “Ave! Bangunlah sayang,” kali ini suara Justin melembut. Kukerjap-kerjapkan mataku perlahan lalu aku mendapati diriku di atas tempat tidurku sendiri. Oh, itu hanya mimpi. Aku pingsan? Tidak mungkin. Kemudian aku mendengar suara nafas penuh dengan kegelaan.
            “Dia bilang ya,” bisikku langsung. Justin duduk di sebelahku dan menatap kedua mataku penuh dengan rasa kebingungan. “Ayahku bilang ya, Justin. Kita bisa menikah,” gumamku menangis, terharu. Oh, aku akan menikah dengan Justin.
            “Dia bilang ya? Bagaimana mungkin?”
            “Dia bilang; jika aku telah memastikan kaulah pendamping hidupku, aku tidak perlu memikirkan perkataan orang lain. Dan tidak akan ada yang mengontrol rasa cintamu terhadap orang yang kaucintai selain seorang yang kaucintai. Kau tidak akan menyakitiku bukan Justin?”
            “Apa untungnya untukku menyakiti gadis sempurna sepertimu, Ave?” tanya Justin mengelus kepalaku. “Apa kau terkejut dengan ucapan ibumu? Aku juga terkejut,”
            “Ya. Sangat.”
            “Kita akan memiliki anak,” bisik Justin mengecup bibirku dengan lembut. “Kita akan berhubungan badan selama yang kita mau sampai kita mati nanti,” bisik Justin kali ini ia mengecup leherku.
            “Lalu kita akan memiliki pergi kemana pun yang kau mau,” kecupannya pindah ke leherku.
            “Lalu kita akan bercinta sesukaku,” ujarku menggodanya.
            “Mengapa sesukamu?”
            “Karena aku yang memiliki harta karunnya. Aku bisa menjaganya jika aku tidak mau memberikannya padamu, “ godaku lagi, kali ini mendesah. Oh, ini sangat hebat! Awalnya aku menangis dan sekarang kita sedang menggoda satu sama lain.
            “Tapi aku yang memiliki kuncinya. Harta karun tidak bisa berlari kautahu,”
            “Oh, kau benar,” aku mengalah.
            “Dan kemudian kita akan memiliki anak yang lucu. Laki-laki dan perempuan,”
            “Lalu Darren muncul,”
            “Kemudian Arthur akan merasa bosan karena ia tidak menyukai anak-anak,”
            “Ia akan menyukai anaknya sendiri Justin, aku tahu itu,”
            Justin tertawa kecil. “Kau benar. Kemudian Max akan muncul untuk membuat anak yang banyak. Kau ingin memiliki anak yang banyak?”
            “Sebanyak yang kauinginkan, kurasa,”
            “Empat,”
            “Mengapa?” tanyaku penasaran. Mataku dan Justin terus bertemu, aku tidak dapat menahan rasa senyum kebahagiaanku padanya. Justin tidak menjawab pertanyaanku namun ia kedua tangannya memegang kedua tanganku.
            “Tangan kita ada empat, Ave, jika itu disatukan!” ujar Justin bercanda. Aku tertawa lepas.
            “Itu adalah alasan yang konyol! Mengapa jika kita memiliki empat tangan?”
            “Kau bisa memegang dua anak yang lain dan aku memegang dua yang lain.” Serunya tertawa. Aku tidak dapat menahan tawaanku karena alasannya yang konyol. Lucu jika ada seorang dokter kandungan bertanya: ‘kau ingin memiliki 4 anak? Oh, wow, mengapa?’ lalu Justin akan menjawab: ‘Itu karena aku dan istriku memiliki dua tangan yang jika disatukan menjadi empat tangan.’. Itu konyol.
            “Oh, Justin. Ini adalah salah satu alasan mengapa aku mencintai dari begitu banyak alasan yang tidak dapat kusebutkan,”
            “Kau sebutkan? Aku mencintaimu selama darahku mengalir,” ujarnya, membuatku bingung.
            “Mengapa?”
            “Darah tak bisa dihitung dan darahku akan berhenti mengalir jika aku mati,” jelasnya. “Kecuali jika aku tertusuk atau tertembak karena aku akan mati dengan darah yang mengalir keluar,”
            Aku tertawa renyah. “Kau benar.”
            “Aku mencintaimu, Ave,”
            “Kau tidak perlu mengatakannya karena aku sudah tahu.”
           
***

*Author POV*

5 tahun yang kemudian …

            Aku menatap anak pertamaku yang masih berumur 3 tahun itu berlari-lari dengan senang bersama dengan Darren dengan warna rambut yang sama. Clark sudah besar, ia sudah berumur 8 tahun sekarang. Ia senang mengetahui ia akan memiliki adik dariku. Anak pertamaku dengan Justin seorang anak lelaki yang aktif. Seperti sekarang. Warna matanya sama dengan Justin. Tapi sekarang Justin sedang berada dalam tubuhnya sendiri. Darren sedang bermain di taman belakang rumah. Ibuku sekarang telah menjadi seorang nenek. Ia tinggal bersama kami. Tapi sekarang ia sedang tidur di kamarnya. Ia sedang sakit. Aku hanya dapat menatap mereka dari jarak jauh sambil mengelus perutku yang telah membesar. Anak keduaku dengan Justin. Sekarang aku sadar, meski banyak wanita di sana harus membenciku karena aku satu-satunya wanita beruntung yang mendapatkan Justin, aku dapat mempertahankan hubungan ini tanpa mendengar ucapan mereka. Aku tidak pernah memercayai ucapan siapa pun tentang Justin selain Justin sendiri yang berucap. Karena kebenaran keluar dari mulut Justin. Jika memang seorang lelaki benar-benar mencintai seorang wanita, hal pertama yang ia utamakan adalah: tidak menyakitinya karena ketakutannya kehilangan wanitanya. Ia tidak akan berbohong untuk menyakiti wanita itu pada akhirnya. Dan aku akan selalu percaya dengan ucapan Justin karena aku tahu Justin tidak akan pernah berbohong padaku.
            Kuncinya: kepercayaan. Sisanya, kau yang akan memutuskan. Kau memutuskan untuk tidak setia: Oke. Kepercayaan adalah kunci kesetiaan, menurutku begitu.
            “Hei, sayang! Bagaimana dengan bayi kita di dalam sana?” tanya Darren menghampiriku setelah Clark berhasil menangkap anak pertamaku, Kevin. Yeah, Kevin. Aku yang menamainya.
            “Oh, dia sedang tidur,”
            “Mengapa ibunya tidak pergi tidur untuk menemaninya?” Darren bertanya duduk di sebelahku, di atas rumput yang halus. Aku mengangkat kedua bahuku. “Kurasa ibunya juga membutuhkan istirahat,” kali ini Justin yang muncul. Tidak jauh berbeda.
            “Aku tidak lelah Justin,”
            “Oh, tidak terasa kita telah menjalani hubungan ini selama 5 tahun. Dua anak dan calon anak kita. Oh, tiga anak. Satu lagi 3 tahun ke depan. Kurasa aku dan yang lainnya harus lebih bersemangat,” goda Justin sambil tangannya memegang perutku. Mengelusnya dengan lembut.
            “Apa kau tidak bosan denganku, Justin?” tanyaku, tiba-tiba. Oh, dari mana pertanyaan itu datang? Bodoh sekali. Justin terdiam, ia merangkul tubuhku yang cukup besar –meski ia berpikir tidak besar—lalu menarik kepalaku untuk bersandar pada dadanya. Kurasakan hembusan nafasnya di atas kepalaku, menyapu rambutku.
            “Kau bahkan selalu membuatku terkejut tiap harinya. Bagaimana bisa aku bosan denganmu?”
            “Bisa saja. Kau mendapatkan wanita lain yang lebih seksi dariku, lebih cantik dariku,”
            “Kau ingat alasan mengapa aku yakin kau akan menjadi pendamping hidupku?” tanya Justin menarik daguku ke atas sehingga sekarang aku terdongak, menatap Justin. “Kau tidak berlari dariku. Kau bahkan membantuku. Aku tidak mencari wanita dari fisiknya, Ave. Menurutku, wanita cantik yang kudapatkan adalah nilai tambah dari Tuhan. Aku bersumpah demi Tuhan, aku adalah lelaki beruntung yang telah mendapatkanmu,”
            “Lalu kau akan memamerkanku pada teman-temanmu,”
            “Tentu saja. Aku memamerkan apa yang kubanggakan,”
            “Mengapa kau bangga?”
            “Karena aku berhasil mendapatkanmu.”
            “Tapi dari semuanya ..” aku menarik nafasku.
            “Jika kau memang sudah memastikan ialah pendamping hidupmu, mengapa kau harus memikirkan ucapan orang lain? Semuanya akan mengalir seperti sungai menuju laut. Satu hal yang pasti, Ave, anakku yang manis, jangan pikirkan pemikiran orang lain sayang tentang hubunganmu. Tidak akan ada yang mengontrol rasa cintamu terhadap orang yang kaucinta selain seorang yang kaucintai.” Ujar kami berdua, menempelkan bibir kami satu sama lain. Merasakan kehangatan dan kenyamanannya.

            Aku tidak ingin berakhir. Selamanya.

1 komentar:

  1. Keren.. tapi kepribadian gandanyaasih tetep ya, cuma ilang kevin doang

    BalasHapus