Jumat, 02 Agustus 2013

Bieber Biker Bab 5

***

            Lucy memang sudah pergi dari apartemenku. Kamarnya benar-benar bersih tanpa jejak darinya. Astaga, Lucy benar-benar sakit hati karena ini. Bisakah kalian bayangkan seberapa lama Lucy memendamkan rasanya terhadap Justin? Satu hal yang dapat kusimpulkan dari kejadian ini adalah jangan pernah memendam rasa terlalu lama sebelum orang yang kau sukai akan didapatkan oleh orang lain. Katakan saja kau menyukainya, mungkin jawabannya bisa sesuai dengan harapan kalian. Jika tidak, hadapilah! Aku tidak ingin menjadi gadis yang memendam perasaanku begitu lama. Dan aku tidak hidup dalam omong kosong. Aku ingin hidup dalam kebenaran.
            Aku mencintai dan Justin mendapatkan aku. Rasanya aku ingin berteriak pada Lucy, mengapa ia melakukan ini padaku? Mencoba untuk menjauhiku dari Justin? Aku ingin marah padanya, tapi mengingat perasaannya terhadap Justin membuatku sedikit iba. Oh Tuhan. Aku begitu bimbang. Apa aku harus merelakan Justin untuk Lucy? Tapi aku tidak bisa melakukan itu jika Justin menginginkanku. Ini sungguh rumit.
            Kukunci pintu apartemenku dan melihat Justin yang sudah bersandar pada tembok di depan apartemenku sambil memutar-mutarkan kuncinya. Ia menyeringai padaku.
            “Sudah siap untuk pergi bekerja tuan putri?” tanya Justin menggodaku. Mungkin untuk sekarang, Justin adalah kebahagiaanku. Dia adalah kebahagiaan yang tak dapat kuungkapkan dengan kata-kata. Justin menarik tanganku untuk turun dari gedung.
            “Kau tahu, aku punya rencana untuk pergi malam ini bersamamu,” ujar Justin.
            “Ke mana?” tanyaku penasaran.
            “Rahasia.” Bisik Justin saat kami sudah keluar dari apartemenku. Oh, sial. Kemana?
***

            Lucy menjauhiku di kampus. Ia mengabaikanku, ia tidak menyapaku atau mengajakku untuk mengobrol di kantin kampus. Dia benar-benar berubah. Bahkan ia menatapku dengan sinis. Oh, astaga, dia benar-benar marah padaku. Aku mencoba untuk berbicara dengannya, tapi ia selalu saja berhasil menjauh dari jangkauanku. Apa yang akan ia lakukan padaku selanjutnya? Aku ingin hubunganku dengannya baik seperti dulu. Kami sering bercanda di apartemen, belajar sastra bersama, maksudku, aku ingin seperti dulu lagi dengan Lucy. Lucy adalah gadis yang periang. Sedangkan aku tidak. Aku tidak begitu pendiam atau cerewet. Maksudku, aku tak pintar untuk memanasi suasana. Tidak seperti Lucy yang benar-benar aktif. Aku bahkan hanya sering berada di apartemen, kampus dan restoran. Hanya tiga tempat itu yang selalu kudiami. Tapi Lucy? Oh, Tuhan. Ia selalu pergi entah kemana. Namun ia sudah pulang jam 7 malam ke apartemen.
            Rasanya begitu berbeda. Tadi pagi sudah tidak ada lagi yang menawariku sarapan. Tidak ada yang menanyaiku tentang Justin lagi. Meski aku tahu, seharusnya aku sangat marah pada Lucy, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa selain meluruskan masalah ini. Lelaki yang tak pernah dibenci oleh Lucy hanya dua orang sahabat Justin. Lyle dan Logan, mungkin mereka bisa berbicara pada Lucy.
            “Ada apa?” tanya Justin yang membawa motornya. Kami ingin pulang ke apartemen, eh, bukan. Kami akan pergi entah kemana. Seperti yang Justin katakan tadi pagi. Ia akan membawaku ke suatu tempat. Aku menggelengkan kepalaku dan memegang punggung Justin untuk naik ke atas motornya.
            “Apa kau berpikir Lucy akan terus marah padaku?” tanyaku sambil memeluk Justin. Untung saja aku mengikat rambutku, jadi meski Justin membawa motor ini secepat apa pun, rambutku tidak akan acak-acakan. Dan aku bukan menguncir rambutku seperti biasa, aku mengepangnya. Yeah, memang terlihat seperti anak kecil. Tapi Justin menyukainya. Justin mulai menggas motornya dengan stabil.
            “Aku tidak tahu. Apa menurutmu begitu? Aku tidak begitu mengenalnya,”
            “Tapi kau pernah berhubungan badan dengannya,”
            “Bukan berarti aku mengenalnya lebih dari kau, Kate. Aku hanya menggodanya untuk tidur denganku. Oh, Kate. Bisakah hari ini kita tidak membicarakan masalah itu?”
            “Aku hanya ingin sahabatku kembali,” gumamku, semoga Justin tidak membicarakannya. Hari ini Justin memakai jaket Bieber Biker-nya. Oh, semoga saja hari ini dia tidak membalap motor. Karena ini hari ini bukanlah hari Jumat. Justin tidak mungkin membalap motornya. Aku memeluknya lebih erat lagi dan menyandarkan kepalaku pada punggungnya lalu memejamkan mataku.
            Berpikir, apa yang harus kulakukan agar Lucy dapat mendengarkanku? Aku ingin berbicara dengannya. Mengapa selama ini ia melakukan ini padaku? Menghina Justin di depanku agar aku tidak dapat mendekati Justin lagi? Aku tahu, yeah, Lucy mencintainya. Sekarang aku tahu. Tapi mengapa ia tidak pernah berpikir untuk mencari cara lain untuk mendapatkan Justin? Bagaimana mungkin Justin akan menyukainya jika dia saja yang terus menghina-hina Justin? Menjauhi Justin? Apa dia pikir dengan cara seperti itu ia akan mendapatkan cinta dari Justin?
            Mungkin sekarang Lucy sudah sangat membenciku dengan alasan yang menurutku tak masuk akal. Mungkin ia membenciku karena aku telah berpacaran dengan lelaki yang ia cintai. Sahabatnya telah berpacaran dengan lelaki yang ia sukai selama beberapa tahun. Aku salut dengan kesetiaannya. Tapi memangnya dalam percintaan kita hanya membutuhkan kesetiaan? Kepercayaan dan kejujuran adalah yang paling utama. Setia belum tentu percaya! Tapi percaya bisa menjamin kesetiaan. Tentu saja. Secara logika, jika kita percaya dengan pasangan kita hubungan kita akan tetap berjalan. Karena kita percaya pasangan kita tidak akan pernah mencari orang lain. Oh, mengapa rasanya aku terlalu banyak bergumul dengan otakku?
            Tak terasa, motor Justin berhenti. Aku mengangkat kepalaku dan membuka mata. Melihat ke sekeliling. Hanya sebuah restoran. Baguslah. Kebetulan aku benar-benar lapar sekarang. Sudah dari tadi siang aku tidak makan. Dan sore ini Justin membawaku ke sini.
            Aku turun dari motor Justin dan melihat pada restoran ini. Restoran Prancis. Well, aku sudah sering makan makanan Prancis. Tapi aku tidak menyukai kerang. Meski mereka tidak bau amis jika orang Prancis yang membuatnya. Tapi tetap saja mereka masih mentah. Aku tak peduli. Kuharap di sini ada makanan yang lebih layak kumakan. Justin menarik tanganku untuk masuk ke dalam restoran ini. Penjaga pintu restoran menganggukan kepalanya dengan ramah pada kami.
            Pantas saja hari ini Justin tidak memakai pakaian seperti Emo. Ia memakai kaos berwarna ungu dengan celana jins hitam dan sepatu supra berwarna putih. Tidak seperti biasa dan aku tidak menyadarinya selama seharian ini. Pelayan yang sedang menunggu di depan pintu kedua restoran tersenyum pada kami dan berbicara dengan bahasa Prancis pada Justin.
            Whoa! Sial, Justin bisa berbahasa Prancis dan dia begitu lancar berbicara bahasa Prancis. Ternyata lelaki seksi ini bisa berbicara Prancis. Entah dia ingin membuatku terkesan atau bisa kubilang ini adalah salah satu restoran milik orang tuanya. Pelayan yang berbicara itu kemudian membukakan kami pintu lalu mengajak kami masuk. Banyak sekali orang tua yang makan malam di sini. Kulirik jam tangan hitam yang kupakai. Sudah jam 6. Sudah malam.
            “Anggur?” tanya pelayan itu akhirnya, saat aku dan Justin sudah terduduk di atas kursi. Justin menganggukan kepalanya.
            “Seperti biasa,” ujar Justin. Sudah kuduga Justin sering datang ke sini dan ini pasti adalah milik dari keluarga Bieber. Hari Minggu ini aku harus benar-benar pulang ke rumah. Aku ingin membicarakan tentang Justin pada ayahku. Ayahku pasti akan sangat mengerti. Aku sudah besar –seperti yang dikatakan ayahku—dan aku tahu mana yang benar dan yang salah. Aku merasa benar telah memiliki Justin karena aku telah berhasil membuatnya lebih baik lagi. Ia sudah tidak menyentuh rokok kembali.
            “Ini kencan pertama kita,” ujar Justin kali ini terdengar malu-malu. Oh, astaga. Seorang Justin terdengar malu-malu? Tapi ia memberikan wajah yang angkuh, seperti biasa. “Kau menyukainya?” tanya Justin. Aku hanya menganggukan kepalaku.
            “Well, yeah. Aku menyukainya. Aku kelaparan. Dan aku membutuhkan makanan. Jadi bisa kusimpulkan aku menyukainya. Dan –“
            “Bisakah malam ini kita tidak membicarakan Lucy?” tanya Justin memotong ucapanku. Oh sial! Padahal baru saja aku ingin membicarkan tentang Lucy dengannya. Tapi aku menganggukan kepalanya. Aku tidak ingin ia merasa terbebani karena topik pembicaraan yang ia tidak sukai.
            “Baiklah. Well, aku tahu ini adalah pertanyaan konyol untukmu Justin dan aku yakin kau juga berpikir begitu,” aku melantur, sial! Mengapa sekarang aku merasa gugup di depannya? Tidak seperti biasanya.
            “Mengapa kau memilihku? Aku mendengar kemarin kau tidak menjalani hubungan dengan siapa pun?” tanyaku, akhirnya. Segala pertanyaan yang berada di dalam hatiku keluar. Well, bukan segala. Tapi memang hanya ada satu pertanyaan saja. Aku tertawa dalam hati karena kebodohanku.
            “Karena hanya kau yang ingin membuatku berubah. Kau tahu, aku bosan dengan wanita yang pasrah. Wanita yang memang ingin tidur denganku. Yang membiarkan aku hidup dalam lingkup kehidupan yang menurutku itu benar dan di mata mereka juga benar. Tapi tidak denganmu. Kau berbeda dari mereka. Kau polos. Tatapan matamu –well aku menyukai mata birumu—yang begitu polos membuatku ..entahlah, kau benar-benar racun bagiku,” jelasnya.
            “Terus bicara,” aku ingin mendengarnya.

*Justin Bieber POV*

            Gadis ini benar-benar haus akan informasi. Seperti tiap hari, tidak ada pertanyaan yang tidak akan pernah ia tanya tentangku. Aku menyukai kepolosannya. Awalnya memang aku menginginkan tubuhnya. Ia benar-benar seksi dan polos. Membuatku mudah untuk mendapatkannya, pikirku awalnya. Aku mengacuhkannya malam itu. Karena aku tahu, ia akan sadar kalau ia bertingkah seperti orang bodoh. Tapi justru itu menarik. Ia mengatakan “Hai, aku Kate” dan cara bicaranya yang begitu riang membuatnya terlihat begitu berbeda. Ia mengatakan namanya padaku, tapi gadis lain, mereka menawarkan tubuhnya untukku. Itu adalah awal yang sungguh berbeda. Bahkan aku tidak pernah tahu siapa saja yang kutiduri selain Angela dan Lucy.
            Aku cukup terkejut dengan pertemanan Kate dengan Lucy. Rasanya sulit dipercaya dan aku tahu itu akan mempersulit hubunganku dengan Kate. Lucy selalu menjelek-jelekanku di depan Kate karena dia mengenalku. Dia tahu aku pernah menidurinya. Bahkan aku adalah lelaki beruntung yang telah mendapatkan keperawanan Lucy. Well, memang dulu sewaktu aku SMA, aku sering tidur dengannya. Tapi aku tidak pernah membicarakan hubungan percintaan dengan Lucy. Dan aku meninggalkannya, mencampakannya begitu saja karena dia membosankan. Aku mencari gadis lain.
            Kehidupanku sama-sama saja setelah SMA lalu masuk kuliah dan membalap motor selama tiga tahun. Aku memiliki lebih dari 10 motor jika aku berlomba hanya dengan satu lawan. Yeah, satu lawan satu. Jika perlombaannya seperti itu, kita akan memberikan kunci motor kita kepada yang menang. Oh dan tentu saja aku pemenangnya. Aku adalah Bieber Biker. Dan tidak ada yang mengetahuiku. Mereka hanya mengetahui aku merokok, minum-minum, dan bermain dengan gadis. Aku terkenal dengan keberengsekanku. Tapi yang tidak mereka tahu adalah aku ingin memiliki perubahan.
            Dan aku di sini. Bernafas sementara mataku menatap mata biru kekasihku. Kekasih pertamaku yang tak pernah kutiduri –hampir kutiduri—dengan segala kepolosannya. Kejujurannya dan kepercayaannya padaku. Membuatku begitu percaya diri di depannya. Membuatku tak berani untuk menyentuhnya sebelum ia mengizinkanku. Aku tidak ingin menjadi lelaki rendahan baginya. Merusaknya adalah suatu bencana dalam kehidupanku. Karena ia adalah hadiah terindah yang pernah kudapatkan dan tak dapat kurusak.
            “Justin,” ia membuyarkan lamunanku. Aku lupa menjawabnya.
            “Intinya adalah kau mencoba untuk merubahku dan kau berhasil. Kau tidak ingin aku hidup dalam kebiasaanku yang buruk. Kau mencoba untuk mengubahku menjadi lebih baik dan aku benar-benar beruntung mendapatkanmu, Kate,”
            “Hanya itu?”
            “Apa yang ingin kaudengar dari mulutku Kate? Itu adalah kebenaran,” ujarku memain-mainkan garpu yang berada di atas meja. Ia tertawa dan menggelengkan kepalanya. Kemudian makanan yang kupesan dari kemarin telah datang. Kuharap Kate menyukainya. Ia tersenyum sumringah, aku memesankannya sup. Yeah, sup ala keluarga Bieber. Sederhana saja.
            “Ini benar-benar enak. Mmm, maaf Mr. Bieber tapi aku harus menghabiskan makanan ini terlebih dahulu. Kuharap Anda memakluminya,” ujar Kate dengan cara bicara yang lucu. Aku terkekeh melihat tingkahnya. Aku mulai memakan makanan dan memerhatikannya terus melahap sup-nya dengan tenang dan terus menggumamkan kata ‘enak’ dan ‘gila’. Entah dia kelaparan atau dia menyukainya, tapi aku suka melihatnya makan. Tidak seperti tadi pagi, ia terlihat begitu lesu. Sekarang ia bersemangat sekali. Sambil melihatnya makan, aku mulai berpikir. Apa yang akan Angela lakukan pada gadisku? Sudah beberapa bulan ini ia memang tidak muncul di hadapanku. Mungkin muncul tapi hanya karena kebetulan. Ia selalu menatapi Kate dengan tatapan sinis. Angela terkenal dengan gadis pembalas dendam yang kejam. Aku yakin ia sedang mencari tahu kekurangan Kate, apa yang Kate takutkan. Dan apa masalah yang sedang Kate hadapi. Angela mencintaiku, aku tahu itu. Dulu aku memang menyukainya, aku paling dekat dengannya, tapi aku sekarang sudah bersama Kate. Gadis yang berbeda.
            Oh, aku ingin berbicara dengan Angela tentang Kate. Aku ingin menggertak padanya. Tentu saja. Aku akan melakukan apa pun untuk melindungi kekasihku.
            “Kau sedang memikirkan apa?” tanya Kate menyadari bahwa dari tadi aku menatapnya.
            “Aku tak habis pikir. Ternyata gadis semungil dirimu suka sekali makan. Apa kau lapar atau kau memang menyukainya?”
            “Well, dua-duanya. Aku lapar dan aku menyukainya. Perpaduan yang hebat,” ujarnya kembali melahap makanannya.
            “Mau kutemani tidur di apartemenmu? Aku tahu pasti kau sangat kesepian,” tawarku. Aku ingin tidur di kamarnya. Bagaimana rasanya. Tidak, aku tidak akan menyentuh tubuhnya –berhubungan badan—jika ia tidak ingin melakukan itu.
            “Tentu saja,” ia menyetujuinya. Aku tersenyum padanya. Akhirnya, aku bisa tidur di tempat tidurnya. “Sempurna,” ujarku dengan senyuman sumringah.
           
***

            “Tunggu dulu, tadi aku menaruhnya di dalam tasku. Tapi mengapa sekarang tidak ada?” tanya Kate merogoh tasnya mencari kunci pintu apartemennya. Terkadang ia memang ceroboh. Tangannya tak bisa diam di dalam tasnya dan terus mencari-carinya. Sebenarnya, tadi aku yang mengambil kunci apartemennya sejak berada di kampus. Saat kami ingin pergi ke restoran, ia menitipkan tasnya padaku sedangkan aku mengambil parkiran. Kulihat ia menungguku sambil termenung, berpikir tentang Lucy kurasa, lalu diam-diam aku mengambil kunci apartemennya. Yeah, aku ingin menjahilinya.
            “Astaga, bagaimana ini? Aku tidak mendapatkannya,” ia mendesah pelan dan pasrah. Kepalanya terdongak dan memejamkan matanya. Mencoba untuk mengatur nafasnya yang tak beraturan.
            “Memangnya tadi kau taruh di mana, sayang?” tanyaku mengambil tas dari tangannya. Tanganku yang satu lagi sebenarnya sudah memegang kuncinya dari tadi, kemudian dengan cepat aku memasukan kuncinya ke dalam tasnya.
            “Biar kucari,” ujarku pura-pura merogoh tasnya. Padahal dari tadi aku memegangnya. Aku berusaha untuk menahan tawaku dan sesekali aku melirik pada Kate. Kedua alisnya bertautan.
            “Kau mendapatkannya?” tanyanya dengan suara yang lemah.
            “Ah! Ini dia!” seruku menarik keluar tanganku dan memamerkan kunci apartemennya. Matanya melebar dan langsung merebut kuncinya dari tanganku.
            “Bagaimana bisa –kau! Sial kau Justin! Pasti tadi kau yang mengambilnya!” serunya langsung memukul tanganku dengan kencang dan gemas. Aku hanya tertawa melihat tingkahya. Mengingat wajahnya yang benar-benar ketakutan karena kunci apartemennya hilang benar-benar lucu. Menggemaskan sekali. Ia terus memukul lenganku dengan kencang kemudian berhenti dan menjerit dengan gemas.
            “Aku tidak percaya kau mengerjaiku!” serunya sambil berjalan menuju pintu apartemennya dan memasukan kuncinya untuk membukanya. Kemudian ia masuk ke dalam apartemennya, begitu juga denganku. Apartemennya begitu rapi. Tapi di sini sudah tidak ada tanda-tanda dari Lucy. Aku bersyukur karena Lucy tidak ada di apartemennya lagi. Sudah tidak ada lagi yang mengusirku pergi dari apartemen Kate.
            “Oh, aku benar-benar lelah Justin,” serunya mendesah pelan dan membanting tubuhku ke atas sofa. Aku menghampirinya dan menjatuhkan tasnya ke atas lantai lalu duduk di sebelahnya. Aku senang menyentuh kulitnya. Kulitnya seperti kulit bayi. Sangat lembut dan halus, bahkan warna kulitnya seperti susu. Aku memeluknya dan menempatkan bibirku pada lehernya. Mencoba untuk menggodanya.
            “Kau lelah?” tanyaku mengecup lehernya. Ia cekikikan karena geli.
            “Yeah, bisakah kau menjauhi leherku? Itu menggelikan!” serunya mendorong kepalaku dari lehernya. Sekarang wajahku berhadapan dengan wajahnya. Oh Tuhan. Matanya benar-benar indah. Biru laut. Memang sama seperti Lyle, tapi matanya lebih spesial. Tatapan matanya tidak berdasarkan oleh gairah, tapi kelembutan.
            “Mata ayahmu tidak seperti kau. Apa itu dari ibumu?” tanyaku. Ia menganggukan kepalanya.
            “Berarti ayahmu mencintai ibumu karena matanya. Aku yakin. Karena itu terjadi padaku,” bisikku mengecup bibirnya dengan lembut.
            “Kau ..ada benarnya juga. Aku belum membicarakan hubunganku pada orang tuaku. Ayahku pasti akan senang karena aku akhirnya mendapatkan kekasih,” ujarnya. Oh tidak! Mr.Whitmore? Sial. Aku berharap nilaiku tidak akan ia kurangi jika suatu saat aku menyakiti anaknya. Tapi aku tidak akan pernah menyakiti Kate. Tidak akan pernah, jika itu terjadi, itu karena sebuah kecelakaan.
            “Yeah, tentu saja. Tidak apa-apa.,”
            “Apa kita akan menjadi pasangan suami-istri?” tanyanya yang membuatku terkejut. TENTU SAJA! Aku bersorak dalam hatiku. Tentu saja aku dan Kate akan menjadi suami-istri. Tapi setelah Kate lulus dari kuliah. Aku akan langsung melamarnya.
            “Te—“ saat aku ingin menjawab, suara ketukan pintu terdengar.
            “Kate?” aku bisa mendengar suara dari Lucy. Sial! Mengapa wanita sialan itu datang kembali ke apartemen Kate? Rasanya aku ingin melemparnya jauh ke kutub utara dan tak akan kembali lagi. Ia bencana bagi hubunganku dan Lucy. Untung saja Kate percaya padaku. Ia tidak akan pernah meninggalkanku. Ketakutan terbesarku adalah kehilangannya. Tak melihatnya sehari saja aku seperti kehilangan kendali. Aku perlu melihatnya, setiap hari.
            “Dia datang!” seru Kate dengan senang. Senang? Astaga, sial sekali! Setelah aku melewati malam yang indah dengan Kate, kedatagan Lucy benar-benar mengusik ketenanganku bersama dengan Kate, dan Kate senang? Astaga, Kate tidak tahu seberapa liciknya Lucy. Lucy telah menghasutnya agar Lucy dapat mendapatkan aku! Aku tidak pernah menyukainya lagi.
            Dengan semangat, Kate membukakan pintu untuk Lucy. Langsung saja Lucy memeluknya dan menangis. Sial aku tidak dapat menginap di kamar Kate! Persetan dengan ini!
            “Maafkan aku! Aku tidak pernah bermaksud untuk menjauhimu Kate, aku minta maaf,” tangis Lucy memecah. Oh, baiklah. Aku tidak menyukainya. Maksudku, aku bencin tangisan! Aku benci air mata. Setelah apa yang selalu kulakukan pada banyak wanita, sekarang aku benar-benar benci tangisan.
            “Aku memang seperti anak-anak. Tapi apa kau ingin menerimaku kembali ke apartemenmu? Kemarin aku benar-benar bodoh telah meninggalkanmu karena –mengapa ia berada di sini?” tanya Lucy menunjuk padaku saat ia mendongakan kepalanya dan melihatku terduduk seperti orang bodoh di atas sofa Kate.

*Kate Whitmore POV*

            Akhirnya Lucy datang ke apartemenku lagi dan ingin tinggal bersamaku. Aku hanya ingin memperbaiki hubungan kami. Aku ingin ia menerima kenyataan bahwa aku dan Justin berpacaran. Kutarik tangan Lucy dan juga mengambil tas yang ia bawa. Untung saja ia hanya meninggalkan apartemenku satu hari. Justin berdiri dari sofaku dan melangkah untuk keluar dari apartemenku.
            “Aku ..lebih baik aku ke apartemenku. Kalian ..berbicaralah,” ujar Justin melangkah keluar dari apartemenku dan menutup pintunya.
            Bokongku dan Lucy terjatuh di atas sofa dan aku berhadapan dengan Lucy. Baiklah ini dia.
            “Mengapa kau tidak pernah membicarakan ini padaku?” tanyaku. Lucy terdiam sebentar dan air matanya mengalir kembali. Tisu yang berada di tangannya tak berguna karena ia tak menggunakannya.
            “Karena aku tahu kau tidak akan mendengarku,”
            “Tentu saja aku mendengarkanmu. Kau bahkan tak pernah memberitahuku kalau kau mencintainya. Lucy, aku telah berpacaran dengan Justin. Dan aku tahu kau masih mencintainya, aku tahu ini rumit. Dan yeah, kurasa kau tahu maksudku apa. Kau bisa mencari lelaki lain yang lebih baik dari Justin,” ujarku mencoba untuk menenangkannya. Tapi ia malah menggelengkan kepalanya dan tangisannya memecah.
            “Aku tahu! Aku tahu! Tapi kau harus mengerti Kate, aku masih mencintainya. Selama bertahun-tahun aku menahan rasa sakit hati. Aku menunggunya untuk kembali padaku,”
            “Kau tidak akan pernah mendapatkannya jika kau tidak melakukan sesuatu,”
            “Aku tahu! Aku memang bodoh. Dan sekarang kau yang mendapatkannya,” ujarnya penuh dengan kesakitan. Oh, aku benar-benar iba. Mengapa rasanya aku tidak marah pada sahabatku yang telah menghasutku untuk tidak mendekati lelaki yang kucintai? Jika aku berada di posisinya, pasti rasanya itu sangat sakit. Kemudian ia menghapus air matanya dan tersenyum manis padaku.
            “Tapi demi apa pun. Di kampus tadi aku memang bertingkah seperti orang bodoh. Aku benar-benar kesal denganmu dan Justin. Rasanya aku dicampakan begitu saja,”
            “Tapi aku mencoba untuk berbicara padamu,”
            “Aku tahu dan aku minta maaf karena telah menghindari. Setelah beberapa jam aku berpikir tentang ini, ternyata aku benar-benar salah. Kau tahu, aku benar-benar berterima kasih padamu. Sekarang aku tahu, Justin memang tidak mencintaiku. Dan aku belajar untuk mencari lelaki lain. Oh, aku tidak tahu bagaimana kehidupanku tanpa dirimu, Kate,” ujarnya memeluk leherku dengan erat.
            “Aku bahkan ….perkataanku,” bisik Lucy yang tak dapat kudengar. Entah apa itu tapi aku tidak peduli. Setidaknya, aku dan Lucy telah kembali bersama. Dan itu benar-benar nilai tambah untuk hubunganku dalam kehidupan. Sahabat dan pacar. Oh, itu adalah dua pilihan yang sangat sulit kupilih. Lucy melepaskan pelukannya dan berdiri dari sofa.
            “Baiklah, kurasa aku harus membereskan pakaianku kembali. Home sweet home!” serunya kembali ceria. Selalu. Ia melangkah dan mengambil tasnya lalu masuk ke dalam kamarnya. Aku tidak tahu apa sekarang aku harus percaya pada Lucy atau tidak setelah apa yang ia lakukan padaku. Apa dia serius dengan perkataannya atau tidak. Tapi aku memiliki rasa yang begitu berbeda sekarang. Wajah Lucy menyiratkan sesuatu yang benar-benar berubah, tak seperti biasanya. Apa ini efek karena ia telah berubah? Raut wajahnya berubah? Atau ia masih memiliki perasaan pada Justin tapi ia tidak ingin mengakuinya karena ia ingin melihat Justin terus menerus meski ia tahu resiko yang ia tanggung itu pahit?
***

            Aku menatap Justin dengan tatapan memohon. Ia ingin Lucy pergi dari apartemenku. Aku tahu sebenarnya Lucy selalu menjadi masalah dalam hubungan kami 4 bulan terakhir ini. Lucy memang tampak sudah tidak membenci Justin, malah sekarang ia dekat dengan Justin dan teman-teman Justin lainnnya. Maksudku, ia sudah menerima Justin sebagai kekasihku. Tapi Justin muak dengan sikap Lucy yang begitu berlebihan padanya. Kutundukan kepalaku.
            Meski aku tidak tahu apa yang Justin maksud itu seperti apa. Memang selama ini Lucy berbuat apa pada Justin? Lucy mungkin hanya tersenyum dan mengobrol seperti orang normal dengannya jika bersamaku dan dengan Lyle juga. Jika Justin datang ke apartemenku dan tidak ada Lucy, saat ia ingin mencumbuiku, ia selalu saja gagal karena kedatangan Lucy yang merusak acara bercumbu dengan Justin.
            Sekarang aku berhadapan Justin yang sudah muak dengan keberadaan Lucy. Aku sedang berada di apartemen Justin dan untung saja, Lyle dan Logan tidak ada di apartemen. Jika mereka ada, mungkin Justin sudah memukul Lyle yang akan mengomentari amarah Justin yang meluap-luap.
            “Apa kau tidak bosan melihatnya berada terus di apartemenmu dan mengganggu hubungan kita?” tanya Justin mondar-mandir di depanku. Aku tidak tahu. Benar kata Justin, Lucy memang suka mengganggu hubungan kami. Mulutku terkatup rapat. Justin tidak marah padaku, sebenarnya, ia hanya memintaku untuk mengusir Lucy dari apartemenku untuk yang kesekian kalinya. Tapi aku selalu menolaknya. Lucy sahabat yang baik dan aku tidak merasa terganggu akan kedatangannya. Buktinya, sampai sekarang aku masih bersama dengan Justin.
            “Ak—“
            “Jangan buat alasan karena dia itu sahabatmu!” bentak Justin yang membuatku tersentak. Aku mendongak dan menatapnya dengan mata yang lebar. Mata Justin penuh dengan api yang menyala-nyala. Ia benar-benar marah. Oh Tuhan, aku merasa bersalah padanya.
            “Aku bisa mengusir Lyle dan Logan jika kau ingin tinggal di apartemenku. Karena aku tidak peduli dengan perasaan mereka! Mengapa kau tidak bisa memenuhi permintaanku yang begitu kecil seperti ini? Aku telah melakukan apa pun untukmu dan aku selalu mengalah. Tapi sekarang aku muak denganmu yang selalu saja membela Lucy! Aku ingin hubungan kita baik-baik saja tanpa ada halangan dari setan itu!” teriak Justin menunjuk-nunjuk lantai namun matanya menatapku terus menerus. Untuk pertama kalinya, dalam 4 bulan dalam hubungan kami, Justin meneriakiku dan membentakku. Aku tak dapat menahan air mata yang mulai membendung di kelopak mataku. Tapi aku terus mengedip-kedipkan mataku agar air mataku tak jatuh. Aku tidak terima Justin memarahiku seperti ini. Maksudku, ia tidak berhak atas apa pun. Hanya saja, cara penyampaiannya yang benar-benar membuatku terkejut. Ia tdiak pernah memarahiku sebelumnya.
            “Kau tak berhak atas apa pun!” aku meneriakinya dan berdiri dari sofanya.
            “Kau kekasihku!”
            “Tapi bukan berarti kau melarangku untuk menermima siapa saja yang ingin tinggal di apartemenku. Bahkan ayahku tidak pernah membentakku seperti ini! Ini hanyalah masalah kecil!” teriakku pada Justin, air mataku mulai mengalir. Oh, astaga. Mataku begitu panas. Justin berteriak.
            “Bagiku ini adalah masalah besar kau jalang!” bentaknya padaku dan berjalan menuju pintu apartemennya, “Mengapa ia sulit sekali untuk dikendalikan?” gumamnya dan membanting pintu apartemennya hingga membuatku tersentak. Mataku menatap kosong pada pintu yang baru saja dibanting oleh kekasihku. Aku merosot ke lantai. Kakiku begitu lemah untuk menopang berat tubuhku. Justin baru saja memanggilku jalang. Tidak ada yang pernah memanggilku seperti itu. Aku bahkan belum pernah tidur dengan Justin. Aku pikir Justin sudah dapat berpikir dengan dewasa. Maksudku, ini hanyalah masalah kecil. Aku pikir kami sudah menyelesaikan masalah ini satu bulan yang lalu. Aku sudah bilang padanya, aku juga butuh teman wanita di apartemenku. Tapi mengapa Justin tidak mengerti juga? Mengapa ia terdengar begitu egois? Ataukah memang aku yang egois? Selama ini memang Justin yang selalu memenuhi permintaanku dan mengalah padaku.
            Tapi mengingatnya menghinaku dengan kata ‘Jalang’ benar-benar merendahkan diriku. Apa selama ini ia menganggapku sebagai jalang? Sama seperti gadis-gadis yang sering berjalan dengannya? Aku tidak pernah merasa terganggu jika Justin dikerubungi oleh banyak gadis setelah ia selesai memenangkan perlombaan balap motor. Karena aku percaya Justin tidak akan meninggalkanku. Dan mengapa hanya karena sahabatku tinggal satu apartemen denganku Justin merasa begitu terganggu? Lucy tidak pernah mengganggu, dia memang hanya seorang gadis yang periang.
            Apa Justin tidak pernah tahu seberapa sakitnya aku mengetahui ia masih meminum bir? Masih merokok meski hanya beberapa batang? Aku selalu memperingatinya untuk tidak melakukan itu, tapi ia selalu diam-diam melakukannya. Ia tidak menghargaiku. Tapi aku tidak ingin melihat Justin dari sisi keburukannya. Oh, mengapa rasanya sekarang begitu rumit? Aku butuh ruangan untuk berpikir tentang ini kembali.
            Kurasa aku harus pulang ke rumah ayahku. Oh sial! Jika ayahku tahu aku memiliki masalah dengan Justin, pasti ayahku akan mendatangi Justin dengan pistol di tangannya. Tidak, tidak. Aku harus memiliki alasan yang lain. Ah, rindu dengan mereka kurasa sudah cukup.
            Baiklah, aku akan kembali ke rumah. Malam ini. Sekarang juga.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar