Aku
menatap pada Arthur dengan mata yang membulat. Tidak pernah berpikir aku akan
tertembak. Pakaian anti-peluru yang kukenakan benar-benar berguna untukku.
Peluru yang baru saja menembak perutku terjatuh begitu saja ke bawah, melewati
pakaian luarku yang sekarang telah bolong akibat tembakan dari Elliot. Dapat
kulihat ekspresi Arthur yang terkejut serta pucat namun aku tahu, aku akan
baik-baik saja. Tangan Elliot telah benar-benar terkunci oleh Arthur dengan
satu tangannya. Lalu satu tangannya yang lain mulai meraih pisau yang ia simpan
di dalam sepatunya.
“Tidak.”
bisikku menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku tidak ingin Elliot mati sekarang.
Tidak, sekarang. Belum saatnya. Tapi Arthur menggeleng-gelengkan kepalanya. Pisau
yang sekarang berada di tangan kirinya langsung tertancap pada leher Elliot.
Tepat pada pembuluh nadi Elliot. Mata Elliot membulat, aku mundur beberapa
langkah darinya. Aku baru saja melihat Arthur membunuh sahabatku –mantan
sahabatku—tepat di depan mataku.
“Mengapa?”
tanyaku, lirih sekaligus tak percaya. Rencanaku tidak seperti ini! Kita telah
mendiskusikannya! Tidak, Elliot tidak boleh mati sekarang! Tapi terlambat, aku
tahu. Elliot telah tergeletak di atas lantai putihnya dengan mata yang masih terbuka.
Ia masih hidup, hanya saja, ia tidak akan tertolong. Karena, jika salah satu
dari kami melepaskan pisau itu dari lehernya, darahnya akan semakin keluar
lebih banyak. Oh, aku tidak ingin menyentuh darah dari seorang pembunuh yang
membunuh ayahku. Elliot telah menipuku, ia bilang bahwa Ian adalah pelakunya
agar kesalahannya tertutupi. Dia sangat terobsesi denganku dan itu ..berbahaya.
Arthur
masih belum menjawab pertanyaanku.
Nafasku
dan nafasnya terengah-engah, menantikan detik-detik terakhir Elliot bernafas.
Lalu Elliot menatapku, ia berusaha untuk bernafas dan darahnya terus mengalir
melalui pisau milik Arthur.
“Perlu
kauketahui, aku mencintaimu,” bisiknya.
“Kau
tidak mencintaiku. Tidak dengan cara seperti ini.”
“Akankah
kau mengingat pada diriku kelak?”
“Selalu.”
bisikku menarik nafas, berusaha untuk tidak menangis saat Elliot menatapku
dengan tatapan kecewa. Ia tahu aku akan selalu mengingatnya karena perbuatannya
terhadap diriku. Ayahku hilang di tangannya. Ayahku mati di tangannya.
Bagaimana mungkin kejadian ini terdengar begitu menarik untuk diriku agar aku
menjadi FBI? Tiba-tiba aku merasa pusing, dengan cepat aku menyentuh lemari
yang berada di dekat untukku menyeimbangkan tubuhku.
“Waktunya
untuk menyingkirkan manusia –mayat—sialan ini,” gumam Justin –oh!—mengangkat
ponselnya lalu ia mendekatkan ponsel itu pada telinganya. “Ya, sekarang. Nomor
5. Sebersih mungkin. Aku dan Ave akan pergi dari tempat ini sekarang. Ya,
bagus. Terima kasih,” ujar Justin yang telah muncul. Aku tahu Justin tidak akan
terkejut dengan pemandangan di hadapannya. Elliot telah memejamkan matanya. Ia
telah tiada. Meninggal karena terbunuh, sama seperti ia membunuh ayahku. Tapi
aku tidak merasa kasihan atau iba pada seorang lelaki yang telah membunuh
ayahku. Dia gila. Dia tidak memiliki otak. Dan ia memang harus mati. Tapi
seharusnya tidak sekarang, ia harus berada di penjara untuk selama
bertahun-tahun lalu Arthur akan membunuhnya.
“Tidak
akan ada yang mencari kita, sekalipun itu polisi,”
“Aku
tidak meragukan itu,” ujarku kemudian Justin memegang tanganku untuk pergi dari
apartemen ini. Kuharap tidak ada yang mendengar suara tembakan dari Elliot
tadi.
“Apa
kau baik-baik saja?” tanya Justin terdengar khawatir setelah kita telah keluar
dari apartemen Elliot lalu menutup pintu namun tidak begitu rapat. Aku
menganggukan kepalaku. “Bagus. Aku hanya khawatir saat kulihat pakaianmu
bolong, Elliot menembakmu,”
“Dia
memang gila,”
“Aku
tahu. Mari kita pulang.”
***
Ibuku
tidak percaya bahwa Elliot-lah yang membunuh ayah. Ia menangis dan aku
memeluknya dengan erat. Justin berada di hadapan kami dengan kedua mata yang
memerhatikan kami prihatin. Atau ia menatap ibuku dengan tatapan prihatin. Tapi
Justin tidak tinggal diam, ia memang selalu menjadi pria yang manis. Tangan
kirinya merogoh kantong celananya lalu ia mengeluarkan sapu tangan cokelat
miliknya dengan jahitan namanya Bieber
di sana. Lalu ia memberikannya pada ibuku yang menundukkan kepalanya.
“Terima
kasih,” bisik ibuku mengambil sapu tangan itu lalu ia mengelap air matanya.
“Ya.”
gumam Justin tersenyum kecil. Kutarik nafasku menatap Justin gugup. Oh, ya
ampun, situasi ini tidak akan mendukung lamaran Justin terhadapku. Justin ingin
meminta izin padaku untuk menikah denganku. Oh, aku telah mengatakan “Ya”
padanya. Hanya saja, ia harus meminta izin pada ibuku. Ia tidak ingin menikah
dengan seseorang yang orangtuanya tidak setuju dengannya. Aku menggelengkan
kepala pada Justin. Memberikan kode bahwa ia tidak dapat melamarku.
“Apa
kau baru saja tertembak?” tanya ibuku saat jarinya menyentuh pakaianku yang
memiliki lingkar bolong yang kecil, ia mendongakkan kepalanya untuk menatapku.
Oh, mata itu berair ditemani dengan kepahitan. Aku tidak dapat melihat ibuku
menangis seperti ini. Kurasa Elliot memang benar. Sasaran pertama saat kau
ingin menyakiti seseorang adalah hatinya. Dia telah menyakiti hatiku lalu ibuku
kemudian ia menyakiti Justin karena ia tahu, aku akan menyalahkan Justin.
Bagaimana Elliot tahu tentang Justin –Arthur—adalah seorang pembunuh? Oh, ya,
tentu saja ayahku. Ayahku sering sekali bercerita pada Elliot. Mengapa
tampaknya Elliot tega sekali membunuh ayahku yang sudah baik hati ingin
memberikan diriku padanya tapi ia malah mengambil jalan alternatif yang
membuatnya justru tidak akan pernah mendapatkanku? Ia bahkan sekarang telah
berada di neraka.
“Ya,”
bisikku memegang pergelangan tangan ibuku. “Tapi aku tidak apa-apa,” lanjutku
buru-buru.
“Aku
dan Ave telah memakai pakaian anti-peluru sebelum kita datang ke rumah Elliot,”
“Bagaimana
dengan Elliot?” tanya ibuku menatap pada Justin.
“Kau
tidak perlu mengkhawatirkannya mom,” jawabku mewakili Justin. Tidak, ibuku
tidak perlu tahu bahwa Justin –Arthur—adalah pembunuh. Maksudku, Arthur
membunuh Elliot karena ada alasannya. Meski aku juga tidak setuju Elliot mati
sekarang. Belum saatnya, tapi sudah terlanjur.
“Kupikir
ia adalah lelaki yang baik,”
“Terkadang
orang baik adalah orang yang berbahaya,” gumam Justin. Aku menganggukan
kepalaku setuju. Benar. Terkadang orang baik adalah orang yang berbahaya.
Kemudian aku tertawa sendiri karena pemikiran bodohku: Jika orang baik adalah
orang yang berbahaya, mengapa kau tidak menjadi pelacur saja? Kau akan menjadi
orang baik sekaligus orang jahat. Ibuku terdiam.
“Aku
datang ke sini untuk meminta izin padamu, Mrs.Harris,”
“Jika
kau ingin menikahi anakku..” ucapan ibuku terhenti. Oh! Bagaimana bisa ibuku
tahu bahwa Justin datang ke sini untuk meminta izin menikah denganku. “Tunggu
apalagi?” tanya ibuku membuat jantungku yang awalnya berdegup kencang tiba-tiba
saja ibuku menghentikan jantung itu seketika. Ibuku merestui hubungan kami? Aku
tidak menatap Justin. Nafasku tertarik entah kemana. Rasanya butuh beberapa
detik untuk menyaring apa yang ibuku katakan. Suasana ini sepertinya tidak
bertahap! Bagaimana dari awalnya kami menangis lalu sekarang ibuku tiba-tiba
membawa kami ke dunia lain yang aku tidak tahu bagaimana menjabarkan dunia yang
sedang kulihat. Semuanya terlihat begitu putih setelah aku mengedipkan mataku,
langitnya begitu putih. Bukan biru. Dan rerumputan yang kuinjak tampak menari
diiringi music dari angin yang lembut. Satu pohon Sakura dengan daun-daunnya
yang berwarna cantik itu tidak bergerak padahal angin menerpa tubuh kami secara
bersamaan. Lalu aku menyadari bahwa memang aku sedang tidak berada di dunia
nyata. Kemudian aku menundukkan kepalaku untuk melihat pakaian yang kukenakan.
Pakaian putih panjang. Oh, jangan bilang aku sedang mengalami Lucid Dream.
Tiba-tiba
saja kabut mengaburkan penglihatanku saat aku melangkahkan kakiku untuk
mendekati pohon Sakura. Lalu kabut itu menghilang secara perlahan. Samar-samar
aku melihat seorang lelaki yang memakai pakaian serba putih dan ia adalah
ayahku. Ia tersenyum damai padaku lalu ia menganggukan kepalanya.
“Jika
kau memang sudah memastikan ialah pendamping hidupmu, mengapa kau harus
memikirkan ucapan orang lain? Semuanya akan mengalir seperti sungai menuju
laut. Satu hal yang pasti, Ave, anakku yang manis, jangan pikirkan pemikiran
orang lain sayang tentang hubunganmu. Tidak akan ada yang mengontrol rasa
cintamu terhadap orang yang kaucinta selain seorang yang kaucintai.” Jelas
ayahku membuatku menangis. Oh, aku menangis. Apa ini memang mimpi? Apa ini
hanya ilusi atau semacamnya? Kumohon, jangan biarkan waktu ini cepat berlalu.
Aku masih merindukan ayahku.
“Bolehkah
aku menyentuhmu?” tanyaku penuh dengan kesedihan.
“Tidak,”
“Mengapa?”
Aku sungguh kecewa. Aku ingin memeluknya untuk yang terakhir kalinya. Karena
aku tahu, waktu singkat ini tidak akan pernah datang untuk yang kedua kalinya.
“Tidakkah
kau ingin waktu ini berjalan lama? Well, mungkin kita hanya memiliki waktu
sedikit. Jangan sentuh aku atau aku akan benar-benar menghilang,” ia mengatakan
dengan senyum kecil penuh dengan kedamaian. Tentu saja ia damai di sisi Tuhan.
Ia sudah tidak memiliki masalah lagi dan ia tenang!
“Aku
akan menikah dengannya ayah. Apa kau mengizinkanku untuk menikah dengannya?”
“Mengapa
kau bertanya seperti itu padaku lagi? Aku sudah tidak berada di sisimu, Ave,”
“Apa
kau akan sedih jika aku menikah dengannya nanti? Mommy menyetujui hubungan
kami,”
“Tidak.”
Jawabnya singkat. “Seperti yang kubilang, Ave, jangan pikirkan pemikiran orang
lain terhadap hubunganmu. Selama kau merasa kau tidak merugikan mereka,”
“Apa
kau merasa dirugikan, ayah?” tanyaku terdengar bodoh. Aku telah menangis dan
aku merasakan air mataku sekarang.
“Ave,”
ayahku membelai namaku dengan lidahnya. Oh, suara itu. Suara yang sering
menegurku, memujiku dengan ucapan: Kau anak ayah yang luar biasa cantik. Satu-satunya
anak ayah yang paling ayah sayangi. “Aku telah meninggal. Pikirkan ibumu
sekarang. Bagaimana perasaannya. Jika ia memang sudah ..” tapi ayahku telah
menghilang mengikuti angin yang menerpa tubuh kami. Ia langsung menghilang dari
hadapanku dan aku berteriak. Terjatuh pada lututku sendiri.
“Ayah,”
bisikku sedih, kupejam mataku penuh dengan kesedihan. Aku terjatuh, tergeletak
ke atas rerumputan lembut ini. Begitu lemah untuk bangkit. Tapi dari segala
yang telah terjadi beberapa menit yang lalu:
Jika kau memang sudah memastikan ialah pendamping hidupmu, mengapa kau harus
memikirkan ucapan orang lain? Semuanya akan mengalir seperti sungai menuju
laut. Satu hal yang pasti, Ave, anakku yang manis, jangan pikirkan pemikiran
orang lain sayang tentang hubunganmu. Tidak akan ada yang mengontrol rasa
cintamu terhadap orang yang kaucinta selain seorang yang kaucintai. Jadi
hanya Justin yang dapat menghentikan rasa cinta ini dan diriku sendiri.
“Ave!”
samar-samar aku mendengar suara Justin. “Ave! Bangunlah sayang,” kali ini suara
Justin melembut. Kukerjap-kerjapkan mataku perlahan lalu aku mendapati diriku
di atas tempat tidurku sendiri. Oh, itu hanya mimpi. Aku pingsan? Tidak
mungkin. Kemudian aku mendengar suara nafas penuh dengan kegelaan.
“Dia
bilang ya,” bisikku langsung. Justin duduk di sebelahku dan menatap kedua
mataku penuh dengan rasa kebingungan. “Ayahku bilang ya, Justin. Kita bisa
menikah,” gumamku menangis, terharu. Oh, aku akan menikah dengan Justin.
“Dia
bilang ya? Bagaimana mungkin?”
“Dia
bilang; jika aku telah memastikan kaulah pendamping hidupku, aku tidak perlu
memikirkan perkataan orang lain. Dan tidak akan ada yang mengontrol rasa
cintamu terhadap orang yang kaucintai selain seorang yang kaucintai. Kau tidak
akan menyakitiku bukan Justin?”
“Apa
untungnya untukku menyakiti gadis sempurna sepertimu, Ave?” tanya Justin
mengelus kepalaku. “Apa kau terkejut dengan ucapan ibumu? Aku juga terkejut,”
“Ya.
Sangat.”
“Kita
akan memiliki anak,” bisik Justin mengecup bibirku dengan lembut. “Kita akan
berhubungan badan selama yang kita mau sampai kita mati nanti,” bisik Justin
kali ini ia mengecup leherku.
“Lalu
kita akan memiliki pergi kemana pun yang kau mau,” kecupannya pindah ke
leherku.
“Lalu
kita akan bercinta sesukaku,” ujarku menggodanya.
“Mengapa
sesukamu?”
“Karena
aku yang memiliki harta karunnya. Aku bisa menjaganya jika aku tidak mau
memberikannya padamu, “ godaku lagi, kali ini mendesah. Oh, ini sangat hebat!
Awalnya aku menangis dan sekarang kita sedang menggoda satu sama lain.
“Tapi
aku yang memiliki kuncinya. Harta karun tidak bisa berlari kautahu,”
“Oh,
kau benar,” aku mengalah.
“Dan
kemudian kita akan memiliki anak yang lucu. Laki-laki dan perempuan,”
“Lalu
Darren muncul,”
“Kemudian
Arthur akan merasa bosan karena ia tidak menyukai anak-anak,”
“Ia
akan menyukai anaknya sendiri Justin, aku tahu itu,”
Justin
tertawa kecil. “Kau benar. Kemudian Max akan muncul untuk membuat anak yang
banyak. Kau ingin memiliki anak yang banyak?”
“Sebanyak
yang kauinginkan, kurasa,”
“Empat,”
“Mengapa?”
tanyaku penasaran. Mataku dan Justin terus bertemu, aku tidak dapat menahan
rasa senyum kebahagiaanku padanya. Justin tidak menjawab pertanyaanku namun ia
kedua tangannya memegang kedua tanganku.
“Tangan
kita ada empat, Ave, jika itu disatukan!” ujar Justin bercanda. Aku tertawa
lepas.
“Itu
adalah alasan yang konyol! Mengapa jika kita memiliki empat tangan?”
“Kau
bisa memegang dua anak yang lain dan aku memegang dua yang lain.” Serunya
tertawa. Aku tidak dapat menahan tawaanku karena alasannya yang konyol. Lucu
jika ada seorang dokter kandungan bertanya: ‘kau ingin memiliki 4 anak? Oh,
wow, mengapa?’ lalu Justin akan menjawab: ‘Itu karena aku dan istriku memiliki
dua tangan yang jika disatukan menjadi empat tangan.’. Itu konyol.
“Oh,
Justin. Ini adalah salah satu alasan mengapa aku mencintai dari begitu banyak
alasan yang tidak dapat kusebutkan,”
“Kau
sebutkan? Aku mencintaimu selama darahku mengalir,” ujarnya, membuatku bingung.
“Mengapa?”
“Darah
tak bisa dihitung dan darahku akan berhenti mengalir jika aku mati,” jelasnya.
“Kecuali jika aku tertusuk atau tertembak karena aku akan mati dengan darah
yang mengalir keluar,”
Aku
tertawa renyah. “Kau benar.”
“Aku
mencintaimu, Ave,”
“Kau
tidak perlu mengatakannya karena aku sudah tahu.”
***
*Author POV*
5 tahun yang kemudian …
Aku
menatap anak pertamaku yang masih berumur 3 tahun itu berlari-lari dengan
senang bersama dengan Darren dengan warna rambut yang sama. Clark sudah besar,
ia sudah berumur 8 tahun sekarang. Ia senang mengetahui ia akan memiliki adik
dariku. Anak pertamaku dengan Justin seorang anak lelaki yang aktif. Seperti
sekarang. Warna matanya sama dengan Justin. Tapi sekarang Justin sedang berada
dalam tubuhnya sendiri. Darren sedang bermain di taman belakang rumah. Ibuku sekarang
telah menjadi seorang nenek. Ia tinggal bersama kami. Tapi sekarang ia sedang
tidur di kamarnya. Ia sedang sakit. Aku hanya dapat menatap mereka dari jarak
jauh sambil mengelus perutku yang telah membesar. Anak keduaku dengan Justin.
Sekarang aku sadar, meski banyak wanita di sana harus membenciku karena aku
satu-satunya wanita beruntung yang mendapatkan Justin, aku dapat mempertahankan
hubungan ini tanpa mendengar ucapan mereka. Aku tidak pernah memercayai ucapan
siapa pun tentang Justin selain Justin sendiri yang berucap. Karena kebenaran
keluar dari mulut Justin. Jika memang seorang lelaki benar-benar mencintai
seorang wanita, hal pertama yang ia utamakan adalah: tidak menyakitinya karena
ketakutannya kehilangan wanitanya. Ia tidak akan berbohong untuk menyakiti
wanita itu pada akhirnya. Dan aku akan selalu percaya dengan ucapan Justin
karena aku tahu Justin tidak akan pernah berbohong padaku.
Kuncinya:
kepercayaan. Sisanya, kau yang akan memutuskan. Kau memutuskan untuk tidak
setia: Oke. Kepercayaan adalah kunci kesetiaan, menurutku begitu.
“Hei,
sayang! Bagaimana dengan bayi kita di dalam sana?” tanya Darren menghampiriku
setelah Clark berhasil menangkap anak pertamaku, Kevin. Yeah, Kevin. Aku yang
menamainya.
“Oh,
dia sedang tidur,”
“Mengapa
ibunya tidak pergi tidur untuk menemaninya?” Darren bertanya duduk di
sebelahku, di atas rumput yang halus. Aku mengangkat kedua bahuku. “Kurasa
ibunya juga membutuhkan istirahat,” kali ini Justin yang muncul. Tidak jauh
berbeda.
“Aku
tidak lelah Justin,”
“Oh,
tidak terasa kita telah menjalani hubungan ini selama 5 tahun. Dua anak dan
calon anak kita. Oh, tiga anak. Satu lagi 3 tahun ke depan. Kurasa aku dan yang
lainnya harus lebih bersemangat,” goda Justin sambil tangannya memegang
perutku. Mengelusnya dengan lembut.
“Apa
kau tidak bosan denganku, Justin?” tanyaku, tiba-tiba. Oh, dari mana pertanyaan
itu datang? Bodoh sekali. Justin terdiam, ia merangkul tubuhku yang cukup besar
–meski ia berpikir tidak besar—lalu menarik kepalaku untuk bersandar pada dadanya.
Kurasakan hembusan nafasnya di atas kepalaku, menyapu rambutku.
“Kau
bahkan selalu membuatku terkejut tiap harinya. Bagaimana bisa aku bosan
denganmu?”
“Bisa
saja. Kau mendapatkan wanita lain yang lebih seksi dariku, lebih cantik
dariku,”
“Kau
ingat alasan mengapa aku yakin kau akan menjadi pendamping hidupku?” tanya
Justin menarik daguku ke atas sehingga sekarang aku terdongak, menatap Justin.
“Kau tidak berlari dariku. Kau bahkan membantuku. Aku tidak mencari wanita dari
fisiknya, Ave. Menurutku, wanita cantik yang kudapatkan adalah nilai tambah
dari Tuhan. Aku bersumpah demi Tuhan, aku adalah lelaki beruntung yang telah
mendapatkanmu,”
“Lalu
kau akan memamerkanku pada teman-temanmu,”
“Tentu
saja. Aku memamerkan apa yang kubanggakan,”
“Mengapa
kau bangga?”
“Karena
aku berhasil mendapatkanmu.”
“Tapi
dari semuanya ..” aku menarik nafasku.
“Jika
kau memang sudah memastikan ialah pendamping hidupmu, mengapa kau harus
memikirkan ucapan orang lain? Semuanya akan mengalir seperti sungai menuju laut.
Satu hal yang pasti, Ave, anakku yang manis, jangan pikirkan pemikiran orang
lain sayang tentang hubunganmu. Tidak akan ada yang mengontrol rasa cintamu
terhadap orang yang kaucinta selain seorang yang kaucintai.” Ujar kami berdua,
menempelkan bibir kami satu sama lain. Merasakan kehangatan dan kenyamanannya.
Aku
tidak ingin berakhir. Selamanya.
Keren.. tapi kepribadian gandanyaasih tetep ya, cuma ilang kevin doang
BalasHapus