Jumat, 02 Agustus 2013

Bieber Biker Bab 8

***

*Author POV*

            Sudah satu minggu ini, Justin dan Kate tak bertemu. Keduanya tak mendapatkan semangat yang sempurna seperti sebelumnya. Justin selalu pulang pada malam hari dalam keadaan mabuk. Logan selalu memperingati Justin untuk tidak melakukan ini. Tapi Justin tak dapat hidup tanpa Kate. Ia membutuhkan Kate, namun Kate tak berada di sisinya. Itu membuat Justin benar-benar frustrasi. Kate tak masuk kuliah untuk lima hari ini. Ayah Kate sudah tahu masalah mereka.
            Pistol ayah Kate sebenarnya sudah siap di dalam laci ruang kerjanya, namun Kate menahannya. Ia tidak ingin lelaki yang masih ia cintai meninggal karena ayahnya yang ia cintai. Tidak, itu tidak boleh terjadi. Kate tak tahu apa yang harus ia perbuat sekarang selain membuat kue tiap hari bersama dengan ibunya tanpa ada semangat dalam tubuhnya sama sekali.
            Tiap malam ia menangisi Justin, entah mengapa ia harus menangisi Justin terus menerus. Rasanya pukulan dalam hatinya tak pernah diberi obat agar memarnya sembuh dengan cepat. Jika ia tidak dapat membuat kue bersama dengan ibunya, ia terdiam di kamar. Mendengarkan lagu apa pun yang dapat membuatnya tenang. Tapi tidak ada satu pun lagu yang dapat mengertinya. Ia meringkuk di atas tempat tidur dalam kepedihan.
            Mengingat-ingat kenangan indahnya bersama dengan Justin. Tatto yang baru saja Justin buat. Belongs to Kate. Justin mengajari Kate menyetir motor. Kate mengajar Justin bagaimana membersihkan rumah. Pengalaman seks pertama Kate dengan Justin. Saat Justin membawa Kate ke sebuah Club. Merasakan kehangatan yang begitu mendalam saat Kate memiliki waktu melihat wajah Justin yang tenang saat tengah tertidur. Mereka tertawa bersama.
            Tapi sekarang, itu semua terenggut dari pada Kate. Kate merasa kehilangan segalanya. Justin adalah segalanya. Tanpa Justin, ia sulit melakukan apa pun.
            Sama dengan Justin. Ia tak dapat melakukan apa pun tanpa Kate. Rasanya, alam semestanya menghilang begitu saja. Minuman bir mungkin akan membuatnya lebih tenang,  mungkin juga dengan sebungkus rokok akan membuatnya lebih tenang. Si Pelacur Lucy Sialan itu telah menghilang. Membaur dan mencari teman baru di kampus. Lucy tak merasa bersalah. Tak sedetikpun ia menyesali apa yang telah ia perbuat. Rencananya yang sudah ia buat memang tak berhasil untuk memisahkan Kate, justru itu lebih bagus! Karena Justin yang mempercepat rencana Lucy. Lucy benar-benar muak setelah ia menunggu sekian lama untuk melihat Justin dan Kate putus, akhirnya itu terjadi. Akhirnya apa yang Lucy inginkan selama ini terjadi. Ia merasa begitu puas.
            Lyle tak marah pada Justin untuk sekarang ini. Kali ini ia tidak peduli dengan apa yang Justin lakukan. Ia sudah tidak semenyenangkan seperti dulu, saat Kate masih berada di lingkungan mereka. Lyle tampak lebih pendiam. Dan Logan, masih sama seperti biasanya. Tak ingin memperbesar masalah dan tak ingin mengikut campuri hubungan orang lain. Semuanya tampak datar sekarang.
            Justin sedang menonton televisi tanpa memperhatikannya. Pikirannya tiap hari kosong. Ia butuh gadis atau siapa pun yang dapat ia tiduri. Tapi hatinya berkata untuk tidak melakukan itu. Namun nafsunya lebih kuat. Ia membutuhkan gadis malam ini. Ia melirik pada jam dinding di ruang tamunya. Sudah saatnnya. Ia ingin bertanding satu lawan satu lagi dengan pembalap terpopuler dari Vegas. Ia tidak peduli siapa pun itu, tapi ia yakin ia akan menang.

*Justin POV*

            Hidupku hampa tanpa Kate. Dia adalah segalanya namun ia tidak berada di hadapanku. Aku tak dapat bertemu dengannya. Aku tak masuk kuliah satu minggu ini. Untuk apa? Sudah tidak ada penyemangat hidupku kembali untuk melakukan hal bodoh seperti itu. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan selain mendapatkan pelepasan. Aku membutuhkan Kate sekarang, tapi dia tidak ada sekarang. Astaga, aku butuh gadis tapi siapa.
            Aku memakai helmku dan naik ke atas motor lalu menyalakannya. Membawanya secepat mungkin yang kubisa, tapi aku masih mencintai hidupku. Aku masih memiliki harapan untuk bertemu dengan Kate. Akhir-akhir ini aku tidak banyak bicara. Aku lebih banyak menghabiskan waktuku di dalam Club dan melihat gadis-gadis yang meliuk-liukan tubuhnya. Tak ada yang seseksi Kate. Tidak akan pernah ada. Aku semakin mempercepat kecepatan motorku untuk sampai ke arena perlombaan. Ini sudah jam 11 malam, aku memang selalu terlambat datang. Siapa pun yang akan menjadi lawanku malam ini, aku yakin aku akan berhasil. Menang.
            Sesampainya aku di arena perlombaan, aku melihat sudah ada motor yang bertengger di garis start. Ia memiliki tubuh yang besar dan dapat kudengar teriakannya dari sini. Siapa dia? Aku tak peduli. Saat motorku sudah sejajar dengannya, gadis-gadis yang berada di sini berteriak-teriak, menjerit-jeritkan kata ‘Bieber Biker’. Aku Bieber Biker dan tidak ada yang tahu siapa aku. Hanya Kate yang tahu diriku. Hanya dia. Amarahku meluap saat aku mengingatnya menangis. Aku benci tangisan itu. Tangisan yang diperbuat olehku sendiri.
            Gadis seksi yang berada di depanku sudah melepaskan bra-nya ke atas tanah. Dengan cepat aku membawa motorku dengan kecepatan 20mm/jam terlebih dahulu, tetapi lelaki sialan yang melawanku itu begitu cepat. Baiklah, ini masih awal-awal. Amarahku meluap. Aku ingin pulang. Kau pelacur! Memukulnya tak akan pernah menyelesaikan masalah! Suara Kate terngiang-ngiang di telingaku. Air mataku mengumpul. Untuk pertama kalinya dalam seumur hidupku, aku menangisi seorang wanita yang benar-benar berharga bagiku. Aku menangis. Aku mengharapkan kedatangannya di sini, tapi ia tidak ada. Ia tidak datang untuk menemuiku seperti dua minggu lalu. Dan rasanya aku benar-benar lemah.
            I can’t win, I can’t wait.
            I will never win this game, without you
            I am lost, I am vain
            I will never be the same without you
            Without you
            I won’t run, I won’t fly
            I will never make it past without you
            I  can’t rest, I can’t fight
            All I need is you and I, without you …

            Can’t erase so I’ll take blame
            But I can’t accept that we’re Estrange
            Without you, without you
            I won’t soar, I won’t climb
            If you’re not here I’m paralyzed
            I can’t look, I’m so blind
            Lost my heart, I lost my mind without you
            Aku gagal! Aku tidak memenangkan lomba ini. Aku tak dapat melakukan ini tanpa Kate. Aku membutuhkan Kate. Dari jarak jauh, aku bisa melihat lelaki itu bersorak-sorak karena telah mencapai garis finish. Sedangkan motorku berjalan begitu lambat. Aku lemah tanpa Kate. Aku benar-benar membutuhkannya. Sial! Aku melewati garis finish dengan penuh rasa kecewa. Memarkirkannya di pinggir jalan dan turun dari motor sialan ini.
            Lelaki sialan itu juga sudah turun dari motornya, ia membuka helm yang ia pakai. Dengan penuh amarah aku melemparkan kunci motor ini padanya dan ia menangkapnya.
            “Kau bagus, Bieber Biker. Tapi kau tidak cukup bagus,” ejek lelaki sialan ini memutar-mutar kunci motor.
            “Whatever you say, asshole,” aku mengacuhkannya. Aku butuh Kate. Bukan motor sialan darinya.

***

*Kate Whitmore POV*

            Hidupku benar-benar hampa tanpa Justin. Aku menatap layar laptop ayahku di dalam ruang kerjanya malam-malam seperti ini. Aku tahu pasti Justin sekarang sedang menikmati gadis malam ini. Entah mengapa perasaanku sekarang tidak enak jika memikirkannya. Aku ingin pergi bekerja mulai besok, aku ingin bertanya pada Lyle tentang keadaannya.
            Ayahku sedang pergi ke dapur untuk membuatkanku teh. Ia memang sangat pengertian selama satu minggu ini. Seharusnya aku yang membuatkannya teh. Aku sedang menonton video masa kecilku yang ternyata di simpan oleh ayah. Well, bukan masa kecil. Beberapa tahun lalu saat aku menangis pada ibuku karena aku tidak diizinkannya untuk pergi keluar bersama teman-teman. Aku tertawa melihat tingkah konyolku sewaktu aku masih remaja labil. Melemparkan boneka-boneka yang diberikan oleh ayah dan ibuku keluar dari kamar dan menangis.
            Kudengar ayahku tertawa di dalam video ini.
            “Lempar lagi sayang, lempar lagi!” suruh ayahku tertawa-tawa. Aku jengkel saat itu.
            “Itu tidak lucu dad! Aku hanya ingin pergi kel—aku hanya ..argh!” aku kembali melempar boneka itu pada ayahku, tepat pada kameranya. Membuat ia semakin tertawa terbahak-bahak. Aku menyandarkan pipiku pada ujung lutut yang kutekuk. Aku mencari video yang lain dan aku melihat video-ku saat aku bangun di pagi hari, di hari ulang tahunku. Ayahku benar-benar menyimpan begitu banyak kenangan di dalam laptopnya.
            Tersenyum konyol, pintu kamarku tiba-tiba saja terbuka dan ayahku muncul.
            “Permisi, nyonya Whitmore. Apa saya mengganggu?” tanya ayahku seperti pelayan.
            “Oh tidak, Mr. Whitmore. Anda boleh masuk dan Anda tidak sama sekali mengganggu,” ujarku menegakan punggungku dan menurunkan kakiku dari kursi kerja ayahku. Ayahku berjalan dengan pelan dengan dua cangkir teh yang berada di tangannya. Ia menaruhnya di atas meja kerjanya dan tersenyum padaku.
            “Apa saya boleh tahu, Miss Whitmore, sebenarnya mengapa Anda selalu bersedih?” tanyanya duduk di hadapanku.
            “Oh, Mr. Whitmore. Kau tidak tahu bagaimana perasaanku sekarang. Aku tidak bersedih, tapi aku senang. Aku tidak percaya mengapa ayahku menyimpan video konyolku saat aku masih kecil,”
            “Mungkin karena dia mencintaimu, Miss Whitmore,”
            “Aku tahu itu, ia tidak ingin menyakitiku,”
            “Well, ia tidak menyakiti anaknya, Miss Whitmore. Siapa pun yang menyakiti anaknya, mungkin ia akan  membunuh orang itu. Siapa yang telah menyakiti Anda, Miss Whitmore?” Oh baiklah, kembali ayahku mengungkit masalah ini. Aku tidak ingin pistol yang pernah ia keluarkan itu menembak kepala Justin dengan santainya. Aku masih menginginkan Justin masih hidup, aku mencintainya.
            “Oh dad! Jangan seperti itu lagi, aku bosan untuk membicarkannya,” aku mengeluh pada ayahku.
            “Baiklah, aku tidak akan membicarkannya lagi. Kate, kau harus membicarakan masalah ini dengannya. Aku tidak ingin –sebenarnya—mengikut campuri masalahmu dengan Justin. Karena kau sudah kuanggap dewasa, sayang. Bicaralah padanya, selesaikan masalah ini secepatnya,” kali ini suara ayahku layaknya ayah pada umumnya. Aku mendesah pelan dan mengangkat kedua bahuku lalu mengambil teh yang dibuat oleh ayahku. Video di laptop ayahku masih menyala.
            “Mungkin, aku akan mencobanya,” bisikku sambil meminum teh yang dibuat ayahku.

***

            Sabtu pagi ini aku memutuskan untuk pergi ke apartemen Justin. Benar apa yang dikatakan ayahku. Oh. Dan yah, hari ini aku pergi ke apartemen Justin dengan motor milik ayahku. Aku sudah bisa menyetir motor karena Justin yang mengajarkanku. Well, meski tidak begitu lancar. Tapi aku tak peduli. Setidaknya, aku mungkin bisa selamat sampai perjalanan ke apartemen Justin. Aku ingin memperbaiki ini. Aku tidak bisa terlarut dalam tangis dan sakit hatiku terhadap Justin dan aku berharap Justin ingin membicarakan ini lagi denganku.
            Aku memarkirkan motorku di depan gedung apartemen Justin. Tumben sekali tidak ada motor Justin yang terparkirkan di sini. Mungkin dipinjam oleh Lyle. Aku turun dan mencoba untuk menguatkan diri agar dapat bertemu dengan Justin. Aku mengepang rambutku, Justin menyukainya. Meski Justin lebih menyukai jika rambutku digerai. Ah, tak peduli. Aku hanya memastikan penampilanku pagi ini baik dan sempurna untuknya.     
            Melangkah dengan pasti, aku melewati anak tangga dengan cepat dan berhenti di depan pintu apartemen Justin. Aku menarik nafasku. Huh, aku bisa melakukan ini, aku menyemangati diriku. Kemudian aku membuka pintu apartemen Justin. Oh? Tidak terkunci.
            “Justin?” aku memanggilnya. Aku masuk ke dalam apartemennya. Mungkin ia ada di kamar.
            “Aw!” aku bisa mendengar suara genit dari seorang wanita. Mataku melebar dan melangkah dengan cepat menuju kamar Justin. Kubuka pintu kamarnya yang tak terkunci. Jantungku sudah berada di mulutku. Hatiku sudah berada di luar tubuhku. Aku. Ingin. Mati.
            “Kate?” Justin terkejut dan melempar gadis yang berada di atasnya. Gadis itu hanya memakai celana jins namun pakaian atasnya tak memakai apa-apa. Oh, aku ingin memperbaiki masalah ini tapi ..mengapa Justin rasanya cepat sekali untuk mencari gadis lain? Sakit hatiku belum sembuh, tapi Justin benar-benar hebat telah menambahnya. Justin tidak telanjang. Ia langsung bangkit dari tempat tidurnya, tapi aku sudah tidak ingin ia menyentuhku lagi.
            Aku berlari darinya. Berusaha untuk menjauh darinya. Membanting pintu apartemen Justin dan berlari menuruni tangga. Menaiki motorku saat aku sudah sampai di luar dan menyalakannya. Aku menghapus air mataku terlebih dahulu sebelum aku mengendarainya. Justin sudah keluar dari gedung dan aku mulai menggas motorku dan membelah jalan raya.
            “Kate! Jangan tinggalkan aku! Kate!” teriak Justin mengejarku dari belakang. Aku bisa melihatnya dari kaca spion. “KATE AKU MENCINTAIMU!” teriak Justin. Tapi mengabaikannya.

***

*Author POV*

            Gadis itu menangis dengan penuh perasaan kecewa. Harapannya terhadap lelaki itu benar-benar mulai pudar. Tangisannya terus tertumpah tiada henti. Ia seharusnya tahu dari awal, hubungan ini tidak akan pernah berhasil. Ia tidak akan pernah bisa mengubahkan keburukan dari kekasihnya. Meringkuk bagaikan bayi di dalam perut bayi di atas tempat tidur, air matanya membasahi bantalnya.
            Mengingat lelaki yang ia cintai bersama dengan wanita lain sungguh dan benar-benar menyakitkan. Ibunya bertanya-tanya, mengapa anak tunggalnya menangis di pagi hari? Ayahnya tak tahu keadaannya pagi ini. Ayahnya belum bangun, lebih tepatnya. Bersamaan saat Kate bangkit dari tempat tidur untuk menghapus air matanya di kaca, pintu kamarnya terketuk.
            “Sayang, ceritakanlah nak,” suruh ayahnya mengetuk pintu kamarnya. Saat menghapus air matanya, kembali lagi air mata itu mengalir. Butuh pelukan, Kate berjalan menuju pintu kamar dan membuka kunci pintunya lalu membuka pintunya. Ayahnya yang masih memakai piyama langsung merentangkan tangannya pada anak tunggalnya. Sontak, Kate langsung memeluk ayahnya.
            “Ia tidur dengan gadis lain!” seru Kate, menangis pecah pada ayahnya. Dengan lembut, ayahnya membawanya masuk ke dalam kamarnya dan masih memeluk Kate dengan erat. Mereka duduk di atas tempat tidur Kate.
            “Kate, dad tahu ini tampak bodoh. Tapi dad sudah tidak bisa menahan pistol itu di dalam laci,” ujar ayahnya penuh dengan keseriusan.
            “Dad!” erang gadis itu langsung memukul dada ayahnya. “Aku tidak mungkin menginginkan dia mati. Aku masih mencintainya,”
            “Tapi ia telah menyakiti perasaan anakku,”
            “Kau yang bilang sendiri untuk tidak mengikut campuri urusanku,”
            “Kate, dia telah menyakitimu untuk yang kedua kalinya, nak. Dad pikir ia serius denganmu, tapi seperti apa yang kaubilang, kurasa dad memang harus mengambil pistol itu dari laci,”
            “Aku mencintaimu, dad,” bisik gadis itu mengeratkan pelukannya pada ayahnya.


***

*Justin Bieber POV*  

            Aku telah menyakiti hatinya untuk yang kesekian kalinya. Kubawa motor yang kuambil dari garasi rumah orang tuaku. Semua motorku tersimpan di sana dan aku tidak peduli aku akan pergi kemana. Aku tak punya tujuan. Gadis sialan! Mengapa Kate selalu datang di saat-saat yang tidak tepat? Aku tahu aku tidak akan berbohong pada Kate, kecuali jika aku ingin memberi kejutan padanya. Tapi tadi benar-benar sebuah kesalahan besar yang telah kuperbuat.
            Rasanya aku telah mematahkan janji yang telah kuberikan padanya. Aku tidak ingin menjadi lelaki berengsek baginya. Lucy sial! Siapa pun! Aku ingin sekali menampar dan menonjok seseorang. Kurasa aku harus pergi ke restoran sekarang. Aku tidak peduli jika aku akan dipecat dari restoran, lagi pula aku bekerja di sana karena ada Kate, bukan karena aku memang benar-benar ingin bekerja. Kupercepat kecepatan motorku menuju restoran.
            Teringat tatapan matanya yang penuh dengan rasa sakit yang mendalam saat tadi pagi ia datang ke dalam kamarku. Aku pikir ia telah benar-benar meninggalkanku. Aku ingin bertemu dengan Kate hari ini. Sekarang juga. Apa pun itu alasannya atau sanksi yang akan kuterima dari ayah Kate, aku akan terima. Sekali pun aku akan ditembak mati oleh ayahnya, aku akan terima. Aku rasa itu sepadan dengan apa yang telah kuperbuat dari gadis yang sangat kucintai.
            Kuparkirkan motorku di depan restoran dan turun dari motorku. Aku berjalan dengan cepat, membuka pintu restoran yang ternyata sudah banyak pengunjung yang datang. Tanpa berpikir panjang, aku berlari menuju dapur untuk bertemu dengan Phill. Kali ini, aku akan benar-benar memaksanya.
            “Di mana dia?” aku langsung menarik kerah koki Phill dari belakang sehingga ia langsung berbalik. “Di mana rumahnya?” Phill menatapku dengan penuh ketakutan, kali ini.
            “Aku tidak bisa memberitahumu, apa yang telah kaulakukan padanya?”
            “Aku ingin mati untuknya sekarang! Di mana dia?!” kali ini aku membentaknya.
            “Apa maksudmu ingin mati untuknya?” tanyanya mencoba menutupi ketakutannya. Mataku mencari-cari di mana pisau berada. Ternyata pisau hanya berada di sampingku. Dengan cepat aku meraih salah satu pisau yang besar dan mengarahkan pada perutnya yang buncit.
            “Sekarang, di mana dia?” tanyaku, lebih misterius.
            “5 blok dari sini, di blok kelima kau belok ke kanan maka kau akan menemukan salah satu perumahan. Masuk ke sana, cari rumah nomor 9. Di sana rumahnya,” ujarnya dengan cepat dengan mata yang melebar. “Dari sini kau belok kanan,” tambahnya. Aku menganggukan kepalaku dan menyimpan pisau yang kupegang ke atas meja dapur. Dan aku menepuk-nepuk dadanya dan merapikan kerah bajunya.
            “Terima kasih banyak,” ujarku akhirnya, melepaskan kerah yang telah kurapikan.
            “Yeah, sama-sama,” bisiknya dengan nafas yang sudah tenang. Aku langsung berjalan keluar dari restoran. Aku naik ke atas motorku lagi lalu menyalakannya. Kubawa motorku dengan cepat, mengingat kata-kata dari Phill. Lima blok dari sini. Berarti sangat dekat.
            Berpikir, apa yang harus kukatakan kepada ayah Kate. Dan apa yang harus kukatakan pada Kate. Ini semua salahku. Seharusnya aku dapat menahan nafsuku. Tanpa Kate, aku tidak akan pernah membuka mataku selebar ini. Aku tidak akan pernah sadar dengan apa yang telah kulakukan padanya. Aku tidak akan pernah tahu apa arti cinta yang sesungguhnya. Aku tidak dapat menjanjikan apa pun pada Kate selain aku menjanjikan tubuhku adalah miliknya dari sekarang sampai selamanya. Jika ia tidak pergi dari hadapanku pagi tadi, aku tidak akan sesadar ini. Aku pasti akan melanjutkan hal tadi dengan cepat.
            Tapi dia datang. Datang menyelamatkanku yang akan jatuh ke jurang untuk yang kedua kalinya. Ia membangkitkanku dari kebiasaan terburukku. Aku sadar. Aku tidak dapat hidup tanpanya.
            One day when the sky is falling
            I’ll be standing right next to you
            Right next to you
            Nothing ever come between us
            ‘Cause I’ll be standing right next to you

            Janji pertamaku telah patah. Aku sendiri yang telah mematahkannya. Apa pun yang akan Kate katakan nanti, aku akan berusaha untuk menerimanya. Jika ia menolak diriku, aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku meski aku memang harus menerimanya. Aku berhenti di depan rumah bernomor 9. Rumah Kate. Rumah orang tua Kate. Kuparkirkan motorku di depan rumahnya dan turun dari motor. Berjalan dengan cepat menuju rumahnya dan berhenti di depan pintu rumah dengan jantung yang berdegup dengan kencang. Kutekan bel yang berada di dekat pintu. Satu kali tekan. Dua kali tekan. Kemudian pintunya terbuka. Seorang wanita baya dengan sarung tangan yang membungkus tangannya tersenyum padaku.
            “Apa saya boleh bertemu dengan anak, Anda, Mrs. Whitmore?” tanyaku dengan yakin bahwa ia adalah ibu Kate.
            “Apa kau Justin? Kekasih anakku?” tanyanya dengan suara yang lembut. Kate mirip sekali dengan ibunya, matanya juga sama dengan ibunya. Dan suaranya sama lembutnya dengan suara Kate. Kali ini aku lebih tenang.
            “Ya, apa aku boleh bertemu dengan Kate?”
            “Siapa yang datang, sayang?” tanya Mr. Whitmore yang tiba-tiba saja muncul dengan Kate yang berada dalam gendongannya di belakang punggungnya. Kepangannya masih ia pakai, namun Kate tertidur di belakang punggung ayahnya. Oh, dia benar-benar manis jika seperti itu. Seperti anak kecil.
            “Kau,” gumam Mr.Whitmore dengan wajah yang benar-benar menyiratkan permusuhan. Ibu Kate langsung mundur dan Mr.Whitmore maju, kami sekarang berhadapan. Kate masih tertidur dalam gendongan ayahnya.
            “Maafkan aku Mr.Whitmore, aku datang ke sini untuk membicarakan permasalahanku dengan puterimu,” ujarku sesopan ini. Mr. Whitmore tertawa sarkatis padaku dan berhenti.
            “Beruntung anakku masih mencintaimu, Mr. Bieber. Jika tidak, aku sudah membunuhmu. Aku serius,” ujarnya dengan nada yang memang serius. Aku menelan ludahku dan menganggukan kepalaku. Aku tahu aku akan dibunuh oleh ayah Kate. Aku tahu itu dan aku menerimanya dengan penuh rasa bersalah. Jika dengan cara dibunuh dapat menyembuhkan perasaan Kate, aku akan melakukan itu. Apa pun, asalkan itu dapat menyembuhkan rasa sakitnya. Sekali pun aku harus berhadapan dengan kematian, aku akan melakukannya.
            “Hiks,” isak tangis Kate terdengar dari bahu ayahnya. Kemudian kepala Kate yang miring karena ia menyandarkan pipinya pada bahu Mr.Whitmore langsung tegak. Matanya terbuka, berair dan mata birunya mulai memperlihatkan keindahan sekaligus kepahitan padaku. Bulu mata lentiknya basah dan bola matanya benar-benar besar. Ia terlihat seperti anak kecil sekarang dan itu sungguh manis.
            “Aku tidak ingin menemuimu lagi,” bisiknya dengan suara yang parau. Kata-kata itu perlahan-lahan mengiris hatiku. Seluruh tubuhku rasanya melemas dan kakiku bergetar. Aku langsung berlutut di depan lutut ayahnya.
            “Aku membutuhkanmu, Kate. Aku tidak bisa melakukan apa pun tanpa. Aku kalah dalam perlombaan karena tidak ada dirimu. Aku kehilangan arah. Aku buta tanpamu. Aku tidak dapat menjadi orang yang sama saat aku tidak bersamamu. Kate, kumohon jangan tinggalkan aku lagi,” aku memohon padanya, memegang kaki ayahnya. Aku bisa mendengar nafas Mr.Whitmore yang menghela begitu panjang, seakan-akan aku berkata omong kosong. Tapi aku tidak hidup dalam omong kosong lagi. Sejak aku bertemu dengan Kate, aku tidak pernah hidup dalam omong kosong. Tapi aku benar-benar mengatakan itu. Aku kehilangan control tanpa Kate. Dia adalah alam semestaku. Jika aku berhenti untuk mendapatkannya, itu tidak benar. Karena aku tidak akan pernah merasa sebaik ini.
            I need you.
            I can’t do anything without you
            I am lost.
I am blind.
            I will never win this game.
            I will never be the same.
            Without You.
            “Justin, jangan seperti ini, kumohon,” isak tangis Kate memecah, “turunkan aku,” bisik Kate pada ayahnya. Sontak aku bisa melihat dari bawah sini kaki Kate yang muncul kemudian Mr.Whitmore mundur beberapa langkah. Kate melangkah maju. Aku mendongak dengan mata yang berair.
            “Kau menangis,”
            “Aku selalu menangis tanpamu, Kate,” ujarku mencoba untuk berdiri. Ia tidak mengulurkan tangannya atau bereaksi apa pun selain menangis. Ia melipat tangannya di depan dadanya, air matanya terus mengalir.
            “Belongs to Kate,” bisiknya kemudian tertawa sedih. Jarinya yang mungil menyentuh tanganku yang bertuliskan Belongs to Kate. Menyusuri setiap kata-kata yang tertulis di sana. Aku adalah miliknya sekarang. Sampai selamanya. Aku akan menikah dengannya, kelak.
            “Tapi kata-kata ini tidak membuktikan bahwa kau adalah milikku, Justin. Kejadian tadi tidak membuktikan kebenaran kata-kata ini, bisakah kau pergi?”
            “Aku tidak akan pergi sebelum kau memaafkanku, Kate, aku butuh kata maafmu maka aku akan melakukan apa pun yang kaukatakan,”
            “Dad, bisakah kau pergi sebentar?” tanya Kate yang membalikan tubuhnya. Aku dapat melihat di tangan Mr. Whitmore sebuah pistol. Sial! Dia benar-benar ingin melakukan itu padaku. Kemudian ayahnya menganggukan dan Kate keluar dari rumahnya lalu menutup pintunya. Aku berhadapan dengan Kate dan tersenyum manis padaku. Salah satu tangannya menghapus air matanya dan menyeka hidungnya.
            “Kau tahu, aku mencintaimu. Aku mencoba untuk melakukan apa pun agar dapat membuatmu senang,” bisiknya mencoba untuk tidak menangis. Jarinya telunjuknya berada di dadaku dan memainkannya di sana. “Pengalaman seks pertamaku yang paling menakjubkan. Menikmati pemandangan saat kau tertidur. Bersandar di dadamu saat kau mengajarkanku naik motor. Itu benar-benar indah Justin,” bisiknya meneteskan kembali air matanya. Namun tak mengalir, mengarungi pipinya.
            “Tapi kau merenggutnya begitu saja. Aku memaafkanmu, tapi aku tidak dapat melupakan apa yang telah kaulakukan padaku Justin. Jaga dirimu baik-baik dan jangan merusak dirimu,” bisiknya tersenyum dan menarik kaos hitam yang kupakai lalu bibirku dan bibirnya tersentuh.
            “Biarkanlah ini menjadi ciuman terakhir kita, sayang,” bisiknya dengan air mata yang mengalir. Kemudian bibirnya meraih bibirku lagi dan ia mengisap bibirku dengan lembut. Tanganku langsung menarik pinggangnya pada diriku dan aku memperdalam ciuman ini. Kedua lengannya melingkar di leherku dan bunyi cepak ciuman kami terdengar. Kemudian ciuman ini selesai.
            “Aku mencintaimu,” bisiknya tersenyum dan menghapus air matanya.
            “Kau benar-benar memutuskanku, Kate?” tanyaku dengan ragu. Karena jika benar, aku tidak tahu untuk apa tujuanku hidup lagi. Ia tertawa dengan penuh kesedihan, air matanya kembali mengalir.
            “Oh Justin, kau benar-benar ..” ia tidak menyelesaikan kata-katanya dan kembali meraih kaos hitamku lalu mengecup bibirku lebih lembut lagi. “Pergi dari sini Justin dan jaga dirimu baik-baik,” bisiknya mencium hidungku.
            “Kumohon,” bisiknya penuh dengan permohonan.
            “Kate, aku mencintaimu. Aku memang akan pergi sekarang, tapi jangan pernah menganggap ini adalah bukti bahwa aku menyerah padamu –“
            “Justin, pergi sayang,” pintanya mendorong dadaku untuk pergi dari hadapannya.
            “Aku akan pergi, tapi ingat satu hal Kate, aku mencintaimu,”

            “Aku juga, tapi keadaanmu tak mendukung. Pergilah,” ia melambaikan tangannya dan air matanya kembali mengalir. Aku pergi dari rumahnya dan menaiki motorku dengan perasaan yang benar-benar terpukul. Kate telah mengakhiri hubungan ini. Aku sangat mencintainya, namun ia menolakku. Ini semua salahku dan aku tidak dapat menerima ini. Aku memang penuh dengan omong kosong! Aku tidak dapat menerima ini. Aku telah ditolak oleh gadis yang paling kucintai dan aku tidak dapat menerimanya. Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku tidak memiliki tujuan hidup sekarang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar