***
Lucy
memang sudah pergi dari apartemenku. Kamarnya benar-benar bersih tanpa jejak
darinya. Astaga, Lucy benar-benar sakit hati karena ini. Bisakah kalian
bayangkan seberapa lama Lucy memendamkan rasanya terhadap Justin? Satu hal yang
dapat kusimpulkan dari kejadian ini adalah jangan pernah memendam rasa terlalu
lama sebelum orang yang kau sukai akan didapatkan oleh orang lain. Katakan saja
kau menyukainya, mungkin jawabannya bisa sesuai dengan harapan kalian. Jika
tidak, hadapilah! Aku tidak ingin menjadi gadis yang memendam perasaanku begitu
lama. Dan aku tidak hidup dalam omong kosong. Aku ingin hidup dalam kebenaran.
Aku
mencintai dan Justin mendapatkan aku. Rasanya aku ingin berteriak pada Lucy,
mengapa ia melakukan ini padaku? Mencoba untuk menjauhiku dari Justin? Aku
ingin marah padanya, tapi mengingat perasaannya terhadap Justin membuatku
sedikit iba. Oh Tuhan. Aku begitu bimbang. Apa aku harus merelakan Justin untuk
Lucy? Tapi aku tidak bisa melakukan itu jika Justin menginginkanku. Ini sungguh
rumit.
Kukunci
pintu apartemenku dan melihat Justin yang sudah bersandar pada tembok di depan
apartemenku sambil memutar-mutarkan kuncinya. Ia menyeringai padaku.
“Sudah
siap untuk pergi bekerja tuan putri?” tanya Justin menggodaku. Mungkin untuk
sekarang, Justin adalah kebahagiaanku. Dia adalah kebahagiaan yang tak dapat
kuungkapkan dengan kata-kata. Justin menarik tanganku untuk turun dari gedung.
“Kau
tahu, aku punya rencana untuk pergi malam ini bersamamu,” ujar Justin.
“Ke
mana?” tanyaku penasaran.
“Rahasia.”
Bisik Justin saat kami sudah keluar dari apartemenku. Oh, sial. Kemana?
***
Lucy
menjauhiku di kampus. Ia mengabaikanku, ia tidak menyapaku atau mengajakku
untuk mengobrol di kantin kampus. Dia benar-benar berubah. Bahkan ia menatapku
dengan sinis. Oh, astaga, dia benar-benar marah padaku. Aku mencoba untuk
berbicara dengannya, tapi ia selalu saja berhasil menjauh dari jangkauanku. Apa
yang akan ia lakukan padaku selanjutnya? Aku ingin hubunganku dengannya baik
seperti dulu. Kami sering bercanda di apartemen, belajar sastra bersama,
maksudku, aku ingin seperti dulu lagi dengan Lucy. Lucy adalah gadis yang
periang. Sedangkan aku tidak. Aku tidak begitu pendiam atau cerewet. Maksudku,
aku tak pintar untuk memanasi suasana. Tidak seperti Lucy yang benar-benar
aktif. Aku bahkan hanya sering berada di apartemen, kampus dan restoran. Hanya
tiga tempat itu yang selalu kudiami. Tapi Lucy? Oh, Tuhan. Ia selalu pergi
entah kemana. Namun ia sudah pulang jam 7 malam ke apartemen.
Rasanya
begitu berbeda. Tadi pagi sudah tidak ada lagi yang menawariku sarapan. Tidak
ada yang menanyaiku tentang Justin lagi. Meski aku tahu, seharusnya aku sangat
marah pada Lucy, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa selain meluruskan masalah
ini. Lelaki yang tak pernah dibenci oleh Lucy hanya dua orang sahabat Justin.
Lyle dan Logan, mungkin mereka bisa berbicara pada Lucy.
“Ada
apa?” tanya Justin yang membawa motornya. Kami ingin pulang ke apartemen, eh,
bukan. Kami akan pergi entah kemana. Seperti yang Justin katakan tadi pagi. Ia
akan membawaku ke suatu tempat. Aku menggelengkan kepalaku dan memegang
punggung Justin untuk naik ke atas motornya.
“Apa
kau berpikir Lucy akan terus marah padaku?” tanyaku sambil memeluk Justin.
Untung saja aku mengikat rambutku, jadi meski Justin membawa motor ini secepat
apa pun, rambutku tidak akan acak-acakan. Dan aku bukan menguncir rambutku
seperti biasa, aku mengepangnya. Yeah, memang terlihat seperti anak kecil. Tapi
Justin menyukainya. Justin mulai menggas motornya dengan stabil.
“Aku
tidak tahu. Apa menurutmu begitu? Aku tidak begitu mengenalnya,”
“Tapi
kau pernah berhubungan badan dengannya,”
“Bukan
berarti aku mengenalnya lebih dari kau, Kate. Aku hanya menggodanya untuk tidur
denganku. Oh, Kate. Bisakah hari ini kita tidak membicarakan masalah itu?”
“Aku
hanya ingin sahabatku kembali,” gumamku, semoga Justin tidak membicarakannya.
Hari ini Justin memakai jaket Bieber Biker-nya. Oh, semoga saja hari ini dia
tidak membalap motor. Karena ini hari ini bukanlah hari Jumat. Justin tidak
mungkin membalap motornya. Aku memeluknya lebih erat lagi dan menyandarkan
kepalaku pada punggungnya lalu memejamkan mataku.
Berpikir,
apa yang harus kulakukan agar Lucy dapat mendengarkanku? Aku ingin berbicara
dengannya. Mengapa selama ini ia melakukan ini padaku? Menghina Justin di
depanku agar aku tidak dapat mendekati Justin lagi? Aku tahu, yeah, Lucy
mencintainya. Sekarang aku tahu. Tapi mengapa ia tidak pernah berpikir untuk
mencari cara lain untuk mendapatkan Justin? Bagaimana mungkin Justin akan
menyukainya jika dia saja yang terus menghina-hina Justin? Menjauhi Justin? Apa
dia pikir dengan cara seperti itu ia akan mendapatkan cinta dari Justin?
Mungkin
sekarang Lucy sudah sangat membenciku dengan alasan yang menurutku tak masuk
akal. Mungkin ia membenciku karena aku telah berpacaran dengan lelaki yang ia
cintai. Sahabatnya telah berpacaran dengan lelaki yang ia sukai selama beberapa
tahun. Aku salut dengan kesetiaannya. Tapi memangnya dalam percintaan kita
hanya membutuhkan kesetiaan? Kepercayaan dan kejujuran adalah yang paling utama.
Setia belum tentu percaya! Tapi percaya bisa menjamin kesetiaan. Tentu saja.
Secara logika, jika kita percaya dengan pasangan kita hubungan kita akan tetap
berjalan. Karena kita percaya pasangan kita tidak akan pernah mencari orang
lain. Oh, mengapa rasanya aku terlalu banyak bergumul dengan otakku?
Tak
terasa, motor Justin berhenti. Aku mengangkat kepalaku dan membuka mata.
Melihat ke sekeliling. Hanya sebuah restoran. Baguslah. Kebetulan aku
benar-benar lapar sekarang. Sudah dari tadi siang aku tidak makan. Dan sore ini
Justin membawaku ke sini.
Aku
turun dari motor Justin dan melihat pada restoran ini. Restoran Prancis. Well,
aku sudah sering makan makanan Prancis. Tapi aku tidak menyukai kerang. Meski
mereka tidak bau amis jika orang Prancis yang membuatnya. Tapi tetap saja
mereka masih mentah. Aku tak peduli. Kuharap di sini ada makanan yang lebih
layak kumakan. Justin menarik tanganku untuk masuk ke dalam restoran ini.
Penjaga pintu restoran menganggukan kepalanya dengan ramah pada kami.
Pantas
saja hari ini Justin tidak memakai pakaian seperti Emo. Ia memakai kaos
berwarna ungu dengan celana jins hitam dan sepatu supra berwarna putih. Tidak
seperti biasa dan aku tidak menyadarinya selama seharian ini. Pelayan yang
sedang menunggu di depan pintu kedua restoran tersenyum pada kami dan berbicara
dengan bahasa Prancis pada Justin.
Whoa!
Sial, Justin bisa berbahasa Prancis dan dia begitu lancar berbicara bahasa
Prancis. Ternyata lelaki seksi ini bisa berbicara Prancis. Entah dia ingin
membuatku terkesan atau bisa kubilang ini adalah salah satu restoran milik
orang tuanya. Pelayan yang berbicara itu kemudian membukakan kami pintu lalu
mengajak kami masuk. Banyak sekali orang tua yang makan malam di sini. Kulirik
jam tangan hitam yang kupakai. Sudah jam 6. Sudah malam.
“Anggur?”
tanya pelayan itu akhirnya, saat aku dan Justin sudah terduduk di atas kursi.
Justin menganggukan kepalanya.
“Seperti
biasa,” ujar Justin. Sudah kuduga Justin sering datang ke sini dan ini pasti
adalah milik dari keluarga Bieber. Hari Minggu ini aku harus benar-benar pulang
ke rumah. Aku ingin membicarakan tentang Justin pada ayahku. Ayahku pasti akan
sangat mengerti. Aku sudah besar –seperti yang dikatakan ayahku—dan aku tahu
mana yang benar dan yang salah. Aku merasa benar telah memiliki Justin karena
aku telah berhasil membuatnya lebih baik lagi. Ia sudah tidak menyentuh rokok
kembali.
“Ini
kencan pertama kita,” ujar Justin kali ini terdengar malu-malu. Oh, astaga.
Seorang Justin terdengar malu-malu? Tapi ia memberikan wajah yang angkuh,
seperti biasa. “Kau menyukainya?” tanya Justin. Aku hanya menganggukan
kepalaku.
“Well,
yeah. Aku menyukainya. Aku kelaparan. Dan aku membutuhkan makanan. Jadi bisa
kusimpulkan aku menyukainya. Dan –“
“Bisakah
malam ini kita tidak membicarakan Lucy?” tanya Justin memotong ucapanku. Oh
sial! Padahal baru saja aku ingin membicarkan tentang Lucy dengannya. Tapi aku
menganggukan kepalanya. Aku tidak ingin ia merasa terbebani karena topik
pembicaraan yang ia tidak sukai.
“Baiklah.
Well, aku tahu ini adalah pertanyaan konyol untukmu Justin dan aku yakin kau
juga berpikir begitu,” aku melantur, sial! Mengapa sekarang aku merasa gugup di
depannya? Tidak seperti biasanya.
“Mengapa
kau memilihku? Aku mendengar kemarin kau tidak menjalani hubungan dengan siapa
pun?” tanyaku, akhirnya. Segala pertanyaan yang berada di dalam hatiku keluar.
Well, bukan segala. Tapi memang hanya ada satu pertanyaan saja. Aku tertawa
dalam hati karena kebodohanku.
“Karena
hanya kau yang ingin membuatku berubah. Kau tahu, aku bosan dengan wanita yang
pasrah. Wanita yang memang ingin tidur denganku. Yang membiarkan aku hidup
dalam lingkup kehidupan yang menurutku itu benar dan di mata mereka juga benar.
Tapi tidak denganmu. Kau berbeda dari mereka. Kau polos. Tatapan matamu –well
aku menyukai mata birumu—yang begitu polos membuatku ..entahlah, kau
benar-benar racun bagiku,” jelasnya.
“Terus
bicara,” aku ingin mendengarnya.
*Justin Bieber POV*
Gadis
ini benar-benar haus akan informasi. Seperti tiap hari, tidak ada pertanyaan yang
tidak akan pernah ia tanya tentangku. Aku menyukai kepolosannya. Awalnya memang
aku menginginkan tubuhnya. Ia benar-benar seksi dan polos. Membuatku mudah
untuk mendapatkannya, pikirku awalnya. Aku mengacuhkannya malam itu. Karena aku
tahu, ia akan sadar kalau ia bertingkah seperti orang bodoh. Tapi justru itu
menarik. Ia mengatakan “Hai, aku Kate” dan cara bicaranya yang begitu riang
membuatnya terlihat begitu berbeda. Ia mengatakan namanya padaku, tapi gadis
lain, mereka menawarkan tubuhnya untukku. Itu adalah awal yang sungguh berbeda.
Bahkan aku tidak pernah tahu siapa saja yang kutiduri selain Angela dan Lucy.
Aku
cukup terkejut dengan pertemanan Kate dengan Lucy. Rasanya sulit dipercaya dan
aku tahu itu akan mempersulit hubunganku dengan Kate. Lucy selalu
menjelek-jelekanku di depan Kate karena dia mengenalku. Dia tahu aku pernah
menidurinya. Bahkan aku adalah lelaki beruntung yang telah mendapatkan
keperawanan Lucy. Well, memang dulu sewaktu aku SMA, aku sering tidur
dengannya. Tapi aku tidak pernah membicarakan hubungan percintaan dengan Lucy.
Dan aku meninggalkannya, mencampakannya begitu saja karena dia membosankan. Aku
mencari gadis lain.
Kehidupanku
sama-sama saja setelah SMA lalu masuk kuliah dan membalap motor selama tiga
tahun. Aku memiliki lebih dari 10 motor jika aku berlomba hanya dengan satu
lawan. Yeah, satu lawan satu. Jika perlombaannya seperti itu, kita akan
memberikan kunci motor kita kepada yang menang. Oh dan tentu saja aku
pemenangnya. Aku adalah Bieber Biker. Dan tidak ada yang mengetahuiku. Mereka
hanya mengetahui aku merokok, minum-minum, dan bermain dengan gadis. Aku
terkenal dengan keberengsekanku. Tapi yang tidak mereka tahu adalah aku ingin
memiliki perubahan.
Dan
aku di sini. Bernafas sementara mataku menatap mata biru kekasihku. Kekasih
pertamaku yang tak pernah kutiduri –hampir kutiduri—dengan segala kepolosannya.
Kejujurannya dan kepercayaannya padaku. Membuatku begitu percaya diri di
depannya. Membuatku tak berani untuk menyentuhnya sebelum ia mengizinkanku. Aku
tidak ingin menjadi lelaki rendahan baginya. Merusaknya adalah suatu bencana
dalam kehidupanku. Karena ia adalah hadiah terindah yang pernah kudapatkan dan
tak dapat kurusak.
“Justin,”
ia membuyarkan lamunanku. Aku lupa menjawabnya.
“Intinya
adalah kau mencoba untuk merubahku dan kau berhasil. Kau tidak ingin aku hidup
dalam kebiasaanku yang buruk. Kau mencoba untuk mengubahku menjadi lebih baik
dan aku benar-benar beruntung mendapatkanmu, Kate,”
“Hanya
itu?”
“Apa
yang ingin kaudengar dari mulutku Kate? Itu adalah kebenaran,” ujarku
memain-mainkan garpu yang berada di atas meja. Ia tertawa dan menggelengkan
kepalanya. Kemudian makanan yang kupesan dari kemarin telah datang. Kuharap
Kate menyukainya. Ia tersenyum sumringah, aku memesankannya sup. Yeah, sup ala
keluarga Bieber. Sederhana saja.
“Ini
benar-benar enak. Mmm, maaf Mr. Bieber tapi aku harus menghabiskan makanan ini
terlebih dahulu. Kuharap Anda memakluminya,” ujar Kate dengan cara bicara yang
lucu. Aku terkekeh melihat tingkahnya. Aku mulai memakan makanan dan
memerhatikannya terus melahap sup-nya dengan tenang dan terus menggumamkan kata
‘enak’ dan ‘gila’. Entah dia kelaparan atau dia menyukainya, tapi aku suka
melihatnya makan. Tidak seperti tadi pagi, ia terlihat begitu lesu. Sekarang ia
bersemangat sekali. Sambil melihatnya makan, aku mulai berpikir. Apa yang akan
Angela lakukan pada gadisku? Sudah beberapa bulan ini ia memang tidak muncul di
hadapanku. Mungkin muncul tapi hanya karena kebetulan. Ia selalu menatapi Kate
dengan tatapan sinis. Angela terkenal dengan gadis pembalas dendam yang kejam.
Aku yakin ia sedang mencari tahu kekurangan Kate, apa yang Kate takutkan. Dan
apa masalah yang sedang Kate hadapi. Angela mencintaiku, aku tahu itu. Dulu aku
memang menyukainya, aku paling dekat dengannya, tapi aku sekarang sudah bersama
Kate. Gadis yang berbeda.
Oh,
aku ingin berbicara dengan Angela tentang Kate. Aku ingin menggertak padanya.
Tentu saja. Aku akan melakukan apa pun untuk melindungi kekasihku.
“Kau
sedang memikirkan apa?” tanya Kate menyadari bahwa dari tadi aku menatapnya.
“Aku
tak habis pikir. Ternyata gadis semungil dirimu suka sekali makan. Apa kau
lapar atau kau memang menyukainya?”
“Well,
dua-duanya. Aku lapar dan aku menyukainya. Perpaduan yang hebat,” ujarnya
kembali melahap makanannya.
“Mau
kutemani tidur di apartemenmu? Aku tahu pasti kau sangat kesepian,” tawarku.
Aku ingin tidur di kamarnya. Bagaimana rasanya. Tidak, aku tidak akan menyentuh
tubuhnya –berhubungan badan—jika ia tidak ingin melakukan itu.
“Tentu
saja,” ia menyetujuinya. Aku tersenyum padanya. Akhirnya, aku bisa tidur di
tempat tidurnya. “Sempurna,” ujarku dengan senyuman sumringah.
***
“Tunggu
dulu, tadi aku menaruhnya di dalam tasku. Tapi mengapa sekarang tidak ada?”
tanya Kate merogoh tasnya mencari kunci pintu apartemennya. Terkadang ia memang
ceroboh. Tangannya tak bisa diam di dalam tasnya dan terus mencari-carinya.
Sebenarnya, tadi aku yang mengambil kunci apartemennya sejak berada di kampus.
Saat kami ingin pergi ke restoran, ia menitipkan tasnya padaku sedangkan aku
mengambil parkiran. Kulihat ia menungguku sambil termenung, berpikir tentang
Lucy kurasa, lalu diam-diam aku mengambil kunci apartemennya. Yeah, aku ingin
menjahilinya.
“Astaga,
bagaimana ini? Aku tidak mendapatkannya,” ia mendesah pelan dan pasrah.
Kepalanya terdongak dan memejamkan matanya. Mencoba untuk mengatur nafasnya
yang tak beraturan.
“Memangnya
tadi kau taruh di mana, sayang?” tanyaku mengambil tas dari tangannya. Tanganku
yang satu lagi sebenarnya sudah memegang kuncinya dari tadi, kemudian dengan
cepat aku memasukan kuncinya ke dalam tasnya.
“Biar
kucari,” ujarku pura-pura merogoh tasnya. Padahal dari tadi aku memegangnya.
Aku berusaha untuk menahan tawaku dan sesekali aku melirik pada Kate. Kedua
alisnya bertautan.
“Kau
mendapatkannya?” tanyanya dengan suara yang lemah.
“Ah!
Ini dia!” seruku menarik keluar tanganku dan memamerkan kunci apartemennya.
Matanya melebar dan langsung merebut kuncinya dari tanganku.
“Bagaimana
bisa –kau! Sial kau Justin! Pasti tadi kau yang mengambilnya!” serunya langsung
memukul tanganku dengan kencang dan gemas. Aku hanya tertawa melihat tingkahya.
Mengingat wajahnya yang benar-benar ketakutan karena kunci apartemennya hilang
benar-benar lucu. Menggemaskan sekali. Ia terus memukul lenganku dengan kencang
kemudian berhenti dan menjerit dengan gemas.
“Aku
tidak percaya kau mengerjaiku!” serunya sambil berjalan menuju pintu
apartemennya dan memasukan kuncinya untuk membukanya. Kemudian ia masuk ke dalam
apartemennya, begitu juga denganku. Apartemennya begitu rapi. Tapi di sini
sudah tidak ada tanda-tanda dari Lucy. Aku bersyukur karena Lucy tidak ada di
apartemennya lagi. Sudah tidak ada lagi yang mengusirku pergi dari apartemen
Kate.
“Oh,
aku benar-benar lelah Justin,” serunya mendesah pelan dan membanting tubuhku ke
atas sofa. Aku menghampirinya dan menjatuhkan tasnya ke atas lantai lalu duduk
di sebelahnya. Aku senang menyentuh kulitnya. Kulitnya seperti kulit bayi.
Sangat lembut dan halus, bahkan warna kulitnya seperti susu. Aku memeluknya dan
menempatkan bibirku pada lehernya. Mencoba untuk menggodanya.
“Kau
lelah?” tanyaku mengecup lehernya. Ia cekikikan karena geli.
“Yeah,
bisakah kau menjauhi leherku? Itu menggelikan!” serunya mendorong kepalaku dari
lehernya. Sekarang wajahku berhadapan dengan wajahnya. Oh Tuhan. Matanya
benar-benar indah. Biru laut. Memang sama seperti Lyle, tapi matanya lebih
spesial. Tatapan matanya tidak berdasarkan oleh gairah, tapi kelembutan.
“Mata
ayahmu tidak seperti kau. Apa itu dari ibumu?” tanyaku. Ia menganggukan
kepalanya.
“Berarti
ayahmu mencintai ibumu karena matanya. Aku yakin. Karena itu terjadi padaku,”
bisikku mengecup bibirnya dengan lembut.
“Kau
..ada benarnya juga. Aku belum membicarakan hubunganku pada orang tuaku. Ayahku
pasti akan senang karena aku akhirnya mendapatkan kekasih,” ujarnya. Oh tidak!
Mr.Whitmore? Sial. Aku berharap nilaiku tidak akan ia kurangi jika suatu saat
aku menyakiti anaknya. Tapi aku tidak akan pernah menyakiti Kate. Tidak akan
pernah, jika itu terjadi, itu karena sebuah kecelakaan.
“Yeah,
tentu saja. Tidak apa-apa.,”
“Apa
kita akan menjadi pasangan suami-istri?” tanyanya yang membuatku terkejut.
TENTU SAJA! Aku bersorak dalam hatiku. Tentu saja aku dan Kate akan menjadi suami-istri.
Tapi setelah Kate lulus dari kuliah. Aku akan langsung melamarnya.
“Te—“
saat aku ingin menjawab, suara ketukan pintu terdengar.
“Kate?”
aku bisa mendengar suara dari Lucy. Sial! Mengapa wanita sialan itu datang
kembali ke apartemen Kate? Rasanya aku ingin melemparnya jauh ke kutub utara
dan tak akan kembali lagi. Ia bencana bagi hubunganku dan Lucy. Untung saja
Kate percaya padaku. Ia tidak akan pernah meninggalkanku. Ketakutan terbesarku
adalah kehilangannya. Tak melihatnya sehari saja aku seperti kehilangan
kendali. Aku perlu melihatnya, setiap hari.
“Dia
datang!” seru Kate dengan senang. Senang? Astaga, sial sekali! Setelah aku
melewati malam yang indah dengan Kate, kedatagan Lucy benar-benar mengusik
ketenanganku bersama dengan Kate, dan Kate senang? Astaga, Kate tidak tahu
seberapa liciknya Lucy. Lucy telah menghasutnya agar Lucy dapat mendapatkan
aku! Aku tidak pernah menyukainya lagi.
Dengan
semangat, Kate membukakan pintu untuk Lucy. Langsung saja Lucy memeluknya dan
menangis. Sial aku tidak dapat menginap di kamar Kate! Persetan dengan ini!
“Maafkan
aku! Aku tidak pernah bermaksud untuk menjauhimu Kate, aku minta maaf,” tangis
Lucy memecah. Oh, baiklah. Aku tidak menyukainya. Maksudku, aku bencin
tangisan! Aku benci air mata. Setelah apa yang selalu kulakukan pada banyak
wanita, sekarang aku benar-benar benci tangisan.
“Aku
memang seperti anak-anak. Tapi apa kau ingin menerimaku kembali ke apartemenmu?
Kemarin aku benar-benar bodoh telah meninggalkanmu karena –mengapa ia berada di
sini?” tanya Lucy menunjuk padaku saat ia mendongakan kepalanya dan melihatku
terduduk seperti orang bodoh di atas sofa Kate.
*Kate Whitmore POV*
Akhirnya
Lucy datang ke apartemenku lagi dan ingin tinggal bersamaku. Aku hanya ingin
memperbaiki hubungan kami. Aku ingin ia menerima kenyataan bahwa aku dan Justin
berpacaran. Kutarik tangan Lucy dan juga mengambil tas yang ia bawa. Untung
saja ia hanya meninggalkan apartemenku satu hari. Justin berdiri dari sofaku
dan melangkah untuk keluar dari apartemenku.
“Aku
..lebih baik aku ke apartemenku. Kalian ..berbicaralah,” ujar Justin melangkah
keluar dari apartemenku dan menutup pintunya.
Bokongku
dan Lucy terjatuh di atas sofa dan aku berhadapan dengan Lucy. Baiklah ini dia.
“Mengapa
kau tidak pernah membicarakan ini padaku?” tanyaku. Lucy terdiam sebentar dan
air matanya mengalir kembali. Tisu yang berada di tangannya tak berguna karena
ia tak menggunakannya.
“Karena
aku tahu kau tidak akan mendengarku,”
“Tentu
saja aku mendengarkanmu. Kau bahkan tak pernah memberitahuku kalau kau
mencintainya. Lucy, aku telah berpacaran dengan Justin. Dan aku tahu kau masih
mencintainya, aku tahu ini rumit. Dan yeah, kurasa kau tahu maksudku apa. Kau
bisa mencari lelaki lain yang lebih baik dari Justin,” ujarku mencoba untuk
menenangkannya. Tapi ia malah menggelengkan kepalanya dan tangisannya memecah.
“Aku
tahu! Aku tahu! Tapi kau harus mengerti Kate, aku masih mencintainya. Selama
bertahun-tahun aku menahan rasa sakit hati. Aku menunggunya untuk kembali
padaku,”
“Kau
tidak akan pernah mendapatkannya jika kau tidak melakukan sesuatu,”
“Aku
tahu! Aku memang bodoh. Dan sekarang kau yang mendapatkannya,” ujarnya penuh
dengan kesakitan. Oh, aku benar-benar iba. Mengapa rasanya aku tidak marah pada
sahabatku yang telah menghasutku untuk tidak mendekati lelaki yang kucintai?
Jika aku berada di posisinya, pasti rasanya itu sangat sakit. Kemudian ia
menghapus air matanya dan tersenyum manis padaku.
“Tapi
demi apa pun. Di kampus tadi aku memang bertingkah seperti orang bodoh. Aku
benar-benar kesal denganmu dan Justin. Rasanya aku dicampakan begitu saja,”
“Tapi
aku mencoba untuk berbicara padamu,”
“Aku
tahu dan aku minta maaf karena telah menghindari. Setelah beberapa jam aku
berpikir tentang ini, ternyata aku benar-benar salah. Kau tahu, aku benar-benar
berterima kasih padamu. Sekarang aku tahu, Justin memang tidak mencintaiku. Dan
aku belajar untuk mencari lelaki lain. Oh, aku tidak tahu bagaimana kehidupanku
tanpa dirimu, Kate,” ujarnya memeluk leherku dengan erat.
“Aku
bahkan ….perkataanku,” bisik Lucy yang tak dapat kudengar. Entah apa itu tapi
aku tidak peduli. Setidaknya, aku dan Lucy telah kembali bersama. Dan itu
benar-benar nilai tambah untuk hubunganku dalam kehidupan. Sahabat dan pacar.
Oh, itu adalah dua pilihan yang sangat sulit kupilih. Lucy melepaskan
pelukannya dan berdiri dari sofa.
“Baiklah,
kurasa aku harus membereskan pakaianku kembali. Home sweet home!” serunya
kembali ceria. Selalu. Ia melangkah dan mengambil tasnya lalu masuk ke dalam
kamarnya. Aku tidak tahu apa sekarang aku harus percaya pada Lucy atau tidak
setelah apa yang ia lakukan padaku. Apa dia serius dengan perkataannya atau
tidak. Tapi aku memiliki rasa yang begitu berbeda sekarang. Wajah Lucy
menyiratkan sesuatu yang benar-benar berubah, tak seperti biasanya. Apa ini
efek karena ia telah berubah? Raut wajahnya berubah? Atau ia masih memiliki
perasaan pada Justin tapi ia tidak ingin mengakuinya karena ia ingin melihat
Justin terus menerus meski ia tahu resiko yang ia tanggung itu pahit?
***
Aku
menatap Justin dengan tatapan memohon. Ia ingin Lucy pergi dari apartemenku.
Aku tahu sebenarnya Lucy selalu menjadi masalah dalam hubungan kami 4 bulan
terakhir ini. Lucy memang tampak sudah tidak membenci Justin, malah sekarang ia
dekat dengan Justin dan teman-teman Justin lainnnya. Maksudku, ia sudah
menerima Justin sebagai kekasihku. Tapi Justin muak dengan sikap Lucy yang
begitu berlebihan padanya. Kutundukan kepalaku.
Meski
aku tidak tahu apa yang Justin maksud itu seperti apa. Memang selama ini Lucy
berbuat apa pada Justin? Lucy mungkin hanya tersenyum dan mengobrol seperti
orang normal dengannya jika bersamaku dan dengan Lyle juga. Jika Justin datang
ke apartemenku dan tidak ada Lucy, saat ia ingin mencumbuiku, ia selalu saja
gagal karena kedatangan Lucy yang merusak acara bercumbu dengan Justin.
Sekarang
aku berhadapan Justin yang sudah muak dengan keberadaan Lucy. Aku sedang berada
di apartemen Justin dan untung saja, Lyle dan Logan tidak ada di apartemen.
Jika mereka ada, mungkin Justin sudah memukul Lyle yang akan mengomentari
amarah Justin yang meluap-luap.
“Apa
kau tidak bosan melihatnya berada terus di apartemenmu dan mengganggu hubungan
kita?” tanya Justin mondar-mandir di depanku. Aku tidak tahu. Benar kata
Justin, Lucy memang suka mengganggu hubungan kami. Mulutku terkatup rapat.
Justin tidak marah padaku, sebenarnya, ia hanya memintaku untuk mengusir Lucy
dari apartemenku untuk yang kesekian kalinya. Tapi aku selalu menolaknya. Lucy
sahabat yang baik dan aku tidak merasa terganggu akan kedatangannya. Buktinya,
sampai sekarang aku masih bersama dengan Justin.
“Ak—“
“Jangan
buat alasan karena dia itu sahabatmu!” bentak Justin yang membuatku tersentak.
Aku mendongak dan menatapnya dengan mata yang lebar. Mata Justin penuh dengan
api yang menyala-nyala. Ia benar-benar marah. Oh Tuhan, aku merasa bersalah
padanya.
“Aku
bisa mengusir Lyle dan Logan jika kau ingin tinggal di apartemenku. Karena aku
tidak peduli dengan perasaan mereka! Mengapa kau tidak bisa memenuhi
permintaanku yang begitu kecil seperti ini? Aku telah melakukan apa pun untukmu
dan aku selalu mengalah. Tapi sekarang aku muak denganmu yang selalu saja
membela Lucy! Aku ingin hubungan kita baik-baik saja tanpa ada halangan dari
setan itu!” teriak Justin menunjuk-nunjuk lantai namun matanya menatapku terus
menerus. Untuk pertama kalinya, dalam 4 bulan dalam hubungan kami, Justin
meneriakiku dan membentakku. Aku tak dapat menahan air mata yang mulai
membendung di kelopak mataku. Tapi aku terus mengedip-kedipkan mataku agar air
mataku tak jatuh. Aku tidak terima Justin memarahiku seperti ini. Maksudku, ia tidak
berhak atas apa pun. Hanya saja, cara penyampaiannya yang benar-benar membuatku
terkejut. Ia tdiak pernah memarahiku sebelumnya.
“Kau
tak berhak atas apa pun!” aku meneriakinya dan berdiri dari sofanya.
“Kau
kekasihku!”
“Tapi
bukan berarti kau melarangku untuk menermima siapa saja yang ingin tinggal di
apartemenku. Bahkan ayahku tidak pernah membentakku seperti ini! Ini hanyalah
masalah kecil!” teriakku pada Justin, air mataku mulai mengalir. Oh, astaga.
Mataku begitu panas. Justin berteriak.
“Bagiku
ini adalah masalah besar kau jalang!” bentaknya padaku dan berjalan menuju
pintu apartemennya, “Mengapa ia sulit sekali untuk dikendalikan?” gumamnya dan
membanting pintu apartemennya hingga membuatku tersentak. Mataku menatap kosong
pada pintu yang baru saja dibanting oleh kekasihku. Aku merosot ke lantai.
Kakiku begitu lemah untuk menopang berat tubuhku. Justin baru saja memanggilku
jalang. Tidak ada yang pernah memanggilku seperti itu. Aku bahkan belum pernah
tidur dengan Justin. Aku pikir Justin sudah dapat berpikir dengan dewasa.
Maksudku, ini hanyalah masalah kecil. Aku pikir kami sudah menyelesaikan
masalah ini satu bulan yang lalu. Aku sudah bilang padanya, aku juga butuh
teman wanita di apartemenku. Tapi mengapa Justin tidak mengerti juga? Mengapa
ia terdengar begitu egois? Ataukah memang aku yang egois? Selama ini memang
Justin yang selalu memenuhi permintaanku dan mengalah padaku.
Tapi
mengingatnya menghinaku dengan kata ‘Jalang’ benar-benar merendahkan diriku.
Apa selama ini ia menganggapku sebagai jalang? Sama seperti gadis-gadis yang
sering berjalan dengannya? Aku tidak pernah merasa terganggu jika Justin
dikerubungi oleh banyak gadis setelah ia selesai memenangkan perlombaan balap
motor. Karena aku percaya Justin tidak akan meninggalkanku. Dan mengapa hanya
karena sahabatku tinggal satu apartemen denganku Justin merasa begitu
terganggu? Lucy tidak pernah mengganggu, dia memang hanya seorang gadis yang
periang.
Apa
Justin tidak pernah tahu seberapa sakitnya aku mengetahui ia masih meminum bir?
Masih merokok meski hanya beberapa batang? Aku selalu memperingatinya untuk
tidak melakukan itu, tapi ia selalu diam-diam melakukannya. Ia tidak
menghargaiku. Tapi aku tidak ingin melihat Justin dari sisi keburukannya. Oh,
mengapa rasanya sekarang begitu rumit? Aku butuh ruangan untuk berpikir tentang
ini kembali.
Kurasa
aku harus pulang ke rumah ayahku. Oh sial! Jika ayahku tahu aku memiliki
masalah dengan Justin, pasti ayahku akan mendatangi Justin dengan pistol di
tangannya. Tidak, tidak. Aku harus memiliki alasan yang lain. Ah, rindu dengan
mereka kurasa sudah cukup.
Baiklah,
aku akan kembali ke rumah. Malam ini. Sekarang juga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar