***
“Justin,”
aku memanggilnya di antara keheningan. “Kupikir, aku adalah alasan mengapa kau
berubah, tapi mengapa pada akhirnya kau bilang kau berubah karena Jazzy?”
gumamku melanjutkan, bertanya. Kepalaku berada di atas dada Justin, mataku
menatap ke arah tanaman-tanaman yang indah di taman belakang, dan tangan Justin
mengelus rambutku dengan lembut. Kudengar ia menarik napasnya.
“Maaf,
aku harus berbohong padamu,”
“Mengapa?”
tanyaku dengan cepat. Ia berbohong padaku. Dan kau tahu apa? Aku benci
pembohong. Well, walau aku baru tahu Justin berbohong. Biasanya ia tidak
membohongiku.
“Karena
aku tidak ingin kau khawatir dengan keadaan adikku. Aku tidak ingin membuatmu
frustrasi karena masalah itu,” ia memberikan alasan yang cukup masuk akal.
Meski pada akhirnya aku mengetahuinya dan aku tidak frustrasi. Mungkin aku
hanya prihatin dan peduli pada adiknya. Ia memainkan rambutku yang panjang.
Keheningan melingkupi kami lagi. Jazzy sudah berada di rumah kami sejak
kemarin. Aku sudah tidak memakai ponselku yang layarnya sudah retak itu dan
menggantinya dengan ponsel yang baru. Justin memintaku mengganti ponsel dan
kartuku agar Zayn tidak menghubungiku, aku hanya dapat menyetujuinya.
“Apa
kau benar-benar mencintaiku, Justin?” kembali aku bertanya.
“Ada
apa, Deep? Kau meragukanku?” tanyan tampak tidak menyukai pertanyaanku. Aku
mengangkat kedua bahuku dan memainkan jariku pada besi yang bercat putih di
bawah jariku. Kami sedang terduduk di atas kursi besi putih, tempat kesukaan
Justin. Tapi itu dulu, ia sudah tidak menyukainya lagi karena ia tidak memiliki
waktu. Waktunya habis hanya untuk bekerja, jadi ia tidak bisa merasakan
matahari sore yang ia sukai.
“Ya.
Ya, aku mencintaimu,” ia berkata dengan penuh ketegasan, menekan setiap
kata-kata yang keluar dari mulutnya. Aku tidak ingin melanjutkan pembicaraan
ini. Ini sudah jauh dan aku tidak ingi melanjutkannya. Dan aku tahu, Justin
merasa tidak nyaman dengan pertanyaan-pertanyaanku.
Aku
hanya bertanya. Dan aku telah memiliki jawabannya. Herannya adalah mengapa
Justin mencintaiku? Dengan alasan apa? Aku benar-benar ingin tahu. Tapi aku
yakin ia mencintaiku dari hatinya yang paling dalam. Tangan Justin menjulur
pada perutku dan mengelusnya.
“Aku
tak sabar untuk melihat Bieber Junior-ku.” Bisiknya di telingaku. Pipiku
memerah begitu saja.
****
Hari
demi hari kulewati bersama Justin. Dengan cinta yang kami salurkan dengan cara
saling memahami, menghormati, dan saling percaya. Semakin hari ia semakin melindungiku.
Tidak ada kabar dari Zayn. Caitlin tampak lebih baik dari bulan-bulan yang
lalu. Dan semakin lama butiknya sering dikunjungi. Aku sangat bahagia melihat
Caitlin semakin berhasil. Dan Avan, aku juga senang ia telah mendapatkan gadis
yang ia inginkan. Astaga, gadis yang ia sukai berumur 18 tahun. Apa dia sudah
gila? Umur Avan 26 tahun. Namun hebatnya adalah gadis itu menerima Avan, entah
bagaimana mereka bisa bertemu. Aku tidak peduli dan yang terpenting adalah aku
bahagia jika melihat bahagia.
Ini
adalah hari terakhir di mana aku menginjak bulan kehamilanku yang ke-8, jadi
besok adalah bulanku yang ke-9. Memang waktu terus berjalan dengan cepat.
Perutku semakin berat. Justin semakin senang saat dokter memberitahu kami kalau
anak kami diprediksikan adalah anak laki-laki. Dia sangat senang. Bahkan aku
tidak pernah melihat wajahnya yang begitu bahagia hari itu. Setiap 2 kali satu
minggu, aku dan Justin akan pergi ke senam ibu hamil. Sangat menyenangkan bila
Justin yang akan mendampingiku. Cuma, akhir-akhir ini ia tidak dapat
melakukannya denganku lagi. Jadi, Jazzy yang menemaniku ke senam ibu hamil.
Well,
aku sangat bahagia. Semuanya berjalan dengan baik. Jazzy tampak lebih baik.
Tubuhnya semakin membaik. Astaga, aku tidak pernah berpikir akan sebaik ini.
Hanya satu hal yang kupikirkan sampai sekarang, apa yang sedang Zayn lakukan?
Tidak bertemu dengannya, tidak mendapatkan kabar darinya, sangat membuatku
khawatir dengan keadaannya. Bagaimana pun juga ia adalah sahabatku yang sangat
pengertian. Setidaknya dia bisa menghubungiku dan aku masih bisa menjaga jarak
dengannya. Ya, aku tahu, ia berusaha untuk menggugurkan kandunganku. Tapi
rasanya aku tidak percaya ia akan melakukan itu. Ah, apa yang kuharapkan dari
Zayn?! Tolol sekali aku.
Kuperhatikan
Jazzy yang sibuk dengan tugas yang diberikan oleh guru privatnya. Ia gadis yang
sangat cerdas, perhatian. Tapi kadang aku selalu kasihan dengannya saat tiap
kali ia pergi keluar, ia merasa terintimidasi. Maksudku, ia takut pergi keluar
dari rumah. Jadi, ia lebih menyukai tempat yang tertutup. Dan, untung saja, ia
tidak hamil dan itu tidak akan mungkin. Justin tampak bersyukur dengan apa yang
telah Tuhan lakukan pada Jazzy. Bisa saja Jazzy hamil, mungkin Zayn sudah
berada di dalam bumi sekarang. Tanganku terus mengelus perutku yang besar ini.
Tidak mengira akan sebesar ini dan secepat ini. Rasanya ..benar-benar cepat.
“Deep,
aku ingin bertanya,” tanya Jazzy mendongakan kepalanya. Pensil masih ia pegang,
ia terduduk di atas karpet dengan sebuah meja ruang tengah di depan tubuhnya.
Aku mengangkat kedua alisku.
“Apa
kau pernah mencintai ..Zayn?” tanya Jazzy dengan tatapan yang penuh dengan
ketakutan. Bukan ketakutan terhadap Zayn, tapi takut akan reaksiku. Mengapa ia
bertanya seperti itu?
“Tidak,
tentu saja, aku mencintai kakakmu yang tampan,”
“Aku
tahu itu. Tapi apa kau tidak sadar kalau kau sedang memberikan harapan pada
Zayn?” tanyanya lagi. Mengapa pertanyaannya tampak tahu sekali apa yang sedang
terjadi dalam hubunganku dan Zayn? Bukankah ia takut dengan Zayn? Dokter
Psikater itu pintar sekali menyembuhkan rasa trauma Jazzy. Aku kagum.
“Dalam
bentuk?”
“Kau
tahu, Justin sering bercerita padaku tentang perasaanya padamu. Ia selalu kesal
jika kau selalu membelanya. Atau bahkan kau selalu menentang apa yang ia
katakan. Seperti saat kau selalu mengangkat telepon dari Zayn. Apa kau tidak
sadar kalau kau sedang memberikan kesempatan pada Zayn?” tanya Jazzy dengan
otaknya yang cerdas itu. Sial! Mengapa ia bisa menganalisa sesuatu yang tidak
aku tidak tahu padahal aku yang melakukannya sendiri? Kau tahu maksudku bukan?
Aku tidak sadar kalau aku telah memberikan harapan pada Zayn. Tidak, aku tidak
memberikan harapan pada Zayn tapi aku peduli dengannya sebagai sahabat. Hanya
saja, dia adalah sahabat terbaik dari yang terbaik yang pernah kutemui.
“Mengapa
Justin belum pulang juga?” tanyaku mengalihkan topik pembicaraan.
“Kurasa
ia lembur,” balasnya dengan cepat, “Usaha yang bagus, Mrs. Bieber. Tolong jawab
aku,”
Sial!
Mengapa ia tidak seperti Justin? Justin mudah sekali dialihkan perhatiannya dan
itu sangat memudahkan aku untuk keluar dari topik pembicaraan yang tidak ingin
kubahas. Tapi adiknya? Mungkin otak Justin tidak sebesar otak Jazzy.
“Tidak,
tidak sama sekali,” bisikku. Aku membenarkan cara dudukku menjadi lebih tegak.
Sekarang pikiranku melayang pada Justin. Kemana dia? Sudah yang kesekian
kalinya ia pulang lama sekali. Jam sudah menunjukan pukul 7 malam dan
seharusnya ia sudah berada di sini jam 6. Satu jam lebih! Dia lembur?
Seharusnya ia menghubungiku. Aku memegang perut bagian atasku dan membungkuk
pada meja untuk mengambil ponselku yang berada di sana.
“Kenapa?”
tanya Jazzy yang menatapku dengan bingung.
“Aku
ingin menghubungi Justin,” ujarku menekan tombol panggilan untuk menghubungi
Justin.
Dengan
pelan aku berdari sofa yang kududuki. Kusangga pinggangku dengan tangan kiriku
dan berjalan menuju taman belakang dan bersandar pada pintu bagian dalam.
Menunggu Justin yang akan menjawab panggilan teleponku. 1 menit berlalu. Ia
tidak mengangkat teleponku. Kutatapi layar ponselku dan kembali menghubunginya.
Tapi ia tidak mengangkatnya juga.
Astaga,
Justin kau kemana? Aku benar-benar mengkhawatirkanmu. Kukirimkan sebuah pesan
singkat pada Justin. Justin, kau di mana?
Kutekan tombol kirim. Sial, kau berada di mana Justin?!
***
*Author POV*
Justin
tampak menikmati gelas demi gelas bir yang sudah ia teguki. Matanya terpejam
dengan 2 wanita yang berada di kedua belah sisi tubuhnya. Mengelus-elus dada
Justin yang terbalut oleh kaos berwarna hitam. Akhir-akhir ini adalah hari
terberat bagi Justin. Di mana ia harus bertanggungjawab atas supermarketnya
yang tampaknya semakin hari konsumen semakin menurun. Padahal sebentar lagi
adalah bulan Halloween. Justin
tertawa-tawa tak jelas, memikirkan apa yang sedang terjadi dalam kehidupannya.
Ia berpikir semua itu adalah kejadian-kejadian konyol. Tentu saja ia berpikir
seperti itu karena alkohol yang begitu banyak ia konsumsi.
Jam
sudah menunjukan pukul 8 dan Justin belum berniat untuk pulang ke rumah.
Padahal Deep sudah sangat khawatir. Jazzy berusaha untuk menenangkan Deep yang
gelisah dan panik. Suaminya tak pulang-pulang dari tempat kerja.
Justin
mengecup bibir wanita nakal yang berada di sebelah kanannya dengan rakus. Ia
sangat ingin memenuhi hasrat terpendamnya. Wanita nakal itu meladeni Justin
sejak 1 jam yang lalu.
“Cantik
sekali,” gumam Justin melepaskan bibirnya dari bibir wanita nakal itu, “Siapa
namamu, sayang?” tanya Justin dengan lembut. Wanita yang lain –yang berada di
sebelah kirinya- tampak cemburu dan dengan nekat ia meraba pangkal paha Justin,
namun Justin masih mengabaikannya.
“Lucy,
dan siapa namamu Mr. Nakal?” tanya wanita yang bernama Lucy itu dengan suara
yang begitu genit. Justin memainkan jarinya pada rambut gelombang panjang milik
Lucy. Ponsel Justin kembali berdering dan untuk kesekian kalinya Justin
mengabaikan telepon dari Deep. Tentu saja dari Deep.
“Panggil
aku Bieber. Oh, astaga aku sangat ingin melihat tubuhmu yang indah,” desah
Justin memejamkan matanya dan meraih sisi
baju seksi wanita itu di lehernya dan menariknya ke bawah. Belahan dada
Lucy mulai terpampang. Senyuman nakal Justin mulai terlihat lagi.
“Oh,
astaga. Indah sekali,” gumam Justin menyentuh belahan dada Lucy. Lucy melenguh
pelan dan melepaskan tangan Justin dari pakaiannya. Dengan cepat Lucy berdiri
dari tempatnya dan mengangkangi Justin lalu dengan sigap ia membuka pakaiannya
yang seksi itu hingga terlihatlah sebuah dada besar yang dilapisi oleh bra.
Wanita
lain yang berada di sebelah kiri Justin merasa terabaikan. Dengan malas ia
memutarkan matanya dan pergi dari hadapan Justin juga Lucy. Justin memegang
lembut pinggang Lucy yang ramping itu sedangkan Lucy menari-nari di atas tubuh
Justin dengan seksinya.
“Oh
astaga, Deep tidak pernah melakukan ini,” napas Justin tertahan, menahan
gairahnya yang mulai melonjak naik.
“Maka
aku akan melakukannya untukmu, Mr. Nakal,” desah gadis itu mulai meraup bibir
Justin dengan mulutnya.
****
*Deep POV*
Perasaanku
sangat kalut. Kemana Justin? Aku sangat membutuhkannya sekarang. Sejak kemarin
ia belum pulang ke rumah. Sial, lelaki bajingan itu kemana? Rasanya aku ingin
sekali membunuhnya. Jazzy sedang sibuk dengan guru privatnya di ruang tamu.
Sedangkan aku terus menerus memegang ponselku dan menatapi tanaman yang semakin
lama semakin indah. Tapi tidak seindah suasana hatiku. Dan aku sudah
menghubunginya terus menerus. Tapi tetap saja Justin tidak mengangkat ponselku.
Aku
menatap kosong pada rumput yang kupijakan. Tak ada yang akan kulakukan hari
ini. Semuanya tampak sederhana tanpa ada Justin.
“Dia
pulang!” teriak Jazzy dari dalam rumah hingga terdengar sampai pada telingaku.
Aku tidak ingin bertemu dengan Justin. Aku cukup kesal dengannya karena ia
tidak mengangkat telepon dariku, namun aku juga khawatir dengan keadaannya.
Kudengar suara pintu belakang terbuka. Tidak, aku tidak menatapnya sama sekali.
Perasaanku kecewa dengan apa yang telah ia lakukan padaku. Dapat kudengar
kakinya melangkah menuju arahku. Tangannya menyentuh pundakku, terasa hangat.
“Hey,”
sapanya dengan lembut. Bau alkohol dapat kucium dari sini. Sial! Apa dia mabuk?
Apa yang ia lakukan tadi malam? Aku dengan sabar menyingkirkan tangannya dari
pundakku. Dengan sangat susah aku berusaha untuk berdiri dari tempat dudukku
dan membalikan tubuhku. Tanganku menyangga pinggang belakangku untuk menahan
beban dari perutku.
Justin
tampak kacau sekali. Kaos hitam yang ia pakai acak-acakan dan rambutnya juga
begitu. Keadaannya sangat kacau.
“Maaf,”
gumamnya dengan suara yang pelan, ia merengut padaku. Matanya tepat menatap
mataku dengan tatapan yang begitu dalam. Bagaimana bisa aku menolak lelaki yang
..astaga, seperti Justin? Aku dengan sepenuh hati menganggukan kepalaku. Aku
sudah sangat rindu dengan lelaki yang tampan ini. Justin meraup kepalaku dan
menaruh kepalaku pada dadanya. Parfum wanita? Sial, kau Justin! Dengan cepat
aku mendorong tubuh Justin menjauh dariku.
“Sial,
Justin! Apa yang tadi malam kau lakukan?!” tanyaku dengan wajah yang kurasa
sudah memerah. Apa yang ia lakukan? Apa ia baru saja bermalam dengan seorang
wanita? Apa dia baru saja berselingkuh dariku? Sial, sial, sial! Aku ingin
membenturkan kepala Justin pada tembok sekarang. Dengan sabar aku menarik
napasku. Senam ibu hamil itu sangat berguna untukku. Jadi aku bisa mengatur
pernapasanku. Stress atau frustrasi dapat mengakibatkan percepatan waktu
melahirkan. Kupejamkan mataku saat kurasakan kram yang melanda perutku. Sial,
kau Justin! Kugertakan gigiku dan meremas pakaiannya dengan erat.
“Aku
sungguh minta maaf, Deep. Tadi malam aku hilang kendali,”
“Hilang
kendali? Hilang kendali dapat menyebabkan kehamilan pada wanita yang kautiduri
Justin!” aku membentaknya dan membuka mataku, melebar. Aku mengulangi
kata-katanya saat ia menghina Zayn. Karma memang sangat berlaku. Kupejamkan
mataku lagi, kram ini semakin terasa sakit dan aku semakin meremas kaos hitam
yang ia pakai.
“Deep,
apa kau baik-baik saja? Apa kau ingin aku pergi dari rumah ini? Bilang padaku,
Deep,” ia menatapku dengan tatapan yang ketakutan. Tolol! Mengapa ia ingin
pergi dari rumah ini sedangkan aku baru saja bertemu dengannya? Dengan emosi
yang tertahan aku melepaskan pegangan tanganku dari kaos hitamnya.
“Ya,
kau bisa pergi, Justin. Terserah kau ingin ke mana,” ucapku dengan suara yang
tertekan. Astaga, kram di perutku sangat sakit sekali. Justin menganggukan
kepalanya dan beranjak pergi dari hadapanku. Lalu ia meninggalkanku begitu
saja.
Sudah?
Seperti itu saja? Apa? Benarkah? Serius? Aku tidak percaya ia baru saja
meninggalkanku. Astaga, apa dia sadar bahwa calon istrinya sedang kesakitan?
Kumohon, ini bukan saatnya aku melahirkan. Dengan langkah yang pelan, aku
kembali masuk ke dalam rumah.
Dan,
benar saja, Justin sudah tidak ada di dalam rumah.
“Apa
Justin baru saja keluar?” tanyaku pada Jazzy yang serius belajar bersama guru
privatnya. Ia menatapku dan menganggukan kepalanya. Kupegang sofa dan
meremasnya dengan erat. Astaga, perutku sakit sekali.
“Apa
kau baik-baik saja, Deep?” tanya Jazzy penuh dengan keraguan. Kurasakan sesuatu
mengalir dari pangkal pahaku dan menuju kakiku. Aku menunduk dan melihat air
mengalir di sana. Sial! Sudah saatnya.
“SUDAH
SAATNYA, JAZZY!” Aku berteriak dengan kencang.
***
*Author POV*
“Sial,
Jazzy!” teriak Deep dengan suara yang begitu lantang. Tempat tidur roda yang
ditidurkan oleh Deep berjalan terus menerus ke ruang bersalin. Jazzy tampak
begitu khawatir dengan calon kakak iparnya ini. Justin cepat sekali pergi,
menghilang begitu saja saat Jazzy mencoba untuk mengejar Justin. Padahal tidak
sampai 5 menit Justin keluar dari rumah dan tiba-tiba saja Justin menghilang.
Kuku-kuku
Deep memutih, memegang pinggiran tempat tidurnya. Napasnya naik turun, ia
berusaha mengatur napasnya agar ia tidak merasa terlalu kesakitan. *ceklek*
Pintu ganda ruang bersalin terbuka begitu saja. Para suster yang mendorong
tempat tidur roda itu ke sudut ruangan.
“Astaga,
Jazzy. Kumohon, hubungi Justin. Tolong?” sungut Deep menarik napasnya
dalam-dalam lagi. Kali ini kesakitan di perutnya mulai berkurang. Berhasil,
pikir Deep. Senam ibu hamil itu berhasil mengurangi rasa kram pada perutnya.
Jazzy sangat kewalahan.
Pikirannya
dipenuhi dengan tanda tanya yang besar. Siapa yang harus ia hubungi lebih dulu?
Caitlin atau Justin? Jazzy langsung merogoh kantong celananya dan mengambil
ponselnya. Beberapa detik kemudian ia mendekatkan ponsel itu pada telinganya.
Matanya menatap Deep yang sedang mengatur napasnya. Suster yang berada di
sebelah Deep berkeringat dan sedang mencoba untuk menyuntikan suatu cairan pada
Deep.
“Skala
1 sampai 10. Berapa?” tanya suster itu yang mulutnya tertutup oleh masker. Kaki
Deep mulai dilebarkan dan ditekukan.
“Tiga,”
balas Deep dengan napas yang semakin lama semakin memburu.
“Caitlin!
Deep akan segera melahirkan. Cepat kau datang ke rumah sakit. Kau tahu di mana
rumah sakit itu bukan?” tanya Jazzy dengan cepat saat Caitlin –orang yang ia
hubungi- itu menjawab panggilan teleponnya.
“Oh,
astaga. Sudah saatnya. Baiklah, aku akan datang ke sana!” jerit Caitlin di seberang
sana kegirangan. Lalu, panggilan putus. Jazzy kembali menatap Deep yang sedang
memejamkan matanya dengan erat. Terlihat dari raut wajahnya, Deep sedang
mencoba untuk mengurangi rasa sakitnya. Sedetik kemudian, Deep mendesah pelan.
Kedua alisnya bersatu begitu saja. Jazzy mencoba untuk mencari nomor telepon
Justin dan dapat! Didekatkannya ponsel itu kembali pada telinganya. Menunggu.
Menunggu. Menunggu. Dan terjawab! Senyuman kecil terlihat di wajah mungil
Jazzy.
“Justin!
Deep ak—“
“Hello, Jazzy. Ingat aku?” suara berat
terdengar di seberang sana. Jantung Jazzy berdetak lebih kencang dari pada
biasanya.
“Aaaaah!
Justin!” teriak Deep dengan kencang dan meremas sprei tempat tidur dengan erat.
“Oh, apakah dia akan segera melahirkan?
Beritahu aku sekarang, sayang,” suara yang sangat ia kenal. Zayn. Tangan
Jazzy mulai melemas. Memorinya mulai terputar kembali. Jeritan, kesakitan,
kepedihan, tapi Jazzy menggelengkan kepalanya dengan cepat.
“Apa
yang kaulakukan pada Justin?” teriak Jazzy membentak, melawan rasa takutnya dan
traumanya. Tiba-tiba panggilan itu mati. Tidak ada jawaban. Jantung Jazzy
berhenti berdetak.
“Sekarang, Justin. Calon istrimu akan
segera melahirkan. Dan, apa yang akan segera kau lakukan?” tanya seorang lelaki
yang memakai celana jins panjang berwarna hitam longgar dan kaos dalam berwarna
putih yang tipis. Justin terkulai lemah di atas sebuah kursi kayu, menatap
sahabat bejatnya yang sedang menyekapnya dalam ruangan yang tidak sama sekali
gelap. Tentu saja. Mereka sedang berada di dalam ruang kerja Zayn. Kedua tangan
Justin terikat di kedua sisi penyangga tangan kursi.
“Skala
1 sampai 10!” jerit suster yang berada di sebelah Deep.
“Seribu!”
teriak Deep dengan keras. Ia memegang tangan Jazzy dengan erat hingga Jazzy
ikut menjerit.
“Oh, Justin. Mengapa sekarang kau terlihat
begitu lemah?” tanya Zayn mendekati Justin. Justin masih terdiam. Ia tidak
ingin menjawab pertanyaan tolol yang terlontar dari mulut Zayn. Padahal mulut
Justin tidak disekap.
“Jawab, Justin. Kau tahu, aku bisa
melakukan apa saja di sini. Bahkan, menyiksamu juga aku bisa,” paksa Zayn pada
Justin.
“Tolol. Sudah tahu kau mengikatku.
Apa yang bisa kuperbuat?”
“Oh, Justin,”
“Ooooh!
Justin, astaga. Sakit sekali Jazzy, kumohon panggil Justin,” jerit Deep
menangis. Air matanya mulai keluar dari kedua sudut matanya. Ia memejamkan
matanya dan berusaha untuk mengeluarkan manusia yang akan segera lahir ke
dunia.
“Justin yang malang. Justin, aku ingin
berbicara denganmu,” ucap Zayn berbasa-basi. Ia terduduk di atas meja kerja.
Kaki satunya menginjak lantai dan yang satunya menggantung di atas meja.
“Kau sudah berbicara denganku dari
tadi,” ucap Justin tampak tenang. Padahal dalam hati Justin, ia sangat
memikirkan Deep. Ia tidak bisa menyaksikan kelahiran anak pertamanya. Bukan
seperti harapannya. Ia berpikir, dia bodoh karena dengan mudahnya ia pergi
meninggalkan Deep. Seharusnya ia tahu, ia melihat dengan mata kepalanya sendiri
bahwa calon istrinya akan segera melahirkan saat Deep meremas bajunya.
“Astaga, berani sekali kau berbicara
seperti itu,”
“Bantu
aku, cepat!” jerit gadis itu ketakutan.
“Aku
tidak bisa melakukan ini tanpa Justin, hiks,” tangis Deep, terisak. Ia memang
tidak bisa melakukan ini. Seorang bidan dari tadi menatap ke arah alat vital
Deep dan berusaha untuk menarik keluar bayi yang berada dalam perut Deep.
“Zayn, kau gila! Kau tidak bisa melakukan
itu. Deep membutuhkanku!” teriak Justin dengan rahang bawah yang tegang. Zayn
sedang memegang sebuah pisau di tangannya, tersenyum miring pada Justin dengan
niat jahat.
“Tentu saja aku bisa, Justin. Tidak.
Deep tidak membutuhkanmu. Dia membutuhkan aku,” balas Zayn yang mulai berdiri
dari meja kerjanya. Ia mendekati Justin dan menaruh pisau itu tepat di leher
Justin, memainkannya di sana degnan lembut. Jantung Justin berdetak seratus
kali lebih cepat dari pada biasanya.
“Sekarang, mari kita dengar suara
calon istrimu yang bisa kupastikan, ia sedang menjerit,” ucap Zayn yang tangan
satunya memegang ponsel Justin dan menghubungi nomor Jazzy, nomor yang baru saja
menghubungi Justin. Zayn menekan tombol pengeras suara.
Jazzy mengangkat panggilan telepon dari Zayn melalui
ponsel Justin itu. Dan lalu…
“Kalau tidak, bayimu akan meninggal. Dorong!” teriak
seorang bidan yang berusaha untuk mengeluarkan bayi yang masih tersangkut di
dalam perut Deep.
“Aku
tidak bisa melakukan ini. Justin, aku butuh di ..DIA!!” teriak Deep mendongakan
kepalanya ke atas. Merasakan sakit yang sangat luar biasa.
Air mata Justin mulai mengalir di
pipinya. Ia sangat merasa bersalah dengan Deep setelah apa yang terjadi tadi
malam. Pagi ini, istrinya sedang bertaruh nyawa. Ia tidak bisa menahan
amarahnya.
“Zayn! Zayn, dengar! Ia menjerit
namaku. Astaga, apa kau ingin kehilangan Deep?” Justin bertanya dengan nada
yang sangat panik. Kembali dari ponsel itu, Justin dan Zayn dapat mendengar
jerit tangis dari Deep memanggil-manggil nama Justin.
“Deep, kau bisa!” teriak Justin
dengan kencang dan lalu Zayn langsung membanting ponsel itu hingga hancur.
Sangat hancur.
“Aku benci saat ia menyebut namamu,
Justin. Tujuanku di sini adalah membunuhmu. Karena aku tidak bisa membunuh
bayimu dan Deep, aku terpaksa membunuhmu agar aku bisa mendapatkan Deep. Kau
tidak tahu seberapa besar dan kuatnya cintaku pada Deep. Aku sangat
mencintainya. Aku menginginkannya. Tapi, mengapa ia memilih lelaki bajingan
sepertimu?”
“Kau memperkosa adikku,”
“Kau tidak pernah sadar akan dirimu
Justin! Kau selalu merasa dirimu benar dan kuat. Nyatanya adalah kau lelaki
yang lemah dan manja. Pisau ini bisa mengalirkan darah segarmu dari urat
nadimu. Sungguh, Justin. Aku sangat benci padamu saat kudengar kau menghamili
gadis impianku,” bisik Zayn tepat di sebelah telinga Justin. Pisau itu masih
berada di leher Justin dan sedetik kemudian ..Zayn menjauhkan tangannya yang
memegang pisau itu dari leher Justin. Justin menghelakan napasnya, namun
perasaannya masih kalut.
“Ini dia, sebentar lagi!” teriak bidan kegirangan
saat ia mulai merasakan kepala bayi berada dalam genggamannya. Deep tampak
sudah kelelahan namun ia berusaha kuat untuk mengeluarkan bayi pertamanya
dengan Justin. Kloning dari Justin, lelaki yang sangat ia cintai. Meski ia
tahu, ia adalah gadis bodoh yang masih saja memaafkan Justin atas apa yang
Justin perbuat padanya.
“Astaga,
ya Tuhan. Ya Tuhan!” Jazzy menjerit terkejut saat ia melihat sebuah kepala bayi
mulai keluar dari alat vital milik Deep. Mata Deep tertutup rapat dan masih
berusaha untuk mengeluarkan bayi itu.
“Selamat tinggal, Justin,” ucap Zayn saat
ia menggoreskan pisau tajam yang ia pegang itu pada tangan sebelah kiri Justin.
“Diam di tempat!” jerit seorang
wanita yang memegang pistol kecil di tangan. Sedetik kemudian, banyak polisi
yang masuk ke dalam ruangan itu.
“Ah!” Justin menjerit kesakitan.
“Ah, Justin!” teriak Deep saat bayi itu benar-benar
keluar dari perutnya. Napasnya terengah-engah. Kepalanya mulai terasa pusing.
“Justin!” teriak Caitlin mendekati Justin
dan berusaha untuk melepaskan tali-tali yang mengikatnya di atas kursi kayu
itu. Zayn sudah berada di sudut ruang kerjanya sendiri dengan polisi yang
mengerubunginya. Zayn sudah diamankan. Goresan yang Zayn berikan meleset dari
urat nadi Justin. Sangat beruntung Justin, saat itu.
“Justin! Deep sedang melahirkan,”
ucap Caitlin membantu menarik tangan Justin untuk pergi dari ruang kerja Zayn.
“Aku tahu. Aku yakin, aku telah
melewatkan masa-masa kelahiran anakku,” ucap Justin lirih. Ia menggelengkan
kepalanya, sangat mengecewakan. Matanya berubah menjadi mata yang gelap.
Pikiran Justin berkecamuk saat ia mendengar jeritan dari calon istrinya.
Menginginkan kedatangan Justin saat melahirkan namun Justin tidak bisa
melakukan itu. Apa daya, Justin berada di bawah tekanan Zayn.
Justin masuk ke dalam mobil milik
Caitlin. Ia terus berusaha untuk tidak merasakan rasa sakit pada tangan kirinya
yang terus mengalirkan darah dan batinnya. Ia sangat ingin bertemu dengan Deep.
Pagi ini. Sekarang.
****
“Deep,
sayang. Aku di sini,” suara Justin tampak begitu hati-hati. Ia menatap calon
istrinya yang terbaring lemah di atas sebuah tempat tidur. Wajah Deep tampak
begitu pucat. Darah terus menetes melalui infus yang akan masuk ke dalam tubuh
Deep. Deep kekurangan darah karena pendarahan yang luar biasa pasca-melahirkan.
Tangisan Justin memecah saat ia mengingat apa yang telah ia perbuat pada Deep,
sehari sebelum melahirkan anak pertamanya. Justin bahkan belum menemui bayi
pertamanya karena kekhawatiran yang mendalam saat ia tahu Deep mengalami
kekurangan darah. Caitlin tidak tampak di dalam ruang bersalin itu. Caitlin dan
Jazzy sedang berada di ruang bayi, melihat Bieber Junior yang sedang dibungkus
selimut hangat oleh suster.
Kembali
lagi dengan Justin dan Deep. Selang oksigen berada di hidung Deep. Justin
menundukan kepalanya tepat di sebelah tangan Deep yang terkulai lemas. Tangan
kiri Justin baru saja terbaluti oleh pakaiannya sendiri. Pakaian kotor yang
disentuh oleh wanita nakal. Ia menggelengkan kepalanya. Deep, sangat
membutuhkannya, sangat. Tapi ia tidak membuatnya itu terjadi. Ia tidak bisa
berada di sebelah Deep. Ia tidak bisa menyaksikan tiap detik Deep berusaha
untuk mengeluarkan bayi mereka.
Suara
langkahan terdengar memasuki ruang bersalin. Jazzy membuka pintunya dan Caitlin
muncul dengan bayi yang terbalut oleh kain berwarna ungu. Warna kesukaan Deep
dan Justin. Bayinya sudah tidak menangis lagi. Setelah butuh beberapa menit
untuk menenangkan bayi Bieber di dalam ruang bayi. Justin mendongakan kepalanya
dan berdiri tegap. Air matanya menyisa di sekitar matanya. Senyum manis Justin
mulai terlihat saat ia melihat bayi pertamanya digendong oleh Caitiln.
“Oh,
astaga Justin. Bayi kalian sangat manis,”
“Astaga!
Aku hampir lupa. Aku harus menelpon Mom,” ujar Jazzy saat ia sadar bahwa yang
berada di dalam ruangan itu hanya ada 4 orang dan 1 bayi kecil. Jazzy keluar
dari ruang bersalin. Senyuman yang berada di wajah Caitlin memudar saat ia
melihat sahabatnya terbaring lemah dengan tabung oksigen yang harus membantunya
bernapas. Air matanya mulai keluar dari sudut matanya.
“Oh,
Justin. Aku tidak bisa melihat Deep seperti ini. Dia sudah berusaha keras untuk
melahirkan Bieber Junior. Dan ia bukan orang pertama yang menenangkan bayinya
saat menangis, aku sangat …” Caitlin kehilangan suaranya dan menggelengkan
kepalanya. Beruntung Caitlin sedang menguncir kuda rambutnya hingga rambutnya
tidak bertebaran ke mana-mana. Justin merangkul Caitiln dengan lembut.
“Aku
tahu, dia wanita yang kuat. Sebentar lagi ia akan membuka matanya, percaya
padaku,” ucap Justin menahan rasa sakit dalam hatinya. Aku lelaki tertolol di
muka bumi ini, Justin menyumpahi dirinya sendiri dalam hati. Beberapa menit dalam keheningan, Justin
melepaskan rangkulannya dari Caitlin.
“Boleh
aku menggendong bayiku?” tanya Justin mengulurkan kedua tangannya agar ia bisa
menggendong Bieber Junior.
“Dia
laki-laki,” gumam Caitlin tersenyum bahagia dan memberikan bayi mungil itu pada
Justin. Dengan lembut Justin menggendongnya, senyum bahagia juga terlihat dari
wajah Justin.
“Aku
tahu, ia mirip sepertiku,” ujar Justin membalas. Terlihat sekali bayi Justin
sehat sekali. Gemuk dan tinggi. Sama seperti kabar-kabar dari dokter kandungan.
Tidak salah, bayi mereka memang sangat sehat meski mereka harus melewati
masa-masa sulit di awal dan di akhir bulan kehamilan.
“Di
mana bayiku?” sebuah suara keluar dari mulut kering Deep. Justin dan Caitlin
langsung mengalihkan kepala mereka dengan cepat pada Deep.
“Deep!”
Justin tersenyum dengan bahagia saat melihat calon istrinya terbangun.
“Zayn
Bieber?” tanya Deep berbisik, ia tahu bayi mereka lelaki. Prediksi dokter itu
sangat benar. Senyuman Justin surut begitu saja.
“Tidak.
Morgan Drew Bieber.” Bisik Justin tepat di telinga Deep.
***
“Aku
bersedia.” Kata-kata itu meluncur dari mulut Deep.
“Anda
boleh mencium mempeli wanita Anda,” ucap pastor yang berada di belakang mereka.
Dengan sigap, Justin menarik pinggang Deep ke arahnya. Bibir mereka mulai
bersentuhan. Gemuruh teriakan para jemaat sangat bahagia diiringi dengan tepuk
tangan yang meriah.
“Aku
mencintaimu dari dalam hatiku, Mrs.
Bieber,” bisik Justin di sela-sela ciuman mereka.
“Aku
juga mencintaimu dari dalam hatiku,
Mr.Bieber.”
Deep.
****
*Deep POV*
Kugelengkan
kepalaku dengan pelan. Lama-lama Justin bisa mematahkan kepala Drew. Dari tadi
Justin mengangkat kepala Drew dan menaruhnya ke atas kasur lagi. Apa yang
kuharapkan dari lelaki ini dalam masalah bayi? Tidak ada. Dia bahkan tidak
mengerti bagaimana caranya memakaikan popok pada Drew. Putra kecilku, kasihan
sekali saat Justin mencium-cium gemas perutnya. Bisa-bisa Drew akan masuk
angin. Sudah hampir 10 menit Justin belum memakaikan Drew pakaian.
“Eh,
salah,” kembali lagi Justin menaruh kepala Drew ke atas kasur. Saat ia sudah
mengangkat kepala Drew, Justin selalu lupa bagaimana caranya memasukan baju itu
melalui kepala Drew. Dan dari tadi ia bersikeras kalau ia bisa melakukannya.
Aku yang berdiri di mulut pintu kamar mendekati mereka. Duo Bieber-ku. Mengapa
kalian berdua sangat menggemaskan setiap kali kalian bersama? Astaga. Warna
mata Drew sama dengan warna mata ayahnya. Dan wajahnya sungguh mirip dengan
Justin. Bulu mata yang lentik. Oh ya, umur Drew sekarang sudah menginjak dua
bulan. Jadi dia sudah bisa diajak pergi keluar dari rumah. Yang kusukai dari
Justin setelah pernikahan adalah ia selalu saja tidak sabar untuk pulang ke
rumah untuk menemuiku dan Drew. Dan tiap hari ia selalu membawa mainan untuk
Drew, padahal Drew masih sangat kecil. Belum dapat bermain.
“Biar
aku yang kulakukan, ayah macam apa kau, Bieber,” dengusku pura-pura kesal dan
menarik baju yang berada di tangannya dengan kasar. Justin menghela napasnya –kepala
Drew masih ia pegang- ia memejamkan matanya lalu membukanya kembali.
“Aku
bisa melakukan ini,” ia memaksa dirinya. Ingin sekali aku menciumnya sekarang,
wajahnya sungguh menggemaskan. Kutahan tawaku, sudut-sudut bibirku sudah
berkedut –menahan tawa. Setelah beberapa detik kami saling menatap akhirnya
Justin menyerah. Dengan lembut ia menaruh kepala Drew ke atas kasur dan
meminggirkan tubuhnya dari depan Drew. Aku sudah biasa mengurus bayi –well, aku
menyukai anak bayi. Dulu kerja paruh waktuku adalah menjadi seorang penjaga
anak. Jadi, aku sudah terbiasa dengan bayi.
“Seperti
ini, buka telapak tanganmu tepat di pinggiran kepalanya supaya kau mudah
memasukan kepala Drew,” aku memasukan kepala Drew ke dalam bajunya. “Dan
masukan tangannya dengan pelan, biarkan saja kepalanya di atas kasur. Jangan
terus menerus kau pegang. Bagaimana kau bisa menjadi ayah yang baik jika
memakaian baju sederhana ini saja tidak bisa?” tanyaku saat selesai memakaian
Drew pakaian. Justin menganggukan-anggukan kepalanya, wajahnya sangat datar.
Aku menopang kepalaku miring dan menatap Justin tanpa ekspresi juga.
“Apa?”
“Ini
mengapa aku ingin menikahimu, Deep,” ucapnya tiba-tiba menjadi serius. Namun
aku bisa melihat kedutan di ujung bibirnya, menghasilkan senyuman nakal.
“Biarpun aku tidak bisa menjadi ayah yang baik, tapi aku bisa menjadi suami
yang baik …di atas ranjang.”
Oh.
Baiklah, ia meminta lagi. Senyumannya miring dan bangkit dari kasur lalu ia
melepaskan kaos yang ia pakai dan memutar-mutarkannya ke udara. Dia seperti
…gigolo. Astaga, aku terkikik melihatnya berkelakukan seperti ini.
“Oh
yeah, mari kita mulai.” Sial!
“Justin.
Tidak. Drew belum tidur,” ucapku menolaknya. Tangannya yang bergoyang-goyang di
udara itu berhenti seketika. Senyumnya langsung surut dan kembali memakai
pakaiannya. Dengan bisu, ia pergi keluar dari kamar.
“Justin,
jangan seperti itu!” Aku menegurnya sambil tertawa.
“Kau
tidak peduli denganku.” Ujarnya dengan suara yang begitu sedih. Astaga, sesedih
itukah? Aku tidak pernah menyangka ia akan bersikap seperti anak kecil.
Kugelengkan kepalaku dan terkekeh.
****
*Zayn POV*
Setan!
Iblis! Kurang ajar! Sial! Berengsek! Kugelengkan kepalaku, tak percaya apa yang
sedang kulewati sekarang. Aku menatap lelaki bau yang berada di depanku sedang
terduduk di atas kasur dan menonton televisi kecil yang berada di tengah ruang
ini. Lelaki itu tertawa-tawa saat ia melihat adegan lucu di acara televisi itu.
Sial sekali! Aku tidak pernah menyangka aku akan masuk ke dalam penjara kumuh
seperti ini. Bau, tidak terurus. Ini sangat tidak setimpal dengan apa yang
telah kulakukan pada Deep. Dan bahkan, Deep tidak pernah mengunjungiku. Aku
mencintainya. Aku mengharapkan. Justin Sialan itu pasti melarang Deep untuk
menjengukku ke penjara ini.
“Hey,
Zayn. Kenapa kau sangat pendiam?” tanya Joe, teman sekamarku dengan bingung.
Aku memainkan lidahku di dalam mulutku lalu membuka mulutku.
“Hey,
Joe. Kenapa kau tidak bisa diam?” tanyaku menatapnya dengan dingin. Kutopangkan
tanganku di atas ujung dengkulku yang tertekuk. Baju berwarna jeruk yang
kupakai tampak jelek sekali. Aku sama dengan mereka semua! Aku sama dengan
tahanan di sini! Tapi sebenarnya aku tidak! Aku tidak sama seperti mereka. Ini
semua karena si Berengsek Justin Banci itu!
Dia
tidak pernah puas akan apa yang ia miliki. Ia menyukai Caitlin dan Caitlin
menyukainya. Mengapa mereka tidak bersatu saja? Dan aku bisa mengambil Deep,
gadis yang sangat kucintai sampai sekarang! Caitlin tak kalah cantik dari Deep.
Mengapa ia ..astaga, aku sangat membenci lelaki gay itu.
“Maaf,”
ia meminta maafku. Tidak marah. Tentu saja, ia sudah lama berada dalam tahanan.
Jadi mungkin ia tahu bagaimana merespon ‘teman’ barunya ini. Joe, jika
kulihat-lihat ia adalah lelaki muda yang sangat tampan. Pikiranku mulai
berterbangan kemana-mana.
“Joey,”
aku memanggilnya. Ia yang menonton langsung melihatku dan memberikan wajah
‘apa?’. Aku terkekeh pelan.
“Apa
kau ingin menjadi temanku? Maksudku, aku bisa melihat wajahmu yang berkarisma
itu, kau memiliki potensi yang besar. Kurasa. Joe, apa kau ingin bekerja
denganku?” tanyaku dengan suara yang pelan. Ia mengangkat kedua alisnya,
bingung. Dan selama beberapa detik ia berpikir. Astaga, apa dia tidak sadar
kalau ia itu sama saja dengan orang gelandangan di jalanan? Tinggal bilang ‘ya’
maka aku bisa memberikannya pekerjaan.
“Apa
itu? Dan jangan panggil aku Joey, aku bukan perempuan,” katanya tidak suka. Aku
melipat bibir atasku ke dalam mulut, sehingga bibir bawahku saja yang terlihat.
“Kapan
kau keluar dari penjara ini?” tanyaku lagi.’
“2
minggu lagi. Kenapa?”
“Aku
akan memberikanmu suatu pekerjaan. Dan aku sangat yakin, kau pasti akan menjadi
orang berhasil.” Aku menawarkan pekerjaan padanya dan mulai mengubah cara
dudukku. Kakiku menggantung di atas lantai dan menumpu tubuhku dengan kedua
tangan di sisiku.
“Ya,
tentu. Apa itu?”
“Kemari.”
-----
*Justin POV*
Sudah
malam. Mengapa Deep belum keluar dari kamar? Mengapa ia lama sekali menidurkan
Bieber Junior?! Astaga, aku kesal sekali dengan Deep. Mengapa ia tidak bisa
memuaskanku sebentar saja? Aku sangat ingin bersenang-senang dengannya. Setelah
1 bulan aku hanya dipuasi dengan permainan sebanyak 1 hari 1 kali. Itu pun
tidak setiap hari. Aku lelaki dan aku butuh itu. Sangat. Jerry yang berada di
bawahku ini sudah menunggu dari tadi. Bahkan sekarang ia sudah cemberut karena
Deep belum juga keluar.
“Hey,
Justin. Mengapa kau hanya menonton televisi? Bukankah seharusnya kau menemani
Deep?” tanya Jazzy yang tiba-tiba muncul di ruang tamu. Ia memakai baju
tidurnya yang berwarna merah muda itu dan mendekatiku, duduk di sebelahku.
“Tidak.
Aku malas bertemu dengannya,” ucapku dengan malas.
“Kenapa?”
tanya Jazzy dengan raut wajah yang bingung. Ia menyandarkan kepalanya pada sisi
sofa, menekuk lututnya. Aku menghelakan napasku dan berdiri dari sofa. Aku
malas menjawab pertanyaannya. Sekarang, perasaanku benar-benar tidak jelas.
Kesal, ingin dimanja. Intinya, aku merasa tersaingi oleh anakku sendiri. Yeah,
aku tahu. Ini terdengar gila. Cemburu pada anak sendiri. Tapi, Deep? Astaga, ia
seakan-akan tak memiliki waktu untukku.
***
*Author POV*
“Kenapa
Justin?” tanya Caitlin pada Deep yang sedang memotong-motong sayur di dalam
dapur. Caitlin sedang membuatkan susu untuk Drew. Ya, banyak sekali perhatian
dari orang sekitar Deep. Ibu Justin, Caitlin, Jazzy dan tentu saja Justin.
Tentu saja, karena Drew adalah cucu pertama dari keluarga Bieber digenerasi
Jeremy Bieber. Bangga karena anak pertama Justin adalah anak lelaki
“Dia
marah karena tadi malam aku tidak memenuhi permintaannya,” balas Deep
menyingkirkan sayur itu ke pinggiran talenan. Caitlin terkekeh pelan.
“Justin
marah padamu karena kebutuhannya tak terpenuhi?” tanya Caitlin tertawa.
Seakan-akan apa yang Justin perbuat adalah perbuatan konyol.
“Kurasa
Justin cemburu pada Drew,” kembali Deep membalas dengan datar. Caitlin tertawa
terbahak-bahak. Deep tampak tidak menyukai Justin yang pendiam. Bahkan, Justin
tidak menyapanya pagi ini. Justin hanya terduduk di atas kursi besi berwarna
putih, di belakang taman mereka sambil menggendong Drew.
“Justin?
Cemburu pada Drew? Itu adalah hal terlucu yang pernah kudengar!” ujar Caitlin
masih tertawa sambil mengocok-ngocok susu Drew. Deep hanya menganggukan
kepalanya dan terdiam sebentar –tidak memotong sayurannya lagi. Ia mendongakan
kepalanya yang tadinya tertunduk dan menatap Caitlin.
“Caitlin,
apa menurutmu wajar jika seperti itu?” tanya Deep konyol sekali. Kembali
Caitlin tertawa terbahak-bahak.
“Astaga,
Deep. Kau dan Justin adalah pasangan yang memang cocok! Kalian berdua sangat
polos, aku ..aku bahkan ..haha, astaga. Konyol sekali Deep!” Caitlin berteriak
kegirangan.
*Justin POV*
Drew
tiba-tiba menangis. Sial! Kemana Caitlin? Bayiku sudah kehausan. Dengan cepat
aku berdiri dari kursi tamanku, menggoyang-goyangkan tanganku untuk menenangkan
Drew. Astaga, aku gemas sekali melihat gusinya yang belum tumbuh gigi itu.
Mengapa bayiku sangat menggemaskan? Well, wajar saja. Aku tahu mengapa. Karena
aku juga menggemaskan, maka bayiku akan menggemaskan. Tapi makin lama, Drew
semakin menangis. Dia sudah sangat haus.
Dari
sini aku bisa mendengar gelak tawa Caitlin. Apa yang Deep dan Caitlin lakukan?
Aku berjalan menuju dalam rumah. Sial! Aku tidak membuka pintu jika kedua
tanganku menggendong Drew. Aku tidak bisa menggendong Drew dengan satu tangan.
Bisa-bisa bayiku berakhir di rumah sakit. Oh, jangan sampai. Tiba-tiba pintu
belakang rumah terbuka.
“Oh,
Justin. Astaga, aku minta maaf. Ini susu Drew,” ucap Caitlin terkejut saat ia
melihatku sudah berada di depan pintu.
“Bisa
kau menggendong Drew? Aku ingin berbicara dengan Deep,” pintaku pada Caitlin.
Dengan semangat, Caitlin menganggukan kepalanya dan menggendong Drew dengan
satu botol susu berada di tangannya.
“Tentu
saja. Hey, Drew. Lama tidak bertemu denganmu, aku merindukanmu,” ucap Caitlin
dengan suara yang sangat imut dan mengambil Drew dari gendonganku. Kulangkahkan
kakiku menuju dapur. Jazzy sedang belajar dengan guru privatnya, dia masih
tidak ingin bersekolah secara formal. Tapi itu terserah dia. Aku tahu
perasaannya.
Kulihat
istri tercintaku sedang menyalakan kompor. Ia tampak lesu pagi ini. Aku tahu
mengapa. Ia tidak menyukaiku jika aku cuek dengannya. Kasihan sekali istri
sayangku. Dengan langkah pelan, aku mendekatinya –tanpa suara- dan memeluknya
dari belakang. Sontak ia terkejut dan menjerit.
“Ah,
astaga! Justin!” ia berteriak. Aku menaruh daguku di atas bahunya dan masih
memeluknya dari belakang. “Kau ingin aku mati, begitu?”
“Oh,
tidak sayang. Tidak ada niatanku melakukan itu. Sekarang, sayang, aku ingin
tanya padamu. Maukah kau pergi bersamaku pagi ini? Keluar?” bisikku tepat di
telinganya. Ia menganggukan kepalanya, malu-malu. Aku suka Deep jika ia
malu-malu seperti ini. Terlihat seperti anak kecil.
****
*Author POV*
Lelaki
yang memakai jaket itu berjalan menuju rumah besar klasik. Ia memakai tudung
jaket hitamnya dan memakai kacamata hitam. Tangannya memegang suatu kotak
berbungkus warna cokelat. Ia berjalan dengan pelan menuju rumah itu dan
berhenti di depan pintu depannya. Jari telunjuknya menekan tombol bel yang
berada di sebelah pintu. Dengan segera ia menaruh kotak berbungkus warna
cokelat itu di depan pintu itu dan meninggalkan rumah itu dengan cepat –bahkan
berlari.
Beberapa
detik kemudian, seorang gadis remaja membuka pintu itu.
“Sia
– Ah, apa ini?” ia terkejut saat ia tidak mendapati seseorang di depan rumahnya
dan mendapatkan suatu kotak cokelat. Ia membungkuk dan mengambil. Lalu ia
membawanya masuk dan menutup pintu rumahnya lalu menguncinya kembali. Ia
mendekati kakak lelakinya yang sedang bermain dengan anaknya.
“Justin,
aku mendapatkan ini,” ujar Jazzy, adik Justin –yang mengambil kotak cokelat
itu.
“Biar
kulihat,” Justin menjulurkan tangannya untuk mengambil kotak cokelat besar itu.
Ia membuka kotak itu dengan kasar dan ia mendapatkan sebuah pisau berlumuran
darah di dalam kotak itu. Sebuah kertas terdapat di dalam sana. Ia mengambilnya
dan membaca tulisan itu dengan seksama.
“Apa
itu?” tanya Deep, istrinya yang terduduknya di sebelahnya.
“Aku
tidak tahu tapi di sini ..PERMAINAN BARU DIMULAI, BIEBER.” Suaminya berujar
dengan kebingungan. Mereka saling menatap, jantung mereka berdetak kencang, dan
sedetik kemudian mereka terkejut!
. . .
Wakakaka, cerita ini sudah jelas dan sangat jelas alay sekali. Gapapa, menurut Raditya Dika, alay adalah proses menuju kedewasaan. Ini adalah awal mula gue menulis cerita, yang "bener-bener" cerita.
Thanks anyway buat yang udah baca :D
mom, itu akhirnya kok ngegantung sihh u.u apa yg terjadi sehingga mereka terkejut??
BalasHapusItu ..emang sengaja. Seharusnya ada Deep 2, tapi gue ga dapet inspirasi buat lanjutin cerita itu.
BalasHapusUa udah deh.. anggap aja zayn uda nyesel dipenjara.. jastin sama deep.hidup bahagia
BalasHapus