Senin, 11 Mei 2015

Lucky Slut Epilog

EPILOG

            Mungkinkah sekarang waktu yang tepat? Grisell bertanya-tanya dalam hati. Ia menunduk, memerhatikan jemari lentiknya ia mainkan untuk mengalihkan perhatiannya. Namun, melakukan itu saja belum cukup. Ia terlalu gelisah. Oh, banyak sekali yang terjadi akhir-akhir ini. Bibinya memutuskan menikah dengan Cornelius seminggu setelah pernikahannya dengan Lord Moore yang diadakan 2 bulan yang lalu. Lady Henrietta  kawin lari bersama salah satu pelayan rumahnya ke Perancis—dan sekarang masih dalam pencarian. Dan Bridget akan selalu mengeluhkan tentang kedatangan Lord Myhill yang teratur ke Cheshire untuk memeriksa keadaan Grisell. Wanita itu mendesah.
            Grisell menolak untuk berbulan madu setelah pernikahannya. Ia tidak bisa meninggalkan Bibi Millicent sendirian di rumah Lord Moore tanpa memikirkan kehilangan apa yang akan mereka temukan setelah mereka kembali pulang. Meski Bibinya sudah memaksa Grisell menerima ajakan Lord Moore berbulan madu, Grisell tetap menolak. Wanita itu sudah berjanji pada Lord Moore kalau mereka akan berbulan madu minggu depan—dan pakaian-pakaian yang akan dibawa Grisell bahkan sudah disiapkan ke dalam koper. Dan yah, Grisell telah mengambil keputusan yang salah. Mungkin bulan madu itu akan tertunda sampai tahun depan. Tidak ada yang tahu. Dua setengah bulan yang lalu—setelah season selesai—Lord Moore dan Grisell dinyatakan sebagai suami-istri yang sah. Tidak ada yang pernah melihat Lord Moore tersenyum sesering itu, bahkan Lady Paston pun terkaget-kaget melihat perubahan dari kakaknya.
            Sampai sekarang pun Grisell masih belum ingin mengaku bahwa ia adalah alasan terbesar dalam perubahan sikap Lord Moore. Pria itu bukan lagi pria yang formal, serius dan melakukan segalanya sesuai aturan etiket. Seharusnya ia merasa baik-baik saja karena perubahan itu, namun entah mengapa, untuk memberitahukan yang satu ini sepertinya akan sangat sulit bagi keduanya. Grisell tidak tahu dan tidak mau tahu seberapa sulitnya Lord Moore tahu tentang ini. Dia sudah berjanji. Pria itu pasti akan sangat marah besar karena selama ini keinginannya belum terpenuhi sama sekali. Aku hanya membutuhkan waktu tenang bersamamu tanpa siapa pun mengganggu kita, kata Lord Moore saat ia mengemukakan alasan mengapa ia sangat ingin berbulan madu secepatnya, setelah mereka menikah. Tapi—
            Terlambat. Pintu kamar mereka terbuka membuat Grisell terpekik kaget. “Justin. Oh, Tuhan, kau sangat mengejutkanku,” kata Grisell menelan ludah. Lord Moore mendapati sikap Grisell begitu ganjil. Tidak biasanya Grisell terkejut—bahkan terpekik hanya karena pria itu membuka pintu secara tiba-tiba—jika Grisell tidak menutupi apa pun. Tapi pria itu belum berniat mengupas rahasia yang Grisell simpan. Lord Moore membuka cravat-nya dan melemparnya ke kursi paling dekat, lalu membuka sepatunya.
            “Aku mengejutkanmu, Lady Moore?” Ia bertanya tanpa sekalipun melirik Grisell.
            “Sangat,” ucap Grisell mendesah panjang, lalu wanita yang dari tadi duduk di sisi tempat tidur itu bangkit. Pria itu mendongak, melihat istrinya berjalan perlahan ke arahnya. Senyum mautnya berhasil mengalihkan perhatian Lord Moore terhadap apa pun. Dengan gaun tidur sutra yang tipis, rambut berwarna madu yang tergerai dan kalung permata biru di lehernya yang seksi, Grisell benar-benar penggoda yang tidak akan pernah bisa Lord Moore tolak. Saat Lord Moore berdiri tegak—kedua sepatunya ia singkirkan ke bawah meja kecil—ia mendekati Grisell. Istrinya mengulurkan kedua tangannya ke belakang leher Lord Moore, bergelanyut mesra. Pria itu menunduk, mencuri ciuman singkat dari Grisell.
            “Bagaimana kabarmu, My Lady?” Tanyanya sambil tersenyum.
            “Luar biasa,” katanya benar-benar menyembunyikan apa yang ia rasakan sekarang. “Kuduga suamiku sangat lelah. Mungkin berbaring di atas tempat tidur akan menjadi sebuah kenikmatan tersendiri,”
            Pria itu mengangkat kedua tangannya, menyentuh kedua pipi Grisell. “Tidak pernah menjadi kenikmatan tersendiri saat tidak ada kau di sana,” ucap Lord Moore membuat rona merah merayap di pipi Grisell. Pria itu berjalan membawa mereka ke dekat tempat tidur, lalu berniat mendorong Grisell ke atasnya.
            “Tahan,” sela Grisell tiba-tiba. “Justin, aku—bisakah kita hanya duduk dan berbicara?”
            Lord Moore terdiam sejenak. Ia memerhatikan raut wajah istrinya yang tiba-tiba saja berubah menjadi serius. Mungkin memang ada sesuatu yang penting yang disembunyikan istrinya. “Tentu saja,” katanya menyetujui. Grisell segera berbalik, merangkak ke atas tempat tidur lalu bersandar di kepala tempat tidur.
            “Duduklah di sini,” perintahnya menepuk-nepuk kasur. Oh, ini pasti sangat serius sampai-sampai ia memerintahku, ucap Lord Moore sedikit terkejut atas perintah Grisell. Sejak kapan seorang Lord Moore diperintah oleh seseorang? Namun pria itu menuruti perintah Grisell. Ia ikut merangkak naik ke atas kasur lalu duduk di sebelah wanita itu. Yah, seperti naluri suami pada umumnya, Lord Moore meraup tubuh Grisell agar menempel padanya.
            “Apa yang ingin kaukatakan?”
            Ada jeda sesaat sebelum Grisell akhirnya menjawab. “Kurasa kita tidak akan pergi keliling Eropa minggu depan,” ucap Grisell dengan suara kecil. Sudah jelas wanita itu takut untuk mengungkit pembicaraan ini—terutama karena menunda kembali jadwal kepergian mereka. Lord Moore berusaha mencerna apa yang sedang dikatakan istrinya. Matanya mengerjap-ngerjap, lalu ia menarik tubuhnya dari tubuh Grisell agar ia dapat melihat wajah istrinya.
            “Mungkin kau ingin memberitahuku alasan kuat apa yang membuatmu berpikir kita akan menundanya lagi,” kata Lord Moore. Batas kesabarannya sebentar lagi akan habis. Sebenarnya, apa masalah Grisell? Seumur hidupnya, Lord Moore tidak pernah meminta apa pun yang berlebihan. Dan sekarang, saat ia meminta satu permintaan yang paling lazim dalam pernikahan, permintaan tersebut sepertinya akan sangat sulit terkabulkan. Grisell menghindari tatapan suaminya, ia justru menatap kancing rompi pria itu.
            “Jika aku memberitahumu, apa kau akan marah?” Tanya Grisell takut-takut, seperti anak kecil yang ketahuan menumpahkan tinta di karpet kesayangan Ayahnya.
            “Tergantung apa alasanmu,” kata Lord Moore cepat.
            “Aku terlambat,” ucap Grisell. Tunggu sebentar. Sebenarnya, apa yang sedang Grisell bicarakan? Lord Moore sungguh tidak mengerti apa pun yang sedang terjadi.
            “Kau terlambat untuk…?”
            “Datang bulan,” ucap Grisell merona, lagi. “Aku rasa, aku hamil,” lanjut Grisell menunduk. Di situlah keheningan yang sangat panjang membentang di antara mereka. Lord Moore terdiam, membisu seperti orang bodoh. Ia bahkan tidak melihat pada Grisell lagi. Ia terfokus pada satu titik, namun otaknya sedang mencerna berita ini.
            Grisell hamil.
            “Aku sangat mengerti mengapa kau marah padaku—“ Tapi kalimat Grisell tidak akan terselesaikan saat pria itu secara tiba-tiba ia menarik wajahnya, mencium bibirnya begitu semangat. Tangan kiri Lord Moore menyelip ke tengkuk Grisell untuk memperdalam ciuman itu. Mereka saling beradu, hanya nafas mereka yang menggebu-gebu yang terdengar. Sampai akhirnya Grisell menjambak rambut Lord Moore hingga pria itu mengerang. “Aku bisa mati hanya karena berciuman denganmu,” komentar wanita itu saat mulut mereka terpisah.
            “Grisell! Apa kau sadar apa yang baru saja kaulakukan?”
            “Menjambak rambutmu?”
            “Menjambak rambut Ayah anakmu,” ujar pria itu memutar bola mata. Tidak akan ada yang bisa melihat sikap Lord Moore yang seperti ini kecuali Grisell. Tidak ada. Pria itu akhirnya tersenyum lebar. Tangannya yang besar ditempatkan di atas perut Grisell yang belum berbentuk, tapi pria itu sangat yakin janin dalam perut istrinya sedang bertumbuh. Tapi keduanya tidak mengatakan apa-apa saat Lord Moore melakukan itu.
            Akhirnya Grisell merosot turun, berbaring sepenuhnya. Ia tidak membiarkan Lord Moore ikut merosot bersamanya. “Jadi, apa kita bisa menunda bulan madu kita?” Tanya Grisell sambil ia mengangkat satu pahanya ke atas paha Lord Moore. Dengkul wanita itu dengan sengaja ia senggolkan ke bagian tengah celana Lord Moore.
            “Kau sangat tahu bagaimana cara merayuku,” kata Lord Moore sedikit jengkel, tapi juga sedikit senang. Wanita itu mendongak, Grisell menarik-ulur dengkul itu hingga Lord Moore memelototinya. Dua mata biru itu menatapnya penuh harap. “Tentu saja, Sayangku, bulan madu bisa menunggu. Tapi kuduga yang ada dalam perutmu tidak,”
            “Apa sekarang aku adalah istri yang kauimpikan?”
            “Melebihi harapanku.” Lord Moore akhirnya ikut merosot ke bawah, menyejajarkan tubuhnya dengan tubuh Grisell. Tubuh istrinya akhirnya menghadap Lord Moore, ia menempatkan tangannya ke atas pinggul Grisell. Wanita itu tersenyum manis, lalu memejamkan mata. Lord Moore mengecup kening istrinya sambil memejamkan mata, menikmati apa pun yang dapat ia dapatkan sekarang. Sejujurnya, hidupnya tidak pernah lebih baik daripada ini.


1 komentar: