***
*Author POV*
Sudah
satu minggu ini, Justin dan Kate tak bertemu. Keduanya tak mendapatkan semangat
yang sempurna seperti sebelumnya. Justin selalu pulang pada malam hari dalam
keadaan mabuk. Logan selalu memperingati Justin untuk tidak melakukan ini. Tapi
Justin tak dapat hidup tanpa Kate. Ia membutuhkan Kate, namun Kate tak berada
di sisinya. Itu membuat Justin benar-benar frustrasi. Kate tak masuk kuliah
untuk lima hari ini. Ayah Kate sudah tahu masalah mereka.
Pistol
ayah Kate sebenarnya sudah siap di dalam laci ruang kerjanya, namun Kate
menahannya. Ia tidak ingin lelaki yang masih ia cintai meninggal karena ayahnya
yang ia cintai. Tidak, itu tidak boleh terjadi. Kate tak tahu apa yang harus ia
perbuat sekarang selain membuat kue tiap hari bersama dengan ibunya tanpa ada
semangat dalam tubuhnya sama sekali.
Tiap
malam ia menangisi Justin, entah mengapa ia harus menangisi Justin terus
menerus. Rasanya pukulan dalam hatinya tak pernah diberi obat agar memarnya
sembuh dengan cepat. Jika ia tidak dapat membuat kue bersama dengan ibunya, ia
terdiam di kamar. Mendengarkan lagu apa pun yang dapat membuatnya tenang. Tapi
tidak ada satu pun lagu yang dapat mengertinya. Ia meringkuk di atas tempat
tidur dalam kepedihan.
Mengingat-ingat
kenangan indahnya bersama dengan Justin. Tatto yang baru saja Justin buat. Belongs to Kate. Justin mengajari Kate
menyetir motor. Kate mengajar Justin bagaimana membersihkan rumah. Pengalaman
seks pertama Kate dengan Justin. Saat Justin membawa Kate ke sebuah Club.
Merasakan kehangatan yang begitu mendalam saat Kate memiliki waktu melihat
wajah Justin yang tenang saat tengah tertidur. Mereka tertawa bersama.
Tapi
sekarang, itu semua terenggut dari pada Kate. Kate merasa kehilangan segalanya.
Justin adalah segalanya. Tanpa Justin, ia sulit melakukan apa pun.
Sama
dengan Justin. Ia tak dapat melakukan apa pun tanpa Kate. Rasanya, alam
semestanya menghilang begitu saja. Minuman bir mungkin akan membuatnya lebih
tenang, mungkin juga dengan sebungkus
rokok akan membuatnya lebih tenang. Si Pelacur Lucy Sialan itu telah
menghilang. Membaur dan mencari teman baru di kampus. Lucy tak merasa bersalah.
Tak sedetikpun ia menyesali apa yang telah ia perbuat. Rencananya yang sudah ia
buat memang tak berhasil untuk memisahkan Kate, justru itu lebih bagus! Karena
Justin yang mempercepat rencana Lucy. Lucy benar-benar muak setelah ia menunggu
sekian lama untuk melihat Justin dan Kate putus, akhirnya itu terjadi. Akhirnya
apa yang Lucy inginkan selama ini terjadi. Ia merasa begitu puas.
Lyle
tak marah pada Justin untuk sekarang ini. Kali ini ia tidak peduli dengan apa yang
Justin lakukan. Ia sudah tidak semenyenangkan seperti dulu, saat Kate masih
berada di lingkungan mereka. Lyle tampak lebih pendiam. Dan Logan, masih sama
seperti biasanya. Tak ingin memperbesar masalah dan tak ingin mengikut campuri
hubungan orang lain. Semuanya tampak datar sekarang.
Justin
sedang menonton televisi tanpa memperhatikannya. Pikirannya tiap hari kosong.
Ia butuh gadis atau siapa pun yang dapat ia tiduri. Tapi hatinya berkata untuk
tidak melakukan itu. Namun nafsunya lebih kuat. Ia membutuhkan gadis malam ini.
Ia melirik pada jam dinding di ruang tamunya. Sudah saatnnya. Ia ingin
bertanding satu lawan satu lagi dengan pembalap terpopuler dari Vegas. Ia tidak
peduli siapa pun itu, tapi ia yakin ia akan menang.
*Justin POV*
Hidupku
hampa tanpa Kate. Dia adalah segalanya namun ia tidak berada di hadapanku. Aku
tak dapat bertemu dengannya. Aku tak masuk kuliah satu minggu ini. Untuk apa?
Sudah tidak ada penyemangat hidupku kembali untuk melakukan hal bodoh seperti
itu. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan selain mendapatkan pelepasan. Aku
membutuhkan Kate sekarang, tapi dia tidak ada sekarang. Astaga, aku butuh gadis
tapi siapa.
Aku
memakai helmku dan naik ke atas motor lalu menyalakannya. Membawanya secepat
mungkin yang kubisa, tapi aku masih mencintai hidupku. Aku masih memiliki
harapan untuk bertemu dengan Kate. Akhir-akhir ini aku tidak banyak bicara. Aku
lebih banyak menghabiskan waktuku di dalam Club dan melihat gadis-gadis yang
meliuk-liukan tubuhnya. Tak ada yang seseksi Kate. Tidak akan pernah ada. Aku
semakin mempercepat kecepatan motorku untuk sampai ke arena perlombaan. Ini
sudah jam 11 malam, aku memang selalu terlambat datang. Siapa pun yang akan
menjadi lawanku malam ini, aku yakin aku akan berhasil. Menang.
Sesampainya
aku di arena perlombaan, aku melihat sudah ada motor yang bertengger di garis
start. Ia memiliki tubuh yang besar dan dapat kudengar teriakannya dari sini.
Siapa dia? Aku tak peduli. Saat motorku sudah sejajar dengannya, gadis-gadis
yang berada di sini berteriak-teriak, menjerit-jeritkan kata ‘Bieber Biker’.
Aku Bieber Biker dan tidak ada yang tahu siapa aku. Hanya Kate yang tahu
diriku. Hanya dia. Amarahku meluap saat aku mengingatnya menangis. Aku benci
tangisan itu. Tangisan yang diperbuat olehku sendiri.
Gadis
seksi yang berada di depanku sudah melepaskan bra-nya ke atas tanah. Dengan
cepat aku membawa motorku dengan kecepatan 20mm/jam terlebih dahulu, tetapi
lelaki sialan yang melawanku itu begitu cepat. Baiklah, ini masih awal-awal.
Amarahku meluap. Aku ingin pulang. Kau
pelacur! Memukulnya tak akan pernah menyelesaikan masalah! Suara Kate
terngiang-ngiang di telingaku. Air mataku mengumpul. Untuk pertama kalinya
dalam seumur hidupku, aku menangisi seorang wanita yang benar-benar berharga
bagiku. Aku menangis. Aku mengharapkan kedatangannya di sini, tapi ia tidak
ada. Ia tidak datang untuk menemuiku seperti dua minggu lalu. Dan rasanya aku
benar-benar lemah.
I can’t win, I can’t wait.
I will never win this game, without
you
I am lost, I am vain
I will never be the same without you
Without you
I won’t run, I won’t fly
I will never make it past without
you
I
can’t rest, I can’t fight
All I need is you and I, without you
…
Can’t erase so I’ll take blame
But I can’t accept that we’re
Estrange
Without you, without you
I won’t soar, I won’t climb
If you’re not here I’m paralyzed
I can’t look, I’m so blind
Lost my heart, I lost my mind
without you
Aku
gagal! Aku tidak memenangkan lomba ini. Aku tak dapat melakukan ini tanpa Kate.
Aku membutuhkan Kate. Dari jarak jauh, aku bisa melihat lelaki itu
bersorak-sorak karena telah mencapai garis finish. Sedangkan motorku berjalan
begitu lambat. Aku lemah tanpa Kate. Aku benar-benar membutuhkannya. Sial! Aku
melewati garis finish dengan penuh rasa kecewa. Memarkirkannya di pinggir jalan
dan turun dari motor sialan ini.
Lelaki
sialan itu juga sudah turun dari motornya, ia membuka helm yang ia pakai.
Dengan penuh amarah aku melemparkan kunci motor ini padanya dan ia
menangkapnya.
“Kau
bagus, Bieber Biker. Tapi kau tidak cukup bagus,” ejek lelaki sialan ini
memutar-mutar kunci motor.
“Whatever
you say, asshole,” aku mengacuhkannya. Aku butuh Kate. Bukan motor sialan
darinya.
***
*Kate Whitmore POV*
Hidupku
benar-benar hampa tanpa Justin. Aku menatap layar laptop ayahku di dalam ruang
kerjanya malam-malam seperti ini. Aku tahu pasti Justin sekarang sedang
menikmati gadis malam ini. Entah mengapa perasaanku sekarang tidak enak jika
memikirkannya. Aku ingin pergi bekerja mulai besok, aku ingin bertanya pada
Lyle tentang keadaannya.
Ayahku
sedang pergi ke dapur untuk membuatkanku teh. Ia memang sangat pengertian
selama satu minggu ini. Seharusnya aku yang membuatkannya teh. Aku sedang
menonton video masa kecilku yang ternyata di simpan oleh ayah. Well, bukan masa
kecil. Beberapa tahun lalu saat aku menangis pada ibuku karena aku tidak
diizinkannya untuk pergi keluar bersama teman-teman. Aku tertawa melihat
tingkah konyolku sewaktu aku masih remaja labil. Melemparkan boneka-boneka yang
diberikan oleh ayah dan ibuku keluar dari kamar dan menangis.
Kudengar
ayahku tertawa di dalam video ini.
“Lempar
lagi sayang, lempar lagi!” suruh ayahku tertawa-tawa. Aku jengkel saat itu.
“Itu
tidak lucu dad! Aku hanya ingin pergi kel—aku hanya ..argh!” aku kembali melempar
boneka itu pada ayahku, tepat pada kameranya. Membuat ia semakin tertawa
terbahak-bahak. Aku menyandarkan pipiku pada ujung lutut yang kutekuk. Aku
mencari video yang lain dan aku melihat video-ku saat aku bangun di pagi hari,
di hari ulang tahunku. Ayahku benar-benar menyimpan begitu banyak kenangan di
dalam laptopnya.
Tersenyum
konyol, pintu kamarku tiba-tiba saja terbuka dan ayahku muncul.
“Permisi,
nyonya Whitmore. Apa saya mengganggu?” tanya ayahku seperti pelayan.
“Oh
tidak, Mr. Whitmore. Anda boleh masuk dan Anda tidak sama sekali mengganggu,”
ujarku menegakan punggungku dan menurunkan kakiku dari kursi kerja ayahku.
Ayahku berjalan dengan pelan dengan dua cangkir teh yang berada di tangannya.
Ia menaruhnya di atas meja kerjanya dan tersenyum padaku.
“Apa
saya boleh tahu, Miss Whitmore, sebenarnya mengapa Anda selalu bersedih?”
tanyanya duduk di hadapanku.
“Oh,
Mr. Whitmore. Kau tidak tahu bagaimana perasaanku sekarang. Aku tidak bersedih,
tapi aku senang. Aku tidak percaya mengapa ayahku menyimpan video konyolku saat
aku masih kecil,”
“Mungkin
karena dia mencintaimu, Miss Whitmore,”
“Aku
tahu itu, ia tidak ingin menyakitiku,”
“Well,
ia tidak menyakiti anaknya, Miss Whitmore. Siapa pun yang menyakiti anaknya,
mungkin ia akan membunuh orang itu.
Siapa yang telah menyakiti Anda, Miss Whitmore?” Oh baiklah, kembali ayahku
mengungkit masalah ini. Aku tidak ingin pistol yang pernah ia keluarkan itu
menembak kepala Justin dengan santainya. Aku masih menginginkan Justin masih
hidup, aku mencintainya.
“Oh
dad! Jangan seperti itu lagi, aku bosan untuk membicarkannya,” aku mengeluh
pada ayahku.
“Baiklah,
aku tidak akan membicarkannya lagi. Kate, kau harus membicarakan masalah ini
dengannya. Aku tidak ingin –sebenarnya—mengikut campuri masalahmu dengan
Justin. Karena kau sudah kuanggap dewasa, sayang. Bicaralah padanya, selesaikan
masalah ini secepatnya,” kali ini suara ayahku layaknya ayah pada umumnya. Aku
mendesah pelan dan mengangkat kedua bahuku lalu mengambil teh yang dibuat oleh
ayahku. Video di laptop ayahku masih menyala.
“Mungkin,
aku akan mencobanya,” bisikku sambil meminum teh yang dibuat ayahku.
***
Sabtu
pagi ini aku memutuskan untuk pergi ke apartemen Justin. Benar apa yang
dikatakan ayahku. Oh. Dan yah, hari ini aku pergi ke apartemen Justin dengan
motor milik ayahku. Aku sudah bisa menyetir motor karena Justin yang
mengajarkanku. Well, meski tidak begitu lancar. Tapi aku tak peduli.
Setidaknya, aku mungkin bisa selamat sampai perjalanan ke apartemen Justin. Aku
ingin memperbaiki ini. Aku tidak bisa terlarut dalam tangis dan sakit hatiku
terhadap Justin dan aku berharap Justin ingin membicarakan ini lagi denganku.
Aku
memarkirkan motorku di depan gedung apartemen Justin. Tumben sekali tidak ada
motor Justin yang terparkirkan di sini. Mungkin dipinjam oleh Lyle. Aku turun
dan mencoba untuk menguatkan diri agar dapat bertemu dengan Justin. Aku
mengepang rambutku, Justin menyukainya. Meski Justin lebih menyukai jika
rambutku digerai. Ah, tak peduli. Aku hanya memastikan penampilanku pagi ini
baik dan sempurna untuknya.
Melangkah
dengan pasti, aku melewati anak tangga dengan cepat dan berhenti di depan pintu
apartemen Justin. Aku menarik nafasku. Huh, aku bisa melakukan ini, aku
menyemangati diriku. Kemudian aku membuka pintu apartemen Justin. Oh? Tidak
terkunci.
“Justin?”
aku memanggilnya. Aku masuk ke dalam apartemennya. Mungkin ia ada di kamar.
“Aw!”
aku bisa mendengar suara genit dari seorang wanita. Mataku melebar dan
melangkah dengan cepat menuju kamar Justin. Kubuka pintu kamarnya yang tak
terkunci. Jantungku sudah berada di mulutku. Hatiku sudah berada di luar
tubuhku. Aku. Ingin. Mati.
“Kate?”
Justin terkejut dan melempar gadis yang berada di atasnya. Gadis itu hanya
memakai celana jins namun pakaian atasnya tak memakai apa-apa. Oh, aku ingin
memperbaiki masalah ini tapi ..mengapa Justin rasanya cepat sekali untuk
mencari gadis lain? Sakit hatiku belum sembuh, tapi Justin benar-benar hebat
telah menambahnya. Justin tidak telanjang. Ia langsung bangkit dari tempat
tidurnya, tapi aku sudah tidak ingin ia menyentuhku lagi.
Aku
berlari darinya. Berusaha untuk menjauh darinya. Membanting pintu apartemen
Justin dan berlari menuruni tangga. Menaiki motorku saat aku sudah sampai di
luar dan menyalakannya. Aku menghapus air mataku terlebih dahulu sebelum aku
mengendarainya. Justin sudah keluar dari gedung dan aku mulai menggas motorku
dan membelah jalan raya.
“Kate!
Jangan tinggalkan aku! Kate!” teriak Justin mengejarku dari belakang. Aku bisa
melihatnya dari kaca spion. “KATE AKU MENCINTAIMU!” teriak Justin. Tapi
mengabaikannya.
***
*Author POV*
Gadis
itu menangis dengan penuh perasaan kecewa. Harapannya terhadap lelaki itu
benar-benar mulai pudar. Tangisannya terus tertumpah tiada henti. Ia seharusnya
tahu dari awal, hubungan ini tidak akan pernah berhasil. Ia tidak akan pernah
bisa mengubahkan keburukan dari kekasihnya. Meringkuk bagaikan bayi di dalam
perut bayi di atas tempat tidur, air matanya membasahi bantalnya.
Mengingat
lelaki yang ia cintai bersama dengan wanita lain sungguh dan benar-benar
menyakitkan. Ibunya bertanya-tanya, mengapa anak tunggalnya menangis di pagi
hari? Ayahnya tak tahu keadaannya pagi ini. Ayahnya belum bangun, lebih
tepatnya. Bersamaan saat Kate bangkit dari tempat tidur untuk menghapus air matanya
di kaca, pintu kamarnya terketuk.
“Sayang,
ceritakanlah nak,” suruh ayahnya mengetuk pintu kamarnya. Saat menghapus air
matanya, kembali lagi air mata itu mengalir. Butuh pelukan, Kate berjalan
menuju pintu kamar dan membuka kunci pintunya lalu membuka pintunya. Ayahnya
yang masih memakai piyama langsung merentangkan tangannya pada anak tunggalnya.
Sontak, Kate langsung memeluk ayahnya.
“Ia
tidur dengan gadis lain!” seru Kate, menangis pecah pada ayahnya. Dengan
lembut, ayahnya membawanya masuk ke dalam kamarnya dan masih memeluk Kate
dengan erat. Mereka duduk di atas tempat tidur Kate.
“Kate,
dad tahu ini tampak bodoh. Tapi dad sudah tidak bisa menahan pistol itu di
dalam laci,” ujar ayahnya penuh dengan keseriusan.
“Dad!”
erang gadis itu langsung memukul dada ayahnya. “Aku tidak mungkin menginginkan
dia mati. Aku masih mencintainya,”
“Tapi
ia telah menyakiti perasaan anakku,”
“Kau
yang bilang sendiri untuk tidak mengikut campuri urusanku,”
“Kate,
dia telah menyakitimu untuk yang kedua kalinya, nak. Dad pikir ia serius
denganmu, tapi seperti apa yang kaubilang, kurasa dad memang harus mengambil
pistol itu dari laci,”
“Aku
mencintaimu, dad,” bisik gadis itu mengeratkan pelukannya pada ayahnya.
***
*Justin Bieber POV*
Aku
telah menyakiti hatinya untuk yang kesekian kalinya. Kubawa motor yang kuambil
dari garasi rumah orang tuaku. Semua motorku tersimpan di sana dan aku tidak
peduli aku akan pergi kemana. Aku tak punya tujuan. Gadis sialan! Mengapa Kate
selalu datang di saat-saat yang tidak tepat? Aku tahu aku tidak akan berbohong
pada Kate, kecuali jika aku ingin memberi kejutan padanya. Tapi tadi
benar-benar sebuah kesalahan besar yang telah kuperbuat.
Rasanya
aku telah mematahkan janji yang telah kuberikan padanya. Aku tidak ingin menjadi
lelaki berengsek baginya. Lucy sial! Siapa pun! Aku ingin sekali menampar dan
menonjok seseorang. Kurasa aku harus pergi ke restoran sekarang. Aku tidak
peduli jika aku akan dipecat dari restoran, lagi pula aku bekerja di sana
karena ada Kate, bukan karena aku memang benar-benar ingin bekerja. Kupercepat
kecepatan motorku menuju restoran.
Teringat
tatapan matanya yang penuh dengan rasa sakit yang mendalam saat tadi pagi ia
datang ke dalam kamarku. Aku pikir ia telah benar-benar meninggalkanku. Aku
ingin bertemu dengan Kate hari ini. Sekarang juga. Apa pun itu alasannya atau
sanksi yang akan kuterima dari ayah Kate, aku akan terima. Sekali pun aku akan
ditembak mati oleh ayahnya, aku akan terima. Aku rasa itu sepadan dengan apa
yang telah kuperbuat dari gadis yang sangat kucintai.
Kuparkirkan
motorku di depan restoran dan turun dari motorku. Aku berjalan dengan cepat,
membuka pintu restoran yang ternyata sudah banyak pengunjung yang datang. Tanpa
berpikir panjang, aku berlari menuju dapur untuk bertemu dengan Phill. Kali
ini, aku akan benar-benar memaksanya.
“Di
mana dia?” aku langsung menarik kerah koki Phill dari belakang sehingga ia
langsung berbalik. “Di mana rumahnya?” Phill menatapku dengan penuh ketakutan,
kali ini.
“Aku
tidak bisa memberitahumu, apa yang telah kaulakukan padanya?”
“Aku
ingin mati untuknya sekarang! Di mana dia?!” kali ini aku membentaknya.
“Apa
maksudmu ingin mati untuknya?” tanyanya mencoba menutupi ketakutannya. Mataku
mencari-cari di mana pisau berada. Ternyata pisau hanya berada di sampingku.
Dengan cepat aku meraih salah satu pisau yang besar dan mengarahkan pada
perutnya yang buncit.
“Sekarang,
di mana dia?” tanyaku, lebih misterius.
“5
blok dari sini, di blok kelima kau belok ke kanan maka kau akan menemukan salah
satu perumahan. Masuk ke sana, cari rumah nomor 9. Di sana rumahnya,” ujarnya
dengan cepat dengan mata yang melebar. “Dari sini kau belok kanan,” tambahnya.
Aku menganggukan kepalaku dan menyimpan pisau yang kupegang ke atas meja dapur.
Dan aku menepuk-nepuk dadanya dan merapikan kerah bajunya.
“Terima
kasih banyak,” ujarku akhirnya, melepaskan kerah yang telah kurapikan.
“Yeah,
sama-sama,” bisiknya dengan nafas yang sudah tenang. Aku langsung berjalan
keluar dari restoran. Aku naik ke atas motorku lagi lalu menyalakannya. Kubawa
motorku dengan cepat, mengingat kata-kata dari Phill. Lima blok dari sini.
Berarti sangat dekat.
Berpikir,
apa yang harus kukatakan kepada ayah Kate. Dan apa yang harus kukatakan pada
Kate. Ini semua salahku. Seharusnya aku dapat menahan nafsuku. Tanpa Kate, aku
tidak akan pernah membuka mataku selebar ini. Aku tidak akan pernah sadar
dengan apa yang telah kulakukan padanya. Aku tidak akan pernah tahu apa arti
cinta yang sesungguhnya. Aku tidak dapat menjanjikan apa pun pada Kate selain
aku menjanjikan tubuhku adalah miliknya dari sekarang sampai selamanya. Jika ia
tidak pergi dari hadapanku pagi tadi, aku tidak akan sesadar ini. Aku pasti
akan melanjutkan hal tadi dengan cepat.
Tapi
dia datang. Datang menyelamatkanku yang akan jatuh ke jurang untuk yang kedua
kalinya. Ia membangkitkanku dari kebiasaan terburukku. Aku sadar. Aku tidak
dapat hidup tanpanya.
One day when the sky is falling
I’ll be standing right next to you
Right next to you
Nothing ever come between us
‘Cause I’ll be standing right next
to you
Janji
pertamaku telah patah. Aku sendiri yang telah mematahkannya. Apa pun yang akan
Kate katakan nanti, aku akan berusaha untuk menerimanya. Jika ia menolak
diriku, aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku meski aku memang harus
menerimanya. Aku berhenti di depan rumah bernomor 9. Rumah Kate. Rumah orang
tua Kate. Kuparkirkan motorku di depan rumahnya dan turun dari motor. Berjalan
dengan cepat menuju rumahnya dan berhenti di depan pintu rumah dengan jantung
yang berdegup dengan kencang. Kutekan bel yang berada di dekat pintu. Satu kali
tekan. Dua kali tekan. Kemudian pintunya terbuka. Seorang wanita baya dengan
sarung tangan yang membungkus tangannya tersenyum padaku.
“Apa
saya boleh bertemu dengan anak, Anda, Mrs. Whitmore?” tanyaku dengan yakin
bahwa ia adalah ibu Kate.
“Apa
kau Justin? Kekasih anakku?” tanyanya dengan suara yang lembut. Kate mirip
sekali dengan ibunya, matanya juga sama dengan ibunya. Dan suaranya sama
lembutnya dengan suara Kate. Kali ini aku lebih tenang.
“Ya,
apa aku boleh bertemu dengan Kate?”
“Siapa
yang datang, sayang?” tanya Mr. Whitmore yang tiba-tiba saja muncul dengan Kate
yang berada dalam gendongannya di belakang punggungnya. Kepangannya masih ia
pakai, namun Kate tertidur di belakang punggung ayahnya. Oh, dia benar-benar
manis jika seperti itu. Seperti anak kecil.
“Kau,”
gumam Mr.Whitmore dengan wajah yang benar-benar menyiratkan permusuhan. Ibu
Kate langsung mundur dan Mr.Whitmore maju, kami sekarang berhadapan. Kate masih
tertidur dalam gendongan ayahnya.
“Maafkan
aku Mr.Whitmore, aku datang ke sini untuk membicarakan permasalahanku dengan
puterimu,” ujarku sesopan ini. Mr. Whitmore tertawa sarkatis padaku dan
berhenti.
“Beruntung
anakku masih mencintaimu, Mr. Bieber. Jika tidak, aku sudah membunuhmu. Aku
serius,” ujarnya dengan nada yang memang serius. Aku menelan ludahku dan
menganggukan kepalaku. Aku tahu aku akan dibunuh oleh ayah Kate. Aku tahu itu
dan aku menerimanya dengan penuh rasa bersalah. Jika dengan cara dibunuh dapat
menyembuhkan perasaan Kate, aku akan melakukan itu. Apa pun, asalkan itu dapat
menyembuhkan rasa sakitnya. Sekali pun aku harus berhadapan dengan kematian,
aku akan melakukannya.
“Hiks,”
isak tangis Kate terdengar dari bahu ayahnya. Kemudian kepala Kate yang miring
karena ia menyandarkan pipinya pada bahu Mr.Whitmore langsung tegak. Matanya
terbuka, berair dan mata birunya mulai memperlihatkan keindahan sekaligus
kepahitan padaku. Bulu mata lentiknya basah dan bola matanya benar-benar besar.
Ia terlihat seperti anak kecil sekarang dan itu sungguh manis.
“Aku
tidak ingin menemuimu lagi,” bisiknya dengan suara yang parau. Kata-kata itu
perlahan-lahan mengiris hatiku. Seluruh tubuhku rasanya melemas dan kakiku
bergetar. Aku langsung berlutut di depan lutut ayahnya.
“Aku
membutuhkanmu, Kate. Aku tidak bisa melakukan apa pun tanpa. Aku kalah dalam
perlombaan karena tidak ada dirimu. Aku kehilangan arah. Aku buta tanpamu. Aku
tidak dapat menjadi orang yang sama saat aku tidak bersamamu. Kate, kumohon
jangan tinggalkan aku lagi,” aku memohon padanya, memegang kaki ayahnya. Aku
bisa mendengar nafas Mr.Whitmore yang menghela begitu panjang, seakan-akan aku
berkata omong kosong. Tapi aku tidak hidup dalam omong kosong lagi. Sejak aku
bertemu dengan Kate, aku tidak pernah hidup dalam omong kosong. Tapi aku
benar-benar mengatakan itu. Aku kehilangan control tanpa Kate. Dia adalah alam
semestaku. Jika aku berhenti untuk mendapatkannya, itu tidak benar. Karena aku
tidak akan pernah merasa sebaik ini.
I need you.
I can’t do anything without you
I am lost.
I
am blind.
I will never win this game.
I will never be the same.
Without You.
“Justin,
jangan seperti ini, kumohon,” isak tangis Kate memecah, “turunkan aku,” bisik
Kate pada ayahnya. Sontak aku bisa melihat dari bawah sini kaki Kate yang
muncul kemudian Mr.Whitmore mundur beberapa langkah. Kate melangkah maju. Aku
mendongak dengan mata yang berair.
“Kau
menangis,”
“Aku
selalu menangis tanpamu, Kate,” ujarku mencoba untuk berdiri. Ia tidak
mengulurkan tangannya atau bereaksi apa pun selain menangis. Ia melipat
tangannya di depan dadanya, air matanya terus mengalir.
“Belongs
to Kate,” bisiknya kemudian tertawa sedih. Jarinya yang mungil menyentuh
tanganku yang bertuliskan Belongs to Kate.
Menyusuri setiap kata-kata yang tertulis di sana. Aku adalah miliknya sekarang.
Sampai selamanya. Aku akan menikah dengannya, kelak.
“Tapi
kata-kata ini tidak membuktikan bahwa kau adalah milikku, Justin. Kejadian tadi
tidak membuktikan kebenaran kata-kata ini, bisakah kau pergi?”
“Aku
tidak akan pergi sebelum kau memaafkanku, Kate, aku butuh kata maafmu maka aku
akan melakukan apa pun yang kaukatakan,”
“Dad,
bisakah kau pergi sebentar?” tanya Kate yang membalikan tubuhnya. Aku dapat
melihat di tangan Mr. Whitmore sebuah pistol. Sial! Dia benar-benar ingin
melakukan itu padaku. Kemudian ayahnya menganggukan dan Kate keluar dari
rumahnya lalu menutup pintunya. Aku berhadapan dengan Kate dan tersenyum manis
padaku. Salah satu tangannya menghapus air matanya dan menyeka hidungnya.
“Kau
tahu, aku mencintaimu. Aku mencoba untuk melakukan apa pun agar dapat membuatmu
senang,” bisiknya mencoba untuk tidak menangis. Jarinya telunjuknya berada di
dadaku dan memainkannya di sana. “Pengalaman seks pertamaku yang paling
menakjubkan. Menikmati pemandangan saat kau tertidur. Bersandar di dadamu saat
kau mengajarkanku naik motor. Itu benar-benar indah Justin,” bisiknya
meneteskan kembali air matanya. Namun tak mengalir, mengarungi pipinya.
“Tapi
kau merenggutnya begitu saja. Aku memaafkanmu, tapi aku tidak dapat melupakan
apa yang telah kaulakukan padaku Justin. Jaga dirimu baik-baik dan jangan
merusak dirimu,” bisiknya tersenyum dan menarik kaos hitam yang kupakai lalu
bibirku dan bibirnya tersentuh.
“Biarkanlah
ini menjadi ciuman terakhir kita, sayang,” bisiknya dengan air mata yang
mengalir. Kemudian bibirnya meraih bibirku lagi dan ia mengisap bibirku dengan
lembut. Tanganku langsung menarik pinggangnya pada diriku dan aku memperdalam
ciuman ini. Kedua lengannya melingkar di leherku dan bunyi cepak ciuman kami
terdengar. Kemudian ciuman ini selesai.
“Aku
mencintaimu,” bisiknya tersenyum dan menghapus air matanya.
“Kau
benar-benar memutuskanku, Kate?” tanyaku dengan ragu. Karena jika benar, aku
tidak tahu untuk apa tujuanku hidup lagi. Ia tertawa dengan penuh kesedihan,
air matanya kembali mengalir.
“Oh
Justin, kau benar-benar ..” ia tidak menyelesaikan kata-katanya dan kembali
meraih kaos hitamku lalu mengecup bibirku lebih lembut lagi. “Pergi dari sini
Justin dan jaga dirimu baik-baik,” bisiknya mencium hidungku.
“Kumohon,”
bisiknya penuh dengan permohonan.
“Kate,
aku mencintaimu. Aku memang akan pergi sekarang, tapi jangan pernah menganggap
ini adalah bukti bahwa aku menyerah padamu –“
“Justin,
pergi sayang,” pintanya mendorong dadaku untuk pergi dari hadapannya.
“Aku
akan pergi, tapi ingat satu hal Kate, aku mencintaimu,”
“Aku
juga, tapi keadaanmu tak mendukung. Pergilah,” ia melambaikan tangannya dan air
matanya kembali mengalir. Aku pergi dari rumahnya dan menaiki motorku dengan
perasaan yang benar-benar terpukul. Kate telah mengakhiri hubungan ini. Aku
sangat mencintainya, namun ia menolakku. Ini semua salahku dan aku tidak dapat
menerima ini. Aku memang penuh dengan omong kosong! Aku tidak dapat menerima
ini. Aku telah ditolak oleh gadis yang paling kucintai dan aku tidak dapat
menerimanya. Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku tidak memiliki tujuan hidup
sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar